31
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sejak awal bermulanya sejarah, manusia menggunakan bahasa untuk menyalurkan apa yang mereka rasakan dan pikirkan atau untuk mengungkapkan keinginan mereka terhadap sesuatu. Hal ini didasari oleh kebutuhan manusia dalam mencari dan menemukan kesempurnaannya yang hanya akan tercapai ketika mereka saling berkomunikasi satu sama lain baik secara verbal maupun non-verbal. Dalam konteks ini, kita dapat memahami bahwa bahasa merupakan instrumen dalam komunikasi. Bahasa, dalam konteks kekinian, tak lagi semata-mata dipandang sebagai alat komunikasi. Lebih dari itu, bahasa dalam masyarakat moderen dapat dipahami sebagai piranti canggih yang dapat digunakan oleh kelompok-kelompok sosial tertentu untuk menyebarkan dan mempertarungkan ideologinya masing- masing. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Fairclough (1989: 2) bahwa penggunaan kekuasaan, pada masyarakat moderen, merupakan pencapaian yang meningkat melalui ideologi, dan lebih khususnya lagi melalui ideologi bahasa. Selain sebagai sarana penyebaran ideologi, bahasa juga dapat dipandang sebagai representasi sikap dan aksi sosial seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Dalam konteks ini, bahasa digunakan untuk menghasilkan tujuan 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sejak awal bermulanya sejarah, manusia menggunakan bahasa untuk

menyalurkan apa yang mereka rasakan dan pikirkan atau untuk mengungkapkan

keinginan mereka terhadap sesuatu. Hal ini didasari oleh kebutuhan manusia

dalam mencari dan menemukan kesempurnaannya yang hanya akan tercapai

ketika mereka saling berkomunikasi satu sama lain baik secara verbal maupun

non-verbal. Dalam konteks ini, kita dapat memahami bahwa bahasa merupakan

instrumen dalam komunikasi.

Bahasa, dalam konteks kekinian, tak lagi semata-mata dipandang sebagai

alat komunikasi. Lebih dari itu, bahasa dalam masyarakat moderen dapat

dipahami sebagai piranti canggih yang dapat digunakan oleh kelompok-kelompok

sosial tertentu untuk menyebarkan dan mempertarungkan ideologinya masing-

masing. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Fairclough (1989: 2)

bahwa penggunaan kekuasaan, pada masyarakat moderen, merupakan pencapaian

yang meningkat melalui ideologi, dan lebih khususnya lagi melalui ideologi

bahasa.

Selain sebagai sarana penyebaran ideologi, bahasa juga dapat dipandang

sebagai representasi sikap dan aksi sosial seseorang dalam berinteraksi dengan

orang lain. Dalam konteks ini, bahasa digunakan untuk menghasilkan tujuan

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

2

tertentu, atau dengan kata lain, bahasa digunakan untuk menghasilkan wacana

tertentu.

Dalam mengkaji wacana, banyak teori linguistik yang dapat digunakan.

Salah satu di antaranya adalah analisis wacana kritis yang mampu menjelaskan

lebih jauh tentang berbagai praktik sosial yang melatarbelakangi lahirnya sebuah

wacana. Berpijak pada pernyataan Cook (1992:1), dalam analisis wacana kritis

tidak cukup hanya menganalisis unsur kebahasaan saja, akan tetapi juga

memperhitungkan konteks yang membangun wacana tersebut. Oleh sebab itu,

analisis wacana kritis, sebagaimana dijelaskan oleh Fairclough (1995:135), pada

hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana tersebut secara integral yang

tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, mulai dari dimensi tekstual,

praktik wacana, hingga dimensi praktik sosiokultural.

Penggunaan bahasa untuk menghasilkan wacana tertentu dewasa ini telah

banyak dipraktikkan dalam berbagai bentuk komunikasi verbal. Salah satu yang

cukup populer dan menarik untuk diteliti dalam kerangka analisis wacana kritis

adalah wacana pidato. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Crystal (1985: 327),

pidato merupakan pengungkapan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan

kepada orang banyak atau dapat juga diartikan sebagai wacana yang disiapkan

untuk diucapkan di depan khayalak. Lebih lanjut, pidato terbagi atas tiga jenis,

yaitu pidato biasa seperti percakapan sehari-hari, pidato ritual seperti yang sering

dibawakan dalam upacara adat atau keagamaan, serta pidato politik. Jenis pidato

terakhir inilah yang paling sering dijadikan sebagai sarana dalam

merepresentasikan sikap dan aksi sosial seorang pewacana. Itulah sebabnya,

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

3

bahasa dalam kaitannya dengan politik, khususnya bahasa yang digunakan dalam

pidato, tidak pernah berada dalam posisi netral. Selalu ada kepentingan yang

menjadi ancaman serius serta faktor penentu ketidaknetralan tersebut.

Salah satu contoh riil dari pengunaan bahasa dalam konteks politik adalah

pidato yang disampaikan oleh Presiden Iran, Hasan Rouhani, di hadapan Majelis

Umum PBB pada tanggal 24 September 2013. Pidato ini menjadi penting untuk

dikaji karena dua alasan penting. Pertama, pidato ini merupakan pidato

internasional Rouhani sebagai presiden baru yang menggantikan presiden

sebelumnya, Mahmoud Ahmadinejad. Sehingga, seluruh dunia menantikan pidato

ini untuk mengetahui bagaimana Rouhani memposisikan Iran terhadap isu-isu

sensitif dunia saat ini, apakah tetap sama dengan pendahulunya ataukah

menjadikan Iran lebih moderat. Kedua, pidato ini merupakan respon Iran terhadap

penolakan negara-negara sekutu, terutama Israel, terhadap program nuklir Iran

yang sedang dikembangkan, dan isu-isu lain seperti kekerasan dan krisis yang

melanda Suriah dan negara-negara Timur Tengah lainnya.

Secara umum, pidato ini memuat usaha Rouhani untuk membantah semua

tudingan miring baik oleh Israel yang menyebut Iran sebagai ancaman dunia

dengan nuklirnya, maupun oleh Amerika Serikat yang menyebut Iran telah

menjadi sumber utama ketidakstabilan dunia dalam tempo yang terlalu lama.

Dalam bantahannya itu, Rouhani berusaha merepresentasikan program nuklir Iran

sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini

tampak dalam penggunaan verba material represent berikut.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

4

S.8 The recent elections in Iran represent a clear, living example of the wise

choice of hope, rationality and moderation by the great people of Iran.

