24
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Satelit ALOS salah satu satelit sumber daya yang memiliki resolusi yang memadahi untuk observasi kenampakan objek di permukaan bumi dengan resolusi 10 meter. Satelit ALOS adalah satelit dari Jepang yang diluncurkan oleh JAXA’s Tanegashima Space Center Jepang dan diluncurkan pada tahun 2006. Satelit ALOS memiliki 3 sensor, yaitu sensor pankromatik, ALOS AVNIR (visible dan near infrared), dan palsar (radar). Kemampuan merekam satelit ALOS ini sampai dengan resolusi spasial 2,5 m (untuk pankromatik) dan 10m (untuk Palsar dan AVNIR). Satelit ALOS merekam kenampakan permukaan bumi yang sama (pada periode ulang atau resolusi temporalnya) pada 46 hari (sumber: http://www.eorc.jaxa.jp) Metode pengolahan citra secara digital dapat menampakan informasi sampai dengan mengklasifikasikannya berdasarkan objek di permukaan bumi. Aspek penggunaan lahan dapat diklasifikasi langsung dengan menggunakan metode segmentasi, atau menonjolkan aspek khusus diantaranya kelembaban, dan vegetasi yang dapat diperjelas dengan menggunakan transformasi matematis. Transformasi matematis ini menggunakan nilai pantulan tiap band pada satu objek, sehingga mendapatkan nilai indeks. Selain itu sering digunakan komposit band untuk memperjelas kenampakan objeknya. Kombinasi komposit band citra multispektral akan menonjolkan kenampakan objek tertentu. Komposit 451, pada band 4 pada warna merah, band 5 pada warna hijau, dan band 1 pada warna biru, sehingga kenampakan akan nampak dari kombinasi warna antara band 4 yang dominan pada vegetasi, band 5 dominan pada tanah, dan band 1 dominan pada air. Dari metode pengolahan citra secara digital dapat digunakan untuk mengekstraksi informasi parameter longsorlahan. Longsorlahan merupakan salah satu kejadian alam yang sering terjadi di Indonesia khususnya di Kulon Progo. Fenomena longsorlahan cukup sering terjadi apalagi pada musim hujan. Namun seringnya longsorlahan ini terjadi masih

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75017/potongan/S1-2014...dimana lokasi terjadinya berdasarkan ciri fisiknya. Banjir dan Longsor Kebakaran

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Satelit ALOS salah satu satelit sumber daya yang memiliki resolusi yang

memadahi untuk observasi kenampakan objek di permukaan bumi dengan resolusi

10 meter. Satelit ALOS adalah satelit dari Jepang yang diluncurkan oleh JAXA’s

Tanegashima Space Center Jepang dan diluncurkan pada tahun 2006. Satelit

ALOS memiliki 3 sensor, yaitu sensor pankromatik, ALOS AVNIR (visible dan

near infrared), dan palsar (radar). Kemampuan merekam satelit ALOS ini sampai

dengan resolusi spasial 2,5 m (untuk pankromatik) dan 10m (untuk Palsar dan

AVNIR). Satelit ALOS merekam kenampakan permukaan bumi yang sama (pada

periode ulang atau resolusi temporalnya) pada 46 hari (sumber:

http://www.eorc.jaxa.jp)

Metode pengolahan citra secara digital dapat menampakan informasi

sampai dengan mengklasifikasikannya berdasarkan objek di permukaan bumi.

Aspek penggunaan lahan dapat diklasifikasi langsung dengan menggunakan

metode segmentasi, atau menonjolkan aspek khusus diantaranya kelembaban, dan

vegetasi yang dapat diperjelas dengan menggunakan transformasi matematis.

Transformasi matematis ini menggunakan nilai pantulan tiap band pada satu

objek, sehingga mendapatkan nilai indeks. Selain itu sering digunakan komposit

band untuk memperjelas kenampakan objeknya. Kombinasi komposit band citra

multispektral akan menonjolkan kenampakan objek tertentu. Komposit 451, pada

band 4 pada warna merah, band 5 pada warna hijau, dan band 1 pada warna biru,

sehingga kenampakan akan nampak dari kombinasi warna antara band 4 yang

dominan pada vegetasi, band 5 dominan pada tanah, dan band 1 dominan pada air.

Dari metode pengolahan citra secara digital dapat digunakan untuk mengekstraksi

informasi parameter longsorlahan.

Longsorlahan merupakan salah satu kejadian alam yang sering terjadi di

Indonesia khususnya di Kulon Progo. Fenomena longsorlahan cukup sering

terjadi apalagi pada musim hujan. Namun seringnya longsorlahan ini terjadi masih

2

dapat diprediksi dan juga mengubah faktor yang mempengaruhinya. Bencana

merupakan kejadian yang tidak tahu kapan akan terjadi, namun dapat diperkirakan

dimana lokasi terjadinya berdasarkan ciri fisiknya.

Banjir dan LongsorKebakaran HutanKecelakaan Industri

Longsorlahan

Puting Beliung

Banjir

KekeringanKLB

Gelombang PasangKecelakaan TrasportasiKerusuhan SosialLetusan Gunung Api

Hama TanamanGempa Bumi

Aksi terorTsunami

Gambar 1. 1 Perbandingan Jumlah Kejadian Bencana Per Jenis Bencana 1815-

2013 (Sumber: http://dibi.bnpb.go.id)

Longsorlahan terjadi pada wilayah yang memiliki karakteristik topografi

berbukit atau pegunungan. Topografi yang berbukit yang memiliki kemiringan

yang cukup curam berpotensi terhadap rendahnya tingkat stabilitas lereng.

