Upload
hakhanh
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan kebutuhan dasar dalam pelaksanaan kegiatan produktif
manusia, baik sebagai wadahnya maupunsebagai faktor produksi. Oleh karena itu
jelaslah bahwa pencatatan yang sistematis dari tanah dan hak hak atas tanah
merupakan hal yang sangat penting baik bagi administrasi Negara maupun bagi
perencanakan dan pengembangan pembangunan tanah itu sendiri, sertabagi
kepastian hukum dalam peralihan, pemindahan atau pembebanan hak atas tanah.
Kaitan dengan hal ini Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 menyebutkan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam rangka kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4)
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 adalah permukaan
bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.
Permukaan bumi menurut Pasal 4 ayat (1) Udang-undang Pokok Agraria
(UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 adalah tanah. Tanah adalah suatu hak milik yang
sangat berharga bagi umat manusia, demikian pula untuk bangsa Indonesia, bagi
orang Indonesia tanah merupakan masalah yang paling pokok, dapat di konstatir
dari banyaknya perkara perdata maupun pidana yang diajukan kepengadilan yaitu
berkisar sengketa mengenai tanah. Sengketa tanah tersebut antara lain
menyangkut sengketa warisan, utang-piutang dengan tanah sebagai jaminan,
2
sengketa tata usaha negara penerbitan sertifikat tanah, serta perbuatan melawan
hukum lainnya. Berdasarkan banyaknya perkara yang menyangkut tanah, dapat di
lihat bahwa tanah memegang peranan sentral dalam kehidupan dan perekonomian
negara.1
Dalam pengelolaan bidang pertanahan, terutama dalam kegiatan
pendaftaran tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT),
mempunyai peran yang begitu penting, karena PPAT merupakan pejabat umum
yang menjadi mitra instansi BPN guna membantu menguatkan/mengukuhkan
setiap perbuatan hukum atas bidang tanah yang dilakukan oleh subyek hak yang
bersangkutan yang dituangkan dalam suatu akta otentik. Selain itu, untuk
melaksanakan tugas pokok sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (selanjutnya disebut PP Nomor 37 Tahun 1998), seorang PPAT
mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan
hukum, sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan
hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998, bahwa tugas
pokok PPAT adalah:
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan
membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang
akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah
yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut :
1Maria. S.W. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan Antara regulasi dan
Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 35.
3
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan;
h. pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, PPAT mempunyai
kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum
mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di
dalam daerah kerjanya. Menurut penjelasan Pasal 3 PP Nomor 37 Tahun 1998,
bahwa PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan
sebagai akta otentik. Selanjutnya menurut penjelasan Pasal 4, bahwa kecuali ada
ketentuan lain, maka apabila seorang PPAT melakukan pelanggaran dengan
membuat akta di luar daerah kerjanya, akta yang dibuatnya adalah tidak sah dan
tidak dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran. Khusus bagi sebidang tanah atau
satuan rumah susun yang tidak semuanya terletak dalam daerah kerja seorang
PPAT, maka dalam hal pembuatan akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam
perusahaan dan akta pemberian hak bersama, dapat dibuat oleh PPAT yang daerah
kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya
menjadi objek perbuatan hukum dalam akta.
Secara normatif, PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang
untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan
dasar pendaftarannya (Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 jo. Pasal 1
4
angka 24, PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Apabila dilihat, ada
beberapa ketentuan yang mengatur tentang PPAT, yakni :
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dalam Pasal 1
angka 4 menyebutkan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya
disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk
membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas
tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ,
dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Peralihan hak
atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya
dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT
yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah;
4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Melihat wilayah Indonesia yang demikian luas, diperlukan banyak PPAT
dengan lingkup/wilayah kerja masing-masing. Untuk melayani masyarakat dalam
5
pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk
melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu,
Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat sebagai PPAT Sementara atau PPAT
Khusus. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 disebutkan
ada 3 (tiga) macam PPAT, yaitu :
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (umum) adalah pejabat umum yang
diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun.
2. Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara adalah pejabat pemerintah yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat
Akta Tanah dengan membuat akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
3. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah Pejabat Badan, melaksanakan
tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat Akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah tertentu khususnya dalam rangka pelaksanaan
program atau tugas pemerintah tertentu.
Dengan demikian, menurut Pasal 1 PP Nomor 37 Tahun 1998, kategori
PPAT dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu :
1. PPAT biasa, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani masyarakat dalam
pembuatan akta, yang memenuhi syarat tertentu (dapat merangkap sebagai
Notaris, konsultan atau penasehat hukum).
2. PPAT sementara, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan
akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT (Camat atau Kepala
Desa).
6
3. PPAT khusus, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan akta
tertentu atau untuk golongan masyarakat tertentu (Kepala Kantor
Pertanahan).
Pasal 1 angka 24 PP 24 Tahun 1997 menyebutkan definisi dari Pejabat
Pembuat Akta Tanah, yaitu pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
membuat akta- akta tanah tertentu. Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud
PPAT adalah suatu jabatan (ambt) dalam tata susunan hukum agraria nasional
kita, khususnya hukum yang mengatur pendaftaran tanah. Dapat diartikan juga
“orang” yang menjabat jabatan tersebut. Berdasarkan pengertian di dalam PP
Nomor 24 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998, dapat disimpulkan bahwa,
PPAT adalah “Pejabat Umum“.2 Menurut Effendi Peranginangin, Pejabat Umum
adalah orang yang diangkat oleh instansi yang berwenang dengan tugas melayani
masyarakat\umum di bidang kegiatan tertentu. Kegiatan tertentu yang dimaksud
di atas diantaranya untuk membuat Akta.3
Peralihan hak atas tanah, baik karena jual-beli, maupun karena hal-hal
lain, peran PPAT sangat penting. Dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1996 tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud beralih dan
dialihkan.
Besarnya peran PPAT, juga dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3)
huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yang menyebutkan bahwa :
“Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah
2 Boedi Harsono, 2002, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan
Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, hal. 44. 3 Efendi Perangin-angin, 1994, Hukum Agraria di Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 62.
7
atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-
pejabat dibawah ini sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara atau
Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus : “Camat atau Kepala Desa untuk
melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat
Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara”.
Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) huruf a PP Nomor 37 Tahun 1998,
tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah disebutkan, bahwa “karena fungsinya di
bidang pendaftaran tanah yang penting bagi masyarakat yang memerlukan, maka
fungsi tersebut harus dilaksanakan di seluruh wilayah Negara. Oleh karena itu di
wilayah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat perlu
ditunjuk sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi tersebut.
Daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah
Daerah yang jumlah Pejabat Pembuat Akta Tanah-nya belum memenuhi formasi
yang ditetapkan Menteri sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
Didaerah yang sudah cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah dan merupakan
daerah tertutup untuk pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah baru, Camat
yang baru tidak lagi ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah sementara.
