Upload
tranquynh
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setelah Perang Dunia II berakhir, konsentrasi masyarakat telah berpusat pada
pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah
menunjukkan pengembangan ekonomi yang cukup pesat, namun juga membawa
suatu permasalahan baru yang serius yaitu kesenjangan ekonomi yang semakin tajam
antara kesejahteraan dan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara maju dengan
negara-negara berkembang. Negara maju terdiri dari 20 persen penduduk dunia,
menikmati sekitar ⅔ penghasilan dunia. Sementara negara-negara berkembang yang
berpopulasi 50 persen dari penduduk dunia, menikmati sekitar ⅛ pendapatan dunia,
dan negara-negara miskin yang berpenduduk sekitar 30 persen dari penduduk dunia
hanya menikmati 3 persen dari pendapatan dunia.1
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, berdasarkan penjelasan di
atas hanya menikmati ⅛ dari pendapatan dunia. Ketimpangan ini membuat
Pemerintah Indonesia termotifasi untuk semakin menggiatkan perekonomian
Indonesia. Salah satu cara untuk menggiatkan perekonomian tersebut adalah dengan
menunjang kaum yang ekonominya lemah agar dapat memperbaiki ekonominya dan
hidup mandiri.
1 Bulajic, Milan, 1998, Principles of International Development Law, Martinus Niijhoff
Publishers, The Netherlands, page. 20-23, dikutip dari Lili Rasjidi, Wyasa Putra, 2003, Hukum
Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, Hal.170
2
Koperasi didirikan untuk melakukan usaha perbaikan tingkat kehidupan
ekonomi dari orang-orang yang berasal dari kelompok pekerja atau orang-orang yang
jatuh miskin sebagai akibat pelaksanaan sistem kapitalisme.2 Koperasi dipandang
sebagai usaha yang dapat membantu perbaikan tingkat kehidupan ekonomi
dikarenakan pada hakikatnya Koperasi membantu berdasakan asas tolong menolong.
Dikemukakan oleh Mohammad Hatta dalam bukunya The Cooperative Movement in
Indonesia bahwa:
koperasi adalah melambangkan harapan bagi kaum yang lemah ekonominya
berdasarkan self-help dan tolong menolong di antara anggota-anggotanya yang
melahirkan di antara mereka rasa percaya pada diri sendiri dan persaudaraan.
Koperasi menyatakan semangat baru untuk menolong diri sendiri yang didorong
oleh keinginan member jasa kepada kawan berdasarkan kebersamaan.3
Secara etimologi, koperasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu
cooperatives: merupakan gabungan kata co dan operation. Dalam bahasa Belanda
disebut cooperatie, yang artinya adalah kerja bersama. Dalam bahasa Indonesia
dilafalkan menjadi koperasi.4
Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian memberikan definisi koperasi sebagai badan usaha yang
beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan
2Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Banemay, 2005, Hukum Koperasi
Indonesia; Pemahaman, Regulasi, Pendirian dan Modal Usaha, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, Hal. 14 3Ibid, hal. 19 4Ibid, hal. 15
3
kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat
yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Gerakan ekonomi kerakyatan yang berdasarkan atas asas kekeluargaan ini
juga dicantumkan dalam Pasal 33 UUD NKRI 1945 yaitu:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan;
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
(3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Asas kekeluargaan menjadi faktor yang penting dalam membangun
perekonomian bagi masyarakat karena mementingkan kepercayaan yang diberikan
sesama anggota dalam memberikan modal usaha sehingga dapat membantu
pengembangan perekonomiannya.
Inpres Nomor 18 Tahun 1998 tentang Peningkatan Pembinaan dan
Pengembangan Perkoperasian dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia pada
saat itu untuk mempermudah perijinan pendirian Koperasi. Dikeluarkannya Inpres
Nomor 18 Tahun 1998 ini berdampak terhadap banyaknya jumlah koperasi yang ada
di Indonesia. Inpres Nomor 18 Tahun 1998 memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada masyarakat untuk membentuk dan mengelola koperasi tanpa batasan
wilayah kerja, koperasi menjadi lebih mandiri dan bebas melakukan aktivitas
usahanya tanpa ada campur tangan pemerintah.5
5Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, 2002, Perkoperasian Sejarah, Teori dan Praktek,
Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal.109
4
Koperasi, khususnya Koperasi Simpan Pinjam (yang selanjutnya disebut
KSP) merupakan jenis koperasi yang hampir menyerupai bank. Hal ini dikarenakan
KSP juga menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan simpan pinjam
bagi para anggota koperasi yang berangkutan serta kepada koperasi lain dan
anggotanya Untuk dapat melakukan kegiatan tersebut tentunya KSP juga harus
mengikuti persyaratan-persyaratan yang ada untuk mendirikan suatu koperasi dan
apabila nantinya KSP tersebut akan melakukan kegiatan perbankan, maka koperasi
tersebut haruslah mendapat ijin/persetujuan dari Pimpinan Bank Indonesia terelebih
dahulu.
Seiring dengan berjalannya waktu, banyak koperasi yang tidak menjalankan
usahanya dengan menggunakan asas kekeluargaan. Koperasi yang mengusung
membantu perekonomian masyarakat miskin malah bergerak hanya untuk mencari
keuntungan saja dan melupakan tujuan untuk mensejahterakan seluruh anggota
koperasi. Dalam prakteknya banyak terdapat koperasi, khususnya koperasi simpan
pinjam di Indonesia yang anggotanya hanya mendaftarkan KTP-nya saja dan tidak
menyetor seluruh simpanan yang diwajibkan. Atau dengan kata lain, KTP tersebut
hanya formalitas dibalik pemodal utama yang merupakan aktor dibelakang layar yang
mengendalikan koperasi. Koperasi Simpan Pinjam juga dinilai sebagai korporasi di
mana koperasi terkadang hanya mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan
tidak jarang pula mencari keuntungan tersebut dengan cara yang tidak sesuai dengan
5
AD/ART Perkoperasian. Dan tidak jarang koperasi tersebut juga menyimpan dana
pihak ketiga dan menyalurkan kredit ke masyarakat
Contoh diatas menunjukkan salah satu tindak pidana yang dapat dilakukan
oleh koperasi yaitu tindak pidana perbankan terkait perijinan yang jelas-jelas
melanggar Pasal 1 ayat 2 UU No.7/1992 jo. UU No. 10/1998 tentang Perbankan yang
menerangkan bahwa hanya insitintusi perbankan yang diperbolehkan untuk
menyimpan dana pihak ketiga dan menyalurkan kredit ke masyarakat.6
UU No.7/ 1992 jo.UU No. 10/1998 tentang Perbankan menguraikan jenis-
jenis atau bentuk-bentuk tindak pidana perbankan yang diklasifikasikan ke dalam 13
jenis tindak pidana dengan unsur dan penerapan yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Dari ketiga belas jenis tindak pidana perbankan tersebut, pada dasarnya
dapat dikelompokkan kembali menjadi 5 kelompok utama, yaitu sebagai berikut:
1. Tindak Pidana yang berkaitan dengan perizinan
2. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank
3. Tindak pidana yang berkaitan dengan sikap dan/atau tindakan yang dilakukan
oleh pengurus bank, pegawai bank, pihak terafiliasi, dan pemegang saham
bank.
4. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank
5. Tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank7
Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan ini diatur dengan tegas dan
jelas dalam UU No. 10/1998 jo. UU No.7/ 1992 tentang Perbankan pada Pasal 16,
6 I Gede Hartadi Kurniawan, 2013, Tindakan Koperasi Simpan Pinjam yang Mengakibatkan
Perbuatan Tindak Pidana, dikutip dari http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Lex/article/view/348,
diakses pada tanggal 26 Januari 2015 7Kristian, dan Yopi Gunawan, 2013, Tindak Pidana Perbankan, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung,
Hal.44
6
Pasal 18, dan Pasal 20. Dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 10/1998 jo. UU No.7/ 1992
tentang Perbankan disebutkan bahwa “setiap pihak yang melakukan kegiatan
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu
memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari
Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari
masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Sedangkan tindak
pidana yang berkaitan dengan pendirian bank tanpa izin (bank gelap) dapat
ditemukan dalam Pasal 46 UU No. 10/1998 jo. UU No.7/ 1992 tentang Perbankan
menyatakan bahwa:
(1) Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa
izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal
16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau
koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik
terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang
bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Penjabaran Pasal 46 UU No. 7/1992 jo. UU N. 10/1998 tentang Perbankan tersebut
menjelaskan bahwa Koperasi juga dapat dikatakan melakukan tindak pidana
perbankan terkait perizinan dan yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah bagi
mereka yang memberi perintah maupun yang bertindak sebagai pimpinan. Sehingga
dalam pasal ini secara tersirat menjabarkan bahwa Koperasi merupakan bagian dari
Korporasi dan juga sebagai subyek hukum yang dapat dikenakan pidana.
7
Berbeda halnya dengan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, koperasi
masih belum dapat dikatakan sebagai subyek hukum yang dapat dikenakan pidana.
Hal ini dikarenakan dalam UU No.25/1992 tentang Perkoperasian tidak mengatur
mengenai sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada koperasi apabila melakukan
suatu tindak pidana. Koperasi hanya dikenakan sanksi administratif yaitu pembubaran
sesuai dengan ketentuan Pasal 46-56 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Dimana
dalam Pasal 47 ayat (1) UU No.25/1992 tentang Perkoperasian disebutkan bahwa:
(1) Keputusan pembubaran oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 huruf b dilakukan apabila:
a. Terdapat bukti bahwa koperasi yang bersangkutan tidak memenuhi
ketentuan Undang-undang ini;
b. Kegiatannya bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan;
c. Kelangsungan hidupnya tidak dapat lagi diharapkan.
Penjelasan pasal tersebut menunjukkan bahwa menurut UU No.25/1992 tentang
Perkoperasian, Koperasi tidak dipandang sebagai subyek hukum pidana sehingga
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana khususnya kepada pihak-
pihak individu yang menggerakkan koperasi. Jadi apabila koperasi melakukan suatu
tindak pidana maka UU Perkoperasian hanya dapat memberikan sanksi administratif
saja yaitu pembubaran koperasi sebagai badan hukum.
Koperasi sebagai badan hukum/ korporasi juga masih menuai pro dan kontra.
Terdapat pendapat yang menyebutkan bahwa koperasi berbeda dengan korporasi. Hal
ini sering disebutkan dalam berbagai literatur dikarenakan koperasi memiliki cara
kerja serta interaksi internal dan eksternal yang khusus dan berbeda dengan badan
usaha lainnya. Namun pada kenyataanya Koperasi saat ini juga sering dipandang
8
sebagai suatu Korporasi. Hal ini dikarenakan dalam UU No 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian dinyatakan bahwa Koperasi merupakan badan usaha yang
beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat
yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Sedangkan Korporasi menurut Pasal 1 UU
No. 31/1999 jo UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
adalah kumpulan orang dan/ kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum serta dalam Pasal 1 butir 13 UU No. 5/1997
tentang Psikotropika menyebutkan pengertian korporasi adalah kumpulan yang
terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun
bukan. Apabila dilihat dari unsur-usur yang terdapat dalam pengertian Koperasi dan
Korporasi yang telah disebutkan di atas, maka akan terlihat persamaan yaitu pada
unsur sekumpulan orang atau badan hukum.
Seperti yang tercantum dalam UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang
Perbankan, dalam Pasal 46 ayat (2) disebutkan bahwa “badan hukum yang berbentuk
perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi”, kalimat tersebut
menyiratkan bahwa koperasi pun merupakan korporasi dan dapat melakukan
pertanggungjawaban sebagai korporasi sehingga tindak pidana yang dilakukan oleh
Koperasi dianggap sebagai tindak pidana korporasi pula. Pertanggung Jawaban
Pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana pada
9
seseorang pembuat tindak pidana.8 Hal seperti itu juga diatur dalam Pasal 46 UU
No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang Perbankan, dimana subyek hukum yang
dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya terkait tindak pidana perbankan
berkaitan dengan perizinan adalah bagi mereka yang memberi perintah atau yang
bertindak sebagai pempimpin dalam melakukan perbuatan menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpananan tanpa izin Pimpinan Bank Indonesia. Bilamana
koperasi adalah korporasi maka koperasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
apabila koperasi tersebut melakukan tindak pidana.
Sayangnya, dalam menjatuhkan pidana bagi Kopersi Simpan Pinjam yang
melakukan tindak pidana perbankan akan mengalami kesulitan karena adanya
perbedaan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian dengan UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang
Perbankan. Dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, koperasi yang melanggar ketentuan perundang-undangan dan
kegiatannya bertentangan dengan ketertiban umum maka koperasi tersebut hanya
dikenakan sanksi administratif berupa pembubaran. Hal ini sangat jauh berbeda
dengan sanksi yang dicantumkan dalam UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang
Perbankan yang memberikan sanksi pidana kepada Pengurus/Pemimpin
Perusahaan/Koperasi yang dalam hal ini kalau koperasi yang melakukan tidak pidana
perbankan maka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak
8 Chairul Huda, 2006,Dari‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal.64
10
sebagai pimpinan dalam perbuatan atau terhadap kedua-duanya harus bertanggung
jawab. Konflik norma ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam
memberiakan keadilan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat apabila terdapat
koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal inilah membuat penulis
tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih lanjut mengenai “Pertanggungjawaban
Pidana Koperasi Dalam Tindak Pidana Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin”
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana
perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi?
2. Siapakah yang bertanggungjawab bilamana koperasi melakukan tindak pidana
perbankan tanpa ijin?
1.3.Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada dalam hal
pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin
yang dilakukan oleh koperasi, serta siapa yang bertanggungjawab dalam hal
koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin.
1.4.Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
11
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis siapakah yang
bertanggungjawab dalah hal koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa
ijin.
1.4.2. Tujuan Khusus
Berdasarkan tujuan umum di atas dan dengan menekankan pada aspek
normatifnya, maka tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan
yang dibahas yakni:
1. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan pertanggungjawaban pidana
bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan
oleh koperasi,
2. Untuk menganalisis dan mengkritisi, siapa pihak yang
bertanggungjawab dalam hal koperasi melakukan kegiatan tindak
pidana perbankan tanpa ijin.
1.5.Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia
akademis,yaitu dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam Hukum
Pidana yang berkaitan dengan pengisian hukum dan penegakan hukum
terhadap pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana
perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi.
12
1.5.2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik
kepada Pemerintah, maupun peneliti sendiri. Dimana hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan rekomendasi bagi seluruh
pihak-pihak yang berkepentingan untuk konsisten terhadap komitmen dalam
menjaga dan memberikan solusi yang tepat dan adil dalam penanganan
koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal ini ditujukan
agar kedepannya tidak ada konflik norma antara peraturan perundang-
undangan yang ada sehingga Hakim kedepannya dapat memberikan
keputusan yang seadil-adilnya bagi semua pihak yang mencari keadilan.
Selain itu diperlukannya suatu peraturan yang jelas mengenai Koperasi yang
melakukan tindak pidana perbankan agar kedepannya tidak ada lagi
kerancuan dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana.