Tingkat stabilitas lereng dapat dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain

kemiringan lereng, iklim, bentul lahan, campur tangan manusia, dan karakteristik

tanah sendiri. Karakter fisik yang ada pada DAS Tinalah yang berada pada jajaran

pegunungan Menoreh memiliki karakteristik topografi yang berbukit. DAS

Tinalah berada pada jajaran pegunungan menoreh, Menurut van bemmelen (1949)

pegunungan Menoreh mengalami proses struktural dan denudasional. Sehingga

potensi terjadinya longsorlahan sangat tinggi.

Analitical hierarchy process (AHP) merupakan salah satu cara untuk

menentukan menentukan dan dalam memilih alternatif yang paling baik atau

berpengaruh (Saaty, 1983). Prinsip dari AHP adalah menyederhanakan persoalan

3

yang tidak terstruktur, stratejik dan dinamik menjadi bagian-bagian serta

menatanya menjadi suatu hierarki. Longsorlahan merupakan fenomena alam yang

kompleks karena dapat terjadi dengan bermacam-macam aspek yang

mempengaruhinya. Penjelasan secara grafis dari metode AHP ini dapat dipahami

secara mudah, sehingga posisi dari masing- masing aspek yang dapat

mempengaruhi terjadinya longsorlahan ini dapat digambarkan dengan jelas.

Berbagai cara ditempuh untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkan

oleh bencana longsorlahan. Salah satu upaya yang ditempuh adalah membuat peta

kerawanan. Pembuatan peta kerawanan ini menyajikan lokasi potensi terjadi

longsor yang mungkin terjadi, sehingga dapat digunakan untuk acuan saat

melaksanakan mitigasi bencana.

1.2. Perumusan Masalah

Citra ALOS merupakan salah satu citra yang memiliki resolusi

menengah yang dapat digunakan untuk ekstraksi informasi yang baik. Satelit

ALOS menghasilkan citra multispektral yang dapat digunakan untuk pengolahan

citra secara digital sehingga dapat menghasilkan atau menonjolkan kenampakan

karakteristik objek pada citra. Satelit ini mampu merekam kenampakan objek di

permukaan bumi dengan resolusi spasial sampai dengan 10 meter untuk

multispectral. Resolusi temporal dari citra ini 45 hari yang kenampakan

permukaan bumi dapat direkam dalam waktu 45 hari sekali oleh ALOS yang

dibuat JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency). Citra ALOS yang memiliki

resolusi menengah dan memiliki citra radar. Citra radar ALOS memberikan

informasi topografi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerentanan

terhadap bencana longsor.

Longsorlahan terjadi karena berbagai macam aspek yang

mempengaruhinya, namun ada beberapa variabel yang memiliki andil yang

berbeda untuk mempengaruhi potensi terjadinya longsorlahan. Perlu adanya

pembobotan pada masing variabel dan elemen variabel yang membuat nilai andil

dari masing variabel untuk menentukan kerentanan longsor ini mendekati kondisi

sebenarnya di lapangan.

4

Analytical hierarchy proses (AHP) merupakan metode yang digunakan

untuk menyusun hirarki dari suatu permasalahan. Kerentanan longsor diperoleh

dari beberapa parameter yang memiliki pengaruh berbeda-beda terhadap

terjadinya longsor, maka AHP merupakan salah satu metode untuk

mengungkapkan hubungan dari masing-masing parameter dan sub parameter

terhadap longsorlahan. Kemampuan dari AHP ini dapat digunakan untuk

menghitung tingkat kepentingan parameter yang mempengaruhi kejadian

longsorlahan. Tingakat kepentingan dari parameter dari hasil AHP digunakan

untuk bobot parameter longsorlahan.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan berbagai fenomena dan permasalahan yang telah disajikan

sebelumnya maka diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut ini:

1. Bagaimana tingkat akurasi citra ALOS dalam menyadap informasi

parameter longsorlahan?

2. Bagaimana hasil kerawanan longsorlahan DAS Tinalah?

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian berjudul pemanfaatan citra ALOS untuk zonasi kerentanan

longsorlahan di DAS Tinalah Kabupaten Kulon Progo ini memiliki tujuan sebagai

berikut:

1. Mengetahui akurasi dari citra ALOS untuk menyadap informasi

parameter longsorlahan,

2. Mengetahui faktor yang paling berpengaruh dengan metode AHP,

3. Membuat peta kerawanan longsorlahan DAS Tinalah dan pengujian

terhadap akurasi hasil kerawanan.

1.5. Kegunaan Penelitian

Hasil yang diharapkan pada penelitian ini diharapkan akan memberikan

beberapa kegunaan berupa:

1. Mengetahui parameter yang dapat diambil dari citra ALOS untuk

pemetaan kerawanan bencana longsorlahan,

5

2. Mengetahui faktor pembobot dengan Analytical Hierarchy Process,

3. Memberikan informasi kerentanan longsor di DAS Tinalah Kabupaten

Kulon Progo.

