Upload
phamdieu
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Satelit ALOS salah satu satelit sumber daya yang memiliki resolusi yang
memadahi untuk observasi kenampakan objek di permukaan bumi dengan resolusi
10 meter. Satelit ALOS adalah satelit dari Jepang yang diluncurkan oleh JAXA’s
Tanegashima Space Center Jepang dan diluncurkan pada tahun 2006. Satelit
ALOS memiliki 3 sensor, yaitu sensor pankromatik, ALOS AVNIR (visible dan
near infrared), dan palsar (radar). Kemampuan merekam satelit ALOS ini sampai
dengan resolusi spasial 2,5 m (untuk pankromatik) dan 10m (untuk Palsar dan
AVNIR). Satelit ALOS merekam kenampakan permukaan bumi yang sama (pada
periode ulang atau resolusi temporalnya) pada 46 hari (sumber:
http://www.eorc.jaxa.jp)
Metode pengolahan citra secara digital dapat menampakan informasi
sampai dengan mengklasifikasikannya berdasarkan objek di permukaan bumi.
Aspek penggunaan lahan dapat diklasifikasi langsung dengan menggunakan
metode segmentasi, atau menonjolkan aspek khusus diantaranya kelembaban, dan
vegetasi yang dapat diperjelas dengan menggunakan transformasi matematis.
Transformasi matematis ini menggunakan nilai pantulan tiap band pada satu
objek, sehingga mendapatkan nilai indeks. Selain itu sering digunakan komposit
band untuk memperjelas kenampakan objeknya. Kombinasi komposit band citra
multispektral akan menonjolkan kenampakan objek tertentu. Komposit 451, pada
band 4 pada warna merah, band 5 pada warna hijau, dan band 1 pada warna biru,
sehingga kenampakan akan nampak dari kombinasi warna antara band 4 yang
dominan pada vegetasi, band 5 dominan pada tanah, dan band 1 dominan pada air.
Dari metode pengolahan citra secara digital dapat digunakan untuk mengekstraksi
informasi parameter longsorlahan.
Longsorlahan merupakan salah satu kejadian alam yang sering terjadi di
Indonesia khususnya di Kulon Progo. Fenomena longsorlahan cukup sering
terjadi apalagi pada musim hujan. Namun seringnya longsorlahan ini terjadi masih
2
dapat diprediksi dan juga mengubah faktor yang mempengaruhinya. Bencana
merupakan kejadian yang tidak tahu kapan akan terjadi, namun dapat diperkirakan
dimana lokasi terjadinya berdasarkan ciri fisiknya.
Banjir dan LongsorKebakaran HutanKecelakaan Industri
Longsorlahan
Puting Beliung
Banjir
KekeringanKLB
Gelombang PasangKecelakaan TrasportasiKerusuhan SosialLetusan Gunung Api
Hama TanamanGempa Bumi
Aksi terorTsunami
Gambar 1. 1 Perbandingan Jumlah Kejadian Bencana Per Jenis Bencana 1815-
2013 (Sumber: http://dibi.bnpb.go.id)
Longsorlahan terjadi pada wilayah yang memiliki karakteristik topografi
berbukit atau pegunungan. Topografi yang berbukit yang memiliki kemiringan
yang cukup curam berpotensi terhadap rendahnya tingkat stabilitas lereng.
Tingkat stabilitas lereng dapat dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain
kemiringan lereng, iklim, bentul lahan, campur tangan manusia, dan karakteristik
tanah sendiri. Karakter fisik yang ada pada DAS Tinalah yang berada pada jajaran
pegunungan Menoreh memiliki karakteristik topografi yang berbukit. DAS
Tinalah berada pada jajaran pegunungan menoreh, Menurut van bemmelen (1949)
pegunungan Menoreh mengalami proses struktural dan denudasional. Sehingga
potensi terjadinya longsorlahan sangat tinggi.
Analitical hierarchy process (AHP) merupakan salah satu cara untuk
menentukan menentukan dan dalam memilih alternatif yang paling baik atau
berpengaruh (Saaty, 1983). Prinsip dari AHP adalah menyederhanakan persoalan
3
yang tidak terstruktur, stratejik dan dinamik menjadi bagian-bagian serta
menatanya menjadi suatu hierarki. Longsorlahan merupakan fenomena alam yang
kompleks karena dapat terjadi dengan bermacam-macam aspek yang
mempengaruhinya. Penjelasan secara grafis dari metode AHP ini dapat dipahami
secara mudah, sehingga posisi dari masing- masing aspek yang dapat
mempengaruhi terjadinya longsorlahan ini dapat digambarkan dengan jelas.
Berbagai cara ditempuh untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkan
oleh bencana longsorlahan. Salah satu upaya yang ditempuh adalah membuat peta
kerawanan. Pembuatan peta kerawanan ini menyajikan lokasi potensi terjadi
longsor yang mungkin terjadi, sehingga dapat digunakan untuk acuan saat
melaksanakan mitigasi bencana.
