48
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanah merupakan kebutuhan dasar dalam pelaksanaan kegiatan produktif manusia, baik sebagai wadahnya maupunsebagai faktor produksi. Oleh karena itu jelaslah bahwa pencatatan yang sistematis dari tanah dan hak hak atas tanah merupakan hal yang sangat penting baik bagi administrasi Negara maupun bagi perencanakan dan pengembangan pembangunan tanah itu sendiri, sertabagi kepastian hukum dalam peralihan, pemindahan atau pembebanan hak atas tanah. Kaitan dengan hal ini Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyebutkan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam rangka kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 4 ayat (1) Udang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 adalah tanah. Tanah adalah suatu hak milik yang sangat berharga bagi umat manusia, demikian pula untuk bangsa Indonesia, bagi orang Indonesia tanah merupakan masalah yang paling pokok, dapat di konstatir dari banyaknya perkara perdata maupun pidana yang diajukan kepengadilan yaitu berkisar sengketa mengenai tanah. Sengketa tanah tersebut antara lain menyangkut sengketa warisan, utang-piutang dengan tanah sebagai jaminan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · Tanah merupakan kebutuhan dasar dalam pelaksanaan kegiatan produktif manusia, baik sebagai wadahnya maupunsebagai faktor produksi

  • Upload
    hakhanh

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan kebutuhan dasar dalam pelaksanaan kegiatan produktif

manusia, baik sebagai wadahnya maupunsebagai faktor produksi. Oleh karena itu

jelaslah bahwa pencatatan yang sistematis dari tanah dan hak hak atas tanah

merupakan hal yang sangat penting baik bagi administrasi Negara maupun bagi

perencanakan dan pengembangan pembangunan tanah itu sendiri, sertabagi

kepastian hukum dalam peralihan, pemindahan atau pembebanan hak atas tanah.

Kaitan dengan hal ini Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 menyebutkan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam rangka kesejahteraan

dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4)

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 adalah permukaan

bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.

Permukaan bumi menurut Pasal 4 ayat (1) Udang-undang Pokok Agraria

(UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 adalah tanah. Tanah adalah suatu hak milik yang

sangat berharga bagi umat manusia, demikian pula untuk bangsa Indonesia, bagi

orang Indonesia tanah merupakan masalah yang paling pokok, dapat di konstatir

dari banyaknya perkara perdata maupun pidana yang diajukan kepengadilan yaitu

berkisar sengketa mengenai tanah. Sengketa tanah tersebut antara lain

menyangkut sengketa warisan, utang-piutang dengan tanah sebagai jaminan,

2

sengketa tata usaha negara penerbitan sertifikat tanah, serta perbuatan melawan

hukum lainnya. Berdasarkan banyaknya perkara yang menyangkut tanah, dapat di

lihat bahwa tanah memegang peranan sentral dalam kehidupan dan perekonomian

negara.1

Dalam pengelolaan bidang pertanahan, terutama dalam kegiatan

pendaftaran tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT),

mempunyai peran yang begitu penting, karena PPAT merupakan pejabat umum

yang menjadi mitra instansi BPN guna membantu menguatkan/mengukuhkan

setiap perbuatan hukum atas bidang tanah yang dilakukan oleh subyek hak yang

bersangkutan yang dituangkan dalam suatu akta otentik. Selain itu, untuk

melaksanakan tugas pokok sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah (selanjutnya disebut PP Nomor 37 Tahun 1998), seorang PPAT

mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan

hukum, sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan

hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998, bahwa tugas

pokok PPAT adalah:

(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan

membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang

akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah

yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai

berikut :

1Maria. S.W. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan Antara regulasi dan

Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 35.

3

a. jual beli;

b. tukar menukar;

c. hibah;

d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

e. pembagian hak bersama;

f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;

g. pemberian Hak Tanggungan;

h. pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, PPAT mempunyai

kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum

mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di

dalam daerah kerjanya. Menurut penjelasan Pasal 3 PP Nomor 37 Tahun 1998,

bahwa PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan

sebagai akta otentik. Selanjutnya menurut penjelasan Pasal 4, bahwa kecuali ada

ketentuan lain, maka apabila seorang PPAT melakukan pelanggaran dengan

membuat akta di luar daerah kerjanya, akta yang dibuatnya adalah tidak sah dan

tidak dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran. Khusus bagi sebidang tanah atau

satuan rumah susun yang tidak semuanya terletak dalam daerah kerja seorang

PPAT, maka dalam hal pembuatan akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam

perusahaan dan akta pemberian hak bersama, dapat dibuat oleh PPAT yang daerah

kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya

menjadi objek perbuatan hukum dalam akta.

Secara normatif, PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang

untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai

hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti

mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan

dasar pendaftarannya (Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 jo. Pasal 1

4

angka 24, PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Apabila dilihat, ada

beberapa ketentuan yang mengatur tentang PPAT, yakni :

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dalam Pasal 1

angka 4 menyebutkan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya

disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk

membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas

tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ,

dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Peralihan hak

atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar

menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum

pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya

dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT

yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah;

4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1

Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor

37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Melihat wilayah Indonesia yang demikian luas, diperlukan banyak PPAT

dengan lingkup/wilayah kerja masing-masing. Untuk melayani masyarakat dalam

5

pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk

melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu,

Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat sebagai PPAT Sementara atau PPAT

Khusus. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 disebutkan

ada 3 (tiga) macam PPAT, yaitu :

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (umum) adalah pejabat umum yang

diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun.

2. Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara adalah pejabat pemerintah yang

ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat

Akta Tanah dengan membuat akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.

3. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah Pejabat Badan, melaksanakan

tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat Akta Pejabat

Pembuat Akta Tanah tertentu khususnya dalam rangka pelaksanaan

program atau tugas pemerintah tertentu.

Dengan demikian, menurut Pasal 1 PP Nomor 37 Tahun 1998, kategori

PPAT dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu :

1. PPAT biasa, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani masyarakat dalam

pembuatan akta, yang memenuhi syarat tertentu (dapat merangkap sebagai

Notaris, konsultan atau penasehat hukum).

2. PPAT sementara, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan

akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT (Camat atau Kepala

Desa).

6

3. PPAT khusus, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan akta

tertentu atau untuk golongan masyarakat tertentu (Kepala Kantor

Pertanahan).

Pasal 1 angka 24 PP 24 Tahun 1997 menyebutkan definisi dari Pejabat

Pembuat Akta Tanah, yaitu pejabat umum yang diberi kewenangan untuk

membuat akta- akta tanah tertentu. Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud

PPAT adalah suatu jabatan (ambt) dalam tata susunan hukum agraria nasional

kita, khususnya hukum yang mengatur pendaftaran tanah. Dapat diartikan juga

“orang” yang menjabat jabatan tersebut. Berdasarkan pengertian di dalam PP

Nomor 24 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998, dapat disimpulkan bahwa,

PPAT adalah “Pejabat Umum“.2 Menurut Effendi Peranginangin, Pejabat Umum

adalah orang yang diangkat oleh instansi yang berwenang dengan tugas melayani

masyarakat\umum di bidang kegiatan tertentu. Kegiatan tertentu yang dimaksud

di atas diantaranya untuk membuat Akta.3

Peralihan hak atas tanah, baik karena jual-beli, maupun karena hal-hal

lain, peran PPAT sangat penting. Dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor

40 Tahun 1996 tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud beralih dan

dialihkan.