6

Gambar 1.2 DAS Tinalah Kulon Progo

7

1.6. Tinjauan Pustaka

1.6.1. Penginderaan Jauh

“Penginderaan jauh adalah Ilmu, teknik dan seni untuk mendapatkan

informasi tentang objek, wilayah atau gejala dengan cara menganalisis data yang

diperoleh dari suatu alat tanpa berhubungan langsung dengan objek, wilayah atau

gejala yang sedang dikaji” (Lilesand and Keifer, 1990). Penginderaan jauh

memiliki serangkaian komponen yang terkait suatu aktivitas yang menjadi suatu

sistem (Sutanto, 1986). Berdasarkan beberapa pengertian diatas disimpulkan

bahwa, penginderaan jauh adalah suatu sistem yang digunakan untuk

mendapatkan informasi objek atau wilayah tanpa harus berhubungan langsung

dengan objek.

Empat komponen yang ada pada sistem pengideraan jauh yaitu target atau

objek, sumber energi, alur transmisi, dan sensor. Keempat komponen tersebut

saling berkaitan, berdasarkan sumber energi, misal matahari memancarkan energi

keobjek kemudian terdapat alur transmisi yang menyalurkan energi dari objek dan

diterima oleh sensor, dan diterima oleh stasiun di bumi.

Gambar 1.3 Sistem Penginderaan Jauh

Sumber: Lillesand et al. (2008) dalam Danoedoro (2012)

8

Penginderaan jauh memiliki beberapa kelebihan dibanding pengambilan

data dengan metode yang lain. Menurut Sutanto (1992) keunggulan pengindraan

jauh antara lain:

1. Citra merupakan alat yang baik untuk membuat peta atau sebagai

kerangka letak,

2. Dari jenis citra tertentu dapat menunjukkan informasi topografi yang

dapat menyajikan model medan secara jelas,

3. Karakteristik objek yang tak tampak dapat dikenali dengan

menggunakan citra seperti suhu permukaan bumi, dan kelembaban tanah,

4. Informasi dapat diperoleh secara cepat meskipun didaerah yang sulit

dijelajahi secara terrestrial,

5. Citra sering dibuat dengan periode ulang yang pendek.

Teknologi penginderaan jauh dibuat dengan tujuan tertentu untuk masing-

masing satelit atau citra yang dihasilkan. Hal ini tergantung dari keterbatasan

sensor yang dimiliki. Batas kemampuan dari sensor satelit disebut ini dengan

nama resolusi spasial. Resolusi spasial adalah luasan satu pixel dalam ukuran yang

sebenarnya. Menurut Swain dan Davies dalam Danoedoro (2012), resolusi atau

resolving power adalah kemampuan suatu sistem optik elektronik untuk

membedakan informasi yang secara spasial berdekatan atau secara spektral.

1.6.2. Satelit ALOS

Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) ini diluncurkan oleh

Japan Aerospace Exploration Agency pada 24 Januari 2006. Satelit ini merupakan

salah satu satelit sumberdaya dengan resolusi semi detail. Memiliki tiga sensor

utama yang disematkan pada satelit ALOS. Pertama, sensor ALOS PRISM, yaitu

sebuah pankromatik radiometer. Sensor kedua adalah AVNIR-2, sensor ini

merekam gelombang visibel dan near-infrared radiometer. Sensor ketiga yakni

PALSAR, adalah tipe sensor radar dengan susunan L-band Synthetic Aperture

Radar, yang merupakan sensor microwave aktif untuk observasi di hari cerah,

siang hari, dan malam hari.

9

Tabel 1. 1Spesifikasi ALOS

International Designation Code 2006-002A

Tanggal peluncuran 10:33, Januari 24, 2006 (JST)

Kendaraan peluncur H-IIA Launch Vehicle No.8

Lokasi peluncuran Tanegashima Space Center

Bentuk Main body: 6.2m x 3.5m x4 .0m

Solar Array Paddle: 3.1m x 22.2m PALSAR Antenna: 8.9m x 3.1m

Weight 4,000kg

Orbit Sun-Synchronous Subrecurrent/ Recurrent

Ketinggian 700km

Inklinasi 98o

Periode ulang 46 hari

Sumber: JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency),1997

Gambar 1. 4 Satelit ALOS

Sumber: JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency),1997

1.6.3. Klasifikasi

Klasifikasi merupakan kata serapan dari bahasa Belanda, classificatie, yang

berarti metode untuk menyusun, mengelompokan secara sistematis menurut

beberapa aturan dan kaidah yang telah ditetapkan. Pada penelitian ini klasifikasi

yang digunakan adalah klasifikasi yang bertujuan untuk mengelompokan variabel

dan sub variabel yang dapat di perbandingkan. Salah satu klasifikasi longsorlahan

adalah klasifikasi yang dibuat oleh anbalagan.

10

Klasifikasi Anbalagan adalah klasifikasi yang dibuat oleh Anbalagan yang

berupa Landslide hazard zonation atau LHZ. Sebagian dari klasifikasi tersebut

digunakan dalam penelitian ini. Landslide hazard zonation adalah metode yang

penting untuk mengklasifikasikan lahan kedalam derajat bahaya berdasarkan

estimasi signifikansi yang menyebabkan perubahan stabilitas tanah (Anbalagan,

1992 dalam R.K.goel, 2012). Landslide hazard zonation sangat berguna untuk

tujuan tertentu, seperti mengidentifikasi kerawanan bencana pada suatu daerah.

