Upload
hoangdung
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini perkembangan dunia perbankan di Indonesia semakin pesat
ditengah krisis ekonomi yang melanda perekonomian global. Bank memiliki
fungsi sebagai lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan. Sebagai lembaga
keuangan, bank menyelengarakan kegiatan usaha di bidang keuangan dengan cara
mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan
kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit maupun dalam bentuk lainnya.
Dalam fungsinya sebagai lembaga pembiayaan, bank melakukan kegiatan untuk
membiayai masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya baik untuk konsumsi
maupun untuk mengembangkan usaha berupa pembelian alat-alat produksi.
Dalam fungsinya sebagai lembaga keuangan, kegiatan utama perbankan
adalah penyaluran kredit. Kredit menjadi kegiatan utama bank karena keuntungan
atau laba bank sebagian besar berasal dari penyaluran kredit yaitu berupa bunga
pinjaman, provisi, dan biaya administrasi. Kredit terdari dari 4 (empat) unsur yaitu
kepercayaan, tenggang waktu, prestasi, dan degree of risk.1
Unsur kredit pertama adalah kepercayaan yang merupakan keyakinan
bank bahwa prestasi yang diberikan bank kepada debitur baik berupa uang, jasa
dan barang akan benar-benar akan diterimanya kembali dalam jangka waktu
1Muhamad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal 370.
2
kredit. Unsur kredit yang kedua adalah tenggang waktu. Tengang waktu
merupakan suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi berupa kredit
dengan kontra prestasi yang akan diterima berupa pokok dan bunga kredit. Unsur
kredit yang ketiga adalah prestasi. Prestasi diberikan tidak hanya dalam bentuk
uang, namun juga dapat berupa jasa dan barang. Unsur kredit terakhir adalah
degree of risk atau tingkat resiko yang dihadapi bank yang diakibatkan adanya
jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi berupa kredit dengan
kontra prestasi berupa pokok dan bunga. Semakin lama jangka waktu kredit yang
diberikan maka semakin besar pula resiko yang dihadapi oleh bank. Resiko ini
harus dikurangi oleh bank, oleh karena itu bank meminta kepada pemohon kredit
atau debitur agar dalam pemberian kredit untuk memberikan jaminan atas kredit
tersebut.
Berbagai jenis kredit pun ditawarkan bank kepada masyarakat yang
didasarkan klasifikasi yang dijalankan oleh bank dalam rangka mengontrol dan
mengatur kredit agat berjalan secara efektif. Salah satu klasifikasi kredit adalah
kredit berdasarkan penggunaannya antara lain kredit modal kerja, kredit investasi,
kredit konsumsi. Kredit modal kerja merupakan kredit yang diberikan oleh bank
kepada masyarakat yang digunakan untuk membangun usaha, atau
mengembangkan usaha yang sudah ada, sedangkan kredit investasi merupakan
kredit jangka panjang yang biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha
3
atau membangun proyek atau pabrik yang masa pengembaliannya untuk suatu
periode relatif lebih lama dan dibutuhkan modal yang relatif besar pula.2
Kredit juga dapat diklasifikasikan berdasarkan jaminannya yaitu kredit
tanpa jaminan dan kredit dengan jaminan. Kredit tanpa jaminan atau kredit
blangko (unsecured loan) bank memberikan kredit tanpa meminta jaminan kepada
debitur. Pemberian kredit ini sangat selektif dan hanya ditujukan kepada nasabah
besar yang sudah teruji kredibilitas, bonadifitasnya, kejujuran dan ketaatannya
dalam bertransaksi perbankan maupun kegiatan yang dijalankan oleh debitur
tersebut. Kredit tanpa jaminan ini tetap mengandung resiko, bahkan resikonya
lebih besar karena apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak memiliki
jaminan yang bisa dieksekusi sebagai pelunasan utang debitur. Kredit dengan
jaminan ini diberikan kepada debitur selain didasarkan adanya keyakinan atas
kemampuan debitur juga berdasarkan kepada adanya jaminan misalnya berupa
tanah, bangunan atau alat-alat produksi. Jaminan ini dimaksudkan untuk
memudahkan kreditur apabila debitur wanprestasi bank segera dapat menerima
pelunasan hutangnya melalui cara pelelangan atas jaminan tersebut.3
Perjanjian kredit adalah perjanjian yang mengatur pemberian kredit dari
bank sebagai kreditur kepada nasabah atau masyarakat sebagai debitur dan
berisikan syarat-syarat pemberian kredit. Pemberian kredit bank dituangkan dalam
perjanjian kredit dalam bentuk notariil maupun perjanjian kredit bawah tangan.
2Kasmir, 2011, Dasar-Dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta
(selanjutnya disebut Kasmir I ), hal 109. 3Muhamad Djumhana, op.cit, hal 382.
4
Perjanjian kredit ini merupakan perjanjian pokok, yang kemudian diikuti dengan
perjanjian assesoir berupa pengikatan jaminan kredit.
Secara umum jaminan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu jaminan umum dan
jaminan khusus. Jaminan umum diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata). Menurut Pasal 1131 KUH
Perdata jaminan umum diartikan dengan “segala kebendaan si berutang, baik yang
bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada
dikemudian hari, menjadi tanggungan segala perikatan perseorangan”.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut jaminan umum adalah seluruh aset yang
dimiliki debitur baik yang telah ada maupun yang kelak akan ada, atau dengan
kata lain seluruh kekayaan debitur adalah jaminan umum dari perikatan yang
dilakukan oleh debitur tersebut. Jaminan khusus adalah jaminan yang telah
ditentukan oleh debitur sebagai jaminan atas perikatan yang dilakukannya.
