Upload
votuyen
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehadiran Islam dalam budaya populer masyarakat Indonesia dirasa
bukanlah hal yang baru lagi. Dalam dunia hiburan misalnya, tidak sedikit program
televisi yang menggambarkan Islam dan bahkan memasukan Islam kedalam
segala jenis program. Dunia pertelevisian masih mempertahankan acara talk show
bertajuk agama yang terkadang terkesan menggurui seperti Mamah dan AA
beraksi di Indosiar, Kata Ustadz Solmed di SCTV, dan Assalamualikum Ustadz di
RCTI, namun mulai banyak program-program dengan tema non Islam, namun
seperti sengaja “diIslamkan”, sebagai contoh trend acara travelling biasa
dibawakan dengan gaya seperti seorang backpacker atau traveller kelas menengah
keatas berubah dengan tampilan pembawa acara yang menggunakan hijab namun
dengan gaya yang trendy. Lambat laun program travelling ini juga berkembang
menjadi travelling muslim seperti yang ditunjukan pada acara muslim traveller di
NET TV. Tidak hanya masuk ke program travelling, Islam juga dikemas dalam
tampilan seperti berita seperti program Berita Islam Masa Kini dan Berita Islami
Siang di Trans TV. Program ini dikemas secara sangat Islami, mulai dari
pembawaan pembawa acara yang menggunakan baju koko serta hijab,
penggunaan tag line berbau Islami, hingga penyajian berita yang hanya berbicara
seputar Islam. Tidak hanya itu, Islam juga sering kali dimasukan sebagai tema
utama dalam ftv ataupun sinetron-sinetron di televisi. Sebut saja beberapa sinetron
seperti Tukang Bubur Naik Haji di RCTI, 3 Semprul Mengejar Cinta 3 di SCTV,
Cerita Tuhan dan Rahasia Tuhan di Trans TV, Islam dalam beberapa sinetron
diatas dikemas dengan gaya yang lebih ringan serta dikaitkan dengan kehidupan
sehari-hari, bahkan dikemas dengan gaya komedi seperti ditampilkan pada 3
2
Semprul Mengejar Cinta 3. Fenomena berkembangnya konten Islami dalam media
dapat dikatakan menjadi salah satu gejala munculnya post Islamisme di Indonesia.
Post-Islamisme sendiri merupakan sebuah terminologi yang menurut Asef
Bayat sebagai sebuah gerakan yang didasari oleh keinginan masyarakat untuk
mengekspresikan diri setelah merasakan tekanan. Dalam tulisannya, Bayat
mengatakan:
Remarkable social and intelecual trends and movements expressed in religiously innovative
discourses by youth, students, women, and religious intelectuals who called for democracy,
individual rights, tolerance, and gender equality, as well as the separation as religion from
state. Yet instead of throwing away religious sensibilities altogether, they set it to push for
an inclusive religiosity one which came to subvert the Islam of officialdom. (Bayat, What Is
Post Islamism, 2005)
Meskipun Bayat menggunakan post Islamisme untuk menjelaskan
perubahan politik yang terjadi pada negara yang mengalami transisi pemerintahan
dari pemerintahan Islamis radikal menuju moderat, Heryanto mengatakan bahwa
konsep post Islamisme Bayat juga dapat digunakan untuk melihat perubahan
kultur yang terjadi pada masyarakat pada masa post Islamisme dengan berbagai
modifikasi dan penyesuaian. Heryanto mengatakan bahwa,
Post Islamisme yang bersifat kultural, yang mencakup baik budaya tinggi elite intelektual
maupun budaya rendah yang menemukan ekspresinya pada hiburan dan gaya hidup
populer sehari-hari (Heryanto, Identitas dan Kenikmatan, 2015)
Masa post Islamisme di Indonesia dapat dikatakan berawal atas
ketidakpuasan masyarakat atas politik Islam yang dilakukan oleh partai
berdasarkan syariah serta mengoreksi modernisasi yang terjadi dibawah orde baru.
Pada masa akhir pemerintahannya, Soeharto mendadak mengubah startegi
politiknya dengan mengajak kelompok Islam dari berbagai golongan untuk masuk
ke pemerintahannya. Berubahnya strategi politik Soeharto dicurigai sebagai upaya
untuk menyelamatkan kekuasaannya dan meraih simpati masyarakat. Pada masa
itu, banyak kelompok-kelompok Islam yang berhasil menduduki pemerintahan
dan berusaha memasukan praktik-praktik Islam dalam kebijakan pemerintah,
menghukum segala sesuatu yang menghina Islam dan melegalkan segala praktik-
praktik yang mengatas namakan Islam. Fenomena ini berlanjut hingga tahun
2000, di mana kelompok milisi yang mengatasnamakan Islam mulai melakukan
diskriminasi terhadap kelompok-kelompok non-Islam dan bahkan terhadap
3
kelompok Islam minoritas, kelompok yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran
Islam yang disetujui oleh pemerintah. Tidak hanya terjadi perubahan dalam
bidang pemerintahan, terdapat juga perubahan yang cukup besar dalam
pertelevisian. Sebagai contoh pada tahun 1989 s.d 1999 program di RCTI lebih
banyak bertema sekuler hanya terdapat satu program yang bertajuk Islam yakni
program Renungan Malam (Wikipedia). Pada tahun 2000 s.d 2010 terdapat
peningkatan dengan hadirnya tujuh program bertajuk Islam yakni
Assalamualaikum Ustadz, sebuah program talk show yang berusaha melihat
masalah dari sudut pandang Islam, pada era ini mulai muncul sinetron yang
bernuansa Islam yaitu Baim Anak Sholeh, Emen Anak Pesantren, serta PadaMu
Ku Bersimpuh, selain itu muncul pula program lainnya seperti Soleha serta
Taqwa. Fenomena ini sangat berbeda dengan keadaan pertelevisian dewasa ini.
Hanya untuk tahun 2016 saja RCTI telah memiliki lima program bertajuk Islam
yakni Assalamualikum Ustadz, Hafiz 2016, Preman Pensiun, Tukang Bubur Naik
Haji, dan Ngantri ke Surga (RCTI). Selain itu bertambahnya program-program
yang bertajuk Islami, sekarang juga muncul program-program bertemakan Islam
dengan konsep yang berbeda. Berkembang dari talk show bertemakan Islam serta
sinetron yang disusupi nilai-nilai agama Islam kini banyak varian baru program
bertema Islam seperti ajang pencarian tokoh Islam seperti Hafiz 2016 di RCTI
serta Putri Muslimah 2016 di Indosiar. Tidak hanya ajang pencarian tokoh,
muncul pula program yang membahas mengenai kehidupan selebritis yang
memiliki citra keIslaman modern seperti Laudya Cinthya Bella. Laudya sendiri
diberikan satu program khusus berjudul Diari Laudya Cinthya Bella di Trans TV.
Bahkan muncul program berita yang hanya membahas mengenai Islam seperti
Berita Islam Masa Kini serta Berita Islami Siang di Trans TV. Maraknya
program-program bertema Islam di televisi seolah ingin mendekatkan khalayak
terhadap ajaran-ajaran Islam.
Islamisasi di tingkat pemerintahan tidak hanya menjadi penyebab utama
munculnya masa post Islamisme di Indonesia, modernisasi juga memiliki peranan
penting atas munculnya post Islamisme. Modernisasi muncul sebagai titik awal
pemicu gerakan mendefiniskan ulang beberapa aspek keagamaan yang dinilai
4
terlalu konservatif. Walaupun tidak terorganisasi dengan baik, gerakan ini lebih
banyak dianut oleh generasi muda yang hendak berpartisipasi penuh dalam dunia
modern tanpa harus dinilai meninggalkan keimanan mereka oleh pemeluk Islam
konservatif. Gerakan ini berusaha mendefinisikan arti menjadi muslim modern,
berusaha melepaskan diri dari kecenderungan Islam yang eksklusif dan kelompok-
kelompok yang mengatasnamakan Islam untuk melakukan kekerasan. Generasi
muda yang menganut gerakan ini juga berharap dapat menikmati selera
kebudayaan mereka, menikmati pendidikan prestige, dan gengsi namun sambil
membanggakan keagamaan mereka. Perkembangan media massa juga
memberikan kontribusi dalam penyebaran gerakan baru ini, salah satunya dengan
kemunculan bintang dakwah televisi (televangelist).
