Upload
lamkhuong
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Jumlah TKI di luar negeri mencapai 6.5 juta jiwa yang tersebar di 142 negara
(Nurhayat, 2013). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pengirim
tenaga kerja internasional khususnya pekerja kasar dan pembantu rumah tangga
(PRT) atau pekerja domestik terbesar khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Fenomena migrasi pekerja Indonesia ke luar negeri, sesungguhnya bukan lagi
menjadi persoalan luar biasa. Sejarah mencatat bahwa migrasi penduduk antarnegara
di kawasan Asia dan khususnya Asia Tenggara telah berlangsung berabad-abad. Dari
tahun ke tahun, arus migrasi tenaga kerja ke luar negeri semakin meningkat termasuk
tenaga kerja asal Indonesia sendiri (Haris, 2005).
Ada dua faktor yang mendorong pemerintah mengambil kebijakan pengiriman
TKI ke luar negeri. Pertama, makin kompleksnya masalah kependudukan yang terjadi
di dalam negeri dengan berbagai implikasi sosial ekonomi, seperti masalah
kemiskinan akibat tidak tersedianya lapangan kerja dengan upah yang layak. Kedua,
terbukanya kesempatan kerja yang cukup luas dan dapat menyerap tenaga kerja
Indonesia dalam jumlah yang cukup besar di negara-negara yang relatif kaya, seperti
negara-negara Timur Tengah yang kaya akan minyak, dan negara-negara maju,
seperti Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan lainnya. Kesempatan-kesempatan kerja
tersebut selain dapat menyerap tenaga kerja Indonesia dalam jumlah yang besar, juga
2
menawarkan tingkat penghasilan dan fasilitas yang lebih menarik dibandingkan
dengan kesempatan kerja di dalam negeri. Bekerja di luar negeri dapat meningkatkan
penghasilan bila dibandingkan dengan teman sejawatnya yang bekerja di tanah air
(Nasution, 1999). Kesempatan dan tingkat penghasilan yang lebih baik itulah yang
pada dasarnya mendorong pesatnya arus migrasi internasional.
Peningkatan arus migrasi oleh TKI disertai pula dengan semakin
meningkatnya permasalahan-permasalahan yang dihadapi TKI. Oleh BNP2TKI,
permasalahan-permasalahan TKI itu terbagi dalam tiga kelompok, yaitu pra
penempatan, masa penempatan, dan purna penempatan. TKI yang mengalami
permasalahan pada saat pra penempatan, masa penempatan dan purna penempatan
oleh BNP2TKI disebut TKI bermasalah. Permasalahan yang dialami oleh para TKI
cukup beragam. PHK sepihak, majikan bermasalah, sakit akibat kerja, gaji tidak
dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, pekerjaan tidak sesuai PK, dokumen tidak
lengkap, sakit bawaan, majikan meninggal, lari dari majikan, TKI ingin dipulangkan,
TKI gagal berangkat, TKI dalam tahanan, TKI meninggal, kecelakaan kerja, TKI
hamil, membawa anak, tidak mampu bekerja, dan komunikasi tidak lancar merupakan
masalah teratas yang diadukan pada BNP2TKI sejak tahun 2010 hingga 2013
(BNP2TKI, 2013).
BNP2TKI agaknya hanya mengurusi permasalahan yang dihadapi oleh TKI
itu sendiri. Padahal kepergian calon TKI yang sudah berkeluarga untuk menjadi TKI
juga memunculkan permasalahan tersendiri bagi keluarganya.
3
Tabel 1.1
Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Indonesia
Berdasarkan Status Perkawinan Periode 2011 S.D 2013
Sumber: Pusat Penelitian, Pengembangan dan Informasi (PUSLITFO) BNP2TKI 2013
Data dari BNP2TKI dari tahun 2010 s.d 2013 di atas menunjukkan bahwa
prosentase kepergian untuk menjadi TKI dilakukan oleh mereka yang berstatus
menikah dengan di atas 60% pada tahun 2010 s.d. 2013. Hal ini sejalan dengan status
perkawinan TKI asal Desa Karangrowo. Sebagian besar penduduk asal Desa
Karangrowo yang menjadi TKI kebanyakan adalah mereka yang sudah berkeluarga
dan memiliki anak. Dari seluruh jumlah warga Desa Karangrowo yang menjadi TKI
yakni 154 yang berstatus menikah berjumlah 112 orang atau 72.73% dan sisanya 42
orang atau 27.27% berstatus lajang atau belum menikah. (Data Monografi Desa
Karangrowo 2013).
Dilihat dari fakta di atas, kecenderungan untuk menjadi TKI terjadi setelah
seseorang berkeluarga. Tuntutan ekonomi yang semakin meningkat dan sedikitnya
lapangan pekerjaan dengan upah yang layak selalu menjadi alasan klasik yang
4
menjadikan seseorang tergiur untuk berangkat menjadi TKI yang notabene memang
dapat menghasilkan uang yang jauh lebih layak daripada di negeri sendiri.
Sebagai suatu aktivitas yang tujuan utamanya memperbaiki dan meningkatkan
ekonomi keluarga, pengambilan keputusan menjadi TKI juga menimbulkan sejumlah
persoalan bagi keluarga yang ditinggalkan. Melalui kajian Bina Keluarga TKI
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2013,
pemerintah mulai menyadari bahwa TKI yang bekerja di luar negeri yang
meninggalkan keluarganya, rentan terhadap berbagai persoalan khususnya lagi
persoalan dalam perlindungan terhadap anak. Dalam hal ini, pihak anaklah paling
besar menerima resikonya yang kemudian tidak hanya menjadi tanggungan keluarga
melainkan juga negara. Ternyata anak yang ditinggalkan oleh orang tua yang bekerja
ke luar negeri sangat berpengaruh terhadap perkembangan anaknya, mereka diasuh
dalam waktu yang relatif lama oleh orang tua yang tidak lengkap (bapak atau ibu)
atau bahkan diasuh oleh anggota keluarga yang lain seperti kakek, nenek dan anggota
keluarga yang lain. Kondisi tersebut merupakan pola asuh yang menyimpang dari
kebiasaan pola asuh yang selama ini dilakukan oleh keluarga. (Panduan Umum Bina
keluarga TKI Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia, 2010).
Hal itulah yang membuat penelitian mengenai pengasuhan anak dalam
keluarga TKI ini dirasa penting dan menarik untuk diteliti. Selama ini perhatian
pemerintah (pusat dan daerah) maupun media lebih tertuju pada TKI dan persoalan
5
yang mereka alami. Sementara persoalan yang tidak kalah pentingnya yakni pada
keluarga yang ditinggalkan di daerah asal khususnya anak seakan kurang bahkan
luput dari perhatian.
Banyak ahli mengatakan bahwa pengasuhan anak adalah bagian terpenting
dan mendasar untuk menyiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
Pengasuhan anak merujuk pada pendidikan umum yang diterapkan pengasuh
terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua sebagai pengasuh
dengan anak sebagai individu yang diasuh. Interaksi tersebut mencakup beberapa hal
seperti, mencukupi kebutuhan anak, mendorong keberhasilan, melindungi, maupun
mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat (Wahyuning, 2003).
Faktor utama yang mempengaruhi pengasuhan pada anak adalah keutuhan
keluarga. Adapun yang dimaksudkan dengan keutuhan keluarga ialah keutuhan dalam
struktur keluarga, bahwa dalam keluarga itu adanya ayah di samping adanya ibu dan
anak. Apabila tidak ada ayah atau ibu atau kedua-duanya maka struktur keluarga
sudah tidak utuh lagi. Selain keutuhan dalam struktur keluarga dimaksudkan pula
keutuhan dalam interaksi keluarga jadi bahwa di dalam keluarga berlangsung
interaksi sosial yang wajar dan harmonis (Dagun, 2002).
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pengasuhan anak di dalam keluarga
yang ideal adalah dilakukan oleh kedua orang tuanya. Ayah dan ibu bekerja sama
saling bahu-membahu untuk memberikan asuhan dan pendidikan kepada anaknya.
Mereka menyaksikan dan memantau perkembangan anak-anaknya secara optimal.
6
Namun, kondisi tersebut tidak dapat dipertahankan atau diwujudkan dalam setiap
keluarga. Hal ini terkait dengan kebutuhan keluarga yang sifatnya berbeda-beda
(variatif). Seperti halnya yang terjadi pada keluarga TKI di Desa Karangrowo.
Mayoritas penghidupan warga pedesaan berpangkal pada sektor pertanian, tak
terkecuali dengan warga Desa Karangrowo. Hal ini tidak terlepas dari kondisi
geografis Desa Karangrowo itu sendiri. Dari seluruh luas Desa Karangrowo 669,84
ha, lebih dari setengahnya merupakan lahan pertanian. Akan tetapi, area persawahan
yang luas itu tidak dimiliki secara merata. Petani dengan lahan pertanian yang
tergolong luas (1,0-5,0 ha), hanya terdiri dari 327 orang. Sementara selebihnya adalah
mereka yang memiliki lahan persawahan tidak lebih dari 0,1-1,0 ha atau dapat
dikatakan berlahan sempit 1.275 warga.
Bagi petani berlahan sempit penghasilan yang diperoleh dari sawah hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Sementara untuk memenuhi
kebutuhan lain seperti biaya kesehatan, mereka harus mencari penghasilan di luar
pertanian atau bahkan berhutang. Kondisi yang jauh tidak menguntungkan lagi adalah
mereka yang tidak memiliki lahan pertanian dan harus bekerja di lahan orang lain
sebagai buruh tani. Upah yang mereka terima hanya berkisar empat puluh ribu rupiah
per hari. Jelasnya pendapatan yang diterima itu tidak mampu menutupi kebutuhan
hidup keluarga yang makin lama makin kompleks.
7
Sempitnya penguasaan lahan dan upah yang rendah sebagai buruh tani
mengkondisikan mayoritas warga Desa Karangrowo berada dalam kemiskinan.
Memaksa mereka untuk mencari berbagai alternatif agar keluar dari kondisi yang
tidak menguntungkan itu, salah satunya dengan bekerja menjadi TKI ke luar negeri,
terutama mereka yang telah berkeluarga dan memiliki anak. Meskipun dengan
konsekuensi harus meninggalkan anggota keluarga di rumah, termasuk tanggung
jawab dalam mengasuh anak.
Anak-anak di Desa Karangrowo yang ditinggalkan oleh salah satu atau kedua
orang tuanya bekerja menjadi TKI ke luar negeri umumnya berada pada rentang usia
6-12 tahun. Hal ini dilakukan oleh orang tua mereka yang bekerja menjadi TKI di
luar negeri, atas dasar beberapa pertimbangan. Pertama, anak pada usia tersebut
dianggap tidak terlalu bergantung pada orang tuanya sendiri terutama pihak ibu,
seperti bayi yang masih tergantung pada air susu ibunya. Kedua, anak sudah
memasuki masa sekolah. Tentunya makin lama makin besar biaya yang dibutuhkan.
Santrock (2007), menjelaskan bahwa usia 6-12 tahun merupakan periode
kritis bagi anak. Dikatakan demikian, karena pada usia ini interaksi anak dengan
keluarga mengalami penurunan. Sebagai gantinya anak-anak mulai berinteraksi
dengan lebih banyak orang di luar keluarga, terutama dengan teman-teman
sebayanya. Interaksi anak dengan lebih banyak orang tersebut bisa memajukan atau
bahkan memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan anak. Sebagai periode
kritis bagi anak itulah, sudah seharusnya anak diberikan pengasuhan yang tepat dan
8
optimal dari kedua orang tua (ayah-ibu). Andayani dan Koentjoro (2004) menyebut
bahwa pengasuhan itu sebagai coparenting, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul
bersama antara ayah dan ibu. Sudah menjadi kewajiban kedua orang tua (ayah-ibu)
untuk memenuhinya yang adalah hak bagi seorang anak untuk mendapatkannya.
Kenyataannya hak pengasuhan dari kedua orang tua (ayah-ibu) tidak didapatkan oleh
anak-anak TKI di Desa Karangrowo, seiring kepergian salah satu atau kedua orang
tua mereka untuk bekerja menjadi TKI di luar negeri.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimanakah kondisi sosial ekonomi dari keluarga TKI di Desa
Karangrowo? Kemudian yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini yakni
bagaimanakah pola pengasuhan anak pada keluarga TKI yang ada di Desa
Karangrowo?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi keluarga TKI Desa Karangrowo.
2. Mendeskripsikan pola pengasuhan anak pada keluarga TKI di Desa
Karangrowo.
9
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian mengenai pengasuhan anak pada keluarga TKI ini
diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada khalayak pada umumnya dan
pihak-pihak yang terkait pada khususnya seperti keluarga dari TKI sendiri kemudian
pemerintah pusat, daerah, dan desa setempat agar lebih perhatian dan peduli terhadap
persoalan yang dialami oleh anak-anak TKI dan ikut andil dalam memberikan solusi
untuk meminimalisir persoalan yang dialami keluarga TKI khususnya persoalan
pengasuhan anak-anak TKI.
1.5 Penegasan Istilah
1.5.1 Pengasuhan
Nabuasa (2011) menjelaskan bahwa pengasuhan berarti menjaga, merawat
dan mendidik anak. Pengasuhan anak adalah perilaku yang dilakukan oleh pengasuh
dalam memberikan makanan, pemeliharaan kesehatan, memberikan kasih sayang dan
tanggung jawab orang tua. Seorang ibu merawat dan menjaga janinnya dengan
berbagai usaha agar nantinya anak dilahirkan dengan selamat dan sehat. Setelah lahir,
seorang anak pun akan tetap dalam perawatan dan penjagaan. Pengasuhan anak pada
tahap awal lebih ditekankan pada pengasuhan fisik. Anak diberi asupan gizi yang
baik agar anak tumbuh sehat. Seiring dengan bertambahnya usia anak, pengasuhan
tidak hanya pada urusan fisik (merawat dan menjaga), melainkan juga pengasuhan
dalam hal mendidik anak untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan kelompok
sosialnya. Soekirman (2000) menjelaskan bahwa pengasuhan adalah asuhan yang
10
diberikan ibu atau pengasuh lain berupa sikap, dan perilaku dalam hal kedekatannya
dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, menberi kasih
sayang, dan sebagainya.
Dari penjelasan di atas, pengasuhan yang dimaksud dalam penelitian ini
meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan afeksi, dan pengasuhan sosial. Pengasuhan
fisik yang difokuskan dalam penelitian ini meliputi pemenuhan kebutuhan makan,
kebersihan diri, dan kesehatan anak. Pengasuhan afeksi yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah pemberian kasih sayang pada anak. Pengasuhan sosial
merupakan cara yang dilakukan pengasuh dalam membimbing dan mendidik anak
agar berperilaku sesuai dengan lingkungan sosialnya dalam melaksanakan kegiatan
sehari-hari, seperti dalam menjalankan ibadah.
1.5.2 Anak
Menurut Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak, anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa
harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai
manusia yang harus dijunjung tinggi. Di dalam Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun
2002 pasal 1 ayat 1 yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Rumini dan Sundari (2004)
mengemukakan masa anak-anak dibagi menjadi 2 periode yaitu periode pertama pada
rentang usia 2 sampai 5 tahun, periode kedua pada rentang usia 6 sampai 12 tahun
11
dan seterusnya hingga mencapai 18 tahun disebut sebagai masa remaja. Masa anak-
anak adalah masa yang menyenangkan. Menyenangkan karena pada masa ini banyak
waktu untuk bermain bagi anak, menyulitkan karena sangat membutuhkan peran dan
perhatian dari orang tua untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa, anak merupakan
individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari
bayi hingga remaja. Anak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak yang
berusia 6-12 tahun yaitu anak pada batasan masa usia sekolah dasar.
1.5.3 Tenaga Kerja Indonesia
Tenaga kerja adalah setiap manusia yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
kebutuhan masyarakat dalam bentuk pikiran maupun tenaga (UU No.13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan). Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah sebutan bagi warga
negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan, yang bekerja di luar negeri dalam
hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
Dalam penelitian ini, tenaga kerja Indonesia yang dimaksud adalah tenaga
kerja baik laki-laki maupun perempuan asal Desa Karangrowo yang bekerja menjadi
TKI ke luar negeri dengan status sudah menikah dan memiliki anak. Kemudian
bekerja ke luar negeri, dengan meninggalkan keluarganya (pasangan juga atau anak)
di desa dan tanggung jawabnya dalam mengasuh anak.
12
1.6 Tinjauan Pustaka
Penelitian atau literatur yang memfokuskan kajiannya mengenai persoalan
anak-anak dalam keluarga TKI sudah cukup banyak dilakukan oleh beberapa peneliti,
termasuk mengenai pengasuhan anak pada Keluarga TKI itu sendiri. Berdasarkan
penelusuran pustaka yang dilakukan, setidaknya ditemukan beberapa kajian yang
relevan dengan pengasuhan anak usia 6-12 tahun pada keluarga TKI ini, diantaranya
kajian yang pernah dilakukan oleh Riyanti (2013) yang meneliti tentang pengasuhan
anak pada keluarga TKW di Desa Legokjawa, Ciamis, Jawa Barat. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Riyanti ini hanya membahas sebatas pada pengasuhan sosialnya
saja. Kemudian juga tidak membatasi apa yang dimaksud dengan anak, sehingga
penelitian ini mencakup anak usia rentang hingga 15 tahun yang merupakan golongan
remaja, bukan anak lagi. Hasil penelitiannya sendiri menunjukkan bahwa pengasuhan
anak pada keluarga TKW di Desa Legokjawa secara umum sudah dikatakan cukup
baik, sedikit saja yang kurang layak.
Sedangkan penelitian lain yang juga membahas mengenai anak TKI yaitu oleh
Astutik (2009), mengenai kenakalan anak yang ditinggal orangtuanya bekerja
menjadi TKI studi kasus di Kecamatan Pasean Kabupaten Pamekasan Madura. Hasil
dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak yang ditinggal bekerja oleh
orangtuanya menjadi TKI ke luar negeri cenderung berperilaku nakal. Bentuk
perilaku nakal yang ditunjukkan oleh anak TKI adalah; bolos sekolah, merokok,
minum-minuman keras, judi, dan kebut-kebutan.
13
Penelitian lain yang juga membahas mengenai anak TKI adalah dinamika
pendidikan agama Islam anak TKI di Desa Baron, Kecamatan Dukun, Kabupaten
Gresik oleh Niswatin (2011). Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya orang tua
yang meninggalkan anaknya bekerja ke luar negeri sebagai TKI, sementara
pendidikan agama Islam khususnya akhlak dari orang tua sehari-hari justru kurang
mendapat perhatian. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan study kasus. Berdasarkan analisis hasil dalam penelitian
menunjukkan bahwa anak yang ditinggal orang tuanya bekerja sebagai TKI
mengalami perubahan pendidikan khususnya pendidikan agama Islam. Hal ini
disebabkan karena kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya sehingga
berpengaruh terhadap perilaku keagamaannya seperti masalah sholat, mengaji yang
mengalami penurunan.
Berdasarkan penelusuran pustaka di atas maka penelitian mengenai persoalan
pada anak-anak TKI memang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti termasuk
pengasuhan anak TKI, akan tetapi pengasuhan anak TKI yang difokuskan pada usia
6-12 tahun belum ada yang meneliti. Dari penelusuran pustaka di atas, anak TKI yang
pernah diteliti umumnya usia remaja dan umumnya terbatas pada satu lingkup saja.
Contohnya penelitian yang dilakukan oleh Riyanti (2013) yang disebutkan di atas
yang hanya membahas sebatas pengasuhan anak dari segi sosial. Berbeda dengan
yang dipaparkan dalam penelitian ini yang membahas pengasuhan anak mulai dari
segi fisik, afeksi, sampai sosial.
14
1.7 Kerangka Konseptual
1.7.1 Keluarga
Keluarga didefinisikan dalam berbagai cara. Pendefinisian keluarga berbeda
beda tergantung kepada orientasi teoritis “pembuat definisi” yaitu dengan
menggunakan penjelasan yang penulis cari untuk menghubungkan keluarga
(Friedman, 1998). Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang
sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Keluarga berkaitan
dengan perkembangan individu sering dikenal dengan sebutan primary group. Dari
suatu keluarga dilahirkan individu dengan berbgai macam bentuk kepribadiannya
dalam masyarakat. Keluarga merupakan gejala universal yang terdapat di seluruh
dunia. Sebagai gejala yang universal, keluarga mempunyai 4 karakteristik yang
memberi kejelasan tentang konsep keluarga1.
1. Keluarga terdiri dari orang-orang yang bersatu karena ikatan perkawinan, darah
atau adopsi. Yang mengikat suami dan istri adalah perkawinan, yang
mempersatukan orang tua dan anak-anak adalah hubungan darah (umumnya) dan
kadang-karang adopsi.
2. Para anggota suatu keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah dan
mereka membentuk suatu rumah tangga (household), satu rumah tangga itu dapat
terdiri dari suami istri tanpa anak-anak, atau dapat dengan satu anak atau lebih.
1 http://suci_k.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/14974/individu-keluarga-dan-masyarakat(3).pdf
diakses pada 6 agustus 2015
15
3. Keluarga itu merupakan satu kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan saling
bersosialisasi, yang memainkan peran suami dan istri, bapak dan ibu, anak laki-
laki dan anak perempuan.
4. Keluarga itu mempertahankan suatu kebudayaan bersama yang sebagian besar
berasal dari kebudayaan umum yang lebih luas.
Keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial.
Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan kesatuan sosial yang diikat oleh
hubungan darah antara yang satu dengan yang lainnya. Berdasarkan dimensi
hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga
inti. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan
sosial yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling
mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, walaupun diantara mereka tidak
terdapat hubungan darah. Keluarga berdasarkan hubungan sosial ini dinamakan
keluarga psikologis dan keluarga pedagosis (Shochib, 2010).
Burgess dkk (dalam Friedman, 1998) membuat definisi yang berorientasi pada
tradisi dan digunakan sebagai referensi secara luas. Keluarga terdiri dari orang-orang
yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi yang biasanya hidup
bersama-sama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah,
mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah tangga dan anggota
keluarga saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran-peran
sosial keluarga seperti suami istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan,
16
saudara-saudari. Seluruh anggota keluarga sama-sama menggunakan kultur yang
sama, yaitu kultur yang di ambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri.
Secara struktural, Durkheim (dalam Polak, 2004) membagi keluarga dalam
dua kelompok, yaitu menjadi keluarga inti (nuclear family) dan keluarga besar
(extended family). Pengertian keluarga inti tidak selalu identik dengan jumlah anggota
keluarga yang sedikit sedangkan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga
yang banyak. Pengertian ini tidak berdasar jumlah lahiriah jumlah, melainkan
berdasar kedekatan atau keeratan hubungan yang terjadi di dalam keluarga itu.
Secara ringkas keluarga inti dapat didefinisikan sebagai sebuah keluarga atau
kelompok yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang belum menikah. Sedangkan
keluarga besar adalah satuan keluarga yang lebih meliputi lebih dari satu generasi
atau satu lingkungan keluarga yang lebih luas daripada hanya sekedar ayah, ibu dan
anak-anaknya. Dengan adanya satu perkawinan baru, maka anak yang kawin itu
memisahkan diri dari orang tuanya dan dari keluarga intinya. Namun demikian
mereka masih dapat digolongkan dalam sebuah keluarga besar. Selain itu, perbedaan
keluarga inti dan keluarga besar juga didasarkan pada kesamaan dapur untuk
menghidupi keluarga, bukan pada kesamaan dalam suatu tempat tinggal.
Dalam bentuknya yang paling dasar sebuah keluarga terdiri atas seorang laki-
laki dan seorang perempuan, dan ditambah dengan anak-anak mereka yang belum
menikah, biasanya tinggal dalam satu rumah, dalam antropologi disebut keluarga
17
inti.Sedangkan keluarga besar terdiri dari suami, istri dan anak-anaknya, ditambah
dengan kakek, nenek, bibi, pama, kemenakan, dan saudara-saudara lainnya. yang
secara bersama-sama hidup dalam satu rumah tangga dengan keluarga inti.
Keluarga inti dapat juga disebut keluarga somah, yaitu kesatuan sosial yang
terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya. Dalam formulasi keluarga Jawa, somah
atau keluarga inti ini mempunyai peranan penting, seperti yang dikemukakan oleh
Geertz (1985) dalam bukunya Keluarga Jawa menyatakan bahwa somah merupakan
unit pertalian kekelurgaan terkecil yang penting. Somah terjalin dengan rapat dengan
somah-somah lainnya. Somah memiliki peran penting dalam kehidupan keluarga
terutama di desa. Setiap kelompok somah tampil dihadapan anggota kelompok somah
lainnya sebagai suatu unit sosial. Somah memiliki beberapa tugas yaitu,
melaksanakan tugas ritual, melaksanakan tugas ekonomi, sosialisasi pada anak, dan
mengurus para anggota keluarga yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Menurut
orang Jawa, setiap anggota keluarga merupakan suatu pribadi yang tunggal. Orang
tua, anak, suami dan istri merupakan orang-orang terpenting didunia karena mereka
dapat memberikan kesejahteraan emosional, memberikan titik keseimbangan dalam
orientasi sosial dan dapat memberi bimbingan moral. Sedangkan sanak kandang
terorganisir ke dalam suatu kelompok bersama dan berfungsi sebagai sumber-sumber
bantuan dalam kesusahan serta sumber persaudaraan dalam kebahagiaan. Adapun hak
dan kewajiban sanak kandang atau keluarga sesaudara yaitu memberikan bantuan
dalam perhelatan misalnya dalam pernikahan, khitanan dan kelahiran, sumbangan
18
dalam bentuk bahan makanan, uang dan tenaga. Sedangkan kewajibannya yaitu
memperhatikan setiap anggota keluarga dekat yang miskin.
Menurut Soekanto (2009) keluarga inti mempunyai peranan sebagai; (1)
pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota. Ketentraman dan keamanan
diperoleh dalam wadah tersebut; (2) merupakan unit sosial ekonomis yang secara
materiil memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya;(3) menumbuhkan dasar-dasar
bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup; (4) merupakan wadah bagi manusia mengalami
proses sosialisasi awal.
Uraian di atas telah jelas mengungkapkan bahwa keluarga inti memiliki
peranan penting sebagai unit sosial yang memiliki konsekuensi bagi pemenuhan
berbagai kebutuhan fisik, psikis, dan sosial anggota keluarga di dalamnya. Ayah dan
ibu bersama-sama saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan bersama dan anak-
anaknya.
1.7.2 Fungsi keluarga
Keluarga adalah satuan terkecil masyarakat yang anggota-anggotanya terlibat
secara batiniyah dan hukum karena tali pertalian darah/ pertalian perkawinan. Ikatan
tersebut memberikan kedudukan tertentu kepada masing-masing anggota keluarga,
hak, dan kewajiban, tanggung jawab bersama, serta saling mengharapkan. Sebagai
suatu sistem sosial pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi yang sangat strategis
bagi anggota keluarga; suami-ayah; istri-ibu; dan anak. Masing-masing anggota
19
keluarga subsitem menjadikan keluarga menjalankan fungsinya agar keseluruhan
fungsi keluarga dapat berjalan dengan normal. Dengan lain perkataan, anggota
keluarga fungsional terhadap anggota keluarga lainnya. Apabila terdapat salah satu
anggota keluarga tidak mampu menjalankan fungsi seperti yang harus diembannya,
maka keluarga tersebut mengalami disfungsi (Coser dalam To Ihromi, 2004).
Sebagaimana halnya dengan institusi lain, keluarga juga menjalankan fungsi.