Landslide Hazard Zonasi yang dibuat oleh Anbalagan mempertimbangkan

berbagai faktor yang menyebabkan terjadi longsorlahan. Tujuan utama dari

Anbalagan adalah mempertimbangkan faktor-faktor penyebab dengan cara yang

sederhana. Metode ini cukup terkenal di India, Nepal, Italy dan beberapa negara

yang lain. Metode LHZ menggolongkan daerah longsor menjadi lima zona

kerawanan berdasarkan enam faktor penyebab utama terjadinya longsorlahan.

Keenam faktor penyebab itu adalah Litologi, Struktur, Slope morfometri, Relief

relatif, Tutupan lahan, Kondisi air tanah

1.6.4. Model Analytical Hierarchy Process

Analytic Hierarki Process merupakan salah satu cara untuk memecahkan

masalah yang kompleks, dengan menyusun faktor masalah ke dalam susunan

hirarki yang terstruktur dan sistematis (marimin, 2003). Menurut istilah analytical

adalah suatu hubungan logis, dan hierarchy adalah susunan, AHP merupakan

hubungan logis dengan mempertimbangkan hirarki dari faktor masalah, yang

kemudian digunakan untuk menyelesaikan masalah.

Metode Analytic Hierarki Process merupakan sebuah kerangka yang

mengambil keputusan secara efektif dari persoalan kompleks untuk kemudian

disederhanakan menjadi lebih sederhana dan mempercepat proses pengambilan

keputusan atau memecahkan masalah (Bhushan. N, 2004). Memecah masalah

menjadi bagaian-bagian kecil yang kemudian menata bagian-bagian tersebut

menjadi susunan hirarki, serta memberi nilai dari suatu hirarki dengan

pertimbangan subyektif tingkat kepentingan dari setiap variabel. Metode ini

pernah digunakan dalam bidang militer untuk menganalisa pertahanan dan militer,

11

namun karena metode Analytic Hierarki Process ini mudah diaplikasikan dan

dapat mengambil keputusan secara kompleks dibidang perencanaan,

kebencanaan, tehnik, sampai dengan kesehatan.

Menurut Bhushan. N (2004), tahap memecahkan masalah dengan metode

AHP adalah menyusun hirarki, prinsip penentuan prioritas (comparative

judgement), Synthesis of Priority dan prinsip konsitensi logis (logical consistensi).

Penjelasan untuk masing-masing tahapan AHP adalah:

1. Penyusunan hirarki

Menyusun hirarki adalah pemecahan masalah kedalam bagian-

bagian, pada kerawanan longsor dibagi berdasarkan pada parameternya

yang masukan dalam suatu hirarki. Setiap parameter memiliki kaitan satu

sama lain, dan kemudian digunakan untuk mengambil keputusan. hirarki

ini dikatakan lengkap jika semua unsur memiliki tingkat hubungan dengan

parameter pada tingkat berikutnya.

TUJUAN

Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4

Pilihan 1 Pilihan 2 Pilihan 3 Pilihan 4

Gambar 1. 2 Penyusunan Hirarki

(Sumber: Saaty, T.L. and Vargas, L.G. 2000)

2. Penilaian Kriteria dan alternatif

Membuat penilaian terhadap kepentingan relatif antara beberapa

elemen pada suatu tingkatan tertentu. Penilaian ini biasanya digambarkan

menggunakan pairwise comparison yang merupakan matriks

perbandingan berpasangan yang memuat tingkat referensi beberapa

perbandingan antar variabel. Skala referensi yang digunakan adalah skala

1 yang menunjukkan tingkat paling rendah (equal importance) sampai

12

dengan skala 9 yang menunjukkan tingkat paling tinggi (extreme

importance).

3. Penentuan Prioritas

Setiap kriteria dan alternatif perlu dibandingkan secara berpasangan.

Nilai perbadingan tersebut diolah menjadi penentuan tingkat perbandingan

relatifnya. Tingkat kepentingan dari matriks normalisasi ini disebut Eigen

faktor. Nilai Eigen faktor digunakan sebagai pembobot. Bobot dan

prioritas dihitung dengan menggunakan manipulasi matriks atau melalui

penyelesaian matematis.

4. Konsistensi logis

Konsistensi logis adalah perhitungan regresikan seluruh Eigen factor

yang diperoleh dari perbandingan berpasangan. Konsistensi logis ini

digunakan untuk melihat apakah hasil dari tingkat kepentingan relative

yang dibuat masih dalam batasan konsisten.

1.6.5. Sistem Informasi Geografi

Menurut Kang-Tsung Chang (2002) SIG sebagai sistem komputerisasi

untuk capturing, storing, querying, analyzing dan displaying data geografis. Sejak

tahun 1980-an perkembangan SIG ini cukup pesat sejalan dengan perkembangan

teknologi komputer yang semakin menjamur. Perkembangan SIG menarik

berbagai pihak, sehingga SIG digunakan untuk berbagai tujuan. Penggunaan SIG

sering digunakan di negara maju untuk segala bidang dari kalangan militer,

pemerintahan, akademis, maupun untuk kepentingan bisnis.

Seiring dengan kemajuan teknologi SIG ini sampai dengan berbagai bidang

ini, karena memiliki keunggulan.

