Upload
buithu
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak tahun 1970, Sistem Informasi Geografis (SIG) muncul sebagai
bidang multidisiplin dan telah berkembang sampai saat ini dengan adanya peluang
baru untuk penelitian epidemiologi. Sistem Informasi Geografis (SIG)
memungkinkan pengguna memilih beberapa opsi pada saat distribusi geografis
yang merupakan bagian dari masalah kesehatan (Clarke et al., 1996).
Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan sebagai alat untuk
melakukan analisis data yang menghasilkan gambaran lengkap dan komprehensif
terhadap suatu masalah kesehatan yang terkait dengan keruangan atau disebut juga
dengan spasial. Basis data SIG dikaitkan dengan metode analisis spasial serta
manajemen dan manipulasi data yang mampu menentukan hubungan antara
distribusi penyakit secara spasial dengan kondisi lingkungan di suatu wilayah
(Munsaroh, 2013). Hal ini berkaitan dengan diare yang sangat berhubungan dengan
lingkungan sebagai faktor risiko penyakit diare, maka diare merupakan salah satu
jenis penyakit yang faktor risikonya dapat dimodelkan dengan analisis SIG.
Penyakit diare adalah penyakit yang sampai saat ini masih menjadi
masalah kesehatan dunia terutama di negara berkembang dan jika penanganannya
tidak tepat dapat berujung pada kematian (Pratiwi, Yuniar and Meiyana, 2015).
Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka kesakitan dan kematian
akibat diare. WHO memperkirakan 4 milyar kasus terjadi di dunia pada tahun 2000
dan 2,2 juta diantaranya meninggal, sebagian besar anak-anak dibawah umur 5
tahun (Majid and Sofiana, 2015). Angka kejadian diare pada anak tiap tahun
diperkirakan 2,5 milyar, dan lebih dari setengahnya terdapat di Afrika dan Asia
Selatan dan akibat dari penyakit ini lebih berat serta mematikan. Secara global
setiap tahun penyakit ini menyebabkan kematian balita sebesar 1,6 juta (Karyono,
Basirun and Septiwi, 2009).
Angka kejadian diare di Indonesia masih cukup tinggi dan merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Berdasarkan survey
2
kesehatan yang dilakukan dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare merupakan
salah satu penyebab kematian balita di Indonesia (Basuki and Sumekar, 2015).
Berdasarkan laporan pada tahun 2010 dan tahun 2011 dilaporkan KLB diare pada
balita terjadi di 11 provinsi dengan masing-masing CFR 1,74%. Untuk tahun 2012
dilaporkan KLB diare pada balita terjadi di 14 provinsi dengan CFR 1,75%.
Kemudian pada tahun 2013 dilaporkan terjadi di 12 provinsi dengan CFR sebesar
1,91%. Sedangkan untuk tahun 2014 dilaporkan KLB diare terjadi di 5 provinsi, 6
kabupaten/kota, dengan CFR sebesar 1,14% dengan 29 kematian (Kemenkes RI,
2014). Penyebab utama kematian akibat diare adalah tata laksana yang tidak tepat
baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk menurunkan kematian karena
diare perlu tata laksana yang cepat dan tepat (Kemenkes RI 2011).
Banyak faktor yang berperan dalam masalah kejadian diare antara lain
faktor lingkungan terutama ketersediaan dan pemanfaatan air bersih, jamban
keluarga serta tempat pembuangan sampah (Mangguang, 2013). Faktor lingkungan
memiliki peran penting terhadap kesehatan dan faktor ini juga saling berinteraksi,
misalnya bila sanitasi lingkungan buruk dan didukung dengan higiene individu
yang kurang baik, maka dapat berakibat timbulnya penyakit diare (Adawiyah,
2012).
Selain data terkait sanitasi lingkungan, pola pemberian Air Susu Ibu (ASI)
dan makanan pendamping ASI (MPASI) juga merupakan salah satu faktor risiko
penyebaran diare terutama pada anak (Fajrin, 2013). Pada aspek perilaku dan
higiene ibu menunjukkan bahwa perilaku hidup bersih yang dilakukan ibu
mempunyai hubungan yang bermakna dalam mencegah terjadinya penyakit diare
pada bayi dan balita. Salah satu perilaku hidup bersih yang umum dilakukan ibu
adalah mencuci tangan sebelum memberikan makan pada anaknya (Adisasmito,
2007).
Hasil penelitian oleh Wandansari (2013) ditemukan bahwa terdapat
hubungan antara kualitas sumber air minum dan pemanfaatan jamban keluarga
dengan kejadian diare di Desa Karangmangu Kecamatan Serang Kabupaten
Rambang. Jadi, salah satu faktor penting yang mempengaruhi munculnya diare
yaitu sumber air minum, faktor lingkungan (pembangunan sampah, sarana air
3
bersih, pembuangan kotoran/tinja, pemanfaatan jamban keluarga) dan faktor
lainnya seperti perilaku masyarakat.
Berdasarkan hasil Susenas 2014 mengenai persentase rumah tangga yang
memiliki akses terhadap sanitasi layak secara nasional yaitu hanya tiga provinsi
yang memenuhi target Renstra Kemenkes tahun 2014 yaitu DKI Jakarta, DI
Yogyakarta, dan Kepulauan Bangka Belitung dengan persentase lebih dari 75%.
Berdasarkan konsep dan definisi MDGs, rumah tangga memiliki akses sanitasi
layak apabila fasilitas sanitasi yang digunakan memenuhi syarat kesehatan antara
lain dilengkapi dengan leher angsa, tanki septik (septic tank) atau sistem
pengolahan air limbah (SPAL), yang digunakan sendiri atau bersama (Kemenkes
RI, 2014).
Penelitian mengenai hubungan antara sanitasi lingkungan dan personal
hygiene ibu dengan kejadian diare pada balita di kelurahan Sumu Rejo Kecamatan
gunung pati, Semarang menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kondisi tempat
sampah, mencuci tangan dengan sabun sebelum menyuapi anak dengan kejadian
diare pada balita di kelurahan Sumu Rejo, Semarang (Pratama, 2013). Selain faktor
lingkungan, kelengkapan imunisasi juga berperan terhadap terjadinya kesakitan
diare. hal ini dibuktikan pada penelitian sebelumnya bahwa kelengkapan imunisasi
dan pembuangan sampah juga mempengaruhi angka kejadian Diare (Mano, Kadir
and Pateda, 2015).
Menurut (Maryuani, 2010) Diapers merupakan popok yang digunakan
untuk melindungi genetalia anak yang memiliki daya serap tinggi dan terbuat dari
bahan plastik serta campuran bahan kimia untuk menampung sisa-sisa metabolisme
seperti feses serta urine yang bersifat disposable atau sekali pakai, dan frekuensi
ganti popok diharuskan lebih dari 5 kali dalam sehari atau tergantung pengeluaran
urine atau feses anak. Berdasarkan hasil peneltian oleh Noriko (2012) kasus atopic
dermatitis pada bayi yang menggunakan diapers dijumpai adanya mikroba
Escherichia coli (E.Coli) Klebsiela, dan Candida yaitu bakteri yang dapat
menyebabkan diare. Disamping itu penggunaan diapers yang sekali pakai dapat
menimbulkan masalah lingkungan karena bahan penyusunnya
4
Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi yang
dilaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare pada balita secara nasional pada tahun
2013. Di Sulawesi Tenggara tahun 2011, angka kejadian diare pada Balita sebanyak
13.002 kasus. Pada tahun 2012 jumlah kesus diare pada balita meningkat sebanyak
14.669 kasus, dan pada tahun 2013 sebanyak 14.754 kasus. Penelitian ini berlokasi
di Kota Kendari yang merupakan salah satu kota yang memiliki angka kejadian
diare tertinggi di provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2015. Adapun grafik
jumlah diare pada balita dapat ditunjukkan pada gambar 1.
Gambar 1 Jumlah Kasus Diare Pada Balita Di Kota Kendari Tahun 2012-2015
Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa, jumlah kasus diare pada balita
di Dinas Kesehatan Kota Kendari pada tahun 2012 sebanyak 2035 balita, kemudian
terjadi peningkatan kasus pada tahun 2013 yaitu sebanyak 2068 balita. Jumlah
kasus diare pada balita pada tahun 2014 dilaporkan sebanyak 1980 balita, hal ini
menandakan terjadinya penurunan kasus pada tahun tersebut. Akan tetapi, terjadi
peningkatan jumlah kasus pada tahun 2015 yaitu sebanyak 2033 balita. selain itu,
dilaporkan bahwa 16 orang balita meninggal (Dinkes Provinsi Sulawesi Tenggara,
2015). Kejadian Luar Biasa (KLB) diare pada balita di Kota Kendari tersebut
disebabkan karena sanitasi yang buruk, faktor lingkungan dan kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat.
