21
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Fenomena budaya nongkrong akhir-akhir ini sedang jadi sorotan para pembisnis kuliner terutama di kota Yogyakarta yang mayoritas adalah pendatang dari luar kota. Tak pelak, menjamurnya tempat-tempat nongkrong di Yogyakarta, menjadi ajang bersaing bagi para pengusaha kuliner. Persaingan bisnis kuliner yang semakin ketat dengan munculnya beberapa usaha kuliner yang tak hanya menjual produk makanan dan minuman tetapi juga menjual suasana yang unik dan inovatif menjadikan para pengusaha memutar otak untuk lebih dari yang lain. Dalam upaya meningkatkan usaha kulinernya seorang pengusaha yang sudah terkenal dengan usaha toko batik yang unik di Yogyakarta, menghantarkan suatu jenis sajian kuliner yang unik pula di Yogyakarta, Hamzah Sulaiman atau yang lebih dikenal dengan nama Raminten, yang juga pendiri Mirota Batik tahun 1970, mendirikan café unik dan sarat akan budaya Jawa yang bertajuk The House of Raminten. Café ini berdiri sejak tanggal 26 Desember 2008 yang cukup strategi berada di tengah kota Yogyakarta. Berawal dari warung jamu yang hanya menjual produk jamu traditional, yang lama- kelamaan menjadi café dengan produk yang makanan yang bermacam-macam sesuai dengan selera pelanggan, maka café ini berkembang sangat cepat dan pesat dan bahkan menjadi ikon Yogyakarta. Bapak Hamzah mengungkapkan bahwa membangun bisnis kuliner tidak cukup hanya dengan mengandalkan modal dan kerja keras, tapi juga diperlukan strategi dan kreativitas dalam memasarkan produk kuliner tersebut. Salah satunya dengan mendesain café dengan alat- alat kesenian Jawa kuno, yang terinspirasi dari jiwa seni yang dimilikinya sejak umur 6 tahun. 1 The House of Raminten merupakan salah satu fenomena di bidang kuliner yang patut disorot lebih tajam, baik secara manajemen ataupun strategi yang mereka lakukan untuk menarik pelanggan. Ada beberapa bukti yang memperkuat asumsi fenomenal tersebut, salah satu percakapan menarik penulis dengan pak Kelik yang berprofesi sebagai tukang becak tentang The House of Raminten adalah tentang kostum pelayan. “woh ya jelas! Saya paling senang 1 Hasil rangkuman wawancara dengan Bapak Tofan Subyanto, selaku wakil manager café, tgl 20 juni 2013

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Gadjah Mada ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88908/potongan/S2-2014... · secara lisan atau bisa dikatakan secara actual memang menjadi

  • Upload
    tranthu

  • View
    234

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Fenomena budaya nongkrong akhir-akhir ini sedang jadi sorotan para pembisnis kuliner

terutama di kota Yogyakarta yang mayoritas adalah pendatang dari luar kota. Tak pelak,

menjamurnya tempat-tempat nongkrong di Yogyakarta, menjadi ajang bersaing bagi para

pengusaha kuliner. Persaingan bisnis kuliner yang semakin ketat dengan munculnya beberapa

usaha kuliner yang tak hanya menjual produk makanan dan minuman tetapi juga menjual

suasana yang unik dan inovatif menjadikan para pengusaha memutar otak untuk lebih dari yang

lain.

Dalam upaya meningkatkan usaha kulinernya seorang pengusaha yang sudah terkenal

dengan usaha toko batik yang unik di Yogyakarta, menghantarkan suatu jenis sajian kuliner yang

unik pula di Yogyakarta, Hamzah Sulaiman atau yang lebih dikenal dengan nama Raminten,

yang juga pendiri Mirota Batik tahun 1970, mendirikan café unik dan sarat akan budaya Jawa

yang bertajuk The House of Raminten. Café ini berdiri sejak tanggal 26 Desember 2008 yang

cukup strategi berada di tengah kota Yogyakarta.

Berawal dari warung jamu yang hanya menjual produk jamu traditional, yang lama-

kelamaan menjadi café dengan produk yang makanan yang bermacam-macam sesuai dengan

selera pelanggan, maka café ini berkembang sangat cepat dan pesat dan bahkan menjadi ikon

Yogyakarta. Bapak Hamzah mengungkapkan bahwa membangun bisnis kuliner tidak cukup

hanya dengan mengandalkan modal dan kerja keras, tapi juga diperlukan strategi dan kreativitas

dalam memasarkan produk kuliner tersebut. Salah satunya dengan mendesain café dengan alat-

alat kesenian Jawa kuno, yang terinspirasi dari jiwa seni yang dimilikinya sejak umur 6 tahun.1

The House of Raminten merupakan salah satu fenomena di bidang kuliner yang patut

disorot lebih tajam, baik secara manajemen ataupun strategi yang mereka lakukan untuk menarik

pelanggan. Ada beberapa bukti yang memperkuat asumsi fenomenal tersebut, salah satu

percakapan menarik penulis dengan pak Kelik yang berprofesi sebagai tukang becak tentang

The House of Raminten adalah tentang kostum pelayan. “woh ya jelas! Saya paling senang

1 Hasil rangkuman wawancara dengan Bapak Tofan Subyanto, selaku wakil manager café, tgl 20 juni 2013

nganter tamu ya makan di Raminten itu soalnya pelayan-pelayannya pakai kemben semua hehe”

ujar Pak Kelik terkekeh sewaktu penulis tanyai tentang The House of Raminten.

Suasana restoran didesain seperti Yogyakarta mini dengan kereta kencana dan juga dokar

sebagai dekorasi tetap di kafe tersebut dan juga kostum yang dikenakan oleh para karyawan

dalam melayani pelanggan cukup unik dan kreatif. Dibalur kostum Jawa lengkap dengan kemben

dan jarit batiknya dan juga assesoris rambut yang berwarna-warni, para karyawan Raminten siap

menyapa setiap pelanggan dengan penuh kehangatan dan fun2. Dengan suasana tersebut jumlah

pengunjung telah terdongkrak.3 Suasana nyaman, harga terjangkau menjadikan The House of

Raminten sebagai salah satu wisata kuliner yang wajib dan selalu dikunjungi oleh masyarakat

yang datang dari luar kota.