1.6.Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan dan beberapa studi empiris yang
ada kaitannya dengan permasalahan Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Dalam
Tindak Pidana Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin, belum pernah dilakukan
oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Akan tetapi permasalahan mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya,
antara lain
13
Pertama, penelitian Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Anggota
Penyimpan Dana Pada Koperasi Credit Union Khatulistiwa Bakti Pontianak oleh
Blasius Andjioepada Program Magister Hukum Universitas Tanjungpura pada Tahun
2013. Tesis ini mengkaji tentang bagaiamana hubungan hukum antara anggota
penyimpan dana dengan Koperasi CU Khatulistiwa Bakti Pontianak dihubungkan
dengan perlindungan hukum terhadap anggota penyimpan dana pada Koperasi CU
Khatulistiwa Bakti serta bagaimana pelaksanaan sistem pengaturan aktivitas usaha
simpan pinjam pada Koperasi CU Khatulistiwa Bakti. Penelitian dalam Tesis ini
berpusat pada Koperasi CU Khatulistiwa Bakti, dimana Koperasi ini merupakan salah
satu Koperasi Simpan Pinjam yang ada di Kalimanatan Barat, dan dalam kenyataanya
Koperasi ini menawarkan berbagai bentuk simpanan dan pinjaman bagi para
anggotanya sehingga dapat dilihat bahwa Koperasi CU Khatulistiwa Bakti secara
tidak langsung melakukan kegiatan Perbankan. Namun Blasius mengkaji lebih dalam
mengenai bagaimana perlindungan bagi nasabah yang menyimpan uangnya di
Koperasi CU Khatulistiwa Bakti karena takut dikemudian hari dana yang mereka
simpan tersebut akan hilang yang salah satunya dikarenakan adanya penipuan dari
koperasi simpan pinjam tersebut.
Kedua adalah Tesis oleh Orpa Ganefo Manuain, Universitas Diponegoro
Semarang, Tahun 2005, yang menganalisis tentang Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini mengarah pada pengkajian
mengenai sistem hukum pidana yang dianut oleh KUHP Indonesia tidak mengenal
14
korporasi sebagai subyek hukum. namun dalam perkembangannya ternyata bahwa
hukum pidana yang tersebar di luar KUHP sudah menerima korporasi sebagai subyek
hukum. di Indonesia hal ini diawali dengan lahirnya UU No 7/Drt/1995 tentang
Tindak Pidana Ekonomi yang kemudian disusul oleh peraturan pidana khusus lainnya
seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31 Tahun 1999 jo UU No
20 Tahun 2001).
Adapun berdasarkan hal tersebut, dalam tesis ini permasalahan yang diangkat
adalah: bagaiamana formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana)
korporasi dalam tindak pidana korupsi, dan bagaimana sebaiknya formulasinya di
masa yang akan datang.
Perbedaan signifikan antara tesis diatas dengan penelitian yang dibuat oleh
peneliti adalah mengenai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi.
Tesis ini mengangkat mengenai apakah korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama
dengan manusia dalam hal tindak pidana korupsi. Dimana dalam penelitiannya
ditemukan bahwa formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana)
korporasi dalam tindak pidana korupsi terdapat kelemahan-kelemahan sebagai
berikut: dalam merumuskan kapan korporasi melakukan tindak pidana korupsi tidak
dijelaskan pengertian “hubungan kerja” dan “hubungan lain”, tidak diatur pemberatan
pidana untuk korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 ayat (2); tidak diatur pidana pengganti denda yang tidak dibayar oleh
korporasi. Selain itu juga terdapat kelemahan umum dari UUPTPK yang berpengaruh
15
terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu: tidak diaturnya pengertian
pemufakatan jahat menurut UUPTPK, dan syarat-syarat pengulangan tindak pidana
korupsi (residive) menurut UUPTPK. Berdasarkan hal tersebut maka dalam tesis ini
juga menjelaskan bahwa untuk prospeknya di masa yang akan datang, UUPTPK
harus memformulasikan: pengertian “hubungan kerja” dan “hubungan lain”,
pemberatan pidana untuk korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 ayat (2); pidana pengganti denda yang tidak dibayar oleh
korporasi; pengertian pemufakatan jahat; dan syarat-syarat pengulangan tindak
pidana korupsi.
Ketiga, Tesis mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam
Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh M. Yusufidli
Adhyaksana,SH pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Semarang, Tahun 2008.
Dalam penelitian ini permasalahan yang diangkat adalah bagaiamana pengaturan
pertanggungjawaban pidana korporasi serta bagaimana penyelesaian kasus BLBI dan
penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Perbedaan yang jelas dalam tesis ini dengan penelitian yang dibuat oleh peneliti
adalah dalam penelitiandiatas menjelaskan bahwa hukum positif di Indonesia yang
berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yang relevan dengan kasus
BLBI, pada saat itu tidak mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi. Oleh
karena itu, semua kasus BLBI yang menggunakan proses peradilan pidana,
16
didasarkan pada pertanggungjawaban perorangan, yang pada umumnya adalah para
pengurus atau pemegang saham atau orang yang memegang peranan penting dalam
beroperasinya korporasi debitur BLBI tersebut. Dengan demikian konstruksi
penyidikan dan penuntutan perkara BLBI didasarkan pada perbuatan Individu, dan
tidak berorientasi pada pertanggungjawaban pidana korporasi itu sendiri. Selain itu
dalam penelitian ini juga dibahas mengenai perbandingan KUHP Indonesia dengan
KUHP di Perancis, Firlandia, Norwegia, dan Australia, dimana dalam KUHP negara-
negara tersebut telah diatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi,
sehingga selain pegurus atau pejabat korporasi lannya dapat dipidana, terhadap
korporasi itu sendiri akan dikenakan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Berdasarkan penjabaran singkat dari tesis-tesis tersebut di atas, maka dapat dilihat
bahwa penelitian mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi dalam tindak pidana
melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin belum pernah dilakukan sehingga penelitian
ini dapat dilakukan oleh peneliti.
1.7.Landasan Teoritis
1.7.1. Landasan Teoritis
Ada asumsi yang menyatakan, bahwa bagi suatu penelitian, maka teori
mempunyai beberapa kegunaan yaitu sebagai berikut:
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih
mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.
17
b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,
membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-
definsi.
c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah
diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut obek yang diteliti.
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh
karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan
mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa
mendatang.
e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan
pada pengetahuan peneliti.9
Maka berdasarkan kegunaan tersebut teori sangat diperlukan dalam suatu
penelitian agar dicapainya kesimpulan yang kongkrit dan baik. Landasan teori
merupakan butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu permasalahan
(problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin
disetujui ataupun tidak disetujui.10 Adapun dalam penelitian ini tidak hanya teori
yang digunakan untuk mencari kesimpulan yang sebaik-baiknya,terdapat pula
asas-asas, konsep-konsep hukum, serta doktrin yang memiliki korelasi yang erat
dengan permasalahan yang dibahas yaitu Pertanggungjawaban Pidana Koperasi
Dalam Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin.
Dalam penelitian ini digunakan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Apabila
membicarakan pertanggungjawaban pidana korporasi maka asas yang paling erat
kaitannya adalah asas tiada pidana tanpa kesalahan (Green Straf Zonder Schuld
atau Nulla Poena Sine Culpa). Kesalahan merupakan asas yang fundamental
9 Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, Hal.121 10 Endang Komara, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama, Bandung, h.
81.
18
dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya sehingga meresap dan
menggema dalam hampir semua ajaran dalam hukum pidana.11Menurut Sudarto,
dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi
seseorang yang melakukan suatu kesalahan yang melanggar rumusan delik yang
ada atau ketentuan perundang-undangan tidaklah dikatakan cukup untuk dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jadi meskipun pelakunya memenuhi
rumusan delik dalam undang – undang dan tidak dibenarkan (anobjective breach
of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk
menjatuhkan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang
yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective
guild). Permasalahan pertanggungjawaban koperasi sebagai korporasi pelaku
tindak pidana adalah suatu hal yang tidak sederhana mengingat pelaku tindak
pidana adalah korporasi atau badan hukum. Mens rea sebagai unsur yang sulit
dibuktikan dari korporasi yang dianggap melakukan tindak pidana mengingat
korporasi hanya bisa melakukan tindakan melalui organ direksi. Korporasi bisa
dianggap melakukan tindak pidana berdasarkan perbuatan yang dilakukan oleh
orang yang mengontrol pengurusan korporasi.12 Apabila pengurus korporasi
11 Muladi dan Dwidja Priyanto, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Prenada Media,
Jakarta, Hal.99-100
19
melakukan suatu kesalahan atau bersalah dengan mengatasnamakan perbuatannya
sebagai perbuatan dari korporasi maka korporasi tersebut dapat dijatuhkan pidana.
Untuk menyelesaikan konflik norma yang terjadi dalam UU Perkoperasian
dan UU Perbankan, maka diperlukan asas-asas lainnya seperti asas lex specialis
derograt legi generali (peraturan yang lebih khusus sifatnya mengalahkan
peraturan yang lebih umum) dan asas lex posteriori derograt legi priori
(peraturan perundang-undangan yang baru mengalahkan peraturan perundang-
undangan yang lama) juga terkait dalam penelitian ini.
UU Perkoperasian sebagai peraturan yang khusus dipandang sebagai
acuan utama dalam berjalannya suatu koperasi, namun apabila koperasi tersebut
telah melakukan tindak pidana perbankan maka UU Perbankan sebagai peraturan
yang lebih khusus, apalagi dalam UU tersebut telah diatur mengenai koperasi
yang dapat melakukan kegiatan perbankan maka UU Perbankan dapat dikatakan
lebih khusus dalam menangani permasalahan ini.
Sama halnya dengan asas lex posteriori derograt legi priori (peraturan
perundang-undangan yang baru mengalahkan peraturan perundang-undangan
yang lama), UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, saat ini belum mengalami
perubahan. Sedangkan kehidupan sosial di masyarakat terus mengalami
perubahan menyebabkan terkadang suatu peraturan perundang-undangan tidak
dapat mengikuti perubahan yang cepat tersebut. Lain halnya dengan UU
12 Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 263
20
No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yang telah mengalami
perubahan. UU Perbankan ini lebih mampu mengikuti perkembangan yang terjadi
di dalam masyarakat khususnya mengenai tindak pidana perbankan tanpa ijin
yang dilakukan oleh koperasi. Sebagai peraturan yang lebih baru, tentu saja UU
Perbankan akan dirasa lebih mampu untuk menyelesaikan tindak pidana
perbankan yang dilakukan oleh Koperasi saat ini.
Mengarah pada Konsep-konsep hukum yang digunakan dan relevan dalam
penelitian ini karena memiliki hubungan dengan permasalahan yang dibahas
adalah adalah Konsep Tindak Pidana dan Konsep White Collar Crime (Kejahatan
Kerah Putih). Konsep tindak pidana ini telah dirumuskan oleh banyak ahli hukum
pidana. Moeljatno mengartikan tindak pidana sebagai: Perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum larangan mana disetai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar hukum tersebut.13 Selain itu,
beliau juga mengungkapkan dengan substansi yang sama bahwa tindak pidana
adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa
melanggar larangan tersebut.14
Sedangkan sering sekali dalam berbagai literatur disebutkan bahwa
kejahatan korporasi merupakan salah satu bentuk dari kejahatan kerah putih
(white collar crime). Menurut Sutherland, kejahatan kerah putih adalah
“kejahatan yang dilakukan seseorang yang memiliki kehormatan dan status sosial
13 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 59 14 Moeljatno, 1983, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Akasara, Jakarta,
Hal.11
21
yang tingi dalam menjalankan jabatannya”.15 Definisi dari Sutherland ini
memfokuskan kepada dua hal yakni, pelaku kejahatan dan status sosial yang
tinggi dari pelaku kejahatan. Konsep ini berkaitan dengan pertanggungjawaban
pidana koperasi karena tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh
koperasi dikarakteristikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam
kapasitasnya sebagai orang yang dipandang terhormat dan dipercaya dalam
memimpin suatu perkumpulan/ badan hukum tersebut.
J Kelly Strader mengemukakan bahwa terdapat tiga parameter untuk
menentukan apakah kejahatan tertentu dikategorikan sebagai kejahatan kerah
putih atau tidak, yaitu pertama status sosial pelaku, dimana pelaku kejahatan
kerah putih bukanlah orang-orang dengan status ekonomi sosial rendah.
Contohnya seperti manager suatu perusahaan, dimana orang tersebut memiliki
status sosial yang tinggi serta kemampuan ekonomi yang tinggi pula. Kedua sifat
dari perbuatan. Sifat yang dimaksudkan adalah sifat sang pelaku kejahatan kerah
putih haruslah memiliki kemampuan teknis dan pengetahuan yang professional.
Ketiga pertimbangan pertimbangan praktis dimana kejahatan kerah putih ini tidak
terkait dengan penggunaan kekerasan, bukanlah kejahatan langsung yang
ditujukan kepada pemilik barang, berbeda dengan kejahatan terorganisir, serta
tidak terkait dengan wilayah kebijakan tertentu seperti imigrasi, hak-hak sipil
15 Ellen S. Podgor, 2007, “The Challenge of White Collar Sentencing”, Journal of Criminal Law
and Criminology, Vol.9, Page 735, dikutip dari Mahrus Ali,2013, Asas-Asas Hukum Pidana
Korporasi, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, Hal. 22
22
warga negara serta keamanan nasional.16 White collar crime digambarkan sebagai
tindakan illegal yang mengarah pada hal-hal yang tidak tampak atau tipu
muslihat, untuk mengeruk keuntungan atau kekayaan dalam usaha atau bisnis.
Hal-hal ini dapat dilihat pada koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan
khususnya tindak pidana perbankan terkait perijinan.
Doktrin yang dipergunakan adalah doktrin respondeat superior, yaitu
suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak dapat melakukan
kesalahan. Dalam hal ini, hanya orang-orang korporasi yang dapat melakukan
kesalahan, yakni mereka yang bertindak atas nama korporasi. Oleh sebab itu
orang-orang yang bertindak atas nama korporasi saja yang dapat melakukan
kesalahan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.17
Penelitian ini juga menggunakan putusan hakim/ yurisprudensi yang
terkait pertanggungjawaban koperasi dalam tindak pidana perbankan tanpa ijin.
Adapun yurisprudensi tersebut adalah Putusan Nomor: 31/PID.B/2013/PN.MTR
Pengadilan Negeri Mataram, dengan terdakwa Ida Bagus Gede Wiradnyana,SE.,
mengenai kasus tindak pidana perbankan terkait perijinan yang dilakukan oleh
Koperasi Simpan Pinjam Karya Mandiri Sejati. Dalam Putusan Pengadilan ini,
Hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana perbankan terkait perijinan dan dihukum
dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar
16Ibid, Hal 24-25 17 Kristian, 2014, Hukum Pidana Korporasi; Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Nuansa Aulia, Bandung hal.54
23
Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). Terdakwa terbukti bersalah karana
terbukti melanggar Pasal 46 ayat (1) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang
Perbankan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain menilik pada asas, konsep, doktrin para sarjana, serta yurisprudensi
dalam mengupas permasalahan dalam penelitian ini digunakan beberapa teori,
antara lain Teori Hukum Progresif, Teori Harmonisasi Hukum, Teori
Pertanggungjawaban Pidana (direct corporate criminal liability, strict liability,
dan vicarious liability), serta Teori Badan Hukum. Teori Badan Hukum dan Teori
Harmonisasi Hukum, Teori Pertanggungjawaban Pidana digunakan dalam
memecahkan permasalahan dalam hal bagaimana pertanggungjawaban pidana
bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi.
Sedangkan dalam permasalahan pihak yang bertangggungjawab bilamana
koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin dengan Teori
Pertanggungjawaban Pidana serta Teori Hukum Progresif.
1. Teori Harmonisasi Hukum
Harmonisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai upaya mencari keselarasan18. Kata harmonisasi sendiri berasal dari
kata harmoni yang dalam bahasa Indonesia berarti pernyataan rasa, aksi,
gagasan, dan minat: keselarasan, keserasian. Sedangkan dalam Bahasa
18 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal.64
24
Inggris, harmoni dapat diartikan dengan harmonize, dalam bahasa Perancis
disebut dengan Harmonie, dan dalam bahasa yunani disebut Harmonia.
Harmonize dalam buku Jean.L diartikan sebagai “a fitting together,
agreement, to exist in peace and friendship as individuals or families (1)
combination of parts into an orderly or proportionate whole (2) agreement
in feeling, idea, action,interest, etc.19 Berdasarkan penjabaran diatas ditarik
kesimpulan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah
upaya untuk menselaraskan peraturan perundang-undangan agar menjadi
proposional dan bermanfaat bagi kepentingan bersama atau masyarakat.
Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam buku yang disusun oleh
Moh. Hasan Wargakusumah dan kawan-kawan, menyatakan bahwa
harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses
pengharmonisan tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis,
sosiologis, ekonomis, maupun yuridis.20 Nilai filosofis adalah ketika suatu
kaedah hukum sudah sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif
yang tertinggi. Nilai yuridis adalah apabila persyaratan formal
terbentuknya peraturan perundang-undangan telah terpenuhi. Nilai
sosiologis yaitu efektivitas atau hasil guna peraturan perundang-undangan
19 Jean L. McKechnie, 1983, Websters New Twentieth Century Dictionary Unabridge, Second
Edition, Page. 828
20 Moh. Hasan Wargakusumah, dkk, 1996, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodelogi
Harmonisasi Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia RI, Jakarta, Hal.2
25
dalam kehidupan masyarakat.21 Dan nilai ekonomi yaitu substansi
peraturan perundang-undangan hendaknya disusun dengan memperhatikan
efisiensi dalam pelaksanaan ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan.
Dalam negara hukum, UUD 1945 harus menjadi acuan dalam
penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara. Dalam hal ini maka
sistem pemerintahannya perlu menghadirkan adanya suatu tata hukum
untuk membingkai norma-norma hukum agar saling terkait dan tersusun
menjadi sebuah sistem. Setiap norma hukum dalam sistem ini tidak boleh
mengesampingkan atau bahkan bertentang dengan norma hukum lainnya.
Dengan demikian dalam negara hukum, sistem hukumnya harus tersusun
secara hierarki dan tidak boleh salin bertentangan di antara norma-norma
hukumnya baik secara vertikal maupun horizontal. Sehingga, apabila
terjadi konflik norma maka acuannya akan tetap tunduk pada norma
logisnya yaitu norma-norma yang dasar yang ada dalam konstitusi.
Karektiristik dari norma yang bersumber pada norma dasar itu
meliputi prinsip konsistensi dan legitimasi. Di mana suatu norma hukum
tetap akan berlaku dalam suatu sistem hukum sampai masa belakunya
diakhiri melalui suatu cara yang ditetapkan dalam sistem hukum, atau
digantikan norma lain yang diberlakukan oleh suatu sitem hukum itu
21 Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
Hal.109
26
sendiri. Maka dalam karakteristik tersebut berlaku asas-asas/ prinsip-
prinsip lex posteriori derograte legi priori (peraturan perundang-undangan
yang baru mengesampingkan peraturan perundangan-undangan yang
terdahulu), lex superior derograte legi inferiori (peraturan yang lebih
tinggi tingkatanya mengesampingkan peraturan yang lebih rendah), dan lex
specialis derograte legi generali (peraturan yang lebih khusus sifatnya
mengalahkan peraturan yang lebih umum).
Dalam kaitan harmonisasi hukum, menurut UU No.10/20014
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah memberikan
pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal
18 ayat (2) disebutkan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi rencangan undang-undang yang berasal dari presiden
dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang
peraturan perundang-undangan. Adapun menteri yang dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (2) tersebut adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2) tersebut maka dapat dilihat
secara jelas bahwa harmonisasi hukum secara tegas dibebankan kepada
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini bertujuan agar norma-
norma dalam rancangan undang-undang dimaksud tidak bertentangan
secara vertikal dengan UUD 1945 dan horizontal dengan undang-undang
27
lain. Harmonisasi hukum ini juga sangat diperlukan agar meminimalisir
judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.
2. Teori Badan Hukum
Selain manusia, badan hukum juga dipandang sebagai subyek hukum.
Badan hukum adalah segala sesuatu yang berdasarkan kebutuhan
masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban,
yang memiliki status personel seperti manusia. Status ini yang
menentukan hak dan kewajibannya, termasuk keberadaan dan berakhirnya
badan hukum itu. Jadi yang termasuk orang menurut hukum adalah
manusia dan badan hukum.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, badan hukum adalah suatu badan
yang disamping manusia perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam
hukum dan mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan
hukum terhadap orang lain atau badan lain.22Sedangkan Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan, badan hukum adalah kumpulan dari orang-orang yang
bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta
kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu (yayasan).23
Menurut Von Savigny, meskipun syarat-syarat dalam peraturan hukum
yang melekat pada manusia tidak ada pada badan hukum, namun badan
22 P.N.H Simanjuntak, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, Hal.
28-29 23Ibid
28
hukum boleh dianggap seolah-olah manusia.24Hal ini terdapat dalam
pandangan penganut teori fiksi, dimana badan hukum disamakan dengan
manusia hanya saja sebagai perumpamaan (fiksi) saja. Sehingga perbuatan
hukum yang dalam pelaksanaannya memerlukan jiwa manusia, seperti
ketakutan dalam suatu paksaan tidak berlaku bagi badan hukum. Negara-
negara, korporasi-korporsi, ataupun lembaga-lembaga, tidak dapat
menjadi subyek hak dan perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah
badan-badan itu manusia.25
Adanya badan hukum (rechtspersoon) disamping manusia tunggal
(natuurlijkpersoon) timbul sebagai suatu kebutuhan hukum dalam
pergaulan ditengah-tengah masyarakat. Manusia selain mempunyai
kepentingan perseorangan juga mempunyai kepentingan bersama dan
tujuan bersama yang harus diperjuangkan pula, karenanya mereka
berkumpul untuk bersatu dalam suatu organisasi dan memilih
pengurusnya untuk memimpin mereka. Mereka juga memasukkan harta
kekayaan masing-masing menjadi milik bersama, dan menetapkan
peraturan-peraturan intern yang hanya berlaku di kalangan mereka
anggota organisasi tersebut.
24 Komariah, 2002, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, Hal. 23-24 25 Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (Strick
Liability dan Vicarious Liability), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 30
29
H.M.N Purwosutjipto mengemukakan beberapa syarat agar suatu
badan hukum dapat dikategorikan sebagai badan hukum. Persyaratan agar
suatu badan dapat dikatakan berstatus badan hukum meliputi keharusan:
1) Adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu yang
terpisah dengan kekayaan pribadi para sekutu atau pendiri badan
itu. Tegasnya ada pemisahan kekayaan perusahaan dengan
kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi para sekutu;
2) Kepentingan yang menjadi tujuan adalah kepentingan bersama;
3) Adanya beberapa orang sebagai pengurus badan tersebut.26
Ketiga unsur tersebut merupakan unsur material (substansif) bagi suatu
badan hukum. Kemudian persyaratan lainnya adalah persyaratan yang
bersifat formal, yakni adanya pengakuan dari negara yang mengakui suatu
badan adalah badan hukum.
Selain teori fiksi yang telah disebutkan diatas, terdapat pula teori
kekayaan bertujuan, teori organ, teori kekayaan bersama, dan teori
kekayaan yuridis. Teori kekayaan bertujuan adalah teoriyang mana hanya
manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum. Namun ada kekayaan
(vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan
itu terikat tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang mempunyai dan
terikat kepada tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukum.
26H.M.N Purwosutjipto, 1982, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 2, Djambatan,
Jakarta, Hal.63 dalam Ridwan Khairandy, 2009, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-
Undangan, dan Yurisprudensi, Total Media, Yogyakarta, Hal.10
30
Teori organ ini dikemukakan oleh sarjana Jerman, Otto von Gierke
(1948-1921). Menurut teori ini badan hukum itu seperti manusia, menjadi
penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum yaitu ‘eine
leiblichgeistige lebensein heit’. Badan hukum itu menjadi suatu
‘verbandpersoblich keit’ yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya
dengan perantaran alat-alat atau organ-organ badan tersebut misalnya
anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan
kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan
tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apa yang mereka
putuskan, adalah kehendak dari badan hukum. Dengan demikian, menurut
teori organ, badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, tetapi benar-
benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak
bersubyek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup
dan bekerja seperti manusia biasa.
Lain halnya dengan teori organ, menurut teori kekayaan bersama hak
dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban
para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah milik
bersama seluruh anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut
merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan
badan hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah suatu konstruksi
yuridis saja. Pada hakikatnya badan hukum itu sesuatu yang abstrak. Teori
31
ini berpendapat bahwa yang dapat menjadi subyek-subyek hak badan
hukum adalah manusia-manusia yang secara nyata ada dibelakangnya,
anggota-anggota badan hukum, dan mereka yang mendapat keuntungan
dari suatu yayasan.
Terakhir, teori kenyataan yuridis, badan hukum itu merupakan suatu
realitas, konkrit, riil, walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi
suatu kenyataan yuridis. Dengan kata lain, badan hukum dipersamakan
cdengan manusia adalah suatu realita yuridis, yaitu suatu fakta yang
diciptakan oleh hukum. Jadi adanya badan hukum itu karena ditentukan
oleh hukum sedemikian rupa. Sebagai contoh, koperasi merupakan
kumpulan yang diberi kedudukan sebagai badan hukum setelah memenuhi
persyaratan tertentu, tetapi firma bukan merupakan badan hukum, karena
hukum di Indonesia menuntukan demikian (vide Pasal 18 KUH Dagang)
3. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability”
dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe
Pound menyatakan bahwa : I…Use simple word “liability” for the
situation whereby one may exact legally and other is legally subjeced to
the exaction.”27 Pertangungjawaban pidana di artikan Pound adalah
27Roscoe Pound, “ introduction to the phlisophy of law” dikutip dari Romli Atmasasmita,2000,
Perbandingan Hukum Pidana.Cet.II, Mandar Maju, Bandung, Hal.65
32
sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima
pelaku dari seseorang yang telah dirugikan,28 menurutnya juga bahwa
pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut
masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai
moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.
Pertanggungjawaban Pidana dalam berbagai peraturan perundanng-
undangan hanya dikenakan kepada orang/manusia. Hal ini dikarenakan
adanya pandangan hanya manusia alamiah sebagai subyek hukum pidana
yang dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potest”, yaitu badan
hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.29
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai
“toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,”
pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan
apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana
atau tidak terhadap tindakan yang dilakukanya itu. 30
Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang
melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan
merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak
28Ibid
29 Dwidja Priyatno dan Muladi, dikutip dari Kristian, Op.Cit, Hal.40
30 S.R Sianturi . 1996, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV, Alumni,
Jakarta, Hal.245
33
tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,”
merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.31
Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara
terperinci di tegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa
pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang
yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga)
syarat, yaitu :
1. Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam
kejahatan,
2. Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut
dalam pergaulan masyarakat,
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap
perbuatan tadi.32
Sementara itu secara lebih tegas, Simons mengatakan bahwa
mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan
hukumnya perbuatan dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan
kehendaknya.33Adapun menurut Sutrisna, untuk adanya kemampuan
beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu :
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang
baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan
hukum;
31 Djoko Prakoso, 1987, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, Liberty
Yogyakarta, Hal.75
32 Sutrisna, I Gusti Bagus,“Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tijauan terhadap
pasal 44 KUHP),” dikutip dari Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana
,Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 79 33Ibid
34
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut
keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.34
Kemampuan bertanggungjawab dengan kata lain berkaitan dengan
dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk membedakan
antara perbuatan yang di perbolehkan dan yang di larang atau melanggar
hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan
kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh
kesadaran.
Roeslan Saleh menyatakan bahwa khususnya untuk
pertanggungjawaban dari badan hukum (Korporasi), asas kesalahan tidak
mutlak berlaku.35 Dalam kejahatan tindak pidana perbankan, dikenal tiga
model pertanggungjawaban pidana Korporasi, yaitu Identification Theory,
strict liability, dan vicarious liability.
Direct Corporate Liability atau Identification Theory membenarkan
bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik
sebagai pembuat atau peserta untuk setiap delik, meskipun diisyaratkan
adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Menurut teori
ini, korporasi dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui
pimpinan dan diidentifikasikan sebagai perbuatan dari perusahaan atau
badan hukum atau korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan
34Ibid, Hal. 83 35 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, Hal.
140
35
pimpinan tersebut dipandang sebagai perbuatan korporasi. Jadi apabila
suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana makan orang
yang melakukan tindak pidana tersebut harus dapat diidentifikasikan
terlebih dahulu. Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar
dibebankan kepada orang yang dapat disebut sebagai “directing mind”
dari korporasi tersebut.
Dalam teori identifikasi, perbuatan pidana atau tindak pidana yang
dilakukan oleh pimpinan suatu perusahaan atau korporasi
diidentifikasikan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Teori ini disebut juga sebagai teori atau doktrin “alter ego” yang dapat
diartikan sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi yaitu hanya
perbuatan pejabat senior atau otak korporasi yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi.36 Hal ini dikarenakan hanya
pejabat senior atau ketua, dalam halnya koperasi, yang dapat
mengendalikan suatu perusahaan atau korporasi secara sendiri atau
bersama-sama yang dalam hal ini dipandang sebagai pengendali
perusahaan atau korporasi.
Berbeda halnya dengan Identification theory, Strict Liability dalam
prinsipnya menyatakan pertanggungjawaban pidana dapat dimintakan
tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan dari pelaku tindak
36 Barda Nawawi Arief, 2010, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Hal. 246
36
pidana. Dengan demikian dapat dilihat dengan jelas bahwa Strict Liability
atau Absolute Liability tidak hanya mengesampingkan asas kesalahan
tetapi meniadakan asas kesalahan.37
Hamzah Hatrik mendefinisikan bahwa Strict Liability adalah
pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang
dalam hal ini sim pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah
melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah
dirumuskan secara tegas dalam undang-undang tanpa melihat lebih
jauh sikap batin si pembuat.38
Terakhir, Vicarious Liability didasarkan pada prinsip employment
principle. Yang dimaksud dengan employment principle dalam hal ini
bahwa majikan (employer) adalah penaggungjawab utama dari perbuatan
para buruh atau karyawannya. Sutan Remy Sjahdeini selaras dengan apa
yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang mengistilahkan
konsep pertanggungjawaban ini dengan istilah “pertanggungjawaban
pengganti”. Ia juga menyatakan bahwa ajaran “vicarious liability”, atau
yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah
“pertanggungjawaban vikarius atau pertanggungjawaban pengganti”,
adalah pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan,
misalnya oleh A ke B.39
Selanjutnya dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua dari
teori tersebut yaitu Direct Corporate Liability/ Identification Theory dan
37Kristian S.H, Op.Cit, Hal.58 38Ibid, Hal.61 39 Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, Hal.
84
37
Vicarious Liability. Hal ini dikarenakan Koperasi sebagai salah satu
badan hukum, dapat melakukan pertanggungjawaban pidana dikarenakan
adanya struktur kepengurusan yang mengatur jalannya koperasi.
4. Teori Hukum Progresif
Secara etimologi, kata “progresif” berasal dari kata progress dari
Bahasa Inggris yang berarti kemajuan. Jika kata ‘hukum’ dan kata
‘progresi’ digabung, maka dapat diartikan bahwa hukum hendaknya
mampu mengikuti perkembangan zaman agar mampu melayani
kepentingan masyarakat berdasarkan aspek moralitas sumber daya para
penegak hukum. Sedangkan apabila hukum progresif dihubungkan
dengan penafsiran hukum, maka dapat diartikan bahwa penafsiran
progresif memahami proses hukum sebagai proses pembebasan terhadap
suatu konsep kuno yang tidak dapat digunakan dalam melayani
kehidupan masa kini.40 Kekuatan hukum progresif (penafsiran) adalah
ketentuan untuk menolak dan mematahkan keadaan status quo.41
Hukum tertulis saat ini tidak dapat mengikuti perkembangan yang
terjadi di kehidupan masyarakat karena hukum tertulis bersifat kaku
sedangkan perkembangan dalam masyarakat terjadi sangat cepat.
40Sajipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Press,
Yogyakarta, Hal.128 41I Gede Wiranata, ed.et.al, 2006, Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas Media Nusantara,
Jakarta, Hal.114
38
Disinilah pentingnya peran hakim untuk mengisi kekosongan hukum
akibat ketertinggalan hukum dari perubahan masyarakat, karena kalau
tidak akan mengakibatkan adanya ketegangan.42
Dalam menghadapi problematika ini, Satjipto Rahardjo
memunculkan gagasan hukum progresif. Progresif berasal dari kata
progress yang berarti kemajuan. Gagasan hukum progresif bertolak dari
pandangan bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu ilmu. Oleh
karenanya hukum tidak hanya dianggap selesai setelah tersusun sebagai
peraturan perundang-undangan dengan kalimat-kalimat yang sangat rapi
dan sistematis, namun hukum harus selalu mengalami proses pemaknaan
sebagai sebuah pendewasaan atau pematangan.43
Sebagaimana prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam
berbagai teori hukum atau aliran hukum, hukum progresif juga memiliki
prinsip utama, yaitu ‘hukum adalah untuk manusia dan bukan
sebaliknya,...dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan
untuk suatu yang lebih luas, yaitu,...untuk harga diri manusia,
kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia’44.
Karena hukum mengabdi untuk manusia bukan mengabdi pada
hukum itu sendiri, maka karakter hukum progresif sebagai berikut.
42Soerjono Soekanto, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Hal. 21-23 43 Mahrus Ali, 2013, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, Hal. 7 44I Gede Wiranata, Op.Cit, Hal. 154
39
Pertama, hukum progresif mengantarkan masyarakat pada sebuah
paradigma bahwa hukum ditujukan untuk manusia. Hukum bukan
merupakan pusat dalam berhukum, melainkan manusia yang berada di
titik pusat perputaran hukum.45 Kedua hukum progresif tidak menerapkan
status quo dalam berhukum. Konsekuensi penerapan status quo dalam
berhukum yakni hukum menjadi tolak ukur dalam segala aspek dan
manusia adalah untuk hukum. Peranan manusia disini merupakan
konsekuensi terhadap pilihan untuk tidah berpegangan secara mutlak
kepada teks formal suatu peraturan. Cara berhukum yang penting untuk
mengatasi suatu stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi
yang membuta kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bisa
dilakukan, apabila unsur manusia atau perbuatan manusia dilibatkan
dalam berhukum.
Ketiga, hukum progresif berpihak terhadap keadilan yang pro
rakyat. Prinsip keadilan yang pro rakyat ini dapat dijadikan ukuran untuk
menghindari agar progresivitas yang terkandung dalam hukum progresif
tidak mengalami kemerosotan, penyelewengan, penyalahgunaan, dan hal
negatif lainnya,46 sehingga hukum progresif dapat mengantarkan
masyarakat kepada keadilan dan kesejahteraan. Keempat, hukum
progresif berasumsi bahwa hukm tidak bersifat final, dengan kata lain
45Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, Hal.139 46Shidarta, 2010, Posisi Pemikiran Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran-Aliran Filsafat
Hukum (Sebuah Diagnosis Awal), Jakarta, Hal.4
40
hukum selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the
making). Dengan demikian, hukum progresif peka dan tanggap dalam
setiap perubahan di tengah masyarakat yang bersifat dinamis (dynamic
society) sehingga hukum progresf siap menghadapi perubahan tersebut
tanpa melakukan kewajibannya yakni melindungi rakyat menuju ideal
humu.
Kelima, Hukum progresif berusaha membangun negara hukum
yang berhati nurani dengan kecerdasan spritual. Cara menghukum dengan
nurani tidak hanya berdasarkan logika tetapi diiringi dengan modalitas
kenuranian seperti empati, kejujuran, komitmen, dan keberanian.47
Hukum progresif dijalankan dengan kecerdasan spritual yang tidak
dibatasi suatu patokan tertentu (rule bound) dan hanya bersifat
kontekstual, tetapi lebih bersifat out of the box dari situasi yang ada dalam
usaha mencari kebenaran makna atau nilai yang lebih dalam.
Hakim yang berpikir progresif berani untuk mengambil inisiasi rule
breaking jika hukum normatif sudah tidak bisa menciptakan keadilan.
Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga cara untuk melakukan rule breaking,
yaitu:
1. Mempergunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari
keterpurukan hukum
2. Pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru
dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum.
47Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif..., Op.Cit, Hal.18
41
3. Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika
saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian, dan keterlibatan
(compassion) kepada kelompok yang lemah.48
1.7.2. Kerangka Berpikir
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka kerangka
berpikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian
48Yusriyadi, dikutip oleh Suteki, Rekam Jejak Pemikiran Hukum Progresif Prof. Dr. Satjipto
Rahardjo, SH, diambil darihttp://mitrahukum.orgdiakses tanggal 12 Juli 2014
Pertanggungjawaban Pidana Koperasi dalam Tindak Pidana Perbankan
Tanpa Ijin
Maraknya tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh koperasi menjadi suatu
permasalahan yang mendalam mengingat semakin hilangnya asas kekeluargaan
dalam koperasi di Indonesia saat ini. Namun dalam pertanggungjawabannya
pidana koperasi saat ini terdapat konflik norma yaitu dalam Pasal 46 UU
Perbankan yang memberikan sanksi pidana bagi pengurus koperasi dan Pasal
47 UU Perkoperasian yang hanya memberikan sanksi administratif kepada
koperasi dan tidak memberikan sanksi kepada pengurus koperasi.
Bagaimana pertanggungjawaban
pidana bilamana terjadi tindak
pidana perbankan tanpa ijin yang
dilakukan oleh koperasi
Siapakah yang bertanggungjawab
bilamana koperasi melakukan
tindak pidana perbankan tanpa ijin
Teori Pertanggungjawaban Pidana,
Teori Hukum Progresif Teori Badan Hukum, Teori
Pertanggungjawaban Pidana, Teori
Harmonisasi Hukum
42
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
‘Metode’ itu dalam arti harafiahnya berarti ‘cara’. Sedangkan
Penelitian adalah suatu kegiatan bersengaja dan bertujuan serta pula
berprosedur alias bermetode. Dengan demikian apa yang disebut ‘metode
penelitian’ ini tak lain daripada ‘cara mencari (dan menemukan
pengetahuan yang benar yang dapat dipakai untuk menjawab suatu
masalah)’.49
Morin L. Cohen dan Kent memberikan definisi tentang penelitian
hukum sebagai berikut:
"legal research is an essential component of legal practice. It is proses
of finding the law that thefoverns an actifity and materials that explain or
analys that law. The Resources give the lawyer the knowledge with wich
orovide accurate and insightful advise to draft effective document or
devent their client right in court"50
Artinya:
49 Sulistowati Irianto dan Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Hal 96-97 50 Morin L. Cohen and Kent C. Olson; 2000, "Legal Research", 7 ed, West Group, St. Paul Minn.
Virginia, Page 1
Hasil Penelitian :
Pertanggungjawaban pidana koperasi bilamana terjadi tindak pidana perbankan
tanpa ijin dilakukan berdasarkan pertanggungjawaban pidana korporasi sehingga
pihak yang dapat bertanggungjawab adalah pengurus/pimpinan koperasi yang
bertindak atas nama koperasi dan menggerakan koperasi tersebut. Dalam
pertanggungjawaban pidana koperasi sebagai korporasi masih terdapat konflik
norma dalam UU Perkoperasian dengan UU Perbankan yang dapat diselesaikan
dengan asas lex posteriori derograt legi priori, sehingga UU Perbankan sebagai
UU yang lebih baru dapat digunakan sebagai landasarn hukum dalam mengadili
koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan terkait perijinan.
43
Penelitian hukum adalah salah satu komponen dari praktek hukum
yang meliputi proses penemuan hukum dan yang menentukan suatu
kegiatan dan menjelaskan substansi atau analisis hukum. Dalam hal ini
penelitian hukum memberikan sumber pengetahuan kepada praktisi
hukum untuk memberikan ketepatan informasi yang cukup untuk
membuatu suatu dokumen atau pembelaan terhadap hak-hak kliennya di
pengadilan.
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran
tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu dan beberapa gejala
hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya.51
Ada dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum empiris. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa
penelitian hukum normatif merupakan suatu proses untuk menemukan
suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.52 Amiruddin
dan H. Zinal Asikin berpandangan bahwa penelitian hukum normatif
disebut juga penelitian hukum doctrinal karena dikonsepkan sebagai apa
yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (Law in
51 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 18 52 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal.
35
44
books).53Sedangkan penelitian hokum empiris menurut Mukti Fajar dan
Yulianto Ahmad adalah penelitian hukum yang pada kenyataannya dibuat
dan diterapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat.54Penelitian
hukum empiris ini berpusat pada peranan masyarakat disekitarnya,
keadaan sosial masyarakat dan perilaku masyarakat yang terkait dengan
lembaga hukum.
Dalam penelitian pertanggungjawaban pidana koperasi dalam tindak
pidana melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin, tipe penelitian yang
digunakan adalah penelitian hukum normatifatau penelitian hukum
dogmatik (dogmatic law research) atau penelitian doktrinal. Hal ini
dikarenakan dalam penelitian ini diinginkan suatu kesimpulan yang
mengarah pada penemuan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,
maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum
yang dihadapi.
1.8.2. Jenis Pendekatan
Adapun permasalahan pokok dalam penelitian ini merupakan bagian
pokok dari penegakan hukum. Oleh karena itu, pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan yang berorientasi pada pendekatan kasus
53 Amiruddin & H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, Hal. 118. 54 Fajar Mukti & Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Pensil Komunika,
Yogyakarta, Hal. 32.
45
(case approach), pendekatan historis (historical approach) dan
perundang-undangan (statute approach). Pendekatan kasus didasarkan
pada semakin bermunculannya tindak pidana perbankan yang dapat
dilakukan oleh koperasi yang melanggar peraturan perundang-undangan
(UU Koperasi dan UU Perbankan). Selain itu pendekatan perundang-
undangan juga digunakan karena dalam penelitian ini akan dikaji secara
detail dan jelas mengenai perundangan-undangan yang terkait dengan
penyelesaian permasalahan tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh
koperasi.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari tiga jenis yaitu bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer yang dimaksud adalah bahan hukum yang
memiliki kekuatan mengikat.55 Adapun bahan hukum tersebut berupa
Peraturan Perundang-Undangan seperti:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
55 H. Salim & Erlies Septiana Nurnani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 16
46
4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah
5. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Nomor 7/PER/M.KUKM/IX/2011 Tahun 2011 tentang Pedoman
Pengembangan Koperasi Skala Besar.
6. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Nomor 21/PER/M.KUKM/XI/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam
Koperasi
7. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Nomor 20/PER/M.KUKM/XI/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman
Penilaian Kesehatan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan
Pinjam Koperasi.
8. Putusan Nomor: 31/ PID.B/2013/PN.MTR Pengadilan Negeri Kelas
IA Mataram, dengan terdakwa Ida Bagus Gede Wiradnyana, SE
mengenai kasus tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh
Koperasi Simpan Pinjam Karya Mandiri Sejati.
Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan hukum yang dapat
memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
yang dipergunakan dalam penelitian ini seperti hasil penelitian, hasil karya
47
para pakar dibidang hukum baik dalam buku-buku maupun literatur, tesis,
disertasi, jurnal, makalah, majalah dan Koran.
Bahan hukum tersier juga digunakan dalam penelitian ini seperti
ensikopledia dan kamus hukum yang dapat menunjang dan memperjelas
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan bahan hukum
berupa studi kepustakaanyang merupakan bahan hukum utama penelitian
yang dikumpulkan melalui metode sistematis dengan dicatat melalui sistem
kartu (card system) guna untuk lebih memudahkan analisis permasalahan.
Adapun bahan-bahan tersebut yang dicatat dalam kartu antara lain
permasalahannya, asas-asas, argumentasi, implementasi yang ditempuh,
alternatif pemecahannya dan lain sebagainya. Kemudian mengenai
kepustakaan yang dominan dipergunakan adalah kepustakaan dalam bidang
hukum pidana khususnya Hukum Pidana Khusus dan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana
koperasi dalam tindapk pidana melakukan kegiatan perbankan terkait
perijinan.
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
48
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul,
penelitian ini menggunakan teknik analisis deskripsi, teknik argumentasi, dan
teknik analisis interpretasi. Teknik deskripsi yaitu penggambaran/uraian apa
adanya tehadap suatu kondisi atau posisi dari proposi-proposi hukum atau non
hukum. Dalam teknik argumentasi diberikan penilaian terhadap bahan hukum
dari hasil penelitian untuk selanjutnya ditemukan kesimpulannya. Sedangkan
teknik interprestasi digunakan sebagai penafsiran dalam ilmu hukum baik
dalam penelitian ini digunakan penafsiran secara sistematis dengan menelaah
apakah penjelasan dalam UU Perbankan dapat menyelesaikan kasus tindak
pidana perbankan yang dilakukan oleh Koperasi, serta penafsiran ekstensif
dimana yang dimaksud adalah penafsiran memperluas, yaitu memperluas
pengertian atau istilah yang ada dalam suatu undang-undang.56 Dalam hal ini
khusunya UU Perbankan dan UU Perkoperasian.
56 Amiruddin dan Zainal Asikin,Op.Cit, Hal.166
49