2035
2068
1980
2033
1920
1940
1960
1980
2000
2020
2040
2060
2080
2012 2013 2014 2015
Jum
lah K
asus
Jumlah Kasus Diare Pada Balita
Di Dinas Kesehatan Kota Kendari Tahun 2012-2015
5
Pada beberapa penelitian terdahulu mengenai kejadian diare telah banyak
dilakukan terutama mengenai faktor risiko kejadian diare dan perilaku hidup bersih
dan sehat. Namun penggunaan sistem informasi geografis untuk mengetahui
kerentanan suatu wilayah berdasarkan faktor risiko suatu penyakit khususnya
penyakit diare masih belum banyak penelitian yang dilakukan terutama di Kota
Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Menurut Mangguang (2013) sistem informasi
Geografis dapat dimanfaatkan untuk membuat peta kesehatan dan mendapatkan
informasi data epidemiologi. informasi ini ketika dipetakan, akan menjadi alat yang
berguna untuk memetakan risiko penyakit penyakit diare.
Penelitian terkait analisis spasial belum pernah dilakukan sebelumnya di
Kota Kendari. Kota Kendari dengan karakteristik spasial yang bervariasi antar
daerah, sehubungan dengan perkembangan teknologi informasi, sehingga perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan SIG dan mengidentifikasi
faktor risiko kejadian diare pada balita tersebut di Kota Kendari dengan demikian
dapat dilakukan intervensi yang tepat untuk pengambilan keputusan dalam
pengendalian dan penanggulangan penyakit.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperoleh perumusan masalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana distribusi kejadian diare pada balita di Kota Kendari?
b. Apakah ada hubungan faktor risiko (faktor lingkungan, faktor sosio demografi,
dan faktor perilaku) dengan kejadian diare pada balita di Kota Kendari?
c. Apakah ada hubungan jarak sanitasi dasar ke sumber air minum terhadap
kejadian diare pada balita di Kota Kendari?
d. Apakah faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian diare pada
balita di Kota Kendari?
e. Bagaimana kerentanan wilayah secara spasial di Kota Kendari?
6
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengimplementasikan penggunaan sistem
informasi geografis untuk pemetaan kerentanan wilayah berdasarkan faktor
risiko kejadian diare pada balita di Kota Kendari.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
a. Mengetahui distribusi kejadian diare pada balita di Kota Kendari
b. Mengidentifikasi faktor risiko kejadian diare pada balita menurut faktor
lingkungan, faktor sosio demografi, dan faktor perilaku terhadap kejadian
diare di Kota Kendari
c. Mengidentifikasi hubungan jarak sanitasi dasar ke sumber air minum
terhadap kejadian diare pada balita di Kota Kendari
d. Mengidentifikasi faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian
diare pada balita di Kota Kendari
e. Mendeskripsikan kerentanan wilayah secara spasial di Kota Kendari
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Masyarakat
Memberikan informasi tentang pemetaan kerentanan wilayah berdasarkan
faktor risiko kejadian diare pada balita dan menimbulkan kesadaran bagi
keluarga atau masyarakat akan pentingnya upaya pencegahan penyakit diare
pada balita.
2. Bagi Akademik dan Penelitian Lanjutan
Menjadi bahan bacaan yang akan memperkaya ilmu pengetahuan khususnya
terkait penggunaan SIG dalam bidang kesehatan masyarakat dan akan sangat
bermanfaat dan mempermudah dalam pemantauan aspek keruangan dan untuk
pengontrolan melalui peta yang disajikan.
3. Bagi Dinas Kesehatan Dan Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu analisis data surveilans diare
sehingga lebih terorganisir dan membantu dalam pemberantasan dan
7
penanggulangan diare pada balita khususnya serta dapat memberikan masukan
dalam membuat kebijakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di
masyarakat dan bahan masukan dalam merencanakan program untuk upaya
pencegahan penyakit diare khususnya diare pada balita di Kota Kendari.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini mengenai penggunaan sistem informasi geografis (GIS)
untuk pemetaan kerentanan wilayah berdasarkan faktor risiko kejadian diare antara
lain:
1. Chaikaew et al., (2009) meneliti tentang epidemi wabah diare di provinsi
Chiang Mai, Thailand Utara, dalam hal distribusi geografis dan identifikasi
hotspot. Data penderita diare di tingkat desa dan 2001-2006 sensus penduduk
dikumpulkan untuk mencapai tujuan. Analisis spasial, dengan menggunakan
sistem informasi geografis (GIS) dan metode lainnya, digunakan untuk
mengungkap fenomena tersembunyi dari data. Hasil penelitian yaitu peta
hotspot yang dihasilkan oleh LISA dan KD teknik menunjukkan pola tren
spasial difusi diare. Desa di wilayah tengah dan utara mengungkapkan insiden
yang lebih tinggi. Juga, pola spasial diare selama tahun 2001 dan 2006
ditemukan untuk mewakili pola spasial berkerumun, baik di skala global dan
lokal. Perbedaan pada penelitian ini yaitu penelitian ini menggunakan data 6
tahun sebelumnya untuk melihat tren spasial diare, namun tidak melihat
kerentanan wilayah. Persamaannya adalah menggunakan sistem informasi
geografis untuk analisis spasial.
2. Adawiyah (2012) meneliti tentang persebaran kejadian diare pada balita secara
spasial di Kecamatan Gandus Kota Palembang. Hasil analisis multivariabel
menunjukkan faktor risiko kejadian diare pada balita adalah sumber air minum,
sedangkan jamban keluarga, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan
air limbah, jarak sarana sanitasi dasar ke sumber air minum dan aksesibilitas
fisik ke pelayanan kesehatan bukan menjadi faktor risiko kejadian diare pada
balita. Perbedaan pada penelitian ini adalah variabel aksesbilitas fisik tidak
diteliti, rancangan penelitiannya case control, selain itu hanya menunjukkan
8
distribusi penderita diare secara spasial tetapi kerentanan wilayahnya secara
spasial tidak ditunjukkan. Persamaanya adalah pada beberapa variabel yang
diteliti.
3. Anders et al. (2015) meneliti tentang epidemiologi dan etiologi penyakit diare
pada bayi di Vietnam Selatan. Hasil penelitian yaitu didapatkan insiden
minimum penyakit diare pada tahun pertama adalah 271/1000 bayi-tahun
pengamatan untuk seluruh kohort. Rotavirus adalah patogen yang paling sering
terdeteksi (50% dari sampel positif), diikuti oleh norovirus (24%),
Campylobacter (20%), Salmonella (18%), dan Shigella (16%). Infeksi berulang
diidentifikasi di 9% dari bayi yang terinfeksi rotavirus, norovirus, Shigella, atau
Campylobacter, dan 13% dari mereka dengan infeksi Salmonella. Perbedaan
penelitian ini adalah pada jenis penelitain studi kohort dan beberapa variabel
yang diteliti. Persamaannya adalah menggunakan analisis spasial.
4. Thompson et al. (2015) meneliti tentang dampak dari variasi lingkungan dan
iklim pada tren spatio temporal dari rumah sakit diare pediatrik di Kota Ho Chi
Minh, Vietnam, bertujuan untuk mengukur variasi berdasarkan dampak dari
kondisi lingkungan pada risiko penyakit diare di seluruh kota. Penelitain ini
mengembangkan model efek regresi campuran untuk membedakan variasi
tingkat risiko kabupaten. Teridentifikasi heterogenitas spasial yang cukup besar
dalam risiko semua penyebab diare di kabupaten kota Ho Chi Minh rendah
dengan tanggapan elevasi dan diferensial banjir, suhu udara, dan kelembaban
mengemudi heterogenitas spasial lebih lanjut dalam risiko penyakit diare.
Perbedaan pada penelitian ini adalah menggunakan analisis spatio temporal dan
variabel yang diteliti. Persamaannya adalah menggunakan SIG untuk analisis
spasial.
5. Wijayanti (2013) meneliti tentang kondisi sanitasi lingkungan, demografi,
topografi dan curah hujan yang berperan sebagai faktor risiko kejadian diare
akut pada penderita usia 5-14 tahun di Kabupaten Kulon Progo tahun 2011
dimana pada hasil dan kesimpulan diperoleh pada anak usia 5-14 tahun di
Kabupaten Kulon Progo tahun 2011, tingginya kepadatan penduduk
menyebabkan tingginya angka insidens diare cair akut, akan tetapi tidak untuk
9
disentri. Tingginya angka insidens diare akut disebabkan oleh curah hujan yang
sangat rendah dan sangat tinggi. Perbedaan penelitian ini yaitu menggunakan
analysis spatially weighted regression serta pada variabel yang diteliti.
Persamaannya yaitu variabel sanitasi lingkungan dan menggunakan SIG untuk
analisis spasial.