1.2. Perumusan Masalah
Citra ALOS merupakan salah satu citra yang memiliki resolusi
menengah yang dapat digunakan untuk ekstraksi informasi yang baik. Satelit
ALOS menghasilkan citra multispektral yang dapat digunakan untuk pengolahan
citra secara digital sehingga dapat menghasilkan atau menonjolkan kenampakan
karakteristik objek pada citra. Satelit ini mampu merekam kenampakan objek di
permukaan bumi dengan resolusi spasial sampai dengan 10 meter untuk
multispectral. Resolusi temporal dari citra ini 45 hari yang kenampakan
permukaan bumi dapat direkam dalam waktu 45 hari sekali oleh ALOS yang
dibuat JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency). Citra ALOS yang memiliki
resolusi menengah dan memiliki citra radar. Citra radar ALOS memberikan
informasi topografi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerentanan
terhadap bencana longsor.
Longsorlahan terjadi karena berbagai macam aspek yang
mempengaruhinya, namun ada beberapa variabel yang memiliki andil yang
berbeda untuk mempengaruhi potensi terjadinya longsorlahan. Perlu adanya
pembobotan pada masing variabel dan elemen variabel yang membuat nilai andil
dari masing variabel untuk menentukan kerentanan longsor ini mendekati kondisi
sebenarnya di lapangan.
4
Analytical hierarchy proses (AHP) merupakan metode yang digunakan
untuk menyusun hirarki dari suatu permasalahan. Kerentanan longsor diperoleh
dari beberapa parameter yang memiliki pengaruh berbeda-beda terhadap
terjadinya longsor, maka AHP merupakan salah satu metode untuk
mengungkapkan hubungan dari masing-masing parameter dan sub parameter
terhadap longsorlahan. Kemampuan dari AHP ini dapat digunakan untuk
menghitung tingkat kepentingan parameter yang mempengaruhi kejadian
longsorlahan. Tingakat kepentingan dari parameter dari hasil AHP digunakan
untuk bobot parameter longsorlahan.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan berbagai fenomena dan permasalahan yang telah disajikan
sebelumnya maka diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut ini:
1. Bagaimana tingkat akurasi citra ALOS dalam menyadap informasi
parameter longsorlahan?
2. Bagaimana hasil kerawanan longsorlahan DAS Tinalah?
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian berjudul pemanfaatan citra ALOS untuk zonasi kerentanan
longsorlahan di DAS Tinalah Kabupaten Kulon Progo ini memiliki tujuan sebagai
berikut:
1. Mengetahui akurasi dari citra ALOS untuk menyadap informasi
parameter longsorlahan,
2. Mengetahui faktor yang paling berpengaruh dengan metode AHP,
3. Membuat peta kerawanan longsorlahan DAS Tinalah dan pengujian
terhadap akurasi hasil kerawanan.
1.5. Kegunaan Penelitian
Hasil yang diharapkan pada penelitian ini diharapkan akan memberikan
beberapa kegunaan berupa:
1. Mengetahui parameter yang dapat diambil dari citra ALOS untuk
pemetaan kerawanan bencana longsorlahan,
5
2. Mengetahui faktor pembobot dengan Analytical Hierarchy Process,
3. Memberikan informasi kerentanan longsor di DAS Tinalah Kabupaten
Kulon Progo.
7
1.6. Tinjauan Pustaka
1.6.1. Penginderaan Jauh
“Penginderaan jauh adalah Ilmu, teknik dan seni untuk mendapatkan
informasi tentang objek, wilayah atau gejala dengan cara menganalisis data yang
diperoleh dari suatu alat tanpa berhubungan langsung dengan objek, wilayah atau
gejala yang sedang dikaji” (Lilesand and Keifer, 1990). Penginderaan jauh
memiliki serangkaian komponen yang terkait suatu aktivitas yang menjadi suatu
sistem (Sutanto, 1986). Berdasarkan beberapa pengertian diatas disimpulkan
bahwa, penginderaan jauh adalah suatu sistem yang digunakan untuk
mendapatkan informasi objek atau wilayah tanpa harus berhubungan langsung
dengan objek.
Empat komponen yang ada pada sistem pengideraan jauh yaitu target atau
objek, sumber energi, alur transmisi, dan sensor. Keempat komponen tersebut
saling berkaitan, berdasarkan sumber energi, misal matahari memancarkan energi
keobjek kemudian terdapat alur transmisi yang menyalurkan energi dari objek dan
diterima oleh sensor, dan diterima oleh stasiun di bumi.
Gambar 1.3 Sistem Penginderaan Jauh
Sumber: Lillesand et al. (2008) dalam Danoedoro (2012)
8
Penginderaan jauh memiliki beberapa kelebihan dibanding pengambilan
data dengan metode yang lain. Menurut Sutanto (1992) keunggulan pengindraan
jauh antara lain:
1. Citra merupakan alat yang baik untuk membuat peta atau sebagai
kerangka letak,
2. Dari jenis citra tertentu dapat menunjukkan informasi topografi yang
dapat menyajikan model medan secara jelas,
3. Karakteristik objek yang tak tampak dapat dikenali dengan
menggunakan citra seperti suhu permukaan bumi, dan kelembaban tanah,
4. Informasi dapat diperoleh secara cepat meskipun didaerah yang sulit
dijelajahi secara terrestrial,
5. Citra sering dibuat dengan periode ulang yang pendek.
Teknologi penginderaan jauh dibuat dengan tujuan tertentu untuk masing-
masing satelit atau citra yang dihasilkan. Hal ini tergantung dari keterbatasan
sensor yang dimiliki. Batas kemampuan dari sensor satelit disebut ini dengan
nama resolusi spasial. Resolusi spasial adalah luasan satu pixel dalam ukuran yang
sebenarnya. Menurut Swain dan Davies dalam Danoedoro (2012), resolusi atau
resolving power adalah kemampuan suatu sistem optik elektronik untuk
membedakan informasi yang secara spasial berdekatan atau secara spektral.
1.6.2. Satelit ALOS
Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) ini diluncurkan oleh
Japan Aerospace Exploration Agency pada 24 Januari 2006. Satelit ini merupakan
salah satu satelit sumberdaya dengan resolusi semi detail. Memiliki tiga sensor
utama yang disematkan pada satelit ALOS. Pertama, sensor ALOS PRISM, yaitu
sebuah pankromatik radiometer. Sensor kedua adalah AVNIR-2, sensor ini
merekam gelombang visibel dan near-infrared radiometer. Sensor ketiga yakni
PALSAR, adalah tipe sensor radar dengan susunan L-band Synthetic Aperture
Radar, yang merupakan sensor microwave aktif untuk observasi di hari cerah,
siang hari, dan malam hari.
9
Tabel 1. 1Spesifikasi ALOS
International Designation Code 2006-002A
Tanggal peluncuran 10:33, Januari 24, 2006 (JST)
Kendaraan peluncur H-IIA Launch Vehicle No.8
Lokasi peluncuran Tanegashima Space Center
Bentuk Main body: 6.2m x 3.5m x4 .0m
Solar Array Paddle: 3.1m x 22.2m PALSAR Antenna: 8.9m x 3.1m
Weight 4,000kg
Orbit Sun-Synchronous Subrecurrent/ Recurrent
Ketinggian 700km
Inklinasi 98o
Periode ulang 46 hari
Sumber: JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency),1997
Gambar 1. 4 Satelit ALOS
Sumber: JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency),1997
1.6.3. Klasifikasi
Klasifikasi merupakan kata serapan dari bahasa Belanda, classificatie, yang
berarti metode untuk menyusun, mengelompokan secara sistematis menurut
beberapa aturan dan kaidah yang telah ditetapkan. Pada penelitian ini klasifikasi
yang digunakan adalah klasifikasi yang bertujuan untuk mengelompokan variabel
dan sub variabel yang dapat di perbandingkan. Salah satu klasifikasi longsorlahan
adalah klasifikasi yang dibuat oleh anbalagan.
10
Klasifikasi Anbalagan adalah klasifikasi yang dibuat oleh Anbalagan yang
berupa Landslide hazard zonation atau LHZ. Sebagian dari klasifikasi tersebut
digunakan dalam penelitian ini. Landslide hazard zonation adalah metode yang
penting untuk mengklasifikasikan lahan kedalam derajat bahaya berdasarkan
estimasi signifikansi yang menyebabkan perubahan stabilitas tanah (Anbalagan,
1992 dalam R.K.goel, 2012). Landslide hazard zonation sangat berguna untuk
tujuan tertentu, seperti mengidentifikasi kerawanan bencana pada suatu daerah.
Landslide Hazard Zonasi yang dibuat oleh Anbalagan mempertimbangkan
berbagai faktor yang menyebabkan terjadi longsorlahan. Tujuan utama dari
Anbalagan adalah mempertimbangkan faktor-faktor penyebab dengan cara yang
sederhana. Metode ini cukup terkenal di India, Nepal, Italy dan beberapa negara
yang lain. Metode LHZ menggolongkan daerah longsor menjadi lima zona
kerawanan berdasarkan enam faktor penyebab utama terjadinya longsorlahan.
Keenam faktor penyebab itu adalah Litologi, Struktur, Slope morfometri, Relief
relatif, Tutupan lahan, Kondisi air tanah
1.6.4. Model Analytical Hierarchy Process
Analytic Hierarki Process merupakan salah satu cara untuk memecahkan
masalah yang kompleks, dengan menyusun faktor masalah ke dalam susunan
hirarki yang terstruktur dan sistematis (marimin, 2003). Menurut istilah analytical
adalah suatu hubungan logis, dan hierarchy adalah susunan, AHP merupakan
hubungan logis dengan mempertimbangkan hirarki dari faktor masalah, yang
kemudian digunakan untuk menyelesaikan masalah.
Metode Analytic Hierarki Process merupakan sebuah kerangka yang
mengambil keputusan secara efektif dari persoalan kompleks untuk kemudian
disederhanakan menjadi lebih sederhana dan mempercepat proses pengambilan
keputusan atau memecahkan masalah (Bhushan. N, 2004). Memecah masalah
menjadi bagaian-bagian kecil yang kemudian menata bagian-bagian tersebut
menjadi susunan hirarki, serta memberi nilai dari suatu hirarki dengan
pertimbangan subyektif tingkat kepentingan dari setiap variabel. Metode ini
pernah digunakan dalam bidang militer untuk menganalisa pertahanan dan militer,
11
namun karena metode Analytic Hierarki Process ini mudah diaplikasikan dan
dapat mengambil keputusan secara kompleks dibidang perencanaan,
kebencanaan, tehnik, sampai dengan kesehatan.
Menurut Bhushan. N (2004), tahap memecahkan masalah dengan metode
AHP adalah menyusun hirarki, prinsip penentuan prioritas (comparative
judgement), Synthesis of Priority dan prinsip konsitensi logis (logical consistensi).
Penjelasan untuk masing-masing tahapan AHP adalah:
1. Penyusunan hirarki
Menyusun hirarki adalah pemecahan masalah kedalam bagian-
bagian, pada kerawanan longsor dibagi berdasarkan pada parameternya
yang masukan dalam suatu hirarki. Setiap parameter memiliki kaitan satu
sama lain, dan kemudian digunakan untuk mengambil keputusan. hirarki
ini dikatakan lengkap jika semua unsur memiliki tingkat hubungan dengan
parameter pada tingkat berikutnya.
TUJUAN
Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4
Pilihan 1 Pilihan 2 Pilihan 3 Pilihan 4
Gambar 1. 2 Penyusunan Hirarki
(Sumber: Saaty, T.L. and Vargas, L.G. 2000)
2. Penilaian Kriteria dan alternatif
Membuat penilaian terhadap kepentingan relatif antara beberapa
elemen pada suatu tingkatan tertentu. Penilaian ini biasanya digambarkan
menggunakan pairwise comparison yang merupakan matriks
perbandingan berpasangan yang memuat tingkat referensi beberapa
perbandingan antar variabel. Skala referensi yang digunakan adalah skala
1 yang menunjukkan tingkat paling rendah (equal importance) sampai
12
dengan skala 9 yang menunjukkan tingkat paling tinggi (extreme
importance).
3. Penentuan Prioritas
Setiap kriteria dan alternatif perlu dibandingkan secara berpasangan.
Nilai perbadingan tersebut diolah menjadi penentuan tingkat perbandingan
relatifnya. Tingkat kepentingan dari matriks normalisasi ini disebut Eigen
faktor. Nilai Eigen faktor digunakan sebagai pembobot. Bobot dan
prioritas dihitung dengan menggunakan manipulasi matriks atau melalui
penyelesaian matematis.
4. Konsistensi logis
Konsistensi logis adalah perhitungan regresikan seluruh Eigen factor
yang diperoleh dari perbandingan berpasangan. Konsistensi logis ini
digunakan untuk melihat apakah hasil dari tingkat kepentingan relative
yang dibuat masih dalam batasan konsisten.
1.6.5. Sistem Informasi Geografi
Menurut Kang-Tsung Chang (2002) SIG sebagai sistem komputerisasi
untuk capturing, storing, querying, analyzing dan displaying data geografis. Sejak
tahun 1980-an perkembangan SIG ini cukup pesat sejalan dengan perkembangan
teknologi komputer yang semakin menjamur. Perkembangan SIG menarik
berbagai pihak, sehingga SIG digunakan untuk berbagai tujuan. Penggunaan SIG
sering digunakan di negara maju untuk segala bidang dari kalangan militer,
pemerintahan, akademis, maupun untuk kepentingan bisnis.
Seiring dengan kemajuan teknologi SIG ini sampai dengan berbagai bidang
ini, karena memiliki keunggulan.
1. Sistem Informasi Geografi digunakan untuk alat bantu interaktif yang
dapat memberikan pengetahuan dan wawasan tentang konsep ruang.
2. Sistem Informasi Geografi dapat melakukan analisis secara
terintegrasi.
13
3. Dapat menghasilkan data yang tersintesis dengan baik.
Dalam bidang kebencanaan Sistem Informasi Geografi dapat membantu
mengolah data primer dan data sekunder menjadi informasi yang menunjukkan
kerawanan atau kerentanan bencana. Informasi kerawanan bencana itu dapat
digunakan untuk pertimbangan dalam memilih mitigasi bencana yang sesuai.
Sistem Informasi Geografi sangat membantu dalam menganalisis data secara
cepat mengenai kondisi informasi bencana
1.6.6. Pengolahan Citra Digital
Pengolahan citra digital, dibagi menjadi tiga yaitu pengolahan, citra dan
digital. Pengolahan merupakan proses membuat atau memanipulasi sesuatu untuk
tujuan tertentu, sedangkan citra adalah representasi atau gambaran dari objek di
permukaan bumi. Kemudian digital adalah digit binary yang disimpan dalam
bentuk digital. Pengolahan citra digital adalah proses membuat atau memanipulasi
representasi atau tiruan benda atau objek di permukaan bumi yang disimpan dalam
bentuk binar (digital).
1.6.7. Longsorlahan
Thornbury (1969:76) mendefinisikan longsorlahan sebagai gerakan massa
dari rombakan batuan yang tipe gerakannya meluncur/menggeser
(sliding/slipping) atau berputar (rotational) , yang disebabkan oleh gaya gravitasi.
Menurut Cruden dan Varnes dalam Crozier dkk., (2005) klasifikasi karakteristik
gerak massa menuruni lereng yang terbagi menjadi lima antara lain jatuhan (fall),
robohan (topple), luncuran/longsoran (slide), sebaran (spread), dan aliran (flow).
longsorlahan (landslide) merupakan salah satu tipe di gerak massa
longsoran/luncuran (slide), namun istilah ini menjadi istilah umum yang digunakan
untuk menyebut gerakan massa lainya (Van Westen, 1993).
Faktor pasif meliputi faktor topografi, kondisi geologis/litologi, kondisi
hidrologis, tanah, keterdapatan longsor sebelumnya dan keadaan vegetasi. Faktor
aktif yang mempengaruhi longsor lahan diantaranya aktivitas manusia dalam
penggunaan lahan dan faktor iklim. Geomorfologi menjadi petimbangan dalam
14
kajian kerawanan longsorlahan. Bentuklahan sebagai kajian utama geomorfologi
merupakan hasil bentukan dari longsorlahan (USGS, 2008). Pemanfaatan
bentuklahan yang tidak sesuai dengan karakteristik bentuklahan dapat
menimbulkan masalah seperti banjir, kekeringan, dan longsorlahan (Sutikno,
1997).
Gambar 1.5. Gerak massa batuan
Sumber : USGS, 2008
Istilah longsorlahan (landslide) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
gerak massa menuruni lereng baik massa tanah, runtuhan, batuan, dan atau
15
material organik karena faktor utama gravitasi bumi. Gambar 2.3. merupakan
sketsa longsor mulai dari material batuan (fall toople, dan rockslide), material
tanah atau organik (rotational slide, translational slide, creep, dan flow slide), dan
material campuran (debris flow dan debris avalenche).
1.6.8. Longsorlahan dan Analitical Hierarchy Process
Analitical Hierarchy Process dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah dengan terlebih dahulu memisahnya menjadi bagian-bagian yang
kemudian di hirarki. Kerawanan longsor merupakan salah satu kajian yang dapat
diselesaikan dengan menggunakan metode AHP. Metode AHP ini termasuk
dalam metode pembobotan tehadap parameter kerawanan longsorlahan. Namun
pembobotan ini tidak dilakukan dengan sembarangan melainkan menggunakan
cara matematis berdasarkan pada perhitungan yang sudah ditentukan.
Tareq H, Muzeghi (2012) melakukan pemetaan kerawanan longsorlahan
menggunakan AHP dengan menggunakan penginderaan jauh. Hasil penelitiannya
adalah model untuk memetakan kerawanan longsorlahan menggunakan AHP dan
penginderaan jauh, model ini cukup efektif dan mampu menilai kontribusi dari
faktor yang mempengaruhi longsor.
Nilai bobot pada setiap variabel atau element variabel adalah indeks
kerawanan longsorlahan. Indeks kerawan longsorlahan merupakan tahap awal
untuk menyajikan hasil pembobotan kedalam bentuk keruangan. Indeks
kerawanan longsorlahan secara sistematis dapat dihitung dengan persamaan.
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝐾𝑒𝑟𝑎𝑤𝑎𝑛𝑎𝑛 = ∑ (𝑊𝑛 𝑥 𝑉𝑛)𝑛𝑖=1 ........................................(1)
Keterangan :
W : bobot variabel
V : bobot elemen variabel
Hasil dari perkalian antara bobot variabel dengan element variabel tersebut
akan menghasilkan indeks kerawanan longsorlahan. Indeks kerawanan
16
longsorlahan ini diklasifikasi menjadi kerawanan tinggi sampai dengan rendah.
Klasifikasi ini menggunakan bantuan SIG untuk menampilkan dan juga mengolah
indeks hingga dianalisis.
Penelitian tentang kerawanan longsorlahan banyak dilakukan dengan
berbagai metode, salah satunya dengan metode pembobotan. Pada penelitian ini
pembobotan yang digunakan berasal dari analisis AHP, yang melakukan
pembobotan berdasarkan pada pertimbangan variabel lain. Pada masing-masing
elemen variabel dibandingkan, hingga didapat nilai bobot sesuai dengan
kontribusi terhadap longsorlahan.
1.7. Keaslian Penelitian
Penelitian kerewanan longsorlahan sudah berkembang dibeberapa negara di
dunia. Metode dan pendekatan dikembangkan untuk menentukan zonasi daerah
rawan longsorlahan, mulai dari metode sederhana sampai dengan metode
deterministik, euristik dan probabilistik. Pemanfaatan citra juga di maksimalkan
untuk dapat mengidentifikasi kerawanan longsorlahan dengan lebih baik dan
cepat. Beberapa contoh penelitian tentang longsorlahan yang pernah dilakukan
disajikan di Tabel 1.2
Felix Yanuar, (2011), dalam penelitiannya “Pemanfaatan Citra Aster Untuk
Pemetaan Longsor dengan Metode Model Konvensional dan Model Stabilitas”.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan ekstraksi citra ASTER untuk
menghasilkan parameter bentuk lahan dan memetakan kerawanan longsorlahan
dengan permodelan longsorlahan konvensional dan model stabilitas. Penelitian di
lakukan di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kondisi daerah
penelitian berada antara Gunung Merapi dan Merbabu yang memiliki banyak
aktivitas longsorlahan. Model yang digunakan berupa parameterik dengan
pengharkatan, parameternya meliputi, bentuklahan, jenis tanah, intensitas hujan,
kemiringan lereng, dan stabilitas lereng. Hasil dari penelitian ini ada dua model
kerawanan longsor dari hasil metode konvensional dan model stabilitas. Dari
masing-masing hasil kerawanan longsorlahan dibagi menjadi 3 kelas kerawanan.
Hasil peta kerawanan model konvensional menyajikan sebaran titik longsorlahan
17
sebesar 31,43% pada klas rendah, 68,57% pada klas sedang dan 0% pada klas
tinggi. Sedangkan pada model stabilitas dapat menyajikan sebesar 25,71% pada
kelas rendah, 48% pada klas sedang dan 25,71% pada kelas tinggi. Sehingga hasil
kerawanan longsor model stabilitas lebih mampu merepresentasikan kondisi di
lapangan di bandingkan model konvensional, hasil akurasi model stabilitas
dengan analisis SINMAP memiliki akurasi model sebesar 74%.
Dhandhun Wacano, (2010), dalam penelitiannya berjudul “Kajian
Kerawanan Longsor dengan Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process
di DAS Tinalah Kulon Progo”. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari
pengaruh aspek fisik alami dan manusia terhadap kerawanan longsorlahan dan
mengetahui tingkat kerawanan longsorlahan di DAS Tinalah. Metode yang
digunakan untuk menyusun peta kerawanan ini menggunakan model AHP untuk
melakukan pembobotan terhadap parameter longsorlahan. Sedangkan untuk
analisa keruangan menggunakan bantuan Sistem Informasi Geografi berbasis
raster dan vektor. Parameter yang digunakan bentuk lahan, sudut lereng, buffer
sungai, tanah, penggunaan lahan, dan buffer jalan. Analisi dengan model AHP
mendapatkan hasil bahwa aspek fisk dan manusia sangat berpengaruh terhadap
kerawanan longsorlahan di DAS Tinalah. Penilaian hirarki menempatkan bentuk
lahan paling tinggi di ikuti dengan lereng serta, jaringan jalan, jaringan sungai,
tanah dan penggunaan lahan. DAS Tinalah secara umum rawan terhadap
longsorlahan.
Zulfa Hamida, (2007), dalam penelitian “Penggunaan Citra Landsat7 ETM+
Untuk Zonasi Kerentanan dan Prediksi Kejadian Longsorlahan di sisi Barat
Gunung Wilis Kabupaten Ponorogo”. Tujuan dari penelitian ini adalah
memanfaatkan data penginderaan jauh khususnya citra landsat 7 ETM+ untuk
membuat zonasi kerentanan longsorlahan, dan mencari hubungan antara kejadian
longsor dan curah hujan untuk memprediksi longsorlahan. model yang digunakan
dalam penelitiannya adalah model parameterik, dengan tujuh parameter yaitu
lereng, penggunaan lahan, tingkat erosi, pelapukan batuan, kedalaman tanah,
kembang kerut tanah, curah hujan. Hasilnya adalah peta kerawanan longsorlahan
yang memiliki akurasi sebesar 78.95%. kondisi daerah sebagian besar termasuk
18
zona kerawanan sedangkan zona kerawanan rendah paling sedikit dan intensitas
hujan sangat berpengaruh terhadap terjadinya longsorlahan.
Guruh Samodra, (2010), dalam penelitian dengan judul “Penilaian
Kerentanan Dan Risiko Tanah Longsor: dari pemetaan geomorfologi hingga
analisis citra berorientasi objek (OBIA) di DAS Kayangan Kulon Progo Daerah
Istimewa Yogyakarta” dengan tujuan penelitian untuk mempelajari kondisi
geomorfologi, mengidentifikasi kerawanan tanah longsor, menilai kerentanan
tanah longsor dan menilai risiko tanah longsor di DAS Kayangan. Pada peta
geomorfologi terdiri dari informasi morofogenesa, morfokronologi dan
morfoaransemen. Aplikasi tehnik heuristic statistics pada model weight of
evidence diaplikasikan untuk megidentifikasi kerentanan tanah longsor. Validasi
peta kerentanan tanah longsor menggunakan tehnik survei terhadap 151
responden rumah tangga untuk mengidentifikasi pola keruangan kerentanan di
DAS Kayangan. Analisis citra beorientasi objek atau dikenal dengan OBIA, dan
knowledge base GIS ancillary data menggunakan pola keruangan yang digunakan
untuk mengekstrapolasikan tingkat kerentanan tanah longsor pada seluruh DAS
Kayangan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa DAS Kayangan
berdasarkan kondisi geomorfologis terbagi menjadi 3 zona kerentanan yaitu zona
utara, zona tengah, dan zona tenggara. Kondisi morfologi memiliki peran penting
terhadap penilaian kerentanan tanah longsor di DAS Kayangan. Penduduk yang
tinggal di perbukitan dengan aksesibilitas yang rendah memiliki kecenderungan
tingkat ekonomi yang rendah dan tingkat kerentanan yang tinggi. Klasifikasi
risiko yang merepresentasikan potensi kerusakan ditimbulkan oleh tanah longsor
dan kemampuan manusia untuk mengantisipasi bencana.
Fedhi A, Hartoyo, (2014), dalam penelitiannya berjudul “ Perbandingan
Tingkat Akurasi Digital Surface Model Hasil Ekstraksi Citra Stereo CARTOSAT-
1 Dengan Citra Stereo ALOS PRISM” dengan tujuan untuk mengetahui tingkat
akurasi DSM hasil ekstrasi citra stereo CARTOSAT-1 dan DSM hasil ekstrasi
citra stereo ALOS PRISM, dan membandingkan kualitas hasil ekstraksi DEM
masing-masing citra stereo berdasarkan ketelitiannya terhadap Peta Rupabumi
Indonesia skala 1:25.000. citra ALOS PRISM dan CARTOSAT-1 merupakan dua
19
contoh dari stereo imagery yang dapat digunakan untuk membuat DSM. Tehnik
pencocokan citra atau image matching yang memanfaatkan data Rational
Polynomial Conficients (RCP). Pada tingkat kepercayaan 90% akurasi horisontal
dari DSM CARTOSAT-1 sebesar 80,2318 meter dan akurasi vertikalnya adalah
1,6052 meter, sedangkan untuk akurasi horizontal ALOS PRISM sebesar 31,78
meter dan akurasi vertikalnya senilai 1,5590 meter. Dengan demikian hasil
ekstrasi DSM citra stereo ALOS PRISM memiliki akurasi lebih baik dengan DSM
hasil ekstraksi citra stereo CARTOSAT-1.
20
Tabel 1. 1. Perbandingan penelitian sebelumnya
Pembanding Lokasi Penelitian
Tujuan Sumber data Metode Variabel penelitian Hasil
Felix Yanuar Endro
Wicaksono (2011)
Kecamatan Selo Boyolali
Mengeksraksi citra aster sehingga mendapatkan parameter longsor yang dipetakan dengan model konvensional dan model
stabilitas
Citra Aster tahun 2003 dan tahun
2009
Parameterik dengan
pengharkatan
Bentuklahan, jenis tanah, intensitas
hujan, kemiringan lereng, dan stabilitas
lereng
Peta kerawanan longsor model konvensional, dan peta kerawanan longsor model stabilitas lereng
Dandun Wacano (2010)
DAS Tinalah Kulon Progo
Mengkaji kerawanan longsor dengan
menggunakan metode AHP. Dengan basis
longsor aktual
Peta RBI, peta Tanah,
Data lapangan
Pembobotan menggunakan
Analytical Hierarchy Process
Bentuk lahan, sudut lereng, buffer sungai, tanah, penggunaan
lahan, dan buffer jalan
Peta kerawanan longsor, dengan tervalidasi data
longsor aktual
Zulfa Hamida (2007)
Lereng Barat Gunung Wilis
Kabupaten Ponorogo
Zonasi kerentanan longsor dengan
memanfaatkan citra landsat dan prediksi
longsor
Citra landsat ETM + tahun
2003
Parameterik dengan
pengharkatan
Lereng, penggunaan lahan, tingkat erosi, pelapukan batuan, kedalaman tanah,
kembang kerut tanah, curah hujan
Peta kerentanan longsorlahan, dan
hubungan antara curah hujan terhadap
longsorlahan
Lanjutan ditabel 1.2.2
21
Tabel 1. 2.2 Perbandingan penelitian sebelumnya lanjutan
Pembanding Lokasi Penelitian
Tujuan Sumber data Metode Variabel penelitian Hasil
Guruh Samodra
DAS Kayangan
Mempelajari kondisi geomorfologi,
mengidentifikasi kerawanan tanah longsor, menilai
kerentanan tanah longsor dan menilai
risiko tanah longsor di DAS Kayangan
Landsat Weight of evidence, OBIA
Morofogenesa, morfokronologi dan
morfoaransemen
Kondisi morfologi memiliki peran penting
terhadap penilaian kerentanan tanah longsor
di DAS Kayangan. Penduduk yang tinggal di
perbukitan dengan aksesibilitas yang rendah memiliki kecenderungan
tingkat ekonomi yang rendah dan tingkat
kerentanan yang tinggi
Fedhi A, Hartoyo
Jakarta Mengetahui tingkat akurasi DSM hasil
ekstrasi citra stereo CARTOSAT-1 dan DSM
hasil ekstrasi citra stereo ALOS PRISM, dan
membandingkan kualitas hasil ekstraksi DEM masing masing citra
stereo
ALOS PRISM dan
CARTOSAT-1
Image matching Ketinggian Hasil ekstrasi DSM citra stereo ALOS PRISM
memiliki akurasi lebih baik dengan DSM hasil ekstraksi citra stereo
CARTOSAT-1
22
1.8. Kerangka Pemikiran
Citra ALOS merupakan citra dengan resolusi menengah yang memiliki
beberapa sensor, yaitu PRISM, AVNIR, dan PALSAR. Masing-masing sensor
memiliki karakter tersendiri dalam menangkap respon spektral objek-objek di
permukaan bumi. Sensor PRISM mempunyai sistem optik independen untuk
merekam data medan dengan resolusi spasial 2,5 meter, dimana sensor dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu forward, nadir , dan backward. Ketiga sensor ini
merekam objek yang sama pada waktu yang sama, hanya saja dengan sudut
pandang yang berbeda. Perbedaan sudut pandang inilah yang digunakan untuk
membangun bentuk tiga dimensi permukaan bumi melalui konsep paralaks. Tentu
saja hal ini sangat berguna untuk kegiatan analisis kebencanaan, misalnya
kejadian longsor karena salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap
kejadian longsor adalah kemiringan lereng.
Disamping memiliki sensor PRISM, ALOS juga memiliki sensor AVNIR.
Sensor ini merekam empat saluran, yaitu biru, hijau, merah, dan inframerah dekat,
masing-masing dengan resolusi spasial 10 meter. Dengan adanya sensor dan
resolusi sedang yang dimiliki oleh citra ini, ALOS memiliki keunggulan untuk
analisis penutup lahan. Penutup lahan dapat dilihat langsung dengan mata
telanjang (kualitatif), namun pada saat ini telah banyak berkembang software yang
memberikan analisis kuantitaif spektral pantulan objek-objek di permukaan bumi
untuk kemudian diklasifikasikan penutup lahannya. Seperti halnya kemiringan
lereng, penutup lahan juga memiliki pengaruh yang besar terhadap kejadian
longsor karena penutup lahan ini mempengaruhi masa tanah yang dilongsorkan.
Penginderaan jauh diharapkan dapat membantu dalam mendapatkan dan
juga menyadap informasi yang digunakan untuk membuat peta kerawanan
longsorlahan. Data penginderaan jauh ini digunakan untuk mendapatkan data
parameter fisik yang mempengaruhi longsorlahan. Disamping teknik
penginderaan jauh, pada saat ini berkembang pula sistem informasi geografi yang
mengolah data spasial bersama-sama untuk membangun prediksi kejadian
longsor. Masing-masing parameter longsor diolah dengan sistem informasi
geografis dan ditampilkan dalam bentuk peta. Peta dapat digunakan, baik sebagai
23
output, maupun sebagai input untuk analisis selanjutnya, sehingga peta biasanya
digunakan untuk inventarisasi, misalnya inventarisasi kejadian longsorlahan di
DAS Tinalah, Kulon Progo.
DAS Tinalah merupakan wilayah yang memiliki topografi yang cukup
curam. Kondisi tersebut rentan terhadap terjadinya longsorlahan. Kejadian
longsorlahan yang ada di DAS Tinalah cukup banyak dan perlu adanya
inventarisasi kejadian longsorlahan.
Tingkat kerawanan longsorlahan pada penelitian ini didapati dari
pembobotan yang menggunakan metode AHP. Metode ini memiliki kelebihan
untuk menggambarkan hubungan antar parameter kedalam nilai bobot hirarkinya.
Metode AHP ini juga mudah untuk di aplikasikan untuk menentukan bobot tiap
parameter dari hubungan antara masing-masing parameter.
23
Gambar 1. 6 Kerangka Pemikiran
DAS Tinalah Citra ALOS
Lereng curam
sehingga
berpotensi
longsorlahan
Kurangnya
inventarisasi
kejadian
longsolahan
Sensor PRISM yang dapat
digunakan untuk ekstraksi
kemiringan lereng
Sensor AVNIR yang dapat
digunakan untuk ekstraksi
penutup lahan Pemetaan
Longsorlahan
Sistem
Informasi
Geografi
Metode
Analitic
Hierarchy
process
- Model yang mudah
dimengerti
- Mudah diaplikasikan untuk
berbagai macam bidang
- Mempertimbangkan
konsistensi logis
- Memacahkan masalah
kompleks menjadi bagian-
bagian kecil