22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena El Nino merupakan peristiwa peningkatan suhu rata-rata permukaan air laut di Pasifik Ekuator tengah yang di atas normal. Hal ini biasanya diikuti dengan penurunan suhu rata-rata permukaan air laut di perairan Indonesia yang di bawah normal, sehingga menyebabkan menurunnya jumlah curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. Fenomena El Nino juga dapat dilihat dari peningkatan massa tekanan udara di lautan Hindia antara Darwin dan Tahiti yang disebut dengan Indeks Osilasi Selatan atau Southern Oscillation Index, SOI. Apabila terjadi fenomena El Nino, nilai SOI akan negatif. Hal tersebut dikenal dengan nama ENSO (El Nino/Southern Oscillation) (Ahrens, 2007). Peristiwa ENSO acap kali dibarengi dengan musim kemarau yang berkepanjangan akibat semakin berkurangnya jumlah curah hujan yang turun di wilayah tertentu, termasuk di Pulau Bali. Hal ini tentu saja identik dengan kekeringan dan kondisi lengas tanah yang berkurang drastis atau bahkan tidak dapat mencukupi kebutuhan tanaman, utamanya tanaman pertanian. Kejadian tersebut dapat membawa dampak negatif turunan lainnya sehingga sangat penting dilakukan penelitian terhadap korelasi El Nino dengan kekeringan. Terlebih lagi dengan adanya pengamatan-pengamatan yang terlebih dahulu dilakukan, kejadian El Nino dapat berulang dalam rentang 2 hingga 7 tahun dengan rata-rata kejadian sekali dalam 4 tahun (Sarachik, 2010). Hal ini semakin membuat tingginya tingkat urgensi untuk melakukan penelitian tersebut sehingga dapat memprediksi serta mengantisipasi dampak negatif dari El Nino. Kekeringan sulit didefinisikan karena berbagai macam disiplin ilmu dipengaruhi oleh kekeringan, selain itu beragam distribusinya secara geografis dan temporal membuat sulit untuk menggambarkan dan mengukur kekeringan. Secara umum kekeringan biasanya berasal dari kekurangan curah hujan akibat pola cuaca yang tidak biasa. Sosrodarsono (1977) mengartikan kekeringan sebagai ketersediaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76496/potongan/S1-2014... · negatif seperti terganggunya prakiraan akhir musim kemarau dan awal musim hujan

  • Upload
    vothuy

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fenomena El Nino merupakan peristiwa peningkatan suhu rata-rata permukaan

air laut di Pasifik Ekuator tengah yang di atas normal. Hal ini biasanya diikuti

dengan penurunan suhu rata-rata permukaan air laut di perairan Indonesia yang di

bawah normal, sehingga menyebabkan menurunnya jumlah curah hujan di sebagian

besar wilayah Indonesia. Fenomena El Nino juga dapat dilihat dari peningkatan

massa tekanan udara di lautan Hindia antara Darwin dan Tahiti yang disebut dengan

Indeks Osilasi Selatan atau Southern Oscillation Index, SOI. Apabila terjadi

fenomena El Nino, nilai SOI akan negatif. Hal tersebut dikenal dengan nama ENSO

(El Nino/Southern Oscillation) (Ahrens, 2007).

Peristiwa ENSO acap kali dibarengi dengan musim kemarau yang

berkepanjangan akibat semakin berkurangnya jumlah curah hujan yang turun di

wilayah tertentu, termasuk di Pulau Bali. Hal ini tentu saja identik dengan

kekeringan dan kondisi lengas tanah yang berkurang drastis atau bahkan tidak dapat

mencukupi kebutuhan tanaman, utamanya tanaman pertanian. Kejadian tersebut

dapat membawa dampak negatif turunan lainnya sehingga sangat penting dilakukan

penelitian terhadap korelasi El Nino dengan kekeringan. Terlebih lagi dengan

adanya pengamatan-pengamatan yang terlebih dahulu dilakukan, kejadian El Nino

dapat berulang dalam rentang 2 hingga 7 tahun dengan rata-rata kejadian sekali

dalam 4 tahun (Sarachik, 2010). Hal ini semakin membuat tingginya tingkat urgensi

untuk melakukan penelitian tersebut sehingga dapat memprediksi serta

mengantisipasi dampak negatif dari El Nino.

Kekeringan sulit didefinisikan karena berbagai macam disiplin ilmu

dipengaruhi oleh kekeringan, selain itu beragam distribusinya secara geografis dan

temporal membuat sulit untuk menggambarkan dan mengukur kekeringan. Secara

umum kekeringan biasanya berasal dari kekurangan curah hujan akibat pola cuaca

yang tidak biasa. Sosrodarsono (1977) mengartikan kekeringan sebagai ketersediaan

2

air yang tidak seimbang dengan kebutuhan air, baik untuk kebutuhan hidup,

pertanian, kegiatan ekonomi maupun lingkungan.

Kekeringan dapat menjadi bencana bagi setiap makhluk hidup, termasuk

manusia, apalagi jika kejadian kekeringan ini bertahan hingga jangka waktu yang

panjang. Indonesia tiap tahunnya selalu mengalami bencana kekeringan, termasuk di

Pulau Bali mulai terasa pada tahun 1995. Berdasarkan peta kejadian bencana

kekeringan di Indonesia antara 1979 – 2009 yang dibuat oleh BNPB (Badan

Nasional Penanggulangan Bencana), Bali mengalami 16 kali kejadian kekeringan.

Menurut Bank Dunia, harga pangan global naik tajam akibat kekeringan yang terjadi

di sebagian dunia. Hingga saat ini, pemerintah belum menyiapkan langkah khusus

untuk menanggulangi bencana kekeringan, kecuali dengan rencana penanggulangan

sementara seperti menyiapkan stok pangan agar tidak krisis pangan. Hal tersebut

tentu saja tidak cukup karena bencana kekeringan akan selalu datang tiap tahun yang

berimbas pada petani yang akhirnya sering gagal panen.