1. Sistem Informasi Geografi digunakan untuk alat bantu interaktif yang

dapat memberikan pengetahuan dan wawasan tentang konsep ruang.

2. Sistem Informasi Geografi dapat melakukan analisis secara

terintegrasi.

13

3. Dapat menghasilkan data yang tersintesis dengan baik.

Dalam bidang kebencanaan Sistem Informasi Geografi dapat membantu

mengolah data primer dan data sekunder menjadi informasi yang menunjukkan

kerawanan atau kerentanan bencana. Informasi kerawanan bencana itu dapat

digunakan untuk pertimbangan dalam memilih mitigasi bencana yang sesuai.

Sistem Informasi Geografi sangat membantu dalam menganalisis data secara

cepat mengenai kondisi informasi bencana

1.6.6. Pengolahan Citra Digital

Pengolahan citra digital, dibagi menjadi tiga yaitu pengolahan, citra dan

digital. Pengolahan merupakan proses membuat atau memanipulasi sesuatu untuk

tujuan tertentu, sedangkan citra adalah representasi atau gambaran dari objek di

permukaan bumi. Kemudian digital adalah digit binary yang disimpan dalam

bentuk digital. Pengolahan citra digital adalah proses membuat atau memanipulasi

representasi atau tiruan benda atau objek di permukaan bumi yang disimpan dalam

bentuk binar (digital).

1.6.7. Longsorlahan

Thornbury (1969:76) mendefinisikan longsorlahan sebagai gerakan massa

dari rombakan batuan yang tipe gerakannya meluncur/menggeser

(sliding/slipping) atau berputar (rotational) , yang disebabkan oleh gaya gravitasi.

Menurut Cruden dan Varnes dalam Crozier dkk., (2005) klasifikasi karakteristik

gerak massa menuruni lereng yang terbagi menjadi lima antara lain jatuhan (fall),

robohan (topple), luncuran/longsoran (slide), sebaran (spread), dan aliran (flow).

longsorlahan (landslide) merupakan salah satu tipe di gerak massa

longsoran/luncuran (slide), namun istilah ini menjadi istilah umum yang digunakan

untuk menyebut gerakan massa lainya (Van Westen, 1993).

Faktor pasif meliputi faktor topografi, kondisi geologis/litologi, kondisi

hidrologis, tanah, keterdapatan longsor sebelumnya dan keadaan vegetasi. Faktor

aktif yang mempengaruhi longsor lahan diantaranya aktivitas manusia dalam

penggunaan lahan dan faktor iklim. Geomorfologi menjadi petimbangan dalam

14

kajian kerawanan longsorlahan. Bentuklahan sebagai kajian utama geomorfologi

merupakan hasil bentukan dari longsorlahan (USGS, 2008). Pemanfaatan

bentuklahan yang tidak sesuai dengan karakteristik bentuklahan dapat

menimbulkan masalah seperti banjir, kekeringan, dan longsorlahan (Sutikno,

1997).

Gambar 1.5. Gerak massa batuan

Sumber : USGS, 2008

Istilah longsorlahan (landslide) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

gerak massa menuruni lereng baik massa tanah, runtuhan, batuan, dan atau

15

material organik karena faktor utama gravitasi bumi. Gambar 2.3. merupakan

sketsa longsor mulai dari material batuan (fall toople, dan rockslide), material

tanah atau organik (rotational slide, translational slide, creep, dan flow slide), dan

material campuran (debris flow dan debris avalenche).

1.6.8. Longsorlahan dan Analitical Hierarchy Process

Analitical Hierarchy Process dapat digunakan untuk menyelesaikan

masalah dengan terlebih dahulu memisahnya menjadi bagian-bagian yang

kemudian di hirarki. Kerawanan longsor merupakan salah satu kajian yang dapat

diselesaikan dengan menggunakan metode AHP. Metode AHP ini termasuk

dalam metode pembobotan tehadap parameter kerawanan longsorlahan. Namun

pembobotan ini tidak dilakukan dengan sembarangan melainkan menggunakan

cara matematis berdasarkan pada perhitungan yang sudah ditentukan.

Tareq H, Muzeghi (2012) melakukan pemetaan kerawanan longsorlahan

menggunakan AHP dengan menggunakan penginderaan jauh. Hasil penelitiannya

adalah model untuk memetakan kerawanan longsorlahan menggunakan AHP dan

penginderaan jauh, model ini cukup efektif dan mampu menilai kontribusi dari

faktor yang mempengaruhi longsor.

Nilai bobot pada setiap variabel atau element variabel adalah indeks

kerawanan longsorlahan. Indeks kerawan longsorlahan merupakan tahap awal

untuk menyajikan hasil pembobotan kedalam bentuk keruangan. Indeks

kerawanan longsorlahan secara sistematis dapat dihitung dengan persamaan.

𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝐾𝑒𝑟𝑎𝑤𝑎𝑛𝑎𝑛 = ∑ (𝑊𝑛 𝑥 𝑉𝑛)𝑛𝑖=1 ........................................(1)

Keterangan :

W : bobot variabel

V : bobot elemen variabel

Hasil dari perkalian antara bobot variabel dengan element variabel tersebut

akan menghasilkan indeks kerawanan longsorlahan. Indeks kerawanan

16

longsorlahan ini diklasifikasi menjadi kerawanan tinggi sampai dengan rendah.

