13
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendeta memegang peranan yang sangat penting dalam aspek pelayanan konseling di Rumah Sakit. Beberapa penelitian yang mengkaji peranan pendeta dalam pelayanan di Rumah Sakit dilakukan oleh John L. Young, dkk. Mereka mengemukakan bahwa para pastor/pendeta Afrika-Amerika berbicara langsung tentang berbagai pendekatan yang mereka lakukan untuk menangani berbagai permasalahan yang berhubungan dengan mental, mulai dari hal yang berfokus pada pengalaman dan masalah religius sampai pendekatan klinik dan isu psikologis. 1 Di salah satu rumah sakit di Amerika, yaitu Westchester Division of the New York Hospital, Weill Cornell Medical Center para pendeta dilibatkan bersama para dokter dan perawat dalam menetapkan rencana perawatan pasien, terutama mereka yang merupakan jemaat dari gereja yang dilayani tersebut. 2 Pelayanan seorang pendeta dalam menangani konseling dijelaskan oleh Ingeborg yang memberi istilah Pendeta psikoterapi sebagai seorang ahli kesehatan mental profesional yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan baik kependetaan maupun psikoterapi. 3 1 John L. Young, dkk.,“The Integral Role of Pastoral Counseling by African-American Clergy in Community Mental Health”, Psychiatric Services Vol. 54 No. 5, (May, 2003) : 691. 2 Glen Milstein, “Clergy and Psychiatrists: Opportunities for Expert Dialogue”, Psychiatric Times. Vol. XX, Issue 3, (2003): 36-39. 3 Ingeborg E. Haug, “Boundaries and Use and Misuse of Power and Authority : Ethical Complexity for Clergy Psychoterapist”, Journal of Counseling and Development Vol.77, (1999) : 411.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/1/T2_752015005_BAB I.pdfLatar Belakang Pendeta memegang peranan yang sangat

  • Upload
    dangnhu

  • View
    228

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/1/T2_752015005_BAB I.pdfLatar Belakang Pendeta memegang peranan yang sangat

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pendeta memegang peranan yang sangat penting dalam aspek pelayanan

konseling di Rumah Sakit. Beberapa penelitian yang mengkaji peranan pendeta

dalam pelayanan di Rumah Sakit dilakukan oleh John L. Young, dkk. Mereka

mengemukakan bahwa para pastor/pendeta Afrika-Amerika berbicara langsung

tentang berbagai pendekatan yang mereka lakukan untuk menangani berbagai

permasalahan yang berhubungan dengan mental, mulai dari hal yang berfokus

pada pengalaman dan masalah religius sampai pendekatan klinik dan isu

psikologis.1 Di salah satu rumah sakit di Amerika, yaitu Westchester Division of

the New York Hospital, Weill Cornell Medical Center para pendeta dilibatkan

bersama para dokter dan perawat dalam menetapkan rencana perawatan pasien,

terutama mereka yang merupakan jemaat dari gereja yang dilayani tersebut.2

Pelayanan seorang pendeta dalam menangani konseling dijelaskan oleh Ingeborg

yang memberi istilah Pendeta psikoterapi sebagai seorang ahli kesehatan mental

profesional yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan baik kependetaan

maupun psikoterapi.3

1John L. Young, dkk.,“The Integral Role of Pastoral Counseling by African-American Clergy in

Community Mental Health”, Psychiatric Services Vol. 54 No. 5, (May, 2003) : 691. 2Glen Milstein, “Clergy and Psychiatrists: Opportunities for Expert Dialogue”, Psychiatric Times.

Vol. XX, Issue 3, (2003): 36-39. 3Ingeborg E. Haug, “Boundaries and Use and Misuse of Power and Authority : Ethical Complexity

for Clergy Psychoterapist”, Journal of Counseling and Development Vol.77, (1999) : 411.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/1/T2_752015005_BAB I.pdfLatar Belakang Pendeta memegang peranan yang sangat