The realization of democracy consistent with religion and the peaceful

transfer of executive power manifested that Iran is the anchor of stability

in an otherwise ocean of regional instabilities.

Pemilihan Umum di Iran baru-baru ini merepresentasikan sebuah contoh

yang jelas dan nyata tentang pilihan yang bijaksana akan harapan,

rasionalitas dan moderasi oleh rakyat Iran. Realisasi demokrasi yang

konsisten terhadap agama dan peralihan kekuasaan eksekutif yang damai

menunjukan bahwa Iran merupakan jangkar stabilitas bagi negara di

sekitar yang berada dalam ketidakstabilan regional.

S.28 Propagandistic and unfounded faithphobic, Islamo-phobic, Shia-phobic,

and Iran-phobic discourses do indeed represent serious threats against

world peace and human security.

Wacana fobia agama, fobia Islam, fobia Syiah, dan fobia Iran yang

propagandistik dan tidak berdasar jelas merupakan ancaman serius

terhadap perdamaian dunia dan keamanan manusia.

Dari petikan pidato di atas, tampak adanya proses pembentukan nilai

kebenaran oleh Rouhani terhadap opininya. Pertama, dia memaparkan proses

pergantian kekuasaan di Iran yang damai dan demokratis (S.8). Penggunaan verba

material represent pada kalimat ini menunjukkan kesan Iran sebagai pihak yang

aktif dalam proses itu. Kedua, dia menyebutkan bahwa keteguhan rakyat Iran

dalam menjaga kedamaian dan nilai demokrasi merupakan faktor utama yang

menciptakan situasi yang kondusif di Iran (S.28). Melalui verba material

represent, dia menunjukkan bahwa sebenarnya wacana dan pewacana fobia

terhadap Iranlah yang menjadi ancaman serius terhadap perdamaian dunia. Kedua

premis ini kemudian diikuti oleh sebuah simpulan bahwa Iran berada dalam

stabilitas yang terjaga, sehingga semua tudingan yang mendiskreditkan kestabilan

Iran menjadi gugur dengan sendirinya.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

5

Penggunaan modalitas sebagai petunjuk akan sikap Rouhani terhadap isu

yang mengikuti pidatonya juga tampak menonjol dalam pidato ini. Hal ini

ditujukan dalam petikan pidato berikut.

S.50-S.52 Here, I should also say a word about the criminal assassination of

Iranian nuclear scientists. For what crimes have they been

assassinated? The United Nations and the Security Council should

answer the question: have the perpetrators been condemned?

Di sini, saya juga harus mengucapkan beberapa kata tentang

pembunuhan terhadap ilmuwan-ilmuwan nuklir Iran. Atas kejahatan

apa mereka dibunuh? PBB dan Dewan Keamanan PBB harus

menjawab pertanyaan ini: apakah para pelakunya telah dihukum?

S.64 We need to promote and reinforce tolerance in light of the

religious teachings and appropriate cultural and political approaches.

Kita perlu mempromosikan dan memperteguh toleransi dengan

panduan pengajaran agama, pendekatan budaya dan politik yang sesuai

dengan jelas.

Berdasarkan petikan pidato di atas, Rouhani menggunakan modalitas dasar

pada data S.50 dan S.52. Dia menggunakan modalitas „should‟ (harus) dua kali

dalam kritiknya. Dia menyatakan bahwa ada pertanyaan besar yang harus dijawab

oleh PBB beserta Dewan Keamanannya. Keharusan inilah yang kemudian

menyebabkan lahirnya keharusan lain, yaitu untuk mempertanyakan itu. Begitu

pula pada data S.52 di mana Rouhani menghubungkan „we’ (para pemimpin

dunia) dengan pentingnya toleransi dengan menggunakan verba intensional

„need’.

Selain itu, Rouhani juga piawai dalam merepresentasikan aktor-aktor

sosial atau partisipan yang terlibat dalam isu yang termuat dalam pidatonya. Hal

ini dapat disaksikan dalam petikan pidato berikut.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

6

S.38 What has been – and continues to be – practiced against the innocent

people of Palestine is nothing less than structural violence.

Apa yang telah dan akan terus dilakukan terhadap orang-orang tak

bersalah di Palestina adalah kekerasan struktural .

S.33 Iran poses absolutely no threat to the world or the region.

Iran sama sekali bukanlah ancaman terhadap dunia atau wilayah di

sekitarnya.

Pada petikan S.38, Rouhani menggunakan kalimat dalam bentuk pasif

yang menyebabkan hilangnya pelaku atau agen aksi sosial. Hal ini ditujukan

untuk dua hal. Pertama, dia menghindari penyebutan secara langsung terhadap

aktor yang bertanggung jawab dalam membahas isu-isu sensitif. Hal ini karena dia

berusaha untuk menghindari ketegangan dengan negara-negara lain terutama

negara-negara adikuasa. Kedua, penggunaan kalimat bentuk pasif menyebabkan

pergeseran fokus khalayak dari „siapa melakukan apa‟ ke „apa yang telah terjadi

kepada korban‟. Hal ini bertujuan untuk menghadirkan simpati khalayak terhadap

apa yang menimpa rakyat Palestina.

Sebaliknya, pada data S.33 Rouhani menggunakan strategi spasialisasi

untuk menghadirkan inklusifitas pelaku. Kata Iran pada data tersebut mewakili

pemerintah Iran dalam hal ini HR sendiri yang bertanggung jawab terhadap

pengayaan nuklir Iran. Hal ini tentu saja memberi keuntungan kepada Rouhani

karena jenis impersonalisasi ini menghadirkan kesan positif terhadap dirinya

sebagai pemimpin Iran yang dapat menjaga program nuklirnya untuk tetap

berpegang pada asas perdamaian sehingga tidak menjadi ancaman terhadap dunia.

Semua uraian ini, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya,

bermuara pada sebuah kenyataan tentang pentingnya kajian bahasa yang berkaitan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

7

dengan praktik-praktik sosial melalui bahasa yang sayangnya masih jarang

dilakukan. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan sebuah penelitian

tentang representasi tekstual praktik-praktik sosial dalam pidato Hasan Rouhani

melalui sebuah kajian analisis wacana kritis, untuk mengungkap bagaimana dia

merepresentasikan aksi-aksi dan aktor-aktor sosial serta sikapnya terhadap

terhadap isu-isu yang termuat dalam pidatonya secara tekstual.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, ada

beberapa permasalahan yang dapat dijawab melalui penelitian ini, yang dapat

dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah representasi tekstual sikap Hasan Rouhani terhadap isu-isu

yang termuat dalam pidatonya?

2. Bagaimanakah strategi Hasan Rouhani dalam merepresentasikan aksi-aksi

sosial secara tekstual dalam pidatonya?

3. Bagaimanakah strategi Hasan Rouhani dalam merepresentasikan aktor-

aktor sosial yang menjadi partisipan aksi-aksi sosial secara tekstual dalam

pidatonya?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Sesuai rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, ada tiga hal

yang menjadi tujuan diadakannya penelitian ini sebagaimana yang dijelaskan

sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan representasi tekstual sikap Hasan Rouhani terhadap isu-

isu yang termuat dalam pidatonya.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

8

2. Mendeskripsikan strategi Hasan Rouhani dalam merepresentasikan aksi-

aksi sosial secara tekstual dalam pidatonya.

3. Mendeskripsikan strategi Hasan Rouhani dalam merepresentasikan aktor-

aktor sosial yang menjadi partisipan aksi-aksi sosial secara tekstual dalam

pidatonya

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai oleh penulis melalui penelitian

ini baik pada tataran teoretis maupun pada tataran praktis, sebagaimana yang

dipaparkan sebagai berikut.

1. Manfaat Teoretis

Dimensi lain yang ditawarkan oleh penelitian ini diharapkan dapat

memberi sudut pandang baru dalam kajian analisis wacana kritis. Selain itu,

penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pelengkap atas kekurangan

penelitian-penelitian terdahulu dan memberi sumbangsih terhadap penelitian-

penelitian lanjutan yang menggunakan analisis wacana kritis sebagai pisau bedah

analisisnya.

2. Manfaat Praktis

Pada tataran praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam

usaha menyadarkan publik untuk lebih kritis terhadap wacana yang disajikan oleh

para praktisi politik dengan tidak langsung menerima begitu saja sajian wacana

tersebut, namun terlebih dahulu menggali informasi yang lebih dalam. Dalam

kaitannya dengan representasi praktik-praktik sosial, penelitian ini diharapkan

mampu memberikan informasi yang cukup bagi masyarakat tentang bagaimana

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

9

seorang orator mengonstruksi aksi-aksi dan aktor-aktor sosial serta sikapnya

terhadap isu-isu yang termuat dalam pidatonya.

1.5 TINJAUAN PUSTAKA

Dalam dunia linguistik, penelitian tentang analisis wacana kritis telah

banyak dilakukan dan diikuti. Beberapa di antaranya adalah sumarti (2010) yang

membahas tentang analisis wacana kritis strategi politik penggunaan bahasa

dalam pidato Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Penelitian yang fokus pada

perilau kebahasaan SBY yang tertuang dalam pidatonya ketika menjabat sebagai

presiden ini pada dasarnya berorientasi pada pendekatan verbal bukan pendekatan

behavioral. Sehingga, yang menjadi titik perhatian dalam kajiannya hanyalah

ungkapan-ungkapan verbal dalam komunikasi kebahasaan dalam wacana pidato

saja. Analisis yang dilakukan terhadap wacana ini dipaparkan ke dalam tiga segi

pembahasan yaitu (1) segi pemakaian kata, (2) pemakaian kalimat, dan (3)

pemakaian gaya bahasa. Dari segi pemakaian kata, perilaku kebahasaan SBY

yang tampak dalam wacana pidatonya adalah (a) pemakaian kata persona untuk

menunjukan posisinya dalam wacana pidato yang dibangunnya, (b) pemakaian

kata yang bernuansa „keterbukaan‟ yang diarahkan pada sikap dan tindakan SBY

yang dianggap bisa mendukung proses reformasi dan pemerintahannya, dan (c)

pemakaian kata yang bernuansa „reformasi‟ yang diarahkan pada sikap dan

tindakan SBY berkaitan dengan tuntutan reformasi yang sesuai dengan aspirasi

rakyat. Sementara itu, dari segi pemakaian kalimat, perilaku kebahasaan SBY

yang tampak dalam wacana pidatonya adalah (a) pemakaian kalimat ajakan ketika

bermaksud ingin melibatkan rakyat dalam segala bentuknya, (b) pemakaian

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

10

kalimat seruan yang ditujukan agar rakyat melakukan apa yang diserukannya, (c)

pemakaian kalimat harapan yang ditujukan agar rakyat dapat bersikap sesuai

dengan yang diinginkannya, (d) pemakaian kalimat janji yang ditujukan untuk

memberikan harapan kepada rakyat atas kebijakan yang akan ditempuh, dan (e)

pemakaian kalimat pernyataan yang ditujukan untuk menunjukan sikap atas isu

yang berkembang atau masalah yang dihadapi. Lebih jauh, dari segi pemakaian

gaya bahasa, perilaku kebahasaan SBY yang tampak dalam wacana pidatonya

adalah (a) pemakaian eufimisme untuk menghaluskan makna dalam wacana

politiknya, (b) pemakaian pleonasme untuk menonjolkan bagian tertentu pada

wacana pidatonya, (c) pemakaian hiperbola untuk menonjolkan bagian tertentu

dari wacananya yang memiliki nuansa lebih, (d) pemakaian paralelisme untuk

memberikan klasifikasi atau detil suatu gagasan yang diungkapkannya, dan (e)

pemakaian repetisi untuk menekankan pentingnya bagian yang terkena repetisi

dari wacana pidatonya.

Penelitian mengenai analisis wacana kritis dalam pidato juga pernah

dilakukan oleh Jupriono (2010) yang membahas tentang analisis wacana kritis

latar historis pidato kenegaraan SBY. Penelitian ini focus terhadap latar wacana

pada pidato kenegaraan SBY selama 2004-2010 dengan sudut pandang analisis

wacana kritis model Van Dijk. Hasil penelitian ini disajikan dalam tiga tahapan

yaitu (1) mendeskripsikan wacana pidato SBY sebagai sebuah fakta historis yang

hadir secara eksplisit, (2) mengeksplorasi interpretasi secara kritis atas motif

terselubung di balik fakta berdasarkan konteks situasi yang relevan, dan (3)

menyusun makna integral latar berdasarkan deskripsi fakta ekplisit dan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

11

interpretasi kritis maksud implicit latar tersebut. Tahapan ini kemudian diterapkan

pada tiap pidato kenegaraan SBY setiap tahunnya dari rentang 2004 hingga 2010

untuk menemukan makna tekstual latar historisnya baik yang eksplisit maupun

implisit. Adapun makna eksplisit dari hasil analisis tekstual latar historisnya

adalah (tahun 2004) modernisasi politik dan regenerasi politik di Indonesia telah

terwujud, (tahun 2005) tugas SBY sangat berat yang disebabkan oleh kegagalan

presiden-presiden terdahulu, (tahun 2006) SBY menghormati jasa pahlawan-

pahlawan dan presiden-presiden terdahulu, (tahun 2007) SBY adalah pemimpin

yang optimis, (tahun 2008) perekonomian Indonesia tetap stabil di tengah krisis

global, (tahun 2009) SBY berharap bahwa meski parpol beragam namun

pemerintahan tetap berjalan efektif, dan (tahun 2010) sepuluh tahun reformasi

Indonesia telah melakukan transisi demokrasi dalam kehidupan politik, ekonomi,

sosial, dan hukum. Sementara itu, makna implicit dari hasil analisis tekstual latar

historisnya adalah (tahun 2004) SBY memberikan kontribusinya dalam

memajukan kehidupan politik Indonesia karena sukses politik Indonesia terjadi

saat dan berkat kepemimpinannya, (tahun 2005) SBY jangan dikritik karena

masalah yang terjadi karena „warisan‟ dari presiden sebelumnya, (tahun 2006)

kesadaran historis SBY lebih tinggi sehingga penghormatannya terhadap para

pahlawan lebih tulus, (tahun 2007) SBY mengharapkan simpati rakyat Indonesia

yang Sukarnois, (tahun 2008) SBY mampu menstabilkan ekonomi yang tidak bisa

dilakukan oleh ketiga presiden sebelumnya, (tahun 2009) SBY menkonstruksi

citradirinya sebagai orang yang rendah hati sebagai pemenang pilpres, dan (tahun

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

12

2010) dinamika politik, ekonomi, dan hukum yang makin demokratis adalah

berkat jasa SBY.

Sementara itu, penelitian yang menggunakan analisis wacana kritis model

Fairclough pada pidato politik pernah dilakukan oleh Heryadi (2010) yang

membahas tentang analisis wacana pidato politik SBY sebagai calon presiden

Republik Indonesia periode 2009-2014. Analisis tiga dimensi ala Fairclough yang

dilakukan secara mikro, meso, dan makro menunjukkan bahwa representasi teks

pidato yang diproduksi oleh SBY dalam rangka pendeklarasian dirinya menjadi

Capres 2009- 2014 telah memanfaatkan fitur-fitur linguistik seperti (1) struktur

teks, (2) ketransitifan, (3) modalitas, (4) aspek, (5) konjungsi, (6) pronominal, (7)

leksikalisasi, (8) kata kunci bidang keagamaan, (9) kata kunci bidang politik, (10)

kata kunci superlative, (11) intertekstualitas, dan (12) interdiskursifitas. Hal ini

bertujuan untuk melancarkan suatu proses sosial yaitu “pengekalan kuasa”.

Proses sosial ini diwujudkan dalam beberapa praktik sosial yaitu (a) Pembentukan

citra positif sosok SBY, (b) Pembentukan opini keberhasilan kepemimpinan SBY

sebelumnya, dan (c) Pembentukan opini pentingnya melanjutkan kepemimpinan

SBY. Struktur-struktur sosial dari keseluruhan proses sosial ini saling terhubung

secara dilektikal dan integral. Hal ditunjukan oleh praktik sosial yang dilakukan

oleh SBY melalui pidato politiknya yang tidak terlepas dari latar belakang sosial,

politik, dan nilai-nilai budaya yang dipegang oleh SBY sebagai orang Indonesia.

Selanjutnya, analisis wacana kritis dalam kaitannya dengan representasi

praktik-praktik sosial pernah dilakukan oleh Amalia (2010) yang membahas

tentang representasi hubungan Amerika Serikat dengan Islam dalam pidato

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

13

presiden Barack Obama di Kairo. Hasil analisis yang menggunakan teori vanDick

ini menunjukkan bahwa dalam merepresentasikan hubungannya dengan Islam,

Barack Obama menggunakan fitur-fitur linguistik seperti bentuk kalimat aktif-

pasif dan pilihan kata tertentu untuk menunjukkan netralitasnya terhadap beberapa

kasus kekerasan di Timur Tengah sekaligus untuk menimbulkan citra positif

Islam. Hal ini ditujukan untuk menggalang simpati dari negara-negara Islam

dalam upaya Barack Obama dalam menjalankan politik bersahabat di Timur

Tengah.

Keseluruhan penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya bermuara pada

sebuah kesimpulan dasar bahwa penelitian dengan analisis wacana kritis untuk

mengungkap tiga dimensi praktik sosial dalam sebuah wacana belum pernah

dilakukan sebelumnya. Oleh sebab itu, adanya penelitian ini diharapkan mampu

memberikan paradigma baru dalam pendekatan analisis wacana kritis sehingga

dapat menjadi sumbangan positif yang cukup signifikan bagi dunia linguistik.

1.6 LANDASAN TEORI

1.6.1 Wacana

Wacana, menurut Johnstone (2008: 2), merupakan bentuk komunikasi

secara nyata dengan bahasa sebagai medianya. Jika Johnstone memandang

wacana sebagai bentuk komunikasi, maka lain halnya dengan Widdowson (2004:

3) yang menjelaskan bahwa jika analisis wacana diartikan sebagai studi pola

bahasa di atas kalimat, maka wacana adalah kalimat tertulis dalam jumlah yang

besar: secara kuantitatif berbeda namun secara kualitatif merupakan fenomena

yang sama. Dalam konteks ini, Widdowson memperlakukan wacana dan kalimat

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

14

sebagai objek kajian bahasa yang sama, karena tidak ada perbedaan konseptual di

antara keduanya.

Definisi yang lebih luas tentang wacana hadir melalui Gee dan Fairclough.

Gee (2005:21) menjelaskan wacana sebagai cara mengombinasikan dan

mengintegrasikan bahasa, tindakan, interaksi, cara berpikir, mempercayai,

menilai, dan menggunakan berbagai symbol, alat, dan objek untuk memerankan

sebuah identitas sosial yang dapat dikenali. Pada titik ini, Gee memandang

wacana sebagai cara memanfaatkan bahasa sebagai penanda identitas sosial

tertentu. Sementara itu, Fairclough (1992: 64) mendefinisikan wacana sebagai

sebuah praktik yang tidak hanya merepresentasikan dunia, tetapi juga

menunjukkan, menegakkan dan membangun dunia di dalam makna.

1.6.2 Analisis Wacana Kritis

Sebagaimana dinyatakan oleh Brown dan Yule (1983:1), dijelaskan bahwa

analisis wacana berarti melakukan analisis terhadap bahasa yang digunakan.

Senada dengan ini, van Dijk (1988:24) memaparkan bahwa analisis wacana

merupakan proses analisis terhadap bahasa dan penggunaan bahasa dengan tujuan

memperoleh deskripsi yang lebik eksplisit dan sistematis mengenai apa yang

disampaikan. Lebih jauh, Cook (1992:1) menyebutkan bahwa dalam analisis

wacana tidak cukup hanya menganalisis unsur kebahasaan saja, akan tetapi juga

memperhitungkan konteks yang membangun wacana tersebut.

Kehadiran konteks dalam kaitannya dengan wacana tidak begitu

memuaskan bagi beberapa linguis. Fairclough dan Wodak (1997: 258) misalnya

yang meyakini bahwa wacana tidak serta merta hadir begitu saja, melainkan hadir

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

15

dengan tujuan tertentu yang ingin disampaikan pada khalayak penikmatnya. Oleh

sebab itu diperlukan sebuah pendekatan lain yang memandang wacana dari sudut

pandang kritis yang dalam analisisnya tidak hanya bergantung pada konteks yang

melingkupinya, tetapi lebih dari itu memuat struktur dan praktik sosial yang

melatarbelakangi lahirnya wacana tersebut.

Di sini, muncullah pendekatan analisis wacana kritis (AWK). Analisis

Wacana dengan pendekatan kritis ini memandang wacana atau penggunaan

bahasa secara lisan maupun tulisan sebagai bentuk praktik sosial yang

mengimplikasikan hubungan dialektikal antara peristiwa diskursif tertentu dengan

situasi, institusi, dan struktur sosial yang membingkainya. Hal ini memungkinkan

wacana untuk memuat isu-isu penting tentang kekuasaan yang dapat membantu

memproduksi dan mereproduksi relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara,

misalnya, kelas-kelas sosial, pria dan wanita, dan antara etnik atau budaya yang

mayoritas dan minoritas melalui caranya dalam merepresentasikan sesuatu

(Fairclough dan Wodak, 1997: 258).

Salah satu tujuan dari analisis wacana kritis menurut Weiss dan Wodak

(2003: 14) adalah untuk menghilangkan kebingungan atas wacana dengan

menafsirkan ideologi-ideologi yang termuat didalamnya. Dalam analisis wacana

kritis, daya suatu bahasa tidak datang dengan sendirinya, tapi melalui orang yang

menggunakan bahasa tersebut. Itulah sebabnya, analisis wacana kritis selalu

memilih untuk menggunakan sudut pandang pihak inferior dan begitu berapi-api

dalam mengkritisi penggunaan bahasa pihak superior dalam analisisnya.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

16

1. Karateristik Analisis Wacana Kritis

Eriyanto (2001: 8) menjelaskan adanya karateristik-karakteristik penting

dari analisis wacana kritis. Karateristik tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.

a. Tindakan

Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dalam hal ini,

bahasa digunakan untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Sebagai

konsekuensi logisnya, pengertian ini memberi kita dua cara dalam memandang

wacana. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah

untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi, dan

sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara

sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar

kesadaran.

b. Konteks

Bagian penting lain dari analisis wacana kritis adalah konteks yang

mencakup latar, situasi, peristiwa, dan kondisi yang melingkupi wacana. Dalam

hal ini, pemahaman yang muncul adalah bahwa wacana dianggap diproduksi,

dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Konteks menyertakan

semua unsur eksternal bahasa yang mempengaruhi pemakaiannya, seperti

partisipan yang terlibat, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi

pemakaian bahasa yang dimaksudkan, dan sebagainya. Di sini, titik yang menjadi

perhatian dari analisis wacana adalah penggambarkan teks dan konteks secara

bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

17

c. Historis

Salah satu aspek penting untuk bisa memahami teks adalah dengan

menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Hal ini dapat dilakukan

dengan, misalnya, menjelaskan situasi sosial atau kondisi politik ketika wacana itu

diciptakan, latar belakang dari isu-isu yang termuat dalam wacana, dan

sebagainya.

d. Kekuasaan

Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam

analisisnya. Di sini, setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan,

atau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral

tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah

satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat.

e. Ideologi

Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat

kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik

ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya mengatakan

bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk

mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya

adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima

secara taken for granted. Wacana dalam pendekatan semacam ini dipandang

sebagai medium melalui mana kelompok yang dominan mempersuasi dan

mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang

mereka miliki, sehingga tampak sah dan benar.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

18

2. Beberapa Pendekatan Dalam Analisis Wacana Kritis

Merton (dalam Wodak dan Meyer, 2001: 19) mengajukan tujuh tingkatan

teori analisis wacana kritis yang dapat dipaparkan sebagai berikut.

a. Teori epistemologi, adalah seperangkat teori yang menyediakan syarat,

kemungkinan, dan batas persepsi manusia pada umumnya, dan persepsi ilmiah

pada khususnya.

b. Teori sosial umum, sering disebut „teori utama‟, mencoba mengonseptualisasi

hubungan antara struktur sosial dan aksi sosial sehingga menghubungkan

fenomena mikro dan makrososiologis. Dalam tingkatan ini, dapat dibedakan

antara pendekatan strukturalis yang berupa penjelasan top-down (struktur-

aksi) dengan pendekatan individualis yang berupa penjelasan bottom-up (aksi-

struktur).

c. Teori tingkat menengah, memusatkan perhatiannya baik terhadap fenomena

spesifik, seperti konflik, kognisi, dan jaringan sosial, maupun terhadap

subsistem masyarakat yang spesifik, seperti ekonomi, politik, dan agama.

Norman Fairclough berada pada tingkatan teori ini. Dia memusatkan

perhatiannya pada konflik sosial dan mencoba mendeteksi manifestasi

linguistiknyadalam wacana, khususnya unsur dominasi, perbedaan, dan

perlawanan.

d. Teori mikro-sosiologis yang mencoba menjelaskan interaksi sosial, seperti

resolusi masalah dengan dua kemungkinan, atau rekonstruksi prosedur harian

yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk menciptakan susunan sosial

mereka sendiri, yang merupakan tujuan dari ethnometodology. Ron Scollon

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

19

merupakan tokoh yang berada di bidang ini. dia menyebut pendekatannya

sebagai analisis wacana termediasi (Mediated Discourse Analisis) yang

memiliki tujuan yang sama dengan analisis wacana kritis namun

memformulasi ulang objek kajiannya dari isu-isu sosial kepada aksi-aksi

sosial.

e. Teori sosio-psikologis yang berkonsentrasi pada kondisi sosial dari emosi dan

kognisi, dan, jika dibandingkan dengan mikro-sosiologis, lebih memilih

penjelasan kausal daripada pemahaman hermeneutika atas makna. Van Dijk

adalah salah satu tokoh yang merujuk pada teori ini. Dia memandang wacana

sebagai peristiwa komunikatif termasuk interaksi konversasional, teks tertulis,

dan dimensi semiotik lainnya. Van Dijk menyebutkan dan menjelaskan tiga

bentuk representasi sosial yang relevan dalam memahami wacana, yaitu

pengetahuan (personal, kelompok, kultural), perilaku (bukan dalam

pemahaman sosiopsikologis), dan ideologi. Oleh sebab itu, wacana hanya

dapat dipahami melalui keterkaitan situasi sosial, aksi, pelaku, dan struktur

sosial.

f. Teori wacana, merupakan seperangkat teori yang mengonseptualisasikan

wacana sebagai sebuah fenomena sosial dan mencoba menjelaskan genesis

dan strukturnya.

g. Teori Linguistik, seperti teori argumentasi, grammar, dan retorika, mencoba

mendeskripsikan dan menjelaskan pola spesifik sistem bahasa dan komunikasi

verbal. Ruth Wodak mungkin tokoh yang paling berorientasi pada teori ini.

Tidak seperti tokoh yang lain, dia secara eksplisit mencoba membangun teori

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

20

wacana. Dia memahami wacana sebagai rangkaian yang kompleks dari

perilaku-perilaku linguistik yang saling berhubungan dengan simultan dan

logis.

3. Analisis Wacana Kritis Theo van Leeuwen

Van Leeuwen (2008: 6) memandang wacana sebagai rekontekstualisasi

praktik-praktik sosial melalui teks. Dalam hal ini, sangat mungkin untuk

merekonstruksi suatu wacana berdasarkan teks yang membangunnya. Menurut

van Leeuwen (2008:7) ada beberapa unsur pembentuk praktik sosial, yaitu

partisipan (aktor sosial), aksi sosial, modus kinerja, syarat kelayakan partisipan,

gaya presentasi, waktu, lokasi, syarat kelayakan lokasi, alat dan bahan, serta

syarat kelayakan sumber daya.

Aktor sosial, sebagai salah satu elemen penting dari praktik sosial,

direpresentasikan oleh van Leeuwen melalui dua cara, yaitu dengan eksklusi dan

inklusi. Dalam eksklusi, van Leeuwen menggunakan strategi pasivasi untuk

menyembunyikan pelaku, strategi nominalisasi untuk menggeser fokus dari

pelaku ke peristiwa, dan strategi klausa infinitif. Sedangkan dalam inklusi, van

Leeuwen menggunakan banyak strategi determinasi, indeterminasi, Abstraksi

Objektivasi, diferensiasi, kategorisasi, fungsionalisasi, identifikasi, asimilasi,

individualisasi, sirkumtansialisasi, dan lain sebagainya untuk membuat aktor-

aktor sosial yang terlibat dalam wacana menjadi inklusif.

1.6.3 Transitifitas

Halliday dan Matthiessen (2004: 170) menjelaskan sistem transitifitas

sebagai sistem linguistik yang digunakan untuk menciptakan makna eksperiental

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

21

atau ideasional yang berhubungan dengan bagaimana entitas dan tindakan dalam

sebuah situasi dikodekan dalam bahasa. Sistem transitifitas terbagi atas enam

proses, yaitu proses material, proses behavioral, proses mental, proses verbal,

proses relasional, dan proses eksistensial.

Dalam proses material, “ada sesuatu yang terjadi, di mana ada seseorang

atau aktor lain yang melakukan itu atau membuat sesuatu itu terjadi”. Verba yang

menandai proses ini misalnya verba to break, to build, to meet, dan verba-verba

lain yang sejenis. Pelaku dalam proses material yang melibatkan dua partisispan

disebut agen sedangkan dalam proses material yang hanya melibatkan satu

partisipan disebut medium. Partisipan berupa objek langsung disebut goal

(tujuan), sedangkan yang berupa objek tak langsung disebut resipien. Untuk lebih

jelasnya dapat diperhatikan pada contoh berikut.

(1) John breaks a glass

Agen v.material goal

John memecahkan sebuah gelas

(2) James builds her a house

Agen v.material resipien goal

James membangun dia sebuah rumah

James membangunkannya sebuah rumah

Proses mental berhubungan dengan bagaimana kita mempersepsikan dunia

atau merepresentasikannya kepada kita sendiri. Verba yang termasuk dalam

proses ini adalah verba to believe, to know, to sense, to see, to like, to remember,

to regret, dan verba-verba lain semacamnya. Proses mental melibatkan dua jenis

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

22

partisipan yaitu senser yang merupakan entitas sadar, biasanya manusia, dan

phenomenon yang merupakan entitas yang termasuk dalam keadaan.

(3) Peter likes travelling

Senser v.material phenomenon

Peter suka bepergian

Jadi dalam contoh di atas, Peter merujuk pada senser, dan travelling merujuk pada

phenomenon.

Proses behavioral yang direpresentasikan oleh verba seperti to worry, to

cough, to ponder, dan verba lain yang sejenisnya, terbagi atas dua subkelas yaitu

subkelas kognitif dan subkelas fisik. Behavioral kognitif mirip dengan proses

mental yang biasanya merujuk pada situasi yang terikat sesaat. Sedangkan proses

behavioral fisik mirip dengan proses material.

(4) The cat dreamed about mice last night.

Partisipan 1 v.behavioral partisipan 2 sirkumstan

Kucing itu bermimpi tentang tikus-tikus tadi malam

(5) Peter was sitting down.

Partisipan v.behavioral

Peter sedang duduk

Bedanya, pada proses ini sub-kelas fisik tidak mempengaruhi siapapun kecuali

entitas yang melakukan proses tersebut. Misalnya,

Proses relasional berhubungan dengan bagaimana kita mengidentifikasi

dan mengklasifikasi entitas-entitas yang ada. Dalam proses ini, ketika verba

relasional memuat hubungan atributif, maka pelaku dapat disebut sebagai carrier

sedangkan ketika verba relasional memuat hubungan valuatif, maka pelaku

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

23

disebut sebagai token. Deskripsi yang lebih jelas dapat ditemukan dalam contoh

berikut.

(6) That woman is a professor.

Carrier v.relasional atribut

Wanita itu adalah seorang professor

(7) Ronaldo is one of my favorite football player.

Token v.relasional value

Ronaldo adalah salah satu pesepakbola favoritku

Verba yang termasuk dalam proses ini berupa to be, to remain, to seem, to have,

dan lain-lain. Misalnya,

Proses verbal merupakan proses transfer informasi yang dikodekan secara

simbolis. Dalam hal ini, proses verbal merupakan proses di mana seseorang

mengatakan sesuatu, atau aktifitas apa saja di mana informasi dikodekan ke dalam

bahasa untuk disampaikan ke orang lain yang dikategorikan verbal. Contohnya

dapat dilihat pada kalimat beikut ini.

(8) She announces her pregnancy.

penutur v.verbal verbiage

Dia mengumumkan kehamilannya

Contoh verba yang digunakan dalam proses ini adalah to speak, to announce, to

promise, to ask, dan lain-lain.

Proses eksistensial adalah proses yang menunjukkan eksistensi suatu

entitas. Verba yang paling sering merepresentasikan proses ini adalah be (is, are,),

tapi verba lain seperti exist, remain, dan ensue juga kerap digunakan. Untuk lebih

jelasnya, dapat dideskripsikan melalui contoh berikut.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

24

(9) there are many people out there.

v.eksistensial eksisten

ada banyak orang di luar sana.

Dari contoh yang dipaparkan di atas, tampak bahwa proses eksistensial hanya

memiliki satu partisipan, yaitu entitas yang yang eksis atau eksisten.

1.6.4 Konjungsi

Menurut Djadjasudarma (1993: 46), konjungsi berfungsi menghubungkan

dua unsur atau lebih pada tataran sintaksis (frase, klausa, dan kalimat).

Berdasarkan makna yang didukungnya, konjungsi dalam kalimat terbagi atas

empat jenis, yaitu konjungsi aditif (and, furthermore, moreover, in addition),

konjungsi adversatif (yet, but, however, on the other hand), konjungsi kausal (so,

because, as a result, in that case), dan konjungsi temporal (then, at once, at the

same time, previously).

1.6.5 Presuposisi

Dalam bahasa Inggris, to pre-suppose (yang merupakan asal kata

presuposisi) berarti „menduga sebelumnya‟. Namun, banyak ahli bahasa,

khususnya pragmatik, yang memberikan definisi yang lebih luas. Definisi pertama

datang dari Yule (1996: 25) yang menjelaskan presuposisi sebagai sesuatu yang

diasumsikan oleh penutur sebelum membuat tuturan. Definisi senada juga datang

dari Cummings (1992: 42) yang menyatakan bahwa presuposisi adalah asumsi-

asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik

tertentu. Deskripsi yang lebih mendetail, dapat disaksikan pada data berikut.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

25

(10) Mary has a dog

Mary memiliki seekor anjing

(11) Mary’s dog is cute

Anjing Mary lucu

Pada contoh di atas, petikan kalimat (10) merupakan presuposisi dari petikan

kalimat (11).

Berkenaan dengan hal ini, Wijana (1996: 37) mengemukakan bahwa

sebuah kalimat dikatakan mempresuposisikan kalimat yang lain jika

ketidakbenaran kalimat yang dipresuposisikan mengakibatkan kalimat yang

mepresuposisikan tidak dapat dikatakan benar atau salah. Contohnya dapat dilihat

sebagai berikut.

(12) Buku Siti Nurbaya sangat memikat

(13) Istri pejabat itu cantik sekali

Kalimat (12) mempresuposisikan bahwa ada buku yang berjudul Siti

Nurbaya. Kalimat (12) hanya dapat dinilai benar atau salahnya jika buku tersebut

memang ada. Sedangkan kalimat (13) mempresuposisikan bahwa pejabat itu

mempunyai istri. Hanya jika presuposisi ini benar maka kalimat (13) dapat dinilai

benar salahnya.

Yule (1996: 27) kemudian mengklasifikasikan presuposisi ke dalam enam

jenis berdasarkan jenis pemicu presuposisinya. Keenam presuposisi tersebut

adalah presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif,

presuposisi leksikal, presuposisi struktural, dan presuposisi konterfaktual.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

26

1.6.6 Modalitas

Modalitas merupakan fitur linguistik yang penting untuk mengungkap

salah satu dimensi dari praktik wacana, yaitu sikap penutur terhadap aksi dan

aktor sosial dalam tuturannya. Larreya (1984 dalam Salkie dkk, 2009: 9)

mendefinisikan modalitas sebagai sebuah sistem atau subsistem mental yang

didasarkan pada konsep „kemungkinan‟ dan konsep „keharusan‟ yang saling

berhubungan satu sama lain.

Secara garis besar, Larreya membagi modalitas ke dalam dua bagian

utama, yaitu modalitas dasar, dan modalitas epistemik. Kedua kategori ini berada

pada domain yang berbeda dalam aktifitas mental manusia, yaitu domain afeksi

(pengaruh) dan/atau aksi, dan domain pengetahuan. Modalitas dasar kemudian

terbagi lagi menjadi dua tipe, yaitu modalitas fisik dan modalitas deontik. Kedua

tipe modalitas ini dapat didefinisikan sebagai batasan atau kemungkinan fisik dan

batasan atau kemungkinan moral, sebagaimana tampak pada contoh berikut ini.

(14) He had to abandon his project

Dia harus meninggalkan proyeknya

Kalimat di atas bisa jadi merupakan tuturan yang memuat keharusan fisik

(…because he was exhausted) atau keharusan moral (…because he was duty-

bound to renounce it).

Modalitas epistemik juga terbagi ke dalam dua bagian, yaitu modalitas

problematik dan modalitas implikatif yang memuat nilai kebenaran dan

implikasi. Bedanya, modalitas problematik memuat kebenaran yang nilainya

lemah, seperti contoh berikut ini.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

27

(15) It may rain tomorrow.

Besok mungkin hujan

Modalitas epistemik implikatif terbagi atas dua tipe, yaitu modalitas

eksplisit dan modalitas eliptikal. Modalitas implikatif eksplisit menyebutkan

dengan eksplisit anteseden implikasi dalam sebuah klausa atau frasa yang terikat

secara sintaksis dengan bentuk modalnya, seperti contoh berikut ini.

(16) You have to be mad to do that.

Kamu pasti telah gila karena melakukan itu

Implikasi eliptikal yang dalam bahasa Inggris ditandai dengan penggunaan

will dan shall, terbagi lagi menjadi modalitas volitif yang memuat nilai keinginan

penuturnya, dan modalitas prediktif yang memuat kemungkinan yang

diperkirakan oleh penutur terhadap apa yang akan terjadi. Untuk lebih jelasnya,

dapat kita saksikan pada petikan kalimat-kalimat berikut ini.

(17) He will not answer my question

Dia tidak akan menjawab pertanyaanku

(18) He will win the match.

Dia akan memenangkan pertandingan

1.7 METODE PENELITIAN

Menurut van Leeuwen (2008: 6) wacana merupakan rekontekstualisasi

praktik-praktik sosial melalui teks berupa partisipan (aktor sosial), aksi sosial,

modus kinerja, syarat kelayakan partisipan, gaya presentasi, waktu, lokasi, syarat

kelayakan lokasi, alat dan bahan, serta syarat kelayakan sumber daya. Oleh sebab

itu, penelitian atas pidato Hasan Rouhani ini menggunakan teori analisis wacana

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

28

dengan pendekatan kritis model van Leeuwen (2008) untuk mengungkap tiga

dimensi praktik sosial yang direpresentasikan dalam teks yaitu (1) representasi

aktor sosial (partisipan), (2) representasi aksi sosial, dan (3) representasi sikap HR

terhadap isu yang termuat dalam pidatonya.

1.7.1 Sumber Data

Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah pidato Internasional

Hasan Rouhani di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada

tanggal 24 September 2013, di mana inilah kali pertama dia berpidato di hadapan

PBB. Pidato ini terdiri atas 29 (dua puluh Sembilan) buah paragraf dan 107

(seratus tujuh) buah kalimat. Teks pidato merupakan hasil transkripsi yang

diperoleh dari laman www.timesofisrael.com.

1.7.2 Metode Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan dua pertimbangan

dalam memilih pidato yang akan dijadikan sumber data. Pertama adalah kebaruan

topik. Sebagaimana diketahui, pidato Rouhani disampaikan pada akhir September

2013, sehingga tema pidato tersebut masih baru dan relevan dengan masalah-

masalah yang terjadi dalam konteks kekinian. Kedua, adalah kekayaan data.

Pidato ini memiliki kekayaan data secara linguistik sehingga diasumsikan mampu

menjawab semua pertanyaan yang termuat dalam rumusan masalah secara

komprehensif.

Data ini kemudian diobservasi oleh peneliti dengan mencatat penggunaan

bahasanya yang relevan. Data yang telah diamati dan dicatat ini kemudian

diidentifikasi sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

29

Sebagai proses terakhir, data kemudian diklasifikasi berdasarkan pemilihan

katanya, transitifitas, modalitas, negasi, konjungsi, anak kalimat, presuposisi,

eksklusi dan inklusi aktor sosialnya.

1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada

tiga dimensi praktik sosial yang diadaptasi dari analisis wacana kritis model van

Leeuwen (2008) yang terdiri atas tiga tahapan analisis, yaitu (1) analisis

representasi sikap pewacana terhadap isu-isu yang termuat dalam wacananya, (2)

analisis representasi aksi sosial, dan (3) analisis representasi aktor sosial

(partisipan). Berdasarkan tiga tahapan analisis wacana model van Leeuwen ini,

maka peneliti menganalis data dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Menganalisis bagaimana representasi sikap HR terhadap isu-isu yang

termuat dalam pidatonya berdasarkan penggunaan tipe modalitasnya.

Dalam tahapan ini, penulis berpedoman pada teori modalitas Paul

Larreya (1984 dalam Salkie, dkk, 2009).

2. Menganalisis bagaimana HR merepresentasikan aksi-aksi sosial dalam

pidatonya berdasarkan pemilihan katanya, proses transitifitas,

penggunaan konjungsi, dan presuposisinya. Dalam tahapan ini, penulis

berpedoman pada teori Fowler, dkk (1996) pada pemilihan kata, teori

Halliday dan Matthiessen (2004) pada proses transitifitas, dan teori

Yule (1996) pada penggunaan presuposisi.

3. Menganalisis bagaimana HR merepresentasikan aktor-aktor sosial

yang terlibat dalam pidatonya berdasarkan strategi inklusifitas dan

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

30

eksklusifitas aktor sosial. Dalam tahapan ini, penulis berpedoman pada

teori van Leeuwen (2009).

Dalam proses selanjutnya, penulis sebagian besar menggunakan teknik

parafrase untuk mengembangkan analisisnya.

1.7.4 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data kemudian disajikan secara deskriptif atau informal

sesuai dengan rumusan masalah dan kerangka analisis yang telah dibuat

sebelumnya. Penyajian data secara deskriptif ini dilakukan dengan kata-kata biasa

yang disertai dengan contoh-contoh yang relevan untuk memperoleh jawaban

yang komprehensif atas rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya.

Selain itu, analisis juga disajikan dalam bentuk formal dengan menggunakan tabel

yang mengklasifikasikan data hingga terperinci sedemikian rupa, sehingga

memudahkan pembacaan dan pemahaman terhadap hasil analisis data yang

dipaparkan.

1.8 SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan terhadap penelitian ini beserta hasil analisisnya dipaparkan

dengan sistematika sebagai berikut.

1. Bab I berupa pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

2. Bab II berupa hasil analisis data tahap dimensi praktik sosial pertama,

yaitu deskripsi penggunaan fitur-fitur linguistik dalam bentuk dan isi

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71799/potongan/S2-2014...sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak

31

pidato untuk mengungkap representasi sikap HR terhadap isu-isu yang

termuat dalam pidatonya dengan perangkat analisis berupa modalitas

dan negasi setelah sebelumnya diawali dengan pemaparan konteks

sosial politik yang melatarbelakangi wacana.

3. Bab III berupa hasil analisis data tahap dimensi praktik sosial kedua

yaitu deskripsi penggunaan fitur-fitur linguistik dalam bentuk dan isi

pidato untuk mengungkap representasi aksi-aksi sosial dalam pidato

HR dengan perangkat analisis berupa pemilihan kata, proses

transitifitas, penggunaan konjungsi, anak kalimat penjelas, dan

presuposisi.

4. Bab IV berupa hasil analisis data tahap dimensi praktik sosial ketiga

yang mendeskripsikan penggunaan fitur-fitur linguistik dalam bentuk

dan isi pidato untuk mengungkap representasi aktor-aktor sosial atau

partisipan yang terlibat dalam teks pidato HR.

5. Bab V berupa penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran.