Upload
vuonghuong
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sejak awal bermulanya sejarah, manusia menggunakan bahasa untuk
menyalurkan apa yang mereka rasakan dan pikirkan atau untuk mengungkapkan
keinginan mereka terhadap sesuatu. Hal ini didasari oleh kebutuhan manusia
dalam mencari dan menemukan kesempurnaannya yang hanya akan tercapai
ketika mereka saling berkomunikasi satu sama lain baik secara verbal maupun
non-verbal. Dalam konteks ini, kita dapat memahami bahwa bahasa merupakan
instrumen dalam komunikasi.
Bahasa, dalam konteks kekinian, tak lagi semata-mata dipandang sebagai
alat komunikasi. Lebih dari itu, bahasa dalam masyarakat moderen dapat
dipahami sebagai piranti canggih yang dapat digunakan oleh kelompok-kelompok
sosial tertentu untuk menyebarkan dan mempertarungkan ideologinya masing-
masing. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Fairclough (1989: 2)
bahwa penggunaan kekuasaan, pada masyarakat moderen, merupakan pencapaian
yang meningkat melalui ideologi, dan lebih khususnya lagi melalui ideologi
bahasa.
Selain sebagai sarana penyebaran ideologi, bahasa juga dapat dipandang
sebagai representasi sikap dan aksi sosial seseorang dalam berinteraksi dengan
orang lain. Dalam konteks ini, bahasa digunakan untuk menghasilkan tujuan
1
2
tertentu, atau dengan kata lain, bahasa digunakan untuk menghasilkan wacana
tertentu.
Dalam mengkaji wacana, banyak teori linguistik yang dapat digunakan.
Salah satu di antaranya adalah analisis wacana kritis yang mampu menjelaskan
lebih jauh tentang berbagai praktik sosial yang melatarbelakangi lahirnya sebuah
wacana. Berpijak pada pernyataan Cook (1992:1), dalam analisis wacana kritis
tidak cukup hanya menganalisis unsur kebahasaan saja, akan tetapi juga
memperhitungkan konteks yang membangun wacana tersebut. Oleh sebab itu,
analisis wacana kritis, sebagaimana dijelaskan oleh Fairclough (1995:135), pada
hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana tersebut secara integral yang
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, mulai dari dimensi tekstual,
praktik wacana, hingga dimensi praktik sosiokultural.
Penggunaan bahasa untuk menghasilkan wacana tertentu dewasa ini telah
banyak dipraktikkan dalam berbagai bentuk komunikasi verbal. Salah satu yang
cukup populer dan menarik untuk diteliti dalam kerangka analisis wacana kritis
adalah wacana pidato. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Crystal (1985: 327),
pidato merupakan pengungkapan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan
kepada orang banyak atau dapat juga diartikan sebagai wacana yang disiapkan
untuk diucapkan di depan khayalak. Lebih lanjut, pidato terbagi atas tiga jenis,
yaitu pidato biasa seperti percakapan sehari-hari, pidato ritual seperti yang sering
dibawakan dalam upacara adat atau keagamaan, serta pidato politik. Jenis pidato
terakhir inilah yang paling sering dijadikan sebagai sarana dalam
merepresentasikan sikap dan aksi sosial seorang pewacana. Itulah sebabnya,
3
bahasa dalam kaitannya dengan politik, khususnya bahasa yang digunakan dalam
pidato, tidak pernah berada dalam posisi netral. Selalu ada kepentingan yang
menjadi ancaman serius serta faktor penentu ketidaknetralan tersebut.
Salah satu contoh riil dari pengunaan bahasa dalam konteks politik adalah
pidato yang disampaikan oleh Presiden Iran, Hasan Rouhani, di hadapan Majelis
Umum PBB pada tanggal 24 September 2013. Pidato ini menjadi penting untuk
dikaji karena dua alasan penting. Pertama, pidato ini merupakan pidato
internasional Rouhani sebagai presiden baru yang menggantikan presiden
sebelumnya, Mahmoud Ahmadinejad. Sehingga, seluruh dunia menantikan pidato
ini untuk mengetahui bagaimana Rouhani memposisikan Iran terhadap isu-isu
sensitif dunia saat ini, apakah tetap sama dengan pendahulunya ataukah
menjadikan Iran lebih moderat. Kedua, pidato ini merupakan respon Iran terhadap
penolakan negara-negara sekutu, terutama Israel, terhadap program nuklir Iran
yang sedang dikembangkan, dan isu-isu lain seperti kekerasan dan krisis yang
melanda Suriah dan negara-negara Timur Tengah lainnya.
Secara umum, pidato ini memuat usaha Rouhani untuk membantah semua
tudingan miring baik oleh Israel yang menyebut Iran sebagai ancaman dunia
dengan nuklirnya, maupun oleh Amerika Serikat yang menyebut Iran telah
menjadi sumber utama ketidakstabilan dunia dalam tempo yang terlalu lama.
Dalam bantahannya itu, Rouhani berusaha merepresentasikan program nuklir Iran
sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini
tampak dalam penggunaan verba material represent berikut.
4
S.8 The recent elections in Iran represent a clear, living example of the wise
choice of hope, rationality and moderation by the great people of Iran.
The realization of democracy consistent with religion and the peaceful
transfer of executive power manifested that Iran is the anchor of stability
in an otherwise ocean of regional instabilities.
Pemilihan Umum di Iran baru-baru ini merepresentasikan sebuah contoh
yang jelas dan nyata tentang pilihan yang bijaksana akan harapan,
rasionalitas dan moderasi oleh rakyat Iran. Realisasi demokrasi yang
konsisten terhadap agama dan peralihan kekuasaan eksekutif yang damai
menunjukan bahwa Iran merupakan jangkar stabilitas bagi negara di
sekitar yang berada dalam ketidakstabilan regional.
S.28 Propagandistic and unfounded faithphobic, Islamo-phobic, Shia-phobic,
and Iran-phobic discourses do indeed represent serious threats against
world peace and human security.
Wacana fobia agama, fobia Islam, fobia Syiah, dan fobia Iran yang
propagandistik dan tidak berdasar jelas merupakan ancaman serius
terhadap perdamaian dunia dan keamanan manusia.