Kemajuan media massa memberikan ruang gerak bagi gerakan ini. Tidak
seperti kaum konservatif yang melakukan dakwah melalui tradisi tatap muka
seperti tradisi yang sudah dilakukan sejak lama, gerakan ini banyak
memanfaatkan media massa untuk melakukan dakwah, sehubungan dengan
kebutuhan generasi muda akan media massa. Salah satu dampak gerakan baru
yang paling terasa ini adalah dengan kemunculan jenis pendakwah baru,
pendakwah televisi (televangelist). Tren ini dimulai dengan kemunculan AA
Gym, Jefry al-Buchori, dan pemuka agama lainnya yang masuk ke dunia
pertelevisia untuk melakukan dakwah. Seiring dengan berjalannya waktu, tren ini
tidak lagi hanya dilakukan oleh pemuka agama yang memang telah mendalami
ilmu agama melalui pendidikan formal, tren ini juga menghasilkan pendakwah
versi baru, selebritas yang tidak m emiliki latar belakang agama kini dapat leluasa
menamai dirinya sebagai pendakwah masa kini.
Tidak hanya memunculkan cara berdakwah yang baru, gerakan ini juga
berusaha melakukan penyebaran agama Islam melalui film. Islamisasi yang
dilakukan melalui gerakan ini tidak melulu dengan cara mengabarkan Islam
dengan ayat-ayat suci namun lebih kepada penerapan agama dalam kehidupan
sehari-hari dalam budaya modern. Film bertemakan Islam sebenarnya bukanlah
hal yang baru lagi. Film bertemakan Islam pertama yang diproduksi merupakan
Tauhid yang diproduksi pada tahun 1964 (film indonesia). Pada tahun 1982 dibuat
5
film bertemakan Islam kedua yang berjudul Titian Serambut Dibelah Tujuh karya
Chaerul Umam. Film bertemakan Islam sempat berhenti diproduksi hingga
diproduksi lagi pada tahun 2008. Film ketiga ini, Ayat-ayat Cinta karya Hanung
Bramantyo, sekaligus sebagai penanda mulainya trend film bertemakan Islam di
dunia perfilman Indonesia yang langsung disusul dengan Ketika Cinta Bertasbih
dan Perempuan Berkalung Sorban.
Berbeda dengan film Islami sebelum masa post Islamisme dimulai di
Indonesia, film-film bertemakan Islami setelah masa Soeharto lebih menekankan
nilai modernitas yang disandingkan dengan agama. Film-film ini lebih cenderung
berakhir dengan salah satu tokohnya masuk Islam, dan terjadi penegasan
hubungan positif dengan Islam tak terbatas pada tokoh-tokoh di dalam layar
(Paramaditha, Passing and Conversion Narratives: Ayat-Ayat Cinta and Muslim
Performativity in Contemporary Indonesia, 2010). Tidak hanya itu, film Islami
post Islamisme juga lebih banyak bercerita mengenai anak muda yang berhasil
dalam kehidupannya, namun juga tetap mengamalkan praktik agama dalam
kehidupan sehari-hari. Tak jauh berbeda dengan dunia pertelevisian, dunia
perfilman pun tak luput dari trend “Islam” ini. Mulai banyak film-film karya
sineas muda yang mengangkat tema Islam. Islam dalam film ini ditampilkan
dengan berbagai cara, tidak melulu ditampilkan dengan gaya menggurui, namun
juga seringkali ditampilkan sebagai gaya hidup anak muda yang lebih ringan atau
bahkan muncul di selipan film komedi. Berikut ini adalah daftar judul film
bertemakan Islam karya sineas Indonesia sejak tahun 2008 hingga 2015,
Tahun Judul Film
2008 3 Doa 3 Cinta, Syahadat Cinta, Mengaku Rasul: Sesat, Kun Fayakuun,
Ayat-Ayat Cinta, Cinta Setaman.
2009 Emak Ingin Naik Haji, Ketika Cinta Bertasbih 2, Ketika Cinta
Bertasbih, Perempuan Berkalung Sorban.
2010 Dalam Mihrab Cinta, Mafia Insyah, Sang Pencerah, Dibawah Langit.
2011 Hafalan Shalat Delisa, Sajadah Ka‟bah, Kehormatan di Balik
Kerudung, Semesta Mendukung, Masih Bukan Cinta Biasa, Baik-Baik
6
Sayang, Khalifah, Lovely Man, Rindu Purnama.
2012 Mata Tertutup, Cinta Tapi Beda, Bidadari-Bidadari Surga, Denok dan
Gareng, Sang Martir, Rumah di Seribu Ombak, Cinta Suci Zahrana,
Love is Brondong, Negeri 5 Menara, Ummi Aminah, KTPnya si Islam
Bro….
2013 Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, 99 Cahaya di Langit Amerika,
Hati ke Hati, Malam Seribu Bulan, Moga Bunda disayang Allah, La
Tahzan, Bismillah Aku Mencintaimu, Sang Kiai.
2014 Assalamualaikum Beijing, Kukejar Cinta ke Negeri Cina, 99 Cahaya di
Langit Eropa: Final Edition, Haji Backpacker, Aku, Kau, dan KUA,
Hijabers in Love, Ma‟rifat Cinta, Hijrah Cinta, Seputih Cinta Melati,
Ketika Tuhan Jatuh Cinta, 99 Cahaya di Langit Eropa: Part 2, Mentari
dari Kurau.
2015 Bulan Terbelah di Langit Amerika, Harim di Tanah Haram, Bait Surau,
Air Mata Surga, Air Mata Fatimah, Surga yang Tak Dirindukan,
Mencari Hilal, Ayat-Ayat Adinda, Guru Bangsa Tjokroaminoto, Ada
Surga di Rumahmu, Penjuru 5 Santri, Hijab.
Tabel 1. 1. Daftar Film Bertemakan Islam. Sumber: filmindonesia.or.id
(http://filmindonesia.or.id/movie#.VvUcpdJ97IV)
Penggambaran Islam ala gerakan baru ini tentunya diadopsi oleh banyak
sineas di Indonesia, hal ini disebabkan oleh tingginya keinginan masyarakat
“Islam” melihat potret Islam di dunia modern. Salah satu film Islami yang
menggunakan konsep Islamisasi ala gerakan baru ini adalah film Ketika Mas
Gagah Pergi karya Firman Syah (kmgpthemovie, 2015). Film yang diangkat dari
novel berjudul sama karya Helvy Tiana Rosa ini bercerita mengenai perubahan
kehidupan Islami seorang adik yang didahului dengan perubahan kehidupan
Islami sang kakak. Gagah, sang kakak, seorang pemuda modern yang berhasil
mengalami hidayah yang membuatnya berubah dari sekedar Islam biasa menjadi
seorang penganut Islam yang soleh dan selalu mengamalkan agamanya.
Perubahan yang terjadi pada sang kakak membuat Gita, sang adik, awalnya jengah
namun pada akhirnya terpengaruh dengan keIslaman sang kakak, Gita akhirnya
berubah menjadi seorang gadis muslim yang taat. Dari seorang gadis modern yang
7
kasar menjadi seorang gadis muslimah sabar dan santun dan bahkan
menggunakan jilbab. Terlepas dari konten film yang sesuai dengan konsep Islami
post Islamisme, film ini terbukti dapat menarik perhatian masyarakat Islam di
Indonesia. Walaupun hanya mampu menarik 141.800 penonton selama
pemutarannya, film ini berhasil mendapatkan sumbangan sebanyak
Rp305.987.265 atau terbilang tiga ratus lima juta sembilan ratus delapan puluh
tujuh ribu dua ratus enam puluh lima rupiah dari 405 orang donatur
(kmgpthemovie, 2015).
Tidak hanya mendapatkan dukungan yang terbilang tinggi melalui materi,
film ini ternyata memiliki dukungan yang kuat dari masyarakat yang berbasis
“Islam”. Hal ini terlihat dari tingginya permintaan masyarakat terhadap film ini.
Walaupun pada masa tayang perdana film ini hanya mampu meraih 141.800
penonton, film ini kembali diputar di bioskop berkat permintaan yang tinggi dari
khalayak (Rosa, 2016). Film ini kembali diputar dengan program nobar di 100
kota bekerjasama dengan FLP (Forum Lingkar Pena) dan KOPFI (Komunitas
Pencinta Film Indonesia). Program ini dimulai sejak 21 Januari 2016 dan terus
berlanjut hingga akhir Maret ini. Berikut ini adalah data perolehan penonton nobar
film Ketika Mas Gagah Pergi untuk Bulan Januari,
No Tanggal Lokasi Jumlah
Penonton Komunitas
1 21
Januari Mandala 21 Malang 200 -
2 21
Januari Citra 21 Semarang 350 ACT, ODOJ
3 22
Januari
Ciwalk XXI
Bandung 500 Pemprov Jabar
4 24
Januari Mandala 21 Malang 148 LMI
5 28
Januari
XXI A Yani Mega
Mall Pontianak 45 -
8
Tabel 1. 2. Data Perolehan Penonton Film Ketika Mas Gagah Pergi Per Januari. Sumber:
kopfi.id (http://www.kopfi.id/tentang-komunitas/data-nobar-januari-2016/)
Dari tabel 2 diatas dapat dilihat tingginya jumlah penonton film Ketika
Mas Gagah Pergi berlanjut bahkan setelah film ini turun dari bioskop. Tidak
hanya itu, kegiatan nonton bareng film Ketika Mas Gagah Pergi masih
berlangsung setelah bulan Januari di berbagai kota seperti pada tanggal 31 Januari
di Jambi dengan penonton sebanyak 633 orang (Arnoldy, 2016), pada tanggal 3
Februari di Kaltim (KALTIM POST, 2016), pada tanggal 8 Februari di Bogor
dengan penonton sebanyak 1000 orang (Hazliansyah, 2016), pada tanggal 21
Februari di Kuta (Fievent, 2016), pada tanggal 11-13 Maret diadakan acara
KMGP Week di CGV Blitz Jakarta (Syahid, 2016), pada tanggal 13 Maret di Riau
(Indra, Pekan Life, 2016), pada tanggal 20 Maret di Batam dengan 500 penonton
(batampos.co.id, 2016), pada tanggal 16-17 April di Ternate (Guritno, 2016), pada
tanggal 2 Oktober di Pekanbaru (Indra, Nonton Bareng Aktor Hamas Syahid
Izzudin, 2016), bahkan film Ketika Mas Gagah Pergi akan diputar di 20 Negara
mulai pada bulan Mei (Anggie, 2016).
Hal menarik dari data diatas adalah walaupun tidak berhasil di bioskop,
film ini justru berhasil menarik perhatian masyarakat diberbagai daerah hingga
saat ini. Dari data diatas peneliti tertarik untuk melihat bagaimana penonton
berbasis Islam ini memaknai identitas Islam pada masa post-Islamisme yang
terdapat dalam film Ketika Mas Gagah Pergi.
6 28
Januari
Studio 21 mall
Panakukkang 700
Pesantren Darul Istiqomah,
FKCA Sulsel, BSMI,
Relindo
7 31
Januari
Cinemaxx PCC
Ponorogo 222
Ibu-Ibu Majlis Taklim Al
Hijroh
8 31
Januari
XXI A Yani Mega
Mall Pontianak 205
LDK assyifa, Salimah,
Giya Dakwah. MM
9 31
januari
XXI Ciputra Seraya
Pekanbaru 466
ACT, BSMI, FLP,
KAMMI. AMARAH, GEN
ELOK, ODOJ
9
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari penelitian
ini adalah bagaimana resepsi khalayak terhadap identitas Islam dalam film Ketika
Mas Gagah Pergi.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah melihat bagaimana khalayak memaknai
identitas Islam yang terdapat dalam film Ketika Mas Gagah Pergi.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui sejauh mana
teori-teori komunikasi yang ada dapat diterapkan dalam penelitian ini. Analisa
yang dilakukan dalam penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan
tentang teori dalam ilmu komunikasi. Penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai resepsi khalayak terhadap identitas Islam yang
dilakukan dalam film Ketika Mas Gagah Pergi
E. Kerangka Pemikiran
E.1. Khalayak dan Model encoding-decoding Stuart Hall
Khalayak dan media dapat dikatakan sebagai kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Dalam proses komunikasi, media berperan sebagai komunikator
sedangkan khalayak berperan sebagai komunikan. Komunikan disini
dimaksudkan sebagai pihak yang memroses konten media dan mendapatkan efek
dari konten media tersebut. Definisi khalayak sendiri sudah mulai pudar dan
bergeser sesuai dengan kebutuhan penelitian. Biocca mengatakan bahwa telah
terjadi pergeseran makna dari istilah khalayak pada riset komunikasi baik dari sisi
humaniora dan ilmu sosial (Biocca, 1988).
Khalayak sendiri dapat dilihat sebagai istilah yang dimaknai secara
kolektif sebagai “penerima” dari proses komunikasi massa yang beruntun (source,
channel, message, receiver, effect). Khalayak sendiri dapat diartikan sebagai
pembaca, penonton, atau pendengar dari produk media (Schramm, 1954). Berbeda
10
dengan Schramm yang mengartikan istilah khalayak secara harfiah, McQuail
melihat bahwa khalayak dapat diartikan sebagai produk dari konteks sosial, dapat
diartikan sebagai memiliki kesamaan nilai-nilai kultural; pemahaman; dan juga
kebutuhan informasi, dan juga hasil dari respons pada pola tertentu dari media.
Terkadang khalayak memiliki dua standar itu bersamaan, kondisi ini terjadi
apabila media yang digunakan menarik bagi kategori sosial tertentu atau
penduduk dari suatu daerah (1997).
Menurut Ardianto (Ardianto, Komala, & Karlinah, 2007) terdapat enam
karakteristik khalayak, yakni;
1. Khalayak pada umumnya terdiri atas individu-individu yang memiliki
pengalaman yang sama dan terpengaruh oleh hubungan sosial dan
interpersonal yang sama. Individu tersebut memilih media yang digunakan
berdasarkan kebiasaan dan kesadaran sendiri
2. Khalayak memiliki jumlah yang besar. Khalayak dalam jumlah yang besar
ini dapat dijangkau dengan relatif cepat oleh media, namun tidak mampu
diraih dengan menggunakan komunikasi tatap muka atau interpersonal
3. Khalayak bersifat heterogen. Individu-individu dalam audiens mewakili
berbagai kategori sosial
4. Khalayak bersifat heterogen. Individu-individu dalam audiens mewakili
berbagai kategori sosial
5. Khalayak bersifat anonim. Meskipun institusi media mengetahui
karakteristik khalayak yang dituju, namun media tidak mengetahui secara
pasti identitas khalayak tersebut
6. Khalayak bersifat tersebar, baik dalam konteks ruang dan waktu.
Terlepas dari keenam karakteristik yang disebutkan diatas, khalayak sendiri pada
umumnya dapat dibagi menjadi kedua kelompok besar, yakni khalayak pasif dan
khalayak aktif. Khalayak pasif digambarkan sebagai khalayak yang menerima apa
saja yang diberikan oleh media. Pesan yang diberikan diproses begitu saja tanpa
adanya penyaringan sehingga kelompok ini cenderung lebih mudah untuk
11
dipengaruhi oleh media dalam penerimaan pesan. Khalayak pasif tidak berusaha
memahami pesan media, mereka juga lebih cenderung sebagai penikmat dan tidak
memiliki kuasa atas pesan media. Berbeda denga khalayak pasif, khalayak aktif
memiliki kontrol akan pesan media. Kelompok ini cenderung lebih kritis dalam
memaknai pesan media, tidak hanya itu mereka juga melakukan penyaringan atas
pesan media. Mereka cenderung memilih media yang hendak mereka nikmati
sesuai dengan minat mereka. khalayak aktif juga cenderung berusaha untuk
memberikan makna pada pesan media sesuai dengan latar belakang mereka,
seperti pengalaman, pengetahuan, kultural dan sebagainya. Proses pemaknaan
pesan media oleh khalayak aktif memungkinkan khalayak aktif untuk
memproduksi makna dari pesan media (Burton, 2005). Makna baru yang dibuat
oleh khalayak aktif merupakan hasil pemaknaan mereka berdasarkan pengetahuan
dan pengalaman khalayak (Ross & Nightingale, 2003). David Croteau dan
William Hoynes mengatakan terdapat tiga arah dasar yang menjadi dasar
khalayak media dikatakan sebagai khalayak aktif;
1. Interpretasi individual: makna dalam suatu teks media tidak sepenuhnya
tetap. Didalamnya terdapat makna ganda atau dikenal dengan istilah
polisemi. Pesan media dapat dimaknai lain oleh khalayak dalam teks
media, khalayak secara individual mengambil kesenangan, kenyamanan,
kegembiraan, atau jajaran luas simulasi intelektual maupun emosional.
Khalayak menggunakan aktivitas interpretif dalam derajat tertentu setiap
bertemu dengan teks media.
2. Interpretasi dalam konteks: khalayak selain menjalani kehidupan sebagai
individu juga tidak bisa lepas dari kehidupan sosial. Maka dari itu
khalayak juga berhubungan dengan teks media dalam latar sosial. Dalam
pembicaraan sehari-hari dapat tak terduga seberapa banyak pembicaraan
hyang dilakukan mengenai media.
3. Aksi kolektif: pada dasarnya khalayak tidak selalu setuju dengan pesan
media. Khalayak yang menolak pesan media seringkali mengubah pesan
media untuk kedepannya. Khalayak tidak jarang melakukan aksi (protes
12
publik, boikot terhadap produk media yang spesifik, kampanye publisitas,
kemarahan khalayak luas, menekan pengiklan untuk menarik dukungan
finansial, surat terbuka, serta melobi (lobying) kongres untuk aksi
pemerintah dalam menolak pesan media. (Croteau, Hoynes, & Milan,
2012).
Keaktifan khalayak tidak hanya dapat dilihat melalui proses pemkanaan
khalayak terhadap pesan media. Keaktivan khalayak dapat dilihat juga melalui
konsep aktivitas khalayak Biocca (1988), yakni;
1. Selectivity. Khalayak dapat dikatakan aktif apabila khalayak melakukan
perencanaan penggunaan media, pemilihan media yang akan dikonsumsi
dan tidak. Perencanaan penggunaan media ini biasanya menunjukkan pola
pemilihan media khalayak
2. Utilitarianism. Dalam konsep ini khalayak menunjukan perwujudan dari
preferensinya
3. Intentionality. Khalayak aktif berdasarkan definisi ini terlibat dalam
kognitif aktif memroses informasi dan pengalaman baru. Biasanya terlihat
dari banyaknya media yang berbeda yang dikonsumsi
4. Resistance to influence. Konsep keaktifan disini menekankan pada batasan
yang diterapkan khalayak tehadap pengaruh atau pengetahuan yang tidak
diinginkan. Khalayak tetap memegang kontrol dan tidak terpengaruh
5. Involvement. Secara umum, semakin khalayak hanyut pada pengalaman
media, semakin khalayak terlibat dalam proses komunikasi massa.
Keterlibatan ini bisa dilihat sebagai indikasi “talk back” ke media.
Levy dan Windahl (1985) mengatakan bahwa keaktifan khalayak tidak hanya
berhenti dengan perencanaan penggunaan media saja, namun juga bisa dilihat dari
ekspektasi dan pilihan khalayak sebelumnya, atau aktivitas dan pengalaman
selama mengonsumsi media, atau situasi setelah terpapar media seperti terjadinya
transfer pengalaman atau kepuasan yang diperoleh dari media ke kehidupan
pribadi dan kehidupan sosial.
13
Encoding/Decoding
Dalam model encoding dan decoding, Stuart Hall menjelaskan bagaimana proses
khalayak memberikan pemaknaan terhadap pesan media serta mencoba
memetakan posisi khalayak terhadap media sesudah proses pemaknaan. Esensi
utama dari thesis Hall adalah khalayak dari berbagai lapisan kesulitan untuk
mengartikan bahasa media, oleh karena itu Hall menggunakan sistem kode.
Sistem makna yang ditawarkan oleh Hall adalah sistem yang berkaitan dengan
tanda-tanda visual dan lisan dan bahasa tulisan (tanda-tanda linguistik) ke posisi
ideologi yang berbeda di mana order budaya dilegitimasi atau diperebutkan
(Philo, 2008). Kode yang dimaksud dalam sistem makna Hall merujuk kepada
“maps of meaning” di mana semua lapisan kultural di klasifikasikan; dan bisa juga
merujuk pada “maps of social reality” di mana kode-kode tersebut memiliki
makna sosial, praktik dan penggunaan, dan kekuasaan serta kepentingan
didalamnya. Dapat diartikan bahwa kode-kode tersebut terkadang tidak hanya
menggunakan makna denotasi sesungguhnya namun juga bisa menggunakan
makna konotasi sesuai dengan kebutuhan media terhadap pesan yang ingin
disampaikan.
Hall menganggap kode-kode yang dihasilkan oleh media tersebut
sesungghnya berkaca dari keadaan sosial yang ada di masyarakat, atau disebut
dengan hegemonic viewpoint. Hegemonic viewpoint yang dimaksud
menggambarkan bagaimana media menggunakan kode-kode yang dianggap
“natural”, “tak terhindarkan”, dak orders sosial yang diterima oleh masyarakat.
Hall mengatakan bahwa media akan melakukan encoding dengan pandangan ini,
bahasa dan visual yang digunakan akan menggambarkan keadaan sosial yang
sebenarnya terjadi.
Stuart Hall mengatakan bahwa diskursus pesan media memiliki posisi
penting dalam proses encoding dan decoding tidak hanya disajikan dari sisi
produsen saja, melainkan juga merupakan hasil observasi produsen atas
responden. Phillip Elliot dalam Stuart Hall mengatakan bahwa khalayak
14
merupakan komunikator sekaligus komunikan dari pesan media. Konsumsi media
atau resepsi media sendiri merupakan sebuah momen dari proses produksi pesan
oleh media dalam skala yang lebih besar, walaupun hal ini dianggap lebih
predominan karena dianggap sebagai “point of departure for the realization” dari
pesan. Oleh karena itu produksi dan resepsi pesan dari media tidaklah identik
namun mereka berkaitan satu sama lain, mereka merupakan pesan yang dibedakan
oleh hubungan sosial dari proses komunikasi secara keseluruhan.
Stuart Hall juga mengatakan ada kemungkinan terjadi perbedaan
pemaknaan di khalayak. Posisi sosial memiliki peran dalam perbedaan pemaknaan
tersebut. Stuart Hall mengidentifikasi terdapat tiga posisi pembacaan dalam
decoding, antara lain:
1. Dominant reading: khalayak dalam posisi yang menyerupai posisi media.
Khalayak sepenuhnya berbagi kode teks, menerima dan mereproduksi
preferred reading.
2. Negotiated reading: khalayak berbagi sebagian kode teks. Secara garis
besar menerima preffered reading, namun tidak sepenuhnya. Khalayak
menyandingkan dengan wacana lain, berdasarkan posisinya sendiri yang
umumnya mengandung kontradiksi.
3. Oppositional reading: khalayak dalam posisi ini berlawanan dengan kode
dominan. Khalayak memahami preffered reading namun tidak berbagi
kode teks dan cenderung menolaknya dan mengajukan pandangan
alternatif.
E.2 Identitas
Teori identitas memiliki banyak pengertian tergantung dengan konteks
penggunaan namun secara umum identitas dapat dilihat sebagai kondisi di mana
individu memiliki kesamaan, shared value, dengan kelompok atau lingkungannya
serta identitas sosial yang bersifat ideologis terbentuk dari identitas individu.
Dalam teori identitas, identitas terbentuk melalui proses kategorisasi diri di mana
citra diri seseorang bersifat refleksif sehingga dapat dilihat sebagai objek dan
15
dapat dikategorikan, diklasifikasikan, atau dilabeli dengan cara tertentu yang
sebagai relasi dari kategori atau klasifikasi sosial lainnya (Turner, Hogg, Oakes,
Reicher, & Wetherell, 1987). Weeks dalam Barker mengatakan bahwa identitas
berbicara mengenai kesamaan dan perbedaan, tentang aspek personal dan sosial,
tentang kesamaan seseorang dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan
seseorang dari yang lain (Barker, 2008).
Dalam buku Modernity An Introduction to Modern Societies, Hall
mengatakan terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami
identitas. “I shall distinguish three very different conceptions of identity: those of
the (a) Enlightment subject, (b) sociological subject, and (c) post-modern subject
(Hall, Held, Hubert, & Thompson, 1996).
Pendekatan enlightment subject berdasarkan akan pemahaman bahwa
manusia pada dasarnya memiliki identitas yang relatuif tetap dan statis. Pada
konsep ini Hall menjelaskan bahwa manusia memiliki kesadaran, kapasitas akal
dan tin dakan yang sepenuhnya berpusat pada dirinya. Identitias ini adalah subjek
yang didapatkan secara alami semenjak lahir dan bersifat individualis. Sebagai
contoh identitas ini bisa diidentifikasi melalui konsep “his” adalah identitas laki-
laki.
Pendekatan kedua yang ditawarkan Hall adalah pendekatan social
construcion of reality. Pendekatan kedua ini merupakan gagasan sosiologi klasik
yang mengacu pada pemikiran Mead dan Coley. Manusia adalah diri yang tidak
mungkin lepas dari lingkungannya, karena diri dari setiap manusia adalah hasil
konstruksi atas indiviu dengan lingkungan sosial di mana ia hidup. Identitas dalam
pendekatan sosiologis ini berusaha memberikan jembatan kesenjangan konsep
antara personal dengan public world. Identitas manusia penuh dengan simbol dan
nilai karena sebagai subjek, manusia tidak bersifat otonom dan hasil imternalisasi
antara “Ia” dengan lingkungannya. Untuk menemukan identitasnya manusia
senantiasa berinteraksi dan melakukan pertukaran nilai dengan lingkungan
masyarakatnya.
16
Pendekatan ketiga melihat identitas sebagai post-modern subject.
Pendekatan ketiga ini dianggap sebagai pendekatan kekinian yang melihat
identitas secara lebih terbuka dan berubah sesuai dengan keadaan. Adanya diri
dan adanya lingkungan memungkinkan terjadinya pergeseran, oleh karenanya
identitas adalah sesuatu yang tidak tetap, terfragmentasi, dan menyesuaikan
berbagai kebutuhan. Inilah yang kemudian mengilhami munculnya konsep
identitas pada pendekatan ketiga sebagai post modern subject. Identitas adalah
moveable feast, berubah bentuk dan bertransformasi sesuai dengan sistem di mana
identitas tersebut berada. Setiap diri memiliki peluang untuk menunjukan identitas
yang berbeda pada kondisi yang berbeda pula. Identitas diri memang menjadi hal
yang sifatnya kodrati, akan tetapi ketika harus berhadapan dengan sistem dan nilai
yang bergerak dalam masyarakat, identitas inipun akan berubah-ubah sehingga
tidak ada identitas yang dianggap statis untuk satu diri ketika berhadapan dengan
berbagai sistem kemasyarakatan.
Stella Ting-Toomey (1999) mengatakan identitas adalah “the reflective
self-conception or self-image that we each derive from our cultural, ethnic, and
gender socialization process. It acquaired via our interaction with others in a
particular situations.” Ting-Toomey melihat bahwa identitas merupakan refleksi
diri terhadap dirinya dan lingkungannya. Adapun Ting-Toomey melihat identitas
terbagi menjadi dua yakni Primary identity dan Situational Identity.
Primary Identity terdiri dari 4 identitas yakni cultural identity, ethnic
identity, gender identity, dan personal identity. Adapun primary identity berisikan
atribut-atribut diri yang membedakan individu dengan yang lainnya. situational
identiy terdiri dari role identity, relational identity, facework identity, dan
symbolic interaction identity. Tipe identitas yang tergabung dalam situational
identity merupakan identitas yang adaptif dan dapat berubah sewaktu-waktu
tergantung tujuan interaksi, kebutuhan individu, peran, status, dan aktivitas yang
sedang terjadi dalam situasi yang sedang terjadi. Dibandingkan dengan primary
identity, situational identity kurang stabil dan mudah dipengaruhi oleh situasi
eksternal yang kemudian di internalisasikan oleh individu. Walaupun
17
diidentifikasi sebagai 2 tipe, primary identity dan situational identity saling
memengaruhi satu sama lain (Ting-Toomey, 1999, p. 29).
Tidak hanya menentukan posisi individu dalam masyarakat, identitas juga
menentukan bagaimana pola perilaku individu di masyarakat. Burke mengatakan
bahwa
An identity is a set of meanings applied to the self in social role or situation defining what it
means to be who one is (Burke and Tully 1977) this set of meanings serves as a standard of
reference for who one is. When an identity is activated, a feedback loop is established.
Dari pernyataan Burke diatas dapat dilihat bahwa identitas merupakan
sekumpulan makna yang diinternalisasikan oleh individu dan dijadikan referensi
dalam pola perilaku individu di masyarakat. Adapun proses penginternalisasian
terbagi menjadi 4, yakni standar atau nilai-nilai internal yang dimiliki individu,
stimuli dari lingkungan atau situasi sosial (termasuk pujian atau penerimaan dari
masyarakat, persepi mengenai nilai diri yang diterima di masyarakat,dll), proses
pengkomparasian antara nilai individu (standar) dengan stimuli dari lingkungan,
hasil dari pengkomparasian yang diwujudnyatakan melalui perilaku dalam
masyarakat.
Dilihat dari proses penginternalisasian diatas dapat dilihat bahwa proses
penginternalisasian makna menjadi identitas seseorang dimulai dengan
memodifikasi output, atau perilaku yang dihasilkan setelah melakukan proses
pengkomparasian, terhadap keadaan sosial dalam upaya untuk mengubah standar
nilai individu. Secara singkat, proses penginternalisasian makna ini dapat
diartikan dengan proses pencocokan antara stimuli dari masyarakat dengan
standar nilai individu.
E.3. Identitas Islam dalam film
Identitas seringkali menjadi tema yang diangkat dalam berbagai konten
media, begitu juga dalam dunia perfilman. Representasi atas suatu identitas dalam
dunia sering diangkat menjadi tema karena ilm dianggap sebagia medium yang
seusai untuk mengkonstruksi realitas yang dalam hal ini adalah identitas
berdasarkan fakta social yang ada dimasyarakat. “Film becomes a wilder market
18
of culture when it traced as a „recorder of reality‟ and hence a valueable tool”
(Miller, 1992).
Dalam dunia perfilman Indonesia sendiri identitas keagamaan mengalami
kebangkitan pada tahun 2008. Gejala kebangkitan film dengan identitas
keagamaan terlihat dari kemunculan film Ayat-Ayat Cinta. Film ini berhasil
menarik 3.581.947 penonton dan masih merupakan film keagamaan dengan nilai
penonton tertinggi hingga saat ini (Data penonton, 2011). Kesuksesan film Ayat-
Ayat Cinta berusaha diikuti oleh sineas film lainnya hingga saat ini. Film ini
menggambarkan identitas Islam secara eksplisit sebagai hubungan muamalat yang
terjadi dalam Islam. Hubungan yang sesuai dengan muamalat itu diekspresikan
melalui penggambaran hubungan laki-laki yang berpoligami, bagaimana laki-laki
yang harus berpoligami tidak semata-mata melakukannya karena keinginan
pribadi, tapi ada ketentuan-ketentuan dalam Islam yang harus dipenuhi, seperti
restu dari isteri, keadilan, dan sebagainya. Belum lagi isu-isu lain yang cukup
penting dalam Islam ketika berhadapan dengan umat lainnya maupun golongan
Islam lainnya.
Isu-isu keIslaman yang diangkat oleh film-film setelah ayat-ayat cinta
semakin beragam. Tidak hanya melihat dari sisi perkawinan seperti ayat-ayat
cinta, sineas juga mengangkat tentang gender menurut Islam seperti dalam film
Perempuang Berkalung Surban. Muncul perbedaan penggambaran identitas Islam
dalam setiap film yang mengangkat Islam sebagai identitas. Fenomena ini dapat
terjadi karena seperti identitas, konsep identitas sendiri dalam banyak kajian sosial
berkaitan dengan keIslaman adalah salah satu yang cukup cair dan debatable.
Menurut Abd al-Wahab el-Effendi dalam Claydon (Claydon, 2007),
peneliti senior Center for the Sttudy of Democracy Universitas Westminster,
secara fundamental identitas Islam teridentitfikasi dalam tiga hal yakni Shahada,
Sharia, dan Umma.
1. Shahada. “Ada satu Allah dan Muhammad adalah nabinya”. Pernyataan
ini adalah bentuk deklarasi keimanan seseorang terhadap Allah dan
19
Muhammad sebagai nabinya. Deklarasi ini juga sebagai pertanda
seseorang telah masuk Islam dan tunduk pada pengajaran Islam. Bacaan
ini sifatnya tetap dan non-negotiable.
2. Sharia. Allah berdaulat, semua muslim harus tunduk pada perintah-Nya.
Hukum Sharia dimaknai sebagai “Firman Allah yang tak tergantikan”.
Melalui hukum Syariah ini pulalah semua informasi yang berkaitan
dengan kehidupan manusia termasuk menegenai nilai-nilai sosial, tujuan
hidup, dan lifestyle diatur.
3. Umma. Komunitas muslim seluruh dunia adalah hal yang penting untuk
mengembangkan identitas sebagai umat Islam. Mereka yang bersyahadat
dianggap sebagai saudara yang terhubung dan harus didoakan dalam setiap
ritual ibadah. Dalam pandangan sama-sama sebagai umat Allah inilah
mereka menganggap dirinya setara. Untuk itulah dalam konteks
persaudaraan sebagai umat Islam ini mereka selalu berusaha untuk
mengingatkan satu sama lain.
Senada dengan el-Effendi, Mehmet (Mehmet, 1990) mengatakan identitas
Islam sebagai gaya hidup seorang umat sebagai seorang hamba (pilgrim)
menjalani kehidupannya di dunia untuk mempersiapkan kehidupan sebenarnya di
akhirat. Oleh karena itu dalam menjalani kehidupan di dunia deorang muslim
harus melakukan amal-amal yang nantinya akan ditimbang pada Final Day of
Judgement untuk masuk ke akhirat. Amalan ini meliputi hal-hal yang sifatnya
ibadah (prayer) dan muamalat (inter personal relations). Identitasnya sebagai
umat Islam dilihat dari bagaimana dia menjalankan hal-hal yang sifatnya
peribadatan.
Dari sisi konten media The Umma dan The Sharia sebagaimana
didefinisikan oleh dl-Effendi merupakan bahasan yang paling sering muncul.
Identitas Islam digambarkan sebagai relasi antara umat Islam dalam hubungan
sosial serta pengaplikasian hukum syariah dalam kehidupan sehari-hari cukup
menarik untuk diangkat dalam narasi. Secara konseptual, konsep The Umma dan
The Sharia ini terwadahi pula dalam konsep muamalat yang dijelaskan Mahmed.
20
Dalam film Indonesia sendiri konsep Umma dan Sharia banyak diangkat
sebagai salah satu isu. Seperti dalam film Perempuan Berkalung Sorban, film ini
mengangkat isu kesetaraan gender yang secara tidak langsung menampilkan
gender identity dalam konteks Islam. Bagaimana seorang perempuan yang berasal
dari latar belakang keluarga muslim yang lekat dengan lingkungan pesantren
berusaha mendobrak tatanan ajaran pesantren yang patriarkal dan menuntut
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu isu-isu seputar mahram
menjadi bumbu cerita yang menarik karena topik percintaan dalam film ini terjadi
antara paman dengan ponakannya, yang dalam ajaran Islam ada ketentuan
berkaitan dengan mahram.
Salah satu isu berkaitan dengan identitas Islam diangkat pula melalui film
Ketika Mas Gagah Pergi. Film ini berusaha mendefinisikan bagaimana seorang
muslim seharusnya menjalani hidupnya, tidak hanya menjalankan ibadah namun
seorang muslim juga harus memiliki akhlak dan hubungan muamalah yang sesuai
dengan aturan Islam. Film ini bercerita mengenai proses hijrah karakter utama,
seorang pemuda metropolitan bernama Gagah yang memahami Islam sebatas
menjalankan ibadah. Setelah mengalami proses hijrah Gagah berubah menjadi
seorang pemuda yang berusaha melepaskan diri dari norma-norma sosial yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam seperti menolak untuk bersentuhan dan
melakukan kontak mata dengan lawan jenis selain keluarga, mengajak adik
perempuan serta ibunya untuk menggunakan kerudung sesuai dengan hukum
shariah, bahkan rela melewatkan liburan demi membangun taman bacaan untuk
anak yang tidak mampu. Tidak hanya itu film ini juga mengangkat isu lain seperti
dakwah serta interaksi dengan umat lainnya maupun umat agama lain.
Dalam perkembangannya isu identitas dalam film Islami memang
menyentuh isu yang cukup luas. Isu-isu berkaitan dengan hukum syariah dan
muamalat memang masih menjadi acuan utama untuk menggambarkan bagaimana
Islam dalam suatu film. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan oleh Hall bahwa
identitas adalah post modern subject, cara orang untuk melihat dan
mengidentifikasi identitas Islam dalam film pun mengalami pergeseran.
21
Hariyadi dalam papernya yang berjudul Islamic Films and Identity : The
Case of Indonesian Muslim Youth (Hariyadi) mencoba memetakan bagaimana
kalangan muda di Indonesia melihat film-film Islam yang tayang di layar lebar
Indonesia. Hasil dari tulisannya menunjukkan analisis yang menarik. Mengutip
Turner, “Film text is not unitary in its meaning, but rather is a sort of battlefield
for competing and contradicting ideas” (Turner G. , 2009). Pertarungan ide dalam
narasi film itu sendiri mendorong identitas Islam mengalami pergeseran ketika
diangkat dalam film. Dari pemetaan yang dilakukannya dengan melakukan
wawancara mendalam untuk respondennya, Hariyadi mengatakan bahwa terdapat
beberapa karakteristik identitas Islam yang ditemukannya dalam film Indonesia
hari ini. Pertama, semua perempuan yang digambarkan sebagai perempuan Islam
dalam perfilman Indonesia hari ini adalah perempuan yang mengenakan jilbab.
Hal ini merujuk pada konsep Islam secara Syariah bahwa sebagai umat Islam pun
berpakaian ada hukum dan aturan yang harus ditaati. Jika perempuan aturan yang
ditentutan oleh Islam adalah mengenakan hijab. Hal ini pulalah yang kemudian
diangkat dalam film. Secara tidak langsung, melalui temuan dari Hariyadi ini bisa
dikatakan bahwa fashion, dalam Islam adalah The Sharia sebagaimana konsep
Islam yang dikemukakan oleh el Effendi.
Identitas Islam yang kedua menurut Hariyadi adalah “Islamic identity is
that all aspects of life should be dedicated to worship God.” Semua hal yang
dilakukan oleh umat Islam, semata-mata dilakukan untuk mendapatkan restu dari
Tuhannya. Hal ini dalam film-film Islam di Indonesia muncul dalam bentuk hal-
hal yang sifatnya ibadah, bagaimana seorang umat melakukan shalat, puasa,
bersedekah, dan hal-hal baik lainnya yang menunjukkan ketaatannya sebagai
seorang Umat kepada Tuhannya.
F. Kerangka Konsep
F.1. Identitas
Dalam penelitian ini peneliti akan memadukan teori identitas Ting
Toomey dan juga Burke untuk melihat bagaimana responden melakukan
penginternalisasian nilai identitas Islam yang diangkat oleh film KMGP. Stella
22
Ting-Toomey (1999) mengatakan identitas adalah “the reflective self-conception
or self-image that we each derive from our cultural, ethnic, and gender
socialization process. It acquaired via our interaction with others in a particular
situations.” Ting-Toomey melihat bahwa identitas merupakan refleksi diri
terhadap dirinya dan lingkungannya. Adapun Ting-Toomey melihat identitas
terbagi menjadi dua yakni Primary identity dan Situational Identity.
Primary Identity terdiri dari 4 identitas yakni cultural identity, ethnic
identity, gender identity, dan personal identity. Adapun primary identity berisikan
atribut-atribut diri yang membedakan individu dengan yang lainnya. situational
identiy terdiri dari role identity, relational identity, facework identity, dan
symbolic interaction identity. Tipe identitas yang tergabung dalam situational
identity merupakan identitas yang adaptif dan dapat berubah sewaktu-waktu
tergantung tujuan interaksi, kebutuhan individu, peran, status, dan aktivitas yang
sedang terjadi dalam situasi yang sedang terjadi. Dibandingkan dengan primary
identity, situational identity kurang stabil dan mudah dipengaruhi oleh situasi
eksternal yang kemudian di internalisasikan oleh individu.
Untuk melihat bagaimana responden melakukan penginternalisasian nilai
yang didapat dari film KMGP, peneliti akan menggunakan tahapan
penginternalisasian nilai oleh Burke yang terdiri dari, standar atau nilai-nilai I
nternal yang dimiliki individu, stimuli dari lingkungan atau situasi sosial
(termasuk pujian atau penerimaan dari masyarakat, persepsi mengenai nilai diri
yang diterima di masyarakat,dll), proses pengkomparasian antara nilai individu
(standar) dengan stimuli dari lingkungan, hasil dari pengkomparasian yang
diwujudnyatakan melalui perilaku dalam masyarakat (Burke, 1991).
F.2. Identitas Islam dalam Film
Konsep identitas Islam yang akan digunakan dalam penelitian ini
merupakan perpaduan konsep identitas Islam dari Abd al-Wahab el-Effendi dan
Mahmet. Penggabungan konsep ini dilakukan karena ketiga konsep identitas ini
peling merepresentasikan identitas Islam yang digambarkan dalam film Ketika
Mas Gagah Pergi.
23
Konsep identitas Islam Menurut Abd al-Wahab el-Effendi dalam Claydon
(Claydon, 2007) terdiri dari konsep Shahada, Sharia, dan Umma. Dalam
penelitian ini konsep shahada tidak digunakan karena tidak ada penggambaran
karakter dalam film Ketika Mas Gagah Pergi yang mengucapkan kalimat
syahadat. Konsep yang digunakan adalah konsep Sharia dan Umma.
1. Sharia. Allah berdaulat, semua muslim harus tunduk pada perintah-Nya.
Hukum Sharia dimaknai sebagai “Firman Allah yang tak tergantikan”.
Melalui hukum Syariah ini pulalah semua informasi yang berkaitan
dengan kehidupan manusia termasuk menegenai nilai-nilai sosial, tujuan
hidup, dan lifestyle diatur. Dalam film Ketika Mas Gagah Pergi konsep
sharia digambarkan secara kuat pada karakter Mas Gagah setelah
mengalami proses hijrah. Mas Gagah mulai menjaga pola interaksinya
terhadap lawan jenis dan mulai mengajak ibu dan adiknya untuk
menggunakan kerudung yang sesuai dengan hukum shariah. Mas Gagah
juga menunjukan perubahan dalam perilaku seperti mulai mengucapkan
salam sebelum masuk ke ruangan, mulai meninggalkan hiburan duniawi
dan mendekatkan diri pada literatur Islam dan mendengarkan nasyid. Mas
Gagah juga digambarkan sebagai karakter yang memiliki rasa kepedulian
yang tinggi, ia bahkan merelakan dana liburannya untuk membangun
taman bacaan untuk anak-anak yang kurang mampu. Penggambaran
karakter Gagah yang memiliki kepedulian yang tinggi sesuai dengan
konsep Mehmet di mana muslim melakukan amalan sebagai penerapan
dari gaya hidup sebagai hamba.
2. Umma. Komunitas muslim seluruh dunia adalah hal yang penting untuk
mengembangkan identitas sebagai umat Islam. Mereka yang bersyahadat
dianggap sebagai saudara yang terhubung dan harus didoakan dalam setiap
ritual ibadah. Dalam pandangan sama-sama sebagai umat Allah inilah
mereka menganggap dirinya setara. Untuk itulah dalam konteks
persaudaraan sebagai umat Islam ini mereka selalu berusaha untuk
mengingatkan satu sama lain. Dalam film Ketika Mas Gagah Pergi konsep
24
umma digambarkan dengan karakter Mas Gagah yang mulai bergabung
dengan umat muslim lainnya untuk melakukan kajian atau liko. Tidak
hanya melakukan kajian karakter Gagah juga terus berusaha mengingatkan
satu sama lain, melakukan dakwah, untuk terus berusaha menjadi muslim
yang baik. Penggambaran proses mengingatkan satu sama lain tidak hanya
digambarkan melalui karakter Gagah namun juga digambarkan melalui
karakter Yudi. Kedua karakter ini menggambarkan semangat untuk
melakukan dakwah namun disajikan dengan cara yang berbeda. Karakter
Gagah digambarkan melakukan dakwah secara personal seperti saat dia
mengingatkan adiknya untuk menggunakan kerudung syar‟i, mengajak
adiknya untuk ikut ke kajian atau acara pernikahan, dan bahkan melakukan
dakwah kepada 3 preman. Berbeda dengan Dakwah yang digambarkan
melakukan dakwah dengan pendekatan personal, karakter Yudi
digambarkan melakukan dakwah di tempat-tempat umum dengan khalayak
yang tidak tetap seperti di bus Transjakarta. Tidak hanya itu dalam film
Ketika Mas Gagah Pergi juga digambarkan toleransi seperti pada adegan
Gagah diolok-olok temannya karena menumbuhkan jenggot namun ia
emmberikan pengertian kepada temannya dan tidak menyalahkan mereka
yang tidak berjenggot. Toleransi juga digambarkan oleh karakter Yudi
yang menolong umat beragama lain. Penggambaran toleransi ini sesuai
dengan konsep muamalat Mehmet.
F.3. Khalayak
Tipe khalayak dalam penelitian ini akan terbagi menjadi 3 posisi yaitu
dominant, negotiated, dan oppositional (Hall, Held, Hubert, & Thompson, 1996).
Adapun syarat dari ketiga posisi adalah:
1. Khalayak yang memiliki posisi dominant adalah khalayak yang memiliki
pemahaman mengenai konsep shariah dan umma dengan baik dan
memiliki kecenderungan untuk menjalankannya dalam kehidupan sehari-
hari.
2. Khalayak yang memiliki posisi negotiated adalah khalayak yang memiliki
pemahaman mengenai konsep shariah dan umma namun juga memiliki
25
pemahaman sendiri atau penafsiran sendiri mengenai konsep shariah dan
umma. Khalayak tipe ini cenderung mengaplikasikan pengertiannya
sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
3. Khalayak yang memiliki posisi opposition memiliki pemahaman mengenai
konsep shariah dan umma namun khalayak ini memiliki pemahaman
sendiri dan menolak untuk mengaplikasikan pemahaman ini dalam
kehidupan sehari-hari.
G. Metodologi Penelitian
G.1. Metodologi
One of the main premises of reception analysis has been that audience research, in oreder
to construct a valid account of the reception, uses, and impact of media, must become
audience-cum-content analysis…by contrast, reception analysis subbmit that texts and
theory recipients are complementary elements of one area of inquiry which thus addresses
both the discursive and the social aspects of communication. In two words, reception
analysis assumes that there can be no “effect” without “meaning”. (Jensen & Jankowski,
1991, p. 135)
Bila dilihat dari penjelasan diatas, Jensen mengatakan bahwa analisis resepsi
tidak hanya semata melihat pesan apa yang didapatkan khalayak dari konten
media, namun juga melihat bagaimana proses khalayk memaknai konten media
sehingga menghasilkan pemahaman dan nilai baru di khalayak. Dalam proses
pemaknaan tersebut, khalayak dipengaruhi banyak aspek seperti kultural, dan latar
belakang khalayak sendiri. Dengan metode ini peneliti dituntut untuk dapat
memahami konteks konten film Ketika Mas Gagah Pergi serta memahami
“konteks” dari anggota komunitas Sahabat Mas Gagah yang akan dijadikan objek
dalam penelitian ini. Pemahaman peneliti akan kedua konteks tersebut dibutuhkan
guna mengintrepetasi data yang dihasilkan nantinya.
G.2. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah khalayak film Ketika Mas Gagah Pergi.
Khalayak yang menjadi objek dari penelitian ini adalah Khalayak yang sudah
membaca novel Ketika Mas Gagah Pergi dan khalayak yang hanya menonton
saja. Pemilihan objek ini dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan resepsi
antara khalayak yang sudah membaca sebelumnya dengan khalayak yang hanya
menonton saja.
26
G.3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini akan menggunakan beberapa metode.
Metode pertama yang digunakan adalah survey menggunakan teknik sampel
sesuai kuota. Sampel sesuai kuota merupakan teknik pengambilan sampel sesuai
kuota dilakukan dengan keleluasan peneliti untuk menemui respondennya sesuai
dengan kriteria tertentu yang ada dalam rancangan penelitiannya (Prajarto, 2009).
Dalam penelitian ini peneliti menentukan sampel yang diinginkan adalah;
1. Beragama Islam
2. Umur :17-40 tahun
Peneliti membatasi umur responden antara 17-40 tahun karena peneliti
hendak melihat bagaimana penononton usia muda dan produktif
memaknai penggambaran Islam modern yang digambarkan sebagai anak
muda pada film Ketika Mas Gagah Pergi
3. Pernah membaca novel KMGP atau tidak
4. Intensitas menonton film religi
Peneliti hendak melihat perbedaan resesi dari responden yang suka
menonton film religi, hanya menonton film-film tertentu, atau yang
menonton dengan motif lainnya.
5. Latar belakang budaya informan
Peneliti hendak melihat bagaimana latar belakang budaya responden
memengaruhi pembentukan resepsi pada responden. Dalam penelitian ini,
responden yang dibutuhkan akan diklasifikasikan menjadi 3 kategori,
mereka yang berpendidikan hingga S1, mereka yang bekerja, serta mereka
yang lebih banyak meghabiskan waktu dirumah. Pengkategorian ini
dimaksudkan untuk melihat perbedaan resepsi yang diterima oleh
responden.
6. Keaktifan dalam organisasi Islam
Responden yang dibutuhkan akan dikategorikan menjadi 3 yaitu mereka
yang aktif dalam organisasi Islam, menjadi pengurus dan mengikuti isu
terkini mengenai Islam, mereka yang mengikuti organisasi Islam namun
tidak terlalu aktif, dan mereka yang sama sekali tidak terikat. Pembagian
ketiga kategori ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana keaktivan
27
responden dalam organisasi keagamaan memengaruhi pembentukan
resepsi.
Kriteria diatas dipilih oleh peneliti mengingat peneliti ingin melihat bagaimana
anggota penonton meresepsi nilai-nilai Islam versi post Islamisme yang diusung
oleh film Ketika mas Gagah Pergi. Peneliti akan mengambil 8 sampel,
pengelompokan akan dilakukan berdasarkan apakah khalayak sudah membaca
novel KMGP sebelum menonton atau tidak. Kedua kelompok tersebut masing-
masing akan diisi oleh 4 orang, yakni 1 mahasiswa laki-laki, 1 mahasiswa
perempuan, 1 pria berumur diatas 30 tahun, dan 1 perempuan berusia diatas 30
tahun.
Setelah mendapatkan sampel yang diinginkan peneliti akan melakukan
wawancara mendalam serta observasi untuk melihat bagaimana proses pemaknaan
terjadi dan melihat kemungkinan implementasi nilai yang ditangkap pada
kehidupan sehari-hari sampel.
G.4. Teknik Analisis Data
Setelah melakukan wawancara mendalam kepada objek, hasil wawancara
akan dianalisis menggunakan analisis resepsi. Analisis resepsi merupakan analisis
yang melakukan komparasi analisis tekstual wacana media dan wacana audiens
yang hasil interpretasinya merujuk pada konteks, seperti latar belakang kultural.
Dalam resepsi khalayak dipandang sebagai khalayak interpretif yang akan selalu
memproduksi makna dan pemaknaan teks yang disampaikan media, tidak hanya
sebagai individu yang pasif (McQuail, Audience Analysis, 1997). Fokus utama
dari analisis resepsi adalah perbedaan pemaknaan khalayak dan hubungannya
dengan latar belakang tertentu.
Untuk menganalisis data, hasil wawancara akan ditranskrip dan data yang
ditemukan akan dikelompokan. Data-data tersebut akan dikelompokan kedalam
beberapa bagian, yaitu eksposur, penerimaan, negosiasi, keterbukaan, serta
internalisasi makna. Data yang diperoleh dari informan nantinya akan
dikelompokan untuk melihat perbandingan antar khalayak yang diteliti.
28
Menurut Strauss dan Corbin, analisis data tidak hanya digunakan untuk
mendefinisikan suatu fenomena, namun juga berfungsi untuk memberikan
pemahaman yang mendalam mengenai suatu fenomena secara utuh. Dengan
demikian peneliti dapat lebih sensitif dalam melihat fenomena (Strauss & Corbin,
1998). Strauss dan Corbin sendiri membagi teknik analisis data menjadi tiga
bagian, yakni; Open Coding, Axial Coding, Selective Coding.
Pada tahap open coding (Strauss & Corbin, 1998, p. 121), peneliti
diharapkan dapat melakukan konseptualisasi, mengkategorikan data dan
mengembangkan kategori sesuai dengan dimensi yang dibutuhkan baru setelah itu
menghubungkan kategori melalui hipotesis. Pada tahap melakukan
konseptualisasi, peneliti melakukan pengelompokan data yang sejenis dan
melakukan kategorisasi terhadap kelompok-kelompok data tersebut. Setelah
dikelompokan dan di kategorisasikan, data tersebut akan dispesifikan sesuai
dengan konsep dan dimensi yang dibutuhkan. Melalui prsoses spesifikasi dan
dimensi data akan menunjukan pola-pola tertentu yang dapat dijadikan sebagai
fondasi dan struktur awal.
Setelah melakukan kategorisasi data pada tahan open coding, selanjutnya
data dianalisis dengan axial coding (Strauss & Corbin, 1998, p. 142). Pada tahap
ini peneliti akan melakukan coding sesuai dengan poros dari kategorisasi untuk
menambahkan struktur ke data. Dalam tahap ini paradigma digunakan sebagai alat
analisis untuk mengorganisasikan data dan menghubunkan struktur-struktur data.
Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengembangkan kategori secara sistematis
serta menghubungkan kategori. Pada tahap ini penting untuk diingat bahwa
menemukan bagaimana kategori terhubung satu sama lain.
Tahap terakhir adalah melakukan selective coding (Strauss & Corbin,
1998, p. 161). Pada tahap ini peneliti melakukan pengeintgrasian data sesuai
degan konsep serta menyempurnakan data untuk membentuk suatu kesimpulan.