2

Keterkaitan antara pelayanan terhadap pasien di rumah sakit, pelayanan

konseling yang dilakukan oleh pendeta dikenal dengan istilah konseling pastoral

yang merupakan dimensi pendampingan pastoral dalam melaksanakan fungsinya

yang bersifat memperbaiki yang dibutuhkan ketika orang mengalami krisis yang

merintangi pertumbuhannya.4 Penyakit yang diderita seorang klien memberi

dampak terhadap aspek fisik, mental, sosial, dan spiritual secara dinamis dan

beragam sehingga pengalaman klien tentang dirinya berubah-ubah. Perubahan itu

tergantung pada banyak faktor baik internal (jenis penyakit, usia, ketahanan

psikologis, coping skills orang yang sakit, waktu perawatan, kemampuan

keuangan) maupun eksternal (kualitas pelayanan medis, tempat perawatan dan

kualitas dukungan spiritual).5 Dampak ini sejalan dengan konsep tentang krisis

dan kemalangan hidup sehingga konseling pastoral hadir sebagai alat

penyembuhan dan pertumbuhan dengan jalan membantu orang memperbaiki dan

mengembangkan yang paling sulit, yang sementara dihadapinya.6

Pada periode post-modern, pendampingan dan konseling ditandai dengan

pendekatan multi budaya, lintas budaya, antar budaya dan antar agama. Misalnya

dalam pelayanan kesehatan bagi suku Aborigin, dikemukakan bahwa kompetensi

pemahaman lintas budaya dalam kesehatan memerlukan integrasi yang efektif dari

pengetahuan dan praktik baik pengetahuan tradisional dan kontemporer.7 Saat ini,

di Amerika Serikat dalam pengaturan praktek klinis, pelatihan kompetensi budaya

4Clinebell dalam Jacob Daan Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2016), 9. 5Totok Wiryasaputra, Pendampingan Pastoral Oramg Sakit (Yogyakarta: Kanisius, 2016), 17.

6Jacob Daan Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2016), 11. 7Roger Walker, dkk. “Achieving Cultural Integration in Health Services: Design of Comprehensive

Hospital Model for Traditional Healing, Medicines, Foods and Supports”,Journal de la santé

autochtone. (National Aboriginal Health Organization, Janvier, 2010) : 58-69.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/1/T2_752015005_BAB I.pdfLatar Belakang Pendeta memegang peranan yang sangat

3

telah diterima secara luas berdasarkan validitas model kompetensi budaya

sehingga mampu menangani berbagai masalah lintas budaya dalam sistem

pemberian layanan.8 Perlu kita ketahui bahwa dalam pelaksanaan konseling lintas

agama dan budaya dapat dimaknai sebagai proses konseling yang melihat dimensi

spiritual klien tersebut. Dimensi spiritual dipahami dalam tiga paradigma berpikir

yaitu dimensi spiritual dipahami dalam hubungan dengan kekristenan, kedua

dimensi spiritual dipahami dalam kerangka berpikir psikologi dan ketiga dimensi

spiritual dalam hubungan dengan agama sebagai makna eskterior atau eksternal

kemanusiaan yang terbentuk dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat.9

Penulis memahami bahwa perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan praktek

konseling mendorong konseling pastoral menggali lagi sumber spiritualnya,

namun tidak hanya terbatas pada budaya dan tradisinya sendiri melainkan juga

budaya dan tradisi spiritual komunitas kepercayaan lain sehingga pendekatan

pastoral pendeta perlu dimaknai dalam konteks konseling lintas agama dan

budaya.

Konseling Lintas Agama dan Budaya merupakan suatu proses pemberian

pertolongan dari seorang konselor terhadap klien yang berbeda agama dan latar

belakang budaya. Penggunaan istilah Konseling Lintas Agama dan Budaya

memuat perbandingan antara dua kelompok, kelompok standar dan kelompok lain

yang berbeda agama dan budaya dengan muatan nilai-nilai tertentu. Tidak dapat

dipungkiri agama adalah bagian dari budaya. Kelahiran agama sangat terkait

8K. Elizabeth Oakes. “Health Care Disparities and Training in Culturally Competent Mental Health

Counseling: A Review of the Literature and Implications For Research”. International Journal of

Humanities and Social Science Vol. 1 No. 17. (2011) : 47. 9Jacob Daan Engel, Konseling Pastoral dalam Analisa Sosiokultural dan Interpretasi Kekristenan,

Psikologi dan Agama (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2016), 329.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/1/T2_752015005_BAB I.pdfLatar Belakang Pendeta memegang peranan yang sangat

4

dengan konstruksi budaya, dan perkembangan budaya juga tidak lepas dari

kelahiran agama.10

Oleh karena itu, dimensi spiritual yang merupakan inti dari

agama merupakan fokus kajian yang tidak bisa dipisahkan dalam kajian konseling

lintas agama dan budaya. Aspek-aspek yang harus ada dan diperhatikan dalam

konseling Lintas Agama dan Budaya adalah: a) latar belakang agama dan budaya

yang dimiliki oleh konselor; b) latar belakang agama dan budaya yang dimiliki

oleh klien; c) asumsi-asumsi terhadap masalah yang dihadapi selama konseling;

dan d) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan dalam konseling. Di dalam

konseling keagamaan, pengutamaan nilai adalah pada nilai moral dan spiritual

keagamaan dan cara-cara bantuan yang khas keagamaan, sesuai dengan agama-

agama yang bersangkutan.11

Hubungan lintas agama tidak bebas dari intervensi realitas sosial dimana

agama itu berkembang. Meskipun agama mengarahkan manusia untuk memiliki

kehidupan baik, agama bukanlah entitas suci. Agama teranyam secara kuat dalam

ikatan-ikatan budaya, sosial, ekonomi dan politik.12

Pendekatan sosiologis seperti

interaksi keseharian dan tindakan simbolik memungkinkan hubungan lintas agama

melampaui ruang-ruang fisik dalam pertemuan formal.13

Penulis memahami

bahwa pendampingan bisa dilakukan oleh siapa saja, dimana saja, kapan saja dan

bagi siapa saja. Sedangkan, dalam memberikan konseling haruslah melihat setiap

10

Jacob Daan Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, BPK Gunung Mulia (Jakarta,

2016), 80. 11Jacob Daan Engel, Konseling Pastoral..............., 80. 12

Izack Lattu, Memahami Hubungan Lintas Agama dalam Konteks Polidoksi dan Poliponik

(Salatiga: Satya Wacana University Press, 2015), 173. 13

Izak Lattu, Memikirkan Sosiologi Hubungan Lintas Agama (Salatiga: Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana), 271-290.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/1/T2_752015005_BAB I.pdfLatar Belakang Pendeta memegang peranan yang sangat

5

perbedaan dari tiap-tiap individu. Setiap individu memiliki budayanya masing-

masing.

Keterkaitan antara agama maupun budaya perlu dipahami dalam konteks

konseling lintas agama dan budaya. Agama adalah usaha manusia untuk

menumbuhkembangkan kehidupan spiritualitasnya yang demikian akan

menghasilkan kehidupan yang sehat secara mental juga.14

Hal ini menandakan

bahwa ada dimensi sosial yang kuat ketika berbicara tentang agama. Obyek sosial

adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antara manusia dan proses

yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat. Mereka merupakan

suatu sistem kehidupan bersama yang menimbulkan kebudayaan oleh karena

setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan lainnya.15

Penulis

memahami bahwa budaya muncul dari interaksi antara manusia dalam suatu

wilayah tertentu yang dicirikan melalui berbagai hal seperti bahasa, tata nilai dan

adat istiadat yang membedakan kelompok-kelompok masyarakat tertentu.

Pada umumnya hal ini juga terlihat dalam budaya masyarakat Waikabubak

memiliki kebudayaan heterogen yang terdiri dari berbagai suku yaitu budaya suku

Sumba Barat maupun suku-suku pendatang seperti : Sabu, Rote, Jawa, Batak,

Ambon maupun suku-suku lain. Keberadaan suku pendatang ini dikarenakan oleh

kawin mawin (kawin campur) maupun karena tuntutan kerja dan harus menetap

dalam waktu yang cukup lama di Waikabubak. Selain itu, masyarakat

Waikabubak memiliki keberagaman agama yaitu Kristen Protestan, Kristen

Katholik, Islam, Hindu, Budha, Yehova dan masih banyak yang menganut agama

14Mesach Krisetya, Teologi pastoral (Semarang: PT. Panji Graha, 1998), 46. 15Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Pesada, 1990), 26.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/1/T2_752015005_BAB I.pdfLatar Belakang Pendeta memegang peranan yang sangat

6

suku yaitu Marapu. Orang Sumba pada mulanya tidak menganut agama resmi di

Indonesia dan suku bangsa Sumba mengidentifikasi dirinya sebagai orang

Marapu. L. Onvlee berpendapat bahwa kata Marapu terdiri dari dua kata yaitu ma

artinya yang dan rapu artinya dihormati.

Bagi masyarakat di Kota Waikabubak dan sekitarnya, Rumah Sakit

Kristen Lende Moripa telah menjadi bagian kehidupan yang tidak terpisahkan

bersama dengan pekabaran injil di tanah Sumba. Menurut sejarah, Rumah Sakit

ini didirikan setelah Jepang menyerah dan diserahkan kembali kepada Zending.

Pada tahun 1950, dibentuk sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan untuk

menyelenggarakan kedua Rumah Sakit yang dimiliki GKS yaitu Rumah Sakit

Kristen Lindimara (bahasa Kambera) di Waingapu dan Rumah Kristen Lende

Moripa (bahasa Wejewa) di Waikabubak. Kedua Rumah sakit ini memiliki arti

yang sama yaitu Jalan Kehidupan.16

Berdasarkan uraian diatas tampak jelas

bahwa klien yang dilayani oleh pendeta di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa

adalah mereka yang berasal dari agama Kristen dan non-Kristen, serta masyarakat

yang multikultural sehingga perlu dikaji pendekatan yang dapat dikembangkan

Rumah Sakit untuk konseling lintas agama dan budaya bagi pasien. Hal ini sesuai

dengan informasi awal yang penulis peroleh dari salah satu pendeta rumah sakit

mengenai hambatan dalam pelayanan. Beliau mengatakan bahwa,

Proses Konseling dengan pasien terkadang tidak sampai selesai karena

keterbatasan waktu. Hal ini membuat pendampingan kita tidak bisa

langsung berjalan dengan baik karena perlu adanya perkenalan.

16 F. D. Wellem, Injil dan Marapu (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 263.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/1/T2_752015005_BAB I.pdfLatar Belakang Pendeta memegang peranan yang sangat

7

Apalagi dalam menjalankan konseling ini kita juga memiliki

hambatan lain yaitu pasien ada juga yang non Kristen”. Selain itu,

pemahaman budaya akan makna penyakit juga turut mempengaruhi

pendekatan konseling terutama bagi sebagian masyarakat marapu

seperti yang beliau kemukakan bahwa terkadang konseling tidak dapat

di jalankan karena adanya pemikiran dari pasien bahwa penyakit yang

mereka derita karena di guna-guna.17

Hambatan lain menurut penulis dalam pelayanan konseling ditengah

hubungan lintas agama dan budaya khususnya Indonesia adalah munculnya isu

kristenisasi dan benturan-benturan dengan kearifan lokal yang berhubungan

dengan civil religion (agama masyarakat). Isu kristenisasi berhubungan dengan

paradigma dan metode pelayanan pastoral berhubungan dengan dimensi spiritual

yang menekankan kekristenan. 18

Pendeta Rumah Sakit sekaligus konselor memiliki panggilan melayani

untuk berhubungan dengan orang lain agar mereka dapat hidup bersama dalam

hubungan kemanusiaan yang diharapkan mengerti hubungan spiritualitasnya

dengan Tuhan. Dalam sejarah perkembangan teologi, jabatan Pendeta atau

panggilan khusus Pendeta dikaitkan dengan profesi. Profesi dipahami Calvin

sebagai suatu panggilan yang dikaitkan dengan kerja.19

Dalam hal ini pula dalam

jabatan pendeta sebagai konselor pastoral harus memiliki sikap dapat menerima

17

Nara Sumber Ibu Pdt. Marina Joyce, Senin tanggal 11 Juli 2016 pukul 14.00 18

J. D. Engel, Konseling Pastoral dalam Analisa Sosiokultural dan Interpretasi kekristenan,

Psikologi dan Agama (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana), 345. 19J. D. Engel, pastoral............................. 88.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/1/T2_752015005_BAB I.pdfLatar Belakang Pendeta memegang peranan yang sangat

8

orang lain dan merasakan yang mereka rasakan, serta dapat menempatkan dirinya

dalam kehidupan dan perasaan orang lain, sehingga mereka merasa dihargai,

diterima dan dikasihi.20

Adapun tokoh lain yang memberikan pemikiran khusus bagi konselor yang

akan melakukan konseling dari pendekatan konseling lintas agama dan budaya

yaitu Augsburger mengemukakan bahwa konselor yang mampu secara budaya,

dibedakan dalam karakteristik yang bisa dipelajari. Konselor yang memiliki

kesadaran budaya memiliki suatu pemahaman yang jernih mengenai nilai-nilai

budayanya sendiri dan asumsi-asumsi dasar. Mereka mengenali kebiasaan-

kebiasaan manusia mana yang mereka pandang sesuai atau tidak sesuai,

diharapkan atau tidak diharapkan, membangun kehidupan atau menghancurkan.21

Konselor yang memiliki kesadaran budaya memiliki suatu kapasitas untuk

menyambut, memasuki, dan menghargai pandangan orang lain tanpa mengingkari

legitimasi mereka. Mereka dapat merasakan empati yang mengasumsikan suatu

landasan budaya yang sama, dan merasakan nyaman pada batasan-batasan

pandangan. Mereka dapat memasuki dunia orang lain, merasakan perbedaannya,

dan menghargai perbedaan namun di satu sisi memegang teguh keunikan

dunianya sendiri.

Memahami keberagaman dalam pelayanan di rumah sakit semacam ini,

maka para pendeta rumah sakit harus memahami implikasi dari keberagaman

budaya dan agama di Indonesia termasuk dalam masyarakat Waikabubak dan

20J. D. Engel, Konseling Suatu.................34. 21David W. Ausbureger, Pastoral Cunseling Across Culture (Philadelphia : The Westminster Press,

1986), 20.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/1/T2_752015005_BAB I.pdfLatar Belakang Pendeta memegang peranan yang sangat

9

sekitarnya. Sebagai orang Kristen mereka harus mencoba memahami dan

mendengar “suara-suara” keunikan yang berbeda.

Sekaranglah waktunya bagi orang Kristen untuk mempererat semangat

keterbukaan, persahabatan, kasih dan toleransi. Hanya melalui elemen-elemen

inilah kita dapat terlibat dalam dialog, bahkan secara positif bekerja sama demi

satu tujuan bersama, yaitu suatu humanitas yang baik.22

Sikap toleransi semacam ini mutlak harus dimiliki oleh seorang pendeta

yang melayani pasien lintas budaya dan agama. Salah satu level dialog menurut

Banawiratma dan Baqir adalah interreligious dialogue. Pada level ini dialog lebih

menekankan pada konsep mengkritisi diri sendiri, sehingga orang mampu melihat

kekurangan dan keunggulan sendiri. Dengan melakukan kritik pada diri sendiri,

diharapkan mampu menumbuhkan sikap terbuka, sehingga orang dapat

menemukan identitas diri dibalik keberagaman kepercayaan lainnya.23

Bertolak dari pemaparan diatas, maka penelitian ini berfokus pada

Pelayanan Pastoral Pendeta di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak

sebagai pendekatan Konseling Lintas Agama dan Budaya yang bertolak dari

heterogenitas masyarakat Sumba dalam aspek kesukuan maupun kepercayaan,

khususnya berkaitan dengan penganut kepercayaan Marapu. Hal ini

dimungkinkan untuk dilakukannya kajian secara mendalam sehingga memperkaya

studi-studi konseling lintas agama dan budaya dengan menambahkan perspektif

kultur dan agama dalam konteks masyarakat di Sumba Barat.

22Daniel Lucas Lukito, “Ekslusivisme, Inklusivisme, Pluraisme, dan Dialog Antar Agama, Veritas:

Jurnal Teologi dan Pelayanan 13/2 (Oktober 2012) 251-279 23Nur Kholik Afandi, “Membangun Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Bingkai Pluralitas

Kewargaan”, Jurnal Komunikasi dan Sosial Keagamaan Vol. XVI, No. 1, Januari 2014, 13-22.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/1/T2_752015005_BAB I.pdfLatar Belakang Pendeta memegang peranan yang sangat

10

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, perumusan masalah utamanya

adalah Bagaimana Pelayanan pastoral Pendeta terhadap Pasien Marapu di Rumah

Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak sebagai Pendekatan Konseling Lintas

Agama dan Budaya. Rumusan masalah diatas, dalam pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

Bagaimana pelayanan pastoral Pendeta terhadap pasien marapu di Rumah

Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak dikaji dari perspektif pastoral

budaya?

1.3. Tujuan Penelitian

Mendeskripsikan dan menganalisis Pastoral Pendeta terhadap Pasien

Marapu di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak sebagai Pendekatan

Konseling Lintas Agama dan Budaya. Tujuan tersebut sebagai berikut:

Mengkaji pelayanan pendeta terhadap Pasien Marapu di Rumah Sakit

Kristen Lende Moripa Waikabubak dari perspektif Pastoral budaya.

1.4. Manfaat Penelitian

a) Akademik, memberi pemahaman dan pengetahuan Pastoral Pendeta

kepada pasien Marapu di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak

dalam pendekatan Konseling Lintas Agama dan Budaya.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/1/T2_752015005_BAB I.pdfLatar Belakang Pendeta memegang peranan yang sangat

11

b) Praktisnya, kiranya penelitian ini menjadi salah satu bahan refleksi dan

evaluasi Sinode GKS waikabubak bagi Pelayanan Pendeta dalam hal ini

program konseling bagi pasien Marapu di Rumah Sakit Lende Moripa.

1.5. Lokasi dan Subyek Penelitian

Penelitian dilakukan di daerah Sumba Barat-Waikabubak, dengan

responden Pendeta Rumah Sakit, Direktur Rumah Sakit, Ketua Sinode GKS dan

Pasien Marapu di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak.

1.6. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode deskriptif

analisis. Metode deskriptif analisis dilaksanakan untuk menjelaskan secara

sistematis, faktual dan akurat tentang fakta yang terkait dengan substansi

penelitian.24

Metode deskriptif analisis, digunakan karena penelitian ini

bermaksud mendeskripsikan dan menganalisis Pastoral Pendeta bagi pasien

Marapu di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak dari perspektif

Pastoral dan Konseling Lintas Agama dan Budaya.

1.7. Teknik Pengumpulan Data

Wawancara menggambarkan peran seorang peneliti mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan

dengan masalah penelitian. Wawancara yang dilakukan secara tidak terstruktur

24M. Nazir,Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009)

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/1/T2_752015005_BAB I.pdfLatar Belakang Pendeta memegang peranan yang sangat

12

adalah wawancara bebas dengan pedoman wawancara yang digunakan hanya

garis besar permasalahan yang ditanyakan. wawancara digunakan sebagai teknik

pengumpulan data apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang

lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil.25

Wawancara merupakan

pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab,

sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Wawancara

akan dilakukakan pada beberapa responden yaitu Pendeta, Direktur Rumah Sakit,

Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba dan pasien Marapu.

1.8. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian tersebut, penulis akan

mengemukakan karya ini dalam 5 bagian, sebagai berikut: Bab pertama, tentang

latarbelakang masalah, judul penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian,

signifikansi penelitian, lokasi dan subyek penelitian, metode penelitian, teknik

pengumpulan data dan sistematika penulisan. Bab kedua, tentang Marapu,

Pastoral budaya, Konseling Lintas Agama dan Budaya yang meliputi pemahaman,

fungsi dan peran. Bab ketiga, tentang hasil penelitian yang meliputi gambaran

lokasi penelitian, gambaran umum tentang marapu di Kota Waikabubak, deskripsi

pastoral pendeta terhadap pasien Marapu di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa

Waikabubak. Bab keempat, tentang pembahasan dan analisis yang meliputi kajian

pastoral pendeta terhadap pasien Marapu di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa

Waikabubak dari perspektif pastoral budaya di kembangkan dalam Konseling

25Sugiyono, Metode Penelitian kombinasi (Bandung: Alafabeta, 2012), 188.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/1/T2_752015005_BAB I.pdfLatar Belakang Pendeta memegang peranan yang sangat

13

Lintas Agama dan Budaya. Bab kelima, tentang penutup yang berisi kesimpulan

dari temuan hasil penelitian dengan pembahasan dan analisis serta saran-saran

berupa kontribusi dan rekomendasi untuk berbagai pihak.