Besarnya peran PPAT, juga dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3)

huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yang menyebutkan bahwa :

“Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta

Tanah di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah

2 Boedi Harsono, 2002, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan

Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, hal. 44. 3 Efendi Perangin-angin, 1994, Hukum Agraria di Indonesia, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal. 62.

7

atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta

Pejabat Pembuat Akta Tanah tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-

pejabat dibawah ini sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara atau

Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus : “Camat atau Kepala Desa untuk

melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat

Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara”.

Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) huruf a PP Nomor 37 Tahun 1998,

tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah disebutkan, bahwa “karena fungsinya di

bidang pendaftaran tanah yang penting bagi masyarakat yang memerlukan, maka

fungsi tersebut harus dilaksanakan di seluruh wilayah Negara. Oleh karena itu di

wilayah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat perlu

ditunjuk sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi tersebut.

Daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah

Daerah yang jumlah Pejabat Pembuat Akta Tanah-nya belum memenuhi formasi

yang ditetapkan Menteri sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.

Didaerah yang sudah cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah dan merupakan

daerah tertutup untuk pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah baru, Camat

yang baru tidak lagi ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah sementara.

Dari pertimbangan untuk memenuhi pelayanan kepada masyarakat di

daerah-daerah tepencil, yang masyarakat akan merasakan kesulitan apabila harus

pergi ke kantor Kecamatan untuk melaksanakan transaksi mengenai tanahnya,

Menteri juga dapat menunjuk Kepala Desa untuk melaksanakan Tugas Pejabat

Pembuat Akta Tanah.

Isu hukum yang timbul dalam hal pembuatan akta tanah oleh Camat pada

umumnya disebabkan oleh kondisi diri pribadi dari Camat itu sendiri, seperti

misalnya seringnya Camat melakukan kesalahan dan Camat kurang menguasai

8

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesalahan-kesalahan yang sering

dibuat oleh Camat antara lain tidak melakukan pengecekan sertipikat asli di

Kantor Pertanahan dan kesalahan dalam pembuatan bagian-bagian akta dalam

formulir akta otentik yang seringkali tidak sesuai dan menyalahi ketentuan dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 maupun Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998. kesalahan-kesalahan yang dilakukan Camat ini dapat

menimbulkan akibat hukum yang merugikan para pihak. Oleh karena itu

kemungkinan Camat melakukan kesalahan dan kelalaian masih tetap terbuka,

meskipun Camat yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan telah

berpraktek sebagai PPAT.

Ketidaktelitian Camat dalam melakukan pencatatan transaksi atas tanah

sehingga dikhawatirkan terbitnya akta jual beli ganda terhadap satu objek (bidang

tanah) yang sama. Hal ini disebabkan karena administrasi pertanahan yang ada

pada kantor kecamatan kurang lengkap. Selain itu juga camat yang belum

menguasai peraturan-peraturan yang terkait dengan PPAT. Oleh karena itu

keberadaan Camat sebagai PPAT Sementara perlu ditinjau kembali.

Pasal 5 ayat (3) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang mengamanatkan

penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara, tidak memberi penjelasan mengenai

kata “sementara” dan juga tidak menyebut “sementara”-nya itu sampai kapan. Hal

ini menunjukan adanya norma kosong dalam penunjukan Camat sebagai PPAT

Sementara.

Berdasarkan hal tersebut, mengingat output pendidikan magister

kenotariatan semakin banyak di Indonesia, maka sebagai solusinya Camat tidak

lagi ditunjuk sebagai PPAT Sementara. Hal itu bisa dilakukan dengan cara

9

memberikan penugasan wajib bagi lulusan magister kenotariatan, sebagai halnya

wajib tugas bagi dokter, untuk ditugaskan di daerah-daerah terpencil di seluruh

Indonesia. Melalui cara ini dengan sendirinya Camat tidak lagi dibutuhkan

sebagai PPAT Sementara.

Berdasarkan paparan tersebut, menjadi sangatlah menarik untuk dikaji

tentang : “KEDUDUKAN HUKUM AKTA TANAH YANG DIBUAT OLEH

CAMAT”

Penelitian tentang “Kedudukan Hukum Akta Tanah yang dibuat oleh

Camat” ini merupakan penelitian baru, yang belum pernah diteliti oleh peneliti

lain. Keaslian (originalitas) penelitian ini, dapat dilihat dari beberapa hasil

penelitian sebelumnya, yang walaupun membahas tentang Camat sebagai Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT), namun hasil dari pembahasannya berbeda dengan

penelitian ini. Penelitian-penelitian dimaksud adalah :

1. Tesis yang ditulis oleh Didik Ariyanto, dengan judul : “Pelaksanaan

Fungsi dan Kedudukan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah

Sementara di Kabupaten Grobogan” sebagai tugas akhir studi pada

Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro (2006). Adapun

rumusan masalah yang diangkat adalah :

a. Bagaimanakah Penerapan Tugas Camat sebagai PPAT Sementara di

Kabupaten Grobogan ditinjau dari persfektif fungsi dan kedudukannya

dalam era otonomi daerah.

b. Bagaimanakah pelaksanaan pengaturan dilapangan fungsi dan

kedudukan PPAT antara Camat sebagai PPAT Sementara dan

Notaris/PPAT di Kabupaten Grobogan

10

Berdasarkan kajian dan analisanya, dipaparkan hasil penelitiannya sebagai

berikut :

a. Pelaksanaan fungsi dan kedudukan Camat sebagai PPAT Sementara

dalam era otonomi daerah ditemukan banyak sekali penyimpangan-

penyimpangan yang dilakukan oleh Camat sebagai PPAT Sementara,

kemudian Peranan Kantor Pertanahan Kabupaten Grobogan yang

lemah, serta sikap Notaris/PPAT yang terkesan menutup mata terhadap

penyimpangan-penyimpangn yang dilakukan oleh Camat sebagai PPAT

Sementara sehingga mengakibatkan masyarakat dalam memandang

penyimpangan-penyimpangan tersebut dibenarkan yang berakibatkan

terjadinya ketidakpastian hukum terhadap suatu perbuatan hukum

dihadapan Camat sebagai PPAT Sementara

b. Pelaksanaan Pengaturan dilapangan fungsi dan kedudukan PPAT antara

Camat sebagai PPAT Sementara dan Notaris/PPAT di Kabupaten

Grobogan, dari segi aturan berbeda, dan dalam pelaksanaan di lapangan

juga ada perbedaan.

2. Tesis dari Yulia Rumanti dengan judul : “Peranan Camat Sebagai Pejabat

Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara”

sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas

Diponegoro (2010). Rumusan masalah dari penelitian tersebut adalah :

a. Mengapa Camat di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow tidak

semuanya menjadi PPAT Sementara ?

11

b. Bagaimanakah peran Camat yang ditunjuk sebagai PPAT Sementara

dalam proses Pendaftaran Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow

propinsi Sulawesi Utara ?

c. Apakah kendala-kendala yang dihadapi Camat sebagai Pejabat

Pembuat Akta Tanah Sementara dalam Proses Pendaftaran Tanah di

Kabupaten Bolaang Mongondow propinsi Sulawesi Utara?