Jaminan khusus bersifat kontraktual, yaitu yang terbit dari perjanjian tertentu yang
khusus ditujukan terhadap benda-benda tertentu. Jaminan khusus dibedakan
menjadi 2 (dua) jenis yaitu jaminan perseorangan dan jaminan kebendaan.
Jaminan perseorangan merupakan suatu perjanjian pihak ketiga
menyanggupi pihak berpiutang (kreditur), bahwa ia menanggung pembayaran
suatu hutang bila yang berhutang (debitur) tidak menepati kewajibannya. Jaminan
perseorangan ini diatur dalam Pasal 1820 KUH Perdata. Jaminan kebendaan
dibagi menjadi 2 (dua) yaitu jaminan kebendaan untuk benda bergerak dan
jaminan kebendaan untuk benda tidak bergerak. Untuk jaminan kebendaan benda
bergerak lembaga jaminannya adalah fidusia dan gadai. Untuk jaminan fidusia
5
diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara
Repubik Indonesia Nomor 3889, untuk selanjutnya disebut Undang-Undang
Jaminan Fidusia), sedangkan lembaga jaminan gadai diatur dalam pada Pasal
1150 KUH Perdata yang mengatur tentang gadai.
Untuk jaminan benda tidak bergerak yaitu tanah, maka lembaga
jaminannya adalah hak tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Nomor 1996 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632, selanjutnya disebut Undang-
Undang Hak Tanggungan). Hak tanggungan digunakan untuk pengikatan jaminan
berupa tanah dengan menggunakan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (selanjutnya disebut PPAT) yang disebut dengan akta pemberian hak
tanggungan (selanjutnya disebut APHT). Pada saat pengikatan kredit setelah
debitur menandatangani perjanjian kredit baik dalam bentuk notariil maupun
bawah tangan, maka akan dilanjutkan dengan penandatanganan pengikatan
jaminan berupa tanah yaitu dengan APHT. Setelah penandatangan APHT dalam
jangka 7 (tujuh) hari maka akta beserta kelengkapan berkas dan sertipikat tanda
hak atas tanah yang dijadikan jaminan didaftarkan di kantor Badan Pertanahan
Nasional, untuk selanjutnya diterbikan sertipikat hak tanggungan yang memiliki
kekuatan eksekutorial.
Selama menikmati fasilitas kredit, bukti kepemilikan terhadap tanah berupa
sertifikat tanda bukti hak atas tanah debitur akan dibebankan hak tanggungan.
6
Namun apabila obyek jaminan hak tanggungan tersebut lenyap akibat suatu
peristiwa alam seperti gempa dan tanah longsor, ini akan menimbulkan masalah
karena obyek jaminan hak tanggungan menjadi musnah. Kedudukan sertifikat
hak tanggungan pun menjadi tidak jelas, dan bagi pemegang hak tanggungan yaitu
bank akan mengalami kerugian jika debitur tidak bisa melunasi hutang kreditnya,
bank pun tidak bisa mengeksekusi jaminan karena jaminan hak tanggungan yang
berupa tanah sudah lenyap akibat peristiwa tanah longsor.
Pengaturan hapusnya hak tanggungan diatur dalam Pasal 18 Undang-
Undang Hak Tanggungan. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan
merumuskan;
Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri;
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Rumusan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan hanya
menyatakan bahwa hak tanggungan hapus karena 4 (empat) hal yaitu pelunasan
hutang yang dijamin dengan hak tanggungan oleh debitur, dilepaskannya hak
tanggungan oleh pemegang hak tanggungan atau kreditur, dikeluarkannya
penetapan dari pengadilan negeri yang isinya menghapus hak tanggungan, dan
hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan. Berkaitan dengan
hapusnya hak tanggungan karena suatu keadaan overmarcht yang mengakibatkan
obyek hak tanggungan musnah tidak diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Hak
Tanggungan maupun dalam rumusan pasal lain pada Undang-Undang Hak
7
Tanggungan. Keadaan demikian akan menimbulkan kekosongan norma (leemten
van norm) dalam Undang-Undang Hak Tanggungan.
Untuk menjamin originalitas penulisan tesis ini, maka harus dibandingkan
dengan penelitian lain. Pertama penulis membandingkan dengan tesis mahasiswa
Magister Hukum Universitas Udayana atas nama Ni Made Trisna Dewi pada
tahun 2011 (dua ribu sebelas) dengan judul tesis Tanggung Jawab Debitur
Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank.
Rumusan masalah dalam tesis tersebut antara lain Bagaimana pengaturan
tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu
perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia ? Bagaimana
perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap
masalah musnahnya benda jaminan fidusia ?
Hasil penelitian tesis tersebut antara lain pengaturan tanggung jawab
debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit
bank menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah debitur tetap
bertanggungjawab mengembalikan pinjaman kredit walaupun benda jaminan
fidusia tersebut diasuransikan maupun tidak diasuransikan. Jika benda jaminan
fidusia diasuransikan maka akan dilunasi oleh perusahaan asuransi dimana benda
benda jaminan fidusia diasuransikan sesuai dengan isi perjanjian. Jika benda
jaminan fidusia tidak diasuransikan maka debitur bertanggungjawab penuh
mengembalikan pinjaman kredit. Hal ini dikarenakan debitur telah terikat dalam
perjanjian kredit dengan pihak bank, walaupun benda jaminan fidusia musnah.
Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit baik terhadap
8
masalah musnahnya benda jaminan fidusia sangat lemah. Hadirnya Undang-
Undang Jaminan Fidusia diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi
para pihak dengan menjadikan jaminan fidusia sebagai salah satu sumber
pembiayaan guna menunjang dinamika kegiatan usaha ternyata yang terjadi
sebaliknya, yaitu ketidakteraturan dan kepastian hukum atau legal uncertainty.
Jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, perlindungan
hukum tidak berlaku secara efektif bagi pihak-pihak yang dirugikan.
Selain itu penulis juga membandingan dengan tesis dari mahasiswa
Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro atas nama Nur Hayatun Nulus
pada tahun 2010 (dua ribu sepuluh) dengan judul tesis Proses Pembebanan Hak
Tanggungan Terhadap Tanah Yang Belum Bersertipikat (Studi di PT Bank
Rakyat Indonesia Tbk Unit Bekasi Kota). Rumusan masalah dari tesis tersebut
antara lain bagaimana pelaksanaan pembebanan hak tanggungan terhadap tanah
yang belum bersertipikat ? Rumusan masalah yang kedua bagaimanakah
penyelesaiannya apabila pemberi hak tanggungan atas tanah yang belum
bersertipikat tersebut meninggal dunia dan memiliki ahli waris, sementara piutang
kreditur tidak terbayar ?
Hasil penelitian tesis tersebut diatas antara lain pelaksanaan pembebanan
hak tanggungan terhadap tanah yang belum bersertipikat dalam prakteknya tidak
pernah dilakukan bank dengan cara membuat APHT secara langsung terhadap
tanah-tanah yang belum bersertipikat. Bank dalam hal ini hanya sebatas membuat
surat kuasa membebankan hak tanggungan (selanjutnya disebut SKMHT).
Pertimbangan hukum tidak dibuatnya APHT terhadap tanah-tanah yang belum
9
didaftar oleh karena terdapat kemungkinan hak-hak atas tanah tersebut belum
jelas kepemilikannya. Notaris atau PPAT dalam prakteknya selalu membuatkan
SKMHT sesuai dengan Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan untuk
mengikat jaminan atas tanah-tanah yang belum bersertipikat yang akan dijadikan
agunan. Namun hal inilah yang menjadi kendala karena proses pensertipikatannya
memerlukan jangka waktu 3 (tiga) bulan bahkan bisa 1 (satu) tahun.
Menghadapi permasalahan terjadinya kredit belum dilunasi dengan agunan tanah
yang belum bersertipikat sedangkan debitur telah meninggal dunia dan
meninggalkan ahli waris, maka ada beberapa cara penyelesaian yang dilakukan
oleh bank, yaitu jika kredit telah jatuh tempo, maka kredit dicover oleh asuransi
kredit. Jika kredit telah jatuh tempo dan asuransi kreditnya telah kadaluarsa, maka
akan ditagih sampai lunas kepada ahli warisnya dengan melakukan pendekatan
kekeluargaan dengan menawarkan keringanan bunga pinjaman, meminta ahli
waris yang bersangkutan untuk melakukan penjualan dibawah tangan atas obyek
jaminan tersebut.
Tesis yang juga penulis gunakan untuk membandingkan adalah tesis
mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro atas nama Rudhy
Florentinus Dewanto dengan judul tesis Kedudukan Kreditur Selaku Penerima
Jaminan Fidusia Dalam Hal Debitur Pailit. Adapun rumusan masalah dari tesis
tersebut antara lain bagaimanakah eksekusi Jaminan Fidusia dalam praktek dalam
hal debitur pailit berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37
tahun 2007 ? Rumusan Masalah yang kedua adalah apakah kreditur separatis
selaku penerima jaminan Fidusia tetap memiliki hak yang didahulukan terhadap
10
kreditur lainnya dalam pemberesan harta pailit Debitur apabila ternyata Obyek
Jaminan Fidusia sudah tidak ada lagi pada Debitur pailit ?
Hasil penelitain dari tesis tersebut adalah Apabila debitur wanprestasi atau
cedera janji atau pailit, maka eksekusi yang diatur dalam Pasal 29 Undang-
Undang Jaminan Fidusia. Eksekusi Jaminan Fidusia yang diatur dalam
Bab V Undang-Undang Jaminan Fidusia. Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang
Jaminan Fidusia yang merumuskan:
Dalam hal debitur pemberi fidusia yang telah mempunyai/memegang
Sertipikat Fidusia dapat atau berhak untuk menjual obyek jaminan fidusia
dengan cara :
a. Eksekusi jaminan fidusia berdasarkan titel eksekutorial sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh penerima Fidusia, yaitu
dengan mohon eksekusi sertipikat jaminan fidusia kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang.
b. Penjualan atas kekuasaan penerima fidusia berdasarkan parate eksekusi.
c. Penjualan dibawah tangan obyek jaminan fidusia berdasarakan pemberi
dan penerima fidusia.
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443, selanjutnya disebut Undang-
Undang Kepailitan) menentukan bahwa hak eksekusi kreditor separatis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan
ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak
tanggal putusan pailit diucapkan. Masa penangguhan tersebut tidak pasti karena
berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Kepailitan, kreditur penerima hak jaminan
harus menjalankan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua)
bulan setelah dimulainya keadaan Insolvensi. Apabila rapat verifikasi berlarut-
larut dan masa insolvensinya menjadi tertunda melebihi jangka waktu
11
90 (sembilan puluh) hari setelah putusan pailit dibacakan, maka hak kreditur
separatis untuk bisa memulai melaksanakan eksekusinya menjadi ikut tertunda.