Dalam sebuah keluarga utuh yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, semua fungsi
keluarga dapat berjalan dengan baik apabila komponen dalam keluarga dapat
menjalankan sesuai dengan fungsi dan peranannya masing-masing. Kebahagiaan dan
ketentraman yang tercipta serta hubungan yang sehat antara orangtua dan anak sangat
penting bagi perkembangan kepribadian anak. Dalam sebuah keluarga yang utuh pula
akan mendapatkan ketenangan, kenyamanan, dan ketentraman yang tercipta melalui
banyaknya waktu berkumpul guna mencurahkan kasih sayang dan perhatian sekaligus
menanamkan nilai norma yang ada dalam masyarakat mengenai apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan.
Secara sosiologis keluarga merupakan hubungan lahir dan batin antar struktur
keluarga yaitu istri-suami, ibu-bapak, dan anak. Masing masing anggotanya tersebut
memiliki peran berlainan sesuai dengan fungsinya dan saling memiliki pengharapan
satu sama lain. Dengan demikian, di dalam keluarga terdapat hubungan fungsional di
antara anggotanya dalam rangka untuk menciptakan pengharapan tersebut. Jika di
dalam suatu keluarga kehilangan salah satu unsurnya, maka sudah dipastikan
20
keluarga tersebut akan mengalami kepincangan dan keluarga ideal yang dicita-citakan
pun sulit bahkan tidak terpenuhi (Su‟adah, 2003).
Pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi-fungsi pokok, yakni fungsi yang
sulit diubah dan digantikan oleh lembaga lain. Sedangkan fungsi-fungsi lembaga lain
atau fungsi sosial relatif mudah berubah. Para ahli sosiologi mengidentifikasi
berbagai fungsi keluarga.
Fungsi keluarga pada mulanya dikemukakan oleh Durkheim (dalam Polak,
2004) yang menyatakan bahwa menganalisis fungsi keluarga dengan mendasarkan
pada hak alamiah yang ditafsirkan dan dipunyai keluarga serta pertimbangan akan
manfaatnya. Secara pokok, fungsi keluarga meliputi tiga hal yang merupakan ciri
hakiki, yaitu:
1) Fungsi biologis yaitu keluarga merupakan tempat dilahirkannya anak-anak dan ini
merupakan fungsi dasar kelangsungan hidup keluarga dan masyarakat. fungsi ini
merupakan fungsi pertama keluarga terhadap anak-anaknya.
2) Fungsi afeksi yaitu keluarga merupakan wadah untuk menjalin kasih sayang di
antara para anggotanya. Fungsi ini muncul sebagai akibat hubungan kasih sayang
antara suami istri yang dilanjutkan dengan kasih sayang orang tua pada anak-
anaknya. Fungsi ini sangat penting dalam membentuk pribadi anak yang sedang
mengalami proses sosialisasi awal.
21
3) Fungsi sosialisasi yaitu keluarga merupakan tempat pertama membentuk
kepribadian anak. Melalui sosialisasi dalam keluarga, anak akan mempelajari pola
tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai budaya dalam masyarakat.
Selain fungsi-fungsi pokok, terdapat fungsi-fungsi sosial. Aswarna (2006)
menjelaskan fungsi-fungsi sosial itu meliputi fungsi ekonomi, pendidikan,
keagamaan, rekreasi, perlindungan.
1) Fungsi produksi atau terkadang disebut juga fungsi ekonomi yaitu keluarga
merupakan unit sosial yang bekerja sama untuk menghasilkan barang atau jasa
guna memenuhi kebutuhan hidup. Pada masyarakat agraris tradisional, keluarga
merupakan kesatuan produksi yang setiap anggotanya keluarga ikut serta dalam
proses produksi. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada masyarakat industri
modern dimana keluarga merupakan kesatuan konsumsi karena hampir semua
produksi barang konsumsi diambil alih oleh pabrik-pabrik.
2) Fungsi pendidikan yaitu keluarga sebagai tempat orang tua membekali ilmu
pengetahuan pada anak-anaknya. Fungsi pendidikan pada masa modern berkurang
seiring dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan di luar keluarga,
3) Fungsi agama yaitu keluarga merupakan pusat pendidikan upacara ritual dan
ibadah agama bagi para anggotanya di samping peranan yang dilakukan oleh
institusi agama. Proses sekularisasi dalam masyarakat dan merosotnya pengaruh
institusi agama menimbulkan kemunduran fungsi keagamaan keluarga.
22
4) Fungsi rekreasi yaitu keluarga merupakan tempat mendapatkan kebahagiaan bagi
anggota-anggotanya. Fungsi ini pada masa modern berkurang. Rekreasi dalam
kelompok sebaya menjadi makin penting bagi anak-anak. Perubahan tersebut
menimbulkan dua macam akibat, yaitu jenis-jenis rekreasi yang dialami oleh
anggota-angota keluarga menjadi lebih bervariasi, dan anggota-anggota keluarga
lebih cenderung mencari kebahagiaan di luar keluarga.
5) Fungsi perlindungan yaitu keluarga berfungsi memberikan perlindungan, baik
fisik maupun sosial, kepada para anggotanya. Sekarang banyak fungsi
perlindungan dan perawatan ini telah diambil alih oleh lembaga-lembaga di luar
keluarga. Seperti tempat perawatan bagi anak-anak cacat tubuh dan mental, anak
yatim piatu, anak-anak nakal, orang-orang lanjut usia, perusahaan asuransi dan
sebagainya.
1.7.3 Anak
Usia secara jelas mendefinisikan karateristik yang memisahkan anak-anak
dari orang dewasa, Namun, pendefinisian anak dari segi usia dapat membawa
permasalahan besar. Hal ini dikarenakan penggunaan definisi yang berbeda oleh
berbagai bangsa, budaya, institusi, dan berbagai disiplin ilmu. Disamping itu
pengertian anak jika ditinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum
dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga
akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak.
23
Lembaga internasional Department Child and Adolescent Health And
Development mendefinisikan anak sebagai orang yang berusia di bawah 20 tahun.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Convention on the Right of the Child
(CRC) atau KHA menerapkan defenisi anak sebagai berikut. "Anak berarti setiap
manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada
anak, kedewasaan dicapai lebih awal". Sedangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan "Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan".
Menurut Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, anak
adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita
jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia
yang harus dijunjung tinggi.
Wadong (2000) mengemukakan berbagai pengertian anak menurut sistem,
kepentingan, agama, hukum, sosial dan lain sebagainya sesuai fungsi, makna dan
tujuanya sebagai berikut:
1 Pengertian anak dari aspek agama, yaitu anak adalah titipan Tuhan kepada kedua
orang tua, masyarakat, Bangsa dan Negara sebagai pewaris dari ajaran agama
yang kelak akan memakmurkan dunia. Anak tersebut diakui, diyakini dan
diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima orang tua, masyarakat,
Bangsa dan Negara.
24
2 Pengertian anak dari aspek sosiologis, yaitu anak adalah mahkluk sosial ciptaan
Tuhan yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat, bangsa dan
Negara. Dengan keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya karena berada pada
proses pertumbuhan, proses belajar dan proses sosialisasi dari akibat usia yang
belum dewasa karena kemampuan daya nalar (akal) dan kondisi fisiknya dalam
perubahan yang berada dibawah kelompok orang dewasa.
3 Pengertian anak dari aspek ekonomi, yaitu anak adalah seseorang yang berhak
atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan dan
perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat
pertumbuhan dan perkembanganya dengan wajar.
4 Pengertian anak dari aspek politik, yaitu anak sebagai tempat "issue bargaining".
Politik yang kondusif, kebijaksanaan politik muncul dengan menonjolkan suara-
suara yang mengaspirasikan status anak dan cita-cita memperbaiki anak-anak dari
berbagai kepentingan partai politik.
Ditinjau dari segi perkembangan dan pertumbuhannya anak merupakan
individu yang berada dalam satu rentang perubahan, dimulai dari bayi hingga remaja.
Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi
(0-1 tahun) usia bermain/oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5), usia sekolah (6-12
tahun) hingga remaja (12-18 tahun). Pada anak terdapat rentang perubahan
pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat, berbeda antara anak
25
yang satu dengan yang lainnya. Adakalanya anak dengan perkembangan yang cepat
dan juga adakalanya perkembangan yang lambat. Hal tersebut dipengaruhi oleh
banyak faktor diantaranya latar belakang anak (Hidayat, 2005).
Anak adalah individu yang rentan karena perkembangan kompleks yang
terjadi di setiap tahap masa kanak-kanak dan masa remaja. Lebih jauh, anak juga
secara fisiologis lebih rentan dibandingkan orang dewasa, dan memiliki pengalaman
yang terbatas, yang mempengaruhi pemahaman dan persepsi mereka mengenai dunia.
Oleh karena itu, anak penting untuk diprioritaskan (Rumini dan Sundari, 2004).
1.7.4 Hak-Hak Anak
Hak-hak anak telah banyak diatur dan dijabarkan oleh berbagai pihak yang
menyebabkan perbedaan satu sama lain sesuai dengan intitusi maupun disiplin ilmu
masing masing. Menurut Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan
anak, mengatur hak-hak anak sebagai berikut:
1. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih
sayang, baik dalam keluarganya maupun di dalam asuh khusus untuk tumbuh
mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya.
2. Hak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan
sosialnya;
3. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan,
maupun sesudah dilahirkan;
26
4. Hak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau
menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
Menurut Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak menyatakan bahwa hak-hak anak meliputi :
1. Hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar;
2. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;
3. Hak beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai tingkat
kecerdasaan dan usianya, dalam bimbingan orang tua;
4. Hak untuk mengetahui orang tua, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya
sendiri;
5. Hak pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai kebutuhan fisik, mental,
spiritual dan sosial;
6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran. Khusus bagi anak cacat dapat
memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan yang unggul mendapatkan
pendidikan khusus;
7. Hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan
informasi sesuai tingkat kecerdasan dan usianya;
8. Hak beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya,
bermain, berekreasi sesuai minat dan tingkat kecerdasannya;
27
9. Hak anak cacat untuk memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan
taraf kesejahteraan sosial;
10. Hak untuk dilindungi dan diperlakukan dari diskriminasi, ekspolitasi, baik
ekonomi maupun seksual, penelantaraan, kekejaman, kekerasan, penganiyaan,
ketidakadilan, perlakuan salah lainnya.
11. Hak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri;
12. Hak perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam
sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, perlibatan dalam peristiwa
yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan;
13. Hak memperoleh perlindungan dari sasasran penganiyaan atau penjartuhan
pidana yang tidak manusiawi;
14. Hak memperoleh kekebasan sesuai hukum;
15. Hak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dipisahkan dari orang
dewasa bagi anak yang dirampas kemerdekaannya;
16. Hak mendapatkan bantuan hukum;
17. Hak membela diri dari memperoleh keadilan didepan pengadilan.
18. Hak untuk dirahasikan bagi anak korban kekerasan seksual atau yang berhadapan
dengan hukum;
19. Hak mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya.
28
Konvensi Hak Anak (KHA)2 memuat 10 asas pokok hak-hak anak, meliputi :
1. Anak berhak menikmati semua haknya sesuai ketentuan yang terkandung dalam
Deklarasi ini. Bahwa setiap anak tanpa kecuali harus dijamin hak-haknya tanpa
membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan
politik atau pandangan lain, kebangsaan atau tingkatan sosial, kaya miskin, kelahiran
atau status lain, baik yang ada pada dirinya maupun keluarganya;
2. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus, dan harus memperoleh
kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya mampu
untuk memgembangkan diri sercara fisik, kejiwaan, moral, spiritual dan
kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai kebebasan dan harkatnya.
3. Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan;
4. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh dan
berkembang secara sehat;
5. Anak yang cacat fisik, mental dan lemah kedudukan sosialnya akibat suatu
keadaan tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus;
6. Agar supaya kerpibadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia
memerlukan kasih sayang dan pengertian. Sedapat mungkin ia dibesarkan dibawah
2 Dikutip dari http://www.unicef.org/magic/media/documents/CRC_bahasa_indonesia_version.pdf
diakses pada tanggal 6 Agustus 2015
29
asuhan dan tangungjawab orang tuanya sendiri, dan bagaimanapun harus diusahakan
agar tetap berada dalam suasana yang penuh kasih sayang. Sehat jasmani dan rohani;
7. Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-cuma sekurang-kurangnya
pada ditingkat sekolah dasar. Mereka harus mendapat perlindungan yang dapat
meningkatkan pengetahuan umumnya, atau yang memungkinkannya atas dasar
kesempatan yang sama guna mengembangkan kemampuan, pendapat pribadinya dan
perasaan tanggungjawab moral dan sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi
anggota masyarakat yang berguna. Anak juga mempunyai kekebasan untuk bermain
dan berrekreasi yang diarahkan untuk tujuan pendidikan, masyarakat dan pemerintah
yang berwenang harus berusaha meningkatkan pelaksanan hak ini.
8. Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima perlindungan
dan pertolongan;
9. Anak harus dilindungi dari sebagai bentuk kealpaan, kekerasaan, penghisapan. Ia
tidak boleh dijadikan subjek perdagangan, artinya anak tidak boleh bekerja sebelum
usia tertentu, ia tidak boleh dilibatkan dalam pekerjaan yang dapat merugikan
kesehatan atau pendidikannya, maupun yang dapat mempengaruhi perkembangan
tubuh, jiwa atau akhlaknya;
10. Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk
diskriminasi sosial, agama maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.
30
Konvensi Hak Anak (KHA) atau kata lainnya adalah traktat atau Pakta sendiri
adalah suatu perjanjian yang mengikat secara yuridis dan juga politik. Konvensi Hak
Anak (KHA) kata aslinya adalah Convension On The Right of The Child (CRC) yang
merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang fokusnya pada penanganan
hak anak. Serta merupakan instrument yang dibuat secara universal dengan tidak
membedakan hak anak diseluruh dunia. Konvensi Hak Anak (KHA) mempunyai dua
tujuan pokok. Pertama, menetapkan standar universal hak-hak anak. Kedua,
melindungi anak-anak dari segala bentuk eksploitasi, penganiayaan, dan
penyalahgunaan
Kesepuluh asas di atas merupakan suatu ketentuan yang bersifat mengikat,
terperinci dan tertuang dalam pasal-pasal konvensi. Asas-asas pokok pelindungan
anak ini merupakan pencerminan dari suatu pendekatan yang sifatnya holistic, artinya
hak-hak anak tidak dilihat secara sempit, tetapi harus dilihat secara luas, sesuai ruang
lingkup perlindungan hak asasi manusia, seperti hak sipil, politik, ekonomi, sosial
dan budaya.
1.7.5 Pengasuhan anak
Pendefinisian pengasuhan anak yang pernah dilakukan agaknya berbeda-beda.
Perbedaan ini didasarkan pada sudut pandang disiplin yang berbeda. Pengasuhan
anak menurut ilmu-ilmu kesehatan merujuk pada istilah child rearing „membesarkan
anak‟. Sebagai contoh Range dkk (1997) menjelaskan bahwa pengasuhan merupakan
31
serangkaian perilaku sederhana yang berkisar pada praktik pemberian makan pada
anak, tanggapan dalam menyediakan perawatan kesehatan yang adekuat, memajukan
lingkungan yang sehat dan aman bagi anak, sampai pada interaksi psikososial dan
dukungan emosional. Tidak mengherankan jika pada disiplin ilmu-ilmu kesehatan
menganggap pengasuhan dimulai sejak anak masih berada dikandungan dengan
harapan anak yang dilahirkan kelak dalam keadaan yang sehat.
Adapun disiplin ilmu-ilmu sosiohumaniora pengasuhan lebih merujuk pada
apa yang disebut dengan parenting „pengasuhan‟. Banyak ahli mengatakan bahwa
pengasuhan anak adalah bagian terpenting dan mendasar. Anak perlu diasuh, dan
dibimbing karena mengalami proses pertumbuhan, dan perkembangan. Pertumbuhan
dan perkembangan itu merupakan suatu proses, agar pertumbuhan dan perkembangan
berjalan sebaik-baiknya, anak perlu diasuh dan dibimbing oleh orang dewasa,
terutama dalam lingkungan kehidupan keluarga bersama orangtua.
Nabuasa (2011) menjelaskan bahwa pengasuhan berarti menjaga, merawat
dan mendidik anak. Pengasuhan anak adalah perilaku yang dilakukan oleh pengasuh
dalam memberikan makanan, pemeliharaan kesehatan, memberikan kasih sayang dan
tanggung jawab orang tua. Seorang ibu merawat dan menjaga janinnya dengan
berbagai usaha agar nantinya anak dilahirkan dengan selamat dan sehat. Setelah lahir,
seorang anak pun akan tetap dalam perawatan dan penjagaan. Pengasuhan anak pada
tahap awal lebih ditekankan pada pengasuhan fisik. Anak diberi asupan gizi yang
baik agar anak tumbuh sehat. Seiring dengan bertambahnya usia anak, pengasuhan
32
tidak hanya pada urusan fisik (merawat dan menjaga), melainkan juga pengasuhan
dalam hal mendidik anak untuk bersikap dan bereperilaku sesuai dengan kelompok
sosialnya.
Pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan
pengasuh terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orangtua sebagai
pengasuh dengan anak sebagai individu yang diasuh. Interaksi tersebut mencakup
beberapa hal seperti; mencukupi kebutuhan anak, mendorong keberhasilan dan
melindungi, maupun mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat
(Wahyuning, 2003). Soekirman (2000) menjelaskan bahwa pengasuhan adalah
asuhan yang diberikan ibu atau pengasuh lain berupa sikap, dan perilaku dalam hal
kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan,
menberi kasih sayang, dan sebagainya.
Brooks (2001) juga mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang
merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orangtua untuk
mendukung perkembangan anak. Hurlock (1996) menjelaskan bahwa pengasuhan
merupakan interaksi antara anak dengan orangtua bukan hanya pemenuhan kebutuhan
fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan afeksi (seperti kasih
sayang), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar
anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.
33
Engel (1994), menjelaskan bahwa pengasuhan erat kaitannya dengan
kemampuan suatu keluarga atau rumah tangga dalam hal memberikan perhatian,
waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak
yang sedang dalam masa pertumbuhan. Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa
pengasuhan mencakup beragam aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang
secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut
Hoghughi tidak menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada
aktifitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Beberapa definisi tentang
pengasuhan tersebut menunjukkan bahwa pengasuhan merupakan sebuah proses aksi
dan interaksi yang terus menerus antara pengasuh dengan anak yang bertujuan untuk
mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, baik Secara fisik,
psikologis maupun sosial.
1.7.6 Pola Pengasuhan Anak
Pengasuhan anak dalam berbagai keluarga dapat dibedakan berdasar cara
mengasuhnya yang kemudian disebut dengan pola pengasuhan. Pengertian pola asuh
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah merupakan suatu bentuk (struktur),
sistem dalam menjaga, merawat, mendidik dan membimbing anak kecil (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2005).
Menurut Baumrind (1987), ada dua dimensi besar pola asuh yang menjadi
dasar dari kecenderungan jenis kegiatan pengasuhan anak, yaitu :
34
a. Responsiveness
Dimensi ini berkenaan dengan sikap orangtua yang penuh hangat, memahami
dan berorientasi pada kebutuhan anak. Pada orangtua yang tidak responsif terhadap
anak–anaknya, orangtua bersikap menolak atau mengabaikan anak. Orangtua dengan
sikap tersebut sering menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah yang dihadapi
anak seperti kesulitan akademis, ketidakseimbangan hubungan dengan orang dewasa
dan teman sebaya sampai dengan masalah kenakalan.
b. Demandingness
Dimensi ini mengandung tuntutan orang tua pada anak. Orangtua memberikan
tekanan terhadap anak untuk dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam aspek
sosial, intelektual dan emosional dengan cara yang kaku. Orangtua juga terlihat
berusaha untuk membatasi kebebasan, inisiatif dan tingkah laku anaknya. Orangtua
memiliki kemampuan untuk menahan tekanan dari anak,
Pola asuh orang tua dalam keluarga secara umum dikategorikan menjadi tiga
besar. Braumind (1987), mengidentifikasi tiga pola yang berbeda secara kualitatif
pada otoritas orangtua yaitu.
1. Authoritarian (Otoriter)
Authoritarian merupakan pola asuh yang penuh pembatasan dan hukuman
dengan cara orangtua memaksakan kehendaknya, sehingga orangtua dengan pola
asuh authoritarian memegang kendali penuh dalam mengontrol anak-anaknya.
35
Authoritarian mengandung demandingness yang tinggi dan unresponsive, yang
dicirikan dengan orangtua yang selalu menuntut anak tanpa memberi kesempatan
pada anak untuk mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi
terbuka antara orangtua dan anak juga kehangatan dari orangtua. Pola asuh
authoritarian ditandai dengan ciri-ciri sikap orangtua yang kaku dan keras dalam
menerapkan peraturan-peraturan maupun disiplin. Orangtua bersikap memaksa
dengan selalu menuntut kepatuhan anak, agar bertingkah laku seperti yang
dikehendaki oleh orang tuanya. Adapun orangtua tidak mempunyai pegangan
mengenai cara bagaimana mereka harus mendidik, maka timbul berbagai sikap
orangtua yang mendidik menurut apa yang dianggap terbaik oleh mereka sendiri,
diantaranya adalah dengan hukuman dan sikap acuh tak acuh, sikap ini dapat
menimbulkan ketegangan atau ketidak nyamanan, sehingga memungkinkan
kericuhan di dalam rumah (Baumrind dalam Berk, 2000). Menurut Stewart dan
Koch (1983), orangtua yang menerapkan pola asuh ini mempunyai ciri; 1) kaku, 2)
tegas, 3) sering menghukum, 4) kurang hangat, dan 5) orangtua memaksa anak-anak
untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai
dengan yang orangtua inginkan serta cenderung mengekang keinginan anak
Pola asuh otoriter mengakibatkan; anak mempunyai sikap serba tunduk; anak
tidak mempunyai inisiatif karena takut berbuat kesalahan; anak menjadi penurut dan
anak tidak mempunyai kepercayaan diri. Tidak jarang sering terjadi konflik orangtua-
anak yang menyebabkan munculnya jarak pemisah diantara keduanya.
36
2. Permissive (Permisif)
Pola asuh permisive atau disebut juga dengan pola asuh serba boleh. Dalam
pola asuh ini orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk berperilaku sesuai
dengan keinginan-keinginan anak. Orangtua kurang peduli dan tidak pernah
memberi aturan yang jelas dan pengarahan pada anak. Segala keinginan anak
keputusannya diserahkan sepenuhnya pada anak. Orangtua tidak memberikan
pertimbangan atau pengarahan bahkan tidak mau tahu atau masa bodoh tentang
masalah anak. Anak kurang tahu apakah tindakan yang dikerjakan benar atau salah.
Maccoby dan Martin (dalam Santrock, 2007) membagi pola asuh ini menjadi
dua: neglectful parenting (mengabaikan) dan indulgent parenting (menuruti). Pola
asuh yang neglectful yaitu bila orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak
(tidak peduli). Pola asuh ini menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki
kompetensi sosial terutama karena adanya kecenderungan kontrol diri yang kurang.
Pola asuh indulgent yaitu bila orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak, namun
hanya memberikan kontrol dan tuntutan yang sangat minim (selalu menuruti atau
terlalu membebaskan) sehingga dapat mengakibatkan kompetensi sosial yang tidak
adekuat karena umumnya anak kurang mampu untuk melakukan kontrol diri dan
menggunakan kebebasannya tanpa rasa tanggung jawab serta memaksakan
kehendaknya. Permissive mengandung undemanding dan unresponsive (Baumrind,
1987). Dicirikan dengan orangtua yang bersikap mengabaikan dan lebih
mengutamakan kebutuhan dan keinginan orangtua daripada kebutuhan dan
37
keinginan anak, tidak adanya tuntutan larangan ataupun komunikasi terbuka antara
orangtua dan anak.
Hurlock (1996) mengatakan bahwa pola asuhan permisif bercirikan; 1)
adanya kontrol yang kurang, 2) orangtua bersikap longgar atau bebas, dan 3)
bimbingan terhadap anak kurang bahkan tidak ada. Pola asuh permisif ini dapat
menyebabkan anak berperilaku menentang, tidak patuh, kurang percaya diri, kurang
kontrol diri, agresif, dan tidak mempunyai tujuan.
3. Authoritative (Demokratis)
Pola asuh ini mendorong anak sebagai individu yang selalu berkembang
namun tetap menerapkan berbagai batasan yang akan mengontrol mereka. Adanya
saling memberi dan saling menerima, mendengarkan dan didengarkan. Pola ini lebih
memusatkan perhatian pada aspek pendidikan daripada aspek hukuman, orangtua
memberikan peraturan yang luas serta memberikan penjelasan tentang sebab
diberikannya hukuman serta imbalan. Authoritative mengandung demandingness dan
responsiveness dicirikan dengan adanya tuntutan dari orang tua yang disertai dengan
komunikasi terbuka antara orangtua dan anak, mengharapkan kematangan perilaku
pada anak disertai dengan adanya kehangatan dari orangtua. Jadi penerapan pola asuh
authoritative dapat memberikan keleluasaan anak untuk menyampaikan segala
persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang diberikan
38
orangtua tidak bersifat mutlak akan tetapi adanya kontrol dan pembatasan
berdasarkan norma-norma yang ada.
Pengasuhan pada anak dengan cara ini akan memberikan dampak positif pada
kompetensi sosial anak yang meliputi perilaku prososial, inisiatif sosial dan dapat
membedakan yang baik dan yang buruk.
1.7.7 Pentingnya Orang Tua (Ayah-Ibu) dalam Pengasuhan Anak
Pengasuhan anak di dalam keluarga yang ideal adalah dilakukan oleh kedua
orang tuanya. Ayah dan ibu bekerja sama saling bahu-membahu untuk memberikan
asuhan dan pendidikan kepada anaknya. Mereka menyaksikan dan memantau
perkembangan anak-anaknya secara optimal. Baik ayah maupun ibu memiliki peran
dalam pengasuhan anak meskipun bentuk peran itu memiliki perbedaan.
Keutuhan keluarga menjadi faktor utama yang mempengaruhi pengasuhan.
Dimaksud dengan keutuhan keluarga ialah, pertama keutuhan dalam struktur keluarga
yaitu bahwa dalam keluarga itu adanya ayah disamping adanya ibu dan anak. Apabila
tidak ada ayah atau ibu atau kedua-duanya maka struktur keluarga sudah tidak utuh
lagi. Selain keutuhan dalam struktur keluarga dimaksudkan pula keutuhan dalam
interaksi keluarga jadi bahwa di dalam keluarga berlangsung interaksi sosial yang
wajar dan harmonis (Dagun, 2002).
Akhmad (1999) menjelaskan dalam proses perkembangan anak, ayah dan ibu
sama-sama mempunyai peran. Andayani dan Koentjoro (2004) menyebut bahwa
39
pengasuhan itu sebagai coparenting, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul
bersama antara ayah dan ibu. Pada coparenting, kerjasama yang terjadi diharapkan
dapat membantu anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal termasuk
pencapaian kompetensi sosialnya.
Ayah tidak mungkin menjalankan perannya sendiri sehingga diperlukan
dukungan ibu dalam pengasuhan, ibu juga demikian (Basir, 2004). Seorang ibu tidak
hanya berperan mengasuh anak saja, melainkan juga harus berperan dalam semua
urusan rumah tangga, bahkan peran sosial yang tidak bisa dilaksanakan oleh seorang
ayah dengan optimal untuk mencari nafkah dan atau tugas-tugas dalam wilayah
publik. Ibu memiliki keterbatasan pribadi, waktu dan perhatian untuk menjalankan
semua perannya. Oleh karena itu Andayani dan Koentjoro (2004) menegaskan bahwa
untuk memenuhi pelayanan perkembangan anak, ibu perlu dukungan ayah. Kualitas
pengasuhan ibu-anak dipengaruhi oleh peran ayah.
Senada dengan itu kebersamaan dalam mengasuh anak antara ayah dan ibu
dikemukakan oleh Davis dkk (dalam Basir, 2004) bahwa perkembangan anak
dipengaruhi oleh masing-masing karateristik ayah, ibu dan anak serta interaksi ayah
ibu, ibu-anak, dan ayah-anak. Penelitian tentang pengasuhan bersama atau
coparenting, juga dikemukakan oleh Santrock (2007) yang kesimpulannya adalah
solidaritas orang tua, kerjasama dan kehangatan, menunjukkan ikatan jelas dengan
perilaku prososial dan kompetensi anak.
40
Keterlibatan ayah secara langsung dalam pengasuhan anak merupakan hal
yang penting, sebab gaya laki-laki atau ayah akan memberikan kesempatan pada anak
untuk berkembangnya kecerdasan sosial dan emosi anak. Keterlibatan ayah akan
memberi manfaat yang positif bagi anak dalam mengembangkan pengendalian diri,
kemampuan menunda pemuasan keinginan dan kemampuan penyesuaian sosial anak,
baik laki-laki maupu perempuan. Dagun (2002) menjelaskan bahwa anak yang tidak
mendapat asuhan dan perhatian ayah, perkembangannya akan menjadi pincang,
memiliki kemampuan akademis yang cenderung menurun, aktivitas sosialnya
terhambat, dan interaksi sosialnya terhambat, bahkan bagi anak laki-laki, ciri
maskulinitasnya bisa menjadi kabur. Dikarenakan bahwa peran ayah efektif dalam:
(1) menciptakan relasi yang sehat, (2) menyediakan kebutuhan fisik dan keamanan
(3) menerima adanya perubahan, (4) menggali hal-hal yang menyenangkan dan (5)
membantu anak untuk mengembangkan kemampuannya.
Peran ibu dalam pengasuhan sangatlah penting. Ibu merupakan significant
person yaitu orang atau figur yang berarti bagi seorang anak dalam keluarga, sebab
dunia ibu adalah khas menampilkan diri sebagai dunia yang memelihara. Ketika ayah
mencari nafkah, ibulah yang medampingi anak-anak dalam memenuhi kebutuhan dan
membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dengan penuh
cinta (Kartono, 1989).
Andayani dan Koentjoro (2004) menjelaskan bahwa ibu merupakan faktor
yang sangat penting sebagai pengasuh utama. Ibu secara kodrati memiliki instink
41
keibuan untuk mengurus anak-anaknya, bahkan perempuan yang belum pernah
melahirkan pun, dapat dengan lebih cepat dalam menguasai pengasuhan anak. Hal
tersebut terjadi karena adanya tuntutan sosial yang kuat terhadap perempuan untuk
berperan sebagai ibu. Gunarsa (1995) menjelaskan bahwa secara umum seorang ibu
dalam pengasuhan anak memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan biologis anak,
merawat, mengurus anak dengan sabar, kasih sayang, konsisten, mendidik, mengatur,
mendisiplinkan, dan mengendalikan anak.
Selain orang tua, Sukamtiningsih (2001) menjelaskan bahwa dalam
pengasuhan anak sering terjadi campur tangan kakek dan nenek. Hal ini lebih sering
diakibatkan oleh faktor ekonomi. Gunarsa (2004), bahwa antara kakek-nenek dan
orangtua memiliki perbedaan dalam hal pengasuhan diantaranya adalah cara
mendidik anak. Orangtua memberikan didikan secara kognitif, menegaskan dalam
aturan-aturan keseharian disertai hukuman. Berbeda halnya dengan kakek-nenek yang
mendidik anak dengan lebih menekankan pada ajakan-ajakan keseharian yang
kemudian membuat aturan terasa longgar bagi anak dan menjadikan mereka
bertindak sesuka hatinya.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
studi kasus. Menurut Bodgan dan Taylor (dalam Moleong, 2007), metode penelitian
42
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis maupun lisan dari individu-individu atau perilaku yang diamatinya.
Denzin dan Lincoln (1994) menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif ialah
mendekati permasalahan dalam setting naturalnya, dan berupaya memahami atau
menginterprestasikan fenomena yang diteliti sesuai dengan pemaknaan yang
diberikan obyek itu sendiri. Kemudian menganalisanya dalam bentuk kata-kata guna
memperoleh suatu kesimpulan. Dalam penelitian ini pendekatan kualitatif digunakan
untuk mengkaji kondisi umum Desa Karangrowo, kondisi sosial ekonomi keluarga
TKI Desa Karangrowo, dan pola pengasuhan anak pada keluarga TKI di Desa
Karangrowo.
1.8.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan,
Kabupaten Kudus karena desa ini merupakan salah satu wilayah kantong TKI Kudus.
Menurut Nor Hadi, Kaur Kesra desa Karangrowo, jumlah TKI yang tercatat pada
tahun 2013 adalah 154 orang terdiri dari 89 orang perempuan dan 65 orang laki-laki
dengan status legal. Dari keseluruhan jumlah TKI yang legal di Desa Karangrowo
tersebut sebagian besar berstatus telah menikah dan memiliki anak yakni 112 orang.
Setelah dilaksanakan observasi awal dan berbagai pertimbangan kesulitan di lapangan
maka ditetapkanlah penelitian di Desa Karangrowo. Pertimbangan utama memilih
lokasi ini adalah karakteristik kelayakan objek yang sangat memungkinkan untuk
menciptakan informasi yang menunjang tercapainya tujuan penelitian.
43
1.8.3 Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah keluarga TKI. Terdiri dari pihak orang tua
pengasuh dari anak yang ditinggalkan bekerja oleh salah satu atau kedua orang
tuanya bekerja menjadi TKI. Kemudian juga pada anak yang ditinggalkan bekerja ke
luar negeri itu sendiri. Alasannya karena kedua pihak tersebut terlibat langsung dalam
proses pengasuhan anak dalam keluarga TKI. Pihak pengasuh sebagai yang
menjalankan pengasuhan dan anak sebagai pihak yang mendapatkan pengasuhan.
Anak TKI yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah mereka yang
berada pada rentang usia antara 6-12 tahun. Hal ini dikarenakan pada umumnya anak
di Desa Karangrowo yang ditinggalkan oleh salah satu atau kedua orang tuanya
bekerja menjadi TKI adalah pada rentang usia tersebut.
Dalam penelitian ini dipilihlah 8 keluarga TKI, terdiri dari; 3 keluarga TKI
yang anaknya diasuh oleh pihak orang tua tunggal-ayah; 3 keluarga TKI yang
anaknya diasuh oleh pihak orang tua tunggal-ibu; dan 2 keluarga TKI yang anaknya
diasuh oleh pihak orang tua pengganti (kakek-nenek). Alasan mengambil 8 keluarga
TKI, karena dirasa sudah mampu menjawab persoalan mengenai pola pengasuhan
anak dalam penelitian ini. Melihat latar belakang yang tidak jauh berbeda antara
keluarga TKI satu dengan lainnya. Keterbatasan waktu dan biaya yang dimiliki oleh
peneliti juga menjadi alasannya.
Adapun rincian dari 8 keluarga TKI yanag menjadi subyek dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut.
44
Tabel 1.2
Daftar Subyek Penelitian
No
Orang
Tua
Pengasuh
Hubungan
Terhadap
Anak
Usia Pekerjaan Pendidikan
Anak
Yang
Diasuh
Kelamin Usia
Pihak Yang
Menjadi TKI Negara
Tujuan
1 Imron Ayah 31 Serabutan SD Lusi P 8 Istri/Ibu Arab Saudi
2 Sutomo Ayah 37 Sopir Angkot
Barang SLTP Arya L 12
Istri/Ibu Malaysia
3 Sarwi Ayah 32 Petani SD Asna P 9 Istri/Ibu Arab Saudi
4 Suyati Ibu 30 Ibu Rumah
Tangga SD Ismi P 9
Suami/Ayah Arab Saudi
5 Witani Ibu 33 Petani SD Linda P 11 Suami/Ayah Kuwait
6 Siti
Isrofah Ibu 29
Ibu Rumah
Tangga SLTP Zuffan L 8
Suami/Ayah Malaysia
7 Rebo-
Masirah
Kakek-
Nenek
65-
58
Petani-Ibu
Rumah
Tangga
Tidak
Tamat SD-
Tidak
Tamat SD
Faisal L 10 Suami/Ayah-
Istri/Ibu Arab Saudi
8 Masiran-
Ngasirah
Kakek-
Nenek
62-
56
Petani-Ibu
Rumah
Tangga
Tidak
Tamat SD-
Tidak
Tamat SD
Lina P 7 Suami/Ayah-
Istri/Ibu Malaysia
Sumber: data lapangan diolah 2013
45
Sebagai tambahan dan alat kontrol (pendukung kebenaran data) digunakan
juga informan pendukung. Terdiri dari tokoh masyarakat setempat yakni Bapak Nor
Hadi selaku Kaur Kesra dan Bapak Rumadi selaku Kepala Desa Karangrowo.
Kemudian juga ada tetangga dan kerabat dari keluarga TKI yang menjadi informan
dalam penelitian ini.
1.8.4 Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah keluarga. Keluarga yang dimaksud
adalah keluarga TKI, keluarga yang tidak utuh dan tinggal terpisah satu sama lain
karena salah satu atau lebih anggota keluarganya bekerja menjadi TKI ke luar negeri
dalam jangka waktu lama (minimal dua tahun sesuai dengan masa kontrak kerja).
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam rangka memenuhi tujuan penelitian dilakukan
dengan cara pengamatan, wawancara secara mendalam (indept interview) dengan
menggunakan pedoman wawancara (interview guide) dan pengumpulan data
sekunder. Pelaksanaanya berlangsung selama 3 bulan, antara bulan Juni sampai bulan
September 2014.
a. Wawancara
Wawancara adalah percakapan tertentu dengan maksud tertentu. Percakapan
itu dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertayaan itu
(Moleong, 2007). Maksud mengadakan wawancara adalah untuk menkonstruksi
46
mengenai orang, kejadian, kegiatan, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan
lain-lain.
Wawancara dilakukan kepada subyek penelitian yang terdiri dari pihak orang
tua pengasuh dari anak yang ditinggalkan bekerja oleh salah satu atau kedua orang
tuanya bekerja menjadi TKI. Kemudian pada anak yang ditinggalkan bekerja ke luar
negeri itu sendiri. Sebagai tambahan dan alat kontrol (pendukung kebenaran data)
dilakukan juga wawancara kepada informan pendukung. Terdiri dari tokoh
masyarakat setempat yakni Bapak Nor Hadi selaku Kaur Kesra dan Bapak Rumadi
selaku Kepala Desa Karangrowo. Kemudian juga ada tetangga dan kerabat dari
keluarga TKI dalam penelitian ini.
Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh data mengenai kondisi Desa
Karangrowo, kondisi sosial ekonomi keluarga TKI dan pola pengasuhan anak dari
keluarga TKI yang ada di Desa Karangrowo. Selama melakukan wawancara peneliti
mencatat hal-hal yang penting dan merekam pembicaraan. Waktu yang digunakan
untuk melakukan wawancara adalah ketika informan benar-benar dalam kondisi
luang atau sebelumnya mengadakan janjian terlebih dahulu. Sementara untuk
lamanya waktu yang dibutuhkan setiap kali melakukan wawancara antar informan
satu dengan lainnya berbeda-beda, berkisar satu sampai satu setengah jam dan
banyaknya wawancara yang dilakukan adalah dua hingga tiga kali wawancara kalau
ada data yang perlu dilakukan cross check.
47
Kesulitan yang dialami oleh peneliti selama melakukan wawancara adalah
pertama, dalam hal bahasa yang digunakan ketika melakukan wawancara dengan
informan. Peneliti harus menyesuaikan dengan bahasa yang digunakan oleh informan,
baik bahasa Indonesia maupun Jawa. Peneliti terkadang kurang memahami bahasa
Jawa yang digunakan oleh informan. Kedua, ketika hendak mewawancarai informan,
maka peneliti harus menunggu waktu yang tepat. Misalnya saat informan yang akan
diwawancarai masih bekerja di sawah, peneliti harus dengan sabar menunggu
pekerjaannya sampai selesai baru melakukan wawancara.
b. Observasi
Disamping wawancara, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh
peneliti ialah melalui observasi. Observasi diartikan sebagai pengamatan dan
pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian
berupa peristiwa, perilaku dan kegiatan informan, tempat atau lokasi penelitian
(Nawawi, 2005). Observasi langsung bertujuan agar data yang diperoleh dapat
digunakan dan dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Dalam penelitian ini peneliti langsung ke lokasi penelitian untuk melakukan
observasi. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keyakinan tentang keabsahan data
dan mencari sebuah kebenaran yang terjadi di lapangan. Untuk memperoleh data
mengenai pola pengasuhan anak pada keluarga TKI, peneliti melakukan pengamatan
langsung ke rumah yang bersangkutan (keluarga TKI yang menjadi informan dalam
penelitian ini). Guna mengetahui secara langsung mengenai praktek pengasuhan anak
48
yang sehari-harinya berjalan dalam keluarga TKI. Kemudian mendokumentasikannya
dalam wujud gambar berupa foto dan mencatat hal-hal penting yang berhubungan
dengan fokus penelitian. Selain itu, untuk memperoleh gambaran mengenai Desa
Karangrowo, peneliti juga mengamati kondisi fisik maupun aktivitas sosial ekonomi
warganya.
c. Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini berupa data tambahan yang berisi
informasi untuk mendukung dan melengkapi hasil penelitian, berupa: dokumen atau
arsip dari lembaga pemerintahan Desa Karangrowo berupa data monografi desa tahun
2013 yang berisi data kewilayahan, kependudukan yang meliputi jumlah penduduk,
mata pencaharian, pendidikan, agama, dan sarana prasarana. Kemudian ada juga foto-
foto terkait dengan fokus penelitian yang peneliti hasilkan saat melakukan penelitian
di lapangan.
1.8.6 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara bersamaan dengan
kegiatan pengumpulan data lainnya, yakni pada saat wawancara mendalam (indepth
interview), observasi, serta analisis dokumen. Teknik analisis yang digunakan adalah
teknik kualitatif interaktif. Menurut Miles dkk (1992) teknik analisis data perlu
dilaksanakan secara interaktif, berkesinambungan dan berlangsung terus menerus
hingga data dapat dikatakan jenuh dan tuntas. Dengan demikian, proses tersebut akan
49
berlangsung secara berkesinambungan, sehingga diperoleh data yang merupakan
sasaran penelitian. Dalam model analisa interaktif tersebut terdapat tiga jenis kegiatan
analisis yang saling susul menyusul dan dilakukan secara berkesinambungan.
Kegiatan tersebut meliputi hal-hal berikut :
a. Reduksi Data
Dalam melakukan analisis data, langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti
ialah reduksi data. Reduksi data merupakan bagian dari teknik analisis data yang
dilakukan dengan memilih hal pokok untuk menjawab masalah penelitian agar tetap
fokus sehingga ditemukan pola dari penelitian yang dilakukan. Dalam melakukan
reduksi data, peneliti melakukan proses pengorganisasian data, pengelompokkan data
berdasarkan pola jawaban yang diperoleh selama melakukan penelitian. Baik melalui
pengumpulan data dengan wawancara, pengamatan (observasi) maupun analisis
dokumen. Proses pengelompokan dan pengorganisasian data dilakukan dengan
mengkode, mengkategorikan data yang penting dan yang tidak penting secara detail.
Hal ini dilakukan karena data yang nantinya diperoleh dari lapangan jumlahnya
sangat banyak, kompleks dan belum memiliki pola yang tetap. Melalui proses reduksi
data, peneliti mendapatkan ringkasan serta gambaran secara jelas mengenai data-data
yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan penelitian.
b. Penyajian Data
Penyajian data terwujud dalam sekumpulan informasi yang tersusun dengan
baik melalui ringkasan atau rangkuman berdasarkan data yang telah diseleksi atau
direduksi. Informasi atau data ini disusun sedemikian rupa sehingga menjadi suatu
50
tulisan yang rapi dan tersusun dengan baik. Dengan demikian dalam ringkasan atau
rangkuman itu didalamnya termuat rumusan hubungan antara unsur dalam unit kajian
penelitian sehingga dapat memungkinkan untuk memudahkan menarik kesimpulan.
Dari hasil wawancara, observasi dan studi dokumentasi di lapangan, data yang
peneliti peroleh masih luas dan banyak. Kemudian peneliti menyajikan data dalam
bentuk deskriptif naratif yang berisi tentang uraian seluruh masalah yang dikaji
sesuai dengan fokus penelitian Selain itu data juga dapat disajikan dalam bentuk
gambar dan tabel.
c. Penarikan Kesimpulan
Yaitu suatu kegiatan konfigurasi yang utuh mengenai kesimpulan-
kesimpulan yang diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu mungkin
sesingkat pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran penganalisisan selama ia
menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan lapangan atau peninjauan kembali serta
tukar pikiran diantara teman sejawat untuk mengembangkan kesepakatan
intersubyektif atau juga upaya–upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu
temuan dalam seperangkat data yang lain. Singkatnya makna-makna yang muncul
dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, kecocokannya, yang merupakan
validitasnya (Miles dkk,1992).
Penarikan kesimpulan dilaksanakan untuk mencari kejelasan dan pemahaman
terhadap gejala-gejala yang terjadi di lapangan terkait dengan fokus penelitian.
Langkah-langkah analisis setelah pengumpulan data selesai, maka peneliti mulai
melakukan penyajian dengan melalui reduksi data terlebih dahulu. Setelah itu
51
mengambil kesimpulan awal, apabila dianggap kurang mantap oleh peneliti karena
ada kekurangan atau ada persoalan baru, maka akan melakukan reduksi atau melihat
hasil reduksi lagi dan melihat hasil penyajian data. Setelah selesai dilanjutkan dengan
mengambil data baru, begitu seterusnya hingga penelitian selesai dengan menarik
kesimpulan akhir.
Bagan Model analisis interaktif menurut Miles dkk (1992)
Pengumpulan data
Reduksi data
Penyajian data
Kesimpulan-
kesimpulan
penafsiran /
verifikasi