Klasifikasi ini menggunakan bantuan SIG untuk menampilkan dan juga mengolah

indeks hingga dianalisis.

Penelitian tentang kerawanan longsorlahan banyak dilakukan dengan

berbagai metode, salah satunya dengan metode pembobotan. Pada penelitian ini

pembobotan yang digunakan berasal dari analisis AHP, yang melakukan

pembobotan berdasarkan pada pertimbangan variabel lain. Pada masing-masing

elemen variabel dibandingkan, hingga didapat nilai bobot sesuai dengan

kontribusi terhadap longsorlahan.

1.7. Keaslian Penelitian

Penelitian kerewanan longsorlahan sudah berkembang dibeberapa negara di

dunia. Metode dan pendekatan dikembangkan untuk menentukan zonasi daerah

rawan longsorlahan, mulai dari metode sederhana sampai dengan metode

deterministik, euristik dan probabilistik. Pemanfaatan citra juga di maksimalkan

untuk dapat mengidentifikasi kerawanan longsorlahan dengan lebih baik dan

cepat. Beberapa contoh penelitian tentang longsorlahan yang pernah dilakukan

disajikan di Tabel 1.2

Felix Yanuar, (2011), dalam penelitiannya “Pemanfaatan Citra Aster Untuk

Pemetaan Longsor dengan Metode Model Konvensional dan Model Stabilitas”.

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan ekstraksi citra ASTER untuk

menghasilkan parameter bentuk lahan dan memetakan kerawanan longsorlahan

dengan permodelan longsorlahan konvensional dan model stabilitas. Penelitian di

lakukan di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kondisi daerah

penelitian berada antara Gunung Merapi dan Merbabu yang memiliki banyak

aktivitas longsorlahan. Model yang digunakan berupa parameterik dengan

pengharkatan, parameternya meliputi, bentuklahan, jenis tanah, intensitas hujan,

kemiringan lereng, dan stabilitas lereng. Hasil dari penelitian ini ada dua model

kerawanan longsor dari hasil metode konvensional dan model stabilitas. Dari

masing-masing hasil kerawanan longsorlahan dibagi menjadi 3 kelas kerawanan.

Hasil peta kerawanan model konvensional menyajikan sebaran titik longsorlahan

17

sebesar 31,43% pada klas rendah, 68,57% pada klas sedang dan 0% pada klas

tinggi. Sedangkan pada model stabilitas dapat menyajikan sebesar 25,71% pada

kelas rendah, 48% pada klas sedang dan 25,71% pada kelas tinggi. Sehingga hasil

kerawanan longsor model stabilitas lebih mampu merepresentasikan kondisi di

lapangan di bandingkan model konvensional, hasil akurasi model stabilitas

dengan analisis SINMAP memiliki akurasi model sebesar 74%.

Dhandhun Wacano, (2010), dalam penelitiannya berjudul “Kajian

Kerawanan Longsor dengan Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process

di DAS Tinalah Kulon Progo”. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari

pengaruh aspek fisik alami dan manusia terhadap kerawanan longsorlahan dan

mengetahui tingkat kerawanan longsorlahan di DAS Tinalah. Metode yang

digunakan untuk menyusun peta kerawanan ini menggunakan model AHP untuk

melakukan pembobotan terhadap parameter longsorlahan. Sedangkan untuk

analisa keruangan menggunakan bantuan Sistem Informasi Geografi berbasis

raster dan vektor. Parameter yang digunakan bentuk lahan, sudut lereng, buffer

sungai, tanah, penggunaan lahan, dan buffer jalan. Analisi dengan model AHP

mendapatkan hasil bahwa aspek fisk dan manusia sangat berpengaruh terhadap

kerawanan longsorlahan di DAS Tinalah. Penilaian hirarki menempatkan bentuk

lahan paling tinggi di ikuti dengan lereng serta, jaringan jalan, jaringan sungai,

tanah dan penggunaan lahan. DAS Tinalah secara umum rawan terhadap

longsorlahan.

Zulfa Hamida, (2007), dalam penelitian “Penggunaan Citra Landsat7 ETM+

Untuk Zonasi Kerentanan dan Prediksi Kejadian Longsorlahan di sisi Barat

Gunung Wilis Kabupaten Ponorogo”. Tujuan dari penelitian ini adalah

memanfaatkan data penginderaan jauh khususnya citra landsat 7 ETM+ untuk

membuat zonasi kerentanan longsorlahan, dan mencari hubungan antara kejadian

longsor dan curah hujan untuk memprediksi longsorlahan. model yang digunakan

dalam penelitiannya adalah model parameterik, dengan tujuh parameter yaitu

lereng, penggunaan lahan, tingkat erosi, pelapukan batuan, kedalaman tanah,

kembang kerut tanah, curah hujan. Hasilnya adalah peta kerawanan longsorlahan

yang memiliki akurasi sebesar 78.95%. kondisi daerah sebagian besar termasuk

18

zona kerawanan sedangkan zona kerawanan rendah paling sedikit dan intensitas

hujan sangat berpengaruh terhadap terjadinya longsorlahan.

Guruh Samodra, (2010), dalam penelitian dengan judul “Penilaian

Kerentanan Dan Risiko Tanah Longsor: dari pemetaan geomorfologi hingga

analisis citra berorientasi objek (OBIA) di DAS Kayangan Kulon Progo Daerah

Istimewa Yogyakarta” dengan tujuan penelitian untuk mempelajari kondisi

geomorfologi, mengidentifikasi kerawanan tanah longsor, menilai kerentanan

tanah longsor dan menilai risiko tanah longsor di DAS Kayangan. Pada peta

geomorfologi terdiri dari informasi morofogenesa, morfokronologi dan

morfoaransemen. Aplikasi tehnik heuristic statistics pada model weight of

evidence diaplikasikan untuk megidentifikasi kerentanan tanah longsor. Validasi

peta kerentanan tanah longsor menggunakan tehnik survei terhadap 151

responden rumah tangga untuk mengidentifikasi pola keruangan kerentanan di

DAS Kayangan. Analisis citra beorientasi objek atau dikenal dengan OBIA, dan

knowledge base GIS ancillary data menggunakan pola keruangan yang digunakan

untuk mengekstrapolasikan tingkat kerentanan tanah longsor pada seluruh DAS

Kayangan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa DAS Kayangan

berdasarkan kondisi geomorfologis terbagi menjadi 3 zona kerentanan yaitu zona

utara, zona tengah, dan zona tenggara. Kondisi morfologi memiliki peran penting

terhadap penilaian kerentanan tanah longsor di DAS Kayangan. Penduduk yang

tinggal di perbukitan dengan aksesibilitas yang rendah memiliki kecenderungan

tingkat ekonomi yang rendah dan tingkat kerentanan yang tinggi. Klasifikasi

risiko yang merepresentasikan potensi kerusakan ditimbulkan oleh tanah longsor

dan kemampuan manusia untuk mengantisipasi bencana.

Fedhi A, Hartoyo, (2014), dalam penelitiannya berjudul “ Perbandingan

Tingkat Akurasi Digital Surface Model Hasil Ekstraksi Citra Stereo CARTOSAT-

1 Dengan Citra Stereo ALOS PRISM” dengan tujuan untuk mengetahui tingkat

akurasi DSM hasil ekstrasi citra stereo CARTOSAT-1 dan DSM hasil ekstrasi

citra stereo ALOS PRISM, dan membandingkan kualitas hasil ekstraksi DEM

masing-masing citra stereo berdasarkan ketelitiannya terhadap Peta Rupabumi

Indonesia skala 1:25.000. citra ALOS PRISM dan CARTOSAT-1 merupakan dua

19

contoh dari stereo imagery yang dapat digunakan untuk membuat DSM. Tehnik

pencocokan citra atau image matching yang memanfaatkan data Rational

Polynomial Conficients (RCP). Pada tingkat kepercayaan 90% akurasi horisontal

dari DSM CARTOSAT-1 sebesar 80,2318 meter dan akurasi vertikalnya adalah

1,6052 meter, sedangkan untuk akurasi horizontal ALOS PRISM sebesar 31,78

meter dan akurasi vertikalnya senilai 1,5590 meter. Dengan demikian hasil

ekstrasi DSM citra stereo ALOS PRISM memiliki akurasi lebih baik dengan DSM

hasil ekstraksi citra stereo CARTOSAT-1.

20

Tabel 1. 1. Perbandingan penelitian sebelumnya

Pembanding Lokasi Penelitian

Tujuan Sumber data Metode Variabel penelitian Hasil

Felix Yanuar Endro

Wicaksono (2011)

Kecamatan Selo Boyolali

Mengeksraksi citra aster sehingga mendapatkan parameter longsor yang dipetakan dengan model konvensional dan model

stabilitas

Citra Aster tahun 2003 dan tahun

2009

Parameterik dengan

pengharkatan

Bentuklahan, jenis tanah, intensitas

hujan, kemiringan lereng, dan stabilitas

lereng

Peta kerawanan longsor model konvensional, dan peta kerawanan longsor model stabilitas lereng

Dandun Wacano (2010)

DAS Tinalah Kulon Progo

Mengkaji kerawanan longsor dengan

menggunakan metode AHP. Dengan basis

longsor aktual

Peta RBI, peta Tanah,

Data lapangan

Pembobotan menggunakan

Analytical Hierarchy Process

Bentuk lahan, sudut lereng, buffer sungai, tanah, penggunaan

lahan, dan buffer jalan

Peta kerawanan longsor, dengan tervalidasi data

longsor aktual

Zulfa Hamida (2007)

Lereng Barat Gunung Wilis

Kabupaten Ponorogo

Zonasi kerentanan longsor dengan

memanfaatkan citra landsat dan prediksi

longsor

Citra landsat ETM + tahun

2003

Parameterik dengan

pengharkatan

Lereng, penggunaan lahan, tingkat erosi, pelapukan batuan, kedalaman tanah,

kembang kerut tanah, curah hujan

Peta kerentanan longsorlahan, dan

hubungan antara curah hujan terhadap

longsorlahan

Lanjutan ditabel 1.2.2

21

Tabel 1. 2.2 Perbandingan penelitian sebelumnya lanjutan

Pembanding Lokasi Penelitian

Tujuan Sumber data Metode Variabel penelitian Hasil

Guruh Samodra

DAS Kayangan

Mempelajari kondisi geomorfologi,

mengidentifikasi kerawanan tanah longsor, menilai

kerentanan tanah longsor dan menilai

risiko tanah longsor di DAS Kayangan

Landsat Weight of evidence, OBIA

Morofogenesa, morfokronologi dan

morfoaransemen

Kondisi morfologi memiliki peran penting

terhadap penilaian kerentanan tanah longsor

di DAS Kayangan. Penduduk yang tinggal di

perbukitan dengan aksesibilitas yang rendah memiliki kecenderungan

tingkat ekonomi yang rendah dan tingkat

kerentanan yang tinggi

Fedhi A, Hartoyo

Jakarta Mengetahui tingkat akurasi DSM hasil

ekstrasi citra stereo CARTOSAT-1 dan DSM

hasil ekstrasi citra stereo ALOS PRISM, dan

membandingkan kualitas hasil ekstraksi DEM masing masing citra

stereo

ALOS PRISM dan

CARTOSAT-1

Image matching Ketinggian Hasil ekstrasi DSM citra stereo ALOS PRISM

memiliki akurasi lebih baik dengan DSM hasil ekstraksi citra stereo

CARTOSAT-1

22

1.8. Kerangka Pemikiran

Citra ALOS merupakan citra dengan resolusi menengah yang memiliki

beberapa sensor, yaitu PRISM, AVNIR, dan PALSAR. Masing-masing sensor

memiliki karakter tersendiri dalam menangkap respon spektral objek-objek di

permukaan bumi. Sensor PRISM mempunyai sistem optik independen untuk

merekam data medan dengan resolusi spasial 2,5 meter, dimana sensor dibagi

menjadi tiga bagian, yaitu forward, nadir , dan backward. Ketiga sensor ini

merekam objek yang sama pada waktu yang sama, hanya saja dengan sudut

pandang yang berbeda. Perbedaan sudut pandang inilah yang digunakan untuk

membangun bentuk tiga dimensi permukaan bumi melalui konsep paralaks. Tentu

saja hal ini sangat berguna untuk kegiatan analisis kebencanaan, misalnya

kejadian longsor karena salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap

kejadian longsor adalah kemiringan lereng.

Disamping memiliki sensor PRISM, ALOS juga memiliki sensor AVNIR.

Sensor ini merekam empat saluran, yaitu biru, hijau, merah, dan inframerah dekat,

masing-masing dengan resolusi spasial 10 meter. Dengan adanya sensor dan

resolusi sedang yang dimiliki oleh citra ini, ALOS memiliki keunggulan untuk

analisis penutup lahan. Penutup lahan dapat dilihat langsung dengan mata

telanjang (kualitatif), namun pada saat ini telah banyak berkembang software yang

memberikan analisis kuantitaif spektral pantulan objek-objek di permukaan bumi

untuk kemudian diklasifikasikan penutup lahannya. Seperti halnya kemiringan

lereng, penutup lahan juga memiliki pengaruh yang besar terhadap kejadian

longsor karena penutup lahan ini mempengaruhi masa tanah yang dilongsorkan.

Penginderaan jauh diharapkan dapat membantu dalam mendapatkan dan

juga menyadap informasi yang digunakan untuk membuat peta kerawanan

longsorlahan. Data penginderaan jauh ini digunakan untuk mendapatkan data

parameter fisik yang mempengaruhi longsorlahan. Disamping teknik

penginderaan jauh, pada saat ini berkembang pula sistem informasi geografi yang

mengolah data spasial bersama-sama untuk membangun prediksi kejadian

longsor. Masing-masing parameter longsor diolah dengan sistem informasi

geografis dan ditampilkan dalam bentuk peta. Peta dapat digunakan, baik sebagai

23

output, maupun sebagai input untuk analisis selanjutnya, sehingga peta biasanya

digunakan untuk inventarisasi, misalnya inventarisasi kejadian longsorlahan di

DAS Tinalah, Kulon Progo.

DAS Tinalah merupakan wilayah yang memiliki topografi yang cukup

curam. Kondisi tersebut rentan terhadap terjadinya longsorlahan. Kejadian

longsorlahan yang ada di DAS Tinalah cukup banyak dan perlu adanya

inventarisasi kejadian longsorlahan.

Tingkat kerawanan longsorlahan pada penelitian ini didapati dari

pembobotan yang menggunakan metode AHP. Metode ini memiliki kelebihan

untuk menggambarkan hubungan antar parameter kedalam nilai bobot hirarkinya.

Metode AHP ini juga mudah untuk di aplikasikan untuk menentukan bobot tiap

parameter dari hubungan antara masing-masing parameter.

23

Gambar 1. 6 Kerangka Pemikiran

DAS Tinalah Citra ALOS

Lereng curam

sehingga

berpotensi

longsorlahan

Kurangnya

inventarisasi

kejadian

longsolahan

Sensor PRISM yang dapat

digunakan untuk ekstraksi

kemiringan lereng

Sensor AVNIR yang dapat

digunakan untuk ekstraksi

penutup lahan Pemetaan

Longsorlahan

Sistem

Informasi

Geografi

Metode

Analitic

Hierarchy

process

- Model yang mudah

dimengerti

- Mudah diaplikasikan untuk

berbagai macam bidang

- Mempertimbangkan

konsistensi logis

- Memacahkan masalah

kompleks menjadi bagian-

bagian kecil