Hasil Penelitian dari tesis tersebut, secara ringkas, yaitu :

a. Tidak semua Camat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Sementara, disebabkan karena faktor : 1) sistem birokrasi dan

pelayanan publik di Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih

bermasalah, seperti pungutan liar; 2) banyak calo dan pengguna jasa

yang bebas keluar masuk kantor BPN; dan 3) Tidak hanya kasus

percaloan, masih ada kasus pemerasan yang melibatkan oknum di BPN

yang telah melakukan permintaan uang terhadap Camat yang

mengajukan permohonan untuk menjadi PPAT Sementara.

b. Peran Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara

di Kabupaten Bolaang Mongondow masih sangat dibutuhkan

keberadaannya. Selain karena formasi Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) Notaris masih belum terpenuhi juga karena luasnya daerah di

Kabupaten Bolaang Mongondow. Dengan diangkatnya Camat Sebagai

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara maka perannya

sejajar dan sama dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Notaris,

sehingga semua aturan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah

12

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah, harus berlaku juga terhadap Camat, misalnya dalam hal

pemasangan papan nama, pembuatan akta, laporan bulanan dan

penyampaian akta ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bolaang

Mongondow.

c. Kendala seorang Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Sementara di Kabupaten Bolaang Mongondow dalam menjalankan

peran dan fungsinya adalah kurangnya pengetahuan tentang masalah

tanah. Tingkat pendidikan yang tidak berhubungan dengan Camat

Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara menyebabkan

pelayanan kepada masyarakat umumnya di bidang pertanahan dan

khususnya tentang pendaftaran tanah kurang maksimal sehingga

memungkinkan timbulnya masalah-masalah baru dan timbulnya

penyimpangan-penyimpangan dalam proses pendaftaran tanah

3. Tesis ditulis oleh Ni Made Asri Asti, dengan judul : “Wewenang Camat

Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara dalam

Pembuatan Akta Peralihan Hak Atas Tanah” sebagai tugas akhir studi

pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana (2014).

Rumusan masalah yang diangkat adalah :

a. bagaimanakah kewenangan Camat sebagai PPAT Sementara dalam

membuat akta peralihan hak atas tanah.

b. bagaimanakah tanggung jawab Camat sebagai PPAT Sementara atas

akta peralihan hak atas tanah yang dibuatnya.

13

Uraian ringkas hasil penelitian dari tesis tersebut adalah :

a. Camat sebagai PPAT sementara mengandung konsekuensi hukum

pada wewenangnya selaku pejabat umum yang berwenang untuk

membuat akta otentik menjadi tidak terpenuhi.

b. Tanggung jawab Camat apabila akta yang dibuatnya menimbulkan

akibat hukum yang menyebabkan kebatalan akta tersebut berupa batal

demi hukum atau dapat dibatalkan adalah tanggung jawab pribadi

(fautes personalles). Dimana apabila Camat tersebut dapat dibuktikan

telah melakukan perbuatan hukum yang merugikan para pihak akan

dikenakan sanksi perdata.

Ketiga karya tulis dalam bentuk tesis sebagai tugas akhir studi Program

Magister kenotariatan tentang Camat sebagai PPAT, penelitian yang pertama dan

kedua tidak menyentuh sama sekali masalah kewenangan, sedangkan penelitian

yang ketiga membahas tentang kewenangan namun tidak mempermasalahkan

tentang keabsahan kewenangan Camat selaku PPAT serta akibat hukum dari akta

yang dibuat oleh Camat selaku PPAT. Hal ini dapat dilihat dari rumusan

masalahnya berbeda dengan rumusan masalah yang akan dikaji dalam proposal

ini. Tesis yang ditulis oleh Ni Made Asri Asti yang berjudul: “Wewenang Camat

Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara dalam Pembuatan Akta

Peralihan Hak Atas Tanah” sebagai tugas akhir studi pada Program Magister

Kenotariatan Universitas Udayana (2014), pembahasannya lebih terfokus pada

kajian dari keotentikan akta sesuai dengan ketentuan Pasal 1868 BW serta

pertanggungjawaban pribadi (fautes personalles). Dua permasalahan dalam

14

proposal ini, tinjauannya lebih banyak dalam ranah hukum administrasi, yaitu : 1)

keabsahan wewenang; dan 2) akibat hukum dari akta yang dibuat tidak sesuai

dengan keotentikannya. Dengan demikian, 2 (dua) permasalahan dalam proposal

ini, berbeda dari ketiga karya tulis dalam bentuk tesis tersebut di atas.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang permasalahan sebagaimana telah

diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai

PPAT Sementara?

2. Bagaimanakah akibat hukum dari akta tanah yang dibuat oleh Camat

sebagai PPAT Sementara?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini berhubungan dengan paradigma science is proces

dan paradigma science is product, yang selanjutnya dapat diidentifikasi tujuan

dimaksud sebagai berikut :

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah dalam kerangka pengembangan

konsep, asas dan teori tentang hukum pertanahan umumnya dan peralihan hak atas

tanah dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan hukum akta tanah yang

dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara.

15

2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari akta tanah yang

dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian tentang “Kedudukan Hukum Akta Tanah yang dibuat oleh

Camat” ini diharapkan mampu memberikan kontribusi, dalam artian sebagai

sumbangan pemikiran, baik untuk tujuan teoritis maupun untuk tujuan praktis.

Manfaat hasil penelitian penelitian dimaksud, dapat dijabarkan sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis

Pengembangan teori, konsep dan doktrin hukum pertanahan pada

umumnya dan peralihan hak atas tanah berdasarkan akta yang dibuat oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT).

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai acuan dalam

penyelesaian masalah pertanahan, terutama dalam peralihan hak atas tanah

melalui akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

1.5 Landasan Teoritis

1.5.1 Konsep Negara Hukum

Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan

berkembang seiring dengan perkembangan sejarah manusia, oleh karena itu,

meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, namun pada

tataran implementasi ternyata dipengaruhi oleh karaktaristik negara dan

manusianya yang beragam. Hal ini dapat terjadi, disamping pengaruh falsafah

16

bangsa, ideologi negara dan lain-lain, juga karena adanya pengaruh perkembangan

sejarah manusia. Atas dasar itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum

muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut konsep Eropa

Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo

Saxon (rule of law), konsep socialist legality dan konsep negara hukum

Pancasila. Konsep-konsep negara hukum ini memiliki dinamika dan sejarahnya

masing-masing.

Negara berdasarkan hukum ditandai oleh beberapa asas, antara lain asas

bahwa semua perbuatan atau tindakan pemerintahan atau negara harus didasarkan

pada ketentuan hukum tertentu yang sudah ada sebelum perbuatan atau tindakan

itu dilakukan. Campur tangan atas hak dan kebebasan seseorang atau kelompok

masyarakat hanya dapat dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu.

Asas ini lazim disebut asas legalitas (legaliteits beginsel). Untuk memungkinkan

kepastian perwujudan asas legalitas ini, harus dibuat berbagai peraturan hukum

antara lain Peraturan Perundang-undangan.