Hal ini menimbulkan resiko kreditur penerima jamina fidusia mengingat barang
yang dijaminkan berupa barang bergerak sudah tidak ada lagi pada debitur
(penurunan nilai aset). Proses kepailitan di Pengadilan Niaga dalam hal obyek
Jaminan Fidusia tidak ada lagi maka kreditur penerima jaminan fidusia tidak
memiliki hak untuk didahulukan dari kreditur lainnya, sehingga untuk
mengajukan tagihannya dalam kedudukannya sebagai kreditur konkruen.
Setelah penulis bandingkan dengan ketiga tesis tersebut maka penelitian
ini tidak ada kemiripan antara judul dan rumusan masalah yang penulis buat
dengan ketiga tesis tersebut diatas sehingga bebas dari penjiplakan atau plagiat.
Berdasarkan latar belakang diatas, selanjutnya akan dibahas lebih mendalam
tentang kedudukan sertifikat hak tanggungan dalam hal musnahnya obyek hak
tanggungan. Untuk itu diajukan sebagai tesis dengan judul : “KEKUATAN
HUKUM SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN DALAM HAL
MUSNAHNYA OBYEK HAK TANGGUNGAN KARENA BENCANA
ALAM”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan rumusan
masalah yang akan dibahas. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam
tesis ini adalah:
1. Bagaimanakah kedudukan sertipikat hak tanggungan dengan jaminan berupa
tanah dalam hal seluruh obyeknya musnah karena bencana alam?
12
2. Bagaimanakah upaya perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat hak
tanggungan dengan jaminan berupa tanah dalam hal seluruh obyeknya musnah
karena bencana alam ?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini dikualifikasi menjadi 2 (dua). Tujuan tersebut
yaitu tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. Adapun tujuan
yang dimaksud sebagai berikut:
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk
mengkaji dan menganalisa kekuatan hukum sertifikat hak tanggungan ketika
terjadi bencana alam yang mengakibatkan musnahnya seluruh obyek hak
tanggungan tersebut. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan
menganalisa perlindungan hukum bagi kreditur saat musnahnya seluruh obyek
hak tanggungan.
1.3.2. Tujuan Khusus
Selain tujuan yang bersifat umum, penelitian ini juga memiliki tujuan
khusus. Berdasarkan dengan rumusan masalah yang diuraikan diatas, maka secara
khusus penelitian ini tesis ini bertujuan:
1. Untuk mengkaji dan menganalisa kekuatan hukum sertipikat hak
tanggungan dengan jaminan berupa tanah dalam hal seluruh obyeknya
musnah karena bencana alam.
2. Untuk mengkaji dan menganalisa perlindungan hukum bagi para pihak
dalam hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana alam.
13
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini dibagi menjadi
2 (dua). Manfaat tersebut antara lain manfaat secara teoritis dan manfaat secara
praktis yang akan dipaparkan sebagai berikut:
1.4.1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat dijadikan referensi,
tambahan ilmu dan memperdalam perkembangan hukum jaminan berkaitan
dengan kekuatan hukum sertifikat hak tanggungan dalam hal musnahnya seluruh
obyek hak tanggungan karena bencana alam.
1.4.2. Manfaat Praktis
Selain kegunaan secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini juga
mampu memberikan manfaat secara praktis. Adapun manfaat praktis yang dari
penelitian ini antara lain memberikan masukan kepada Pemerintah, Notaris/PPAT,
maupun masyarakat terkait dengan dengan kekuatan hukum sertifikat hak
tanggungan dalam hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana
alam seperti:
1. Bagi Pemerintah, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu dijadikan
informasi tentang dengan kekuatan hukum sertifikat hak tanggungan dalam
hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana alam
kedudukan sertifikat hak tanggungan.
2. Bagi Notaris/PPAT hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan terkait dengan kekuatan hukum sertifikat hak tanggungan dalam
hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana alam.
14
3. Bagi masyarakat, baik masyarakat umum maupun steakholders di bidang
perbankan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pengetahuan terkait dengan kekuatan hukum sertifikat hak tanggungan dalam
hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana alam.
1.5. Landasan Teoritis dan Konsep
Tesis dengan judul kekuatan hukum sertifikat hak tanggungan dalam hal
musnahnya obyek hak tanggungan karena bencana alam akan dibahas secara
komprehensif, maka akan digunakan beberapa teori dan konsep sebagai pisau
analisisnya. Teori yang digunakan adalah teori kepastian hukum, dan teori
perlindungan hukum, selain itu juga digunakan beberapa definisi, seperti definisi
kredit, definisi jaminan, definisi hak tanggungan, definisi tanah, definisi
overmacht, dan definisi bencana alam.
1.5.1. Landasan Teoritis
a. Teori Kepastian Hukum
Menurut Utrecht, hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum
(rechhtszekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu terdapat 2 (dua)
tugas lain, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum bertugas polisionil
(politionele taak van het recht) yang berarti hukum menjaga agar dalam
masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri.4
Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi
4Riduan Syahrani, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung (selanjutnya disebut Riduan Syahrani I ), hal 23.
15
individu dari kesewenangan pemerintah, karena dengan adanya aturan hukum
yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.5 Kepastian hukum
bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya
konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan
hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.
