Upload
haxuyen
View
272
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesatnya perkembangan teknologi menyebabkan arus pertukaran
informasi semakin mudah dan cepat. Fenomena ini sejalan dengan semakin
meningkatnya kebutuhan manusia terhadap informasi dan komunikasi. Hal ini
terlihat dari adanya interaksi antar manusia dari bangsa yang berbeda. Perbedaan
bangsa berdampak pula pada perbedaan bahasa dan budaya, oleh karena itu
kegiatan penerjemahan atau pengalihbahasaan sangat diperlukan guna mengatasi
perbedaan bahasa dan budaya tersebut.
Betapa bahasa mempunyai keterikatan yang kuat dengan budaya terbukti
dengan adanya istilah-istilah khusus yang dimiliki oleh suatu bahasa sulit untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan menghadirkan makna yang sama.
Boleh jadi satu kata dalam sebuah bahasa tertentu tidak bisa diterjemahkan ke
dalam bahasa lain dengan diwakili satu kata pula, melainkan harus ditambah
dengan penjelasan. Inilah pentingnya seorang penerjemah mengetahui budaya
dalam bahasa sumber dan budaya dalam bahasa sasaran. Sebagaimana yang
ditegaskan oleh Al-Farisi (2011: 28) bahwa seorang penerjemah idealnya adalah
seorang bilingual sekaligus seorang bikultural.
Bagi umat Islam di Indonesia, penerjemahan juga memegang peranan
yang sangat penting, khususnya penerjemahan dari bahasa Arab ke bahasa
Indonesia. Kitab al-Qur`an dan hadits dapat dipahami dengan baik karena telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan al-Qur’an dan hadits
2
belum cukup untuk memahami agama Islam secara mendalam dan menyeluruh,
Al Farisi (2011: 2) pun memberikan alasan bahwa umat Islam masih memerlukan
kitab-kitab para ulama yang menjelaskan perihal al-Qur`an dan hadits tersebut.
Penerjemahan pun semakin giat dilakukan terhadap kitab tafsir, fiqih, aqidah,
akhlak, qira’at, tarikh, dan kitab-kitab lain.
Kenyataan ini semakin membuka cakrawala pemikiran umat Islam
Indonesia. Umat kian menyadari pentingnya memperkaya wawasan keagamaan
guna menyempurnakan praktik keislaman mereka secara utuh. Di samping itu,
fenomena ini juga bisa menjadi bahan perhatian bagi para akademisi untuk
meneliti permasalahan-permasalahan dalam penerjemahan serta memberikan
solusinya sehingga dihasilkan penerjemahan yang baik.
Menurut Burdah (2004: 9) penerjemahan adalah usaha memindahkan teks
berbahasa Arab (teks sumber) dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia
(bahasa sasaran). Menurut Catford (1965: 20) penerjemahan adalah penggantian
bahan kenaskahan dalam suatu bahasa (bahasa sumber) dengan padanan bahan
kenaskahan dalam suatu bahasa yang lain (bahasa sasaran). Adapun pengertian
penerjemahan menurut Widyamartaya (1989: 38) adalah proses memindahkan
makna yang telah diungkapkan dalam bahasa yang satu (bahasa sumber) menjadi
ekuivalen yang sedekat-dekatnya dan sewajarnya dalam bahasa yang lain (bahasa
sasaran).
Lebih jauh Al-Farisi (2011: 21) mengatakan bahwa penerjemahan juga
bisa berlangsung ketika seseorang membaca teks berbahasa asing maupun bahasa
yang sama kemudian dia berusaha menebak-nebak maksud dari bacaan tersebut.
Hal ini berarti bahwa orang yang sedang membaca pada dasarnya sedang
3
melakukan penerjemahan baik dalam tataran intralingual, interlingual, maupun
intersemiotik. Dari beberapa pandangan para ahli mengenai pengertian
penerjemahan di atas, peneliti mengambil kesimpulan berdasarkan pendapat Al-
Farisi (2011: 24) bahwa penerjemahan adalah proses pengungkapan makna yang
dikomunikasikan dalam bahasa sumber dengan padanan yang paling akurat, jelas
dan wajar di dalam bahasa target.
Salah satu buku yang cukup banyak dikaji di pesantren khususnya
pesantren tahfizhul qur’an adalah buku At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n
karya Imam An-Nawawi. Adapun beberapa pesantren yang mengkaji buku ini
antara lain: pesantren Isy Karima, pesantren Mush‘ab Bin Umair, dan pesantren
Tahfizh Al-Ma‘rifat Wal Adab. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul At-Tibyān Adab Penghafal Al-Qur`an. Buku ini
menjelaskan bagaimana cara kita memuliakan al-Qur`an, dengan membahas
beberapa tema, antara lain: 1) keutamaan pembaca dan penghafalnya, 2)
keutamaan qira’ah dan ahlul-qira’ah, 3) keharusan memuliakan ahlul-qur’an, 4)
adab untuk pengajar, pelajar, dan penghafal al-Qur`an, 5) adab membaca al-
Qur`an, 6) anjuran membaca ayat dan surat pada waktu serta keadaan tertentu, 7)
adab menulis dan memuliakan mushaf.
Buku ini sangat penting untuk dipelajari oleh para penghafal al-Qur`an dan
para penuntut ilmu. Penghafal al-Qur`an memiliki tanggung jawab yang besar
terhadap ayat-ayat yang dihafalkannya. Selain dia harus menjaga hafalan yang
telah dimiliki, dia juga harus memperhatikan akhlak kesehariannya. Harapan besar
yang ingin dicapai dari semua adab ini adalah terbentuknya pribadi yang
berakhlak qur’ani. Maka tidak benar ketika hafalan al-Qur`an hanya sebatas
4
mampu mengingat seluruh ayat-ayat yang dihafal tanpa adanya pengaruh terhadap
keimanan dan akhlak. Begitu juga dengan penuntut ilmu, Sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh para ulama salaf dan ilmuwan Muslim, mereka mempelajari
adab terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu. Dengan adab inilah seorang
penuntut ilmu akan bisa memanfaatkan ilmunya untuk kemaslahatan. Ibnu Abbas
radhiyalla>hu ‘anhu berkata: “Aku merendahkan diri saat menuntut ilmu maka aku
pun menjadi mulia saat menjadi guru” (An-Nawawi, 2014: 91).
Buku At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n karya Imam An-Nawawi ini
membahas perihal yang sangat penting yang perlu diketahui oleh setiap umat
Islam yaitu perkara-perkara yang mengandung berbagai hal yang berkaitan
dengan adab, tata krama, dan sopan santun kita dalam menjalin dan berinteraksi
dengan sesama manusia khususnya terhadap guru (Muhdi, 2016: 5). Dengan
berbagai pertimbangan itulah peneliti memilih buku ini sebagai objek penelitian.
Adapun penelitian ini memfokuskan kajiannya pada bentuk penerjemahan tamyi>z
dan strategi penerjemahan tamyīz. Ad-Dahdah (1993: 179) mengistilah tamyi>z
dengan distinctive. Tamyi>z merupakan susunan gramatikal yang khas dalam
bahasa Arab, oleh karena itu perlu untuk dilakukan penelitian mengenai susunan
ini khususnya mengenai strategi yang diterapkan oleh penerjemah untuk
mengatasi perbedaan karakteristik bahasa Arab dengan bahasa Indonesia.
Pemilihan tamyi>z ini dilakukan juga untuk membatasi data yang akan diteliti
karena mengingat banyaknya uslub (gaya bahasa) dalam buku tersebut.
Pengertian at-tamyīz (distinctive) menurut Ash-Shanha>jiy (2001: 32)
adalah ism manshūb (akusatif) untuk menjelaskan maksud dari kata sebelumnya
yang belum jelas, berupa ism nakirah (nomina indefinit) dan terletak setelah
5
kalimat yang sempurna. Adapun menurut Ni’mah (2008: 85) at-Tamyīz adalah
ism nakirah yang ber-i‘ra>b manshu>b, disebutkan dengan maksud untuk
menjelaskan maksud dari kata sebelumnya yang belum jelas. Dalam ilmu nachwu,
tamyīz dibagi menjadi dua macam yaitu tamyi>z malfu>zh dan tamyi>z malchu>zh.
Contoh kalimat yang mengandung pola tamyi>z malfu>zh adalah :
(1) BSu : ات ت م خ ث ان ت م ب ع ض ه م و خ Wa khatama ba‘dhuhum tsama>ni khatama>tin (An-Nawa>wi, 2014: 99).
BSa :
Ada juga yang delapan kali (Hauro`, 2014: 53).
Pada data 1 di atas kata “ اتم ت خ ” khatama>tun yang diterjemahkan dengan
“kali” berkedudukan sebagai tamyi>z dan merupakan penjelas bagi kata “ انث ”
tsama>nu yang diterjemahkan dengan “delapan” yang berkedudukan sebagai
mumayyaz. Apabila kalimat di atas hanya berhenti pada kata “delapan” maka
kalimat tersebut belum senyap/sempurna sehingga didatangkan kata “kali
(khatam)” untuk menjelaskan maksud dari kata “delapan”. Kalimat di atas adalah
contoh tamyi>z malfu>zh karena disebutkan mumayyaz-nya. Adapun kalimat yang
mengandung tamyi>z malchu>zh dapat dilihat pada contoh berikut.
(2) BSu:
م ع ه ي ت و اض ع ل م ع لم ه و ي ت أ دب أ ن ك ل ذ ر ي غ و اح ل ص و اب س ن و ة ر ه ش ل ق أ و ان س ه ن م ر غ ص أ ان ك ن إ و و ي ن ب غ ي Wa yanbaghi> an yatawa>dha‘a limu‘allimihi wa yata’addaba ma‘ahu wa in ka>na ashgharu minhu sinnan wa aqallu syuhratan wa nasaban wa shala>chan wa ghaira dza>lika (An-Nawa>wi, 2014: 88).
BSa:
Hendaknya ia rendah hati dan juga bersikap sopan terhadap gurunya,
walaupun sang guru lebih muda umurnya, tidak setenar dirinya, tidak
semulia nasab dan keshalihannya, serta lainnya (Hauro`, 2014: 40).
Pada data 2 di atas terdapat empat kata yang berkedudukan sebagai tamyi>z
yaitu “ ن س ”sinnun, “ ةر ه ش ” syuhratun, “ بس ن ” nasaban, dan “ حل ص ” shala>chun.
6
Keempat kata tersebut berkedudukan sebagai pengganti posisi mubtada’ sehingga
disebut sebagai tamyi>z malchu>zh muchawwal ‘an mubtada’. Kalimat di atas
dapat diubah dalam bentuk lain yaitu “ أص املعل م سن هغسن من ر ” sinnul-mu‘allimi
ashgharu min sinnihi. Frasa “ املعل م sinnul-mu‘allimi menempati posisi ”سن
mubtada’/subjek dan kata “ رغأص ” ashgharu menempati posisi khabar/predikat.
Dengan demikian, untuk menerjemahkan tamyi>z pada kalimat di atas diperlukan
strategi tertentu agar tidak salah menempatkan posisi tamyi>z dalam suatu susunan
gramatikal BSa dan strategi untuk menentukan padanan yang tepat agar makna
tamyi>z dalam BSu dapat tersampaikan dengan baik dalam BSa.
Strategi penerjemahan menurut Suryawinata (2003: 67) adalah taktik yang
diterapkan penerjemah untuk menerjemahkan kata atau kelompok kata atau
kalimat dalam BSu. Suryawinata (2003) membagi strategi penerjemahan menjadi
dua jenis utama, yaitu strategi struktural dan strategi semantis. Dalam literatur
tentang terjemahan, strategi penerjemahan disebut prosedur penerjemahan
(translataion procedures). Istilah ini senada dengan Newmark (1988: 81-93)
menyebut strategi penerjemahan sebagai prosedur yang terbagi menjadi 17
macam. Adapun penerapan strategi penerjemahan struktural dan semantik dapat
dilihat pada kalimat berikut ini.
(3) BSu:
ث ك ان ي ت م يفاللي ل ة ث ل د او ودأ نه ر ب ن أ ب ت م ات ف ر و ىأ ب وب ك خ Farawa> Abu> Bakribni Abi> Da>wu>d annahu ka>na yakhtimu fil-lailati tsala>tsa khatama>tin (An-Nawa>wi, 2014: 100).
BSa:
Abu Bakar bin Abu Daud meriwayatkan bahwa ia mengkhatamkan al-
Qur`an tiga kali setiap malamnya (Hauro`, 2014: 53).
Pada data 3 di atas, penerjemah menerapkan strategi penerjemahan
struktural-transposisi pada klausa “ أ ب ب ن ر ب ك أ ب و د او ودف ر و ى ” Farawa> Abu> Bakribni
7
Abi> Da>wu>d yang diterjemahkan menjadi “Abu Bakar bin Abu Daud
meriwayatkan”. Penerjemah menerjemahkan pola struktur BSu berupa P+S
menjadi bentuk S+P dalam struktur BSa -bahasa Indonesia. Dalam kalimat ini,
penerjemah juga mengubah posisi K (keterangan), yaitu keterangan cara “tsala>tsa
khatama>tin” (tiga kali) dan keterangan waktu “fil-lailati” (setiap malamnya)
dalam BSa. Pengubahan posisi tersebut terlihat dalam klausa “ ل ة يفاللي ي ت م ك ان أ نه
ث ت م ات ث ل خ ” annahu ka>na yakhtimu fil-lailati tsala>tsa khatama>tin yang
diterjemahkan menjadi “bahwa ia mengkhatamkan al-Qur`an tiga kali setiap
malamnya’’. Dalam klausa ini pun juga terdapat pengubahan dari bentuk jamak
menjadi tunggal yaitu tamyi>z kata “ت م ات khatama>tun diterjemahkan dengan ”خ
kata “kali”.
Selain itu, penerjemah juga menerapkan strategi penerjemahan semantis
pada data 3 di atas, adalah pungutan nama orang “د او ود ب ن أ ب ر Abu> Bakribni ”أ ب وب ك
Abi> Da>wu>d diterjemahkan dengan tetap mempertahankan BSu-nya menjadi “Abu
Bakar bin Abu Daud”. Dalam menerjemahkan nama orang tersebut, penerjemah
melakukan naturalisasi yaitu kata-kata BSu diucapkan dan penulisannya
disesuaikan dengan aturan BSa (Suryawinata, 2003: 71). Strategi semantik
pungutan juga terjadi pada kata “ yakhtimu yang diterjemahkan dengan ”ي ت م
“mengkhatamkan”. Mengkhatamkan bermakna “menyelesaikan” (Suharso, 2005:
250). Kemudian penerjemah juga melakukan tambahan pada BSa dengan
menambahkan kata “al-Qur`an” sebagai objek dalam BSa. Dengan adanya
penambahan kata “al-Qur`an” menjadikan kalimat tersebut dapat dipahami
dengan baik.
8
Penelitian yang berkaitan dengan strategi penerjemahan sudah banyak
dilakukan, tetapi beberapa kajian tersebut berbeda pada objek materialnya. Pada
penelitian ini, peneliti mengambil tiga kajian pustaka dalam bidang penerjemahan
khususnya strategi penerjemahan, dua pustaka mengenai buku At-Tibyān fi> Ādābi
Chamalatil-Qur’a>n (TACQ), dan satu pustaka mengenai tamyi>z antara lain:
Barathayomi (2012) dalam penelitian tesis yang berjudul Strategi
Penerjemahan Istilah Budaya dalam Novel Olive Kitteridge: Kritik Terjemahan
Berdasarkan Model Analisis Teks yang Berorientasi pada terjemahan, membahas
tentang strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah untuk menerjemahkan
istilah budaya dalam novel Olive Kitteridge dan kritik terhadap hasil
terjemahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerjemah menerapkan 12
strategi untuk menerjemahkan 180 istilah budaya, antara lain: strategi transferensi,
naturalisasi, penerjemahan harfiah, modulasi, padanan budaya, kesepadanan
deskriptif, kata generik, penjelasan tambahan, penerjemahan dengan pengurangan,
terjemahan resmi, catatan kaki, dan parafrase. Dalam penelitian ini juga diketahui
tujuan penerjemah adalah untuk memperkaya istilah budaya pembaca dengan
memberikan catatan kaki dan penjelasan tambahan, tetapi kegagalan penerjemah
terlihat dari penerapan strategi transferensi dan penerjemahan harfiah yang
menjadikan terjemahan kurang tepat dan tidak wajar.
Adisoemarta (2011) dalam penelitian tesis yang berjudul Strategi
Penerjemahan Buku Mother Teresa: Come Be my Light ke dalam Bahasa
Indonesia: Kritik Terjemahan Berdasarkan Model Analisis Teks yang
Berorientasi pada Penerjemahan, membahas tentang strategi penerjemahan yang
diterapkan penerjemah dan kritik terhadap terjemahan buku Mother Teresa: Come
9
Be my Light dalam bahasa Indonesia. Kritik disusun dengan menggunakan model
analisis teks yang berorientasi pada penerjemahan dengan menggunakan
pencapaian skopos sebagai kriteria utama keberhasilan penerapan strategi
penerjemahan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penerjemah menerapkan
strategi semantis dan penerjemahan buku ini merupakan proses yang melibatkan
banyak aktor dengan kepentingan berbeda sehingga skopos hanya dapat dicapai
jika kompromi mengenai strategi penerjemahan dapat dilakukan oleh semua aktor
itu di bawah panduan penerjemah sebagai pakar komunikasi antar budaya.
Penelitian dalam bidang penerjemahan juga pernah dilakukan oleh
Annisaa (2016) dalam penelitian skripsi yang berjudul Strategi Penerjemahan dan
Kualitas Terjemahan Pada Teks Terjemahan Piagam Madinah). Penelitian ini
membahas tentang strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam
menerjemahkan teks Piagam Madinah dan kualitas terjemahannya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penerjemah menerapkan dua macam strategi,
yaitu: strategi struktural dan strategi semantis. Pada strategi struktural,
penerjemah menerapkan strategi penambahan, pengurangan dan transposisi.
Adapun strategi semantis yang diterapkan penerjemah adalah strategi pungutan,
padanan budaya, padanan deskriptif dan analisis komponensial, sinonim,
penyusutan dan perluasan, penambahan, penghapusan, dan modulasi. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa kualitas terjemahan yang yang dihasilkan
masih kurang akurat, kurang berterima, dan terbaca sedang. Adapun kualitas
terjemahan terbaik dapat diperoleh dari pilihan penerjemah terhadap strategi
penerjemahan yang diterapkan pada teks Piagam Madinah.
10
Adapun penelitian tentang buku TACQ pernah dilakukan oleh Hasanah
(2015) dalam penelitian skripsi yang berjudul Studi Analisis Pemikiran Imam
Nawawi Tentang Kompetensi Kepribadian Guru dalam Pendidikan Islam (Kajian
Kitab At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n). Penelitian ini membahas tentang
kompetensi kepribadian guru menurut pandangan Imam Nawawi dalam kitab
TACQ dan relevansinya terhadap pendidikan Islam sekarang. Hasil penelitian ini
menunjukkan: (1) kompetensi kepribadian guru dalam kitab TACQ yaitu
hendaknya guru memiliki akhlak mulia serta menjauhi segala perilaku yang dapat
menjatuhkan keilmuannya dan harga dirinya, (2) pemikiran Imam Nawawi
tentang kompetensi kepribadian guru bila dihubungkan dengan pendidikan Islam
sekarang kurang relevan karena saat ini guru merupakan sebuah profesi untuk
mencari keuntungan materi dan jabatan saja.
Selanjutnya, Muhdi (2016) dalam sebuah laporan penelitian individual
dosen yang berjudul Konsep Moral Pendidik dan Peserta Didik menurut Imam al-
Nawawi (Studi Analisis Sufistik kitab At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n),
membahas tentang konsep moral pendidik dan peserta didik menurut Imam
Nawawi dan implikasi nilai-nilai pendidikan moral berbasis tasawuf yang dapat
dikembangkan dari kitab TACQ terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Hasil
penelitian ini secara umum dapat disimpulkan bahwa Imam Nawawi secara jelas
dan lengkap mengungkap pemikiran sebuah konsep moral yang hendaknya
melekat dalam diri seorang Pendidik (Guru) dan Peserta Didik (Murid).
Sebagaimana banyak digambarkan oleh para ahli pendidikan, perlunya
menekankan pengembangan kompetensi dalam sisi personal atau diri seorang
guru terlebih dahulu, sebelum pendidik melakukan upaya penanaman ilmu atau
11
pengajaran terhadap murid. Ini harus dilakukan mengingat peserta didik akan
lebih mudah tertarik dan merespon positif terhadap penuturan seorang guru yang
telah diamalkan atau dilaksanakan juga oleh guru tersebut.
Adapun penelitian tentang tamyi>z pernah dilakukan oleh Lubis (2010)
dalam penelitian skripsi yang berjudul Analisis Tamyi>z pada Surat Al-Baqarah,
membahas tentang jenis-jenis tamyi>z yang terdapat dalam surat al-Baqarah dan
kedudukan i’rab tamyi>z-nya. Hasil penelitian ini menunjukkan jenis-jenis tamyi>z
yang ditemukan dalam surat al-Baqarah adalah jenis tamyi>z ‘adad sharih, tamyi>z
‘adad mubham, tamyi>z nisbah muchawwal, dan tamyi>z ghairu muchawwal.
Tamyi>z pada dasarnya dinisbahkan tetapi terkadang dapat dijarkan dengan
idha>fah dan huruf jar min. Pada penelitian ini juga menunjukkan kasus manshu>b
dan majru>r yang ditemukan dalam surat al-Baqarah.
Berbeda dengan kajian pustaka di atas, penelitian dengan judul “Strategi
Penerjemahan Tamyi>z dalam Kitab At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n karya
Imam An-Nawawi” ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini
memfokuskan kajiannya pada penggunaan strategi penerjemahan tamyi>z dalam
buku At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n. Berdasarkan hasil pencarian dan
pengamatan yang dilakukan peneliti, belum ditemukan penelitian yang mengkaji
buku ini dari aspek penerjemahan.
Manfaat penelitian ini bisa dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi teoretis
dan dimensi praktis. Pertama, dari dimensi teoretis, penelitian ini diharapkan
mampu menambah wawasan dalam teori strategi penerjemahan khususnya
penerjemahan tamyi>z dan menjadi bahan acuan bagi penelitian berikutnya yang
berkaitan dengan strategi penerjemahan. Kedua, dari dimensi praktis, penelitian
12
ini diharapkan mampu menemukan langkah-langkah dan strategi terbaik dalam
menerjemahkan tamyi>z dalam BSu ke dalam BSa sesuai dengan tujuan
penerjemahan, dan mudah dipahami oleh pembaca.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dapat
disimpulkan dalam buku At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n (TACQ) adalah
sebagai berikut.
1. Bagaimana bentuk penerjemahan tamyi>z (distinctive) dalam buku At-Tibyān fi>
Ādābi Chamalatil-Qur’a>n (TACQ) karya Imam An-Nawawi ?
2. Bagaimana strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam
menerjemahkan tamyi>z (distinctive) dalam buku At-Tibyān fi> Ādābi
Chamalatil-Qur’a>n (TACQ) karya Imam An-Nawawi ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian mengenai buku At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n (TACQ)
sesuai dengan rumusan masalah di atas, memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan bentuk penerjemahan tamyi>z (distinctive) dalam buku At-
Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n (TACQ) karya Imam An-Nawawi.
2. Mendeskripsikan strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam
menerjemahkan tamyi>z (distinctive) dalam buku At-Tibyān fi> Ādābi
Chamalatil-Qur’a>n (TACQ) karya Imam An-Nawawi.
13
D. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam suatu penelitian perlu dilakukan mengingat
luasnya permasalahan yang dapat dikaji dari berbagai aspek serta keterbatas
kompetensi peneliti. Pembatasan masalah juga dilakukan agar penelitian menjadi
terarah dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Penelitian ini mengambil objek material berupa buku yang berjudul At-
Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n karya Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf
An-Nawawi, terbitan Maktabah Ibn ‘Abba>s kota Manshu>rah tahun 2014. Buku ini
diterjemahkan oleh Umniyyati Sayyidatul Hauro`, Shafura Mar’atu Zuhda, dan
Yuliana Sahadatilla dengan judul At-Tibyān Adab Penghafal Al-Qur`an terbitan
Al-Qowam tahun 2014. Adapun objek formal dalam penelitian ini adalah pada
data tamyi>z yang diambil dari bab muqaddimah sampai bab terakhir atau bab 10.
Selanjutnya, penelitian difokuskan pada pembahasan bentuk
penerjemahan tamyi>z dan jenis-jenis strategi penerjemahan yang diterapkan
penerjemah dalam menerjemahkan tamyi>z berdasarkan teori yang dirumuskan
oleh Suryawinata (2003: 67-76). Strategi penerjemahan terbagi menjadi dua,
strategi struktural dan strategi semantis. Jenis strategi struktural terdapat tiga
macam, yaitu penambahan, pengurangan, dan transposisi. Adapun jenis strategi
semantis terdapat sembilan macam, yaitu pungutan, padanan budaya, padanan
deskriptif dan analisis komponensial, sinonim, terjemahan resmi, penyusutan dan
perluasan, penambahan, penghapusan, dan modulasi.
14
E. Landasan Teori
Landasan teori merupakan bagian yang sangat penting dalam sebuah
penelitian. Pada penelitian ini, terdapat dua landasan teori dalam menganalisis
data. Landasan teori pertama adalah at-tamyi>z untuk menjawab rumusan masalah
pertama. Adapun landasan teori kedua adalah strategi penerjemahan untuk
menjawab rumusan masalah kedua. Berikut penjelasan mengenai teori yang
digunakan untuk menganalisis data.
1. At-Tamyi>z (Distinctive)
Ghani (2010: 479) menjelaskan makna tamyi>z secara bahasa artinya al-
fashlu (pemisah), at-tafsi>r (penjabar), at-tabyi>n (pemberi keterangan), dan at-
taudhi>ch (penjelas). Adapun at-tamyi>z secara istilah adalah ism naki>rah (nomina
indefinit) yang ber-i’ra>b manshu>b (akusatif) yang disebutkan setelah kalimat
sempurna dengan tujuan untuk menjelaskan maksud dari kata sebelumnya yang
belum jelas (Ghani, 2010: 479; Hamid, 2008: 249; Ni‘mah, 2008: 85). Ad-Dahdah
(1993: 179) mengistilah tamyi>z dengan distinctive. Adapun Ash-Shanha>jiy (2001:
32) dalam matan al-Juru>miyyah mendefinisikan at-tamyi>z adalah ism manshūb
(nomina akusatif) yang menjelaskan bagian yang dzat/kata yang masih samar
(kurang jelas/ masih umum/ masih mengundang pertanyaan). Seperti ungkapan;
اشرتيت“ ,”tashabbaba Zaidun ’araqan “Zaid bercucuran, keringatnya ”تصب بزيدعرق ا“
“ ,”isytaraitu ’isyri>na kita>ban “saya membeli 20 kitab ”عشرينكتاب ا زيدأكرممنكأب ا
Zaidun akramu minka aban wa ajmala minka wajhan “Zaid lebih ”وأمجلمنكوجه ا
baik darimu, bapaknya dan dia lebih tampan darimu, wajahnya”. Beliau juga
menambahkan bahwa tamyi>z harus berbentuk ism nakirah (nomina indefinit) dan
disebutkan setelah kalimat terbentuk sempurna.
15
a. Syarat-syarat at-Tamyi>z
Berdasarkan pengertian at-tamyi>z menurut Ash-Shanha>jiy di atas, Ghani
(2010: 479) menyebutkan syarat-syarat at-tamyi>z yaitu berupa ism, manshūb, al-
mufassiru lima> inbahama (menjelaskan bagian yang semu), nakirah dan terletak
setelah kalimat sempurna.
1) Ism (nomina), yaitu tamyi>z yang hanya berlaku pada ism (nomina),
bukan pada fi’l (verba) ataupun charf (partikel).
2) Manshūb (akusatif) yaitu tamyi>z yang selalu dalam keadaan manshūb
(akusatif), bukan marfu’ (nominatif), atau majru>r (genitif), kecuali hukum
i’rab (aturan harakat bahasa Arab) dalam tamyi>z malfuzh yang akan
dijelaskan nanti.
3) Al-mufassiru lima> inbahama (menjelaskan bagian yang semu), yaitu suatu
kalimat yang disertai dengan tamyi>z, maka akan menjadi jelas maksudnya.
Seperti contoh pada kalimat “saya memiliki 40....”, kemudian diam.
Kalimat ini belum jelas sehingga membutuhkan suatu penjelas untuk
bilangan 40. Dalam kalimat ini 40 apa yang dimaksud? Apakah 40 teman?
Atau 40 buku? Atau 40 bolpoin?. Maka jika kita berkata, “saya memiliki
40 unta”, maka kata unta berfungsi sebagai penjelas bilangan 40.
4) Ism Nakirah (nomina indefinit), yaitu adalah tamyi>z yang harus berupa
ism naki>rah (nomina indefinit) bukan ism ma’rifat (nomina definit).
Adapun contoh terdapat pada sebuah sya’ir.
ياقيسعنعمروالنفس صددتوطبتShadadta wa thibta’n-nafsa ya> qaisu ‘an ‘Amr (Ghani, 2010: 485).
16
Kata “النفس” an-nafsu dalam sya’ir tersebut adalah tamyi>z. Adapun alif
lam dalam kata tersebut bukan menunjukkan ism ma‘rifat (nomina
definit), tetapi hanya sebuah tambahan.
5) Terletak setelah kalimat sempurna : maksudnya adalah tamyi>z terletak
setelah fi’l (verba) + fa>’il (subjek) atau mubtada’ (subjek) + khabar
(predikat). Adapun tamyi>z berfungsi sebagai tambahan dalam kalimat
tersebut.
b. Macam-Macam Tamyi>z :
Dalam ilmu nachwu, tamyi>z dibagi menjadi dua macam (Ni’mah, 2008:
85; Ghani, 2010: 86), yaitu tamyi>z malfu>zh dan tamyi>z malchu>zh. Adapun
penjelasan sebagai berikut:
1) Tamyi>z Malfûzh (Tamyi>z Mufrad) / Tamyi>z Tunggal
Tamyi>z malfuzh adalah kata yang menjelaskan kata semu yang
disebutkan dalam kalimat. Dengan kata lain Ni’mah (2008: 85) menyatakan
bahwa mumayyaz-nya disebutkan dalam kalimat tersebut. Jenis-jenis tamyi>z
malfu>zh menurut (Ghani, 2010: 86-87) antara lain:
a) Asma>ul A‘da>d (nomina-nomina penunjuk bilangan)
Ghani (2014: 237) menjelaskan ketentuan pembentukan tamyi>z asma>ul
a‘dad sebagai berikut:
1. Tamyi>z A‘da>d (tamyi>z bilangan 3-10), berupa ism jamak majru>r
(nomina plural genitif) dalam pola idha>fah, contoh:
(4) BSu : ات ت م خ ث ان ت م ب ع ض ه م و خ Wa khatama ba‘dhuhum tsama>ni khatama>tin (An-Nawa>wi, 2014:
99). BSa :
Ada juga yang delapan kali (Hauro`, 2014: 53).
17
2. Tamyi>z A‘da>d (tamyi>z bilangan 11-99), berupa ism mufrad manshu>b
(nomina tunggal akusatif) dalam pola tamyi>z, contoh:
(5) BSu : ال م ف صل ر ي ن س و ر ة م ن ع ش ر ف ذ ك Fadzakara ‘isyri>na su>ratan minal-mufashshali (An-Nawa>wi,
2014: 160). BSa :
Kemudian ia menyebutkan dua puluh surat mufashal (Hauro`,
2014: 131).
3. Tamyi>z A‘da>d (tamyi>z bilangan 100 atau lebih), berupa ism mufrad
majru>r (nomina tunggal genitif) dalam pola idha>fah. Adapun contoh
sebagai berikut:
(6) BSu : م ل ك ف د ع اأ من ع ل ىد ع ائ ه أ ر ب ع ة آل ال ق ر آن ث ق ر أ م ن Man qara’al-qur’a>na tsumma da‘a> ammana ‘ala> du‘a>’ihi arba‘atu a>la>fi malakin (An-Nawawi, 2014: 188).
BSa :
Barang siapa membaca al-Qur`an kemudian berdoa maka ada
empat ribu malaikat yang mengamini doanya (Hauro`, 2014:
160).
b) Asma>ul Maqa>di>r (nomina-nomina penunjuk ukuran)
Ghani (2014: 237) menjelaskan ketentuan pembentukan tamyi>z asma>ul
maqa>di>r (nomina-nomina penunjuk ukuran) sebagai berikut:
1. Al-Wazn (penunjuk ukuran timbangan), berikut contoh:
BSu : كيلوعنب ا اشرتيت Isytaraitu ki>lu> ’inaban (Ghani, 2010: 482).
BSa :
Saya membeli satu kilo anggur.
Adapun kata-kata yang menunjukkan ukuran timbangan, antara lain: (طن)
tunnun “ton”, (قنطار) qinta>run “kwintal”, (كيلو) ki>lu> “kilo”, (رطل) rithlun
“pound”, (جرام) jara>mun “gram”, dan lain-lain.
2. Al-Masa>chah (penunjuk ukuran jarak atau luas), berikut contoh:
BSu : عنديفدانقطن ا ‘Indi> fadda>nun quthnan (Ghani, 2010: 482).
18
BSa :
Saya memiliki 1 hektar ladang kapas.
Adapun kata yang menunjukkan ukuran jarak/luas, antara lain: (فدان)
fadda>nun “hektar (4.072 m2 (سهم) ,”qi>ra>tun “kirat (4/6 dinar) (قرياط) ,”(
sahmun “anak panah”, (مرت) mitrun “meter”, dan lain-lain.
3. Al-Kail (penunjuk takaran), berikut contoh:
BSu : ا نتصدقبأردبقمح Natashaddaqu bi’ardabin qamchan (Ghani, 2010: 482).
BSa :
Kita bersedekah dengan 1 ardab gandum.
Adapun kata yang menunjukkan ukuran berat, antara lain : (أردب)
ardabun “ardab”, (قدح) qadachun “cangkir”, (صاع) sha>‘un “sha’”, dan
lain-lain.
c) Asyba>hul Maqa>di>r (hal yang menyerupai ukuran)
Di dalam tamyi>z terdapat tamyi>z yang menunjukkan ukuran tetapi
bukan ukuran yang pasti. Sehingga tidak bisa diukur dengan alat ukur
tertentu lalu disebut asyba>hul maqa>di>r (menyerupai ukuran) (Ghani, 2010:
87). Seperti contoh berikut ini:
BSu : فمنيعملمثقالذر ةخري ايره Faman ya‘mal mitsqa>la dzarratin khairan yarahu (Qs. al-Zalzalah: 7)
BSa :
Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya
dia akan melihat (balasan) nya (Qs. al-Zalzalah: 7).
Kata “خري” khairun “kebaikan” pada data 10 di atas, tidak dapat diukur
dengan alat ukur tertentu. Sehingga ia termasuk dalam jenis tamyi>z
asyba>hul maqa>di>r / menyerupai ukuran.
Adapun hukum i’rab (aturan harakat bahasa Arab) menurut (Ghani,
2010: 87) pada tamyi>z malfu>zh meliputi tiga hal, yaitu:
19
1) Manshu>b (akusatif/ keadaan berharakat fathah), sebagaimana contoh
berikut:
BSu : عنديقنطارقطن ا Indi> qinta>run quthnan (Ghani, 2010: 87).
BSa :
Saya memiliki satu kwintal kapas.
2) Majru>r (genitif/ keadaan berharakat kasrah) dengan charf (partikel) “من”
min “dari”, sebagaimana contoh berikut:
BSu : عنديقنطارمنقطن Indi> qinta>run min quthnin (Ghani, 2010: 87).
BSa :
Saya memiliki satu kwintal dari kapas.
3) Majru>r (genitif/ keadaan berharakat kasrah) dengan idha>fah, sebagaimana
contoh berikut:
BSu : عنديقنطارقطن Indi> qinta>ru quthnin (Ghani, 2010: 87).
BSa : Saya memiliki satu kwintal kapas.
Perbedaan antara tamyi>z dan cha>l adalah tamyi>z mengandung makna “min”
sedangkan cha>l mengandung makna “fi>” , contoh :
Cha>l :
يفسرور : جاءحممدمسرور اأي Ja>’a Muchammadun masru>ran ai fi> masru<rin. Terjemahannya adalah “Muhammad datang dalam dengan bahagia atau dalam keadaan bahagia”.
Tamyi>z :
منقطن: اشرتيتقنطار اقطن اأي Isytaraitu qintha>ran quthnan ai min quthnin. Terjemahnnya adalah “Saya membeli satu kwintal kapas atau satu kwintal dari kapas”.
2) Tamyi>z Malchûzh atau Tamyi>z Nisbah
Menurut Hamid (2010: 251), tamyi>z malchu>zh adalah tamyi>z yang dapat
menghilangkan kesamaran penisbatan pada kalimat yang disebutkan
sebelumnya. Dengan kata lain tamyi>z ini menggantikan salah satu pengisi
20
fungsi sebuah kalimat. Adapun Ni’mah (2008: 86) menjelaskan bahwa dalam
tamyi>z ini tidak disebutkan mumayyaz-nya. Tamyi>z malchu>zh terbagi
menjadi tiga macam yaitu muchawwal ’an fa>’il, muchawwal ’an maf’u>l, dan
muchawwal ’an mubtada’ (Ni’mah, 2008: 86; Ghani, 2010: 88-89) Adapun
penjelasan dari ketiga jenis tersebut adalah sebagai berikut.
a) Muchawwal ’an Fa>’il (sebagai pengganti subjek), berikut contoh:
BSu : تفق أزيدشحم ا Tafaqqa’a Zaidun Syachman (Hamid, 2010: 251).
BSa :
Zaid bertumpuk, lemaknya (Hamid, 2010: 251).
Asal kalimat di atas adalah:
BSu : تفق أشحم زيد Tafaqqa’a syachmu Zaidin (Hamid, 2010: 251).
BSa :
Lemak zaid bertumpuk (Hamid, 2010: 251).
Mudha>f kalimat di atas yaitu kata “ syachmun (bertumpuk) ”شحم
dihilangkan, kemudian mudha>f ilaih yaitu kata “زيد” zaidun menggantikan
syachmun sebagai fa>’il (subjek), sehingga kata ini pun berubah ”شحم“
menjadi rafa’ (berharakat dhammah) sebagaimana kata “شحم” syachmun
yang telah dihilangkan sebelumnya. Kemudian mudha>f yang telah
dihilangkan tadi dimunculkan kembali dan diletakkan di akhir kalimat
sehingga kata tersebut dinisbatkan karena berkedudukan sebagai tamyi>z.
b) Muchawwal ’an Maf’u>l (sebagai pengganti objek), berikut contoh:
BSu : غرستاألرضشجرا gharastul-‘ardha syajaran (Ghani, 2010: 88).
BSa : Aku menanam di tanah pohonnya.
Asal kalimat tersebut adalah :
BSu : غرستشجراألرض gharastu syajaral-‘ardhi
21
BSa : Aku menanam pohon di tanah.
Pada kalimat di atas, kata “شجر” syajarun ‘pohon’ adalah tamyi>z
yang berkedudukan sebagai objek. Hal ini terlihat ketika kalimat tersebut
diubah dalam bentuk asalnya.
Adapun contoh dalam data penelitian adalah sebagai berikut:
(7) BSu : ن ه اأ ح س ن ص و ت ام أ ح د ف م اس ع ت Fama> sami‘tu achadan achsana shautan minhu (An-Nawa>wi, 2014: 143).
BSa :
Dan aku tidak pernah mendengar seseorang yang lebih bagus
suaranya daripada beliau (Hauro`, 2014: 112)
Asal kalimat pada data 7 di atas, adalah:
BSu : ن ه م س ن صوتأ ح دأ ح ف م اس ع ت Fama> sami‘tu shauta achadin ahsana minhu.
BSa :
Dan aku tidak pernah mendengar suara seseorang yang lebih baik
darinya.
Mudha>f kalimat di atas yang dalam hal ini adalah kata “صوت”
shautun dihilangkan kemudian mudha>f ilaih yaitu kata “أ ح د”
menggantikan “ تصو ” shautun sebagai maf’u>l bih sehingga kata ini pun
berubah menjadi manshu>b. Kemudian kata “ وتص ” shautun tadi
dimunculkan kembali dan diletakkan setelah kata “ س ن ahsana sehingga ”أ ح
kata tersebut dinisbatkan karena berkedudukan sebagai tamyi>z.
c) Muchawwal ’an Mubtada’ (sebagai pengganti mubtada`/subjek),
berikut contoh:
BSu : نفرا أناأكثرمنكمالوأعز Ana aktsaru minka ma>lan wa a‘azzu nafaran (Qs. al-Kahfi: 34).
BSa :
Saya lebih banyak dari kamu hartanya dan lebih kuat pengikutnya
(Qs. al-Kahfi: 34).
22
Asal kalimat di atas adalah:
BSu : مننفرك مايلأكثرمنمالكونفريأعز
Ma>li> aktsaru min ma>lika wa nafari> a‘azzu min nafarika (Qs. al-Kahfi: 34).
BSa :
Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikutku lebih kuat
(Qs. al-Kahfi: 34).
Pada kalimat di atas, kata “مال” ma>lun ‘harta’ dan kata “نفر” nafarun
‘pengikut’ merupakan tamyi>z yang berkedudukan sebagai mubtada’/subjek.
Hal ini terlihat jelas ketika kalimat tersebut diubah dalam bentuk asalnya.
Adapun contoh dalam data penelitian adalah sebagai berikut:
(8) BSu :
أ ش د ق ي ن ت ه ان ذ أ اهلل ن ة إ ل ال ق ي ب ص اح م ن ب ال ق ر آن ال س ن الصو ت الرج ل إ ل Alla>hu asyaddu adzanan ila’r-rajulil-chasani’sh-shauti bil-qur’a>ni min sha>chibil-qainati ila> qainatihi (An-Nawa>wi, 2014: 140).
BSa :
Allah sangat senang mendengarkan seseorang yang membaca al-
Qur`an dengan suara merdu daripada seseorang yang
mendengarkan biduanitanya menyanyi (Hauro`, 2014: 105).
Asal kalimat pada data 8 di atas, adalah:
BSu :
أ ذ ن أ ش د م ن ب ال ق ر آن ال س ن الصو ت الرج ل إ ل ن ت ه أ ذ ن هاهلل ق ي ن ة إ ل ال ق ي ب إلص اح Adzanu’l-La>hi ila’r-rajulil-chasani’sh-shauti bil-qur’a>ni asyaddu min adzanihi ila> sha>chibil-qainati ila> qainatihi (An-Nawawi, 2014:
140). BSa :
Allah sangat senang mendengarkan seseorang yang membaca al-
Qur’an dengan suara merdu daripada seseorang yang
mendengarkan biduanitanya menyanyi (Hauro’, 2014: 105)
Dari kalimat kedua pada data 8, dapat diketahui bahwa kata “أ ذ ن”
adzanun adalah tamyi>z yang berkedudukan sebagai mubtada` (subjek).
Kemudian Ghani (2010: 89) menjelaskan hukum i’rab (aturan harakat
bahasa Arab) pada tamyi>z malchu>zh adalah selalu dalam keadaan manshu>b
(akusatif) dan tidak bisa menjadi majru>r (genitif) oleh partikel “ من” min
“dari” ataupun idha>fah . Berikut contoh:
23
BSu : اوأكرب سن ا حممدأكثرعلم Muchammadun aktsaru ‘ilman wa akbaru sinnan (Ghani, 2010: 89)
BSa :
Muhammad lebih banyak ilmunya dan lebih banyak umurnya.
Adapun maksud dari kalimat di atas adalah:
BSu : علمحممد أكثروسن هأكرب ‘Ilmu Muchammadin aktsaru wa sinnuhu akbaru (Ghani, 2010:
89). BSa :
Ilmu Muhammad lebih banyak dan umurnya lebih banyak.
Dari kalimat di atas, dapat diketahui bahwa kata “علم” ‘ilmun dan kata
.sinnun berkedudukan sebagai mubtada’ (subjek) ”سن ه“
2. Strategi Penerjemahan
Landasan teori kedua pada penelitian ini adalah berupa strategi
penerjemahan. Dalam praktiknya, proses penerjemahan membutuhkan strategi.
Al-Farisi (2011: 47) menyatakan bahwa strategi penerjemahan diterapkan ketika
proses penerjemahan berlangsung, baik dalam tahap analisis teks sumber maupun
pada tahap pengalihan pesan ke dalam bahasa target .
Strategi penerjemahan menurut Suryawinata (2003: 67) adalah taktik
penerjemah untuk menerjemahkan kata atau kelompok kata, atau mungkin kalimat
penuh bila kalimat tersebut tidak bisa dipecahkan lagi menjadi unit yang lebih
kecil untuk diterjemahkan. Dalam literatur tentang terjemahan, strategi
penerjemahan disebut prosedur penerjemahan (translataion procedures).
Suryawinata membagi strategi penerjemahan menjadi dua jenis utama, yaitu yaitu
strategi penerjemahan struktural dan strategi penerjemahan semantis.
Newmark (1988: 81-93) membagi prosedur penerjemahan menjadi 17
macam prosedur, yakni Transference/ Transferensi, Naturalisation/ Naturalisasi,
24
Cultural Equivalent/ Padanan Budaya, Functional Equivalent/ Padanan
Fungsional, Descriptive Equivalent/ Padanan Deskriptif, Synonymy/ Sinonim,
Through-Translation/ Terjemahan Literal, Shift or Transpositions/ Transposisi,
Modulation/ Modulasi, Recognised Translation/ Terjemahan Resmi, Translation
Label/ Terjemahan Label, Compensation/ Kompensasi, Componential Analysis/
Analisis Komponensial, Reduction and Expansion/ Penyempitan dan Perluasan,
dan Paraphrase/ Parafrase, Couplet (Bait), dan Notes, Addition, and Glosses/
Catatan, Penambahan, dan Pengurangan.
Berdasarkan pengamatan peneliti, 14 prosedur penerjemahan Newmark
(1988) memiliki kesamaan fungsi dengan 10 strategi penerjemahan Suryawinata
(2003) yang dapat dilihat pada tabel 1.1. berikut.
Pembagian Prosedur/Strategi
Oleh Newmark (1988) dan Suryawinata (2003)
No Newmark (1988) Suryawinata (2003)
1. Shift or Transposition (Transposisi) Struktural – Transposisi
2. Naturalization (Naturalisasi)
Transference (Transferensi)
Semantis – Pungutan
3. Cultural Equivalent (Padanan
Budaya)
Translation Label (Terjemahan
Label)
Semantis – Padanan Budaya
4. Descriptive Equivalent (Padanan
Deskriptif)
Componential Analysis (Analisis
Komponensial)
Semantis – Padanan Deskriptif
dan Analisis Komponensial
5. Synonym (Sinonim)
Functional Equivalent (Padanan
Fungsi)
Semantis – Sinonim
6. Recognized Translation (Terjemahan
Resmi)
Semantis – Terjemahan Resmi
7. Reduction and Expansion
(Penyusutan dan Perluasan)
Semantis – Penyusutan dan
Perluasan
25
8. Notes, Addition, and Glosses
(Catatan, Penambahan, dan
Pengurangan)
Paraprhrase (Parafrase)
Semantis – Penambahan
9. Notes, Addition, and Glosses
(Catatan, Penambahan, dan
Pengurangan)
Semantis – Penghapusan
10. Modulation (Modulasi) Semantis – Modulasi
Tabel 1.1. Pembagian Strategi Penerjemahan
Teori strategi penerjemahan yang digunakan untuk menganalisis rumusan
masalah kedua terbagi menjadi dua macam, yaitu strategi penerjemahan struktural
dan strategi penerjemahan semantis. Adapun penjelasan dari dua macam strategi
tersebut adalah sebagai berikut.
a. Strategi Penerjemahan Struktural
Strategi penerjemahan jenis pertama adalah strategi penerjemahan
struktural. Suryawinata (2003: 67) menjelaskan mengenai strategi penerjemahan
struktural sebagai strategi yang diterapkan penerjemah berkaitan dengan struktur
kalimat. Strategi ini bersifat wajib dilakukan karena kalau tidak hasil
terjemahannya akan tidak berterima secara struktural di dalam BSa. Struktural
yang dimaksud adalah struktur gramatikal BSa yang berlaku pada
masyarakatnya. Dalam penelitian ini struktur BSa yang dimaksud adalah struktur
bahasa Indonesia yang sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) dan Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBI). Ada tiga strategi dasar yang berkenaan
dengan masalah struktur, yaitu penambahan, pengurangan, dan transposisi.
26
1) Strategi Penambahan (Addition)
Penambahan di sini adalah penambahan kata-kata di dalam BSa karena
struktur BSa memang menghendaki begitu. Penambahan jenis ini bukanlah
masalah pilihan tetapi suatu kaharusan yang dilakukan seorang penerjemah,
dalam menerjemahkan teks BSu (Suryawinata, 2003: 67-68). Adapun contoh
sebagai berikut:
(9) BSu :
ن ة ال ش ب ع ح ص و ل ه ب ال ص ث ة و يف الشاف ع يأ و ج ه ث ل أل ص ح اب
Wa fi> chushu>lihi bil-ishba‘il-khasyinati tsala>tsatu aujuhin li’ashcha>bisy-sya>fi‘i> (An-Nawawi, 2014: 110).
BSa :
Mengenai penggunaan jari yang kasar ada tiga pendapat dari
madzhab Syafi’i (Hauro’, 2014: 67)
Pada contoh data 9 di atas terdapat penerapan strategi struktural
penambahan oleh penerjemah, yaitu dengan menambahkan kata “ada” untuk
menghubungkan antara subjek dan predikat. Kalimat dalam BSu di atas
tersusun atas khabar muqaddam yaitu “ ب ع ب ال ص ح ص و ل ه ن ة يف ال ش ” fi> chushu>lihi
bil-ishba‘il-khasyinati + mubtada’ muakhkhar yaitu “ ث ة ه ث ل أ و ج ” tsala>tsatu
aujuhin. Dalam penerjemahannya, kedua unsur ini mengharuskan adanya
penambahan kata penjelas sekaligus penghubung agar sesuai dengan struktur
BSa sehingga ditambahkan kata “ada” untuk menjelaskan dan
menghubungkan antara S dan P.
2) Strategi Pengurangan (subtraction)
Strategi pengurangan adalah strategi yang mengurangi elemen
struktural di dalam teks BSa. Elemen struktural yang dimaksud adalah berupa
27
kata, frasa, klausa, dan kalimat. Strategi ini pun diterapkan karena struktur
BSa menghendaki adanya pengurangan elemen struktural pada BSu
(Suryawinata, 2003: 68). Adapun contoh sebagai berikut:
(10) BSu :
ث ر اأ ك اأ ي ه م ذ ل ل ق ر آن أ خ
Ayyuhuma> aktsaru akhdzan lilqur’a>ni (An-Nawawi, 2014: 72).
BSa :
Manakah di antara keduanya yang lebih banyak hafalan al-
Qur’annya (Hauro’, 2014: 21).
Pada contoh data 10 di atas, terdapat penerapan strategi struktural-
pengurangan pada BSu oleh penerjemah, yaitu partikel “ li yang bermakna ”ل
“untuk” di dalam terjemahan BSa. Pengurangan partikel “ li yang ”ل
menyatakan kepemilikan seseorang terhadap hafalan Al-Qur’an adalah
pilihan yang tepat berdasarkan pendapat Suparno (2005: 160-161) yang
menyatakan bahwa penerjemahan kata ganti milik yaitu partikel “ li adalah ”ل
dengan menyebutkan lebih dahulu benda yang dimiliki kemudian langsung
menyebutkan pemiliknya. Sehingga partikel “ li tidak perlu lagi ”ل
diterjemahkan ke dalam BSa.
Strategi pengurangan ini disebut juga dengan teknik reduksi (Al-
Farisi, 2011: 71). Teknik reduksi merupakan cara penerjemahan yang
dilakukan dengan menghilangkan unsur gramatikal BSu dalam BSa. Dalam
penerjemahan Arab-Indonesia, menurut Syihabudin (dalam Al-Farisi, 2011:
72), penggunaan teknik reduksi dapat terlihat pada pengurangan pola P+S
menjadi P dan P+(S) menjadi P, tanda kurung menunjukkan bahwa
keberadaan S dalam bahasa sumber bersifat implisit.
28
Terkadang kalimat bahasa Arab yang berpola P+S atau P+(S) mesti
mereduksi S-nya, sehingga menjadi P saja dalam bahasa Indonesia agar
menghasilkan terjemahan yang berterima. Kalimat imperatif bahasa Arab
meniscayakan adanya unsur S yang tersirat dalam verba. Sebagaimana contoh
dalam surah Al-Baqarah ayat 223 terdapat penggalan “ رث ك مأ ن شئ ت م ف أت واح ” fa’tu>
chartsakum anna> syi’tum yang diterjemahkan “maka datangilah tanah tempat
bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”. Dengan teknik
reduksi, frasa “ف أت وا” fa’tu> cukup diterjemahkan menjadi “maka datangilah”
tanpa menghadirkan unsur S, yakni pronomina persona II jamak.
3) Strategi Transposisi (Transposition)
Strategi penerjemahan ini digunakan untuk menerjemahkan klausa
atau kalimat dan bersifat kondisional (Suryawinata, 2003: 68). Dengan strategi
ini penerjemah mengubah struktur asli BSu di dalam klausa dan kalimat BSa
untuk mencapai efek yang sepadan. Pengubahan ini dilakukan jika terdapat
perbedaan antara struktur BSu dan BSa yang wajar.
Pengubahan ini bisa pengubahan bentuk jamak ke bentuk tunggal,
posisi kata sifat, sampai pengubahan struktur kalimat secara keseluruhan.
Pemisahan satu kalimat BSa atau lebih, atau penggabungan dua kalimat BSu
atau lebih menjadi satu kalimat BSa juga termasuk di dalam strategi ini.
Dalam kondisi yang lain, transposisi juga bisa dilakukan karena pertimbangan
gaya bahasa atau stilistika (Newmark, 1988: 85; Suryawinata, 2003: 68).
Berikut ini adalah contoh penerapan strategi transposisi berupa pengubahan
bentuk jamak ke bentuk tunggal.
29
(11) BSu :
ق ام آيت ر ش ع ب م ن م ن ت ب ي ك ل ال غ اف ل ي
Man qa>ma bi‘asyri a>ya>tin lam yuktab minal-gha>fili>na (An-Nawawi, 2014: 107).
BSa :
Barang siapa yang shalat malam dengan membaca sepuluh ayat
maka ia tidak dicatat sebagai orang lalai (Hauro’, 2014: 61).
Pada contoh data 11 di atas terdapat penerapan strategi transposisi.
Kata “آيت” a>ya>tun yang berarti “ayat-ayat” merupakan bentuk jamak dari
kata “أية” a>yatun diterjemahkan dalam bentuk mufrad atau tunggal yaitu
“ayat”. Kemudian kata “ ن ال غ اف ل و ” al-Gha>filu>na yang berarti “orang-orang lalai”
merupakan bentuk jamak dari kata “ال غ اف ل” al-Ghafilu diterjemahkan dalam
bentuk mufrad atau tunggal yaitu “orang lalai”. Di sini penerjemah melakukan
pengubahan dari bentuk jamak dalam BSu menjadi bentuk tunggal dalam BSa.
Adapun penerapan strategi transposisi pada ranah struktur gramatikal,
peneliti mengabil penjelasan Burdah (2004: 85-98) tentang pembagian
kategori kalimat beserta cara penerjemahannya. Burdah membagi kalimat
dalam bahasa Arab berdasarkan tingkat kesulitan dan kemungkinan jalan
pemecahannya menjadi tiga kategori yaitu (1) kalimat sederhana, (2) kalimat
lengkap, dan (3) kalimat kompleks. Adapun penjelasannya adalah sebagai
berikut:
a) Kalimat Sederhana
Kalimat sederhana adalah kalimat yang memiliki struktur
gramatikal paling mininimal sebagai syarat pembentukan kalimat, yaitu
subjek dan predikat (Burdah, 2004: 85). Dalam bahasa Indonesia, sebuah
30
kalimat sederhana ini harus mengikuti pola S+P sedangkan dalam bahasa
Arab memiliki dua pola yaitu S+P (jumlah ismiyyah/ kalimat nominal) dan
P+S (jumlah fi‘liyyah/ kalimat verbal). Dengan demikian, kalimat dalam
bahasa Arab yang berpola P+S harus diubah menjadi pola S+P dalam
penerjemahannya. Pengubahan struktur ini terlihat dalam contoh berikut:
BSu :
.Chadhara’r-Rija>lu ( Burdah, 2004: 85) حضرالرجال
BSa :
Orang-orang itu telah datang ( Burdah, 2004: 85).
(bukan: telah datang orang-orang itu)
b) Kalimat Lengkap
Kalimat lengkap adalah kalimat yang memiliki struktur lebih
lengkap dari kalimat sederhana (Burdah, 2004: 87). Dalam bahasa
Indonesia, kalimat lengkap ini memiliki struktur S+P+O atau S+P+O+K.
Menurut (Burdah, 2004: 87) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
ketika menerjemahkan kalimat lengkap sebagai berikut.
1. Struktur kalimat lengkap bahasa Arab yang memiliki pola S+P dan P+S,
dalam penerjemahannya harus disesuaikan dengan struktur kalimat bahasa
Indonesia yaitu pola S+P seperti contoh berikut:
BSu :
يقدمالدكتورحازمعرضاتارييالعلقةالشرقمعالغربYuqaddimu a’d-duktu>r Cha>zim ‘irdhan ta>ri>khiyyan li-‘ala>qati’sy-syarqi ma‘al-gharbi (Burdah, 2004: 87).
BSa :
Doktor Hazim menyampaikan paparan historis tentang relasi
Timur dan Barat (Burdah, 2004: 87).
(bukan: Menyampaikan Doktor Hazim paparan).
2. Kalimat pengkap bahasa Arab yang mengandung O (objek) dengan pola
S+P+O atau P+S+O diterjemahkan dengan menggunakan struktur kalimat
aktif dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh:
31
BSu :
مستقبلالعاللنعرفLa> na‘rifu mustaqbalal-‘a>lami (Burdah, 2004: 88).
BSa :
Kita tidak tahu masa depan dunia (Burdah, 2004: 88).
Adapun kalimat lengkap bahasa Arab dengan pola P+O+S dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan struktur
kalimat aktif atau struktur kalimat pasif. Hal ini terlihat dalam contoh
berikut:
BSu :
.Sayanshuruna’l-La>h (Burdah, 2004: 88) سينصرنااهلل
BSa :
Kita akan ditolong Allah (Burdah, 2004: 88). (Atau: Allah akan menolong kita)
3. kalimat lengkap bahasa Arab dengan pola S+P+O+K bisa
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan pola S+P+O+K atau
K+S+P+O, seperti contoh berikut:
BSu :
الغربيرىنفسهمركزاللعالوالتاريخAl-gharbu yara nafsahu markazan lil-‘a>lami wa’t-ta>ri>khi (Burdah, 2004: 90).
BSa :
Barat memandang dirinya sebagai pusat dunia dan pusat
sejarah (Burdah, 2004: 90).
c) Kalimat Kompleks
Kalimat kompleks memiliki makna yang sepadan dengan istilah
‘kalimat bertingkat’, yakni satu kalimat yang bagiannya memiliki anak
kalimat (Burdah, 2004: 91). Variasi kalimat kompleks dan penjelasannya
yang terkait dengan penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia meliputi:
1) sifat berupa kalimat, 2) jeda/ sampiran (mu’taridhah), 3) kalimat syarat,
32
4) kalimat dengan bagian struktur berupa kalimat (Burdah, 2004: 91-98).
Berikut ini adalah contoh penerjemahan kalimat kompleks berupa kalimat
syarat:
BSu :
.man yazra‘ yachshud (Burdah, 2004: 96) منيزرعحيصد
BSa :
Barangsiapa menanam niscaya ia memanen (Burdah, 2004: 96).
b. Strategi Penerjemahan Semantis
Strategi semantis adalah strategi penerjemahan yang dilakukan dengan
pertimbangan makna. Strategi ini ada yang diterapkan pada tataran kata, frase
maupun klausa atau kalimat. Suryawinta (2003: 70-76) membagi strategi
penerjemahan semantis menjadi sembilan strategi, yaitu pungutan, padanan
budaya, padanan deskriptif dan analisis komponensial, sinonim, terjemahan
resmi, penyusutan dan perluasan, penambahan, penghapusan, dan modulasi.
Berikut penjelasan dari tiap jenis strategi ini.
1) Strategi Pungutan (Borrowing)/ Prosedur Naturalisasi dan Transferensi
Pungutan adalah strategi penerjemahan dengan cara membawa kata BSu
ke dalam BSa. Penerjemah sekadar memungut kata dalam BSu tanpa
mengubahnya sehingga strategi ini disebut pungutan. Strategi ini dilakukan
sebagai bentuk penghargaan terhadap kosakata dalam BSu atau dikarenakan
belum ada padanan dalam BSa. Strategi ini adalah usaha menstranfer pesan BSu
dengan mengadopsi kata BSu untuk diubah menjadi bentuk kata yang padan pada
BSa (Newmark, 1988: 82; Suryawinata, 2003: 70).
33
Suryawinata (2003: 71) menjelaskan bahwa pungutan meliputi
transliterasi dan naturalisasi/ adaptasi. Transliterasi adalah mempertahankan
kosakata BSu tersebut secara utuh, baik bunyi atau tulisannya. Sedangakan
naturalisasi adalah pengambilan kosakata dari BSu untuk BSa dengan adanya
penyesuaian secara ucapan dan tulisan dalam BSa. Strategi ini disebut juga
dengan transkripsi (Al-Farisi, 2011:63). Dalam menyerap istilah asing, menurut
Widayamartaya (1989: 63) pengubahan ejaan asing tersebut dilakukan seperlunya
saja sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk
asalnya, misalnya kata “manajemen” berasal dari kata management, “bujet”
berasal dari kata budget, dan lain-lain.
Strategi pungutan ini biasanya digunakan untuk kata-kata atau frasa-frasa
yang berhubungan dengan nama orang, nama tempat, nama majalah, nama jurnal,
gelar, nama lembaga, dan istilah-isitilah pengetahuan yang belum ada di BSa
(Newmark, 1988: 82; Suryawinata, 2003: 71). Kemudian Alwi (1988: 23)
menyebutkan bahwa pengaruh kosa kata bahasa asing terhadap bahasa Indonesia
nerupakan hal yang lumrah dan tidak perlu dikhawatirkan selama tidak
disalahgunakan, justeru bahasa asing tersebut dapat memberikan sumbangan
untuk pengembangan bahasa nasional. Contoh transliterasi adalah kata “ت ب لي غ”
tabli>gh diterjemahkan menjadi “tabli>gh”, sedangkan contoh naturalisasi adalah
kata “م ص لى” mushalla> diterjemahkan menjadi “musala” (Al-Farisi, 2011: 77).
Adapun penerapan strategi pungutan ini terdapat pada data 12 berikut:
(12) BSu :
ان و اي ت م و ن ك الذ ي ن ت م ات و م ن خ ث :ث ل ع ن ه –س ل ي م ب ن ع رت اهلل ي ,-ر ض يف يم ص ر ق اض ف ة م ع او ي ة ل ع ن ه –خ اهلل ي -ر ض
34
Wa minal-ladzi>na ka>nu> yakhtimu>na tsala>tsa khatama>tin: Sulaimu-bnu ‘Itr -radhiyalla>hu ‘anhu- qa>dhi> Mishra fi> khila>fati Mu‘a>wiyata - radhiyalla>hu ‘anhu- (An-Nawawi, 2014: 100).
BSa :
Yang mengkhatamkan tiga kali: Salim bin Itr radhiyalla>hu ‘anhu,
hakim Mesir pada masa pemerintahan Mu‘awiyah radhiyalla>hu ‘anhu (Hauro’, 2014: 53).
Pada data 12 di atas terdapat penerapan strategi pungutan berupa
transkripsi dan transliterasi. Transkripsi terdapat pada nama tempat yaitu kata
“ mishra diterjamahkan menjadi “Mesir”. Kata tersebut sudah disesuaikan ”م ص ر
dengan ejaan dalam bahasa Indonesia. Kemudian transliterasi terdapat pada nama
orang dan gelar yaitu “ ع رت ب ن اهلل –س ل ي م ي ع ن ه ر ض ” Sulaimu-bnu ‘Itr -radhiyalla>hu
‘anhu- diterjemahkan menjadi Salim bin Itr radhiyalla>hu ‘anhu , dan nama “ م ع او ي ة”
Mu‘a>wiyata diterjemahkan dengan “Mu‘awiyah”.
2) Strategi Padanan Budaya (Cultural Equivalent)
Setiap bahasa memiliki kekhasan budaya masing-masing. Untuk
mendapatkan terjemahan yang akurat, seorang penerjemah tidak hanya mencari
padanan kosakata tetapi juga mencari padanan budaya dalam BSa. Hal utama
yang perlu diperhatikan adalah kata yang khas budaya BSu diganti dengan kata
yang juga khas di dalam BSa (Newmark, 1988: 83; Suryawinata, 2003: 72).
Newmark (1988: 95) berpendapat bahwa kebanyakan kata-kata “budaya”
mudah untuk dideteksi, yaitu ketika kata tersebut tidak dapat diterjemahkan secara
literal dan hasil terjemahan dapat juga berupa padanan deskriptif. Adapun
Newmark (1988: 95) membagi kosakata yang berkonotasi budaya ke dalam
beberapa kategori berikut:
35
a. Ecology (Ekologi)
Pada umumnya, keistimewaan bentuk geografis dapat dibedakan dari
istilah budaya lain yang merupakan istilah umum, politis, dan komersial.
Hal itu tergantung pada kepentingan tiap negara dalam mengelompokkan
istilah budaya tersebut secara spesifik. Contoh budaya ekologi adalah
seperti jenis flora, fauna, angin, lembah, dan gunung (Newmark: 1988:
95-96). Di dalam bahasa Arab, Al-Farisi (2011: 140) mencontohkan
kosakata budaya berkenaan dengan unta, seperti (1) “سليل” sali>lun yaitu
“anak unta yang belum jelas jantan atau betina”, (2) “سبق” sabqun yaitu
“anak unta jantan”, dan lain sebagainya.
b. Material Culture (Material Budaya/ Artefak)
Material budaya/ artefak dapat berupa istilah mengenai makanan,
pakaian, perumahan, dan transportasi (Newmark: 1988: 95). Di dalam
bahasa Arab, Al-Farisi (2011: 140) mencontohkan kata yang
berhubungan dengan pakain “عمامة” ima>matun yaitu “serban” dan “جلباب”
jilba>bun yaitu “jilbab”.
c. Social Culture (Budaya Sosial)
Hal yang berkaitan dengan budaya sosial dapat dibedakan menjadi
masalah terjemahan makna denotatif dan konotatif (Newmark: 1988: 98).
Adapun yang dimaksud dengan makna denotasi dalam KBBI (2008: 341)
adalah arti yang tegas tanpa ada kiasan atau makna tambahan. Sedangkan
makna konotatif dalam KBBI (2008: 748) adalah perkataan yang
memiliki makna tambahan/konotasi. Adapun contoh dalam bahasa Arab,
Al-Farisi (2011: 140) mengambil contoh istilah “الر ماد -katsi>ru’r ”كثري
36
ruma>di yang memiliki arti literal “banyak abu”. Ungkapan ini diberikan
kepada orang yang memiliki sifat dermawan sebagai bentuk
penghormatan kepadanya, sehingga istilah “الر ماد katsi>ru’r-ruma>di ”كثري
lebih tepat bila diterjemahkan menjadi “orang yang dermawan”.
d. Organisations, Customs, Activities, Procedures, and Concepts
(Organisasi, Adat-istiadat, Aktivitas, Prosedur, dan Konsep)
Newmark (1988: 99) menjelaskan bahwa kehidupan politik dan sosial
dalam sebuah negara tergambarkan dengan penggunaan istilah-istilah
institusi. Seperti istilah untuk gelar kepala negara “President, King”
(Presiden, Raja). Sebagaimana Suryawinata (2003: 72) menerjemahkan
istilah “Jaksa Agung” menjadi “Attorney General” bukan “Great
Attorney”. Adapun di dalam bahasa Arab, istilah “مشرك” musyrikun
diartikan menjadi “orang musyrik/ musyrik” dengan menambahkan
catatan penjelas berupa “orang yang menyekutukan Allah”.
e. Gestures and Habits (Sikap dan Kebiasaan)
Sikap dan kebiasaan terdapat sebuah perbedaan antara deskripsi dan
fungsi yang dapat menentukan kapan sebuah ungkapan itu dibutuhkan
dalam kasus yang ambigu. Seperti jika seseorang tersenyum sedikit saat
seseorang meninggal (Newmark, 1988: 102). Adapun Al-Farisi (2011:
141) memberikan contoh ungkapan penyesalan dalam kebiasaan
masyarakat Arab, yaitu “كفيه yuqallibu kaffaihi yang bermakna ”يقلب
“membolak-balikkan kedua tangan”. Di dalam norma masyarakat
Indonesia, dikenal dengan kebiasaan mengelus dada.
37
Adapun hasil terjemahan dapat berupa terjemahan sementara dari bentuk
BSu yang tidak memiliki terjemahan konvensional pada BSa. Strategi ini muncul
sebagai solusi untuk mencari ketepatan makna (Newmark, 1988: 90; Suryawinata,
2003: 72). Sehingga strategi padanan budaya ini dapat disebut sebagai prosedur
penerjemahan label karena penerjemah memberikan terjemahan sementara untuk
mencari padanan yang pas untuk kata BSu. Contoh penerapan strategi
penerjemahan padanan budaya terlihat pada data 13 berikut:
(13) BSu :
ن ة إ ل أ ش د أ ذ ن ااهلل ال ق ي ب ص اح م ن ب ال ق ر آن ال س ن الصو ت الرج ل ق ي ن ت ه إ ل
Alla>hu asyaddu adzanan ila’r-rajulil-chasani’sh-shauti bil-qur’a>ni min sha>chibil-qainati ila> qainatihi (An-Nawawi, 2014: 140).
BSa : Allah sangat senang mendengarkan seseorang yang membaca al-
Qur’an dengan suara merdu daripada seseorang yang
mendengarkan biduanitanya menyanyi (Hauro’, 2014: 105)
Pada data 13 di atas kata “ن ة Qainatun diterjemahkan menjadi ”ق ي
“biduanita”. Dalam kamus Al-Munawwir (1997: 1180) dan kamus Al-Wasith
(2011: 799) kata tersebut berarti “budak dan penyanyi wanita”. Dalam budaya
Arab, kata tersebut mengandung unsur budaya bahwa penyanyi wanita tersebut
dimiliki oleh seseorang sehingga juga bermakna budak. Oleh karena itu,
penerjemah memilih kata “biduanita” sebagai padanan dalam bahasa Indonesia.
Al-Farisi (2011: 64) memberikan contoh penerapan penerjemahan
padanan budaya ini pada penerjemahan pribahasa yaitu “ن ائن الك ت ل الر م اء ”ق ب ل
qabla’r-rima>i tamla’ul-kana>ini terjemahannya adalah “sebelum memanah isi
dahulu tabung anak panah”, lebih berterima jika diterjemahkan menjadi “sedia
payung sebelum hujan”. Terjemahan ini lebih dikenal dan mudah dipahami
38
daripada terjemahan harfiah. Struktur lahir keduanya memang berbeda, tetapi
struktur batin keduanya jelas sama. Strategi penerjemahan padanan budaya sangat
cocok digunakan untuk menerjemahkan pribahasa.
3) Strategi Padanan Deskriptif (Descriptive Equivalent) dan Analisis
Komponensial (Componential Analysis)
Strategi padanan deskriptif adalah cara penerjemahan dengan berusaha
mendeskripsikan makna atau fungsi dari kata BSu. Strategi ini dilakukan karena
kata dalam BSu tersebut sangat terkait dengan budaya khas BSu dan penggunaan
padanan budaya dirasa tidak bisa mencapai derajat ketepatan yang dikehendaki
sehingga diperlukan tambahan deskripsi. Dalam padanan deskriptif ini
penerjemah biasanya menambahkan daftar kata-kata atau glossary (Suryawinata,
2003: 73; Newmark, 1988: 83-84). Penerapan strategi deskriptif ini terdapat pada
data 14 berikut:
(14) BSu :
اأ ر ب ع ,س اع ات ه :آن اء اللي ل د ه و اح إ ن و:ل غ ات و يف و إ ن و و أ ن إ ن
A<na>’al-laili: sa>‘a>tuhu, wa fi> wa>chidiha> arba‘u lugha>tin: ina> wa ana> wa inyun wa inwun (An-Nawawi, 2014: 222).
BSa :
A>na>al-lail: waktu-waktu malam, bentuk tunggalnya ada empat
variasi bahasa yaitu ina>, ana>, inyun, dan inwun (Hauro’, 2014:203).
Pada data 14 di atas, penerjemah menerjemahkan frasa dalam BSu
disertai dengan deskripsi, yaitu “ اللي ل a>na>’al-laili diterjemahkan dengan ”آن اء
“waktu-waktu malam”. Pada data ini penerjemah menerjemahkan bab “akurasi
bahasa” dalam buku TACQ.
39
Strategi analisis komponensial adalah menerjemahkan sebuah kata dalam
BSu dengan cara menganalisis atau merinci komponen makna yang terkandung
dalam kata BSu. Strategi analisis komponensial ini digunakan untuk
menerjemahkan kata-kata umum bukan yang berkaitan dengan budaya
(Suryawinata, 2003: 73).
Strategi analisis komponensial ini mencoba untuk membandingkan kata
BSu dengan kata BSa yang memiliki kesamaan makna tetapi bukan mencari
padanan satu per satu. Pertama yang dilakukan adalah mencari keumuman kata
lalu membedakan komponen-komponennya. Secara normal, kata BSu memiliki
makna yang lebih spesifik daripada kata BSa. Maka penerjemah diharuskan untuk
menambah satu ada dua komponen BSa untuk menyepadankan kata BSu dan juga
menghasilkan pendekatan makna yang tepat (Newmark, 1988: 114).
Adapun komponen makna yang dimaksud menurut Newmark (1988: 114-
115) adalah; pertama, sebagai komponen unit leksikal yang dapat berupa makna
referensial dan/atau pragmatik. Secara komprehensif, kata BSu dapat dibedakan
dengan kata BSa dari segi komposisi, ukuran, dan fungsi referensial, dan dapat
juga dengan dilihat dari konteks budaya dan konotasi kata tersebut. Sehingga
dalam pengaruhnya terhadap makna pragmatik adalah bergantung pada bunyi
komposisi kata BSa yang dipakai. Adapun kedua, sebagai komponen makna
semantik karena beberapa kata BSu dan BSa yang dianalisis akan menunjukkan
hasil diagnosa komponen berupa keumuman dan perbedaan komponen. Adapun
contoh dapat dilihat pada data 15 berikut:
(15) BSu :
ق ام ال م ق ن ط ر ي ن ة آي ف ل أ ب و م ن م ن ك ت ب
40
Wa man qa>ma bi’alfi a>yatin kutiba minal-muqanthari>na (An-Nawawi, 2014: 107).
BSa : Dan barang siapa yang shalat malam dengan membaca seribu ayat
maka ia dicatat sebagai orang yang mendapat pahala berlimpah
ruah (Hauro’, 2014: 61).
Pada data 15 di atas, analisis makna komponensial terdapat pada
penerjemahan kata “ ن ال م ق ن ط ر و ”al-muqantharu>na dengan komponen-komponen
makna yang terdapat dalam kata tersebut yaitu “orang yang mendapat pahala
berlimpah ruah”.
4) Strategi Sinonim (Synonym)/ Prosedur Sinonim dan Prosedur Padanan
Fungsional
Newmark (1988: 84) menjelaskan bahwa strategi sinonim adalah strategi
yang diterapkan penerjemah untuk mendekatkan padanan BSa kepada BSu dalam
sebuah konteks. Strategi ini digunakan pada kata BSu yang tidak dapat
diterjemahkan dengan terjemahan padan “satu per satu/ one to one”. Artinya
strategi ini akan lebih tepat digunakan ketika terjemahan literal tidak sesuai untuk
digunakan dalam menerjemahkan kata BSu itu dan ketika kata BSu tersebut
termasuk kata yang tidak terlalu penting bila diterjemahkan dengan menggunakan
strategi analisis komponensial.
Strategi sinonim ini juga merupakan strategi fungsional. Newmark (1988:
83) menjelaskan bahwa strategi fungsional adalah menerjemahkan kata BSu
dengan padanan yang fungsional/ sesuai kegunaannya –yakni diterjemahkan
dengan pendekatan kata yang memiliki makna dan fungsi yang sama dengan kata
BSu. Dikatakan demikian karena apabila kata tersebut diterjemahkan satu per satu
41
maka akan terjadi ketakterjemahan. Penerapan strategi sinonim ini terdapat pada
data 16 berikut:
(16) BSu :
ق ام و م ن م ن ك ت ب ب ائ ة آي ة ال ق ان ت ي
Wa man qa>ma bimiati a>yatin kutiba minal-qa>niti>na (An-Nawawi, 2014: 107).
BSa :
Barang siapa yang shalat malam dengan membaca seratus ayat
maka ia dicatat sebagai orang yang bertakwa (Hauro’, 2014: 61).
Pada data 16 di atas, penerjemah melakukan strategi sinonim untuk
menerjemahkan kata “ ن ت و ال ق ان ” al-qa>nitu>na yang berarti “orang-orang yang taat”
(Munnawir, 1997: 1161) dengan “orang yang bertakwa”. Penerjemah melihat
bahwa kata “taat” bisa disamakan dengan kata “takwa”.
5) Strategi Terjemahan Resmi/ Prosedur Terjemahan Resmi
Terjemahan resmi adalah strategi penerjemahan menurut pedoman yang
telah dibakukan (Suryawinata, 2003: 74). Untuk itu, penerjemah yang
mengerjakan naskah dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia perlu memiliki
“Pedoman PengIndonesiaan Nama dan Kata Asing” yang dikeluarkan oleh Pusat
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Depdikbud R.I. Sebagai contoh “read-
only memory” diterjemahkan menjadi “memori simpan tetap” di dalam buku
pedoman tersebut. Penerjemah juga bisa mengecek secara online di
www.kateglo.com., yang berisikan data lengkap kata baku bahasa Indonesia.
Adapun contoh dalam kamus Al-Munawwir (2007: 959), yaitu terjemahan dari
istilah “Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/AKABRI” yang diterjemahkan
menjadi “الندونيسية املسل حة القو ة -Aka>di>miyyatul-Quwwatil-Musallachatil ”أكادميي ة
Indu>ni>siyyati .
42
6) Strategi Penyusutan dan Perluasan
Newmark (1988: 90) dan Suryawinata (2003: 74) menjelaskan bahwa di
dalam menerjemahkan, penerjemah dapat melakukan strategi penyusutan
(Reduction) dan strategi perluasan (expansion) terhadap kata BSu. Strategi
penyusutan (Reduction) adalah strategi yang berusaha menyusutkan komponen
kata BSu. Sedangkan strategi perluasan (expansion) adalah strategi yang
memperluas kata BSu di dalam BSa. Suryawinata (2003: 74) memberikan contoh
perluasan pada penerjemahan kata “while” menjadi “ikan paus”. Di dalam contoh
ini elemen “ikan” ditambahkan karena kalau diterjemahkan “paus” saja kurang
baik. Di dalam bahasa Indonesia “Paus” berarti pemimpin umat Katolik sedunia,
atau “The Pope” dalam bahasa Inggris. Adapun contoh lain dapat dilihat pada
data 17 berikut:
(17) BSu:
ث ب ث ل أ و ت ر م ن ع ات رو ي ق ر أ ك ع ة األ و ل الرك األ ع ل ى)يف اس م ر بك (س بح
Wa yaqra’u man autara bitsala>tsi raka‘a>tin fi’r-rak‘atil-u>la (sabbichisma rabbikal-‘a‘la>) (An-Nawawi, 2014: 204)
BSa :
Ketika melaksanakan shalat witir tiga rakaat, rakaat pertama
membaca surah Al-A‘la> (Hauro’, 2014: 182).
Pada contoh data 17 di atas, penerjemah melakukan perluasan pada
potongan ayat yang menunjukkan nama surah “ األ ع ل ى) ر بك اس م (س بح ” (sabbichisma
rabbikal-‘a‘la>) yaitu diterjemahkan sebagai “surah Al-A‘la>”. Penambahan kata
“surah” merupakan pilihan bagi penerjemah sebagai upaya untuk memperluas
terjemahan dan bentuk penegasan pada makna potongan ayat tersebut sebagai
sebuah surah.
Sedangkan penyusutan terdapat dalam penerjemahan “ األ ع ل ى) ر بك اس م (س بح ”
(sabbichisma rabbikal-‘a‘la>) dengan kata “Al-A‘la>”. Penerjemah memilih kata
43
“Al-A‘la>” untuk mewakili kalimat “ األ ع ل ى) ر بك اس م (س بح ” (sabbichisma rabbikal-
‘a‘la>).
7) Strategi Penambahan/ Prosedur Penambahan dan Prosedur Parafrase
Strategi penambahan di sini berbeda dengan strategi penambahan pada
strategi struktural. Penambahan di sini dilakukan untuk memperjelas makna.
Penerjemah menambahkan informasi pada terjemahannya karena dirasa informasi
tersebut dibutuhkan oleh pembaca. Prosedur ini biasanya digunakan untuk
membantu menerjemahkan kata-kata yang berhubungan dengan budaya, teknis,
atau bahasa yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut (Newmark, 1988: 91;
Suryawinata, 2003: 74).
Al-Farisi (2011:82) menjelaskan penambahan bisa berupa penambahan
informasi dalam BSa yang sebenarnya tidak ada dalam BSu dengan harapan teks
terjemahan lebih berterima, mudah dipahami, dan tidak ambigu. Strategi semantis
penambahan memiliki kesamaan fungsi dengan prosedur parafrase, yaitu dalam
hal pengungkapan makna tetapi tidak merubahnya. Newmark (1988: 90)
menjelaskan bahwa prosedur parafrase adalah amplifikasi atau penjelasan
mengenai makna bagian dalam teks BSu. Adapun contoh penerapan strategi
penambahan ini terdapat pada data 18 tersebut:
(18) BSu :
ق ام آيت ر ش ع ب م ن ال غ اف ل ي م ن ت ب ي ك ل
Man qa>ma bi‘asyri a>ya>tin lam yuktab minal-gha>fili>na. (An-Nawawi, 2014: 107)
BSa :
Barang siapa yang shalat malam dengan membaca sepuluh ayat
maka ia tidak dicatat sebagai orang lalai (Hauro’, 2014: 61).
44
Pada contoh data 18 di atas, penerjemah menambahkan kata “membaca”
pada BSa untuk memperjelas makna yang dimaksud dalam BSu.
8) Strategi Penghapusan (Omission atau Deletion)
Penghapusan di sini maksudnya adalah penerjemah tidak menerjemahkan
sebagian teks atau kata dalam BSu ke dalam BSa dengan pertimbangan bahwa
kata dalam BSu tersebut tidak terlalu penting bagi keseluruhan teks BSa atau
dampaknya akan menimbulkan kebingungan bagi pembaca apabila diterjemahkan.
Hal ini juga berdasarkan pertimbangan bahwa kata tersebut juga sulit untuk
diterjemahkan dan tidak terlalu menimbulkan perbedaan makna yang signifikan
(Suryawinata, 2003: 75). Seperti contoh berikut:
(19) BSu :
ات ب ا ب ن ال ك ع ن ه –ك ان اهلل ي ار -ر ض ات م ت خ ع ب ر أ و ب اللي ل ,ات م ت خ ع ب ر أ ي ت م ب الن ه
Ka>na Ibnul-Ka>tib –radhiyalla>hu <<<<<<<< ‘anhu – yakhtimu bin-naha>ri arba‘a khatama>tin wa bil-laili arba‘a khatama>tin (An-Nawawi, 2014: 100)
BSa :
Ibnul-Ka>tib -radhiyalla>hu <<<<<<<< anhu- mengkhatamkan al-Qur’an empat kali pada waktu siang dan empat kali pada waktu malam (Hauro’,
2014: 54).
Pada contoh data 19 di atas, penerjemah menghapus kata “ ان Ka>na ”ك
di dalam teks BSa. Kata “ ان Ka>na yang memiliki arti “ada” tidak ”ك
diterjemahkan oleh penerjemah karena keberadaan kata tersebut tidak
memengaruhi penyimpangan makna pada teks BSa. Pesan dari BSu tetap
tersampaikan dengan baik walaupun tanpa menerjemahkan kata tersebut.
45
9) Strategi Modulasi
Modulasi adalah strategi untuk menerjemahkan frase, klausa atau kalimat
dengan cara mengubah sudut pandang, fokus, atau kategori kognitif dalam
kaitannya dengan BSu (Suryawinata, 2003: 75; Newmark, 1988: 88; Al-Farisi,
2011: 68). Perubahan ini bersifat leksikal ataupun gramatikal. Variasi perubahan
sudut pandang tersebut bisa berupa abstrak menjadi konkret, sebab menjadi
akibat, aktif menjadi pasif, ruang menjadi waktu dan semacamnya. Sementara itu
Machali (2009: 98) menjelaskan bahwa modulasi ada kalanya berupa pergeseran
struktur seperti pada prosedur transposisi yang menyangkut pergeseran makna
karena terjadi perubahan perspektif, sudut pandang atau sisi maknawi lainnya.
Contoh penerapan strategi modulasi terdapat dalam data 20 berikut:
(20) BSu :
أ ر ب ع ي س ك ت ر ية أ ن ة ال ه الصل يف م ام ل ل ت ح ب ال ق ي ام ات ت ك س ي س ح ال يف
Yustachabbu lil’ima>mi fi’sh-shala>til-jahriyyati an yaskuta arba‘a sakata>tin fi> cha>lil-qiya>mi (An-Nawawi, 2014: 162).
BSa :
Empat tempat imam diam sejenak (Hauro’, 2014: 133).
Pada data 20 di atas, penerjemah melakukan strategi modulasi bebas yaitu
menerjemahkan BSu ke dalam BSa dengan mengambil substansi BSu kemudian
diungkapkan dengan bebas/tidak berpatokan pada struktur BSu. Penerjemah
melakukan menerjemahkan kalimat lengkap dalam BSu menjadi frasa dalam BSa.
Cara ini menunjukkan bahwa penerjemah berfikir secara out of the box / keluar
konteks dan memilih sudut pandang yang berbeda sehingga dapat digolongkan
sebagai penerapan strategi modulasi.
46
F. Sumber Data
Sumber data merupakan segala sesuatu yang bisa memberikan informasi
yang sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer
penelitian ini diperoleh dari objek material peneliti yaitu buku At-Tibyān fi> Ādābi
Chamalatil-Qur’a>n karya Imam Muhyiddin Abu Zakarya Bin Syarif An-Nawawi
yang biasa dikenal dengan sebutan Imam An-Nawawi yang diterbitkan oleh
Maktabah Ibn ‘Abba>s, Manshu>rah tahun 2014. Ditambah dengan buku
terjemahnya yang berjudul At-Tibyān Adab Penghafal Al-Qur’an yang
diterjemahkan oleh Umniyyati Sayyidatul Hauro’, Shafura Mar’atu Zuhda, dan
Yuliana Sahadatilla. Buku terjemahan ini diterbitkan oleh Al-Qawam, Sukoharjo
tahun 2014. Data-data tamyi>z diambil dari muqaddimah sampai bab terakhir atau
bab 10 dalam buku tersebut.
Adapun data sekunder penelitian ini diperoleh dari beberapa kamus,
seperti kamus Al-Munawwir, kamus Al-Maurid, Al-Wasith, KBBI, Al-Qur’an
dan terjemahannya. Beberapa kamus tersebut digunakan untuk mencocokkan hasil
terjemahan penerjemah dengan kosakata yang ada di dalam kamus sehingga bisa
diketahui strategi yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan tamyi>z.
Adapun sumber lain adalah berupa data-data yang bersumber dari buku dan hasil
penelitian yang berhubungan serta dapat menunjang penelitian ini.
47
G. Metode dan Teknik
1. Metode Penelitian
Metode penelitian didefinisikan sebagai suatu kegiatan ilmiah yang
terencana, terstruktur, sistematis, dan memiliki tujuan tertentu baik praktis
maupun teoretis (Raco, 2010: 5). Dikatakan sebagai ‘kegiatan ilmiah’ karena
penelitian dengan aspek ilmu pengetahuan dan teori. ‘Terencana’ karena
penelitian harus direncanakan dengan memerhatikan waktu, dana dan aksesbilitas
terhadap tempat dan data.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan tiga macam metode
yang diterapkan, yaitu penelitian kualitatif deskriptif, terpancang, dan studi kasus
tunggal. Pertama, Subana (2011: 17) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif
bersifat deskriptif karena data yang dianalisis tidak untuk menerima atau menolak
hipotesis, melainkan hasil analisis itu berupa deskripsi dari gejala-gejala yang
diamati dan tidak harus berbentuk angka-angka atau koefisien antarvariabel.
Dalam penelitian ini, peneliti membahas tentang bentuk penerjemahan tamyi>z dan
strategi penerjemahan tamyi>z dalam buku TACQ untuk kepentingan akademis
dan untuk mendeskripsikan secara rinci pokok permasalahan tersebut.
Kedua, penelitian ini disebut penelitian terpancang karena peneliti telah
memfokuskan penelitian sebelumnya yakni terkait analisis bentuk penerjemahan
tamyi>z dan strategi penerjemahan tamyi>z. Dengan demikian, peneliti telah
membekali diri dan mampu mengidentifikasi permasalahan yang akan diteliti.
Ketiga, penelitian ini merupakan studi kasus tunggal karena penelitian
dilakukan pada objek material yang sama yaitu buku TACQ dalam versi bahasa
Arab dan bahasa Indonesia.
48
2. Teknik Penelitian
a. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
teknik simak dan catat. Sutopo (2002: 58) menjelaskan bahwa ada dua
metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif. Pertama, metode
noninteraktif yang meliputi kuesioner, mencatat dokumen dan arsip. Kedua,
metode interaktif yang meliputi wawancara mendalam, observasi berperan
dalam beberapa tingkatan, dan focus group discussion (FGD).
Adapun pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode
noninteraktif dengan tahapan; Pertama, mencari data tamyi>z dalam BSu.
Kedua, mencari terjemahan data tamyi>z dalam buku terjemahannya. Ketiga,
mengelompokkan data tamyi>z tersebut sesuai dengan jenisnya. Keempat,
mencermati secara saksama antara BSu dan BSa dalam data tamyi>z tersebut
dan menganalisis bentuk penerjemahannya. Kelima, menentukan strategi
penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah berdasarkan teori strategi
penerjemahan yaitu strategi struktural dan strategi semantis. Dalam tahap
mencermati antara BSu dan BSa diperlukan kamus untuk mengetahui makna
leksikal suatu kata. Hasil pengumpulan data ditemukan 39 data tamyi>z.
b. Teknik Cuplikan (Sampling)
Sutopo (2002: 55) menjelaskan mengenai teknik cuplikan adalah
pembatasan jumlah dan jenis dari sumber data yang akan digunakan dalam
penelitian. Dalam penelitian kualitatif, peneliti menyeleksi data yang
dianggap perlu dan bisa mewakili informasi yang dibutuhkan. Adapun
penerapan teknik cuplikan pada penelitian ini berdasarkan kriteria tamyi>z
49
dalam bahasa Arab kemudian dikelompokkan berdasarkan jenis tamyi>z-nya
Data tersebut sudah mengarah pada usaha generalisasi dari hasil
pengelompokan data untuk menjawab permasalahan pada rumusan masalah
satu mengenai bentuk penerjemahan tamyi>z dan rumusan masalah dua
tentang prosentase strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam
menerjemahkan tamyi>z.
c. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teori analisis data milik Miles (1994:10)
yang telah memberikan definisi bahwa analisis data terbagi dalam tiga
aktivitas, yaitu reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan/verifikasi data.
Berikut penerapannya dalam penelitian ini.
c.1. Reduksi Data (Data Reduction)
Pada tahapan reduksi data, peneliti harus melakukan penyeleksian dan
penyederhanaan data. Miles (1994:11) menjelaskan bahwa data kualitatif
dapat direduksi dan ditransformasikan ke dalam beberapa cara; penyeleksian,
kesimpulan, atau penafsiran, yang kemudian menghasilkan rumus besar
mengenai hasil analisis data yang dilakukan peneliti.
Fokus permasalahan pada penelitian ini adalah bentuk penerjemahan
tamyi>z dan strategi penerjemahan tamyi>z. Reduksi data yang diberlakukan
pada rumusan masalah satu, adalah penyeleksian data tamyi>z dalam buku
TACQ dan data terjemahnnya. Kemudian data yang dimasukkan ke dalam
pembahasan rumusan masalah pertama adalah satu sampel data tamyi>z
berserta terjemahannya untuk dianalisis secara mendalam pada masing-
masing bentuk penerjemahannya.
50
Adapun proses reduksi data untuk rumusan masalah kedua adalah
berasal dari data yang sudah diklasifikasikan jenis strategi penerjemahannya.
Kemudian dari 39 data yang telah diklasifikasi, diambil satu sampel data
untuk bab pembahasan. Sampel tersebut disertai dengan alasan yang
mendukung hasil pengklasifikasian data.
c.2. Penyajian Data (Data Display)
Penyajian data adalah suatu proses organized (pengelompokan) dan
compressed (meringkas) informasi-informasi yang dapat dijadikan sebagai
kesimpulan (Miles, 1994: 11).
Setelah data melalui tahap pereduksian, maka akan diperoleh hasil
berupa pengelompokkan data. Data pada rumusan masalah pertama disajikan
dalam tabel pengelompokan tamyi>z dan bentuk terjemahannya, serta tabel
kalimat berdasarkan struktur, jenis kalimat dan bentuk terjemahannya.
Adapun data rumusan masalah kedua yaitu strategi penerjemahan disajikan
dalam tabel strategi penerjemahan dengan menampilkan jumlah data pada
masing-masing strategi disertai dengan prosentasenya.
c.3. Kesimpulan/Verifikasi (Conclusion Drawing/Verification)
Verifikasi adalah membuktikan kebenaran data berdasarkan hasil
penelitian di lapangan (Miles, 1994: 11). Pada penelitian ini, pembuktian
kebenaran dibantu dengan teknik trianggulasi data. Menurut Sutopo (2002:
80) bahwa untuk menarik kesimpulan pada data, dibutuhkan lebih dari satu
sudut padang. Sehingga dari beragam bentuk tersebut, seseorang memiliki
data yang lengkap dan mampu menyimpulkan data tersebut dengan baik.
51
Adapun jenis trianggulasi data yang diterapkan pada penelitian ini adalah
trianggulasi peneliti.
Sutopo (2002: 81) menjelaskan bahwa trianggulasi peneliti adalah
cara menguji validitas hasil penelitian dengan melihat pandangan peneliti-
peneliti lain. Adapun terapan teknik trianggulasi peneliti yang dilakukan
adalah dengan memanfaatkan peneliti-peneliti lain atau dosen penelaah untuk
memantapkan hasil penelitian. Telaah yang diberikan berupa sudut pandang
dan tafsiran baru mengenai hasil penelitian. Informasi yang diberikan oleh
penelaah dapat berupa masukan atau kritikan mengenai hasil penelitian yang
telah dilakukan.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan laporan penelitian ini disajikan dalam empat bab.
BAB I, yaitu PENDAHULUAN. Pada bab ini, terdapat latar belakang
penulisan laporan penelitian yang berisi pula tinjauan pustaka dan manfaat
penelitian, rumusan masalah, tujuan pembahasan, pembatasan masalah, kajian
teori, sumber data, metode dan teknik, dan sistematika penulisan.
BAB II, yaitu BENTUK PENERJEMAHAN TAMYĪZ.
BAB III, yaitu STRATEGI PENERJEMAHAN TAMYĪZ.
BAB IV, yaitu PENUTUP yang berupa kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA, yaitu berupa lampiran pustaka-pustaka yang
digunakan saat penelitian berlangsung.
LAMPIRAN, yaitu berupa lampiran data-data pendukung penelitian.