Dari petikan pidato di atas, tampak adanya proses pembentukan nilai
kebenaran oleh Rouhani terhadap opininya. Pertama, dia memaparkan proses
pergantian kekuasaan di Iran yang damai dan demokratis (S.8). Penggunaan verba
material represent pada kalimat ini menunjukkan kesan Iran sebagai pihak yang
aktif dalam proses itu. Kedua, dia menyebutkan bahwa keteguhan rakyat Iran
dalam menjaga kedamaian dan nilai demokrasi merupakan faktor utama yang
menciptakan situasi yang kondusif di Iran (S.28). Melalui verba material
represent, dia menunjukkan bahwa sebenarnya wacana dan pewacana fobia
terhadap Iranlah yang menjadi ancaman serius terhadap perdamaian dunia. Kedua
premis ini kemudian diikuti oleh sebuah simpulan bahwa Iran berada dalam
stabilitas yang terjaga, sehingga semua tudingan yang mendiskreditkan kestabilan
Iran menjadi gugur dengan sendirinya.
5
Penggunaan modalitas sebagai petunjuk akan sikap Rouhani terhadap isu
yang mengikuti pidatonya juga tampak menonjol dalam pidato ini. Hal ini
ditujukan dalam petikan pidato berikut.
S.50-S.52 Here, I should also say a word about the criminal assassination of
Iranian nuclear scientists. For what crimes have they been
assassinated? The United Nations and the Security Council should
answer the question: have the perpetrators been condemned?
Di sini, saya juga harus mengucapkan beberapa kata tentang
pembunuhan terhadap ilmuwan-ilmuwan nuklir Iran. Atas kejahatan
apa mereka dibunuh? PBB dan Dewan Keamanan PBB harus
menjawab pertanyaan ini: apakah para pelakunya telah dihukum?
S.64 We need to promote and reinforce tolerance in light of the
religious teachings and appropriate cultural and political approaches.
Kita perlu mempromosikan dan memperteguh toleransi dengan
panduan pengajaran agama, pendekatan budaya dan politik yang sesuai
dengan jelas.
Berdasarkan petikan pidato di atas, Rouhani menggunakan modalitas dasar
pada data S.50 dan S.52. Dia menggunakan modalitas „should‟ (harus) dua kali
dalam kritiknya. Dia menyatakan bahwa ada pertanyaan besar yang harus dijawab
oleh PBB beserta Dewan Keamanannya. Keharusan inilah yang kemudian
menyebabkan lahirnya keharusan lain, yaitu untuk mempertanyakan itu. Begitu
pula pada data S.52 di mana Rouhani menghubungkan „we’ (para pemimpin
dunia) dengan pentingnya toleransi dengan menggunakan verba intensional
„need’.
Selain itu, Rouhani juga piawai dalam merepresentasikan aktor-aktor
sosial atau partisipan yang terlibat dalam isu yang termuat dalam pidatonya. Hal
ini dapat disaksikan dalam petikan pidato berikut.
6
S.38 What has been – and continues to be – practiced against the innocent
people of Palestine is nothing less than structural violence.
Apa yang telah dan akan terus dilakukan terhadap orang-orang tak
bersalah di Palestina adalah kekerasan struktural .
S.33 Iran poses absolutely no threat to the world or the region.
Iran sama sekali bukanlah ancaman terhadap dunia atau wilayah di
sekitarnya.
Pada petikan S.38, Rouhani menggunakan kalimat dalam bentuk pasif
yang menyebabkan hilangnya pelaku atau agen aksi sosial. Hal ini ditujukan
untuk dua hal. Pertama, dia menghindari penyebutan secara langsung terhadap
aktor yang bertanggung jawab dalam membahas isu-isu sensitif. Hal ini karena dia
berusaha untuk menghindari ketegangan dengan negara-negara lain terutama
negara-negara adikuasa. Kedua, penggunaan kalimat bentuk pasif menyebabkan
pergeseran fokus khalayak dari „siapa melakukan apa‟ ke „apa yang telah terjadi
kepada korban‟. Hal ini bertujuan untuk menghadirkan simpati khalayak terhadap
apa yang menimpa rakyat Palestina.
Sebaliknya, pada data S.33 Rouhani menggunakan strategi spasialisasi
untuk menghadirkan inklusifitas pelaku. Kata Iran pada data tersebut mewakili
pemerintah Iran dalam hal ini HR sendiri yang bertanggung jawab terhadap
pengayaan nuklir Iran. Hal ini tentu saja memberi keuntungan kepada Rouhani
karena jenis impersonalisasi ini menghadirkan kesan positif terhadap dirinya
sebagai pemimpin Iran yang dapat menjaga program nuklirnya untuk tetap
berpegang pada asas perdamaian sehingga tidak menjadi ancaman terhadap dunia.
Semua uraian ini, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya,
bermuara pada sebuah kenyataan tentang pentingnya kajian bahasa yang berkaitan
7
dengan praktik-praktik sosial melalui bahasa yang sayangnya masih jarang
dilakukan. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan sebuah penelitian
tentang representasi tekstual praktik-praktik sosial dalam pidato Hasan Rouhani
melalui sebuah kajian analisis wacana kritis, untuk mengungkap bagaimana dia
merepresentasikan aksi-aksi dan aktor-aktor sosial serta sikapnya terhadap
terhadap isu-isu yang termuat dalam pidatonya secara tekstual.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, ada
beberapa permasalahan yang dapat dijawab melalui penelitian ini, yang dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah representasi tekstual sikap Hasan Rouhani terhadap isu-isu
yang termuat dalam pidatonya?
2. Bagaimanakah strategi Hasan Rouhani dalam merepresentasikan aksi-aksi
sosial secara tekstual dalam pidatonya?
3. Bagaimanakah strategi Hasan Rouhani dalam merepresentasikan aktor-
aktor sosial yang menjadi partisipan aksi-aksi sosial secara tekstual dalam
pidatonya?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Sesuai rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, ada tiga hal
yang menjadi tujuan diadakannya penelitian ini sebagaimana yang dijelaskan
sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan representasi tekstual sikap Hasan Rouhani terhadap isu-
isu yang termuat dalam pidatonya.
8
2. Mendeskripsikan strategi Hasan Rouhani dalam merepresentasikan aksi-
aksi sosial secara tekstual dalam pidatonya.
3. Mendeskripsikan strategi Hasan Rouhani dalam merepresentasikan aktor-
aktor sosial yang menjadi partisipan aksi-aksi sosial secara tekstual dalam
pidatonya
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai oleh penulis melalui penelitian
ini baik pada tataran teoretis maupun pada tataran praktis, sebagaimana yang
dipaparkan sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Dimensi lain yang ditawarkan oleh penelitian ini diharapkan dapat
memberi sudut pandang baru dalam kajian analisis wacana kritis. Selain itu,
penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pelengkap atas kekurangan
penelitian-penelitian terdahulu dan memberi sumbangsih terhadap penelitian-
penelitian lanjutan yang menggunakan analisis wacana kritis sebagai pisau bedah
analisisnya.
2. Manfaat Praktis
Pada tataran praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
usaha menyadarkan publik untuk lebih kritis terhadap wacana yang disajikan oleh
para praktisi politik dengan tidak langsung menerima begitu saja sajian wacana
tersebut, namun terlebih dahulu menggali informasi yang lebih dalam. Dalam
kaitannya dengan representasi praktik-praktik sosial, penelitian ini diharapkan
mampu memberikan informasi yang cukup bagi masyarakat tentang bagaimana
9
seorang orator mengonstruksi aksi-aksi dan aktor-aktor sosial serta sikapnya
terhadap isu-isu yang termuat dalam pidatonya.
1.5 TINJAUAN PUSTAKA
Dalam dunia linguistik, penelitian tentang analisis wacana kritis telah
banyak dilakukan dan diikuti. Beberapa di antaranya adalah sumarti (2010) yang
membahas tentang analisis wacana kritis strategi politik penggunaan bahasa
dalam pidato Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Penelitian yang fokus pada
perilau kebahasaan SBY yang tertuang dalam pidatonya ketika menjabat sebagai
presiden ini pada dasarnya berorientasi pada pendekatan verbal bukan pendekatan
behavioral. Sehingga, yang menjadi titik perhatian dalam kajiannya hanyalah
ungkapan-ungkapan verbal dalam komunikasi kebahasaan dalam wacana pidato
saja. Analisis yang dilakukan terhadap wacana ini dipaparkan ke dalam tiga segi
pembahasan yaitu (1) segi pemakaian kata, (2) pemakaian kalimat, dan (3)
pemakaian gaya bahasa. Dari segi pemakaian kata, perilaku kebahasaan SBY
yang tampak dalam wacana pidatonya adalah (a) pemakaian kata persona untuk
menunjukan posisinya dalam wacana pidato yang dibangunnya, (b) pemakaian
kata yang bernuansa „keterbukaan‟ yang diarahkan pada sikap dan tindakan SBY
yang dianggap bisa mendukung proses reformasi dan pemerintahannya, dan (c)
pemakaian kata yang bernuansa „reformasi‟ yang diarahkan pada sikap dan
tindakan SBY berkaitan dengan tuntutan reformasi yang sesuai dengan aspirasi
rakyat. Sementara itu, dari segi pemakaian kalimat, perilaku kebahasaan SBY
yang tampak dalam wacana pidatonya adalah (a) pemakaian kalimat ajakan ketika
bermaksud ingin melibatkan rakyat dalam segala bentuknya, (b) pemakaian
10
kalimat seruan yang ditujukan agar rakyat melakukan apa yang diserukannya, (c)
pemakaian kalimat harapan yang ditujukan agar rakyat dapat bersikap sesuai
dengan yang diinginkannya, (d) pemakaian kalimat janji yang ditujukan untuk
memberikan harapan kepada rakyat atas kebijakan yang akan ditempuh, dan (e)
pemakaian kalimat pernyataan yang ditujukan untuk menunjukan sikap atas isu
yang berkembang atau masalah yang dihadapi. Lebih jauh, dari segi pemakaian
gaya bahasa, perilaku kebahasaan SBY yang tampak dalam wacana pidatonya
adalah (a) pemakaian eufimisme untuk menghaluskan makna dalam wacana
politiknya, (b) pemakaian pleonasme untuk menonjolkan bagian tertentu pada
wacana pidatonya, (c) pemakaian hiperbola untuk menonjolkan bagian tertentu
dari wacananya yang memiliki nuansa lebih, (d) pemakaian paralelisme untuk
memberikan klasifikasi atau detil suatu gagasan yang diungkapkannya, dan (e)
pemakaian repetisi untuk menekankan pentingnya bagian yang terkena repetisi
dari wacana pidatonya.
Penelitian mengenai analisis wacana kritis dalam pidato juga pernah
dilakukan oleh Jupriono (2010) yang membahas tentang analisis wacana kritis
latar historis pidato kenegaraan SBY. Penelitian ini focus terhadap latar wacana
pada pidato kenegaraan SBY selama 2004-2010 dengan sudut pandang analisis
wacana kritis model Van Dijk. Hasil penelitian ini disajikan dalam tiga tahapan
yaitu (1) mendeskripsikan wacana pidato SBY sebagai sebuah fakta historis yang
hadir secara eksplisit, (2) mengeksplorasi interpretasi secara kritis atas motif
terselubung di balik fakta berdasarkan konteks situasi yang relevan, dan (3)
menyusun makna integral latar berdasarkan deskripsi fakta ekplisit dan
11
interpretasi kritis maksud implicit latar tersebut. Tahapan ini kemudian diterapkan
pada tiap pidato kenegaraan SBY setiap tahunnya dari rentang 2004 hingga 2010
untuk menemukan makna tekstual latar historisnya baik yang eksplisit maupun
implisit. Adapun makna eksplisit dari hasil analisis tekstual latar historisnya
adalah (tahun 2004) modernisasi politik dan regenerasi politik di Indonesia telah
terwujud, (tahun 2005) tugas SBY sangat berat yang disebabkan oleh kegagalan
presiden-presiden terdahulu, (tahun 2006) SBY menghormati jasa pahlawan-
pahlawan dan presiden-presiden terdahulu, (tahun 2007) SBY adalah pemimpin
yang optimis, (tahun 2008) perekonomian Indonesia tetap stabil di tengah krisis
global, (tahun 2009) SBY berharap bahwa meski parpol beragam namun
pemerintahan tetap berjalan efektif, dan (tahun 2010) sepuluh tahun reformasi
Indonesia telah melakukan transisi demokrasi dalam kehidupan politik, ekonomi,
sosial, dan hukum. Sementara itu, makna implicit dari hasil analisis tekstual latar
historisnya adalah (tahun 2004) SBY memberikan kontribusinya dalam
memajukan kehidupan politik Indonesia karena sukses politik Indonesia terjadi
saat dan berkat kepemimpinannya, (tahun 2005) SBY jangan dikritik karena
masalah yang terjadi karena „warisan‟ dari presiden sebelumnya, (tahun 2006)
kesadaran historis SBY lebih tinggi sehingga penghormatannya terhadap para
pahlawan lebih tulus, (tahun 2007) SBY mengharapkan simpati rakyat Indonesia
yang Sukarnois, (tahun 2008) SBY mampu menstabilkan ekonomi yang tidak bisa
dilakukan oleh ketiga presiden sebelumnya, (tahun 2009) SBY menkonstruksi
citradirinya sebagai orang yang rendah hati sebagai pemenang pilpres, dan (tahun
12
2010) dinamika politik, ekonomi, dan hukum yang makin demokratis adalah
berkat jasa SBY.
Sementara itu, penelitian yang menggunakan analisis wacana kritis model
Fairclough pada pidato politik pernah dilakukan oleh Heryadi (2010) yang
membahas tentang analisis wacana pidato politik SBY sebagai calon presiden
Republik Indonesia periode 2009-2014. Analisis tiga dimensi ala Fairclough yang
dilakukan secara mikro, meso, dan makro menunjukkan bahwa representasi teks
pidato yang diproduksi oleh SBY dalam rangka pendeklarasian dirinya menjadi
Capres 2009- 2014 telah memanfaatkan fitur-fitur linguistik seperti (1) struktur
teks, (2) ketransitifan, (3) modalitas, (4) aspek, (5) konjungsi, (6) pronominal, (7)
leksikalisasi, (8) kata kunci bidang keagamaan, (9) kata kunci bidang politik, (10)
kata kunci superlative, (11) intertekstualitas, dan (12) interdiskursifitas. Hal ini
bertujuan untuk melancarkan suatu proses sosial yaitu “pengekalan kuasa”.
Proses sosial ini diwujudkan dalam beberapa praktik sosial yaitu (a) Pembentukan
citra positif sosok SBY, (b) Pembentukan opini keberhasilan kepemimpinan SBY
sebelumnya, dan (c) Pembentukan opini pentingnya melanjutkan kepemimpinan
SBY. Struktur-struktur sosial dari keseluruhan proses sosial ini saling terhubung
secara dilektikal dan integral. Hal ditunjukan oleh praktik sosial yang dilakukan
oleh SBY melalui pidato politiknya yang tidak terlepas dari latar belakang sosial,
politik, dan nilai-nilai budaya yang dipegang oleh SBY sebagai orang Indonesia.
Selanjutnya, analisis wacana kritis dalam kaitannya dengan representasi
praktik-praktik sosial pernah dilakukan oleh Amalia (2010) yang membahas
tentang representasi hubungan Amerika Serikat dengan Islam dalam pidato
13
presiden Barack Obama di Kairo. Hasil analisis yang menggunakan teori vanDick
ini menunjukkan bahwa dalam merepresentasikan hubungannya dengan Islam,
Barack Obama menggunakan fitur-fitur linguistik seperti bentuk kalimat aktif-
pasif dan pilihan kata tertentu untuk menunjukkan netralitasnya terhadap beberapa
kasus kekerasan di Timur Tengah sekaligus untuk menimbulkan citra positif
Islam. Hal ini ditujukan untuk menggalang simpati dari negara-negara Islam
dalam upaya Barack Obama dalam menjalankan politik bersahabat di Timur
Tengah.
Keseluruhan penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya bermuara pada
sebuah kesimpulan dasar bahwa penelitian dengan analisis wacana kritis untuk
mengungkap tiga dimensi praktik sosial dalam sebuah wacana belum pernah
dilakukan sebelumnya. Oleh sebab itu, adanya penelitian ini diharapkan mampu
memberikan paradigma baru dalam pendekatan analisis wacana kritis sehingga
dapat menjadi sumbangan positif yang cukup signifikan bagi dunia linguistik.
1.6 LANDASAN TEORI
1.6.1 Wacana
Wacana, menurut Johnstone (2008: 2), merupakan bentuk komunikasi
secara nyata dengan bahasa sebagai medianya. Jika Johnstone memandang
wacana sebagai bentuk komunikasi, maka lain halnya dengan Widdowson (2004:
3) yang menjelaskan bahwa jika analisis wacana diartikan sebagai studi pola
bahasa di atas kalimat, maka wacana adalah kalimat tertulis dalam jumlah yang
besar: secara kuantitatif berbeda namun secara kualitatif merupakan fenomena
yang sama. Dalam konteks ini, Widdowson memperlakukan wacana dan kalimat
14
sebagai objek kajian bahasa yang sama, karena tidak ada perbedaan konseptual di
antara keduanya.
Definisi yang lebih luas tentang wacana hadir melalui Gee dan Fairclough.
Gee (2005:21) menjelaskan wacana sebagai cara mengombinasikan dan
mengintegrasikan bahasa, tindakan, interaksi, cara berpikir, mempercayai,
menilai, dan menggunakan berbagai symbol, alat, dan objek untuk memerankan
sebuah identitas sosial yang dapat dikenali. Pada titik ini, Gee memandang
wacana sebagai cara memanfaatkan bahasa sebagai penanda identitas sosial
tertentu. Sementara itu, Fairclough (1992: 64) mendefinisikan wacana sebagai
sebuah praktik yang tidak hanya merepresentasikan dunia, tetapi juga
menunjukkan, menegakkan dan membangun dunia di dalam makna.
1.6.2 Analisis Wacana Kritis
Sebagaimana dinyatakan oleh Brown dan Yule (1983:1), dijelaskan bahwa
analisis wacana berarti melakukan analisis terhadap bahasa yang digunakan.
Senada dengan ini, van Dijk (1988:24) memaparkan bahwa analisis wacana
merupakan proses analisis terhadap bahasa dan penggunaan bahasa dengan tujuan
memperoleh deskripsi yang lebik eksplisit dan sistematis mengenai apa yang
disampaikan. Lebih jauh, Cook (1992:1) menyebutkan bahwa dalam analisis
wacana tidak cukup hanya menganalisis unsur kebahasaan saja, akan tetapi juga
memperhitungkan konteks yang membangun wacana tersebut.
Kehadiran konteks dalam kaitannya dengan wacana tidak begitu
memuaskan bagi beberapa linguis. Fairclough dan Wodak (1997: 258) misalnya
yang meyakini bahwa wacana tidak serta merta hadir begitu saja, melainkan hadir
15
dengan tujuan tertentu yang ingin disampaikan pada khalayak penikmatnya. Oleh
sebab itu diperlukan sebuah pendekatan lain yang memandang wacana dari sudut
pandang kritis yang dalam analisisnya tidak hanya bergantung pada konteks yang
melingkupinya, tetapi lebih dari itu memuat struktur dan praktik sosial yang
melatarbelakangi lahirnya wacana tersebut.
Di sini, muncullah pendekatan analisis wacana kritis (AWK). Analisis
Wacana dengan pendekatan kritis ini memandang wacana atau penggunaan
bahasa secara lisan maupun tulisan sebagai bentuk praktik sosial yang
mengimplikasikan hubungan dialektikal antara peristiwa diskursif tertentu dengan
situasi, institusi, dan struktur sosial yang membingkainya. Hal ini memungkinkan
wacana untuk memuat isu-isu penting tentang kekuasaan yang dapat membantu
memproduksi dan mereproduksi relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara,
misalnya, kelas-kelas sosial, pria dan wanita, dan antara etnik atau budaya yang
mayoritas dan minoritas melalui caranya dalam merepresentasikan sesuatu
(Fairclough dan Wodak, 1997: 258).
Salah satu tujuan dari analisis wacana kritis menurut Weiss dan Wodak
(2003: 14) adalah untuk menghilangkan kebingungan atas wacana dengan
menafsirkan ideologi-ideologi yang termuat didalamnya. Dalam analisis wacana
kritis, daya suatu bahasa tidak datang dengan sendirinya, tapi melalui orang yang
menggunakan bahasa tersebut. Itulah sebabnya, analisis wacana kritis selalu
memilih untuk menggunakan sudut pandang pihak inferior dan begitu berapi-api
dalam mengkritisi penggunaan bahasa pihak superior dalam analisisnya.
16
1. Karateristik Analisis Wacana Kritis
Eriyanto (2001: 8) menjelaskan adanya karateristik-karakteristik penting
dari analisis wacana kritis. Karateristik tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.
a. Tindakan
Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dalam hal ini,
bahasa digunakan untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Sebagai
konsekuensi logisnya, pengertian ini memberi kita dua cara dalam memandang
wacana. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah
untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi, dan
sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara
sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar
kesadaran.
b. Konteks
Bagian penting lain dari analisis wacana kritis adalah konteks yang
mencakup latar, situasi, peristiwa, dan kondisi yang melingkupi wacana. Dalam
hal ini, pemahaman yang muncul adalah bahwa wacana dianggap diproduksi,
dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Konteks menyertakan
semua unsur eksternal bahasa yang mempengaruhi pemakaiannya, seperti
partisipan yang terlibat, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi
pemakaian bahasa yang dimaksudkan, dan sebagainya. Di sini, titik yang menjadi
perhatian dari analisis wacana adalah penggambarkan teks dan konteks secara
bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.
17
c. Historis
Salah satu aspek penting untuk bisa memahami teks adalah dengan
menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Hal ini dapat dilakukan
dengan, misalnya, menjelaskan situasi sosial atau kondisi politik ketika wacana itu
diciptakan, latar belakang dari isu-isu yang termuat dalam wacana, dan
sebagainya.
d. Kekuasaan
Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam
analisisnya. Di sini, setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan,
atau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral
tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah
satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat.
e. Ideologi
Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat
kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik
ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya mengatakan
bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk
mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya
adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima
secara taken for granted. Wacana dalam pendekatan semacam ini dipandang
sebagai medium melalui mana kelompok yang dominan mempersuasi dan
mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang
mereka miliki, sehingga tampak sah dan benar.
18
2. Beberapa Pendekatan Dalam Analisis Wacana Kritis
Merton (dalam Wodak dan Meyer, 2001: 19) mengajukan tujuh tingkatan
teori analisis wacana kritis yang dapat dipaparkan sebagai berikut.
a. Teori epistemologi, adalah seperangkat teori yang menyediakan syarat,
kemungkinan, dan batas persepsi manusia pada umumnya, dan persepsi ilmiah
pada khususnya.
b. Teori sosial umum, sering disebut „teori utama‟, mencoba mengonseptualisasi
hubungan antara struktur sosial dan aksi sosial sehingga menghubungkan
fenomena mikro dan makrososiologis. Dalam tingkatan ini, dapat dibedakan
antara pendekatan strukturalis yang berupa penjelasan top-down (struktur-
aksi) dengan pendekatan individualis yang berupa penjelasan bottom-up (aksi-
struktur).
c. Teori tingkat menengah, memusatkan perhatiannya baik terhadap fenomena
spesifik, seperti konflik, kognisi, dan jaringan sosial, maupun terhadap
subsistem masyarakat yang spesifik, seperti ekonomi, politik, dan agama.
Norman Fairclough berada pada tingkatan teori ini. Dia memusatkan
perhatiannya pada konflik sosial dan mencoba mendeteksi manifestasi
linguistiknyadalam wacana, khususnya unsur dominasi, perbedaan, dan
perlawanan.
d. Teori mikro-sosiologis yang mencoba menjelaskan interaksi sosial, seperti
resolusi masalah dengan dua kemungkinan, atau rekonstruksi prosedur harian
yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk menciptakan susunan sosial
mereka sendiri, yang merupakan tujuan dari ethnometodology. Ron Scollon
19
merupakan tokoh yang berada di bidang ini. dia menyebut pendekatannya
sebagai analisis wacana termediasi (Mediated Discourse Analisis) yang
memiliki tujuan yang sama dengan analisis wacana kritis namun
memformulasi ulang objek kajiannya dari isu-isu sosial kepada aksi-aksi
sosial.
e. Teori sosio-psikologis yang berkonsentrasi pada kondisi sosial dari emosi dan
kognisi, dan, jika dibandingkan dengan mikro-sosiologis, lebih memilih
penjelasan kausal daripada pemahaman hermeneutika atas makna. Van Dijk
adalah salah satu tokoh yang merujuk pada teori ini. Dia memandang wacana
sebagai peristiwa komunikatif termasuk interaksi konversasional, teks tertulis,
dan dimensi semiotik lainnya. Van Dijk menyebutkan dan menjelaskan tiga
bentuk representasi sosial yang relevan dalam memahami wacana, yaitu
pengetahuan (personal, kelompok, kultural), perilaku (bukan dalam
pemahaman sosiopsikologis), dan ideologi. Oleh sebab itu, wacana hanya
dapat dipahami melalui keterkaitan situasi sosial, aksi, pelaku, dan struktur
sosial.
f. Teori wacana, merupakan seperangkat teori yang mengonseptualisasikan
wacana sebagai sebuah fenomena sosial dan mencoba menjelaskan genesis
dan strukturnya.
g. Teori Linguistik, seperti teori argumentasi, grammar, dan retorika, mencoba
mendeskripsikan dan menjelaskan pola spesifik sistem bahasa dan komunikasi
verbal. Ruth Wodak mungkin tokoh yang paling berorientasi pada teori ini.
Tidak seperti tokoh yang lain, dia secara eksplisit mencoba membangun teori
20
wacana. Dia memahami wacana sebagai rangkaian yang kompleks dari
perilaku-perilaku linguistik yang saling berhubungan dengan simultan dan
logis.
3. Analisis Wacana Kritis Theo van Leeuwen
Van Leeuwen (2008: 6) memandang wacana sebagai rekontekstualisasi
praktik-praktik sosial melalui teks. Dalam hal ini, sangat mungkin untuk
merekonstruksi suatu wacana berdasarkan teks yang membangunnya. Menurut
van Leeuwen (2008:7) ada beberapa unsur pembentuk praktik sosial, yaitu
partisipan (aktor sosial), aksi sosial, modus kinerja, syarat kelayakan partisipan,
gaya presentasi, waktu, lokasi, syarat kelayakan lokasi, alat dan bahan, serta
syarat kelayakan sumber daya.
Aktor sosial, sebagai salah satu elemen penting dari praktik sosial,
direpresentasikan oleh van Leeuwen melalui dua cara, yaitu dengan eksklusi dan
inklusi. Dalam eksklusi, van Leeuwen menggunakan strategi pasivasi untuk
menyembunyikan pelaku, strategi nominalisasi untuk menggeser fokus dari
pelaku ke peristiwa, dan strategi klausa infinitif. Sedangkan dalam inklusi, van
Leeuwen menggunakan banyak strategi determinasi, indeterminasi, Abstraksi
Objektivasi, diferensiasi, kategorisasi, fungsionalisasi, identifikasi, asimilasi,
individualisasi, sirkumtansialisasi, dan lain sebagainya untuk membuat aktor-
aktor sosial yang terlibat dalam wacana menjadi inklusif.
1.6.3 Transitifitas
Halliday dan Matthiessen (2004: 170) menjelaskan sistem transitifitas
sebagai sistem linguistik yang digunakan untuk menciptakan makna eksperiental
21
atau ideasional yang berhubungan dengan bagaimana entitas dan tindakan dalam
sebuah situasi dikodekan dalam bahasa. Sistem transitifitas terbagi atas enam
proses, yaitu proses material, proses behavioral, proses mental, proses verbal,
proses relasional, dan proses eksistensial.
Dalam proses material, “ada sesuatu yang terjadi, di mana ada seseorang
atau aktor lain yang melakukan itu atau membuat sesuatu itu terjadi”. Verba yang
menandai proses ini misalnya verba to break, to build, to meet, dan verba-verba
lain yang sejenis. Pelaku dalam proses material yang melibatkan dua partisispan
disebut agen sedangkan dalam proses material yang hanya melibatkan satu
partisipan disebut medium. Partisipan berupa objek langsung disebut goal
(tujuan), sedangkan yang berupa objek tak langsung disebut resipien. Untuk lebih
jelasnya dapat diperhatikan pada contoh berikut.
(1) John breaks a glass
Agen v.material goal
John memecahkan sebuah gelas
(2) James builds her a house
Agen v.material resipien goal
James membangun dia sebuah rumah
James membangunkannya sebuah rumah
Proses mental berhubungan dengan bagaimana kita mempersepsikan dunia
atau merepresentasikannya kepada kita sendiri. Verba yang termasuk dalam
proses ini adalah verba to believe, to know, to sense, to see, to like, to remember,
to regret, dan verba-verba lain semacamnya. Proses mental melibatkan dua jenis
22
partisipan yaitu senser yang merupakan entitas sadar, biasanya manusia, dan
phenomenon yang merupakan entitas yang termasuk dalam keadaan.
(3) Peter likes travelling
Senser v.material phenomenon
Peter suka bepergian
Jadi dalam contoh di atas, Peter merujuk pada senser, dan travelling merujuk pada
phenomenon.
Proses behavioral yang direpresentasikan oleh verba seperti to worry, to
cough, to ponder, dan verba lain yang sejenisnya, terbagi atas dua subkelas yaitu
subkelas kognitif dan subkelas fisik. Behavioral kognitif mirip dengan proses
mental yang biasanya merujuk pada situasi yang terikat sesaat. Sedangkan proses
behavioral fisik mirip dengan proses material.
(4) The cat dreamed about mice last night.
Partisipan 1 v.behavioral partisipan 2 sirkumstan
Kucing itu bermimpi tentang tikus-tikus tadi malam
(5) Peter was sitting down.
Partisipan v.behavioral
Peter sedang duduk
Bedanya, pada proses ini sub-kelas fisik tidak mempengaruhi siapapun kecuali
entitas yang melakukan proses tersebut. Misalnya,
Proses relasional berhubungan dengan bagaimana kita mengidentifikasi
dan mengklasifikasi entitas-entitas yang ada. Dalam proses ini, ketika verba
relasional memuat hubungan atributif, maka pelaku dapat disebut sebagai carrier
sedangkan ketika verba relasional memuat hubungan valuatif, maka pelaku
23
disebut sebagai token. Deskripsi yang lebih jelas dapat ditemukan dalam contoh
berikut.
(6) That woman is a professor.
Carrier v.relasional atribut
Wanita itu adalah seorang professor
(7) Ronaldo is one of my favorite football player.