Para ahli banyak berpendapat bahwa kekeringan biasanya berhubungan dengan

gejala pergeseran antara musim hujan dengan musim kemarau di Indonesia.

Berdasarkan data historis, kekeringan di Indonesia seringkali berasosiasi dengan

fenomena ENSO. Fenomena ENSO disebutkan sebagai salah satu gejala peralihan

iklim. Pengaruh El Nino lebih kuat pada musim kemarau yang menyebabkan

berkurangnya jumlah curah hujan yang turun dari normalnya serta udara yang lebih

kering datang pada saat musim panen bagi petani.

Kekeringan dapat mengancam kelangsungan hidup manusia apabila terjadi

dalam jangka waktu yang panjang. Kekeringan banyak menimbulkan dampak

negatif seperti terganggunya prakiraan akhir musim kemarau dan awal musim hujan

yang dapat berdampak langsung pada pertanian sehingga gagal panen. Curah hujan

yang menurun drastis dari angka normalnya serta deret hari kering yang bertambah

panjang dapat mengurangi cadangan airtanah di suatu daerah. Berdasarkan dampak

tersebut, perlu dilakukan penanganan lebih lanjut dalam merespon dampak tersebut

sebagai upaya antisipasi atau mitigasi bencana kekeringan.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan spasial atau

keruangan yang berbasis kuantitatif, dengan mengidentifikasi hubungan antara awal

3

mula musim hujan yang terlambat dan jumlah presipitasi yang berpotensial

menyebabkan kekeringan dengan mempertimbangkan tahun-tahun terjadinya El

Nino. Data curah hujan yang dianalisis secara kuantitatif menjadi variabel yang

penting untuk kemudian diproses dengan menggunakan software SPI (Standardized

Precipitation Index), buatan AIT (Asian Institute of Technology) Thailand, yang

digunakan untuk mengidentifikasi tingkat kekeringan. Nilai SPI hanya berdasarkan

pada rekaman curah hujan pada satu stasiun hujan tertentu, sehingga dapat dilakukan

analisis spasial dengan membandingkan nilai SPI stasiun hujan lainnya.

SPI berbeda dengan Indeks Palmer, walaupun sama-sama merupakan teknik

untuk mengukur kekeringan. SPI hanya mempertimbangkan variabel curah hujan,

sementara Indeks Palmer menggunakan data curah hujan, evapotranspirasi, dan

runoff. SPI merupakan indeks yang berdasarkan pada probabilitas yang telah

terstandarisasi tentang rekaman jumlah curah hujan tertentu. Indeks nol

menunjukkan jumlah curah hujan rata-rata. Indeks negatif menunjukkan kekeringan

dan positif menunjukkan kondisi basah. SPI dihitung untuk beberapa skala waktu,

mulai dari satu bulan hingga 36 bulan, untuk mengetahui berbagai skala waktu

kekeringan, baik kekeringan jangka pendek maupun jangka panjang.

Berdasarkan uraian di atas, fenomena iklim El Nino dan korelasinya dengan

kekeringan meteorologis perlu dikaji secara mendalam khususnya untuk mengetahui

pengaruh El Nino terhadap kekeringan yang terjadi di Pulau Bali. Perlu diadakan

studi khusus mengenai “Analisis Hubungan El Nino dengan Kekeringan

Meteorologis Menggunakan SPI (Standardized Precipitation Index) di Pulau

Bali”.

1.2 Perumusan Masalah

Kekeringan dapat terjadi di berbagai wilayah dan disebabkan oleh faktor yang

berbeda-beda. Apabila dilihat dari sisi meteorologis, kekeringan dapat berarti tidak

signifikannya curah hujan yang turun dalam periode yang cukup lama sehingga

menyebabkan kurangnya lengas tanah melalui evapotranspirasi dan penurunan aliran

sungai, sehingga mengganggu aktivitas manusia dan biologis (Barry, R.G. dan

Chorley, R.J, 2004).

4

Istilah El Nino merujuk pada menghangatnya suhu permukaan air laut di

Samudra Pasifik bagian tengah dan barat pada garis ekuator. Sementara pada saat

yang bersamaan, suhu permukaan air laut di perairan Indonesia lebih dingin dari

normalnya. Apabila suhu tinggi, maka tekanan udara rendah, sebaliknya apabila

suhu rendah, maka tekanan udara tinggi. Berdasarkan teori tersebut, tekanan udara

di sekitar Samudra Pasifik ekuator rendah, sedangkan tekanan udara di sekitar

perairan Indonesia tinggi. Hal ini menyebabkan massa udara bergerak dari tempat

bertekanan udara tinggi ke tempat bertekanan udara rendah, dalam hal ini ialah dari

perairan Indonesia ke Samudra Pasifik ekuator. Massa udara yang terbawa ke

Samudra Pasifik ekuator tersebut membawa uap air dan berpotensi terhadap

pembentukan awan hujan. Awan hujan tersebut seharusnya berada di wilayah

Indonesia. Hal ini menyebabkan curah hujan di sebagian wilayah Indonesia

berkurang dan pola cuaca di sebagian wilayah berubah.

El Nino merupakan fenomena iklim yang berskala global yang mempengaruhi

sebagian besar wilayah Indonesia dan belahan dunia lainnya. Fenomena El Nino

tersebut juga mempunyai pengaruh besar di Indonesia, khususnya di Pulau Bali.

Ditambah lagi pada periode tahun-tahun El Nino, bencana kekeringan semakin

sering terjadi. Hal ini dapat dijabarkan dalam rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan antara El Nino dengan kekeringan meteorologis di

Pulau Bali?

2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari fenomena El Nino yang relevan

dengan kekeringan?

3. Bagaimana usaha untuk mengurangi dampak turunan, khususnya produksi

padi, yang ditimbulkan akibat fenomena El Nino?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis hubungan antara El Nino dengan kekeringan meteorologis di

Pulau Bali.

2. Mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan dari fenomena El Nino yang

relevan dengan kekeringan.

5

3. Merumuskan usaha untuk mengurangi dampak turunan, khususnya produksi

padi, yang ditimbulkan akibat fenomena El Nino.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain untuk:

1. Memecahkan masalah kekeringan dan masalah turunan lainnya yang terjadi

pada periode tahun-tahun El Nino di Pulau Bali.

2. Membantu pemerintahan di Pulau Bali dengan memberikan masukan

sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan yang tepat untuk

menghadapi tahun-tahun El Nino yang identik dengan kekeringan.

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.1 Hujan

Hujan adalah salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan

yang berada di atmosfer. Hujan merupakan air yang jatuh ke permukaan bumi

sebagai akibat terjadinya kondensasi dari partikel-partikel air di atmosfer. Jumlah

curah hujan diukur berdasarkan tinggi dari volume air yang jatuh pada permukaan

bidang datar yang biasanya dinyatakan dalam satuan milimeter (Nawawi, 2001).

Curah hujan 1 milimeter artinya pada tempat yang datar dengan luas 1 m2

tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter.

Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim, disamping suhu, evapotranspirasi,

kelembaban, tekanan udara, dan sebagainya.

Hujan ialah faktor pengontrol utama dalam siklus hidrologi di suatu Daerah

Aliran Sungai (DAS). Hujan merupakan komponen penting yang menentukan

proses yang akan terjadi di DAS dalam satuan sistem hidrologi. Hujan terjadi

akibat adanya massa udara yang mendingin, yaitu suhu di bawah titik embunnya,

sehingga menyebabkan pembentukan molekul air. Molekul-molekul air akan turun

sebagai hujan apabila ukurannya lebih dari 1 mm.

6

Karakteristik hujan tergantung pada kondisi fisiografis suatu tempat, karena

proses gerakan udara dapat disebabkan oleh berbagai hal, utamanya relief suatu

tempat. Hal ini yang kemudian menjadi asal-usul terjadinya hujan di suatu tempat.

Produksi uap air dan awan hujan memiliki pengaruh terhadap curah hujan.

Curah hujan dan intensitasnya yang rendah dapat menyebabkan kekeringan. Curah

hujan yang turun di bawah normal dalam suatu musim atau dalam jangka waktu

yang panjang dapat mengurangi pasokan air permukaan dan airtanah. Kurangnya

air permukaan dan airtanah dapat berdampak pada kebutuhan makhluk hidup

terhadap air, sehingga mengganggu fungsi hidrologis lingkungan sebagai salah

satu penunjang kelangsungan hidup makhluk hidup.

1.5.2 Kekeringan

Kekeringan memiliki banyak definisi yang tergantung dari sudut pandang,

bidang ilmu, daerah maupun kebutuhannya. Batasan kekeringan di setiap wilayah

juga tidak selalu sama. Seperti di Libya, misalnya, curah hujan yang kurang dari

180 mm disebut kekeringan. Lain halnya di Bali, kekeringan didefinisikan sebagai

tidak turunnya hujan selama 6 hari berturut-turut (Hayes, 1998).

Bunting dan Kassam (1988) mengartikan kekeringan sebagai satu atau

beberapa periode pertumbuhan tanaman yang tidak terpenuhi antara air yang

keluar dari tanaman dan masukannya dari hujan atau irigasi dengan akibat

terjadinya penurunan hasil serta menyebabkan kerugian secara ekonomis. Apabila

dilihat dari sudut pandang iklim, beberapa tempat dinyatakan sebagai kering atau

basah dibandingkan dengan daerah lain sebab satu periode musim tertentu lebih

pendek dibandingkan dengan rata-rata musim yang biasanya terjadi (Kassam et al,

1981).

Kekeringan biasanya diawali dengan kekeringan secara meteorologis,

dimana suatu daerah terjadi kekurangan air dari jumlah air yang dibutuhkan akibat

kurangnya curah hujan yang turun di daerah tersebut. Kekeringan meteorologis ini

akan berlanjut ke kekeringan pertanian, kekeringan hidrologis, serta kekeringan

sosial ekonomi (Astuti, 2011). Studi kekeringan meteorologis dapat menjadi acuan

7

atau indikasi awal terjadinya kekeringan sehingga dapat menjadi peringatan dini

akan dampak turunan yang mungkin terjadi setelahnya.

Gambar 1.1 Kekeringan Litologis di Desa Belik G. Slamet (Suyono, 2003)

Gambar 1.2 Kekeringan Hidrometeorologis di Kab. Rembang (Suyono, 2003)

8

Gambar 1.1 merupakan contoh dari kekeringan litologis. Kekeringan

litologis adalah kekeringan yang disebabkan oleh kondisi batuan yang tidak

mampu menyimpan dan melepaskan air (Suyono, 2007). Gambar 1.2 merupakan

contoh kekeringan hidrometeorologis. Kekeringan hidrometeorologis terjadi

apabila curah hujan yang turun kurang dari jumlah evapotranspirasi aktual.

Kekeringan ini berkaitan dengan kondisi meteorologis. Menurut Asdak (1995),

apabila jumlah curah hujan yang turun kurang dari 60 mm/bulan, maka disebut

bulan kering.

1.5.3 Standardized Precipitation Index (SPI)

Kekeringan seringkali dikaitkan dengan suatu kondisi yang ditandai dengan

kurangnya ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan air di sektor manapun,

baik dalam hal pemenuhan kebutuhan irigasi untuk pertanian, maupun pemenuhan

kebutuhan air dalam kegiatan ekonomi. Kekeringan ini bersifat sementara yang

salah satunya dapat terjadi akibat menurunnya curah hujan di suatu daerah.

Untuk mengamati terjadinya penyimpangan jumlah curah hujan terhadap

normalnya dapat menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI). Nilai SPI

dihitung berdasarkan metode statistik probabilistik distribusi gamma, dengan

kategori sebagai berikut:

a. Sangat kering, apabila nilai SPI ≤ -2,00,

b. Kering, apabila nilai SPI -1,50 s/d -1,99,

c. Agak kering, apabila nilai SPI -1,00 s/d -1,49,

d. Normal, apabila nilai SPI -0,99 s/d 0,99,

e. Agak basah, apabila nilai SPI 1,00 s/d 1,49,

f. Basah, apabila nilai SPI 1,50 s/d 1,99,

g. Sangat basah, apabila nilai SPI ≥ 2,00.

Metode yang digunakan SPI berdasarkan pada asumsi kekeringan

meteorologis, sehingga data yang dibutuhkan adalah curah hujan bulanan.

Kekeringan meteorologis merupakan kondisi kekeringan yang ditandai dengan

berkurangnya curah hujan dari keadaan normalnya dalam jangka waktu yang

panjang.

9

SPI dapat memberikan perbandingan curah hujan selama beberapa periode

bulan tertentu. Hal ini dapat membantu menilai tingkat keparahan kekeringan serta

memberikan peringatan dini akan kekeringan.

1.5.4 Sirkulasi Walker

Sirkulasi Walker merupakan sirkulasi udara zonal yang terjadi di sekitar

Samudra Pasifik yang berada di khatulistiwa, dimana tekanan udara dan suhu

permukaan Samudra tersebut berbeda antara bagian barat dengan bagian timur.

Samudra Pasifik ekuatorial bagian barat normalnya memiliki suhu permukaan

yang hangat dan basah dengan tekanan rendah. Berbeda dengan Samudra Pasifik

ekuatorial bagian timur, daerah ini memiliki suhu permukaan yang dingin dan

kering serta bertekanan tinggi. Hal tersebut menyebabkan udara di sekitar

permukaan Samudra Pasifik tersebut bergerak dari tempat yang bertekanan tinggi,

yakni timur, ke tempat yang bertekanan lebih rendah, yaitu barat. Udara di atasnya

didominasi oleh angin yang bergerak dari barat ke timur. Kejadian inilah yang

disebut dengan sirkulasi Walker. Normalnya sirkulasi Walker memusat di sekitar

wilayah Indonesia (Tjasjono, 2004).

Suhu permukaan laut di Pasifik ekuator sebelah barat cukup tinggi sehingga

menghangatkan udara yang berada di atasnya. Udara tersebut kemudian naik

membawa pasokan uap air dan terbentuklah awan yang terbang ke arah timur.

Awan tersebut menurunkan hujan di daerah Pasifik ekuator bagian timur.

Sesampainya di pantai barat Amerika Selatan, udara tersebut turun dan terbang

kembali, namun lebih rendah, ke arah barat Pasifik ekuator, melewati tepat di atas

permukaan laut (Gambar 1.3).

Peran sirkulasi Walker di kawasan tropis sangat penting, mengingat sirkulasi

ini mengatur pertukaran panas dan uap udara dalam skala besar di sekitar garis

khatulistiwa. Hal ini memungkinkan sirkulasi Walker untuk menentukan

karakteristik cuaca hingga iklim di kawasan tropis tersebut. Sebagai buktinya,

sirkulasi Walker memiliki keterkaitan dengan anomali iklim ENSO. Apabila

terjadi ENSO, arah sirkulasi Walker akan berbalik. Ketika sirkulasi Walker

melemah, angin juga akan melemah sehingga air di Pasifik ekuator barat yang

10

memiliki suhu yang hangat akan menyebar ke arah timur. Kejadian ini dinamakan

El Nino. Apabila sirkulasi Walker sangat kuat, yang berarti angin bertiup lebih

kencang melewati kawasan Pasifik ekuator, maka suhu permukaan laut di Pasifik

ekuator timur akan menjadi lebih dingin karena terjadi upwelling. Kejadian

tersebut disebut La Nina.

Sirkulasi Walker yang melemah, yang berasosiasi dengan El Nino,

menyebabkan kekeringan yang tersebar meluas di Indonesia, kekeringan di timur

laut Brazil, dan banjir bandang di Peru dan Ekuador, serta tenggara Brazil dan

Argentina bagian utara. Ketika terjadi La Nina, sirkulasi Walker yang menguat

akan memicu terjadinya anomali curah hujan (Lau dan Yang, 2002). Hal ini

kemudian menyebabkan fenomena yang terbalik dari El Nino, dimana wilayah

yang kekeringan apabila terjadi El Nino akan mendapatkan curah hujan yang lebih

banyak dari normalnya pada kondisi La Nina, sehingga dapat menyebabkan banjir.

Gambar 1.3 Sirkulasi Walker pada Kondisi Normal dan Kondisi El Nino

Sumber: Australian Coastal Information (2013)

http://www.ozcoasts.gov.au/indicators/climate_change.jsp

Waktu Normal

Waktu El Nino

11

1.5.5 El Nino

Salah satu anomali iklim berskala global adalah El Nino. Istilah El Nino

pertama kali dicetuskan pada abad 19 oleh para nelayan di Peru yang

mendefinisikannya sebagai menghangatnya suhu permukaan laut di sekitar pesisir

saat hari raya natal (Enfield, 1988). Hal ini yang kemudian sering dihubung-

hubungkan dengan penurunan jumlah tangkapan ikan lokal secara mendadak

(Jordan, 1991). Secara meteorologis El Nino didefinisikan sebagai fenomena

peningkatan suhu rata-rata permukaan laut di atas normal di seputar Pasifik

Tengah dan Timur sepanjang garis ekuator. Suhu muka laut di sebelah Utara dan

Timur Laut Australia biasanya bernilai ≥ 28°C pada tahun-tahun normal,

sedangkan di Samudra Pasifik sekitar Amerika Selatan suhu muka lautnya sekitar

± 20°C (Tongkukut, 2011).

Mekanisme El Nino berawal dari menghangatnya suhu permukaan air laut di

Samudra Pasifik sekitar ekuator atau terjadi tekanan udara rendah di daerah

tersebut. Suhu permukaan air laut di perairan Indonesia pada saat yang bersamaan

menjadi dingin yang kemudian membentuk tekanan udara yang tinggi. Perbedaan

tekanan udara yang cukup besar atau peningkatan suhu permukaan laut di

Samudra Pasifik sekitar ekuator yang tinggi dapat menyebabkan massa udara di

Indonesia cenderung bergerak ke arah Samudra Pasifik sekitar ekuator yang

memiliki tekanan udara lebih rendah. Hal ini berdampak pada pengurangan

pembentukan awan di wilayah Indonesia, sehingga secara otomatis juga

mengurangi jumlah curah hujan yang turun di sebagian besar wilayah Indonesia.

Dampak turunannya dapat menyebabkan kekeringan akibat musim kemarau yang

berkepanjangan atau mundurnya awal dari musim hujan apabila dibandingkan

dengan kondisi normal.

Angin Monsoon ialah angin yang berhembus secara periodik setiap enam

bulan dengan arah yang saling berlawanan, dimana pada bulan Oktober-April

angin akan bergerak dari Benua Asia ke Benua Australia. Hal ini disebabkan

matahari pada periode bulan tersebut berada di belahan bumi selatan sehingga

Benua Australia mengalami musim panas. Tekanan udara di atas Benua Australia

pada saat itu berada pada nilai minimum, sebaliknya di atas Benua Asia tekanan

12

udaranya berada pada nilai maksimum, sehingga menyebabkan angin akan

bergerak dari Asia ke Australia. Angin tersebut dinamakan angin Monsoon Asia,

yang melewati Samudra Pasifik dan berpotensi menurunkan hujan di wilayah

Indonesia. Angin Monsoon Asia ini seharusnya melewati Indonesia, akan tetapi

jika El Nino terjadi angin Monsoon Asia tersebut akan berbelok ke Samudra

Pasifik bagian ekuator karena tekanan udara di daerah tersebut sedang turun. Hal

ini yang menyebabkan sirkulasi Monsoon melemah (Tongkukut, 2011).

Terdapat beberapa parameter yang mempengaruhi terjadinya El Nino, antara

lain:

a. Anomali Suhu Permukaan Laut

Ketika terjadi El Nino, suhu permukaan laut di Samudra Pasifik ekuator

bagian tengah dan timur memanas, yakni suhu berada di atas normal.

Sebaliknya, suhu permukaan laut di Samudra Pasifik ekuator bagian barat atau

di sekitar wilayah perairan Indonesia menjadi lebih dingin dari biasanya, yaitu

suhu berada di bawah normal. Keadaan inilah yang menjadi salah satu

parameter yang mengindikasikan terjadinya El Nino. Kondisi sebaliknya

mengindikasikan terjadinya La Nina.

Berdasarkan intensitasnya, El Nino menurut anomali suhu permukaan laut

dibagi menjadi tiga, yaitu:

− El Nino dikatakan lemah apabila penyimpangan suhu permukaan laut di

Pasifik ekuator mencapai +0,5°C sampai dengan +1.0°C selama minimal

3 bulan berturut-turut.

− El Nino dikatakan sedang apabila penyimpangan suhu permukaan laut di

Pasifik ekuator berkisar antara +1,0°C sampai dengan +1,5°C selama

minimal 3 bulan berturut-turut.

− El Nino dikatakan kuat apabila penyimpangan suhu permukaan laut di

Pasifik ekuator lebih dari +1,5°C selama minimal 3 bulan berturut-turut.

b. Indeks Osilasi Selatan/Southern Oscillation Index (SOI)

El Nino juga memiliki intensitas yang dikategorikan menurut besarnya

penyimpangan suhu muka air laut yang menyebabkan perubahan tekanan udara

13

di atas nilai rata-ratanya. Perubahan tekanan udara tersebut dapat dibaca dengan

Indeks Osilasi Selatan (South Oscillation Index/SOI). Biasanya nilai SOI yang

dipakai untuk kepentingan analisis klimatologi berskala bulanan, sebab nilai

SOI dengan skala harian atau mingguan dapat dipengaruhi oleh pola-pola cuaca

harian. SOI mengindikasikan adanya El Nino ataupun La Nina di Samudra

Pasifik dengan melihat perbedaan tekanan atmosfer antara Tahiti dan Darwin.

Darwin merupakan perwakilan dari wilayah Hindia – Australia, sedangkan

Tahiti mewakili wilayah Amerika Selatan. Ketika El Nino terjadi, tekanan

udara rata-rata di Darwin lebih tinggi daripada di Tahiti, ditunjukkan dengan

nilai SOI yang negatif, sedangkan nilai SOI positif mengindikasikan terjadinya

La Nina (Gambar 1.4). Intensitas El Nino dikatakan semakin kuat apabila nilai

SOI-nya semakin negatif. Hal tersebut dijelaskan oleh Salmawati (2010)

tentang tingkatan intensitas El Nino:

− El Nino dikatakan lemah, apabila nilai SOI -5 s/d 0 dan berlangsung

minimal 3 bulan berturut-turut.

− El Nino dikatakan sedang, apabila nilai SOI -10 s/d -5 dan berlangsung

minimal 3 bulan berturut-turut.

− El Nino dikatakan kuat, apabila nilai SOI lebih kecil dari -10 dan

berlangsung minimal 3 bulan berturut-turut.

c. Curah Hujan

Terjadinya El Nino membawa dampak kekeringan dan curah hujan

menurun dari normalnya di sejumlah wilayah di Indonesia. Wilayah Indonesia

yang terpengaruh dampak El Nino merupakan wilayah Indonesia bagian timur,

termasuk Pulau Bali. Hal ini dapat dilihat dari curah hujan yang biasanya

berkurang dari normalnya di wilayah-wilayah timur Indonesia ketika El Nino

berlangsung. Parameter yang paling berpengaruh untuk melihat dampak El

Nino di Indonesia adalah curah hujan.

14

Gambar 1.4 Grafik Nilai SOI Bulanan

Sumber: Australian Bureau of Meteorology (2014)

http://www.bom.gov.au/climate/current/soi2.shtml

1.5.6 Dampak Kekeringan

Kekeringan yang terjadi di wilayah timur Indonesia biasanya berkaitan

dengan peristiwa El Nino dimana nilai SOI menunjukkan negatif (Prabowo,

Mulyono, dan Nicholls, 2002). Kekeringan akibat berlangsungnya El Nino

memang telah menimbulkan dampak terhadap pertanian di Indonesia. Produksi

beras dan kedelai di Indonesia, sebagai contohnya, mengalami penurunan produksi

yang nyata pada beberapa tahun El Nino. Perlu diperhatikan bahwa dampak

kekeringan akibat El Nino terhadap pangan sebaiknya dihitung dengan

mempertimbangkan musim kemarau hingga akhir tahun (Boer, 1999).

Tanah juga mengalami dampak kekeringan. Kualitas tanah akan menurun

akibat kurangnya kandungan air dalam lengas tanah yang dapat menciptakan

kondisi tekstur yang buruk serta miskin hara. Hal ini harus menjadi perhatian

15

karena produksi tanaman, unsur hara tanah dan lainnya akan terancam (Turyanti,

1995). Kekeringan lahan akibat El Nino tersebut juga dapat memicu kebakaran.

1.5.7 Penanganan Dampak Kekeringan

Penanganan dampak kekeringan disini diasumsikan berasal dari El Nino,

sehingga sumber utama air adalah air hujan. Untuk menghadapi hal tersebut, maka

perlu diperhatikan sifat fisik tanah sebagai penyedia air tanaman, sifat anasir cuaca

terhadap tanah dan tanaman, serta watak tanaman untuk menghindari dari

pengaruh negatif cekaman kekeringan. Pemilihan tanaman yang mampu

beradaptasi terhadap cekaman kekeringan juga perlu dipertimbangkan, sehingga

tanaman mampu bertahan dalam kondisi tersebut.

1.6 Penelitian Sebelumnya

Fenomena El Nino merupakan anomali iklim yang memiliki pengaruh terhadap

iklim global, termasuk di Indonesia. El Nino dapat diidentifikasi dari nilai Southern

Oscillation Index (SOI) yang bernilai negatif. El Nino biasanya menimbulkan

dampak berkurangnya curah hujan yang turun dari rata-rata normalnya sehingga

berpotensi menimbulkan kekeringan. Kekeringan yang dimaksud disini merupakan

kekeringan meteorologis yang dapat diidentifikasi dari indikator utamanya, yakni

kuantitas curah hujan. Standardized Precipitation Index (SPI) merupakan metode

untuk mengetahui jumlah curah hujan yang berkurang dari normalnya dengan

mempertimbangkan skala waktu tertentu. Fenomena El Nino dan kekeringan

merupakan hal penting untuk diteliti mengingat kedua fenomena ini saling berkaitan

dan berpotensi terjadi di Indonesia. Beberapa penelitian terkait telah dilakukan

seperti yang disajikan pada Tabel 1.1.

Abd. Rahman As-syakur (2007) melakukan penelitian tentang hubungan

fluktuasi nilai SOI terhadap curah hujan bulanan. Daerah penelitian bertempat di

Kawasan Batukaru-Bedugul, Bali. Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan

sebagai acuan perencanaan pengelolaan kawasan apabila terjadi fenomena ENSO.

Data curah hujan dan nilai SOI dianalisis secara regresi, sehingga hubungannya

dapat dilihat melalui nilai koefisien determinasi (R2).

16

E. Surmaini dan E. Susanti (2008) mengambil topik penelitian tentang indikator

global dan pengaruhnya terhadap kejadian iklim ekstrim di Indonesia. Tujuan

penelitian tersebut adalah untuk mengetahui faktor apa yang paling berpengaruh

terhadap curah hujan di Indonesia, dampaknya terhadap pergeseran musim, serta

hubungannya dengan kejadian banjir dan kekeringan. Penelitian ini menggunakan

metode analisis regresi antara anomali curah hujan dengan indikator iklim global.

Penelitian ini juga menganalisis dampak El Nino terhadap kerusakan tanaman padi

karena kekeringan di Indonesia.

Andre Herdian (2012) meneliti tentang indeks kekeringan menggunakan

metode Thronthwaite Matter dengan analisis spasial di wilayah Garut, Jawa Barat.

Salah satu hasil penelitian ini berhasil menemukan korelasi antara El Nino dengan

indeks kekeringan yang besar pada tahun itu yang menghasilkan produksi padi

menurun di tahun yang sama.

Danu Triatmoko dkk (2012) melakukan penelitian menggunakan metode SPI

untuk mengidentifikasi kekeringan meteorologis di daerah Pantura, Jawa Barat.

Penelitian ini juga menemukan bahwa pada periode El Nino 1997/1998, 2002/2003,

dan 2006/2007, kekeringan meteorologis di Kabupaten Indramayu dan Subang

mencapai kategori sangat kering.

Penelitian yang akan dilakukan ini bertemakan tentang analisis hubungan El

Nino dengan kekeringan meteorologis menggunakan SPI. Lokasi penelitian

bertempat di Pulau Bali. Nilai SPI yang merepresentasikan kekeringan meteorologis

dibandingkan dengan nilai SOI ketika terjadi fenomena El Nino. Penelitian ini juga

akan menganalisis tentang dampak turunannya serta merumuskan upaya untuk

mengantisipasinya.

Berdasarkan penelitian terdahulu, belum ada penelitian serupa yang

menganalisis hubungan antara El Nino dengan kekeringan meteorologis berdasarkan

nilai SOI dan SPI di Pulau Bali. Abd. Rahman As-syakur (2007) meneliti tentang

hubungan fluktuasi nilai SOI dengan curah hujan bulanan, bukan nilai SPI.

Penelitian tersebut tidak dilakukan di seluruh Pulau Bali, namun hanya di suatu

kawasan tertentu di Bali. E. Surmaini dan E. Susanti (2008) melakukan analisis

regresi antara curah hujan dengan beberapa indikator iklim global di Indonesia.

17

Lingkup penelitian tersebut lebih luas, namun nilai SPI tidak termasuk dalam

analisis regresi. Penelitian tersebut berhasil menemukan korelasi positif antara

kejadian El Nino dengan tingkat kekeringan yang tinggi. Andre Herdian (2012)

menggunakan metode Thronthwaite Matter untuk mendapatkan indeks kekeringan

di Garut, Jawa Barat. Penelitian tersebut juga mengungkapkan produksi padi

menurun pada tahun El Nino yang berasosiasi dengan nilai indeks kekeringan yang

besar pada tahun yang sama. Danu Triatmoko dkk (2012) lebih meneliti tentang

periode kekeringan meteorologis menggunakan SPI di Pantura, Jawa Barat.

Berdasarkan nilai SPI tersebut kemudian dikaitkan dengan 3 periode waktu kejadian

El Nino. Penelitian ini tidak menggunakan metode analisis regresi untuk

menghubungkan antara nilai SPI dengan kejadian El Nino, karena kejadian El Nino

tidak dilihat berdasarkan nilai SOI-nya.

18

No. Nama Peneliti (Tahun) Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

1. Abd. Rahman As-syakur

(2007)

Identifikasi Hubungan

Fluktuasi Nilai SOI

terhadap Curah Hujan

Bulanan di Kawasan

Batukaru-Bedugul,

Bali

Mengetahui hubungan

antara fluktuasi nilai SOI

dengan besaran curah

hujan di kawasan

Batukaru-Bedugul,

sehingga bisa

dimanfaatkan sebagai

acuan perencanaan

pengelolaan kawasan saat

terjadinya fenomena El

Nino dan La Nina.

Metode pengumpulan data

curah hujan dan nilai SOI

serta dianalisis secara regresi

untuk melihat nilai koefisien

determinasi (R2)

1. Variabilitas hujan pada daerah

penelitian tidak berpengaruh pada

fluktuasi nilai SOI saat musim hujan

kecuali Munduk, sedangkan saat

musim kemarau sangat terlihat jelas

kecuali Gitgit.

2. Saat masa transisi, pengaruh nilai SOI

terhadap variabilitas hujan terlihat

berbeda-beda pada setiap pos hujan.

3. Keberadaan lokasi penelitian yang

berada pada daerah berpola hujan

monsun, adanya Siklus Walker,

keberadaan jalur ITCZ, serta posisi pos

hujan terhadap topografi berpengaruh

terhadap variabilitas hujan sehingga

menyebabkan perbedaan pengaruh

nilai SOI pada masing-masing musim.

Tabel 1.1 Perbandingan antara Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Akan Dilakukan

19

No. Nama Peneliti (Tahun) Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

2. E. Surmaini dan E. Susanti

(2008)

Indikator Iklim

Global dan

Pengaruhnya terhadap

Kejadian Iklim

Ekstrim di Indonesia

Menganalisis indikator

iklim global yang paling

berpengaruh terhadap

curah hujan di Indonesia,

dampaknya terhadap

pergeseran musim dan

hubungannya dengan

kejadian banjir dan

kekeringan

1. Analisis regresi curah

hujan dengan anomali

SST Nino 3.4, DMI,

SOI, interaksi ASST

dengan DMI, dan

interaksi SOI dengan

DMI.

2. Plot antara anomali

curah hujan dengan

indikator iklim global.

3. Analisis peluang awal

musim hujan dan lama

musim hujan

berdasarkan skenario

indikator iklim.

4. Analisis dampak

kejadian iklim ekstrim

terhadap kejadian banjir

dan kekeringan serta

luas kerusakan tanaman

padi pada lahan sawah di

Indonesia

1. Indikator iklim global yang paling

berpengaruh terhadap hujan di

Indonesia adalah suhu muka laut di

zone Nino 3.4, dan pengaruhnya hanya

signifikan pada musim transisi bulan

Agustus – Nopember, sehingga SST

bulan Mei – Juni dapat digunakan

untuk memprediksi hujan pada periode

musim transisi (Agustus – Nopember).

2. Hubungan SST dengan hujan

menunjukkan korelasi negatif.

3. Dampak El Nino terhadap kerusakan

pertanaman padi di Indonesia karena

kekeringan lebih luas dibandingkan

karena banjir.

3. Andre Herdian (2012) Analisis Spasial

Indeks Kekeringan

Thronthwaite Matter

di Wilayah Garut

Jawa Barat

Untuk mengetahui

karakterisasi kekeringan

di wilayah Garut.

Metode perhitungan neraca

air dihitung dengan

menggunakan Tabel Neraca

Air Thornthwaite Matter dari

data meteorologis dengan

melakukan perhitungan

empiris.

1. Berdasarkan rata-rata curah hujan

(tahun 2001 – 2010), kekeringan

meteorologis di sebagian besar wilayah

Kabupaten Garut terjadi pada periode

Mei hingga September. Sedangkan

untuk Garut Selatan bulan kering

terjadi pada bulan Juni hingga

September.

2. Pada tahun 2006 yang merupakan

tahun El Nino, produksi padi menurun

berkorelasi dengan nilai indeks

kekeringan yang besar pada tahun itu.

Lanjutan Tabel 1.1 Perbandingan Antara Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Akan Dilakukan

20

No. Nama Peneliti (Tahun) Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

4. Danu Triatmoko, Armi

Susandi, Musa Ali Mustofa,

Erwin E.S. Makmur (2012)

Using Standardized

Precipitation Index

Method for

Identification

Meteorological

Drought in Pantura

West Java Area

Mengidentifikasi tingkat

kekeringan meteorologis

dan melakukan pemetaan

daerah kekeringan

berdasarkan nilai SPI di

wilayah Pantura Jawa

Barat saat fenomena El

Nino terjadi di tahun

1997/1998, 2002/2003,

dan 2006/2007.

Menggunakan metode SPI

(Standardized Precipitation

Index) untuk memonitoring

tingkat kekeringan

meteorologis.

1. Berdasarkan historis curah hujan

(tahun 1981 – 2010), kekeringan

meteorologis di wilayah Kabupaten

Indramanyu dan Subang terjadi pada

periode Juli – Oktober. Sedangkan di

Kab. Karawang terjadi pada bulan Juni

– Nopember.

2. Berdasarkan spasial nilai SPI3 selama

periode El Nino (1997/1998),

(2002/2003), (2006/2007), Kabupaten

Indramayu dan Subang lebih sering

mengalami kekeringan meteorologis

kategori sangat kering.

5. Mira Anantha Yosilia

(2013)

Analisis Hubungan El

Nino Dengan

Kekeringan

Meteorologis

Menggunakan SPI

(Standardized

Precipitation Index)

Di Pulau Bali

Untuk menganalisis

korelasi antara El Nino

dengan kekeringan

meteorologis dan

dibandingkan dengan

dampak turunannya serta

merumuskan usaha untuk

mengantisipasinya.

Berhubungan dengan metode

pengumpulan data curah

hujan yang dianalisis secara

kuantitatif deskriptif dengan

hasil olahan dari software SPI

untuk mengidentifikasi

kekeringan meteorologis dan

dikaitkan dengan nilai SOI-

nya dengan analisis regresi

Sumber: Syakur (2007), Surmaini dan Susanti (2008), Herdian (2012), Triatmoko dkk (2012)

Lanjutan Tabel 1.1 Perbandingan Antara Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Akan Dilakukan

21

1.7 Kerangka Pemikiran

Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang penting dalam siklus

hidrologi. Curah hujan adalah komponen masukan atau input utama, yang mana air

hujan yang jatuh di permukaan tanah meresap ke dalam tanah maupun yang jatuh di

perairan dapat dimanfaatkan oleh manusia. Hal ini secara otomatis membuat

karakteristik hujan, seperti intensitas dan besarnya curah hujan.

Anomali iklim global dapat mempengaruhi indikator iklim lain, salah satunya

adalah curah hujan. Contoh anomali iklim global adalah El Nino. El Nino merupakan

istilah dari peningkatan suhu permukaan laut di atas normal di sekitar Samudra

Pasifik bagian tengah dan timur sepanjang garis khatulistiwa. Peningkatan suhu

permukaan laut ini menyebabkan tekanan udara di atasnya rendah. Sementara itu di

sisi lain, perairan Indonesia mendingin sehingga tekanan udara di atas perairan

Indonesia tinggi. Massa udara di Indonesia pun bergerak ke daerah yang bertekanan

lebih rendah, yakni Samudra Pasifik bagian timur dan tengah sekitar ekuator. Hal ini

menyebabkan pengurangan pembentukan awan yang dapat menginisiasi terjadinya

hujan, akibatnya hujan yang turun di wilayah Indonesia berkurang pula.

Fenomena El Nino dapat diidentifikasi dari nilai SOI (Southern Oscillation

Index) yang negatif. Pengaruh El Nino terhadap curah hujan ialah terjadinya

penurunan curah hujan dari kondisi normalnya di daerah tertentu. Hal ini dapat

ditinjau dengan menggunakan software SPI (Standardized Precipitation Index) yang

mengacu pada asumsi kekeringan meteorologis. Curah hujan bulanan diolah dengan

metode SPI yang kemudian menghasilkan indeks presipitasi yang terstandarisasi.

Nilai indeks tersebut dihubungkan dengan nilai SOI menggunakan metode analisis

regresi, sehingga dapat diketahui hubungan antara El Nino dengan kekeringan

meteorologis.

Kekeringan biasanya diawali dengan kekeringan meteorologis yang mengakar.

Kekeringan meteorologis ini dilihat dari penurunan jumlah curah hujan dari

normalnya sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan air karena kurangnya

22

ketersediaan air. Penurunan curah hujan dapat menyebabkan kekeringan yang bersifat

sementara, bahkan berkepanjangan apabila curah hujan berkurang dalam periode

waktu yang lama. Kekeringan meteorologis ini dapat menjadi acuan untuk peringatan

dini akan kekeringan lainnya, seperti kekeringan pertanian ataupun kekeringan

hidrologis, serta dampak turunannya yang mungkin dapat terjadi. Dampak turunan

yang ditimbulkan dapat bermacam-macam. Penting dilakukan perumusan upaya

antisipasinya yang dapat diadaptasikan apabila terjadi kekeringan. Kerangka

pemikiran ini disajikan pada Gambar 1.5.

Gambar 1.5 Diagram Kerangka Teori

Curah Hujan

El Nino SOI Negatif Standardized Precipitation Index (SPI)

Penurunan Curah Hujan

Kekeringan

Dampak Turunan

Respon/Antisipasi

Adaptasi