Dari pertimbangan untuk memenuhi pelayanan kepada masyarakat di
daerah-daerah tepencil, yang masyarakat akan merasakan kesulitan apabila harus
pergi ke kantor Kecamatan untuk melaksanakan transaksi mengenai tanahnya,
Menteri juga dapat menunjuk Kepala Desa untuk melaksanakan Tugas Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
Isu hukum yang timbul dalam hal pembuatan akta tanah oleh Camat pada
umumnya disebabkan oleh kondisi diri pribadi dari Camat itu sendiri, seperti
misalnya seringnya Camat melakukan kesalahan dan Camat kurang menguasai
8
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesalahan-kesalahan yang sering
dibuat oleh Camat antara lain tidak melakukan pengecekan sertipikat asli di
Kantor Pertanahan dan kesalahan dalam pembuatan bagian-bagian akta dalam
formulir akta otentik yang seringkali tidak sesuai dan menyalahi ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 maupun Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998. kesalahan-kesalahan yang dilakukan Camat ini dapat
menimbulkan akibat hukum yang merugikan para pihak. Oleh karena itu
kemungkinan Camat melakukan kesalahan dan kelalaian masih tetap terbuka,
meskipun Camat yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan telah
berpraktek sebagai PPAT.
Ketidaktelitian Camat dalam melakukan pencatatan transaksi atas tanah
sehingga dikhawatirkan terbitnya akta jual beli ganda terhadap satu objek (bidang
tanah) yang sama. Hal ini disebabkan karena administrasi pertanahan yang ada
pada kantor kecamatan kurang lengkap. Selain itu juga camat yang belum
menguasai peraturan-peraturan yang terkait dengan PPAT. Oleh karena itu
keberadaan Camat sebagai PPAT Sementara perlu ditinjau kembali.
Pasal 5 ayat (3) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang mengamanatkan
penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara, tidak memberi penjelasan mengenai
kata “sementara” dan juga tidak menyebut “sementara”-nya itu sampai kapan. Hal
ini menunjukan adanya norma kosong dalam penunjukan Camat sebagai PPAT
Sementara.
Berdasarkan hal tersebut, mengingat output pendidikan magister
kenotariatan semakin banyak di Indonesia, maka sebagai solusinya Camat tidak
lagi ditunjuk sebagai PPAT Sementara. Hal itu bisa dilakukan dengan cara
9
memberikan penugasan wajib bagi lulusan magister kenotariatan, sebagai halnya
wajib tugas bagi dokter, untuk ditugaskan di daerah-daerah terpencil di seluruh
Indonesia. Melalui cara ini dengan sendirinya Camat tidak lagi dibutuhkan
sebagai PPAT Sementara.
Berdasarkan paparan tersebut, menjadi sangatlah menarik untuk dikaji
tentang : “KEDUDUKAN HUKUM AKTA TANAH YANG DIBUAT OLEH
CAMAT”
Penelitian tentang “Kedudukan Hukum Akta Tanah yang dibuat oleh
Camat” ini merupakan penelitian baru, yang belum pernah diteliti oleh peneliti
lain. Keaslian (originalitas) penelitian ini, dapat dilihat dari beberapa hasil
penelitian sebelumnya, yang walaupun membahas tentang Camat sebagai Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT), namun hasil dari pembahasannya berbeda dengan
penelitian ini. Penelitian-penelitian dimaksud adalah :
1. Tesis yang ditulis oleh Didik Ariyanto, dengan judul : “Pelaksanaan
Fungsi dan Kedudukan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
Sementara di Kabupaten Grobogan” sebagai tugas akhir studi pada
Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro (2006). Adapun
rumusan masalah yang diangkat adalah :
a. Bagaimanakah Penerapan Tugas Camat sebagai PPAT Sementara di
Kabupaten Grobogan ditinjau dari persfektif fungsi dan kedudukannya
dalam era otonomi daerah.
b. Bagaimanakah pelaksanaan pengaturan dilapangan fungsi dan
kedudukan PPAT antara Camat sebagai PPAT Sementara dan
Notaris/PPAT di Kabupaten Grobogan
10
Berdasarkan kajian dan analisanya, dipaparkan hasil penelitiannya sebagai
berikut :
a. Pelaksanaan fungsi dan kedudukan Camat sebagai PPAT Sementara
dalam era otonomi daerah ditemukan banyak sekali penyimpangan-
penyimpangan yang dilakukan oleh Camat sebagai PPAT Sementara,
kemudian Peranan Kantor Pertanahan Kabupaten Grobogan yang
lemah, serta sikap Notaris/PPAT yang terkesan menutup mata terhadap
penyimpangan-penyimpangn yang dilakukan oleh Camat sebagai PPAT
Sementara sehingga mengakibatkan masyarakat dalam memandang
penyimpangan-penyimpangan tersebut dibenarkan yang berakibatkan
terjadinya ketidakpastian hukum terhadap suatu perbuatan hukum
dihadapan Camat sebagai PPAT Sementara
b. Pelaksanaan Pengaturan dilapangan fungsi dan kedudukan PPAT antara
Camat sebagai PPAT Sementara dan Notaris/PPAT di Kabupaten
Grobogan, dari segi aturan berbeda, dan dalam pelaksanaan di lapangan
juga ada perbedaan.
2. Tesis dari Yulia Rumanti dengan judul : “Peranan Camat Sebagai Pejabat
Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara”
sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro (2010). Rumusan masalah dari penelitian tersebut adalah :
a. Mengapa Camat di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow tidak
semuanya menjadi PPAT Sementara ?
11
b. Bagaimanakah peran Camat yang ditunjuk sebagai PPAT Sementara
dalam proses Pendaftaran Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow
propinsi Sulawesi Utara ?
c. Apakah kendala-kendala yang dihadapi Camat sebagai Pejabat
Pembuat Akta Tanah Sementara dalam Proses Pendaftaran Tanah di
Kabupaten Bolaang Mongondow propinsi Sulawesi Utara?
Hasil Penelitian dari tesis tersebut, secara ringkas, yaitu :
a. Tidak semua Camat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Sementara, disebabkan karena faktor : 1) sistem birokrasi dan
pelayanan publik di Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih
bermasalah, seperti pungutan liar; 2) banyak calo dan pengguna jasa
yang bebas keluar masuk kantor BPN; dan 3) Tidak hanya kasus
percaloan, masih ada kasus pemerasan yang melibatkan oknum di BPN
yang telah melakukan permintaan uang terhadap Camat yang
mengajukan permohonan untuk menjadi PPAT Sementara.
b. Peran Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara
di Kabupaten Bolaang Mongondow masih sangat dibutuhkan
keberadaannya. Selain karena formasi Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) Notaris masih belum terpenuhi juga karena luasnya daerah di
Kabupaten Bolaang Mongondow. Dengan diangkatnya Camat Sebagai
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara maka perannya
sejajar dan sama dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Notaris,
sehingga semua aturan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
12
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah, harus berlaku juga terhadap Camat, misalnya dalam hal
pemasangan papan nama, pembuatan akta, laporan bulanan dan
penyampaian akta ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bolaang
Mongondow.
c. Kendala seorang Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Sementara di Kabupaten Bolaang Mongondow dalam menjalankan
peran dan fungsinya adalah kurangnya pengetahuan tentang masalah
tanah. Tingkat pendidikan yang tidak berhubungan dengan Camat
Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara menyebabkan
pelayanan kepada masyarakat umumnya di bidang pertanahan dan
khususnya tentang pendaftaran tanah kurang maksimal sehingga
memungkinkan timbulnya masalah-masalah baru dan timbulnya
penyimpangan-penyimpangan dalam proses pendaftaran tanah
3. Tesis ditulis oleh Ni Made Asri Asti, dengan judul : “Wewenang Camat
Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara dalam
Pembuatan Akta Peralihan Hak Atas Tanah” sebagai tugas akhir studi
pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana (2014).
Rumusan masalah yang diangkat adalah :
a. bagaimanakah kewenangan Camat sebagai PPAT Sementara dalam
membuat akta peralihan hak atas tanah.
b. bagaimanakah tanggung jawab Camat sebagai PPAT Sementara atas
akta peralihan hak atas tanah yang dibuatnya.
13
Uraian ringkas hasil penelitian dari tesis tersebut adalah :
a. Camat sebagai PPAT sementara mengandung konsekuensi hukum
pada wewenangnya selaku pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik menjadi tidak terpenuhi.
b. Tanggung jawab Camat apabila akta yang dibuatnya menimbulkan
akibat hukum yang menyebabkan kebatalan akta tersebut berupa batal
demi hukum atau dapat dibatalkan adalah tanggung jawab pribadi
(fautes personalles). Dimana apabila Camat tersebut dapat dibuktikan
telah melakukan perbuatan hukum yang merugikan para pihak akan
dikenakan sanksi perdata.
Ketiga karya tulis dalam bentuk tesis sebagai tugas akhir studi Program
Magister kenotariatan tentang Camat sebagai PPAT, penelitian yang pertama dan
kedua tidak menyentuh sama sekali masalah kewenangan, sedangkan penelitian
yang ketiga membahas tentang kewenangan namun tidak mempermasalahkan
tentang keabsahan kewenangan Camat selaku PPAT serta akibat hukum dari akta
yang dibuat oleh Camat selaku PPAT. Hal ini dapat dilihat dari rumusan
masalahnya berbeda dengan rumusan masalah yang akan dikaji dalam proposal
ini. Tesis yang ditulis oleh Ni Made Asri Asti yang berjudul: “Wewenang Camat
Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara dalam Pembuatan Akta
Peralihan Hak Atas Tanah” sebagai tugas akhir studi pada Program Magister
Kenotariatan Universitas Udayana (2014), pembahasannya lebih terfokus pada
kajian dari keotentikan akta sesuai dengan ketentuan Pasal 1868 BW serta
pertanggungjawaban pribadi (fautes personalles). Dua permasalahan dalam
14
proposal ini, tinjauannya lebih banyak dalam ranah hukum administrasi, yaitu : 1)
keabsahan wewenang; dan 2) akibat hukum dari akta yang dibuat tidak sesuai
dengan keotentikannya. Dengan demikian, 2 (dua) permasalahan dalam proposal
ini, berbeda dari ketiga karya tulis dalam bentuk tesis tersebut di atas.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang permasalahan sebagaimana telah
diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai
PPAT Sementara?
2. Bagaimanakah akibat hukum dari akta tanah yang dibuat oleh Camat
sebagai PPAT Sementara?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini berhubungan dengan paradigma science is proces
dan paradigma science is product, yang selanjutnya dapat diidentifikasi tujuan
dimaksud sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah dalam kerangka pengembangan
konsep, asas dan teori tentang hukum pertanahan umumnya dan peralihan hak atas
tanah dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan hukum akta tanah yang
dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara.
15
2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari akta tanah yang
dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian tentang “Kedudukan Hukum Akta Tanah yang dibuat oleh
Camat” ini diharapkan mampu memberikan kontribusi, dalam artian sebagai
sumbangan pemikiran, baik untuk tujuan teoritis maupun untuk tujuan praktis.
Manfaat hasil penelitian penelitian dimaksud, dapat dijabarkan sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat Teoritis
Pengembangan teori, konsep dan doktrin hukum pertanahan pada
umumnya dan peralihan hak atas tanah berdasarkan akta yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT).
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai acuan dalam
penyelesaian masalah pertanahan, terutama dalam peralihan hak atas tanah
melalui akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
1.5 Landasan Teoritis
1.5.1 Konsep Negara Hukum
Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan
berkembang seiring dengan perkembangan sejarah manusia, oleh karena itu,
meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, namun pada
tataran implementasi ternyata dipengaruhi oleh karaktaristik negara dan
manusianya yang beragam. Hal ini dapat terjadi, disamping pengaruh falsafah
16
bangsa, ideologi negara dan lain-lain, juga karena adanya pengaruh perkembangan
sejarah manusia. Atas dasar itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum
muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut konsep Eropa
Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo
Saxon (rule of law), konsep socialist legality dan konsep negara hukum
Pancasila. Konsep-konsep negara hukum ini memiliki dinamika dan sejarahnya
masing-masing.
Negara berdasarkan hukum ditandai oleh beberapa asas, antara lain asas
bahwa semua perbuatan atau tindakan pemerintahan atau negara harus didasarkan
pada ketentuan hukum tertentu yang sudah ada sebelum perbuatan atau tindakan
itu dilakukan. Campur tangan atas hak dan kebebasan seseorang atau kelompok
masyarakat hanya dapat dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu.
Asas ini lazim disebut asas legalitas (legaliteits beginsel). Untuk memungkinkan
kepastian perwujudan asas legalitas ini, harus dibuat berbagai peraturan hukum
antara lain Peraturan Perundang-undangan.
Ide dasar negara hukum Indonesia tidak terlepas dari ide dasar tentang
rechtstaats. Hal ini dapat dimengerti dalam banyak hal, antara lain Indonesia
merupakan negara yang mengikuti Belanda dan menganut ide rechtstaats,4
Terkait dengan asas dalam negara hukum, Prajudi Atmosudirdjo menyebutkan
asas pokok negara hukum ada tiga, yakni : 1) asas monopoli paksa
(zwangmonopoli); 2) asas persetujuan rakyat; dan 3) asas persekutuan hukum
(rechtsgemeenschap). Selanjutnya asas pokok negara hukum dimaksud, dijelaskan
sebagai berikut :
4Philipus M. Hadjon, 1972, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi
Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum
dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 1
17
1. Asas monopoli paksa berarti, bahwa: monopoli penggunaan kekuasaan
negara dan monopoli penggunaan paksaan untuk membuat orang
mentaati apa yang menjadi keputusan penguasa negara hanya berada di
tangan pejabat penguasa negara yang berwenang dan berwajib untuk
itu. Siapapun yang lain dari yang berwenang/berwajib dilarang, artinya
barang siapa melakukan penggunaan kekuasaan negara dan
menggunakan paksaan tanpa wewenang seperti dimaksud di atas
disebut „main hakim sendiri‟.
2. Asas persetujuan Rakyat berarti, bahwa orang (warga masyarakat)
hanya wajib tunduk dan dapat dipaksa untuk tunduk, kepada peraturan
yang diciptakan secara sah dengan persetujuan langsung (undang-
undang formal), atau tidak langsung (legislasi delegatif, peraturan atas
kuasa Undang-undang) dari Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya,
apabila ada peraturan (misalnya: mengadakan pungutan pembayaran
atau “sumbangan wajib”) yang tidak diperintahkan atau dikuasakan
oleh undang-undang, maka peraturan itu tidak sah, dan Hakim
Pengadilan wajib membebaskan setiap orang yang dituntut oleh karena
tidak mau mentaatinya, dan apabila Pejabat memaksakan peraturan
tersebut, maka ia dapat dituntut sebagai penyalahgunaan kekuasaan
negara, minimal digugat sebagai perkara “perbuatan penguasa yang
melawan hukum”.
3. Asas persekutuan hukum berarti, bahwa rakyat dan penguasa negara
bersama-sama merupakan suatu persekutuan hukum
(rechtsgemeenschap, legal partnership), sehingga para pejabat
penguasa negara dalam menjalankan tugas dan fungsi, serta
menggunakan kekuasaan negara, mereka tunduk kepada hukum (sama
dengan rakyat/warga masyarakat). Berarti baik para pejabat penguasa
negara maupun para warga masyarakat berada di bawah dan tunduk
kepada hukum (undang-undang) yang sama.5
Syarat-syarat dasar rechtsstaat yang dikemukakan oleh Burkens, dalam
tulisannya tentang Ide Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
adalah:
1) Asas legalitas, setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar
Peraturan Perundang-undangan (wetterlijke-grondslag). Dengan
landasan ini Undang-undang formal dan Undang-Undang Dasar
sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam
hubungan ini pembentuk undang-undang merupakan bagian penting
negara hukum;
5 Prajudi Atmosudirjo, 1995, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.
29
18
2) Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa
kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan;
3) Hak-hak dasar (grondrechten), hak-hak dasar merupakan sasaran
perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi
pembentukan undang-undang;
4) Pengawasan peradilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan
yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintahan
(rechtmatigeidstoetsing).6
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945) sebelum perubahan, dalam penjelasan mengenai Sistem
Pemerintahan Negara ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar
atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat).
Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan, ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3)
bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini mensyaratkan kepada
seluruh penyelenggara negara dan warga negaranya harus taat terhadap hukum.
Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan manifestasi dari konsep dan alam
pikiran bangsa Indonesia yang lazim disebut dengan hukum dasar tertulis.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulis, hanya memuat dan
mengatur hal-hal yang prinsip dan garis-garis besar saja. Negara Indonesia
sebagai negara hukum dapat diketahui dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum.
Indonesia sebagai negara hukum telah dikembangkan konsep checks and
balances, dalam penyelenggaraan negara seperti adanya Peradilan Tata Usaha
Negara. Tap MPR Nomor XI/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme, dalam bagian konsideran huruf
a secara tegas menyebutkan bahwa “pelaksanaan penyelenggaraan negara oleh
6 Philipus M. Hadjon, Op.Cit.
19
lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif dan eksekutif. Selain itu juga telah
dikembangkan lembaga-lembaga ekstra struktural baik yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang maupun dengan Keputusan (Peraturan) Presiden tentang lembaga-
lembaga yang bertugas untuk mengawasi jalannya pemerintahan, seperti Mahkamah
Konstitusi, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ombudsman dan
sebagainya.
Indonesia sebagai negara hukum sehingga terikat secara konstitusional
pada konstitusi yang diimplementasikan dalam Peraturan Perundang-undangan
sebagai manifestasi dari hukum positif dalam rangka untuk memberikan kepastian
hukum dan perlindungan hak-hak setiap warga negara Indonesia. Peraturan
Perundang-undangan di sini diartikan setiap keputusan dalam bentuk tertulis yang
dikeluarkan dan ditetapkan oleh pejabat berwenang dan mengikat umum (mencakup
undang-undang dalam arti formal maupun material). Hukum tertulis diartikan
sebagai setiap keputusan dalam bentuk tertulis oleh pejabat yang berwenang.7
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah negara
hukum yang dimaksudkan dengan hukum positif tidak hanya peraturan
perundang-undangan saja, namun keputusan tertulis dari pejabat yang berwenang
juga dapat diberlakukan sebagai hukum positif.
1.5.2 Teori Wewenang
1.5.2.1 Pengertian Wewenang
Teori wewenang digunakan dalam penelitian ini untuk membahas rumusan
masalah yang pertama dan kedua yaitu kedudukan dan akibat hukum dan akta
tanah yang dibuat oleh Camat yang diberi wewenang sebagai PPAT Sementara.
7 Bachtiar Effendi, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal. 17.
20
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa istilah wewenang atau
kewenangan disejajarkan dengan bevoegheid, tetapi mempunyai perbedaan
karaktar. Bevoegheid digunakan dalam hukum publik dan hukum privat.
Sedangkan wewenang selalu digunakan dalam hukum publik. Dengan demikian,
wewenang sejajar dengan bevoegheid dalam hukum publik.8
Dalam praktak, antara wewenang (competence, bevoegdheid) dan
kewenangan (authority, gezag) dianggap tidak penting untuk dibedakan. Menurut
Indroharto “Kewenangan” adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”,
kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-undang)
atau dari Kekuasaan Eksekutif/ Administratif. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa
kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau
kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu
yang bulat. Sedangkan “wewenang” hanya mengenai sesuatu bagian tertentu/salah
satu bagian dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-
wewenang (rechtsbevoegdheden). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan
sesuatu tindak hukum publik.9 Lebih jauh Indroharto mengemukakan bahwa
“Wewenang” adalah kemampuan yg diberikan oleh peraturan perundang-
undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum10
. Dalam konsep wewenang
terkandung asas legalitas, yang maknanya adalah :
8 Philipus. M. Hadjon, 1997, “Tentang Kewenangan“, dalam Yuridika Nomor 5 dan 6
Tahun XII September-Desember., Surabaya : FH Unair, Nomor 5 dan 6 Tahun XII September -
Desember, hal. 12 9 Prajudi Atmosudirdjo, Op.cit.
10 Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku I, cet.IV, Pustaka Harapan, Jakarta, hal. 90
21
1. setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan tindakan Hukum
Administrasi Negara atau kebijakan harus ada dasar atau sumbernya pada
(diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan perundang-undangan (hukum
tertulis);
2. untuk menjamin dijalankannya “kesamaan perlakuan oleh pemerintah /
penguasa”; dan
3. menunjang berlakunya kepastian hukum.11
1.5.2.2 Jenis Wewenang
Sehubungan dengan kewenangan, Philipus M. Hadjon, mengemukakan
ada dua sumber untuk memperoleh kewenangan yaitu atribusi dan delegasi.
Namun dikatakan kadangkala, mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam
memperoleh wewenang. Tetapi dalam kaitannya dengan wewenang pemerintah
untuk membuat keputusan, Philipus M. Hadjon secara tegas mengatakan bahwa
hanya ada dua cara untuk memperoleh kewenangan membuat keputusan yaitu
“atribusi dan delegasi“.12
Sedangkan menurut Suwoto Mulyosudarmo, ada dua
macam pemberian kekuasaan yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif
dan perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif. Perolehan kekuasaan secara
derivatif dibedakan atas delegasi dan mandat.13
Berbeda halnya dengan
Indroharto, prihal perolehan kewenangan dimaksud, Indroharto mengemukakan
bahwa wewenang diperoleh secara “atribusi, “delegasi” dan “mandat”, yang
selanjutnya dijelaskan sebagai berikut :
11
Ibid. hal.83-84 12
Philipus, M. Hadjon, 2004. Pengantar Hukum Administrasi, UGM Press, Yogyakarta,
hal. 128-129. 13
Suwoto Mulyosudarmo, 1997. “Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis
Terhadap Pidato Nawaskara”, Disertasi. Unair Surabaya, hal. 39-48.
22
1. “Atribusi” yaitu : pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh
suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini
dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintahan yang baru. Yang
memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara:
a. yang berkedudukan sebagai “original legislator” : yg dinegara kita
adalah MPR sebagai pembentuk Konstitusi, dan DPR bersama-sama
Presiden sebagai pembentuk undang-undang;
b. yang bertindak sebagai “delegated legislator”: seperti Presiden yang
berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu
Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang pemerintahan
kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) tertentu
(Badan/Jabatan Pemerintahan).
2. “Delegasi” yaitu : pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh
Badan/Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang
pemerintahan secara atributif kepada Badan/Jabatan TUN lainnya. Jadi,
suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.
3. “Mandat” yaitu : di situ tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru
maupun pelimpahan wewenang dari Badan/Jabatan Tata Usaha Negara
yang satu kepada yang lain14
Selanjutnya HD.van Wijk/Willem Konijnenbelt sebagaimana dikutip
Indroharto, membedakan cara perolehan wewenang sebagai berikut :
1. Atribusi : adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat
undang-undang kepada organ pemerintahan (attributie: toekenning van
een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan een bestuursorgaan);
2. Delegasi : adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya (delegatie:
overdracht van een bevoegdheid van het ene bestuursorgaan aan een
ander);
3. Mandat : terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya (mandaat: een bestuursorgaan
laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander).15
Berbeda halnya dengan Stroink dan Steenbeek menurutnya hanya ada dua
cara untuk memperoleh wewenang, yaitu: atribusi dan delegasi yang selanjutnya
dijelaskan bahwa : 1) Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru; dan
2) delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang
14
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku I, cet.IV, Pustaka Harapan, Jakarta, hal. 90 15
Ibid.
23
telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain. Jadi, delegasi
secara logis selalu didahului oleh atribusi.
Dalam hal mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang
atau pelimpahan wewenang; tidak terjadi perubahan wewenang apapun (dalam
arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal.16
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan
asss legalitas dalam konsep wewenang yang paling penting adalah menunjang
belakunya kepastian hukum, selain itu perlakuan yang sama dari pemerintah
kepada warganya dan dapat diartikan juga pelaksanaan wewenang dari pemerintah
harus bersumber pada peraturan perundang-undangan.
1.5.2.3 Pembatasan Wewenang
Terhadap wewenang, juga ada pembatasan, yang sering disebut
ketidakwenangan (onbevoegdheid). Ada 3 (tiga) macam ketidakwenangan, yakni :
1. Onbevoegdheid ratione materiae, artinya pejabat itu pada hakekatnya
tidak berwenang untuk melakukan tindakan.
2. Onbevoegdheid ratione loci, artinya kewenangan pejabat itu dibatasi oleh
wilayah tertentu.
3. Onbevoegdheid ratione temporis, artinya kewenangan pejabat itu dibatasi
oleh waktu tertentu.17
Tentang pembatasan wewenang Philipus M Hadjon18
mengemukakan
tentang prosedur pelimpahan, tanggungjawab dan tanggung gugat serta
16
Ridwan, HR., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal. 74-75 17
Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan,
Djumali, Surabaya, hal. 12 – 13.
24
kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi, seperti nampak dalam
skema berikut :
No. PRIHAL DELEGASI MANDAT
1 Prosedur
pelimpahan
Dari suatu organ pemerintahan
kepada organ lain: dengan
peraturan perundang-undangan.
Dalam hubungan rutin
atasan bawahan: hal
biasa kecuali dilarang
dengan tegas.
2 Tanggungjawab
dan Tanggung
gugat
Tanggungjawab dan tanggung
gugat beralih kepada delegataris
(yg menerima pelimpahan
wewenang).
Tetap pada pemberi
mandat.
3 Kemungkinan
si Pemberi
menggunakan
wewenang itu lagi
Tidak dapat menggunakan
wewenang itu lagi kecuali
setelah ada pencabutan dengan
berpegang pada asas “contrarius
actus”.
Setiap saat dapat
menggunakan sendiri
wewenang yang
dilimpahkan.
Sumber: Philipus M Hadjon.19
Tabel di atas, menunjukkan bahwa dalam hal wewenang yang diperoleh
secara delegasi dan mandat, ada pembatasan dilihat dari aspek : 1) prosedur
pelimpahan; 2) tanggungjawab dan tanggung gugat; dan 3) kemungkinan pemberi
wewenang menggunakan wewenangnya itu lagi. Dari aspek prosedur pelimpahan,
perolehan wewenang secara delegasi, berlangsung dari suatu organ pemerintahan
kepada organ lain, dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan dalam
wewenang yang diperoleh secara mandat dapat terjadi dalam hubungan rutin
atasan bawahan, sebagai suatu hal biasa kecuali dilarang dengan tegas. Dari
aspek tanggungjawab dan tanggung gugat, dalam wewenang yang diperoleh
secara delegasi tanggungjawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris
(yang menerima pelimpahan wewenang), sedangkan dalam wewenang yang
diperoleh secara mandat tanggungjawab dan tanggung gugat tetap berada pada
18
Ibid. 19
Ibid.
25
pemberi mandat. Dilihat dari aspek kemungkinan si Pemberi menggunakan
wewenangnya lagi, maka dalam wewenang yang diperoleh secara delegasi,
penggunaan wewenang oleh pemberi wewenang tidaklah dimungkinkan kecuali
setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas “contrarius actus”.
Sedangkan dalam wewenang yang diperoleh secara mandat, pemberi wewenang
dapat menggunakan wewenangnya yang telah dilimpahkan.
1.5.2.4 Karakter Wewenang
Karakter wewenang dapat dibedakan atas: 1) wewenang terikat adalah
wewenang dari pejabat atau badan pemerintah yang wajib dilaksanakan atau tidak
dapat berbuat lain selain dari apa yang tercantum dalam isi sebuah peraturan.