Ide dasar negara hukum Indonesia tidak terlepas dari ide dasar tentang

rechtstaats. Hal ini dapat dimengerti dalam banyak hal, antara lain Indonesia

merupakan negara yang mengikuti Belanda dan menganut ide rechtstaats,4

Terkait dengan asas dalam negara hukum, Prajudi Atmosudirdjo menyebutkan

asas pokok negara hukum ada tiga, yakni : 1) asas monopoli paksa

(zwangmonopoli); 2) asas persetujuan rakyat; dan 3) asas persekutuan hukum

(rechtsgemeenschap). Selanjutnya asas pokok negara hukum dimaksud, dijelaskan

sebagai berikut :

4Philipus M. Hadjon, 1972, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi

Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum

dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 1

17

1. Asas monopoli paksa berarti, bahwa: monopoli penggunaan kekuasaan

negara dan monopoli penggunaan paksaan untuk membuat orang

mentaati apa yang menjadi keputusan penguasa negara hanya berada di

tangan pejabat penguasa negara yang berwenang dan berwajib untuk

itu. Siapapun yang lain dari yang berwenang/berwajib dilarang, artinya

barang siapa melakukan penggunaan kekuasaan negara dan

menggunakan paksaan tanpa wewenang seperti dimaksud di atas

disebut „main hakim sendiri‟.

2. Asas persetujuan Rakyat berarti, bahwa orang (warga masyarakat)

hanya wajib tunduk dan dapat dipaksa untuk tunduk, kepada peraturan

yang diciptakan secara sah dengan persetujuan langsung (undang-

undang formal), atau tidak langsung (legislasi delegatif, peraturan atas

kuasa Undang-undang) dari Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya,

apabila ada peraturan (misalnya: mengadakan pungutan pembayaran

atau “sumbangan wajib”) yang tidak diperintahkan atau dikuasakan

oleh undang-undang, maka peraturan itu tidak sah, dan Hakim

Pengadilan wajib membebaskan setiap orang yang dituntut oleh karena

tidak mau mentaatinya, dan apabila Pejabat memaksakan peraturan

tersebut, maka ia dapat dituntut sebagai penyalahgunaan kekuasaan

negara, minimal digugat sebagai perkara “perbuatan penguasa yang

melawan hukum”.

3. Asas persekutuan hukum berarti, bahwa rakyat dan penguasa negara

bersama-sama merupakan suatu persekutuan hukum

(rechtsgemeenschap, legal partnership), sehingga para pejabat

penguasa negara dalam menjalankan tugas dan fungsi, serta

menggunakan kekuasaan negara, mereka tunduk kepada hukum (sama

dengan rakyat/warga masyarakat). Berarti baik para pejabat penguasa

negara maupun para warga masyarakat berada di bawah dan tunduk

kepada hukum (undang-undang) yang sama.5

Syarat-syarat dasar rechtsstaat yang dikemukakan oleh Burkens, dalam

tulisannya tentang Ide Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

adalah:

1) Asas legalitas, setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar

Peraturan Perundang-undangan (wetterlijke-grondslag). Dengan

landasan ini Undang-undang formal dan Undang-Undang Dasar

sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam

hubungan ini pembentuk undang-undang merupakan bagian penting

negara hukum;

5 Prajudi Atmosudirjo, 1995, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.

29

18

2) Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa

kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan;

3) Hak-hak dasar (grondrechten), hak-hak dasar merupakan sasaran

perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi

pembentukan undang-undang;

4) Pengawasan peradilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan

yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintahan

(rechtmatigeidstoetsing).6

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya

disebut UUD 1945) sebelum perubahan, dalam penjelasan mengenai Sistem

Pemerintahan Negara ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar

atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat).

Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan, ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3)

bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini mensyaratkan kepada

seluruh penyelenggara negara dan warga negaranya harus taat terhadap hukum.

Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan manifestasi dari konsep dan alam

pikiran bangsa Indonesia yang lazim disebut dengan hukum dasar tertulis.

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulis, hanya memuat dan

mengatur hal-hal yang prinsip dan garis-garis besar saja. Negara Indonesia

sebagai negara hukum dapat diketahui dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Dasar 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum.

Indonesia sebagai negara hukum telah dikembangkan konsep checks and

balances, dalam penyelenggaraan negara seperti adanya Peradilan Tata Usaha

Negara. Tap MPR Nomor XI/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme, dalam bagian konsideran huruf

a secara tegas menyebutkan bahwa “pelaksanaan penyelenggaraan negara oleh

6 Philipus M. Hadjon, Op.Cit.

19

lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif dan eksekutif. Selain itu juga telah

dikembangkan lembaga-lembaga ekstra struktural baik yang dibentuk berdasarkan

Undang-undang maupun dengan Keputusan (Peraturan) Presiden tentang lembaga-

lembaga yang bertugas untuk mengawasi jalannya pemerintahan, seperti Mahkamah

Konstitusi, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ombudsman dan

sebagainya.

Indonesia sebagai negara hukum sehingga terikat secara konstitusional

pada konstitusi yang diimplementasikan dalam Peraturan Perundang-undangan

sebagai manifestasi dari hukum positif dalam rangka untuk memberikan kepastian

hukum dan perlindungan hak-hak setiap warga negara Indonesia. Peraturan

Perundang-undangan di sini diartikan setiap keputusan dalam bentuk tertulis yang

dikeluarkan dan ditetapkan oleh pejabat berwenang dan mengikat umum (mencakup

undang-undang dalam arti formal maupun material). Hukum tertulis diartikan

sebagai setiap keputusan dalam bentuk tertulis oleh pejabat yang berwenang.7

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah negara

hukum yang dimaksudkan dengan hukum positif tidak hanya peraturan

perundang-undangan saja, namun keputusan tertulis dari pejabat yang berwenang

juga dapat diberlakukan sebagai hukum positif.

1.5.2 Teori Wewenang

1.5.2.1 Pengertian Wewenang

Teori wewenang digunakan dalam penelitian ini untuk membahas rumusan

masalah yang pertama dan kedua yaitu kedudukan dan akibat hukum dan akta

tanah yang dibuat oleh Camat yang diberi wewenang sebagai PPAT Sementara.

7 Bachtiar Effendi, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal. 17.

20

Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa istilah wewenang atau

kewenangan disejajarkan dengan bevoegheid, tetapi mempunyai perbedaan

karaktar. Bevoegheid digunakan dalam hukum publik dan hukum privat.

Sedangkan wewenang selalu digunakan dalam hukum publik. Dengan demikian,

wewenang sejajar dengan bevoegheid dalam hukum publik.8

Dalam praktak, antara wewenang (competence, bevoegdheid) dan

kewenangan (authority, gezag) dianggap tidak penting untuk dibedakan. Menurut

Indroharto “Kewenangan” adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”,

kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-undang)

atau dari Kekuasaan Eksekutif/ Administratif. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa

kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau

kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu

yang bulat. Sedangkan “wewenang” hanya mengenai sesuatu bagian tertentu/salah

satu bagian dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-

wewenang (rechtsbevoegdheden). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan

sesuatu tindak hukum publik.9 Lebih jauh Indroharto mengemukakan bahwa

“Wewenang” adalah kemampuan yg diberikan oleh peraturan perundang-

undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum10

. Dalam konsep wewenang

terkandung asas legalitas, yang maknanya adalah :

8 Philipus. M. Hadjon, 1997, “Tentang Kewenangan“, dalam Yuridika Nomor 5 dan 6

Tahun XII September-Desember., Surabaya : FH Unair, Nomor 5 dan 6 Tahun XII September -

Desember, hal. 12 9 Prajudi Atmosudirdjo, Op.cit.

10 Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Buku I, cet.IV, Pustaka Harapan, Jakarta, hal. 90

21

1. setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan tindakan Hukum

Administrasi Negara atau kebijakan harus ada dasar atau sumbernya pada

(diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan perundang-undangan (hukum

tertulis);

2. untuk menjamin dijalankannya “kesamaan perlakuan oleh pemerintah /

penguasa”; dan

3. menunjang berlakunya kepastian hukum.11

1.5.2.2 Jenis Wewenang

Sehubungan dengan kewenangan, Philipus M. Hadjon, mengemukakan

ada dua sumber untuk memperoleh kewenangan yaitu atribusi dan delegasi.

Namun dikatakan kadangkala, mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam

memperoleh wewenang. Tetapi dalam kaitannya dengan wewenang pemerintah

untuk membuat keputusan, Philipus M. Hadjon secara tegas mengatakan bahwa

hanya ada dua cara untuk memperoleh kewenangan membuat keputusan yaitu

“atribusi dan delegasi“.12

Sedangkan menurut Suwoto Mulyosudarmo, ada dua

macam pemberian kekuasaan yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif

dan perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif. Perolehan kekuasaan secara

derivatif dibedakan atas delegasi dan mandat.13

Berbeda halnya dengan

Indroharto, prihal perolehan kewenangan dimaksud, Indroharto mengemukakan

bahwa wewenang diperoleh secara “atribusi, “delegasi” dan “mandat”, yang

selanjutnya dijelaskan sebagai berikut :

11

Ibid. hal.83-84 12

Philipus, M. Hadjon, 2004. Pengantar Hukum Administrasi, UGM Press, Yogyakarta,

hal. 128-129. 13

Suwoto Mulyosudarmo, 1997. “Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis

Terhadap Pidato Nawaskara”, Disertasi. Unair Surabaya, hal. 39-48.

22

1. “Atribusi” yaitu : pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh

suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini

dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintahan yang baru. Yang

memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara:

a. yang berkedudukan sebagai “original legislator” : yg dinegara kita

adalah MPR sebagai pembentuk Konstitusi, dan DPR bersama-sama

Presiden sebagai pembentuk undang-undang;

b. yang bertindak sebagai “delegated legislator”: seperti Presiden yang

berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu

Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang pemerintahan

kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) tertentu

(Badan/Jabatan Pemerintahan).

2. “Delegasi” yaitu : pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh

Badan/Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang

pemerintahan secara atributif kepada Badan/Jabatan TUN lainnya. Jadi,

suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.

3. “Mandat” yaitu : di situ tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru

maupun pelimpahan wewenang dari Badan/Jabatan Tata Usaha Negara

yang satu kepada yang lain14

Selanjutnya HD.van Wijk/Willem Konijnenbelt sebagaimana dikutip

Indroharto, membedakan cara perolehan wewenang sebagai berikut :

1. Atribusi : adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat

undang-undang kepada organ pemerintahan (attributie: toekenning van

een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan een bestuursorgaan);

2. Delegasi : adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ

pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya (delegatie:

overdracht van een bevoegdheid van het ene bestuursorgaan aan een

ander);

3. Mandat : terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya

dijalankan oleh organ lain atas namanya (mandaat: een bestuursorgaan

laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander).15

Berbeda halnya dengan Stroink dan Steenbeek menurutnya hanya ada dua

cara untuk memperoleh wewenang, yaitu: atribusi dan delegasi yang selanjutnya

dijelaskan bahwa : 1) Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru; dan

2) delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang

14

Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Buku I, cet.IV, Pustaka Harapan, Jakarta, hal. 90 15

Ibid.

23

telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain. Jadi, delegasi

secara logis selalu didahului oleh atribusi.

Dalam hal mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang

atau pelimpahan wewenang; tidak terjadi perubahan wewenang apapun (dalam

arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal.16

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan

asss legalitas dalam konsep wewenang yang paling penting adalah menunjang

belakunya kepastian hukum, selain itu perlakuan yang sama dari pemerintah

kepada warganya dan dapat diartikan juga pelaksanaan wewenang dari pemerintah

harus bersumber pada peraturan perundang-undangan.

1.5.2.3 Pembatasan Wewenang

Terhadap wewenang, juga ada pembatasan, yang sering disebut

ketidakwenangan (onbevoegdheid). Ada 3 (tiga) macam ketidakwenangan, yakni :

1. Onbevoegdheid ratione materiae, artinya pejabat itu pada hakekatnya

tidak berwenang untuk melakukan tindakan.

2. Onbevoegdheid ratione loci, artinya kewenangan pejabat itu dibatasi oleh

wilayah tertentu.

3. Onbevoegdheid ratione temporis, artinya kewenangan pejabat itu dibatasi

oleh waktu tertentu.17

Tentang pembatasan wewenang Philipus M Hadjon18

mengemukakan

tentang prosedur pelimpahan, tanggungjawab dan tanggung gugat serta

16

Ridwan, HR., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal. 74-75 17

Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan,

Djumali, Surabaya, hal. 12 – 13.

24

kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi, seperti nampak dalam

skema berikut :

No. PRIHAL DELEGASI MANDAT

1 Prosedur

pelimpahan

Dari suatu organ pemerintahan

kepada organ lain: dengan

peraturan perundang-undangan.

Dalam hubungan rutin

atasan bawahan: hal

biasa kecuali dilarang

dengan tegas.

2 Tanggungjawab

dan Tanggung

gugat

Tanggungjawab dan tanggung

gugat beralih kepada delegataris

(yg menerima pelimpahan

wewenang).

Tetap pada pemberi

mandat.

3 Kemungkinan

si Pemberi

menggunakan

wewenang itu lagi

Tidak dapat menggunakan

wewenang itu lagi kecuali

setelah ada pencabutan dengan

berpegang pada asas “contrarius

actus”.

Setiap saat dapat

menggunakan sendiri

wewenang yang

dilimpahkan.

Sumber: Philipus M Hadjon.19

Tabel di atas, menunjukkan bahwa dalam hal wewenang yang diperoleh

secara delegasi dan mandat, ada pembatasan dilihat dari aspek : 1) prosedur

pelimpahan; 2) tanggungjawab dan tanggung gugat; dan 3) kemungkinan pemberi

wewenang menggunakan wewenangnya itu lagi. Dari aspek prosedur pelimpahan,

perolehan wewenang secara delegasi, berlangsung dari suatu organ pemerintahan

kepada organ lain, dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan dalam

wewenang yang diperoleh secara mandat dapat terjadi dalam hubungan rutin

atasan bawahan, sebagai suatu hal biasa kecuali dilarang dengan tegas. Dari

aspek tanggungjawab dan tanggung gugat, dalam wewenang yang diperoleh

secara delegasi tanggungjawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris

(yang menerima pelimpahan wewenang), sedangkan dalam wewenang yang

diperoleh secara mandat tanggungjawab dan tanggung gugat tetap berada pada

18

Ibid. 19

Ibid.

25

pemberi mandat. Dilihat dari aspek kemungkinan si Pemberi menggunakan

wewenangnya lagi, maka dalam wewenang yang diperoleh secara delegasi,

penggunaan wewenang oleh pemberi wewenang tidaklah dimungkinkan kecuali

setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas “contrarius actus”.

Sedangkan dalam wewenang yang diperoleh secara mandat, pemberi wewenang

dapat menggunakan wewenangnya yang telah dilimpahkan.

1.5.2.4 Karakter Wewenang

Karakter wewenang dapat dibedakan atas: 1) wewenang terikat adalah

wewenang dari pejabat atau badan pemerintah yang wajib dilaksanakan atau tidak

dapat berbuat lain selain dari apa yang tercantum dalam isi sebuah peraturan.

Wewenang ini sudah ditentukan isinya secara rinci, kapan dan dalam keadaan

yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan; dan 2) wewenang diskresi

(beleidsvrijheid, discretionary power, freies ermessen) adalah wewenang yang

diberikan beserta kebebasan dari pejabat untuk mengatur secara lebih konkrit dan

rinci, sedangkan peraturan perundang-undangan hanya memberikan hal-hal yang

pokok saja.20

Dari paparan karakter wewenang tersebut di atas, dapat diketahui

bahwasanya ada pembedaan karakter wewenang menjadi 3 (tiga) jenis.

Wewenang terikat isinya telah ditentukan secara rinci dalam artian, kapan dan

dalam keadaan bagaimana dapat dipergunakannya wewenang, sebagai akibat

pejabat atau badan pemerintah wajib melaksanakan atau tidak dapat berbuat lain

selain dari apa yang tercantum dalam isi sebuah peraturan. Di samping wewenang

20

Ibid.

26

terikat, ada pula wewenang diskresi (beleidsvrijheid, discretionary power, freies

ermessen), yang memberikan kebebasan pejabat untuk mengatur lebih lanjut

wewenang dimaksud secara lebih lebih konkrit dan rinci, namun tetap

berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang telah mengatur hal-hal

yang bersifat pokok.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cara perolehan

wewenang meliputi atribusi, delegasi dan mandat. Perbedaan ketiganya, atribusi

berkaitan dengan wewenang baru, delegasi berkaitan dengan pelimpahan

wewenang dan mandat berkaitan dengan hubungan internal tanpa menimbulkan

perubahan wewenang secara yudis formal.

1.5.3 Teori Perlindungan Hukum

Teori perlindungan hukum digunakan dalam penelitian ini untuk

membahas rumusan masalah kedua yaitu perlindungan hukum dari akibat hukum

dari akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT sementara. Teori

perlindungan hukum pertama kali dicetuskan oleh Immanuel Kant dan Fitzgerald.

Menurut Kant seperti dikutip oleh Beranrd L. Tanya, manusia merupakan

makhluk berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak

dan kebebasan warganya. Kemakmuran dan kebahagian rakyat merupakan tujuan

negara dan hukum, oleh karena itu, hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh

negara. Negara wajib memberi perlindungan hukum kepada warga negaranya.21

Sedangkan menurut Fitzgerald seperti yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, yang

21

Bernard L. Tanya, 2006, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan

Generasi, KITA, Surabaya, hal. 75.

27

menjelaskan teori pelindungn hukum Salmond bahwa hukum bertujuan

mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam

masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap

kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai

kepentingan di lain pihak.22

Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan

kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk

menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.23

Teori perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala

peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan

kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara

anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang

dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra

berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan

yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan

antisipatif.24

Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan

untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik

untuk memperoleh keadilan sosial.25

Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan

oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum

yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum. Meskipun

22

Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.53. 23

Ibid. 24

Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja

Rusdakarya, Bandung, hal. 118. 25

Hartono, Sunaryati, 2001, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,

Penerbit Alumni, Bandung, hal. 29.

28

pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun

haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.26

Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan

yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat

maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan

serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum

yaitu pendukung hak dan kewajiban.27

Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief

Sidharta tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum

itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian

manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat

manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar

sesuai dengan martabatnya.28

Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang salah

satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap Warga

Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap produk

yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan

perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap

aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal

tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan

26

Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 53. 27

Supanto, 2014, Perlindungan Hukum Wanita, http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/,

diakses tanggal 17 September 2014. 28

Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 2004, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, PT.

Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 64.

29

kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dalam

konteks Ilmu Hukum, konsep perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu

bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk

memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari

ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan

pada proses litigasi dan/atau non litigasi.

Perlindungan hukum oleh karenanya merupakan suatu hal yang

melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang

berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan

hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:29

1. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu

pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam

melakukan suatu kewajiban.

2. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi

seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila

sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Teori perlindungan hukum dalam penelitian ini tentunya didasari oleh

teori perlindungan hukum yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, dimana

perlindungan hukum yang dilakukan dalam wujud perlindungan hukum preventif,

29

Musrihah, 2000, Dasar dan Toeri Ilmu Hukum, PT. Grafika Persada, Bandung, hal. 30.

30

artinya ketentuan hukum dapat dihadirkan sebagai upaya pencegahan atas

tindakan pelanggaran hukum. Upaya pencegahan ini diimplementasikan dengan

membentuk aturan-aturan hukum yang bersifat normatif.30

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum

dari negara/pemerintah kepada warga negaranya dapat diberikan secara perventif

maupun repretif. Pelindungan hukum secara perventif bertujuan untuk mencegah

pelanggaran, sedangkan pelindungan hukum secara reprersif berupa sanksi

hukuman atas terjadinya pelanggaran dengan maksud untuk menimbulkan efek

jera.

1.5.4 Konsep Keabsahan Akta

Ukuran keabsahan suatu akta adalah akta dalam bentuk yang ditentukan

oleh undang-undang (bentuknya baku) dan dibuat oleh dan di hadapan pejabat

umum yang berwenang untuk itu. Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan

kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta

otentik. Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka

membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi.

Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat

subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif dicantumkan dalam

badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338

KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian dan

perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya.

Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang

30

Budi Agus Riswandi, 2005, Aspek Hukum Internet Banking, Persada, Jogjakarta, hal.

200.

31

menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka keabsahan akta

Notaris tersebut tidak tercapai. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif,

maka akta tersebut batal demi hukum.

Keabsahan akta Notaris tercapai jika seluruh ketentuan prosedur atau tata

cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi dan

prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut

menjadi akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka

keabsahan akta menjadi diragukan.

Keabsahan akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris berkedudukan

sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN,31

hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik

yaitu :32

1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku),

2. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu.

Pasal 1868 KUHPerdata merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris

juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat

sebagai berikut:

1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang

pejabat umum

2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,

3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.

31

Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30

Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, hal. 125. 32

Philipus M. Hadjon, 2001, “Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik,” Post,

Surabaya, hal. 3.

32

Menurut C.A. Kraan akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti

atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan

dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut

ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang

bersangkutan saja.

2. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat

yang berwenang.

3. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi, ketentuan tersebut

mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat

ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu

tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya c.q. data

dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut).

4. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan

pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan

jabatannya.

5. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah

hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.

Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang Pejabat Umum.

Pasal 1 angka 7 UUJN menentukan bahwa akta Notaris adalah akta

otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata

cara yang ditetapkan dalam UUJN, dan secara tersirat dalam Pasal 58 ayat

33

(2) UUJN disebutkan bahwa Notaris wajib membuat daftar akta dan

mencatat semua akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris.

Akta yang dibuat oleh Notaris dalam praktek Notaris disebut akta

relaas atau akta berita acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat

dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan

atau perbuatan para pihakyang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta

Notaris. Akta yang dibuat di hadapan Notaris, dalam praktek Notaris

disebut akta pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para

pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak

berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk

akta Notaris.33

Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang

menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus

ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para

pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris

tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan

permintaan para pihak Notaris dapat memberikan saran dengan tetap

berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak

dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal

tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan

saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak

bukan perbuatan atau tindakan Notaris.34

33

G.H.S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal. 51. 34

Habib Adjie, Op Cit, hal. 128.

34

Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta

Notaris dan Notaris, jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para

pihak, maka :

a. Para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan

atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah

tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala

akibat dari pembatalan tersebut.

b. Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan,

salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan

secara tanggung gugat terhadap akta Notaris menjadi akta di bawah

tangan. Setelah didegradasikan, maka Hakim yang memeriksa gugatan

dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah

didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan. Hal

ini tergantung pembuktian dan penilaian hukum.

Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa

dirugikan dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa

dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada

Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban Penggugat, yaitu dalam

gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat

langsung dari akta Notaris. Dalam kedua posisi tersebut, Penggugat harus

dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek

lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta Notaris.

2) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie Voor De

35

Notarissen Residerende In Nederlands Indie dengan Stbl No. 11, tanggal 7

Maret 1822, kemudian dengan Reglement Op Het Notaris Ambt In

Indonesie (Stb. 1860 : 3), dan Reglement ini berasal dari Wet Op Het

Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi

PJN.35

Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal

tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di

Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara

kelembagaan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak

mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta

notarismendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-

undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN.36

3) Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu :

a) Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus

dibuat itu. Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang

tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga

berwenang membuatnya di samping dapat dibuat oleh pihak atau

pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang Notaris dalam

membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan

pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Pasal 15 UUJN telah

menentukan wewenang Notaris. Kewenangan Notaris yang lainnya

35

Tan Thong Kie, 1994, Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van

Hoeve, Jakarta, hal. 362. 36

Habib Adjie, Op Cit, hal. 54.

36

yaitu (1) Notaris berwenang pula : (a) Mengesahkan tanda tangan dan

menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan

mendaftarkan dalam buku khusus; (b) Membukukan surat-surat di

bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; (c) Membuat

kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat

uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang

bersangkutan; (d) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan

surat aslinya; (e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan

pembuatan akta; (f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;

atau (g) Membuat akta risalah lelang; (2) Selain kewenangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai

kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Wewenang ini merupakan suatu batasan, bahwa Notaris tidak boleh

melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang tersebut.

b) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk

kepentingan siapa akta itu dibuat. Notaris harus berwenang sepanjang

mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.

Meskipun Notaris dapat membuat akta untuk setiap orang, tapi agar

menjaga netralitas Notaris dalam pembuatan akta, ada batasan bahwa

menurut Pasal 52 UUJN Notaris tidak diperkenankan untuk membuat

akta untuk diri sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai

hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan

maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah

dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke

samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri

37

sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan

kuasa.

c) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu

dibuat. Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus

berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai

dengan keinginannya mempunyaitempat kedudukan dan berkantor di

daerah kabupaten atau kota (Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris

mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari

tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Pengertian pasal-

pasal tersebut bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya

tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena Notaris

mempunyai wilayah jabatan seluruh propinsi. Hal ini dapat dijalankan

dengan ketentuan :

(a) Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta) di

luar tempat kedudukannya, maka Notaris tersebut harus berada di

tempat akta akan dibuat.

(b) Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten)

pembuatan dan penyelesaian akta.

(c) Menjalankan tugas jabatan di luar tempat kedudukan Notaris dalam

wilayah jabatan satu propinsi tidak merupakan suatu keteraturan

atau tidak terusmenerus (Pasal 19 ayat (2) UUJN).

d) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta

itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan

aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara

38

waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan

untuk menjalankan tugas jabatannya. Agar tidak terjadi kekosongan,

maka Notaris yang bersangkutan dapat menunjuk Notaris Pengganti

(Pasal 1 angka 3 UUJN).

Karakter yuridis akta Notaris, yaitu:37

1. Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh

undangundang (UUJN).

2. Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak, dan bukan

keinginan Notaris.

3. Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam hal ini

Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau

penghadap yang namanya tercantum dalam akta.

4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapa pun terikat

dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang

tercantum dalam akta tersebut.

5. Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan

para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak

setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan gugatan ke

Pengadilan Umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi

dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.

1.5.5 Konsep Akta Otentik

Akta Otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang

diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang

37

Habib Adjie, Op.Cit, hal. 121.

39

telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan,

yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang

berkepentingan, Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang

menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihatnya dihadapannya.38

Pasal 165 HIR dan Pasal 1868 KUH Perdata mengatur mengenai akta

otentik yang berbunyi sebagai berikut; “akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat

oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti

yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat

hak dari padanya tentang yang tercantum didalamnya dan bahkan tentang yang

tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir

ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok

daripada akta”.

Akta otentik ada dua macam yaitu:39

1. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat atau yang dinamakan “akta relaas”

atau akta pejabat (ambtelijke akten).

Akta yang dibuat oleh notaris dapat merupakan suatu akta yang

memuat “relaas” atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang

dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh

pembuatakta itu, yakni notaris sendiri, didalam menjalankan jabatannya

sebagai notaris. Dengan kata lain, akta yang dibuat sedemikian dan yang

memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu

dinamakan akta yang dibuat oleh notaris. Contohnya berita acara rapat

para pemegang saham dalam perseroan terbatas

38

Teguh Samudera, 1992, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung,

hal. 36. 39

G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 51.

40

2. Akta yang dibuat dihadapan notaris atau yang dinamakan “akta partij”

Akta yang partij adalah akta yang berisi suatu keterangan dari apa

yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan

notaris, artinya diterangkan oleh pihak lain kepada notaris dalam

menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja

datang di hadapan notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan

perbuatan itu di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu

dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Akta yang seperti itu

dinamakan akta yang dibuat dihadapan notaris. Contohnya perjanjian

hibah, wasiat, kuasa, dan lain sebagainya.40

Akta partij selalu memilih kekuatan bukti materiil dan merupakan alat

bukti sempurna sebab dalam akta partij kebenaran dari isi akta tersebut ditentukan

oleh pihak-pihak dan diakui pula oleh pihak-pihak dan pejabat yang menerangkan

seperti apa yang dilihat, diketahuinya dari para pihak itu. Tetapi pada akta Relaas

tidak selalu terdapat kekuatan bukti materiil artinya setiap orang dapat

menyangkal kebenaran isi akta otentik itu asal dapat membuktikannya, sebab apa

yang dilihat dan dilakukan oleh pejabat itu hanya berdasarkan pada apa yang

dikehendaki oleh yang berkepentingan.41

Notaris tidak berada di dalamnya pada 2 (dua) macam akta tersebut, tetapi

yang melakukan perbuatan hukum itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan.

Inisiatif dalam pembuatan akta notaris atau akta otentik itu ada pada para pihak.

Dengan demikian akta notaris atau akta otentik tidak menjamin bahwa pihak-

40

G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 46 41

Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, hal. 136.

41

pihak tersebut berkata benar, tetapi yang dijamin oleh akta otentik adalah para

pihak benar-benar berkata atau melakukan perbuatan hukum seperti yang termuat

dalam akta tersebut.

Terhadap hal-hal yang disampaikan kepada notaris, apakah itu

mengandung suatu kebenaran atau tidak, hal itu bukanlah kewenangan notaris.

Apabila akta notaris itu mengandung kebohongan atau kepalsuan dimana

keterangan yang diberikan kepada notaris tidak benar maka tidak menjadikan akta

tersebut sebagai akta palsu, sepanjang notaris tersebut tidak mengetahui bahwa

keterangan yang diberikan padanya adalah tidak benar atau palsu.

Uraian tersebut di atas menunjukkan antara akta otentik yang dibuat

“oleh” dan yang dibuat “dihadapan” pegawai umum terdapat perbedaan pokok

antara lain:

1. Pada akta otentik yang dibuat “oleh” pegawai umum, inisiatif datang dari

pihaknya, pihaknya mengetahui benar tentang hal-hal yang dikemukakan

dalam akta (isi akta); sedangkan pada akta otentik yang dibuat

“dihadapan” pegawai umum yaitu notaris, notaris tidak pernah memulai

inisiatifnya, notaris tidak tahu benar kebenaran dari hal-hal yang

dikemukakan oleh kedua belah pihak yang hadir dihadapannya (isi dari

akta), ia hanya membantu merumuskan kehendak para pihak.

2. Akta otentik yang dibuat “dihadapan” pegawai umum biasanya disebut

juga dengan akta para pihak, dalam hal ini notaris pasif artinya notaris

menunggu sampai ia diperlukan oleh pihak lain untuk membuatkan akta.

Jadi tidak ia dengan sendirinya tanpa dipanggil membuat akta. Akta para

42

pihak juga tidak berarti hanya berisikan keterangan dari pihak sematamata

saja, melainkan juga berisikan keterangan dari notaris itu sendiri.

3. Akta yang dibuat “oleh” pegawai umum terhadap ketiadaan tanda tangan

tidak mengakibatkan akta tersebut kehilangan otensitasnya. Sebagai

contoh dalam pembuatan cerita acara rapat umum pemegang saham dalam

perseroan terbatas, sering kali orang-orang yang hadir telah meninggalkan

rapat sebelum akta itu ditandatangani dan oleh notaris cukup hanya

menerangkan dalam akta tersebut bahwa para pihak yang hadir telah

meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta itu dan akta itu tetap

merupakan akta otentik. Pada akta yang dibuat “dihadapan” pejabat

umum, keharusan adanya tanda tangan para pihak adalah untuk

mempertahankan otentisitasnya. Jika akta tersebut tidakditandatangani

maka akta tersebut harus diterangkan apa yang menjadi alasan tidak

ditandatanganinya akta itu, misalnya para pihak atau salah satu pihak buta

huruf atau tangannya lumpuh. Keterangan notaries mengenai hal tersebut

adalah sebagai ganti tanda tangan (surrogaat). Dengan demikian dalam

akta partij penandatanganan oleh para pihak adalah merupakan suatu

keharusan.42

Suatu akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya dapat menjadi

akta otentik apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1868

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

1. Akta harus dibuat “oleh” atau “dihadapan” seseorang pejabat umum.

42

Teguh Samudera, Op.Cit, hal.42

43

2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

3. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai

kewenangan untuk membuat akta itu.

Pasal 1869 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Jo Pasal 16 ayat (8)

Undang-undang Jabatan Notaris, bila salah satu syarat yang ditentukan dalam

Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu tidak terpenuhi maka akta

yang dibuatnya tidak otentik, hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah

tangan apabila akta itu ditandatangani oleh para penghadap.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Mengingat adanya norma kabur dalam hal penunjukan camat sebagai

PPAT Sementara, maka penelitian ini megggunakan jenis penelitian hukum

normatif, yang mengkaji dan menganalisa bahan hukum yaitu berupa bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait

dengan kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat.

Penelitian hukum normatif (normative legal research) merupakan

penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan

yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.

Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian

yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan

pustaka.43

Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian yang difokuskan

43

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida Media, Jakarta, hal.

34.

44

untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif.44

Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis,

yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan

meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom, mandiri, tertutup

dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.45

1.6.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif

akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan

ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan analisis dan eksplanasi. Dalam

kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan yaitu:46

1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).

2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).

3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).

4. Pendekatan Historis (historical approach).

5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).

6. Pendekatan Kasus (case approach).

Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu

penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih

yang sesuai. Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode

pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep

(conceptual approach) mengingat permasalahan yang diteliti adalah mengenai

kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat.

44

Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,

Malang, hal. 295. 45

Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni,

Jakarta, hal 13-14. 46

Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal. 300-301.

45

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum/data yang diperlukan dalam penelitian ini

merupakan data sekunder. Adapun data sekunder terdiri dari:47

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang

berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945

b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104 dan

Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043).

d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 117 dan Tambahan Lembaran

Negara Nomor 4432) sebagaimana telah dirubah dengan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas (Lembaran

Negara Tahun 2014 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor

5491).

e. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59 dan Tambahan

Lembaran Negara Nomor 3696).

f. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1998 Nomor 52)

47

Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, hal. 18.

46

g. Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum

primer, seperti: hasil penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau pertemuan

ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro, dokumen

pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk dalam bahan

hukum sekunder ini sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian

hukum ini.48

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti kamus hukum,49

Surat kabar, majalah mingguan, bulletin

dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang

memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum

ini.50

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode

pengumpulan bahan hukum dan iventarisasi bahan hukum primer yang berkaitan

dengan permasalahan yang diteliti kemudian diklasifikasi secara sistematis dan

tujuannya serta mengkaji isinya menurut kelompoknya sesuai dengan hirarkhi

peraturan perundang-undangan. Dimana bahan hukum skunder dan tersier

48

Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Op.Cit, hal. 24. 49

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan

Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 14-15. 50

Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007. The Legal Souyrces of Public Policy,

Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.

47

dikumpulkan dengan cara teknik studi dokumen (study document) diproleh

melalui penelitian kepustakaan (Library reasearch), dengan cara mengkaji isinya

secara mendalam, menelah, mengola bahan-bahan hukum leteratur, artikel

ataupun tulisan yang berkaitan dengan obyek yang akan diteliti. Penelitian

dokumen ini dilakukan dengan sistem kartu yakni dengan mencatat dan

memahami dari masing-masing bahan imformasi yang didapatkan baik dari bahan

hukum primer, skunder maupun tersier menitik beratkan pada penelitian

kepustakaan (library research) dan juga bahan-bahan hukum lainya.

Jadi, teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah studi pustaka

atau studi dokumen yaitu mengumpulkan data sekunder mengenai obyek

penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-perspektif,

dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan data sekunder mengenai objek

penelitian, baik secara konvensional maupun dengan menggunakan teknologi

informasi seperti internet, dan lain-lain.

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data, melainkan

melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat kaitannya

antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan hukum yang

berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara interpretatif,

evaluatif, argumentatif dan deskriptif.51

1. Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu

hukum seperti penafsiran historis,sistematis, dan lain-lain. Selanjutnya

51

Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2008, Program Studi Magister Hukum,

Universitas Udayana. hal. 14.

48

bahan Hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif

,sistematis dan argumentatif.

2. Teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan,

proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan,baik yang tertera dalam

baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder.

3. Teknik Sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum

atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun

tidak sederajat.

4. Teknik Argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena

penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran

hukum.

5. Teknik deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh

gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi

pidananya.