Token v.relasional value
Ronaldo adalah salah satu pesepakbola favoritku
Verba yang termasuk dalam proses ini berupa to be, to remain, to seem, to have,
dan lain-lain. Misalnya,
Proses verbal merupakan proses transfer informasi yang dikodekan secara
simbolis. Dalam hal ini, proses verbal merupakan proses di mana seseorang
mengatakan sesuatu, atau aktifitas apa saja di mana informasi dikodekan ke dalam
bahasa untuk disampaikan ke orang lain yang dikategorikan verbal. Contohnya
dapat dilihat pada kalimat beikut ini.
(8) She announces her pregnancy.
penutur v.verbal verbiage
Dia mengumumkan kehamilannya
Contoh verba yang digunakan dalam proses ini adalah to speak, to announce, to
promise, to ask, dan lain-lain.
Proses eksistensial adalah proses yang menunjukkan eksistensi suatu
entitas. Verba yang paling sering merepresentasikan proses ini adalah be (is, are,),
tapi verba lain seperti exist, remain, dan ensue juga kerap digunakan. Untuk lebih
jelasnya, dapat dideskripsikan melalui contoh berikut.
24
(9) there are many people out there.
v.eksistensial eksisten
ada banyak orang di luar sana.
Dari contoh yang dipaparkan di atas, tampak bahwa proses eksistensial hanya
memiliki satu partisipan, yaitu entitas yang yang eksis atau eksisten.
1.6.4 Konjungsi
Menurut Djadjasudarma (1993: 46), konjungsi berfungsi menghubungkan
dua unsur atau lebih pada tataran sintaksis (frase, klausa, dan kalimat).
Berdasarkan makna yang didukungnya, konjungsi dalam kalimat terbagi atas
empat jenis, yaitu konjungsi aditif (and, furthermore, moreover, in addition),
konjungsi adversatif (yet, but, however, on the other hand), konjungsi kausal (so,
because, as a result, in that case), dan konjungsi temporal (then, at once, at the
same time, previously).
1.6.5 Presuposisi
Dalam bahasa Inggris, to pre-suppose (yang merupakan asal kata
presuposisi) berarti „menduga sebelumnya‟. Namun, banyak ahli bahasa,
khususnya pragmatik, yang memberikan definisi yang lebih luas. Definisi pertama
datang dari Yule (1996: 25) yang menjelaskan presuposisi sebagai sesuatu yang
diasumsikan oleh penutur sebelum membuat tuturan. Definisi senada juga datang
dari Cummings (1992: 42) yang menyatakan bahwa presuposisi adalah asumsi-
asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik
tertentu. Deskripsi yang lebih mendetail, dapat disaksikan pada data berikut.
25
(10) Mary has a dog
Mary memiliki seekor anjing
(11) Mary’s dog is cute
Anjing Mary lucu
Pada contoh di atas, petikan kalimat (10) merupakan presuposisi dari petikan
kalimat (11).
Berkenaan dengan hal ini, Wijana (1996: 37) mengemukakan bahwa
sebuah kalimat dikatakan mempresuposisikan kalimat yang lain jika
ketidakbenaran kalimat yang dipresuposisikan mengakibatkan kalimat yang
mepresuposisikan tidak dapat dikatakan benar atau salah. Contohnya dapat dilihat
sebagai berikut.
(12) Buku Siti Nurbaya sangat memikat
(13) Istri pejabat itu cantik sekali
Kalimat (12) mempresuposisikan bahwa ada buku yang berjudul Siti
Nurbaya. Kalimat (12) hanya dapat dinilai benar atau salahnya jika buku tersebut
memang ada. Sedangkan kalimat (13) mempresuposisikan bahwa pejabat itu
mempunyai istri. Hanya jika presuposisi ini benar maka kalimat (13) dapat dinilai
benar salahnya.
Yule (1996: 27) kemudian mengklasifikasikan presuposisi ke dalam enam
jenis berdasarkan jenis pemicu presuposisinya. Keenam presuposisi tersebut
adalah presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif,
presuposisi leksikal, presuposisi struktural, dan presuposisi konterfaktual.
26
1.6.6 Modalitas
Modalitas merupakan fitur linguistik yang penting untuk mengungkap
salah satu dimensi dari praktik wacana, yaitu sikap penutur terhadap aksi dan
aktor sosial dalam tuturannya. Larreya (1984 dalam Salkie dkk, 2009: 9)
mendefinisikan modalitas sebagai sebuah sistem atau subsistem mental yang
didasarkan pada konsep „kemungkinan‟ dan konsep „keharusan‟ yang saling
berhubungan satu sama lain.
Secara garis besar, Larreya membagi modalitas ke dalam dua bagian
utama, yaitu modalitas dasar, dan modalitas epistemik. Kedua kategori ini berada
pada domain yang berbeda dalam aktifitas mental manusia, yaitu domain afeksi
(pengaruh) dan/atau aksi, dan domain pengetahuan. Modalitas dasar kemudian
terbagi lagi menjadi dua tipe, yaitu modalitas fisik dan modalitas deontik. Kedua
tipe modalitas ini dapat didefinisikan sebagai batasan atau kemungkinan fisik dan
batasan atau kemungkinan moral, sebagaimana tampak pada contoh berikut ini.
(14) He had to abandon his project
Dia harus meninggalkan proyeknya
Kalimat di atas bisa jadi merupakan tuturan yang memuat keharusan fisik
(…because he was exhausted) atau keharusan moral (…because he was duty-
bound to renounce it).
Modalitas epistemik juga terbagi ke dalam dua bagian, yaitu modalitas
problematik dan modalitas implikatif yang memuat nilai kebenaran dan
implikasi. Bedanya, modalitas problematik memuat kebenaran yang nilainya
lemah, seperti contoh berikut ini.
27
(15) It may rain tomorrow.
Besok mungkin hujan
Modalitas epistemik implikatif terbagi atas dua tipe, yaitu modalitas
eksplisit dan modalitas eliptikal. Modalitas implikatif eksplisit menyebutkan
dengan eksplisit anteseden implikasi dalam sebuah klausa atau frasa yang terikat
secara sintaksis dengan bentuk modalnya, seperti contoh berikut ini.
(16) You have to be mad to do that.
Kamu pasti telah gila karena melakukan itu
Implikasi eliptikal yang dalam bahasa Inggris ditandai dengan penggunaan
will dan shall, terbagi lagi menjadi modalitas volitif yang memuat nilai keinginan
penuturnya, dan modalitas prediktif yang memuat kemungkinan yang
diperkirakan oleh penutur terhadap apa yang akan terjadi. Untuk lebih jelasnya,
dapat kita saksikan pada petikan kalimat-kalimat berikut ini.
(17) He will not answer my question
Dia tidak akan menjawab pertanyaanku
(18) He will win the match.
Dia akan memenangkan pertandingan
1.7 METODE PENELITIAN
Menurut van Leeuwen (2008: 6) wacana merupakan rekontekstualisasi
praktik-praktik sosial melalui teks berupa partisipan (aktor sosial), aksi sosial,
modus kinerja, syarat kelayakan partisipan, gaya presentasi, waktu, lokasi, syarat
kelayakan lokasi, alat dan bahan, serta syarat kelayakan sumber daya. Oleh sebab
itu, penelitian atas pidato Hasan Rouhani ini menggunakan teori analisis wacana
28
dengan pendekatan kritis model van Leeuwen (2008) untuk mengungkap tiga
dimensi praktik sosial yang direpresentasikan dalam teks yaitu (1) representasi
aktor sosial (partisipan), (2) representasi aksi sosial, dan (3) representasi sikap HR
terhadap isu yang termuat dalam pidatonya.
1.7.1 Sumber Data
Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah pidato Internasional
Hasan Rouhani di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada
tanggal 24 September 2013, di mana inilah kali pertama dia berpidato di hadapan
PBB. Pidato ini terdiri atas 29 (dua puluh Sembilan) buah paragraf dan 107
(seratus tujuh) buah kalimat. Teks pidato merupakan hasil transkripsi yang
diperoleh dari laman www.timesofisrael.com.
1.7.2 Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan dua pertimbangan
dalam memilih pidato yang akan dijadikan sumber data. Pertama adalah kebaruan
topik. Sebagaimana diketahui, pidato Rouhani disampaikan pada akhir September
2013, sehingga tema pidato tersebut masih baru dan relevan dengan masalah-
masalah yang terjadi dalam konteks kekinian. Kedua, adalah kekayaan data.
Pidato ini memiliki kekayaan data secara linguistik sehingga diasumsikan mampu
menjawab semua pertanyaan yang termuat dalam rumusan masalah secara
komprehensif.
Data ini kemudian diobservasi oleh peneliti dengan mencatat penggunaan
bahasanya yang relevan. Data yang telah diamati dan dicatat ini kemudian
diidentifikasi sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya.
29
Sebagai proses terakhir, data kemudian diklasifikasi berdasarkan pemilihan
katanya, transitifitas, modalitas, negasi, konjungsi, anak kalimat, presuposisi,
eksklusi dan inklusi aktor sosialnya.
1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada
tiga dimensi praktik sosial yang diadaptasi dari analisis wacana kritis model van
Leeuwen (2008) yang terdiri atas tiga tahapan analisis, yaitu (1) analisis
representasi sikap pewacana terhadap isu-isu yang termuat dalam wacananya, (2)
analisis representasi aksi sosial, dan (3) analisis representasi aktor sosial
(partisipan). Berdasarkan tiga tahapan analisis wacana model van Leeuwen ini,
maka peneliti menganalis data dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Menganalisis bagaimana representasi sikap HR terhadap isu-isu yang
termuat dalam pidatonya berdasarkan penggunaan tipe modalitasnya.
Dalam tahapan ini, penulis berpedoman pada teori modalitas Paul
Larreya (1984 dalam Salkie, dkk, 2009).
2. Menganalisis bagaimana HR merepresentasikan aksi-aksi sosial dalam
pidatonya berdasarkan pemilihan katanya, proses transitifitas,
penggunaan konjungsi, dan presuposisinya. Dalam tahapan ini, penulis
berpedoman pada teori Fowler, dkk (1996) pada pemilihan kata, teori
Halliday dan Matthiessen (2004) pada proses transitifitas, dan teori
Yule (1996) pada penggunaan presuposisi.
3. Menganalisis bagaimana HR merepresentasikan aktor-aktor sosial
yang terlibat dalam pidatonya berdasarkan strategi inklusifitas dan
30
eksklusifitas aktor sosial. Dalam tahapan ini, penulis berpedoman pada
teori van Leeuwen (2009).
Dalam proses selanjutnya, penulis sebagian besar menggunakan teknik
parafrase untuk mengembangkan analisisnya.
1.7.4 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data kemudian disajikan secara deskriptif atau informal
sesuai dengan rumusan masalah dan kerangka analisis yang telah dibuat
sebelumnya. Penyajian data secara deskriptif ini dilakukan dengan kata-kata biasa
yang disertai dengan contoh-contoh yang relevan untuk memperoleh jawaban
yang komprehensif atas rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya.
Selain itu, analisis juga disajikan dalam bentuk formal dengan menggunakan tabel
yang mengklasifikasikan data hingga terperinci sedemikian rupa, sehingga
memudahkan pembacaan dan pemahaman terhadap hasil analisis data yang
dipaparkan.
1.8 SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan terhadap penelitian ini beserta hasil analisisnya dipaparkan
dengan sistematika sebagai berikut.
1. Bab I berupa pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
2. Bab II berupa hasil analisis data tahap dimensi praktik sosial pertama,
yaitu deskripsi penggunaan fitur-fitur linguistik dalam bentuk dan isi
31
pidato untuk mengungkap representasi sikap HR terhadap isu-isu yang
termuat dalam pidatonya dengan perangkat analisis berupa modalitas
dan negasi setelah sebelumnya diawali dengan pemaparan konteks
sosial politik yang melatarbelakangi wacana.
3. Bab III berupa hasil analisis data tahap dimensi praktik sosial kedua
yaitu deskripsi penggunaan fitur-fitur linguistik dalam bentuk dan isi
pidato untuk mengungkap representasi aksi-aksi sosial dalam pidato
HR dengan perangkat analisis berupa pemilihan kata, proses
transitifitas, penggunaan konjungsi, anak kalimat penjelas, dan
presuposisi.
4. Bab IV berupa hasil analisis data tahap dimensi praktik sosial ketiga
yang mendeskripsikan penggunaan fitur-fitur linguistik dalam bentuk
dan isi pidato untuk mengungkap representasi aktor-aktor sosial atau
partisipan yang terlibat dalam teks pidato HR.
5. Bab V berupa penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran.