Upload
ngothuan
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan suatu negara kesatuan yang terdiri dari beberapa pulau
besar dan kecil yang tersebar dari Sabang sampai Merauke yang juga kaya akan
sumber daya alamnya. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik”. Mengingat Negara Indonesia memiliki banyak
pulau besar dan kecil menyebabkan Negara Indonesia terdiri dari beberapa provinsi
yang masing-masing memiliki luas wilayah dan sistem pemerintahan sendiri-sendiri.
Negara Republik Indonesia merupakan salah satu negara kesatuan yang menganut
asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya, dengan memberikan
kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah. Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, antara lain menyatakan bahwa
pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya diterapkan dengan Undang-undang.
Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak
akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat (Negara bagian)
juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan
dibagi dalam daerah yang lebih kecil, yang mana daerah-daerah tersebut bersifat
otonom. Atau dengan kata lain didaerah-daerah yang bersifat otonom atau bersifat
2
administratif belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan
Undang-undang"1. Dengan demikian, Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan
otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab
kepada daerah. Disamping itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan
dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan
serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Hal tersebut sudah dapat
mencerminkan tujuan dari pembangunan Nasional, dimana tujuan pembangunan
nasional adalah mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata
dan berkesinambungan antara material dan spiritual. Hal ini tercermin didalam alenia
ke empat Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia disusun adalah untuk
membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk mewujudkan tujuan dari Pembangunan Nasional tersebut, maka
diperlukan peningkatan dalam bidang pembangunan dan memantapkan
penyelenggaraan pemerintahan yang efektif di seluruh pelosok daerah. Sejalan
dengan itu, dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan
kedua atas Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
1 HAW Widjaja, 2005, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh.
PT Raja Grapindo Persada, Jakarta, h 11
3
dan selanjutnya disebut dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2008. Pengaturan mengenai
desa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut, dalam
pelaksanaannya belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan
masyarakat Desa yang hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh
tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan
pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat
hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan
pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah,
kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar pemikiran tersebut, pemerintah melakukan
pembaharuan terhadap pengaturan mengenai desa yang kemudian diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Pengertian mengenai desa diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dalam ketentuan pasal tersebut ditetentukan
bahwa:
Desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara
Republik Indonesia.
4
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa desa adalah merupakan
organisasi pemerintahan terendah. Sebagai suatu organisasi maka desa akan
mempunyai unsur-unsur dari suatu organisasi yaitu : adanya unsur pimpinan, unsur
pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.
Desa dikepalai oleh seorang Kepala Desa, sedangkan yang menjadi pembantu
dalam pelaksanaan tugas dari pimpinan di desa yaitu Sekretariat Desa yang terdiri
dari Sekretaris Desa dan Kepala-Kepala Urusan serta yang menjadi urusan
pelaksanaan adalah kepala dusun. Kepala desa disamping sebagai penyelenggaraan
rumah tangga desa, juga sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan.2
Kepala Desa harus dapat mengatur jalannya pemerintahan dan rumah tangga
desanya sendiri secara terkendali, berkesinambungan, adil dan inerata. Dengan
demikian dapatlah disadari bahwa betapa beratnya fungsi seorang Kepala Desa. Guna
memperlancar pelaksanaan tugas tersebut Kepala Dcsa di bantu oleh perangkat desa.
Mengingat demikian beratnya tugas dari pada Kepala Desa maka seorang Kepala
Desa harus memenuhi beberapa kriteria yang dipergunakan sebagai syarat menjadi
seorang Kepala Desa.3
Dalam rangka melaksanakan urusan-urusan itu, Kepala Desa bertanggung
2 C.S.T Kansil, 1984. Desa Kita Dalam Peraturan Tata Pemerintahan Desa, Cet 1,
Ghalia Indonesia. Jakarta.
3 Kartasapoetra, G. 1986, Desa dan Daerah Tata Pemerintahannya, PT. Bina Aksara.
Jakarta. h. 74
5
jawab kepada rakyat (Masyarakat Desa) melalui Badan Permusyawaratan Desa dan
kemudian menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya tersebut kepada
Bupati dengan tembusan kepada Camat. Badan Permusyawaratan Desa yang
selanjutnya disebut BPD adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintahan desa yang terdiri dan pemuka masyarakat yang ada di desa yang
berfungsi melestarikan adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerinntahan desa. Bertitik tolak pada hal tersebut diatas berarti
bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang kepala desa harus dapat
dikoordinasikan dahulu dengan Badan Permusyawaratan Desa dan Masyarakat Desa,
baik itu dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pembuatan Peraturan Desa dan
segala jenis kegiatan lainnya. Hal ini bertujuan agar segala tindakan yang dilakukan
dan segala bentuk dan pada keputusan dan peraturan yang dibuat atau dikeluarkan
oleh Kepala Desa tidak bertentangan dengan keinginan dan adat-istiadat di dalam
masyarakat desa. Oleh karena itu kedua lembaga dalam Pemerintahan Desa harus
dapat bekerja sama dengan sebaik-baiknya untuk depan menyelenggarakan jalannya
pemerintahan desa.4
Dari ketentuan pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
dapat dilihat bahwa Badan Permusyawaratan Desa dan Kepala Desa mempunyai
4 Dadang Solihin, 2002. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dalam Era
Reformasi, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, h 45.
6
hubungan dalam menyelenggarakan pemerintahan desa. Hubungan diartikan sebagai
"keadaan berhubungan".5 Keadaan yang berhubungan disini adalah berkaitan dengan
tata kerja, diantaranya : structural dan pertanggung jawaban. Mengenai hubungan,
dimana kata Hubungan berasal dari kata Hubung yang diartikan sebagai "jabatan,
peran, kerja, kegunaan, sekelompok pekerjaan, yang satu dengan yang lainnya ada
hubungan erat dalam pelaksanaan tugas pokok".6 Hubungan berkaitan karena jabatan.
Untuk melihat hubungan antara Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan
Desa dalam pembentukan peraturan desa lebih dalam lagi, penulis mengadakan
penelitian di Desa Peguyangan Kaja, Denpasar Utara.
Desa Peguyangan Kaja membawahi 11 Banjar yaitu Banjar Umadesa, Banjar
Pondok, Banjar Benbiyu, Banjar Denyeh, Banjar Punduh kulit, Banjar Batur, Banjar
Dualang, Banjar Saih, Banjar Gunung, Banjar Paang Tebel, Banjar Blusung. Desa
Peguyangan kaja adalah desa yang terletak di kecamatan denpasar utara, karena desa
memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat. Di dalam perjalanannya desa telah berkembang
dalam berbagai bentuk sehingga perlu di lindungi dan diberdayakan agar menjadi
kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat
dalam melaksanakan pemerintahan desa.
5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, h 358.
6 Andi Hamzah. 1986. Kamus Hukum. Ghalia Indonesia, Jakarta, h 550.
7
Sedangkan mengenai Peraturan Desa yang terdapat dalam Pasal 69 ayat 3 dan
ayat 9 Undang-undang No. 6 tahun 2014. Menyatakan bahwa Peraturan Desa di
tetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan
Permusyawaratan Desa. Dan Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan
kepada masyarakat desa.
Secara awam masyarakat desa sering diartikan sebagai masyarakat tradisional.
Masyarakat desa dalah masyarakat yang tinggal di suatu wilayah teritorial tertentu
yang di sebut desa. Masyarakat desa merupakan anggota komunitas kecil atar
individu yang bersifat kekeluargaan. Di mana di desa peguyangan kaja yang
mayoritas penduduknya berkecimpung dalam bidang pertanian, menyebabkan
masyarakat tersebut acuh dengan rancangan peraturan di desa karena mereka sibuk
dengan urusan pertaniannya. Dalam pemahaman tentang peraturan desa, masyarakat
desa tersebut kurang paham dan cenderung hanya menerima apa saja keputusan dari
desa. Dan Kurang kritisnya masyarakat terhadap perancangan peraturan desa.
Sebagai suatu Organisasi Pemerintahan terendah yang diakui oleh Undang-
Undang, Desa Peguyangan Kaja memiliki dua lembaga desa yang berperan aktif
didalam kelangsungan pemerintahan yaitu Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan
Desa sebagai unsur dari penyelenggara pemerintahan di desa. Di dalam menjalankan
kinerjanya, Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa diharapkan menjalin
hubungan yang baik dan harmonis.
Desa Peguyangan Kaja dipilih sebagai tempat penelitian karena berdasarkan
infomasi yang penulis dapatkan, desa ini tergolong kesadaran masyarakatnya masih
8
sangat rendah terhadap peraturan desa yang telah di tetapkan oleh kepala desa dan
badan permusyawaratan desa. Disamping itu juga penelitian di desa ini dimaksudkan
untuk mengetahui penerapan peraturan perundang-undang tentang desa secara
langsung terutama dalam pembentukan peraturan desa.
Peraturan Desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa,
yang dimana peraturan desa merupakan penjabaran dari perundang-undangan yang
lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial masyarakat desa setempat dan
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. Peraturan desa ditetapkan oleh
Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan ditujukan untuk
pembangunan desa agar terwujud masyarakat yang adil, makmur dan merata.
Didalam pembuatan peraturan desa, konsep-konsep atau rancangan peraturan
desa dapat diajukan oleh Kepala Desa maupun oleh Badan Permusyawaratan Desa,
hal ini dikarenakan kedua unsur pemerintahan desa ini memiliki tugas dan hak untuk
mengajukan rancangan peraturan desa dan kemudian dibahas bersama-sama didalam
rapat musyawarah desa. Setelah dibentuk dan ditetapkannya peraturan desa, haruslah
disampakian oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat sebagai bahan
pengawasan dan pembinaan, paling lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. (pasal 58
PP Rl Nomor 72 Tahun 2005).
Peraturan perundang-undangan tentang desa telah mengatur tentang hubungan
antara kepala desa dengan badan permusyawaratan desa dalam rangka pembentukan
peraturan desa. Kepala desa berhak mengajukan rancangan peraturan desa kemudian
9
membahasnya bersama Badan Permusyawaratan desa. Permasalahannya adalah
dalam prakteknya apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya. Disamping itu, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hubungan
antara kepala desa dengan badan permusyawaratan desa.
Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang
Hubungan dari dua Lembaga Desa yang sangat berperan penting didalam memajukan
kemakmuran masyarakat, yaitu Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa,
didalam melaksanakan kinerjanya untuk memajukan desa. Maka penulis memilih
judul "HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN
PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN
DESA DI DESA PEGUYANGAN KAJA, DENPASAR UTARA”
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang sudah diuraikan diatas, adapun rumusan masalah
yang akan menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana Hubungan Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan Desa
di Desa Peguyangan Kaja ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hubungan Kepala Desa dengan
Badan Permusyawaratan Desa dalam Pembentukan Peraturan Desa ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Menyadari bahwa kemampuan dan agar pembahasan tidak melebar dan agar
10
nantinya pembahasan ini tidak menyimpang dari pokok permasalahan, yang mana
perlu kiranya untuk mengadakan pembatasan terhadap ruang lingkup permasalannya,
yaitu :
a. Permasalah pertama dibahas mengenai hubungan kepala desa dengan badan
permusyawaratan desa.
b. Permasalahan kedua dibahas mengenai faktor-faktor apa yang mempengaruhi
di dalam pembentukan peraturan desa yang dibuat oleh kepala desa dengan
Badan Permusyawaratan Desa.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Skripsi ini merupakan karya asli penulis sehingga dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Untuk menunjukkan orisinalitas dari skripsi
ini, berikut penulis bandingkan perbedaannya dengan penelitian terdahulu yang
sejenis, yaitu:
Indikator Pembeda dari Penelitian :
No. Judul Penulis Penulis Permasalahan
1. Hubungan
Kepala Desa Dengan
Badan
Permusyawaratan
Desa Dalam
I Nyoman Ary
Sutrisnoputra
Fakultas
Hukum
Universitas
1. Bagaimana Hubungan Kepala Desa
Dengan Badan Permusyawaratan
Desa di Desa Peguyangan Kaja?
2. Faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi hubungan Kepala
11
Pembentukan
Peraturan Desa Di
Peguyangan Kaja,
Denpasar Utara
Udayana
Tahun
2016
Desa dengan Badan Permusyawaratan
Desa dalam Pembentukan Peraturan
Desa ?
12
2
3
Hubungan
Fungsional Antara
Kepala Desa Dengan
Badan
Permusyawaratan
Desa Dalam
Pembuatan
Peraturan Desa di
Desa Sumerta Kelod,
Kota Denpasar
Hubungan
fungsional antara
kepala desa dengan
badan
permusyawaratan
desa dalam
pembentukan
peraturan desa di
desa duda timur
kabupaten
I Wayan
Artawan
Purnata;
Fakultas
Hukum
Universitas
Udayana
Tahun 2008
I Gede Yuda
Partha
Mahendra
Fakultas
Hukum
Universitas
Udayana tahun
2015
1. Bagaimana hubungan fungsional
antara Kepala Desa dengan Badan
Permusyawaratan Desa dalam
rangka pembuatan Peraturan Desa?
2. Hambatan-hambatan apa yang
ditemui dalam pembuatan
Peraturan Desa yang dibuat oleh
Kepala Desa dengan Badan
Permusyawaratan Desa
1. Bagaimana hubungan
fungsional antara Kepala Desa
dengan Badan
Permusyawaratan desa dalam
rangka pembentukan peraturan
Desa,?
2. Hambatan-hambatan apa yang
ditemui dalam pembentukan
peraturan desa yang di buat
oleh kepala desa dengan badan
14
Walaupun ketiga penelitian tersebut memiliki persamaan membahas mengenai
Hubungan Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan Desa Dalam Pembentukan
Peraturan Desa, namun hal yang dibahas oleh penulis memiliki perbedaan dengan
skripsi pembanding. Terdapat dua perbedaan pada hal yang dibahas, perbedaan yang
pertama adalah pada tempat penelitian dari skripsi tersebut. Skripsi yang penulis buat
melakukan penelitian di Desa Peguyangan kaja Denpasar Utara. Sedangkan pada
skripsi pembanding melakukan penelitian di Desa Sumerta Kelod, Kota Denpasar,
dan di desa duda timur kabupaten karangasem. Perbedaan yang kedua pada rumusan
masalahnya berbeda antara penelitian satu dengan penelitian dua dan tiga.
pembahasan bab 2, bab 3 dan bab 4. Skripsi yang penulis buat pada bab 2 membahas
tentang tinjauan umum tentang desa, kepala desa, badan permusyawaratan desa, dan
peraturan desa. Pada bab 3 membahas tentang hubungan kepala desa dengan badan
permusyawaratan desa dalam rangka pembentukan peraturan desa. Pada bab 4
membahas tentang hambatan-hambatan yang ditemui dalam pembentukan peraturan
desa. Pada skripsi pembanding bab 2 membahas tentang tinjauan umum tentang
penyelenggaraan pemerintahan desa dan badan permusyawaratan desa. Bab 3
membahas tentang hubungan fungsional antara kepala desa dengan badan
permusyawaratan desa dalam rangka pembentukan peraturan desa. Bab 4 membahas
tentang penerapan peraturan desa di desa duda timur karangasem.
15
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.5.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah agar lebih
mengetahui secara mendalam bagaimana hubungan Kepala Desa dengan
Badan Permusyawaratan Desa dalam Pembentukan peraturan desa di desa
Peguyangan Kaja.
1.5.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui hubungan kepala desa dengan badan
permusyawaratan desa di dalam mekanisme Pembentukan Peraturan
Desa.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
Hubungan Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa di
dalam membentuk peraturan desa tersebut.
1.6 Manfaat Hasil Penelitian
1.6.1. Manfaat teoritis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam aspek
16
teoritis (keilmuan). Hasil penelitian skripsi yang dibuat untuk memperoleh
gelar sarjana pada fakultas hukum universitas udayana dapat dijadikan
sebagai bahan lampiran lembaga fakultas hukum universitas udayana dan
sebagai refrensi pada perpustakaan.
1.6.2 Manfaat Praktis
1.6.2.1 Manfaat bagi masyarakat dari Penelitian ini diharapkan dapat
memberi pemahaman kepada masyarakat tentang pembuatan
peraturan desa dan memberi pemahaman tentang hubungan kepala
desa dengan badan permusyawaratan desa dalam pembentukan
peraturan desa.
1.6.2.2 Manfaat bagi penulis dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman tentang hubungan Antara kepala desa
dengan badan permusyawaratan desa dalam pembentukan
peraturan desa serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi dalam pembentukan peraturan desa yang dibuat
oleh kepala desa dengan badan permusyawaratan desa.
1.7 Landasan Teoritis
Sebelum membahas permasalahan dalam skripsi ini secara mendalam, maka
terlebih dahulu akan diuraikan beberapa teori, asas-asas, atau landasan-landasan yang
dimungkinkan untuk menunjang pembahasan permasalahan yang ada. Dengan
adanya teori-teori yang menunjang, diharapkan dapat memperkuat, memperjelas dan
17
mendukung untuk menyelesaikan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian
ini.
1.7.1 Teori Negara Hukum
Secara embriotik, gagasan Negara Hukum telah dikemukakan oleh
Plato, ketika ia menulis Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di
usia tuanya, sementara dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Politicos,
belum muncul istilah Negara, hukum7.Negara Indonesia adalah negara
yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) bukan negara yang berdasarkan
atas kekuasaan belaka (machtstaaf). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa
"negara Indonesia adalah Negara Hukum". Negara Hukum harus
memenuhi dua persyaratan yaitu supremacy before the law artinya hukum
diberikan kedudukan tertinggi, berkuasa penuh dalam suatu negara dan
rakyat. Syarat kedua adalah equality before the law artinya semua orang
pejabat pemerintahan maupun masyarakat biasa adalah sama statusnya atau
kedudukannya didalam hukum.8
Sifat Negara Hukum ini hanya dapat ditunjukkan jika alat-alat
perlengkapannya bertindak menurut peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh lembaga pemerintahan yang berwenang dan sesuai dengan
asas legalitas. Frans Magnis Susena mengemukakan ciri-ciri Negara
7 Rindwan HR. 2011, Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal..2
8 C.S.T. Kansil, 2000, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal.88
18
Hukum sebagai berikut:
1. Asas legalitas.
2. Kebebasan/kemandirian kekuasaan kehakiman.
3. Perlindungan hak asasi manusia.
4. Sistem konstitusi/hak dasar.9
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan
sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan
di setiap Negara Hukum terutama bagi Negara-Negara Hukum dalam
sistem Kontinental10
. Istilah asas legalitas juga dikenal dalam Hukum
Pidana; nullum delictum sine praevia lage poenali (tidak ada hukuman
tanpa undang-undang), kemudian asas legalitas ini digunakan dalam
bidang Hukum Administrasi Negara yang memiliki makna, "dat het
bestuur aan de wet is onderworpen " (bahwa pemerintah tunduk kepada
undang-undang) atau "het legaliteitsbeginsel houdt in dat alle (algcmene)
de burgers bindende bepalingen op de wet moeten berusten" (asas legalitas
menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat warha Negara harus
didasarkan pada undang-undang)11
. Asas legalitas ini merupakan prinsip
Negara Hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan "het beginsel
9 Frans Magnis Suseno, 1978, Dasar-Dasar limn Politik. PT. Bumi Aksara, Jakarta, hal.34
10 Rindwan HR, op.cit, hal. 90.
11 Rindwan HR. loc.cit
19
van wetmatigheid van bestuur" yakni prinsip keabsahan pemerintah.12
Asas Negara Hukum menggambarkan bahwa dalam suatu Negara
Hukum haruslah membuat undang-undang untuk dapat mengikat
masyarakat karena tanpa undang-undang suatu Negara Hukum tidak bisa
mengikat masyarakatnya sendiri.
1.7.2 Teori Negara Kesatuan
Negara kesatuan disebut juga dengan uniterisme atau eenheistaat,
ialah suatu Negara yang merdeka dan berdaulat, di mana di seluruh Negara
yang berkuasa hanyalah satu pemerintah (pusat) yang mengatur seluruh
daerah, jadi tidak terdiri dari beberapa daerah yang berstatus Negara bagian
(deelstaaf) atau Negara dalam Negara. Dengan demikian, dalam Negara
kesatuan hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintah pusat yang
mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang
pemerintahan Negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan
melaksanakan pemerintahan Negara baik di pusat maupun di daerah-
daerah, di dalam maupun di luar negeri.13
Negara kesatuan mewujudkan kebulatan tunggal, mewujudkan
kesatuan, unity, dan yang monosentris berpusat satu. Beberapa macam
12
Rindwan HR. loc.cit 13 Titik Triwulan Tutik, 2008, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 19451, Kharisma Putra Utama, Jakarta, h. 144
20
Negara kesatuan, antara lain: pertama, Negara kesatuan dengan system
sentralisasi, di mana segala urusan diatur oleh pemerintah pusat.
Sedangkan pemerintahan daerah tidak mempunyai hak untuk mengurus
sendiri daerahnya, pemerintah daerah tinggal melaksanakan. Contoh:
Jerman dibawah Hitler. Kedua, Negara kesatuan dengan system
desentralisasi (gedecentraliseerde eenheidsstaaf), di mana kepada daerah-
daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah
tangganya sendiri (otonomi daerah) yang di namakan daerah swatantra
(otonomi) tingkat 1 (Daswati I atau Pemprov) dan Daswati II atau
pemkot/pemkab.14
1.7.3 Teori Kewenangan
Setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus
memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-
undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang.15
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kewenangan mengandung
arti: (1) hal wewenang, dan (2) hak dan kekuasaan yang dimiliki untuk
memiliki sesuatu. Sedangkan kata wewenang mengandung arti: (1) hak dan
kekuasaan untuk bertindak; kewenangan, (2) kekuasaan membuat
keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang
14
Ibid,h.145 15 Ridwan HR, op.cit, h. 100.
21
lain.16
Wewenang menurut H.D. Stout mengatakan bahwa wewenang
adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintah, yang
dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan
perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum
publik di dalam hubungan hukum publik.17
Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan konsep inti dari
hukum tata negara dan hukum administrasi negara.18
Tanpa adanya
kewenangan yang dimiliki, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan atau tindakan pemerintah.
Menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan dengan kewenangan, yakni
fungsi pembuat kebijakan (policy marking) yaitu kekuasaan yang
menentukan tugas (taakstelling) dari alat pemerintah atau kekuasaan yang
menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy
exsecuting) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik
negara yang telah ditentukan (verwezeblikking van de taak).19
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk
16
Balai Pustaka, 1989, Kamus Besar Indonesia, Depdikbud, Jakarta, h. 1010 17 Ibid,h. 101.
18 H.M. Arief Muljadi, 2005, Landascm dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara
Kesatuan Rcpublik Indonesia, Prestasi Pustaka, h. 61 19
Viktor Situmorang. 1989, Dasar-Dasar Hukum Admnistrasi Negara. Bima Aksara, Jakarta,
h. 30
22
berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak
dan kewajiban (rechten en plichten)20
. Wewenang merupakan bagian yang
sangat penting dan bagian awal dari hukum administrasi, karena
pemerintahan (administrasi) baru dapat menjalankan fungsinya adalah atas
dasar wewenang yang diperolehnya, artinya keabsahan tindak
pemerintahan atas dasar wewenang yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan (legalitiet beginselen).21
Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi,
delegasi dan mandat.22
Teori kewenangan menurut H.D. Van Wijk/Willem
Konijnenbelt meliputi atribusi, delegasi dan mandat yang didefinisikan
sebagai berikut:
a. Attributie: toekening van een bestuursbevoegheid door een wetgever
aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan).
b. Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan
aan een under, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan
dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya),
c. Mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namcns hem
20
Ridwan HR,op.cit,h.102 21
Nomensen Sinamo. 2010, Hukum Administrasi Negara. Jala Pcrmata Akasara, Jakarta,h.87
22
Ridwan HR.op.cit.,h.103
23
uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan
mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas
namanya).23
Menurut Indroharto, terdapat tiga sifat wewenang pemerintahan
yaitu:
1. Wewenang pemerintahan yang bersifat terikat, yakni terjadi apabila
peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang
bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya
sedikit banyak menentukan tentang isi dari keputusan yang harus
diambil.
2. Wewenang fakultatif terdapat dalam hal badan atau pejabat tata usaha
negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau
sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat
dilakukan dalam hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana
ditentukan dalam peraturan dasarnya.
3. Wewenang bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasamya member!
kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk
menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan
dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup
kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.24
23
Ibid, h.104 24
Ibid, h.111
24
1.8 Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dalam uraian diatas maka dapat ditarik jawaban
sementara dari permasalahan yang diangkat. Dalam hipotesis ini bukan merupakan
jawaban yang sebenarnya untuk menjawab pennasalahan yang diangkat, akan tetapi
harus terlebih dahulu dilakukan penelitian dan pengujian mengenai kebenarannya
melalui suatu penelitian yang berdasarkan data-data yang kemudian dianalisa.
Barulah analisa tersebut dapat diyakini kebenarannya.
Adapun Hipotesis dari permasalahan tersebut adalah :
1. Hubungan kerja dapat berlangsung apabila dalam pembentukan peraturan desa,
kepala desa dan badan permusyawaratan desa telah membahas dan menyepakati
peraturan yang akan dibentuk.
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dalam Pembentukan Peraturan Desa
yang dibuat oleh Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa yaitu:
1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada
Undang- undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
25
karsa manusia di dalam pergaulan hidup25
1.9 Metode Penelitian
1.9.1. Jenis Penelitian
Pengkajian dalam penulisan Skripsi ini termasuk penelitian hukum
empiris. Artinya, penelitian hukum tersebut dalam penulisannya mengkonsepkan
hukum sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan
nyata.26
Dalam konteks ini, sesuatu yang disebutkan sebagai hukum tidak
semata-mata ditimbulkan dan didasarkan dari literatur-literatur hukum, namun
sebagai suatu yang ditimbulkan dari keadaan masyarakat atau proses di dalam
masyarakat berdasarkan suatu gejala yang akan menimbulkan berbagai efek
dalam kehidupan sosial dengan merumuskan kesenjangan antara das sein dan
das solen, yaitu kesenjangan antara teori dengan realita atau fakta hukum.
1.9.2. Jenis pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan fakta (The Fact
Approach). Pendekatan peraturan perundang-undangann (The Statute Approach)
25 Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto 1), h.8.
26 Nomense Sinamo. 2009. Metode Penelitian Hukum. PT Bumi Jntitama Sejahtera,
Jakarta, h.59.
26
yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.27
Sedangkan
pendekatan fakta adalah pendekatan yang melihat langsung
dilapangan/masyarakat berdasarkan fakta yang ada dalam pelaksanaan Peraturan
Daerah Kota Denpasar Tentang Pembentukan Badan Permusyawaratan Desa
tentang tata cara menjadi anggota, kedudukan dan susunan, rapat , Fungsi /dan
wewenang, pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa. Sesuai
dengan pendekatan peraturan perundang-undangan yang selanjutnya diikuti oleh
konsep-konsep yang berkaitan dengan penelitian ini.
1.9.3. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam penulisan ini adalah bersifat deskriptif. Penelitian
deskriptif pada penelitian secara umum, termasuk pula didalamnya penelitian
ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,
keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran
suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala
dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam penelitian ini teori-teori, ketentuan
peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur
maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada dan
bahkan jumlahnya cukup memadai.
1.9.4. SumberData
Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu
data primer dan data sekunder, yaitu:
27
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, hal. 97.
27
a. Data primer adalah data-data yang diperoleh langsung dalam penelitian
dilapangan.
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari data kepustakaan (Library
research) yaitu dimana data-data atau bahan penulisan ini diperoleh dari
literatur-literatur dan peraturan Perundang-undangan yang ada kaitannya
dengan masalah.28
Bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
Adapun bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas
(autoritatif) yang terdiri dari (a) peraturan perundang-undangan, (b) catatan-
catatan resmi atau risalah pembuatan suatu peraturan perundang-undangan,
dan (c) putusan hakim29
. Adapun bahan-bahan hukum yang digunakan adalah:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (ULID) Tahun 1945;
b) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah;
c) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
d) Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa;
28
Burhan Ashshofa. 2001, Metode Penelitian Hukum, Rhineka Cipta, Jakarta, hal 103 29
H. Zainuddin Ali, 2009.Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,hal. 47.
28
e) Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa;
f) Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 Tentang Desa
g) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 4 Tahun 2007
tentang Pembentukan Badan Permusyawaratan Desa;
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,
atau pendapat pakar hukum.30
Adapun bahan hukum sekunder yang
digunakan adalah:
a) Berupa Literatur-literatur yang memuat mengenai pandangan dari
beberapa ahli;
b) Bahan-bahan internet yang mendukung.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus (hukum), ensiklopiedia.31
Adapun bahan hukum tersier yang digunakan
adalah :
a. Kamus Hukum;
b. Kamus Besar Bahasa Indonesia
1.9.5 Teknik Pengumpulan data
Dalam penelitian studi empiris ada beberapa teknik-teknik mengumpulkan
30
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h 32. 31
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, loc. cit
29
data yaitu :
a. Teknik Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum
(baik normatif maupun empiris)
b. Teknik wawancara (interview)
Menurut M Mochtar, teknik wawancara adalah teknik atau metode
memperoleh informasi untuk tujuan penelitian dengan cara melakukan tanya
jawab secara langsung (tatap muka), antara pewawancara dengan responden.32
c. Teknik Observasi/pengamatan
Teknik observasi dibedakan menjadi dua yaitu teknik observasi langsung dan
teknik observasi tidak langsung. Yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik observasi langsung dimana dalam pengumpulan data peneliti
mengadakan pengamatan langsung atau tanpa alat terhadap gejala-gejala
subjek yang diselidiki baik pengamatan dilakukan dalam situasi buatan, yang
khusus diadakan.
1.9.6 Pengolahan dan analisis data
Apabila seluruh data yang diperoleh melalui studi kepustakaan atau dengan
wawancara, kemudian data diolah dan dianalisis secara kualitatif yaitu dengan
menghubungkan antara data yang ada yang berkaitan dengan pembahasan dan
selanjutnya disajikan secara deskriptif analisis.
32 M, Mochtar, 1998, Pengantar Metodelogi Penelitian, Sinar Karya Darma jakarta,hal.78.