Kepastian hukum atau rechtszekerheid berdasarkan pendapat J.M Otto
yang dikutip oleh Tatiek Sri Djatmiati dijabarkan menjadi beberapa unsur sebagai
berikut:
1. Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan yang ditetapkan oleh
Negara;
2. Aparat pemerintah menerapkan aturan hukum tersebut secara konsisten
dan berpegang pada aturan hukum tersebut;
3. Rakyat pada dasarnya tunduk pada hukum;
4. Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan aturan
hukum tersebut;
5. Putusan hukum dilaksanakan secara nyata6.
Berdasarkan penjabaran diatas jika dikaitkan dengan kekuatan hukum
sertifikat hak tanggungan dalam hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan
karena bencana alam adalah bagaimanakan kedudukan sertipikat hak tanggungan
bila obyeknya seluruhnya musnah karena bencana alam. Undang-undang hak
tanggungan tidak merumuskan kedudukan sertipikat hak tanggungan bila seluruh
obyeknya musnah karena bencana alam. Kekosongan norma dalam undang-
undang hak tanggungan tidak memberikan kepastian hukum terhadap kedudukan
5Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), hal 158. 6Tatiek Sri Djatmiati, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia,
Disertasi, PPS Universitas Airlangga, Surabaya, hal 18.
16
sertipikat hak tanggungan dalam hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan
karena bencana alam. kepastian hukum berkaitan erat dengan supremasi hukum.
Supremasi hukum merupakan bagian dari the rule of law yang dikemukakan oleh
Albert Vann Dicey. The rule of law bertumpu pada sistem hukum common law.
Unsur-unsur the rule of law antara lain:
1. Supremasi hukum;
2. Persamaan dihadapan hukum;
3. Terjaminnya hak-hak asasi tiap-tiap individu. Konstitusi bukanlah sumber
tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan
dan ditegaskan oleh peradilan.7
Supremasi hukum secara konsep memiliki kesamaan arti dengan asas
legalitas dalam konsep negara hukum (rechstaat) yang dikembangkan dalam
sistem hukum civil law. M.C. Burkens berpendapat syarat-syarat Negara hukum
antara lain:
1. Asas legalitas;
2. Pembagian kekuasaan;
3. Perlindungan hak asasi manusia;
4. Pengawasan pengadilan (Peradilan administrasi).8
7Didi Nazmi Yunus, 1992, Konsepsi Negara Hukum, Angkasa Raya,
Padang, hal 22. 8Yohanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan
Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, Tanggal 04 Mei 2004, hal 24.
17
Sistem hukum civil law dan common law memiliki kesamaan dimana
memposisikan supremasi hukum sebagai prinsip dasar dalam pelaksanaan
kegiatan Negara. Supremasi hukum mensyaratkan agar setiap tindakan
pemerintahan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tiap tindakan
memiliki tumpuan yang jelas, sehingga menjamin kepastian hukum baik bagi
pemerintah, maupun bagi masyarakat.
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan kepastian hukum
berarti hukum harus memberikan kejelasan atas tindakan pemerintah dan
masyarakat, sehingga memberikan kepastian hukum, dan tidak menimbulkan
multitafsir atas aturan hukum tersebut. Selain itu antara satu aturan dengan aturan
lain haruslah terjalin harmonisasi sehingga aturan tersebut tidak kontradiktif
antara satu aturan dengan aturan lain. Dengan penelitian ini diharapkan mampu
untuk memberikan kepastian hukum terhadap kekuatan hukum sertifikat hak
tanggungan dalam hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana
alam. Teori kepastian hukum ini digunakan untuk menganalisa rumusan masalah
yang pertama.
b. Teori Perlindungan Hukum
Menurut Van Apeldoorn9 tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan
hidup secara damai. Hukum menginginkan kedamaian. Kedamaian diantara
manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan
9L.J van Apeldoorn, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita,
Jakarta, hal 10.
18
manusia yang tertentu, yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan
sebagainya terhadap hal-hal yang merugikannya.
Fitzgerald kemudian mengemukakan hukum bertujuan mengintegrasikan
dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam
suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya
dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.10
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga
hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang
perlu diatur dan dilindungi.11
Philipus M. Hadjon membedakan perlindungan
hukum menjadi dua jenis yaitu:
1. Perlindungan hukum preventif
Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya permasalahan atau sengketa.
2. Perlindungan hukum represif
Perlindungan hukum represif adalah pelindungan hukum yang bertujuan
untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul.12
Dalam penelitian ini teori ini diharapkan mampu menganalisa
perlindungan hukum bagi kreditur sebagai pemegang sertipikat hak tanggungan
dalam hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana alam.
Kepentingan bank atas jaminan hak tanggungan yang diberikan oleh debitur pada
10
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung
(selanjutnya disebut Satjipto Raharjo I ), hal 53. 11
Ibid, hal 69. 12
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,
Bina Ilmu, Surabaya, hal. 205.
19
saat terjadinya bencana alam yang mengakibatkan musnahnya seluruh obyek hak
tanggungan karena bencana alam, harus bisa dijamin oleh Undang-Undang Hak
Tanggungan. Perlindungan hukum yang digunakan dalam permasalahan ini adalah
perlindungan hukum preventif dan represif.
Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya permasalahan atau sengketa. Perlindungan hukum
represif adalah pelindungan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan
permasalahan atau sengketa yang timbul. Perlindungan hukum preventif
digunakan sebelum terjadinya sengketa dan bersifat pencegahan agar sengketa
tidak timbul. Perlindungan hukum preventif bagi kreditur dan debitur adalah
melalui tindakan-tindakan sebelum terjadinya peristiwa hukum. Perlindungan
hukum represif digunakan karena masalah perlindungan hukum bagi kreditur
sebagai pemegang sertipikat hak tanggungan dalam hal musnahnya seluruh obyek
hak tanggungan karena bencana alam terjadi setelah ditandatanganinya perjanjian
kredit dan APHT, sehingga permasalahan terjadi setelah terjadi pengikatan antara
bank sebagai kreditur dan masyarakat sebagai debitur. Teori Pelindungan Hukum
ini digunakan untuk menganalisis rumusan masalah yang kedua.
1.5.2 Konsep
Untuk menghindari penafsiran dan pemahanam yang terlalu luas terhadap
pokok-pokok kajian dalam penelitian ini, maka dikemukakan beberapa konsep
yang berhubungan dengan tesis yang berjudul kekuatan hukum sertifikat hak
tanggungan dalam hal musnahnya obyek hak tanggungan karena bencana alam.
Adapun konsep-konsep yang digunakan sebagai berikut:
20
a. Definisi Perjanjian Kredit
Kredit berasal dari bahasa Yunani yaitu “credere” yang berarti
kepercayaan. Dasar utama pemberian kredit dari seorang kreditur kepada debitur
adalah kepercayaan kreditur bahwa debitur akan mampu mengembalikan
pinjaman kredit sesuai dengan jangka waktu dan kesepakatan kedua belah pihak.13
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan merumuskan pengertian kredit:
”kredit penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu dengan jumlah bunga”. Kredit diberikan oleh bank kepada
masyarakat berdasarkan atas kepercayaan, jadi dengan kata lain kredit merupakan
pemberian kepercayaan. Hal ini berarti bank sebagai pemberi kredit harus
memiliki kepercayaan bahwa penerima kredit akan mengembalikan pinjaman
yang diberikan oleh bank dengan syarat-syarat yang telah disetujui kedua belah
pihak. Pada hakekatnya perjanjian kredit merupakan perjanjian pinjam meminjam
yang diatur dalam buku ketiga KUH Perdata khususnya dalam Pasal 1754 KUH
Perdata sampai Pasal 1769 KUH Perdata.
Dalam Undang-Undang Perbankan tidak terdapat definisi tentang
perjanjian kredit. Sutan Remy Sjahdeini kemudian mendefinisikan perjanjian
kredit sebagaimana berikut:
Perjanjian kredit adalah perjanjian antara Bank sebagai kreditur dengan
nasabah sebagai nasabah debitur, mengenai penyediaan uang atau tagihan
13
Thomas Suyatno, 1998, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, hal 12.
21
yang dapat dipersamakan dengan itu, yang mewajibkan nasabah-nasabah
debitur untuk melunasi hutang-hutangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.14
Perjanjian kredit telah berkembang tidak hanya berisikan perjanjian pinjam
meminjam, melainkan juga memuat perjanjian pemberian kuasa, dan perjanjian
lainnya. Menurut Ch. Gatot Wardoyo perjanjian kredit memiliki fungsi antara
lain:
1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian
kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal, atau tidak batalnya
perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan
jaminan.
2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan
hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur.
3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring
kredit.15
Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang bersifat riil.
Sedangkani perjanjian jaminan adalah assessornya. Ada dan berakhirnya
perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil adalah bahwa
terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada
nasabah debitur.16
b. Definisi Jaminan
Istilah jaminan berasal dari terjemahan bahasa Belanda yaitu “zeherheid”.
Zeherheid mencakup bagaimana cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya
14
Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan
Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank, Institut Bankir
Indonesia, Jakarta (selanjutnya disebut Sutan Remy Sjahdeini I), hal 44.
15
Thomas Suyatno, op.cit, hal 13. 16
Hermansyah, 2010, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal 71.
22
disamping penanggungan jawab umum debitur terhadap barang-barangnya.17
M. Bahsan mendefinisikan jaminan adalah “segala sesuatu yang diterima kreditur
dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu piutang dalam masyarakat”.18
Jaminan merupakan sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan
keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang yang timbul dari suatu perikatan. Dalam praktek perbankan terdapat dua
istilah yang dipergunakan untuk menjelaskan adalah jaminan yaitu jaminan dan
agunan. Jaminan dimaksud sebagai kepercayaan yang diberikan oleh kreditur
bank atas itikad baik dan kemampuan membayar utang atau kewajiban debitur,
sedangkan agunan dimaksudkan dengan barang-barang kebendaan milik debitur
yang dijadikan jaminan untuk melunasi utangnya.19
Secara umum jaminan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu jaminan umum dan
jaminan khusus. Jaminan umum diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Menurut
Pasal 1131 KUH Perdata jaminan umum diartikan dengan “Segala kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru ada dikemudian hari, menjadi tanggungan segala perikatan
perseorangan”. Berdasarkan rumusan pasal tersebut jaminan umum adalah
seluruh aset yang dimiliki debitur baik yang telah ada maupun yang kelak akan
ada, atau dengan kata lain seluruh kekayaan debitur adalah jaminan umum dari
17
Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Salim HS I), hal 21. 18
Muhammad Bahsan, 2002, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan
Indonesia, Rejeki Agung, Jakarta, hal 148. 19
Suharningsih, 2011, Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Kredit Dengan
Jaminan Barang Inventory Dalam Bingkai Jaminan Fidusia, Universitas
Wisnuwardhana Pers, Malang, hal 19.
23
perikatan yang dilakukan oleh debitur tersebut. Jaminan khusus adalah jaminan
yang telah ditentukan oleh debitur sebagai jaminan atas perikatan yang
dilakukannya. Jaminan khusus bersifat kontraktual, karena terbit dari perjanjian
tertentu, baik yang khusus ditujukan terhadap benda-benda tertentu maupun orang
tertentu. Jaminan khusus secara garis besar dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu
jaminan perseorangan dan jaminan kebendaan.
Jaminan perseorangan merupakan suatu perjanjian dimana pihak ketiga
menyatakan kesanggupan bahwa ia menanggung pembayaran suatu hutang bila
yang berhutang (debitur) tidak menepati kewajibannya kepada kreditur. Jaminan
perseorangan diatur dalam Pasal 1820 KUH Perdata. Jaminan kebendaan adalah
jaminan yang obyeknya berupa barang bergerak maupun yang tidak beregerak
yang khusus diperuntukan untuk menjamin hutang debitur kepada kreditur apabila
dikemudian hari hutang tersebut tidak dapat dibayar oleh debitur.20
Jaminan kebendaan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu jaminan kebendaan
untuk benda tidak bergerak dan jaminan kebendaan bergerak. Pembedaan benda
bergerak dan tidak bergerak ini penting untuk penguasaan (bezit), penyerahan
(levering), pembebanan (bezwaring) dan kadaluarsa (verjaring).21
Untuk jaminan
benda tidak bergerak yaitu tanah, maka lembaga jaminannya adalah hak
tanggungan dan tunduk pada Undang-Undang Hak Tanggungan. Jaminan
kebendaan benda bergerak tunduk pada lembaga jaminan fidusia dan gadai.
Jaminan fidusia diatur dalam Undang-undang Jaminan Fidusia, sedangkan
20
Gatot Supramono, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, hal 59.
21
Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika,
Jakarta, hal 48.
24
lembaga jaminan gadai diatur dalam Pasal 1150 KUH Perdata yang mengatur
tentang gadai.
c. Definisi Hak Tanggungan
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan merumuskan
definisi Hak Tanggungan. Definisi hak tanggungan tersebut adalah sebagaimana
berikut:
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-
kreditor lain.
Boedi Harsono mendefinisikan hak tanggungan sebagai penguasaan hak
atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah
yang dijadikan agunan, tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan,
melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari
hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas debitur kepadanya.22
Hak tanggungan merupakan perjanjian accesoir artinya disampingnya ada
perjanjian pokok yang berwujud perjanjian pinjam-meminjam uang. Sifat hak
tanggungan yang merupakan perjanjian assesoir maka adanya tergantung pada
perjanjian pokok, dan akan hapus dengan hapusnya perjanjian pokok.23
22
Salim HS I, op.cit, hal 97. 23
Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum
Nasional, Prenada Media Group, Jakarta, hal 182.
25
d. Definisi Tanah
Definisi tanah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah permukaan
bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali, sebagai permukaan bumi atau lapisan
bumi24
. Dalam lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan disini bukanlah mengatur tanah dalam
segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah
dalam pengertian yuridis yang disebut hak.25
Tanah sebagai bagian dari bumi
dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1960 Nomor 104 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2043, selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria) yang merumuskan:
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum.
Martin Dixon mendefinisikan tanah : ”Land is both the physical asset
which the owner may enjoy in or over it”.26
(Terjemahan bebas : tanah adalah aset
fisik dimana pemilik dapat menikmati manfaat atas aset tersebut). Berdasarkan
pemaparan diatas maka tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi,
sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu atas permukan bumi
yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
24
W.J.S Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, hal 1195.
25
Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal 10. 26
Martin Dixon, 2004, Principles of Land Law, Cavendish Publishing
Limited, London, hal 24.
26
e. Definisi Overmacht
Overmarcht atau keadaan memaksa adalah keadaan yang melepaskan
seseorang atau suatu pihak yang mempunyai kewajiban untuk dipenuhinya
berdasarkan suatu perikatan (debitur), yang tidak atau tidak dapat memenuhi
kewajibannya dari tanggung jawab untuk memberi ganti rugi, biaya dan bunga
dari tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya tersebut.27
Overmacht diatur
dalam Pasal 1244 KUH Perdata dan 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH Perdata
merumuskan:
Jika ada alasan untuk itu si berutang dihukum mengganti biaya, rugi dan
bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak
pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena
suatu hal yang tak terduga, pun dapat dipertanggungjawabkan padanya
,kesemuanya itupun jika tidak buruk tidak ada pada pihaknya.
Pasal 1245 KUH Perdata mengatur tentang penghapusan ganti kerugian
dalam perikatan karena suatu peristiwa overmarcht. Pasal 1245 KUH Perdata
merumuskan “Tidaklah biaya rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena
keadaan memaksa atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja si berutang
berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau karena hal-
hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.
Keadaan overmacht memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak
melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga kepada kreditur, oleh karena
suatu keadaan yang berada diluar kekuasaannya.28
Berdasarkan pemaparan
tersebut maka dapat dikemukakan overmacht adalah suatu keadaan diluar
27
Rahmat S.S. Soemadipradja, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan
Memaksa, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, hal 1. 28
Salim HS, 2001, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar
Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut Salim HS II), hal 183.
27
perkiraan yang membuat debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada
kreditur dalam suatu perikatan. Keadaan tersebut bisa dikarenakan bencana alam,
atau peristiwa lain yang tidak mampu diperkirakan sebelumnya.
f. Definisi Bencana Alam
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723, selanjutnya disebut Undang-
Undang Penanggulangan Bencana) merumuskan bencana alam sebagai “Bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan, dan tanah longsor”.
Tanah lonsor adalah suatu peristiwa geologi yang terjadi karena
pergerakan masa batuan atau tanah dengan berbagai tipe dan jenis seperti jatuhnya
bebatuan atau gumpalan besar tanah. Pemicu utama tanah longsor adalah
gravitasi, namun adapula faktor lain yang turut berpengaruh antara lain erosi dan
gempa bumi.29
1.6. Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian ilmiah, metode memiliki peran yang sangat
penting, karena metode memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana cara
memperoleh data dan bagaimana kemudian data tersebut diperoleh dan diolah
menjadi sebuah karya tulis ilmiah, sehingga hasil penelitan tersebut memiliki
29
http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_longsor, diakses pada tanggal
20 Agustus 2014 pada pukul 11.20 Wita.
28
dasar dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.6.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan adalah
penelitian hukum normatif. Dalam penelitan hukum ini, hukum dikonsepkan
sebagai apa yang ditulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku
manusia yang dianggap pantas.30
Karateristik utama penelitian hukum normatif
adalah sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial, karena
dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi
aturan-aturan yang bersifat normatif.31
Jenis penelitian hukum normatif dipilih dalam penulisan tesis ini, karena
beranjak dari kekosongan norma dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Hak
Tanggungan terkait hapusnya hak tanggungan karena obyek hak tanggungan
musnah akibat bencana alam. Keadaan ini menimbulkan kekosongan norma
(leemten van norm) dalam Undang-Undang Hak Tanggungan.
1.6.2 Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua)
pendekatan. Pendekatan tersebut antara lain adalah pendekatan analisis konsep
hukum (analitical and conceptual approach) dan pendekatan perundang-
undangan (the statute approach). Pendekatan analisis konsep hukum (analitical
30
Amirudin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal 118.
31
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar
Maju, Bandung, hal 86.
29
and conceptual approach) adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan
mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam ilmu hukum,
peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,
konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang
dihadapi. Pendekatan undang-undang (the statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan peraturan yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani.32
Kedua pendekatan ini digunakan agar diperoleh
hasil penelitian yang lebih akurat.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian hukum normatif sumber bahan hukum yang digunakan
bersumber dari data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari
bahan-bahan pustaka.33
Data sekunder dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari
peraturan dasar peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini digunakan
sumber hukum primer yang terdiri dari:
a) Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Staatsblad 1847 Nomor 23), terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio
32
Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), hal 93. 33
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, hal 12.
30
b) Wetboek van Koophandel voor Indonesie (Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang Staatsblad 1847 Nomor 23), terjemahan R. Subekti dan
R. Tjitrosudibio).
c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor
104 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).
d) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Juncto Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 182 Tahun 1998 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3473).
e) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 4 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3632).
f) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran
Negara Republik Indonesia, Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3833.
g) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723).
31
h) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756).
i) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5057).
j) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 Tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
337 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618).
k) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3643).
l) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3746)
m) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang dan Jasa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4330).
32
n) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Reasuransi.
o) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agraria / Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah.
p) Peraturan Bank Indonesia Nomor PBI 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 12 DPNP, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4471 DPNP).
q) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 Tentang Perlakuan Khusus
Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah Tertentu Di Indonesia Yang
Terkena Bencana Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 72 DPNP/DPBPR/DPbS, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4641 DPNP/DPBPR/DPbS).
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dapat berupa berupa
rancangan undang-undang, hasil penelitian, dan pendapat para pakar hukum.
Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku
literatur di bidang hukum perdata, hukum agraria dan lain sebagainya.
33
c) Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tertier tersebut berupa kamus
hukum dan ensiklopedia hukum.34
Bahan Hukum tertier yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kamus hukum untuk mencari definisi dari istilah-istilah
hukum, dan Kamus Umum Bahasa Indonesia untuk mencari definisi istilah-istilah
yang digunakan dalam penulisan penelitian ini.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini diperoleh melalui
pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan teknik studi pustaka dengan sistem
kartu yakni semua bahan yang diperlukan kemudian dicatat mengenai hal-hal
yang dianggap penting bagi penelitian yang digunakan.35
Sistem kartu digunakan
saat mencatat judul buku, nama pengarang buku, halaman dan materi yang
dianggap penting dan mendukung penelitian ini. Sistem kartu ini juga didukung
dengan teknik bola salju (snow ball) yaitu dengan menemukan bahan hukum
sebanyak mungkin melalui referensi dari berbagai literatur hukum.
1.6.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini diawali
dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum secara sistematis yang kemudian
dianalisis. Analisis dilakukan untuk mengetahui secara rinci permasalahan yang
ada dalam penelitian ini dengan mengambarkan apa adanya terhadap suatu
34
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar
Grafika, Jakarta, hal 23.
35
Soerjono Soekanto dan Sri Mujiati, op.cit, hal 13.
34
masalah (deskripsi), kemudian menjelaskan permasalahan yang ada (ekplanasi),
mengkaji permasalahan dengan mengkontruksi ketentuan hukum sehingga
didapatkan ketentuan norma yang mampu menyelesaikan permasalahan.
Permasalahan yang dikaji yaitu terjadinya kekosongan norma dalam Pasal 18 ayat
(1) Undang-Undang Hak Tanggungan yang tidak merumuskan kedudukan
sertipikat hak tanggungan dalam hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan
dan memberikan pendapat atas permasalahan dan hasil evaluasi tersebut
(argumentasi). Analisis tersebut dilakukan agar mendapatkan kesimpulan dan
solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini.