Upload
duongnhan
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pariwisata yang berkembang saat ini sangatlah pesat, sebagai insan pariwisata
tentu harus selalu up to date mengenai tren apa saja yang berkembang di dunia
pariwisata. Berikut adalah tren industri perjalanan dunia yang diprediksikan akan
berkembang di tahun-tahun mendatang antara lain :
1. Melakukan perjalanan ke seluruh seluruh penjuru dunia (travelling around
the world);
2. Maraknya destinasi untuk sebuah perayaan (more destination celebrations),
baik pernikahan, ulang tahun, dan sejenisnya;
3. Reservasi dan booking online;
4. Tumbuhnya perjalanan untuk menciptakan pengalaman (experiential travel);
5. Sosial media dan blogger menjadi sumber pengaruh utama bagi terbentuknya
perilaku berwisata;
6. Wisatawan semakin menginginkan pengalaman berlibur pribadi (individual
holiday experiences);
7. Menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman merupakan kegiatan yang
paling populer selama berlibur (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Surakarta, 2016 : 20).
Pariwisata di Indonesia tentu akan berkembang maju apabila semua lapisan
masyarakat sadar mengenai manfaat potensi pariwisata yang terbentuk. Terutama
untuk pariwisata lokal daerah-daerah di Indonesia. Seperti halnya Kota Surakarta
yang memiliki salah satu slogan yaitu “Solo The Spirit of Java” yang dapat
menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke Kota Surakarta. Selain menarik
minat wisatawan, slogan tersebut juga dapat diciptakan sebagai branding
pariwisata lokal, karena kota ini terkenal akan sejarah dan budaya yang sangat
melekat. Selain itu, Kota Surakarta juga memiliki semboyan seperti kota-kota lain
di Indonesia. Semboyan itu adalah Berseri yang berarti “Bersih, Sehat, Rapi,
Indah”. Dan tidak kalah dengan kota-kota lainnya, Kota Surakarta juga
2
mendapatkan Adipura yang merupakan penghargaan untuk kota-kota yang bersih
dan indah seperti semboyan yang ada di Kota Surakarta ini.
Kota Surakarta yang juga lazim disebut dengan Kota Solo, terletak di
Provinsi Jawa Tengah memiliki luas wilayah kurang lebih 44.04 km², yang dihuni
lebih dari 560.000 jiwa atau sekitar 128 penduduk per hektar. Selain letaknya
yang berada pada jalur strategis yang mempertemukan jalur dari arah Jakarta ke
Surabaya atau Bali, dari arah Semarang dan dari arah Yogyakarta menuju
Surabaya dan Bali atau sebaliknya, kota ini juga disebut sebagai “Ibu Kota
Budaya Jawa Tengah” yaitu sebagai orientasi budaya Jawa yang berbasis keraton
(Dinas Tata Ruang Kota Surakarta, 2013).
Kota Surakarta bermula saat Kerajaan (Keraton) Kartasura telah mengalami
kerusakan akibat perang antara Sunan Paku Buwana II dengan Sunan Kuning
(1742) atau sering disebut dengan Geger Pecinan. Walaupun Keraton Surakarta
berhasil direbut kembali dengan bantuan VOC dan dengan mengorbankan
beberapa wilayah warisan Mataram untuk diberikan pada VOC, namun Sunan
Paku Buwana II menghendaki adanya pusat pemerintahan baru. Desa Sala terpilih
dari dua desa lainnya, yaitu Desa Kadipala dan Desa Sana Sewu, sebagi pusat
Keraton Mataram yang baru yang kemudian oleh Sunan Paku Buwana II diberi
nama Surakarta Hadiningrat. Hari Rabu, tanggal 17 Syura 1670 atau 17 Februari
1745, hari dilaksanakan dengan kirab secara besar-besaran pindahnya Ibukota
Kerajaan Mataram pindah dari Kartasura ke Surakarta Hadiningrat menjadi cikal
bakal lahirnya Kota Solo (Dinas Tata Ruang Kota Surakarta, 2013).
Adapun jika dilihat perkembangannya secara fisik, Kota Solo pada awal
mulanya berkembang dari kota yang berorientasi pada sungai menjadi kota
daratan. Pada tahun 1500 – 1750, Kota Solo merupakan kota Tepian Sungai
Bengawan Solo yang merupakan sungai terbesar di Pulau Jawa dan kemudian
mulai berubah menjadi kota campuran perairan dan daratan pada tahun 1750 –
1850. Pada masa inilah terjadi pencampuran antara konsep kolonial Belanda
dengan konsep kosmologi keraton dan organik masyarakat (Dinas Tata Ruang
Kota Surakarta, 2013).
Kota Surakarta tersusun oleh tiga konsep permukiman yang terdiri dari pola
permukiman masyarakat pribumi, kolonial, masyarakat Belanda dan konsep
3
kosmologi oleh masyarakat Keraton Jawa. Oleh karenanya, Kota Surakarta
memiliki banyak kawasan dengan situs bangunan tua bersejarah baik representasi
budaya Jawa maupun kolonial baik yang terpencar dan berserakan di berbagai
lokasi, ataupun yang terkumpul di sekian lokasi sehingga membentuk beberapa
kawasan kota tua dengan latar belakang sosialnya masing-masing (Dinas Tata
Ruang Kota Surakarta, 2013). Berikut merupakan peta wilayah Kota Surakarta :
Gambar 1. Peta Wilayah Kota Surakarta
Sumber : www.surakarta.go.id
Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang memiliki banyak bangunan
cagar budaya dan kawasan heritage. Wilayah-wilayah yang ada di Kota Surakarta
sangatlah bagus dan menarik apabila dijadikan salah satu destinasi alternatif bagi
wisatawan, yaitu berwisata dengan sejarah dan budaya Kota Surakarta serta
mengenal Solo heritage melalui toponimi Kota Surakarta, khususnya di
Kecamatan Banjarsari dengan memanfaatkan daya tarik dan potensi apa saja yang
ada pada kawasan heritage yang memiliki potensi wisata tersebut.
Kota Surakarta merupakan kota tujuan penting di tingkat regional, nasional
hingga internasional dengan memiliki berbagai jenis obyek wisata dan daya tarik
wisata yang disajikan bagi wisatawan, antara lain : wisata sejarah bisa dilakukan
4
di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Istana Pura Mangkunegaran,
Museum Radya Pustaka, lalu wisata kuliner seperti jajanan khas Solo yang bisa di
dapat di penjuru kota seperti di Pasar Gede, ada juga wisata belanja di Pasar
Klewer, Pasar Antik Windujenar Triwindu dan wisata alam yang berada di Taman
Satwa Taru Jurug, Taman Balekambang, dan Taman Sriwedari (Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta, 2016 : 10).
Berdasarkan data dari Badan Promosi Pariwisata Kota Surakarta, 2013,
fasilitas pendukung dalam pariwisata di Kota Surakarta tidak lepas dengan adanya
sarana dan prasarana bagi wisatawan, seperti hotel berbintang yang sudah ada 28
buah, hotel melati sebanyak 77 buah, sementara jumlah kamar keseluruhan
sebanyak 4.500 room (Badan Promosi Pariwisata Kota Surakarta, 2013).
Kemajuan pariwisata di Kota Surakarta juga meluas hingga ke tingkat
kelurahan. Setiap kelurahan memiliki Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang
berusaha melakukan sosialisasi dan mengembangkan kegiatan seni budaya yang
dapat mendukung kemajuan kegiatan pariwisata Kota Surakarta, seperti yang
tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kepariwisataan
Nomor 10 Tahun 2009, dalam Pasal 19 yang mengatakan :
(1) Setiap orang berhak :
a. Memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata;
b. Melakukan usaha pariwisata;
c. Menjadi pekerja / buruh pariwisata; dan / atau
d. Berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan.
(2) Setiap orang dan / atau masyarakat di dalam dan di sekitar destinasi
pariwisata mempunyai hak prioritas :
a. Menjadi pekerja / buruh;
b. Konsinyasi; dan / atau
c. Pengelolaan.
Dan di dalam Pasal 24 yang mengatakan :
Setiap orang berkewajiban :
a. Menjaga dan melestarikan daya tarik wisata; dan
b. Membantu terciptanya suasana aman, tertib, bersih, berperilaku santun,
dan menjaga kelestarian lingkungan destinasi pariwisata.
5
Hal tersebut dilakukan dalam upaya melestarikan keberadaan cagar budaya
yang ada di Kota Surakarta, khususnya di Kecamatan Banjarsari seperti yang
tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010
Tentang Cagar Budaya, “bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur,
situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan
meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan
memanfaatkan cagar budaya”.
Heritage tersebut antara lain bangunan-bangunan heritage yang merupakan
bangunan cagar budaya, yaitu : Stasiun Solo Balapan, Stasiun Radio Republik
Indonesia (RRI), Ponten, Villa Park Banjarsari, Monumen ‟45, Pasar Antik
Windujenar Triwindu, Istana Pura Mangkunegaran, Masjid Al-Wustho, Monumen
Pers, Taman Balekambang. Untuk mengembangkan obyek-obyek heritage
tersebut agar lebih dikenal masyarakat luas, maka perlu dibuat konsep yang
menarik minat wisatawan yang berkunjung dalam upaya melestarikan dan
mengembangkan bangunan cagar budaya yang ada di Kota Surakarta. Agar tidak
merasa jenuh dan bosan dengan bangunan-bangunan heritage tersebut, maka bisa
dibentuknya konsep „tempo dulu‟ di setiap obyek-obyek ini dengan cara saling
sambung-menyambung dari obyek satu ke obyek lainnya. Konsep „tempo dulu‟
ini mengacu dengan teknik perencanaan pengembangan destinasi wisata dalam
buku I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta dalam bukunya Pengantar Ilmu
Pariwisata, 2009.
Obyek-obyek heritage tersebut sudah ada sejak penjajah masuk ke kota ini,
maka otomatis bangunan-bangunan tersebut merupakan bangunan cagar budaya
yang dilindungi oleh pemerintah, tentu masyarakat yang ada di sekitar juga perlu
ikut melindungi dan melestarikan keberadaan tempat-tempat tersebut sebagai aset
sejarah. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Undang-Undang Cagar Budaya dalam Pasal 1
mengenai perlindungan dan pelestarian, serta pemanfaatan cagar budaya yang
tertera sebagai berikut.
1) Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda
Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs
Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan / atau di air yang
6
perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan / atau kebudayaan
melalui proses penetapan.
2) Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan / atau benda buatan
manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki
hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
3) Bagunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda
alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang
berdinding dan / atau tidak berdinding, dan beratap.
4) Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda
alam dan / atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang
kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk
menampung kebutuhan manusia.
5) Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan / atau di air
yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan /
atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti
kejadian pada masa lalu.
6) Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang meiliki dua
Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan / atau
memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
7) Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan,
dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat.
8) Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan
Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan,
dan memanfaatkannya.
9) Perlindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari
kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan,
Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.
7
10) Penyelamatan adalah upaya menghindarkan dan / atau menanggulangi
Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan.
11) Pengamanan adalah upaya menjaga dan mencegah Cagar Budaya dari
ancaman dan / atau gangguan.
12) Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan
Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.
13) Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik
Cagar Budaya tetap lestari.
14) Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang
rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan / atau teknik
pengerjaan untuk memperpanjang usianya.
15) Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi
Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan
Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan
Pelestarian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diangkat
dalam penelitian adalah :
1. Heritage tangible dan intangible apa saja yang ada di Kecamatan Banjarsari –
Surakarta?
2. Bagaimana pengembangan Kecamatan Banjarsari sebagai destinasi heritage
di Kota Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitan ini adalah :
1. Untuk mengetahui heritage tangible dan intangible yang ada di Kecamatan
Banjarsari Kota Surakarta.
2. Untuk mengetahui pengembangan Kecamatan Banjarsari sebagai destinasi
heritage di Kota Surakarta.
8
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Menambah pengetahuan, wawasan, dan informasi mengenai potensi wisata
sejarah dan budaya yang masih dimiliki Kota Surakarta sebagai aset yang
harus dilestarikan keberadaannya bagi pembaca dan masyarakat yang ikut
andil;
2. Menciptakan inovasi baru untuk menghilangkan rasa kejenuhan destinasi
wisata bagi wisatawan yang berkunjung;
3. Menambah koleksi karya tulis di Diploma III Usaha Perjalanan Wisata
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta.
E. Kajian Pustaka
1. Pengertian Pariwisata
“Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai
fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah,
dan Pemerintah Daerah”, yang disebut dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Tentang Kepariwisataan Tahun 2009.
2. Destinasi Wisata
Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kepariwisataan Tahun 2009
menjelaskan destinasi wisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu
atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata,
fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling
terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.
I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta dalam bukunya Pengantar Ilmu
Pariwisata, 2009, isinya antara lain mendefinisikan mengenai destinasi merupakan
suatu tempat yang dikunjungi dengan waktu yang signifikan selama perjalanan
seseorang dibandingkan dengan tempat lain yang dilalui selama perjalanan
(misalnya daerah transit). Sedangkan destinasi wisata didefinisikan oleh
Ricardson dan Fluker sebagai berikut.
9
“A significant place visited on a trip, with some form of actual or perceived
boundary. The basic geographic unit for the production of tourism statistics”.
Destinasi dapat dibagi menjadi destination area yang oleh WTO didefinisikan
sebagai berikut.
“Part of destination. A homogeneous tourism region or a group of local
government administrative regions”.
Dalam mendiskusikan destinasi pariwisata, juga harus mempertimbangkan istilah
region yang didefinisikan sebagai berikut.
“(1) A grouping of countries, usually in a common geographic area, (2) An
area within a country, usually a tourism destination area”.
Menurut Kusudianto, destinasi wisata dapat digolongkan atau dikelompokkan
berdasarkan ciri-ciri destinasi tersebut, yaitu :
1. Destinasi sumber daya alam, seperti iklim, pantai, hutan.
2. Destinasi sumber daya budaya, seperti tempat bersejarah, museum, teater, dan
masyarakat lokal.
3. Fasilitas rekreasi, seperti taman hiburan.
4. Event seperti Pesta Kesenian Bali, Pesta Danau Toba, pasar malam.
5. Aktivitas spesifik, seperti kasino di Genting Hihgland Malaysia, Wisata
Belanja di Hongkong.
6. Daya tarik psikologis, seperti petualangan, perjalanan romantis,
keterpencilan.
3. Pengertian Heritage
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta, dalam Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Tahun 2016-2026 Kota Surakarta, 2016, isinya
antara lain mengemukakan mengenai heritage yang ada di Kota Surakarta
termasuk dalam kategori aset budaya ragawi merupakan tinggalan fisik, berupa
bangunan maupun toponimi yang bersumber dari data arkeologi perkotaan. Secara
umum, aset budaya ragawi dapat diidentifikasikan melalui inventarisasi benda
cagar budaya. Berdasarkan Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor : 646/1-
2/1/2013 Tentang Perubahan Atas Keputusan Walikotamadya Daerah Tingkat II
Surakarta Nomor : 646/116/1/1997 Tentang Penetapan Bangunan-Bangunan dan
10
Kawasan Kuno Bersejarah di Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta yang
dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Cagar Budaya di
tetapkan 69 bangunan cagar budaya yang ada di Kota Surakarta.
Peter Howard dalam bukunya Heritage : Management, Interpretation,
Identity, 2003, isinya mendefinisikan makna heritage sebagai segala sesuatu yang
ingin diselamatkan orang, termasuk budaya material maupun alam.
Sedangkan menurut Hall & McArthur dalam bukunya Heritage Management,
1996, isinya antara lain memberikan definisi heritage sebagai warisan budaya
dapat berupa kebendaan (tangible) seperti monumen, arsitektur bangunan, tempat
peribadatan, peralatan, kerajinan tangan dan warisan budaya yang tidak berwujud
kebendaan, sebaliknya (intangible) berupa berbagai atribut kelompok atau
masyarakat, seperti cara hidup, folklore, norma dan tata nilai.
(eprint.uny.ac.id/9366/3/bab%202%20-09514131007.pdf).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang
Undang-Undang Cagar Budaya menimbang “bahwa cagar budaya merupakan
kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan
manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya
perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan
kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Cagar Budaya memiliki asas, tujuan, dan lingkup dengan berdasarkan
landasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang
Undang-Undang Cagar Budaya, antara lain adalah :
a. Pasal 2
Pelestarian Cagar Budaya berasaskan :
1) Pancasila;
2) Bhinneka Tunggal Ika;
3) Kenusantaraan;
4) Keadilan;
5) Ketertiban dan kepastian hukum;
6) Kemanfaatan;
11
7) Keberlanjutan;
8) Partisipasi; dan
9) Transparansi dan akuntabilitas.
b. Pasal 3
Pelestarian Cagar Budaya bertujuan :
1) Melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia;
2) Meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya;
3) Memperkuat kepribadian bangsa;
4) Meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan
5) Mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat
internasional.
c. Pasal 4
Lingkup Pelestarian Cagar Budaya meliputi Perlindungan, Pengembangan,
dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di air.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010
Tentang Undang-Undang Cagar Budaya yang tercantum dalam Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11, dengan kriteria sebagai berikut.
a) Pasal 5
Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebgai Benda Cagar
Budaya atau Struktur Cagar Budaya, apabila memenuhi kriteria :
1. Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
2. Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima pulih) tahun;
3. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama, dan / atau kebudayaan; dan
4. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
b) Pasal 6
Benda Cagar Budaya dapat :
1. Berupa benda alam dan / atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan
oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan dengan
kegiatan manusia dan / atau dapat dihubungkan dengan sejarah
manusia;
2. Bersifat bergerak atau tidak bergerak; dan
12
3. Merupakan kesatuan atau kelompok.
c) Pasal 7
Bangunan Cagar Budaya dapat :
1. Berunsur tunggal atau banyak; dan / atau
2. Berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam.
d) Pasal 8
Struktur Cagar Budaya dapat :
1. Berunsur tunggal atau banyak; dan / atau
2. Sebagian atau seluruhnya menyatu dengan formasi alam.
e) Pasal 9
Lokasi dapat ditetapkan sebgai Situs Cagar Budaya apabila :
1. Mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan / atau
Struktur Cagar Budaya; dan
2. Menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu.
f) Pasal 10
Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya
apabila :
1. Mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih yang letakya
berdekatan;
2. Berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit
50 (lima puluh) tahun;
3. Memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu
berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;
4. Memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan
ruang berskala luas;
5. Memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan
6. Memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan
manusia atau endapan fosil.
g) Pasal 11
Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang atas
dasar penelitian memiliki arti khusus bagi masyarakat atau bangsa
Indonesia, tetapi tidak memenuhi kriteria Cagar Budaya sebagaimana
13
dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 10 dapat diusulkan sebagai
Cagar Budaya.
4. Potensi Pariwisata
Menurut R.S. Damardjati dalam bukunya Istilah-istilah Dunia Pariwisata,
2001 isinya antara lain menjelaskan mengenai potensi pariwisata yaitu segala hal
dan keadaan baik yang tidak dapat diraba, yang digarap, diatur dan disediakan
sedemikian rupa, sehingga dapat bermanfaat atau dimanfaatkan atau diwujudkan
sebagai kemampuan, faktor dan unsur yang diperlukan atau menentukan bagi
usaha dan pengembangan kepariwisataan, baik itu berupa suasana, kejadian,
benda maupun layanan atau jasa.
Oka A Yoeti dalam bukunya Pengantar Ilmu Pariwisata, 1983, isinya antara
lain mengemukakan potensi wisata adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah
tujuan wisata, dan merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung
ke tempat tersebut.
5. Pengembangan Destinasi Pariwisata
I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri dalam bukunya Soisologi Pariwisata, 2005,
isinya antara lain mengkaji pariwisata dari aspek sosiologis, Erik Cohen
mengemukakan bahwa pariwisata dapat dipandang dari salah satu atau beberapa
pendekatan konseptual di bawah ini :
a. Tourism as a commercialised hospitality
Dalam pendekatan ini pariwisata adalah proses komersialisasi dari
hubungan tamu dengan tuan rumah. Tamu (orang asing) diberikan status dan
peranan sementara di masyarakat yang di kunjungi yang kemudian
diperhitungkan secara komersial. Pendekatan ini sesuai untuk menganalisis
perkembangan dan dinamika hubungan host-guest, termasuk berbagai konflik
yang muncul serta berbagai institusi yang menangani.
b. Tourism as a democratised travel
Dalam pendekatan ini, pariwisata dipandang sebagai perilaku perjalanan
wisata dengan berbagai karakteristiknya. Pariwisata dipandang sebagai
14
demokratisasi dari perjalanan, yang dulu hanya di monopoli oleh kaum
aristokrat, tetapi sekarang sudah dapat dilakukan oleh siapa saja.
c. Tourism as a modern leisure activity
Fokus utama yang menjadi perhatian adalah bahwa wisatawan adalah
orang yang santai, yang melakukan perjalanan, bebas dari berbagai
kewajiban. Seperti yang dikemukakan oleh MacCannell bahwa modernitas
ditandai oleh rasa alienasi, fragmentasi, dan superfisialitas. Untuk
„mengobati‟ penyakit ini, wisatawan mengunjungi daerah yang mampu
memberikan authenticity. Pariwisata dipandang sebagai suatu „institusi‟ yang
mempunyai fungsi tertentu dalam masyarakat modern, yaitu mengembalikan
masyarakat kepada situasi harmoni dan keseimbangan.
d. Tourism as a modern variety of traditional pilgrimage
Pariwisata dipandang berasosiasi dengan ziarah keagamaan yang biasa
dilakukan masyarakat tradisional, atau merupakan bentuk lain dari sacred
journey. Pendekatan ini menganalisis makna struktural yang lebih dalam dari
perjalanan wisata. Dalam kaitan ini, Graburn memandang pariwisata identik
dengan ziarah (pilgrimage). Dengan cara pandang ini, Graburn melihat
pariwisata mempunyai fungsi memelihara atau meningkatkan kesadaran
kolektif dalam teori Durkheimian. Bahkan MacCannell lebih mempertegas
lagi bahwa „atraksi wisata yang dinikmati wisatawan sekarang adalah
persamaan dari simbol-simbol keagamaan pada masyarakat primitif‟. Lebih
jauh lagi, pariwisata bahkan dipandang sebagai „agama baru‟ bagi orang
modern.
“In the middle ages, people were tourists because of their religion;
whereas now they are tourists because tourism is their religion”.
e. Tourism as an expression of basic cultural themes
Pendekatan ini bersifat emic (sebagai lawan dari ethic), dengan melihat
pemaknaan perjalanan dari pihak pelaku perjalanan tersebut. Dengan
pendekatan ini akan dapat ditemukan berbagai klasifikasi perjalanan dari
pihak pelaku perjalanan yang sangat ditentukan oleh budaya pelakunya.
15
f. Tourism as an acculturation process
Pendekatan ini memfokuskan analisis pada proses akulturasi, sebagai
akibat dari interaksi host-guest yang mempunyai latar bealakang budaya yang
bebeda.
g. Tourism as a type of ethnic relations
Pendekatan ini menaruh perhatian pada hubungan antar etnis, atau pun
dampak-dampak yang timbul terkait dengan identitas etnis.
h. Tourism as form of neo-colonialism
Dependensi (ketergantungan) merupakan salah satu masalah yang menjadi
fokus pendekatan ini. Pariwisata dipandang sangat berperan di dalam
mempertajam hubungan metropolis-periferi, karena negara penghasil
wisatawan (tourist generating countries) akan menjadi dominan (metropolis),
sedangkan negara penerima (tourist-receiving countries) akan menjadi
satellite atau peripheral, dan hubungan ini merupakan pengulangan
kolonialisme atau imperalisme, yang pada muaranya akan menghasilkan
dominasi dan keterbelakangan struktural. Adanya kebocoran ekonomi yang
begitu besar ke negara-negara maju menyebabkan pariwisata sesungguhnya
merupakan wahana baru bagi munculnya neokolonialisme.
I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta dalam bukunya Pengantar Ilmu
Pariwisata, 2009, isinya antara lain menjelaskan mengenai pengembangan
destinasi pariwisata memerlukan teknik perencanaan yang baik dan tepat. Teknik
pengembangan itu harus menggabungkan beberapa aspek penunjang kesuksesan
pariwisata. Aspek-aspek tersebut adalah aspek aksesibilitas (transportasi dan
saluran pemasaran), karakteristik infrastruktur pariwisata, tingkat interaksi sosial,
keterkaitan / kompatibilitas dengan sektor lain, daya tahan akan dampak
pariwiata, tingkat resistensi komunikasi lokal, dan seterusnya. Teknik
pengembangan destinasi pariwisata yang sering digunakan, antara lain sebagai
berikut.
1. Carrying Capacity
16
Konsep daya dukung kawasan secara implisit mengandung makna batasan
(limit), batas atas (ceiling), atau tingkatan / level (threshold) yang tidak boleh
dilewati dalam pembangunan atau pengembangan destinasi pariwisata. Batasan
„daya dukung‟ dipengaruhi oleh dua grup faktor, yaitu:
a. Faktor dari grup pertama yang mempunyai implikasi pemasaran yang
melibatkan atau berkaitan dengan wisatawan. Hal ini menyangkut
karakteristik wisatawan, seperti usia, jenis kelamin, pendapatan; motivasi,
attitude, dan harapan; latar belakang ras dan etnik, serta pola perilaku. Faktor
lainnya berupa level pemakaian dari fasilitas, kepadatan wisatawan, lamanya
menginap wisatawan, tipe / jenis aktivitas wisatawan, dan level kepuasan
wisatawan.
b. Faktor dari grup kedua berkaitan dengan atribut destinasi, seperti kondisi
lingkungan dan alam, struktur ekonomi dan pembangunan, struktur sosial dan
organisasi, organisasi politik, dan level pengembangan pariwisata.
2. Recreational Carrying Capacity (RCC)
Dampak dari pembangunan dan pengembangan destinasi wisata (baik tipe,
lokasi, dan kualitasnya) pada lingkungan diteliti dan diidentifikasi tingkat
kritisnya. Contohnya tingkat kritis suatu destinasi wisata mengacu pada jumlah
orang yang mengunjungi kawasan tersebut per tahun atau per hari atau per sekali
kunjungan. Pada umunya nilai optimum kunjungan berkisar antara 10 sampai 20
persen di bawah jumlah maksimumnya. Perhitungan ini bisa dijadikan patokan
untuk menentukan RCC. Namun perlu dicatat bahwa penentuan RCC bersifat
subyektif sebab sebuah destinasi memiliki kapasitas potensial yang berbeda (fisik,
ekologi, sosial, psikologi, dan ekonomi).
3. Recreational Opportunity Spectrum (ROS)
ROS merupakan teknik identifikasi karakteristik dari suatu kawasan atau
destinasi setting yang berbeda dan memadukannya dengan peluang rekreasi untuk
keuntungan terbaik bagi pengguna kawasan / destinasi dan lingkungan. Yang
pertama harus dilakukan dalam ROS adalah menentukan karakteristik destinasi
atau wilayah yang akan dikembangkan sebagai daerah rekreasi / wisata. Daerah
tertentu mungkin saja sangat bervariasi dan mempunyai spectrum yang berbeda.
Misalnya, sebuah taman nasional mempunyai spectrum aksesibilitas mulai dari
17
level mudah dijangkau dan dnegan fasilitas yang memadai sampai dengan kondisi
yang terpencil, terisolasi, dan tanpa fasilitas penunjang. Lankford memberikan
contoh bagaimana ROS dibuat sebagai bahan inventori dan database, manajemen
dapat menganalisis dan mengevaluasi permintaan dan penawaran terhadap
kawasan yang dikembangkan. ROC dapat diaplikasikan dalam beberapa setting
wilayah yang berbeda sebagai berikut.
Tabel 1. Deskripsi Peluang Pengembangan Destinasi Sebagai Kawasan Rekreasi
No. Setting
Destinasi Deskripsi Peluang Pengembangan
1. Primitive Bagian terpencil dan terisolasi dari sebuah wilayah (misalnya
area konservasi). Daerah ini secara alami terbentuk oleh proses
ekologi, tanpa campur tangan manusia. Lingkungan dan
ekosistem alam mendominasi setting dan mengontrol
pengalaman rekreasi / wisata pengunjung. Cocok bagi
wisatwan yang menginginkan wisata alam, pemandangan
alami, isolasi, ketidakpastian, berisiko, dan petualangan.
Kemampuan hidup di hutan dan alam sangat penting untuk
keamanan dan kenyamanan berekreasi / berwisata.
2. Semi-
primitive
Terdapat jalan setapak dan jalan non-permanen yang tidak
mudah dilalui yang menembus kawasan terlarang bagi dan atau
tidak dapat diakses dengan kendaraan bermotor, tetapi kuda
dan sepeda dayung diperbolehkan. Tingkat risiko dan isolasi
cukup besar karena larangan penggunaan kendaraan bermotor.
Fasilitas penunjang tidak tersedia bagi kepuasan dan
kenyamanan pengunjung tetapi sangat tergantung pada
kemampuan individu untuk mencapainya.
3. Roaded
Natural
Sepanjang atau dekat kawasan pengembangan / konservasi
jalan dapat ditemukan. Umumnya dibuat dengan memodifikasi
sebagian kawasan untuk pembangunan fasilitas tersebut.
Pembangunan dibatasi hanya untuk jalan, rel kereta api, dan
beberapa rumah pengawas. Lingkungan alam masih
mendominasi, walaupun beberapa kegiatan, seperti pembibitan,
dan pengeloalaam kehidupan liar diizinkan. Regulasi dan
kontrak dengan dunia luar sudah ada. Keperluan sehari-hari
tidak tersedia sehingga orang harus memenuhi kebetuhannya
secara mandiri. Peluang pendakian, penjelajahan kawasan,
bersepeda, dan camping dapat dilakukan di bawah pengawasan.
Dibangun fasilitas wisata seperti campground, picnicground,
dan visitor information center, dan sebagainya dalam setting
18
ini.
4. Rural Setting ini berupa pertanian dengan peternakan, lahan terbuka,
komunitas kecil, fasilitas komersial, bahkan campground yang
luas. Mudah menemukan pengunjung lain dalam bagian lain
kawasan. Area ini menyediakan lokasi hiking yang nyaman,
camping dan cross country, dekat dengan toko yang menjual
keperluan sehari-hari, serta pompa bensin.
5. Urban Setting ini mungkin di mana kita hidup. Terdapat begitu
banyak bangunan, jalan telah diaspal atau dibeton, dan begitu
banyak orang di kawasan tersebut. Hiking dan jalur sepeda
yang melewati taman kota merupakan contoh peluang rekreasi /
wisata dalam setting urban ini.
Sumber : Pengantar Ilmu Pariwisata, 2009 : 89
Butler dan Waldbrook, mengemukakan bahwa kerangka ROS menampilkan
variasi kelas pengembangan, dari primitive sampai modern, dan identifikasi
karakteristik kawasan yang memengaruhi peluang untuk dikembangkan menjadi
kawasan rekreasi / wisata. Terdapat enam faktor yang bisa dipakai untuk
menentukan kondisi dan karakteristik suatu wilayah berdasarkan konsep ROS,
yaitu sebagai berikut.
a. Akses;
b. Penggunaan di luar kepentingan pengembangan untuk kawasan rekreasi;
c. Manajemen dan prasarana yang telah ada;
d. Interaksi sosial;
e. Level penerimaan akan dampak kunjungan;
f. Level penerimaan akan manajemen kontrol.
Tujuan dari ROS adalah membantu perencana (manajer) yang bertanggung
jawab dalam perlindungan dan pelestarian alam dan lingkungan sambil
memadukan penggunaan sebagian areanya untuk kepentingan rekreasi / wisata.
19
4. Limits of Acceptable Change (LAC)
Limit of Acceptable Change (LAC) menolak anggapan bahwa semakin besar
pemanfaatan suatu destinasi akan menyebabkan semakin besar dampak yang
ditimbulkannya. Pemikiran di balik hal ini adalah bahwa perubahan merupakan
suatu keniscayaan sebagai konsekuensi pemakaian sumber daya dan oleh
karenanya sebuah framework diperlukan untuk mengelola masalah yang terjadi
berdasarkan seberapa jauh perubahan tersebut dapat diterima. Ketika batas
perubahan yang dapat diterima sudah tercapai, berarti kapasitas sebuah destinasi
juga telah tercapai. Manajemen harus menerapkan tindakan strategis untuk
mempertahankan destinasi dari pemakaian lebih lanjut, misalnya dengan
pembatasan pemakaian.
Umumnya LAC menyangkut tiga isu pokok : kondisi sumber daya alam,
faktor kelembagaan, dan faktor sosial.
5. Visitor Impact Management Model (VIMM)
Menurut Loomis dan Graete VIMM didefinisikan sebagai berikut.
“A management system based on statements of objctives, research
and monitoring to determine environmental and social conditions. A
range of management strategies to deal with the impacts is then
generated”. (2004 : 310)
VIMM menyadari bahwa pengunjung / wisatawan bukan satu-satunya yang
menyebabkan dampak pada destinasi. Manajemen yang efektif harus berbuat lebih
dari sekedar RCC tetai melibatkan pertimbangan ilmiah dalam pengambilan
keputusan. VIMM mensyaratkan pernyataan eksplisit dari tujuan manajemen yang
akan dicapai, penelitian dan pengawasan untuk menentukan kondisi sosial dan
lingkungan, dan kemudian membuat strategi untuk mengantisipasi dampak yang
terjadi.
6. Visitor Experience and Resource Protection Model (VERP)
Titik awal VERP dimulai dengan menentukan cakupan pengalaman
wisatawan yang dapat ditawarkan dalam sebuah destinasi / kawasan, dan
menentukan tujuan yang ingin diwujudkan berkenaan dengan kondisi sumber
daya destinasi. VERP menggunakan zoning untuk menentukan penggunaan dan
20
menajemen strategi yang tepat untuk areal bebeda dalam kawasan / destinasi.
Menurut Richardson dan Fluker, VERP didefinisikan sebagi berikut.
“An expansion of the VIMM with the addition of zoning and legislative links
with region’s management plan”.
Proses VERP disusun berdasarkan pengalaman terhadap model lain, tetapi
menolak carrying capacity yang spesifik dan pembatasan jumlah kunjungan
sebagai penentu kondisi sosial dan ekologi. Dalam VERP terjadi peralihan filosofi
pengukuran, dari filosofi pengukuran yang maksimum ke filosofi pengukuran
kondisi yang optimum, sehingga VERP menolak konsep carrying capacity dan
limitasi.
7. Visitor Activity Management Program (VAMP)
VAMP merupakan sistem manajemen yang berusaha mengubah orientasi dari
produk – misalnya obyek dan pengunjung / wisatawan – kepada orientasi
pemasaran dengan penekanan pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan
konsumen. Untuk itu diperlukan perubahan budaya pada manajemen pengelolaan
destinasi. Visitor Activity Management Program (VAMP) didefinisikan sebagai
berikut.
“A management system with an emphasis on marketing, deciding what people
want in a park, then developing and marketing specific experience to match the
wants”.
VAMP pertama kali diperkenalkan di Kanada tahun 1990-an dengan
menekankan pada pengambilan keputusan tentang apa yang orang / wisatawan
inginkan di obyek / destinasi tertentu. Berdasarakan hal tersebut kemudian
disusun program pengembangan dan pemasaran untuk melink-an dengan apa yang
diinginkan. Prosesnya termasuk menyeting tujuan destinasi yang sesuai dengan
aktivitas wisatawan, menganalisis karakteristik pengunjung / wisatawan, dan
mengembangkan beragam pilihan aktivitas dan pelayanan untuk memenuhi
kebutuhan dan kepuasan konsumen. Menentukan tujuan manajemen kunjungan
yang jelas akan membantu menentukan tipe kelebihan, keuntungan, dan
pengalaman apa yang akan ditawarkan kepada wisatawan / pengunjung sehingga
mampu memuaskan konsumen. Inti dari VAMP dan sekaligus juga sebagai
21
masalah utama adalah bagaimana menggeser dari paradigma produk ke paradigma
pemasaran.
8. Tourism Opportunity Spectrum (TOS)
Secara detail, TOS menganut asumsi bahwa spectrum pengukuran dan
penilaian indikator perencanaan yang digunakan haruslah :
a. Dapat diamati dan diukur.
b. Secara langsung dapat dikendalikan di bawah manajemen kontrol.
c. Terkait langsung dengan preferensi wisatawan dan memengaruhi
keputusannya untuk melakukan wisata atau tidak ke tempat tersebut.
d. Mempunyai karakteristik dengan kondisi tertentu.
Elemen-elemen dalam konsep Tourism Opportunity Spectrum adalah sebagai
berikut.
1. Akssesibilitas
Dalam pengembangan pariwisata dalam sebuah sistem, faktor aksesibilitas,
baik berupa perencanaan perjalanan, penyediaan informasi mengenai rute dan
destinasi, ketersediaan sarana transportasi, akomodasi, ataupun kemudahan lain
untuk mencapai destinasi menjadi penentu berhasilnya peluang pengembangan
destinasi. Aksesibilitas juga menyangkut manajemen informasi kawasan
pengembangan bagi calon wisatawan mengungat keunikan destinasi. Akses
informasi bisa dari mulut ke mulut, dari keluarga dan teman. Buku-buku
pariwisata, brosur, tabloid, iklan, dan sejenisnya juga sangat penting. Dalam
Tourism Opportunity Spectrum, semakin mudah aksesibilitas ke destinasi
pariwisata maka semakin besar peluang keberhasilan pengembangannya, dan vice
versa.
2. Kompatibilitas dengan kegiatan lain
Keberhasilan pengembangan destinasi pariwisata sangat ditentukan oleh
kompatibilitasnya terhadap aktivitas lain di kawasan pengembangan. Sifat
interdependensi, baik sumber daya maupun dampak suatu kegiatan di suatu
kawasan terhadap kawasan lain, menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan
pengembangan destinasi pariwisata. Yang perlu diperhatikan adalah sampai level
mana sebuah pengembangan kawasan dapat memengaruhi kawasan lain dan
kondisi yang bagaimana yang paling optimal dan baik untuk menunjang kawasan
22
pengembangan. Beberapa aktivitas mempunyai dampak langsung, seperti
penebangan hutan, pembuangan limbah, penangkapan ikan dan pengambilan
terumbu karang, dan sebagainya. Jika aktivitas itu terus berlangsung maka akan
mengurangi kompatibilitas terhadap konsep pengembangan destinasi pariwisata.
Dalam Tourism Opportunity Spectrum disebutkan bahwa semakin tinggi derajat
kompatibilitas pengembangan destinasi pariwisata, maka semakin besar peluang
pengembangannya, dan vice versa.
3. Karakteristik sarana pariwisata
Penyediaan sarana pariwisata sangat menentukan peluang pengembangan
sebuah destinasi pariwisata. On-site management, penataan sarana pariwisata,
termasuk di dalamnya pengadaan fasilitas baru, penanaman atau introduksi
vegetasi, akomodasi, tempat perbelanjaan, fasilitas hiburan, serta penataan akses
lalu lintas ke kawasan, sangat menentukan keberhasilan pengembangan destinasi
pariwisata. Pembangunan sarana pariwisata ini memerlukan modifikasi kawasan
destinasi yang bisa saja berakibat sangat kompleks. Penyediaan sarana pariwisata
yang mempunyai karakteristik tidak sesuai dengan ekosistem dan sifat alamiah
destinasi mungkin akan memperkecil peluang keberhasilan pengembangan
destinasi pariwisata tersebut, dan vice versa.
4. Interaksi sosial
Kedatangan wisatawan pada suatu destinasi wisata, apalagi destinasi yang
mengandalkan sumber daya alam dan kehidupan ekosistem sebagai atraksi
utamanya, mempunyai potensi untuk merusak keseimbangan ekosistem tersebut.
Dalam derajat tertentu, ekosistem sosial dan ekosistem alamiah akan terpengaruhi.
Konsekuensinya, eksistensi kawasan tersebut akan selalu dalam ancaman
degradasi kualitas. Dalam sistem kepariwisataan, ada dua kondisi interaksi
manusia yang harus dipertimbangkan. Pertama, interaksi manusia dengan
lingkungan / ekosistem yang memengaruhi ekosistem alam. Kedua, interaksi
anatara wisatawan dengan komunitas lokal yang dapat memengaruhi ekosistem
sosial. Interaksi ini dapat berupa adaptasi atau peningkatan kadar gangguan yang
dirasakan oleh komunitas lokal seiring dengan peningkatan jumlah wisatawan
yang melampaui ambang batas atau daya dukung sosial. Beberapa studi
23
menunjukkan adanya dampak positif dan dampak negatif pariwisata terhadap
komunitas lokal. Misalnya, bedasarkan studi Diarta yang berlokasi di Ubud, Bali
menyimpulkan keberadaan pariwisata dapat memperkuat solidaritas sosial
masyarakat adat (desa adat dan subak) dengan memanfaatkan outside challenge
dai pariwisata guna memperkuat inside self-defense. Di sisi lain, keberadaan
pariwisata menyebabkan ancaman degradasi lingkungan di subak dengan
pengambilalihan hamparan persawahan untuk fasilitas pariwisata. Dalam Tourism
Opportunity Spectrum, semakin besar dampak positif yang ditimbulkan pariwisata
terhadap kualitas interaksi sosial manusia dengan ekosistem sosial dan ekosistem
lingkungannya, maka peluang pengembangan destinasi pariwisata akan semakin
besar dan vice versa.
5. Tingkat akseptabilitas komunitas lokal terhadap keberadaan wisatawan.
Keberadaan orang baru di suatu wilayah akan mengakibatkan terjadinya
keseimbangan baru pada sistem sosial di wilayah tersebut untuk memastikan
sistem sosial tersebut tetap stabil. Keseimbangan baru tersebut dapat dicapai baik
melalui mekasnisme damai atau konflik terlebih dahulu. Tingkat penerimaan atau
aksepitabilitas komunitas lokal terhadap datangnya wisatawan di kawasan tersebut
akan menimbulkan reaksi dalam derajat tertentu. Tingkat dan sifat reaksi (damai /
konflik) sangat ditentukan oleh derajat akibat yang akan ditimbulkannya dan
kemampuan pengendalian (kontrol) oleh komunitas lokal. Akibat dan kontrol
keduanya harus dikelola sebaik mungkin. Semakin buruk sistem kendali terhadap
kedua faktor tersebut dalam konsep Tourism Opportunity Spectrum maka peluang
pengembangan destinasi pariwisata akan semakin kecil, dan vice versa.
6. Derajat manajemen kontrol
Derajat manajemen kontrol mencerminkan kelenturan pengelolaan destinasi
wisata. Kecenderungan wisata ke depan adalah penonjolan pengalaman pribadi
(personal experience) yang memerlukan kecermatan pengelolaan destinasi wisata
agar mampu memuaskan sifat petualangan dari wisatawan. Konsekuensinya,
pengelolaan destinasi pariwisata memerlukan paket wisata yang individualized
dan personal. Dalam Tourism Opportunity Spectrum, keberhasilan manajemen
kontrol dalam menyeimbangkan hasrat wisatawan yang menginginkan
pengalaman dan petualangan yang spesifik dengan penyediaan atraksi wisata yang
24
sesuai akan menentukan tingkat keberhasilan peluang pengembangan destinasi
pariwisata.
Kemudian, pengembangan tersebut diaplikasikan melalui analisis. Analisis
yang menjadi acuan strtegi dalam membentuk pengembangan destinasi wisata
heritage adalah berupa analisis SWOT (Srengths, Weakness, Opportunities,
Threats) serta analisis 4A (Atraksi, Aksesibilitas, Amenitas, dan Ancillary).
a. Analisis SWOT (Srengths, Weakness, Opportunities, dan Threats)
Merupakan identifikasi dalam berbagai faktor yang secara sistematis
untuk merumuskan ssuatu strategi perusahaan. Analisis SWOT didasarkan
pada suatu hubungan atau interaksi di antara unsur-unsur internal
(kekuatan dan kelemahan) serta unsur-unsur eksternal (kesempatan atau
peluang dan ancaman) (www.gurupendidikan.com/pengertian-dan-
strategi-analisis-swot-menurut-para-ahli/).
Tujuan dari analisis ini adalah untuk menggambarkan situasi yang
sedang dihadapi dan bukan sebuah alat analisa yang mampu memberikan
jalan keluar bagi permasalahan yang sedang dihadapi. Manfaat dari
analisis ini adalah untuk melihat suatu topik ataupun suatu permasalahan
dari empat sisi yang berbeda dan merupakan instrumen yang bermanfaat
dalam melakukan analisis strategi
(www.pengertianku.net/2015/03/pengertian-analisis-swot-dan-
manfaatnya.html).
Berikut merupakan bagan analisis SWOT (Srengths, Weakness,
Opportunities, Threats).
25
Gambar 2. Bagan Analisis SWOT (Srengths, Weakness, Opportunities, Threats)
Sumber : himansaclub.blogspot.com
1) Strengths (Kekuatan)
Strengths atau kekuatan merupakan segala sesuatu yang dimiliki dan
dapat memperlancar pendirian usaha tersebut atau pembuatan produk
atau pelaksanaan proyek (hd-style.blogspot.co.id/2011/09/analisis-
swot.html?m=1).
2) Weakness (Kelemahan)
Weakness atau kelemahan yaitu ketiadaan sumber yang diperlukan
sehingga dapat menghambat kelancaraan pendirian usaha atau
pelaksanaan proyek yang bersangkutan (hd-
style.blogspot.co.id/2011/09/analisis-swot.html?m=1).
3) Opportunities (Kesempatan atau Peluang)
26
Opportunities atau kesempatan / peluang adalah faktor luar yang dapat
memperluas kegiatan yang akan dilakukan (hd-
style.blogspot.co.id/2011/09/analisis-swot.html?m=1).
4) Threats (Ancaman)
Threats atau ancaman yakni faktor luar yang dapat mempersempit
kegiatan yang akan dilakukan (hd-style.blogspot.co.id/2011/09/analisis-
swot.html?m=1).
b. Analisis 4A 4A (Atraksi, Aksesibilitas, Amenitas, dan Ancillary)
1) Atraksi
Atraksi adalah produk utama sebuah destinasi. Atraksi berkaitan dengan
what to see (apa yang dilihat) dan what to do (apa yang dilakukan) oleh
wisatawan yang berada di destinasi tersebut. Atraksi bisa berupa
keindahan dan keunikan alam, budaya masyarakat setempat,
peninggalan bangunan bersejarah, serta atraksi buatan seperti sarana
permainan dan hiburan (www.jejakwisata.com/tourism-studies/tourism-
ingeneral/213-4a-yang-wajib-dimiliki-oleh-sebuah-destinasi-
wisata.html).
2) Aksesibilitas
Aksesibilitas adalah sarana dan infrastruktur untuk menuju destinasi.
Akses jalan raya, ketersediaan sarana transportasi dan rambu-rambu
penunjuk jalan (www.jejakwisata.com/tourism-studies/tourism-
ingeneral/213-4a-yang-wajib-dimiliki-oleh-sebuah-destinasi-
wisata.html).
3) Amenitas
Amenitas adalah segala fasilitas pendukung yang bisa memenuhi
kebutuhan dan keinginan wisatawan selama berada di destinasi.
Amenitas berkaitan dengan ketersediaan sarana akomodasi untuk
menginap serta restoran untuk makan dan minum. Kebutuhan lain yang
mungkin juga diinginkan dan diperlukan oleh wisatawan, seperti toilet
umum, rest area, tempat parkir, klinik kesehatan, dan sarana ibadah
(www.jejakwisata.com/tourism-studies/tourism-ingeneral/213-4a-yang-
wajib-dimiliki-oleh-sebuah-destinasi-wisata.html).
27
4) Ancillary
Ancillary berkaitan dengan ketersediaan sebuah organisasi atau orang-
orang yang mengurus destiasi tersebut (www.jejakwisata.com/tourism-
studies/tourism-ingeneral/213-4a-yang-wajib-dimiliki-oleh-sebuah-
destinasi-wisata.html).
Analisis 4A (Atraksi, Aksesibilitas, Amenitas, dan Ancillary) ini dapat
dijadikan pertimbangan dalam industri pariwisata untuk mengembangkan suatu
destinasi dengan potensi wisata (www.jejakwisata.com/tourism-studies/tourism-
ingeneral/213-4a-yang-wajib-dimiliki-oleh-sebuah-destinasi-wisata.html).
Setelah menganalisis strategi-strategi tersebut melalui analisis SWOT
(Srengths, Weakness, Opportunities, Threats) dan analisis 4A (Atraksi,
Aksesibilitas, Amenitas, dan Ancillary), maka selanjutnya dibentuklah konsep
untuk membuat pengembangan destinasi wisata heritage dengan konsep „tempo
dulu‟ dengan mengacu pada teknik perencanaan yang dikemukakan oleh I Gde
Pitana dan I Ketut Surya Diarta dalam bukunya Pengantar Ilmu Pariwisata, 2009
yang menjelaskan teknik pengembangan destinasi pariwisata dengan baik dan
tepat.
Selain itu, Sumarsinasih dan Ambar Adrianto, dalam bukunya Dinamika
Kampung Kota Prawirotaman dalam Perspektif Sejarah dan Budaya, 2014, isinya
antara lain menjelaskan mengenai kampung kota merupakan permukiman pada
area kota yang dibentuk oleh konsep keruangan dalam kurun waktu sangat lama
dengan mayoritas masyarakat yang homogen. Hal tersebut juga dapat menjadi
landasan dalam terbentuknya konsep „tempo dulu‟ untuk pengembangan destinasi
wisata heritage di Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dan
kuantitatif. Berdasarkan pengertian Endar Sugiarto dan Kusmayadi dalam bunya
Metodologi Penelitian dalam Bidang Kepariwisataan, 2000, isinya mendefinisikan
metode deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendiskripsikan atau
menggambarkan / melukiskan fenomena atau hubungan antar fenoma yang diteliti
dengan sistematis, faktual, dan akurat. Asep Saepul Hamdi dan E. Bahruddin
28
dalam bukunya Metode Penelitian Kuantitatif dalam Aplikasi Pendidikan, 2014,
isinya menjelaskan bahwa metode kualitatif adalah penelitian yang dapat
menjelaskan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap
kepercayaan, persepsi sesseorang atau kelompok terhadap sesuatu. Penelitian
kuantitatif menekankan fenomena-fenomena obyektif yang dikaji secara
kuantitatif. Maksimalisasikan obyektivitas desain penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan angka-angka, pengolahan statistik, struktur, dan percobaan
terkontrol.
Metode ini bertujuan untuk mengumpulkan data-data dari berbagai sumber
dengan berdasarkan data yang ditemukan dan dijabarkan sebagai berikut.
1. Lokasi Penelitian
Lokasi untuk melakukan pelitian ini membatasi pada wilayah administratif
Kota Surakarta, yaitu di kawasan Kecamatan Banjarsari yang memiliki obyek-
obyek wisata heritage di berbagai kelurahan, seperti : Kelurahan Kestalan,
Kelurahan Setabelan, Kelurahan Keprabon, Kelurahan Ketelan, Kelurahan
Timuran, dan Kelurahan Manahan.
2. Teknik Pengumpulan Data :
a. Observasi
Teknik pengumpulan data melalui observasi dapat dilakukan secara langsung
maupun tidak langsung. Observasi dilakukan pada bulan April dan Juni 2016 di
obyek-obyek heritage antara lain : Stasiun Solo Balapan, Stasiun Radio Republik
Indonesia (RRI), Ponten, Villa Park Banjarsari, Monumen ‟45, Pasar Antik
Windujenar Triwindu, Istana Pura Mangkunegaran, Masjid A-Wustho, Monumen
Pers, Taman Balekambang. Observasi secara langsung yaitu dengan cara
mengamati dan menencatat secara sistematik kejadian yang sedang berlangsung
pada tempat-tempat bersejarah tersebut. Pengamatan dimulai dari pagi sekitar
pukul 09.00 WIB sampai dengan siang hari pukul 14.00 WIB. Observasi yang
dilakukan adalah dengan menilai kelemahan, kekurangan, kesempatan atau
peluang, dan ancaman dari obyek-obyek tersebut.
b. Wawancara
Untuk memperoleh data berupa dokumen dilakukan wawancara dengan 8
(delapan) informan, diantaranya adalah : Kepala Seksi Promosi dan Informasi
29
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta (Ibu Tri Rusnita, SE.), Ketua
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Kestalan (Bapak Mintorogo,
SE.), Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Setabelan (Bapak
Warsito), Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Keprabon
(Bapak Wagiman Harun Murtasid, SH.), Bendahara Kelompok Sadar Wisata
(Pokdarwis) Kelurahan Ketelan (Ibu Susi), Sekretaris Kelompok Sadar Wisata
(Pokdarwis) Kelurahan Timuran (Bapak Suparto), Ketua Kelompok Sadar Wisata
(Pokdarwis) Kelurahan Manahan (Bapak Poerbo Putranto), dan guide Istana Pura
Mangkunegaran (Ibu Susilaningsih). Informan tersebut dipilih karena merupakan
informan yang mengerti dan mengetahui data-data serta seluk beluk obyek-obyek
yang terkait. Sehingga data yang diperoleh dalam penelitian ini benar-benar
berasal dari sumber langsung yang berdasarkan informasi mengenai obyek-obyek
tersebut.
c. Studi Arsip / Dokumen
Dokumen yang diperoleh dalam penelitian ini adalah berupa foto-foto obyek-
obyek heritage yang terkait dalam penelitian. Mulai dari foto yang sudah
menjadikan ciri obyek tersebut hingga foto cagar budaya dari masing-masing
obyek heritage. Hasil dari gambar-gambar yang diperoleh, selanjutnya
didokumentasikan melalui lampiran pada laporan tugas akhir ini.
d. Studi Pustaka
Metode pengumpulan data melalui buku-buku yang terkait dengan pokok
pembahasan yang terdapat pada laporan ini sebagai pedoman pembuatan
penelitian yang di teliti.
e. Kuesioner
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang sesuai dengan pandangan
masyarakat sekitar obyek heritage tersebut, maka diperlukan responden untuk
menjawab kuesioner sebagai data dan informasi penelitian. Responden tersebut
merupakan anggota dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dari Kelurahan
Kestalan, Kelurahan Setabelan, Kelurahan Keprabon, Kelurahan Ketelan,
Kelurahan Timuran, dan Kelurahan Manahan. Dimana merupakan tempat
berdirinya obyek-obyek heritage tersebut. Untuk mendapatkan responden,
dilakukan cara dengan mendatangi masing-masing Kelompok Sadar Wisata
30
(Pokdarwis) dari masing-masing kelurahan tersebut. Agar terpilih menjadi
responden, maka ditentukan dengan adanya Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis)
dari masing-masing kelurahan, karena Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) inilah
yang mengerti akan seluk-beluk obyek heritage di sekitar lingkungan tempat
tinggal mereka, sehingga tanggapannya pun akan lebih realistis dibandingkan
dengan responden yang hanya sekedar mampir di obyek-obyek heritage tersebut.
Kuesioner tersebut diberikan kepada kurang lebih 20 (dua puluh) responden
dari gabungan jumlah kelurahan tersebut. Karena, masing-masing anggota
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang satu dengan yang lainnya berbeda-
beda jumlah anggotanya, sehingga hanya dapat diperoleh 20 (dua puluh)
responden dalam kuesioner ini. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan
Kestalan terdapat 5 (lima) responden, karena anggota yang aktif dalam organisasi
ini tidak lebih dari 10 (sepuluh) orang. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis)
Kelurahan Setabelan didapati 2 (dua) responden, karena pada kelompok ini yang
aktif hanyalah ketua dan anggota yang tidak lebih dari dua orang. Kelompok
Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Keprabon hanya 1 (satu) responden yaitu
ketua dari kelompok tersebut, karena ketua tersebut sudah mewakili anggota yang
lainnya. Kelonpok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Ketelan memiliki 7
(tujuh) responden yang terdiri dari ketua, bendahara, dan anggota. Kelompok
Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Timuran terdapat 3 (tiga) responden yang
terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota. Untuk Kelompok Sadar Wisata
(Pokdarwis) Kelurahan Manahan didapati 3 (tiga) responden yaitu ketua, dan
anggota. Tujuan penyebaran kuesioner ini adalah untuk mengetahui seberapa
besar peran masyarakat sekitar terhadap obyek-obyek heritage yang berpotensi
sebagai pengembangan destinasi wisata di Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.
3. Teknik Analisis Data
Analisis data menggunakan analisis deskripsi kualitatif dan kuantitatif. Data
deskripsi kualitatif didapat dari penelitian ini menggunakan teknik analisis SWOT
(Strength, Weakness, Opportunity, dan Threats) dan analisis 4A (Atraksi,
aksesibilitas, Amenitas, dan Ancillary) serta wawancara dengan beberapa
informan yang terkait. Untuk data kuantitatif diperoleh melalui hasil kuesioner
yang diperuntukkan bagi responden yang terkait. Sehingga data yang dianalisis
31
berupa deskriptif dan tabel dengan meghasilkan data yang akurat dan faktual
yang berkaitan dengan judul penelitian yang dibahas. Tujuan dari analisis ini
untuk mengetahui bagaimana cara mengembangkan destinasi wisata heritage ini
agar dapat direalisasikan di kemudian hari dan untuk mengetahui masalah apa saja
yang akan terjadi bagaimana cara menanggulanginya serta mencari solusi yang
tepat untuk masalah tersebut.
G. Sistematika Penelitian
Sistematika penelitian ini merupakan garis besar dari masalah yang dibahas
lebih lanjut, kemudain disusun secara urut dan sederhana yang terbagi dalam
empat bab. Garis besar tersebut adalah :
Bab I merupakan pendahuluan yang membahas latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode
penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab II mendiskripsikan mengenai gambaran umum Kota Surakarta dan
potensi kawasan heritage di Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta dengan
fasilitas-fasilitas pendukung di dalamnya.
Bab III menjelaskan mengenai pengembangan destinasi wisata kawasan
heritage di Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta melalui analisis SWOT dan
analisis 4A.
Bab IV merupakan penutup yang memuat kesimpulan dan saran yang
berkaitan dengan pengembangan Kecamatan Banjarsari sebagai destinasi heritage
di Kota Surakarta.