Wewenang ini sudah ditentukan isinya secara rinci, kapan dan dalam keadaan
yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan; dan 2) wewenang diskresi
(beleidsvrijheid, discretionary power, freies ermessen) adalah wewenang yang
diberikan beserta kebebasan dari pejabat untuk mengatur secara lebih konkrit dan
rinci, sedangkan peraturan perundang-undangan hanya memberikan hal-hal yang
pokok saja.20
Dari paparan karakter wewenang tersebut di atas, dapat diketahui
bahwasanya ada pembedaan karakter wewenang menjadi 3 (tiga) jenis.
Wewenang terikat isinya telah ditentukan secara rinci dalam artian, kapan dan
dalam keadaan bagaimana dapat dipergunakannya wewenang, sebagai akibat
pejabat atau badan pemerintah wajib melaksanakan atau tidak dapat berbuat lain
selain dari apa yang tercantum dalam isi sebuah peraturan. Di samping wewenang
20
Ibid.
26
terikat, ada pula wewenang diskresi (beleidsvrijheid, discretionary power, freies
ermessen), yang memberikan kebebasan pejabat untuk mengatur lebih lanjut
wewenang dimaksud secara lebih lebih konkrit dan rinci, namun tetap
berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang telah mengatur hal-hal
yang bersifat pokok.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cara perolehan
wewenang meliputi atribusi, delegasi dan mandat. Perbedaan ketiganya, atribusi
berkaitan dengan wewenang baru, delegasi berkaitan dengan pelimpahan
wewenang dan mandat berkaitan dengan hubungan internal tanpa menimbulkan
perubahan wewenang secara yudis formal.
1.5.3 Teori Perlindungan Hukum
Teori perlindungan hukum digunakan dalam penelitian ini untuk
membahas rumusan masalah kedua yaitu perlindungan hukum dari akibat hukum
dari akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT sementara. Teori
perlindungan hukum pertama kali dicetuskan oleh Immanuel Kant dan Fitzgerald.
Menurut Kant seperti dikutip oleh Beranrd L. Tanya, manusia merupakan
makhluk berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak
dan kebebasan warganya. Kemakmuran dan kebahagian rakyat merupakan tujuan
negara dan hukum, oleh karena itu, hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh
negara. Negara wajib memberi perlindungan hukum kepada warga negaranya.21
Sedangkan menurut Fitzgerald seperti yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, yang
21
Bernard L. Tanya, 2006, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, KITA, Surabaya, hal. 75.
27
menjelaskan teori pelindungn hukum Salmond bahwa hukum bertujuan
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam
masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak.22
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan
kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk
menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.23
Teori perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala
peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan
kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara
anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang
dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra
berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan
yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan
antisipatif.24
Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan
untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik
untuk memperoleh keadilan sosial.25
Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan
oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum
yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum. Meskipun
22
Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.53. 23
Ibid. 24
Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja
Rusdakarya, Bandung, hal. 118. 25
Hartono, Sunaryati, 2001, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Penerbit Alumni, Bandung, hal. 29.
28
pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun
haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.26
Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan
yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat
maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan
serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum
yaitu pendukung hak dan kewajiban.27
Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief
Sidharta tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum
itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian
manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat
manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar
sesuai dengan martabatnya.28
Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang salah
satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap Warga
Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap produk
yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan
perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap
aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal
tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan
26
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 53. 27
Supanto, 2014, Perlindungan Hukum Wanita, http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/,
diakses tanggal 17 September 2014. 28
Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 2004, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, PT.
Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 64.
29
kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dalam
konteks Ilmu Hukum, konsep perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu
bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk
memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari
ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan
pada proses litigasi dan/atau non litigasi.
Perlindungan hukum oleh karenanya merupakan suatu hal yang
melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan
hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:29
1. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk
mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu
pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam
melakukan suatu kewajiban.
2. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi
seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila
sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Teori perlindungan hukum dalam penelitian ini tentunya didasari oleh
teori perlindungan hukum yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, dimana
perlindungan hukum yang dilakukan dalam wujud perlindungan hukum preventif,
29
Musrihah, 2000, Dasar dan Toeri Ilmu Hukum, PT. Grafika Persada, Bandung, hal. 30.
30
artinya ketentuan hukum dapat dihadirkan sebagai upaya pencegahan atas
tindakan pelanggaran hukum. Upaya pencegahan ini diimplementasikan dengan
membentuk aturan-aturan hukum yang bersifat normatif.30
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum
dari negara/pemerintah kepada warga negaranya dapat diberikan secara perventif
maupun repretif. Pelindungan hukum secara perventif bertujuan untuk mencegah
pelanggaran, sedangkan pelindungan hukum secara reprersif berupa sanksi
hukuman atas terjadinya pelanggaran dengan maksud untuk menimbulkan efek
jera.
1.5.4 Konsep Keabsahan Akta
Ukuran keabsahan suatu akta adalah akta dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang (bentuknya baku) dan dibuat oleh dan di hadapan pejabat
umum yang berwenang untuk itu. Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan
kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta
otentik. Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka
membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi.
Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat
subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif dicantumkan dalam
badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338
KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian dan
perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya.
Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang
30
Budi Agus Riswandi, 2005, Aspek Hukum Internet Banking, Persada, Jogjakarta, hal.
200.
31
menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka keabsahan akta
Notaris tersebut tidak tercapai. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif,
maka akta tersebut batal demi hukum.
Keabsahan akta Notaris tercapai jika seluruh ketentuan prosedur atau tata
cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi dan
prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut
menjadi akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka
keabsahan akta menjadi diragukan.
Keabsahan akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris berkedudukan
sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN,31
hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik
yaitu :32
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku),
2. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu.
Pasal 1868 KUHPerdata merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris
juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang
pejabat umum
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.
31
Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, hal. 125. 32
Philipus M. Hadjon, 2001, “Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik,” Post,
Surabaya, hal. 3.
32
Menurut C.A. Kraan akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti
atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan
dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut
ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang
bersangkutan saja.
2. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat
yang berwenang.
3. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi, ketentuan tersebut
mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat
ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu
tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya c.q. data
dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut).
4. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan
pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan
jabatannya.
5. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah
hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.
Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang Pejabat Umum.
Pasal 1 angka 7 UUJN menentukan bahwa akta Notaris adalah akta
otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata
cara yang ditetapkan dalam UUJN, dan secara tersirat dalam Pasal 58 ayat
33
(2) UUJN disebutkan bahwa Notaris wajib membuat daftar akta dan
mencatat semua akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris.
Akta yang dibuat oleh Notaris dalam praktek Notaris disebut akta
relaas atau akta berita acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat
dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan
atau perbuatan para pihakyang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta
Notaris. Akta yang dibuat di hadapan Notaris, dalam praktek Notaris
disebut akta pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para
pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak
berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk
akta Notaris.33
Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang
menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus
ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para
pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris
tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan
permintaan para pihak Notaris dapat memberikan saran dengan tetap
berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak
dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal
tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan
saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak
bukan perbuatan atau tindakan Notaris.34
33
G.H.S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal. 51. 34
Habib Adjie, Op Cit, hal. 128.
34
Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta
Notaris dan Notaris, jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para
pihak, maka :
a. Para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan
atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah
tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala
akibat dari pembatalan tersebut.
b. Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan,
salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan
secara tanggung gugat terhadap akta Notaris menjadi akta di bawah
tangan. Setelah didegradasikan, maka Hakim yang memeriksa gugatan
dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah
didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan. Hal
ini tergantung pembuktian dan penilaian hukum.
Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa
dirugikan dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa
dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada
Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban Penggugat, yaitu dalam
gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat
langsung dari akta Notaris. Dalam kedua posisi tersebut, Penggugat harus
dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek
lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta Notaris.
2) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie Voor De
35
Notarissen Residerende In Nederlands Indie dengan Stbl No. 11, tanggal 7
Maret 1822, kemudian dengan Reglement Op Het Notaris Ambt In
Indonesie (Stb. 1860 : 3), dan Reglement ini berasal dari Wet Op Het
Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi
PJN.35
Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal
tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di
Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara
kelembagaan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak
mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta
notarismendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-
undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN.36
3) Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu :
a) Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus
dibuat itu. Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang
tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga
berwenang membuatnya di samping dapat dibuat oleh pihak atau
pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang Notaris dalam
membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan
pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Pasal 15 UUJN telah
menentukan wewenang Notaris. Kewenangan Notaris yang lainnya
35
Tan Thong Kie, 1994, Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, hal. 362. 36
Habib Adjie, Op Cit, hal. 54.
36
yaitu (1) Notaris berwenang pula : (a) Mengesahkan tanda tangan dan
menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan
mendaftarkan dalam buku khusus; (b) Membukukan surat-surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; (c) Membuat
kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan; (d) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan
surat aslinya; (e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan akta; (f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;
atau (g) Membuat akta risalah lelang; (2) Selain kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai
kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Wewenang ini merupakan suatu batasan, bahwa Notaris tidak boleh
melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang tersebut.
b) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat. Notaris harus berwenang sepanjang
mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
Meskipun Notaris dapat membuat akta untuk setiap orang, tapi agar
menjaga netralitas Notaris dalam pembuatan akta, ada batasan bahwa
menurut Pasal 52 UUJN Notaris tidak diperkenankan untuk membuat
akta untuk diri sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai
hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan
maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke
samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri
37
sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan
kuasa.
c) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu
dibuat. Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus
berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai
dengan keinginannya mempunyaitempat kedudukan dan berkantor di
daerah kabupaten atau kota (Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris
mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari
tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Pengertian pasal-
pasal tersebut bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena Notaris
mempunyai wilayah jabatan seluruh propinsi. Hal ini dapat dijalankan
dengan ketentuan :
(a) Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta) di
luar tempat kedudukannya, maka Notaris tersebut harus berada di
tempat akta akan dibuat.
(b) Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten)
pembuatan dan penyelesaian akta.
(c) Menjalankan tugas jabatan di luar tempat kedudukan Notaris dalam
wilayah jabatan satu propinsi tidak merupakan suatu keteraturan
atau tidak terusmenerus (Pasal 19 ayat (2) UUJN).
d) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta
itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan
aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara
38
waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan
untuk menjalankan tugas jabatannya. Agar tidak terjadi kekosongan,
maka Notaris yang bersangkutan dapat menunjuk Notaris Pengganti
(Pasal 1 angka 3 UUJN).
Karakter yuridis akta Notaris, yaitu:37
1. Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh
undangundang (UUJN).
2. Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak, dan bukan
keinginan Notaris.
3. Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam hal ini
Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau
penghadap yang namanya tercantum dalam akta.
4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapa pun terikat
dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang
tercantum dalam akta tersebut.
5. Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan
para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak
setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan gugatan ke
Pengadilan Umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi
dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.
1.5.5 Konsep Akta Otentik
Akta Otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang
37
Habib Adjie, Op.Cit, hal. 121.
39
telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan,
yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang
berkepentingan, Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang
menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihatnya dihadapannya.38
Pasal 165 HIR dan Pasal 1868 KUH Perdata mengatur mengenai akta
otentik yang berbunyi sebagai berikut; “akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat
oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti
yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat
hak dari padanya tentang yang tercantum didalamnya dan bahkan tentang yang
tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir
ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok
daripada akta”.
Akta otentik ada dua macam yaitu:39
1. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat atau yang dinamakan “akta relaas”
atau akta pejabat (ambtelijke akten).
Akta yang dibuat oleh notaris dapat merupakan suatu akta yang
memuat “relaas” atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang
dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh
pembuatakta itu, yakni notaris sendiri, didalam menjalankan jabatannya
sebagai notaris. Dengan kata lain, akta yang dibuat sedemikian dan yang
memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu
dinamakan akta yang dibuat oleh notaris. Contohnya berita acara rapat
para pemegang saham dalam perseroan terbatas
38
Teguh Samudera, 1992, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung,
hal. 36. 39
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 51.
40
2. Akta yang dibuat dihadapan notaris atau yang dinamakan “akta partij”
Akta yang partij adalah akta yang berisi suatu keterangan dari apa
yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan
notaris, artinya diterangkan oleh pihak lain kepada notaris dalam
menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja
datang di hadapan notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan
perbuatan itu di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu
dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Akta yang seperti itu
dinamakan akta yang dibuat dihadapan notaris. Contohnya perjanjian
hibah, wasiat, kuasa, dan lain sebagainya.40
Akta partij selalu memilih kekuatan bukti materiil dan merupakan alat
bukti sempurna sebab dalam akta partij kebenaran dari isi akta tersebut ditentukan
oleh pihak-pihak dan diakui pula oleh pihak-pihak dan pejabat yang menerangkan
seperti apa yang dilihat, diketahuinya dari para pihak itu. Tetapi pada akta Relaas
tidak selalu terdapat kekuatan bukti materiil artinya setiap orang dapat
menyangkal kebenaran isi akta otentik itu asal dapat membuktikannya, sebab apa
yang dilihat dan dilakukan oleh pejabat itu hanya berdasarkan pada apa yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan.41
Notaris tidak berada di dalamnya pada 2 (dua) macam akta tersebut, tetapi
yang melakukan perbuatan hukum itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan.
Inisiatif dalam pembuatan akta notaris atau akta otentik itu ada pada para pihak.
Dengan demikian akta notaris atau akta otentik tidak menjamin bahwa pihak-
40
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 46 41
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 136.
41
pihak tersebut berkata benar, tetapi yang dijamin oleh akta otentik adalah para
pihak benar-benar berkata atau melakukan perbuatan hukum seperti yang termuat
dalam akta tersebut.
Terhadap hal-hal yang disampaikan kepada notaris, apakah itu
mengandung suatu kebenaran atau tidak, hal itu bukanlah kewenangan notaris.
Apabila akta notaris itu mengandung kebohongan atau kepalsuan dimana
keterangan yang diberikan kepada notaris tidak benar maka tidak menjadikan akta
tersebut sebagai akta palsu, sepanjang notaris tersebut tidak mengetahui bahwa
keterangan yang diberikan padanya adalah tidak benar atau palsu.
Uraian tersebut di atas menunjukkan antara akta otentik yang dibuat
“oleh” dan yang dibuat “dihadapan” pegawai umum terdapat perbedaan pokok
antara lain:
1. Pada akta otentik yang dibuat “oleh” pegawai umum, inisiatif datang dari
pihaknya, pihaknya mengetahui benar tentang hal-hal yang dikemukakan
dalam akta (isi akta); sedangkan pada akta otentik yang dibuat
“dihadapan” pegawai umum yaitu notaris, notaris tidak pernah memulai
inisiatifnya, notaris tidak tahu benar kebenaran dari hal-hal yang
dikemukakan oleh kedua belah pihak yang hadir dihadapannya (isi dari
akta), ia hanya membantu merumuskan kehendak para pihak.
2. Akta otentik yang dibuat “dihadapan” pegawai umum biasanya disebut
juga dengan akta para pihak, dalam hal ini notaris pasif artinya notaris
menunggu sampai ia diperlukan oleh pihak lain untuk membuatkan akta.
Jadi tidak ia dengan sendirinya tanpa dipanggil membuat akta. Akta para
42
pihak juga tidak berarti hanya berisikan keterangan dari pihak sematamata
saja, melainkan juga berisikan keterangan dari notaris itu sendiri.
3. Akta yang dibuat “oleh” pegawai umum terhadap ketiadaan tanda tangan
tidak mengakibatkan akta tersebut kehilangan otensitasnya. Sebagai
contoh dalam pembuatan cerita acara rapat umum pemegang saham dalam
perseroan terbatas, sering kali orang-orang yang hadir telah meninggalkan
rapat sebelum akta itu ditandatangani dan oleh notaris cukup hanya
menerangkan dalam akta tersebut bahwa para pihak yang hadir telah
meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta itu dan akta itu tetap
merupakan akta otentik. Pada akta yang dibuat “dihadapan” pejabat
umum, keharusan adanya tanda tangan para pihak adalah untuk
mempertahankan otentisitasnya. Jika akta tersebut tidakditandatangani
maka akta tersebut harus diterangkan apa yang menjadi alasan tidak
ditandatanganinya akta itu, misalnya para pihak atau salah satu pihak buta
huruf atau tangannya lumpuh. Keterangan notaries mengenai hal tersebut
adalah sebagai ganti tanda tangan (surrogaat). Dengan demikian dalam
akta partij penandatanganan oleh para pihak adalah merupakan suatu
keharusan.42
Suatu akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya dapat menjadi
akta otentik apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1868
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
1. Akta harus dibuat “oleh” atau “dihadapan” seseorang pejabat umum.
42
Teguh Samudera, Op.Cit, hal.42
43
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
3. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
kewenangan untuk membuat akta itu.
Pasal 1869 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Jo Pasal 16 ayat (8)
Undang-undang Jabatan Notaris, bila salah satu syarat yang ditentukan dalam
Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu tidak terpenuhi maka akta
yang dibuatnya tidak otentik, hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah
tangan apabila akta itu ditandatangani oleh para penghadap.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Mengingat adanya norma kabur dalam hal penunjukan camat sebagai
PPAT Sementara, maka penelitian ini megggunakan jenis penelitian hukum
normatif, yang mengkaji dan menganalisa bahan hukum yaitu berupa bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait
dengan kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat.
Penelitian hukum normatif (normative legal research) merupakan
penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.
Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian
yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan
pustaka.43
Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian yang difokuskan
43
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida Media, Jakarta, hal.
34.
44
untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif.44
Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis,
yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan
meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom, mandiri, tertutup
dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.45
1.6.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif
akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan
ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan analisis dan eksplanasi. Dalam
kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan yaitu:46
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).
2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).
3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).
4. Pendekatan Historis (historical approach).
5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).
6. Pendekatan Kasus (case approach).
Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu
penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih
yang sesuai. Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep
(conceptual approach) mengingat permasalahan yang diteliti adalah mengenai
kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat.
44
Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,
Malang, hal. 295. 45
Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni,
Jakarta, hal 13-14. 46
Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal. 300-301.
45
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum/data yang diperlukan dalam penelitian ini
merupakan data sekunder. Adapun data sekunder terdiri dari:47
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang
berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945
b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104 dan
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043).
d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 117 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4432) sebagaimana telah dirubah dengan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas (Lembaran
Negara Tahun 2014 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor
5491).
e. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59 dan Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3696).
f. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 52)
47
Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 18.
46
g. Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum
primer, seperti: hasil penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau pertemuan
ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro, dokumen
pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk dalam bahan
hukum sekunder ini sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian
hukum ini.48
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum,49
Surat kabar, majalah mingguan, bulletin
dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang
memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum
ini.50
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode
pengumpulan bahan hukum dan iventarisasi bahan hukum primer yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti kemudian diklasifikasi secara sistematis dan
tujuannya serta mengkaji isinya menurut kelompoknya sesuai dengan hirarkhi
peraturan perundang-undangan. Dimana bahan hukum skunder dan tersier
48
Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Op.Cit, hal. 24. 49
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 14-15. 50
Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007. The Legal Souyrces of Public Policy,
Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.
47
dikumpulkan dengan cara teknik studi dokumen (study document) diproleh
melalui penelitian kepustakaan (Library reasearch), dengan cara mengkaji isinya
secara mendalam, menelah, mengola bahan-bahan hukum leteratur, artikel
ataupun tulisan yang berkaitan dengan obyek yang akan diteliti. Penelitian
dokumen ini dilakukan dengan sistem kartu yakni dengan mencatat dan
memahami dari masing-masing bahan imformasi yang didapatkan baik dari bahan
hukum primer, skunder maupun tersier menitik beratkan pada penelitian
kepustakaan (library research) dan juga bahan-bahan hukum lainya.
Jadi, teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah studi pustaka
atau studi dokumen yaitu mengumpulkan data sekunder mengenai obyek
penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-perspektif,
dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan data sekunder mengenai objek
penelitian, baik secara konvensional maupun dengan menggunakan teknologi
informasi seperti internet, dan lain-lain.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data, melainkan
melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat kaitannya
antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan hukum yang
berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara interpretatif,
evaluatif, argumentatif dan deskriptif.51
1. Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu
hukum seperti penafsiran historis,sistematis, dan lain-lain. Selanjutnya
51
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2008, Program Studi Magister Hukum,
Universitas Udayana. hal. 14.
48
bahan Hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif
,sistematis dan argumentatif.
2. Teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan,
proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan,baik yang tertera dalam
baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder.
3. Teknik Sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum
atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun
tidak sederajat.
4. Teknik Argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran
hukum.
5. Teknik deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh
gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi
pidananya.