Hal-hal tersebut yang membawa Hamzah harus dituntut konsisten dalam bisnis

kulinernya, menuntut beliau mendidik semua karyawan agar lebih maksimal dalam melayani

pelanggan dan juga menumbuhkan nilai-nilai organisasi dalam benak individu karyawan.

Mengkomunikasikan nilai-nilai organisasi melalui training-training atau pelatihan dalam

melayani pelanggan, mensosialisasikan kebijakan perusahaan dengan baik dan bagaimana

sebenarnya strategi perusahaan serta membuat karyawan merasa nyaman pada saat bekerja

dengan rasa kekeluargaan dan rasa “memiliki” yang kuat.

Stephen Robbin dalam bukunya yang sudah sangat terkenal dalam bidang managemen

“Organizational Behavior” berpendapat bahwa memahami nilai dalam kehidupan berorganisasi

merupakan hal yang penting, karena nilai merupakan dasar untuk memahami sikap dan motivasi

seseorang. Teori tersebut mendukung bahwa sikap dan motivasi karyawan terletak pada

penanaman nilai perusahaaan pada awal masuk dalam sebuah perusahaan dan budaya yang

dibentuk pada saat bekerja dilapangan. 4

Nilai atau values dalam sebuah organisasi atau perusahaan merupakan suatu tuntunan

atau pedoman yang mendasari bagaimana suatu perusahaan berpikir, mengambil keputusan,

bersikap dan bertindak. Yang mana suatu perusahaan menanamkan di jiwa setiap karyawan

2 Pre survey dengan beberapa pengunjung , tanggal 20 februari 2013.

3 http://ukmindonesiasukses.com/2012/01/berbekal-kemampuan-desain-batik-kini. diakses tanggal 28 desember

2012

4 Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi. Salemba: Jakarta. Hlm: 146

secara lisan atau bisa dikatakan secara actual memang menjadi praktek dari perusahaan atau

organisasi tersebut, yang dilakukan dan dipraktekkan oleh karyawan. Praktek tersebut juga bisa

disebut upaya perusahaan dalam mengkomunikasikan nilai budaya jawa pada praktek organisasi

di benak karyawannya sesuai dengan tujuan yang diinginkan perusahaan, seperti yang dilakukan

oleh pemilik café The House of Raminten. Konsep Jawa sebagai keunikan merupakan terobosan

baru dalam nilai budaya organisasi di café The House of Raminten, hal inilah yang mendorong

peneliti untuk menjadikan café The House of Raminten sebagai bahan penelitian.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka dapat diambil

suatu rumusan permasalahan yang perlu diteliti dan dianalisa lebih lanjut yaitu bagaimana nilai

budaya Jawa dalam praktek-praktek organisasi pada café The House of Raminten?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui bagaimana nilai budaya Jawa dalam praktek organisasi di café The

House of Raminten

2. Untuk mengetahui pada praktek-praktek apa saja dalam nilai budaya Jawa di café The

House of Raminten

3. Untuk mengetahui peran nilai budaya Jawa dalam praktek-praktek organisasi di café The

House of Raminten.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Menambah kajian dalam komunikasi, khususnya yang berkaitan dengan nilai budaya

Jawa dalam praktek-praktek organisasi di Indonesia.

2. Memberi inspirasi dalam nilai budaya Jawa dalam praktek-praktek organisasi.

3. Mengetahui praktek-praktek apa saja yang muncul dalam nilai budaya Jawa dalam

praktek-praktek organisasi di café House Of Raminten.

E. KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka pemikiran pada penelitian ini pada dasarnya berasal dari konsep budaya

organisasi dan nilai organisasi. Yang mana teori-teori tersebut menginspirasi dari penelitian ini

sehingga muncul konsep praktek-praktek organisasi baik secara internal maupun eksternal, tentu

saja dalam lingkup organisasi.

1. Organisasi

Istilah organisasi berasal dari bahasa Latin organizare, yang secara harfiah berarti

panduan dari bagian-bagian yang satu sama lainya saling bergantung. Menurut Everet M Rogers

dalam bukunya Communication in Organization, mendefinisikan organisasi sebagai suatu sistem

yang mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui jenjang

kepangkatan dan pembagian kerja. 5Sedangkan menurut Robert Bennington dalam buku Modern

Bussiness: A System Approach mendefinisikan organisasi sebagai sarana dimana manajemen

mengkoordinasikan sumber bahan dan sumber daya manusia melalui struktur formal dari tugas-

tugas dan wewenang.

Sedangkan Stephen Robbins menjelaskan bahwa organisasi adalah kesatuan (entity)

social yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relative dapat

diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relative terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan

bersama atau sekelompok tujuan. Organisasi merupakan sistem rasional yang memiliki visi, misi,

tujuan (jangka panjang) dan sasaran (jangka pendek). Manajer dan anggota berusaha mencapai

tujuan sasaran tersebut. 6

Konsep organisasi yang dikemukakan oleh Karl Weick, sungguh menakjubkan. Weick

menyatakan bahwa kata organisasi“ adalah kata benda, kata ini juga merupakan kata “mitos”,

yang mana jika kita mencari wujudnya tidak akan pernah menemukannya. Yang akan ditemukan

dalam organisasi adalah sejumlah peristiwa yang terjalin bersama-sama, urutan-urutan peristiwa

tersebut, jalur-jalurnya, dan pengaturan temponya yang merupakan bentuk-bentuk yang

seringkali kita nyatakan secara tidak tepat bila kita membicarakan organisasi. Fokusnya disini

adalah proses dan aktivitas dalam pengorganisasian. 7

5 Prof. Dr. Khomsahrial Romli M Si. Komunikasi Organisasi.2011. Hlm: 1

6 Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge. 2008. “Perilaku Organisasi”. Hlm: 4

7 Prof. Dr. Khomsahrial Romli M Si. Komunikasi Organisasi.2011. Hlm:37-38

Selanjutnya menurut Weick teori berorganisasi dalam bidang komunikasi sangat penting,

karena dalam teori ini menggunakan komunikasi sebagai dasar penting dalam berorganisasi.

Organisasi bukan hanya terbentuk dari susunan posisi dan peranan, tetapi oleh aktivitas

organisasi. Lebih spesifik lagi, bahwasanya interaksi yang membentuk sebuah tindakan atau

perilaku antar individu. 8

Hubungan antara ilmu komunikasi dengan organisasi terletak pada peninjauanya yang

terfokus kepada manusia-manusia yang terlibat dalam mencapai tujuan organisasi itu. Ilmu

komunikasi mempertanyakan bentuk komunikasi apa yang berlangsung dalam organisasi,

metode dan teknik apa yang dipergunakan, media apa yang dipakai, bagaimana prosesnya,

factor-faktor apa yang menjadi penghambat dan sebagainya. Jawaban-Jawaban bagi pertanyaan

tersebut adalah untuk bahan telaah selanjutnya kajian suatu konsepsi komunikasi bagi suatu

oeganisasi tertentu berdasarkan jenis organisasi, sifat organisasi dan lingkup organisasi dengan

memperhitungkan situasi pada saat komunikasi dilancarkan.

2. Budaya Organisasi

Konsep budaya organisasi bisa dikatakan relative baru, yaitu baru berkembang sejak

tahun 1980-an yang dikembangkan oleh para teoritis organisasi. Dalam perspektif komunikasi,

konsep budaya organisasi menekankan pada cara-cara manusia membentuk realitas organisasi,

atau bisa dikatakan suatu cara individu menggunakan cerita, ritual, symbol dan kegiatan lain

untuk menghasilkan pemahaman. Berbeda dengan konsep awal budaya organisasi yang

cenderung perspektif antropologi yang sangat dipengaruhi oleh disiplin budaya itu sendiri.

Menurut John Van Maanen dan Stephen Barley, ada 4 bidang budaya dalam konsep

budaya organisasi. Bidang yang pertama adalah konteks ekologi, dunia fisik termasuk lokasi,

waktu, dan sejarah dan juga konteks social yang didalamnya organisasi berjalan. Bidang budaya

yang kedua terdiri atas jaringan atau interaksi diferensial. Maka setelah itu ada cara yang umum

dalam menafsirkan kejadian atau pemahaman kolektif, yang merupakan isi dari budaya itu

sendiri yang terdiri dari gagasan, cita-cita, nilai dan kegiatan. Dan pada akhirnya, ada kegiatan

atau tindakan individu yang medasari bidang individu tersebut atau individual dominan. 9

8 Stephen W. Litlejohn. 2009. teori komunikasi, edisi: 9 . hlm: 364-365

9 Stephen W. Litlejohn. 2009. teori komunikasi, edisi: 9 . hlm: 382-383

Budaya organisasi menurut Michael Pacanowsky dan Nick O’Donnell adalah sesuatu

yang dihasilkan melalui interaksi sehari-hari dalam organisasi bukan hanya tugas pekerjaan

tetapi semua jenis komunikasi. Dalam konsep budaya organisasi ini, hal yang menghadirkan

realitas budaya adalah penampilan. Penampilan membawa kepentingan atau makna dari

beberapa bentuk yaitu dapat berupa symbol, cerita, metafora, ideology atau hikayat yang dapat

menjadi hidup. 10

Michael Pacanowsky dan Nick O’Donnell juga memberikan sebuah saran yang penting

dalam penampilan organisasi. Yaitu:

a) Ritual, yaitu merupakan sesuatu yang diulangi secara teratur. Ritual ini tidak asing

dan sudah menjadi kebiasaan

b) Hasrat (passion), merupakan kegiatan yang dilakukan karyawan untuk membuat

pekerjaan yang dilakukan secara terus-menerus yang biasanya membosankan menjadi

menarik dan berhasrat.

c) Sosialitas, merupakan penguatan pemahaman umum tentang kesopanan dan

menggunakan aturan social dalam organisasi.

d) Politik organisasi, penampilan ini yang memperkuat dan menciptakan gagasan

tentang kekuasaan dan pengaruh yang dapat mencakup kekuatan pribadi, pererat

persekutuan dan perundingan.

e) Enkulturasi, proses pengajaran budaya pada anggota organisasi.11

Sedangkan menurut Stanley Davis dan teman-teman mendefinisikan budaya perusahaan

merupakan keyakinan dan nilai bersama yang memberikan makna bagi anggota sebuah institusi

dan menjadikan keyakinan dan nilai tersebut sebagai aturan atau pedoman berprilaku didalam

organisasi.12

Smircich dan Calas (1987) menyatakan bahwa budaya dapat diuji sebagai sebuah

variable atau suatu metafora (root metafora). Bila dipandang sebagai suatu variable eksternal,

budaya adalah sesuatu yang dibawa masuk ke dalam organisasi. Bila dibatasi sebagai suatu

variabel internal, penekanannya diletakkan pada wujud-wujud budaya (ritual, kisah dan

10 Ibid. hlm: 383

11 Ibid, hlm: 384-385

12 Achmad Sobirin, “2007. Budaya Organisasi. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.Hlm: 131

sebagainya) yang dikembangkan dalam organisasi. Analisis metafora dasar memandang

organisasi sebagai struktur pengetahuan, pola-pola simbolik bersama, dan refleksi proses-proses

yang tidak disadari.13

Dalam definisi budaya organisasi yang lebih mudah dimengerti bahwasanya budaya

organisasi secara teknis diturunkan dan dirumuskan dari visi misi perusahaan. Diharapkan

dengan terciptanya budaya organisasi, hubungan komunikasi menjadi lebih kondusif dan paling

penting terciptanya etos dan kinerja perusahaan atau organisasi yang mendorong pencapaian

tujuan lebih baik.

Adapun 7 karakteristik budaya organisasi yang dkemukakan oleh Robbins, yaitu:

1. Inovasi dan keberanian mengambil resiko

2. Perhatian terhadap detail

3. Berorientasi pada hasil

4. Berorientasi kepada manusia

5. Berorientasi pada tim

6. Agresitivitas

7. Stabilitas14

Berdasarkan berbagai uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya organisasi

merupakan sistem nilai yang diyakini dan dapat dipelajari, diterapkan dan dikembangkan secara

terus-menerus. Budaya organisasi juga berfungsi sebagai perekat, pemersatu, identitas, citra

brand, pemacu pemicu (motivator), pengembangan yang berbeda dengan organisasi lain yang

dapat dipelajari dan diwariskan kepada generasi berikutnya, dan dapat dijadikan acuan perilaku

manusia dalam organisasi yang berorientasi pada pencapaian tujuan atau hasil/ target yang

ditetapkan.

Seperti halnya konsep budaya organisasi diatas, berawal dari visi misi yang fokus ke

karyawan dan kekeluargaan, dengan tuntutan kerja harus profesional dan juga sistem

pengambilan keputusan yang dilimpahkan masing-masing divisi sesuai kerjanya, tak elak

menimbulkan masalah internal antar karyawan tersendiri.

Kekuatan Budaya Organisasi

13 R Wayne Pace dan Don F. Faules. 2010. komunikasi Organisasi. hlm. 91.

14 Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi.

Perusahaan besar bisa bertahan tentu saja memiliki budaya perusahaan yang kuat.

Kekuatan budaya dapat menghasilkan kinerja yang baik pula, oleh sebab itu budaya tetap harus

dipertahankan dan dikembangkan. Gareth R Jones berpendapat bahwa budaya organisasi adalah

suatu bentuk acuan interaksi para anggota organisasi dan bentuk acuan interaksi pihak luar.

Bentuk acuan ini berupa nilai, norma-norma dan aturan-aturan sebagai dasar para anggota

berpikir dan berprilaku.15

Budaya perusahaan merupakan ideology bagi semua orang yang hidup dalam suatu

perusahaan, yang harus diyakini dan dilaksanakan sebagai pedoman hidup. Budaya menentukan

struktur organisasi, strategi, kebijakan dan program kerja. Selanjutnya menentukan budget,

pelaksanaan, evaluasi, kontrol, dan umpan balik untuk penyempurnaan visi, misi dan strategi

perusahaan.

Budaya mengandung 2 unsur penting yaitu nilai dan pola perilaku. Budaya sebagai nilai

dijadikan acuan berprilaku yang bersifat tidak nampak (unvisible), yang merupakan sesuatu yang

sulit diubah walaupun kondisi riil kehidupan social telah berubah. Sedangkan budaya sebagai

pola perilaku bersifat Nampak (visible), yang merupakan sesuatu yang mudah diubah dan

disesuaikan dengan perubahan kehidupan riil masyarakat.

Budaya perusahaan sebagai nilai artinya bahwa perusahaan itu menilai kinerja diukur

dengan satuan uang, teknologi tinggi atau dari sudut kesejahteraan karyawan. Sedangkan budaya

perusahaan sebagai pola perilaku, artinya bahwa kinerja perusahaan itu dilihat dari sudut

perilaku karyawan yang bekerja keras, atau dilihat dari sudut kemampuan pegawai baru

menyesuaikan dengan pegawai lama atau dilihat dari sudurt persahabatan antara pegawai lama

dan baru.

Secara ideal perusahaan yang memiliki budaya kuat yang dapat menciptakan kinerja yang

bagus ditandai bahwa perusahaan itu memiliki beberapa bagian, yaitu:

1. Tujuan yang jelas

2. Karyawan yang memiliki motivasi tinggi, loyal, kerja keras, perasaan senang bekerja

di perusahaan tersebut.

3. Struktur dan kontrol yang luwes

15 Darsono P. 2006. Budaya Organisasi: kajian tentang organisasi, media, budaya, ekonomi, social dan politik.

Hlm:170

4. Karyawan yang memiliki kesadaran tinggi tentang kelangsungan hidup perusahaan.16

Perusahaan yang memiliki budaya yang kuat tercermin dari tindakan manajemen dalam

berkomunikasi dengan karyawan secara non-formal, saling pengertian dan memberikan

pendidikan tentang filsafat manajemen, mengadakan ritual pada saat memberikan jasa produksi

dan lain-lain, tindakan yang tujuannya memberi dorongan kepada karyawan untuk bekerja keras

dan lebih produktif. Hal-hal tersebut berhubungan langsung dengan tingkat kinerja pegawai dan

penguatan nilai organisasi yang tersimpan dalam benak karyawan.

3. Nilai Organisasi

Kata nilai (value) berasal dari bahasa latin “valere” yang berarti “berharga” (case dalam

Maerhofer dkk., 2002). Nilai merupakan pola perhatian dalam hidup baik secara individu

maupun kelompok, masing-masing individu atau kelompok mempunyai nilai yang berbeda. Nilai

juga banyak didasarkan pada kegunaan sesuatu dengan pertimbangan banyak kognitif bukan

melalui pertimbangan afeksi, nilai juga memiliki sifat eksplisit dan implicit. Nilai dalam sebuah

organisasi berkaitan erat dengan penciptaan budaya suatu organisasi, yang artinya konsep nilai

organisasi menyangkut ideology seseorang dalam hal ini ideology seorang pemimpin atau

pendiri organisasi.

Menurut Smith dan Schwartz (1997), nilai-nilai sebagai keyakinan yang mengacu pada

tujuan yang diinginkan, melampaui tindakan atau situasi tertentu, berfungsi sebagai standar

untuk memandu pemilihan atau evaluasi perilaku, orang atau peristiwa dan diperintahkan oleh

kepentingan relative untuk satu sama lain. 17

Sedangkan menurut pendapat Robbins dan Judge, nilai menunjukkan alasan dasar bahwa

cara pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu lebih disukai secara pribadi atau social

dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai memuat elemen-

elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seorang individu mengenai hal-hal yang baik,

benar atau diinginkan. Nilai memiliki sifat isi dan intensitas. Sifat isi menyampaikan bahwa cara

16 Darsono P. 2006. Budaya Organisasi: kajian tentang organisasi, media, budaya, ekonomi, social dan politik. Hlm:

171-175

17 Dikutip dari: http://teorionline.net pada tanggal 27 juni 2013

pelaksanaan atau keadaan akhir dari kehidupan adalah penting, sedangkan sifat intensitas

menjelaskan betapa pentingnya hal tersebut.18

Dalam penelitian Milton Rokeach yang berjudul Rokeach Value Survey ditemukan ada

beberapa aspek dari nilai, yaitu:

1. Nilai meliputi kognisi yang mana tentang apa yang diinginkan, menjelaskan

pengetahuan, opini dan pemikiran individu tentang apa yang diinginkan.

2. Nilai meliputi afektif, di mana individu atau kelompok memiliki emosi terhadap

apa yang diinginkan, sehingga nilai menjelaskan perasaan individu atau kelompok

terhadap apa yang diinginkannya itu.

3. Nilai memiliki komponen tingkah laku, yaitu merupakan variabel yang

berpengaruh dalam mengarahkan tingkah laku yang ditampilkan.19

Nilai menunjukkan alasan dasar bahwa cara pelaksanaan atau keadaan tertentu lebih

disukai secara pribadi atau social dibandingkan keadaan akhir yang berlawanan. Nilai memuat

elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seeorang individu mengenai hal-hal yang benar,

baik, dan diinginkan. .

Dalam penelitian ini, merujuk pada kerangka berpikir diatas yaitu muncul 2 level penting

secara internal dan eksternal yang menginspirasi praktek-praktek organisasi. Kedua level

tersebut didasarkan pada teori organisasi, budaya organisasi dan nilai organisasi yang dipadukan

dengan masalah yang ada di café The House of Raminten.

4. Praktek-praktek Organisasi

Dalam teori-teori besar yang digunakan di penelitian ini yaitu teori organisasi, budaya

organisasi dan nilai organisasi, menginpirasi munculnya praktek-praktek organisasi baik secara

internal dan eksternal. Praktek-praktek organisasi yang muncul tersebut berasal dari hasil

interaksi social yang terjadi di dalam organisasi baik itu dalam level internal maupun eksternal

organisasi. Level eksternal yang dimaksud adalah segala interaksi yang terjadi antara internal

dengan lingkungan luar tetapi masih di dalam lingkup organisasi.

Marshal Scoot Poole juga berargumen tentang praktek organisasi dalam teori iklimnya,

bahwasanya praktek organisasi selain memiliki tujuan, juga mengandung nilai social karena

18 Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge. 2008. “Perilaku Organisasi”. Hlm: 146

19 Ibid. hlm: 148-152

dimaknai oleh karyawan dalam hubungan kerja. Arti dari argument dari Poole adalah tentang

hubungannya dengan komunikasi itu sendiri, dimana kegiatan antar manusia yang paling asasi

dan menimbulkan pengaruh pada kegiatan-kegiatan di lingkungan kerja. Karena tentu saja kita

tahu bahwa komunikasi adalah pertukaran informasi dan penyampaian makna, yang mana hal

tersebut adalah esensi dalam setiap sistem social atau organisasi.20

Seperti yang sudah dijelaskan, berikut adalah level penting dari praktek-praktek

organisasi yang berhubungan langsung dengan masalah yang diteliti.

a. Internal

Dalam level internal ini akan membahas tentang 2 hal penting yang ada didalam suatu

organisasi yaitu kebijakan perusahaan dan karyawan itu sendiri. Yang mana level internal ini

berada pada level pertengahan (meso), yang mana akan membahas praktek-praktek organisasi

yang berhubungan dengan laju produksi perusahaan.

1. Kebijakan Perusahaan

Level kebijakan organisasi adalah level yang memang sangat penting juga

sensitive bagi semua organisasi terutama organisasi atau perusahaan yang berbasis profit.

Karena dengan melihat pola komunikasi dari setiap bisnis akan selalu menimbulkan

berbagai masalah baik di dalam maupun diluar organisasi.

Kebijakan perusahaan atau sama halnya dengan organization policy ialah

kebijakan-kebijakan yang diambil organisasi sebagai bagian dari pelaksanaan strategi.

Organisasi memutuskan, memberikan dukungan dan memberikan prioritas-prioritas yang

harus diutamakan dalam rangka berjalannya strategi. Kebijakan dilahirkan dengan

panduan nilai-nilai dan semangat untuk mengembangkan nilai.

Tentu saja kebijakan perusahaan bersifat profit minded, karena memang tujuan

utama sebuah perusahaan adalah keuntungan. Tetapi setiap perusahaan berbeda-beda

melihat profit yang akan dicapai. Menurut Wiryanto kebijakan merupakan bagian dari

komunikasi organisasi yang mana disetujui organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi

20 Marshal Scoot Poole. “Communication and organizationalclimate”. (1985). Hlm: 80

kepentingan organisasi, yang isinya berupa cara kerja didalam organisasi, produktivitas,

dan berbagai pekerjaan yang harus dilakukan dalam organisasi.21

Kebijakan perusahaan ini berkaitan dengan komunikasi efektif antara atasan dan

bawahan, dimana penyampaian aturan secara formal bisa masuk ke dalam benak

karyawan dan menjalankannya. Seperti pendapat Jefkins bahwa komunikasi karyawan

yang efektif tergantung dari hubungan karyawan yang memuaskan yang dibangun

berdasarkan iklim dan kepercayaan atau suasana perusahaan yang positif.22

2. Karyawan

Dalam level karyawan ini merupakan level penting dalam perusahaan karena

membahas tentang perilaku, interaksi atau apa yang diinginkan karyawan terhadap

perusahaan dan pasti akan langsung berhubungan dengan kinerja karyawan yang

berhubungan langsung dengan laju produksi perusahaan.

Menurut Alvie Smith, mantan direktur komunikasi korporat (General Motors)

ada dua factor yang mempengaruhi komunikasi internal dengan karyawan yaitu:

a. Manfaat dari pemahaman, teamwork dan komitmen karyawan mencapai hasil yang

diinginkan. Aspek positif dari perilaku karyawan ini sangat dipengaruhi oleh

komukasi interaktif yang efektif di seluruh organisasi.

b. Kebutuhan untuk membangun jaringan komunikasi manajer yang kuat, yang

membuat setiap supervisor disemua level dapat melakukan komunikasi yang efektif

dengan karyawan. Kebutuhan ini lebih dari sekedar menciptakan informasi yang

berhubungan dengan pekerjaan tetapi harus membuat informasi bisnis dan isu public

yang mempengaruhi organisasi secara keseluruhan.23

Dalam level karyawan ini menitikberatkan pada penumbuhan nilai organisasi,

yang secara emosional atau afeksi dilakukan oleh pihak pimpinan dan manajemen

terhadap karyawan. Penumbuhan nilai organisasi yang ditujukan pada karyawan, akan

sangat berhubungan dengan budaya organisasi yang merupakan sarana komunikasi dalam

proses penanaman nilai organisasi ke karyawan.

21 Khomasahrial Romli. “komunikasi organisasi”. 2011. Hlm: 2

22 Frank Jefkins. “Publik Relation. Alih bahasa: Haris Munandar ”1995. Hlm: 172

23 Scott M Cutlip, Allen H Center, Glen M Brom. “Effective PR”edisi:9. 2002. Hlm: 254

Dalam penumbuhan nilai didalam perusahaan, pada dasarnnya karyawan hanya

memiliki satu dasar yang harus ditetapkan oleh dirinya sendiri tentu saja yang berkaitan

dengan perusahaan tempat karyawan bekerja yaitu komitmen karyawan.

Menurut Robbins komitmen adalah suatu tingkatan di mana seseorang

mengidentifikasikan diri dengan organisasi dan tujuan-tujuannya dan berkeinginan untuk

memelihara keanggotaanya dalam organisasi. Bisa dikatakan bahwa komitmen lebih dari

sekedar menjadi anggota saja, tetapi lebih dari itu orang akan bersedia untuk

mengusahakan pada derajat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi

memperlancar mencapai tujuan organisasi.24

Menurut Martin dan Nicholls (dalam Amstrong, 1991) menyatakan ada 3 pilar

untuk membentuk komitmen seseorang terhadap organisasi, yaitu:

a. Menciptakan rasa kepemilikan terhadap organisasi, untuk menciptakan kondisi ini

orang harus mengidentifikasi dirinya dalam organisasi, untuk mempercayai bahwa

ada guna dan manfaat bekerja di organisasi, untuk merasakan kenyamanan di

dalamnya, untuk mendukung nilai-nilai, visi dan misi organisai dalam mencapai

tujuannya.

b. Menciptakan semangat dalam bekerja, cara ini dapat dilakukan dengan lebih

mengkonsentrasikan pada pengelolaan factor-faktor motivasi intrinsic dan

menggunakan berbagai cara perancangan pekerjaan.

c. Keyakinan dalam manajemen, cara ini mampu dilakukan manakala organisasi benar-

benar telah menunjukkan dan mempertahankan kesuksesan.25

Maka muncul logika hubungan penumbuhan nilai organisasi dengan komitmen,

loyalitas dan motivasi karyawan yang saling berkesinambungan secara emosional.

Keyakinan tentang pentingnya komitmen dalam kaitannya dengan nilai organisasi tampak

sekali terasa melihat kinerja karyawan dan efek yang timbul dari benak pelanggan atau

konsumen. Komitmen yang kuat akan mendorong rasa loyalitas yang tinggi pula bagi

karyawan terhadap perusahaan, hal tersebut juga langkah mudah untuk menumbuhkan

nilai organisasi dibenak karyawan. Sedangkan dorongan yang kuat dari karyawan

24 Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge. 2008. “Perilaku Organisasi”. Hlm: 152

25 Michael Amstrong. 1991. Persona Management Practice.London. Hlm: 107

terhadap perusahaan yang sering kita sebut dengan motivasi terletak pada hasil interaksi

dari lingkungan kerja yang sangat berhubungan langsung dengan budaya yang terjadi

pada lingkup internal perusahaan.

b. Eksternal

Dalam level eksternal akan membahas tentang 2 hal pendukung yang tak kalah

pentingnya dibandingkan dengan level internal, yaitu customer dan masyarakat. Yang mana level

internal ini berada pada level yang paling mikro dan makro, yang mana akan membahas praktek-

praktek organisasi yang berhubungan dengan tanggung Jawab perusahaan dalam menjalankan

bisnisnya.

1. Customer

Pada level customer akan membahas tentang bagaimana perusahaan memberikan

pelayanan kepada konsumen. Dimana dapat mengantisipasi kebutuhan pelanggan baik

internal maupun eksternal, mengambil tindakan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan,

dan secara terus-menerus mencari cara untuk meningkatkan kepasan pelanggan atau

konsumen.26

Dalam hal ini, fokus pelanggan berada di internal perusahaan yang terdiri dari (1)

organisasi (2) komunikasi dan (3) informasi. kemudian Kotler dan Amstrong

menjelaskan tiap factor tersebut, bahwa fokus pelanggan yang jika diuraikan dalam suatu

organisasi, yaitu:

a) Bagaimana manajemen berkomitmen terhadap pelanggan, dan penyediaan

sumber daya manusia yang mempunyai keterampilan dan pengalaman

untuk menangani pelanggan.

b) Komunikasi interaktif yang dilakukan perusahaan (organisasi) dengan

pelanggannya

c) Informasi yang diperoleh dari pelanggan dikelola dengan baik, serta

dimanfaatkan secara optimal27

Dalam factor-faktor tersebut yang menyangkut fokus pelanggan, turut membantu

perusahaan memperbaiki kinerja karyawan juga. Memang pada dasarnya, fokus

26 Yussy Santoso, “Organization Design and Job Analysis” 2013. Hlm: 119

27 Kotler Philip, “Manajemen Pemasaran” 2002. Hlm: 17

pelanggan ini lebih condong ke internal perusahaan, karena menyangkut komunikasi

yang baik antara pelanggan dengan karyawan secara langsung. Interaksi yang baik antara

karyawan dan pelanggan akan meningkatkan loyalitas pelanggan terhadap perusahaan.

Ada beberapa cara jika ditinjau dari banyak buku tentang manajemen pemasaran

terhadap pelanggan. Yang terpenting adalag pihak internal khususnya karyawan dapat

mengenali dan memberikan pemenuhan kebutuhan pelanggan baik secara internal

maupun eksternal. Eksternal disini yang dimaksud sangat berhubungan erat loyalitas dan

citra yang melekat di benak pelanggan atau konsumen.

Barney berpendapat bahwa sumber daya yang ada dalam perusahaan ada yang

bersifat tangible, sementara yang lainnya bersifat intangible. Aspek fisik adalah asset-

asset yang berupa financial resources, organizational resources, physical resources dan

technological resources. Sedangkan intangible asset berbentuk human resources,

innovation resources dan reputational resources. 28

Konsep tangible asset dalam perusahaan lebih banyak pada fasilitas fisik, petugas,

sarana komunikasi, dekorasi, kostum karyawan, kenyamanan ruang, interior, menu yang

disajikan, produk yang di produksi serta lokasi yang strategi dan dijangkau masyarakat

atau calon pelanggan. Sedangkan konsep intangible resources di klasifikasikan sebagai

asset atau kompetensi resources meliputi ritual karyawan, mitos perusahaan, sikap dalam

melayani, kemampuan mengatasi complain pelanggan, reputasi perusahaan, dan

pengetahuan karyawan terhadap produknya. Konsep tersebut bisa diaplikasikan ke dalam

konsep café The House of Raminten, dimana sangat menonjolkan pelayanan dari segi

fisik dan non fisik yang sangat memperhatikan kualitas pelayanan, karena kualitas

pelayanan berbanding lurus dengan kepuasan pelanggan.

2. Masyarakat

Level masyarakat merupakan level yang memang sangat penting dan juga

sensitive bagi semua organisasi terutama organisasi atau perusahaan yang berbasis profit.

Karena dengan melihat pola komunikasi dari setiap bisnis selalu menimbulkan berbagai

masalah di dalam maupun diluar organisasi, pada level ini akan membahas tentang

organisasi hubungannya dengan eksternal yang didasarkan pada kebijakan perusahaan.

28 Barney, Jay. 1991, “Firm Resources and Sustained Competitive Advantege” Journal of management, Vol.17, No.1

Level ini sangat berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dengan masyarakat, baik

itu yang bersifat komersil maupun sosial. Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan

masyarakat juga termasuk kebijakan perusahaan, apakah kegiatan tersebut akan

menunjang kepercayaan dan loyalitas konsumen atau tidak. Biasanya isu-isu tentang

kegiatan ke masyarakat disorot tajam oleh media, itu yang membuat banyak perusahaan

berlomba-lomba untuk melakukan kegiatan baik secara komersil maupun social.

Dalam level ini muncul komponen penting yang mencakup perihal masyarakat

luas, yaitu kebijakan-kebijakan yang diambil organisasi sebagai bagian dari pelaksanaan

strategi. Organisasi memutuskan, memberikan dukungan dan memberikan prioritas-

prioritas yang harus diutamakan dalam rangka berjalannya strategi. Kebijakan dilahirkan

dengan panduan nilai-nilai dan semangat untuk mengembangkan nilai.

Selain kebijakan yang berhubungan langsung dengan masyarakat ada satu hal lagi

yang sangat berkaitan erat dengan masyarakat yaitu etika perusahaan. Perusahaan yang

beretika harus mampu berpikir rasional terhadap lingkungannya baik lingkungan alam

maupun lingkungan sosial. Dalam penelitian ini akan menyangkut pautkan perusahaan

dengan tanggung Jawab sosial, baik itu melalui sosial itu sendiri maupun komersil.

Dr. Darsono P, SE, SF, MA, MM dalam bukunya “budaya organisasi”

mengatakan bahwa ada beberapa pengoperasian perusahaan yang harus dilakukan secara

rasional terhadap unsur-unsur masyarakat, antara lain:

a. Pelanggan, kepuasan melalui harga wajar, kualitas baik, dan pelayanan baik

barang dan jasa yang diperoleh.

b. Sosial,menjaga kelestarian lingkungan fisik, seperti pencemaran udara dan air,

menjaga lingkungan adat-istiadat, tidak merusak cara berpikir, pranata sosial

dan lembaga sosial. 29

Dalam perusahaan yang dipertaruhkan tidak hanya nilai material saja, melainkan

juga nilai mausiawi karena berkaitan dengan masyarakat. dalam hal ini, secara praktek

akan sangat berkaitan langsung dengan reputasi maupun citra perusahaan di mata

masyarakat luas, untuk itu memag perlu adanya kegiatan-kegiatan sosal untuk

mendukung kegiatan secara keseluruhan yang dijalakan perusahaan sehari-hari.

29 Darsono P. 2005. Budaya organisasi: kajian tentag organisasi, media, budaya, ekonomi, sosial da politik. Hlm:

290

Secara logis praktek-praktek orgaisasi baik internal maupun eksternal dalam

kerangka pemikiran tersebut akan diaplikasikan ke dalam konsep cafe The House of

Raminten.

F. MODEL PENELITIAN

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dihasilkan model penelitian yang

menjelaskan proses implementasi nilai budaya organisasi, sedangkan budaya organisasi adalah

rujukan dari nilai-nilai organisasi yang menjadi permasalahan inti, yang dibagi lagi kedalam 2

level yaitu: mezzo dan mikro, yang mana mezzo merupakan organisasi atau perusahaannya

sedangkan mikro adalah individu-individu didalamnya. Adapun model penelitiannya sebagai

berikut:

Gambar 1.1. Model Penelitian “Nilai Budaya Jawa Dalam Praktek-Praktek Organisasi”

G. KERANGKA KONSEP

Kebijakan Perusahaan

Karyawan

Customer

Masyarakat

Implementasi

Nilai Budaya

Jawa Organisasi

internal

eksternal

Pada bagian ini, akan menjelaskan konsep-konsep yang digunakan ke dalam objek

penelitian. Konsep-konsep tersebut akan menjelaskan permasalahan proses implementasi nilai

budaya Jawa dalam organisasi café The House of Raminten. Adapun kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah

Tabel 1.1. Kerangka Konsep “Nilai Budaya Jawa Dalam Praktek-Praktek Organisasi”

Variable Penjelasan

Nilai budaya

Jawa pada café

The House of

Raminten

Melalui variabel ini peneliti mengetahi sebab musabab café The House of

Raminten adalah perusahaan profit yang berkonsep Jawa Keraton

Yogyakarta sebagai nilai budaya organisasi.

Nilai Budaya

Jawa

Melalui variable ini dapat mengetahui bahwa bagaimana nilai budaya

pada praktek-praktek organisasi dalam konsep Jawa Keraton Yogyakarta

dengan simbol sosok Raminten.

Praktek-praktek

organisasi

Variable ini mengungkapkan bagaimana praktek-praktek nilai budaya

Jawa organisasi yang terjadi selama proses pendalaman nilai budaya

organisasi, yang akan dijelaskan dalam 4 level yaitu lebel kebijakan

persahaan, karyawan, customer, dan masyarakat.

H. METODOLOGI

1. Metode Penelitian

Suatu karya ilmiah tentunya memerlukan metode yang tepat dan relevan dengan pokok

permasalahan serta sesuai dengan tujuan. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan

secara kualitatif deskriptif yang tidak menggunakan hipotesis, melalui penelitian ini akan

berusaha untuk mendeskripsikan dan memahami fenomena sosial secara tepat dan mendalam

tentang nilai budaya Jawa dalam praktek-praktek organisasi di cafe The House of Raminten.

Dalam lingkup pengetahuan tentang fenomena realitas sosial sudah sering diteliti, tetapi

di sini terdapat keunikan dengan segala pola-pola komunikasi yang terjadi pada internal

perusahaan serta penumbuhan nilai organisasi café The House of Raminten. Didalam penelitian

ini terdapat 2 level yaitu internal dan eksternal yang saling berhubungan yang masih dipecah

untuk dapat lebih detail dan mendalam. Dalam implementasi nilai budaya dalam praktek-praktek

organisasi café The House of Raminten ini, telah menimbulkan suatu masalah yang ditonjolkan

yaitu tentang implementasi nilai budaya Jawa dalam praktek-praktek organisasi yang dilakukan

perusahaan terhadap karyawanya.

Penelitian ini menggunakan paradigma kontrukvisme, yang mana merupakan suatu

bentuk besar yang membawahi unsur-unsur dalam penelitian. Paradigma konstruktivisme adalah

paradigma yang berdasarkan pada pengkonstruksian terhadap suatu realitas. Dengan ketentuan

studi kasus tersebut, maka fenomena ini akan di analisis secara mendalam yang berasal dari

informan atau narasumber dengan perspektif manajemen komunikasi.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di kantor café The House of Raminten, jln. Farida RM no.7

Kotabaru, Gondosuman, Yogyakarta.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga cara sesuai dengan jangkauan

penelitian yang hendak dicapai dan relevansinya dengan rumusan masalah. Yaitu studi dokumen,

wawancara mendalam dan observasi langsung merupakan pilihan untuk menjadi teknik

pengumpulan data dalam membedah studi kasus nilai organisasi pada café The House of

Raminten. Penjelasan dari masing-masing teknik akan dijelaskan sebagai berikut:

a) wawancara mendalam (in-depth interview), cara mengumpulkan informasi melalui

tatap muka secara langsung kepada informan yang kompeten, sehingga mendapat

keterangan yang mendalam mengenai kasus atau objek yang diteliti.30. Data informasi

yang dimaksud dapat berupa penjelasan, perasaan atau pengetahuan lengkap yang

30 Rachmat Kriyantono. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media, halaman 100.

dimiliki informan mengenai internal perusahaan café The House of Raminten. Dalam

penelitian ini, hasil wawancara mendalam kepada pihak manajemen menjadi data

primer, yang kemudian dianalisis berdasarkan perspektif komunikasi organisasi.

b) Studi dokumen atau arsip-arsip penting, pengumpulan data informasi penelitian

melalui sumber-sumber hasil laporan, jurnal, buku, foto, internet dan dokumen-

dokumen penting lainnya yang dapat dijadikan sebagai sumber data.

c) Observasi, menyaratkan pencatatan dan perekaman sistematis mengenal sebuah

peristiwa, artefak-artefak, dan perilaku-perilaku informan yang terjadi dalam situasi

tertentu, bukan seperti yang belakangan mereka ingat, diceritakan kembali, dan

digeneralisasikan oleh partisipan itu sendiri. Metode-metode observasi jarang

digunakan sendiri, tapi sering dikaitkan dengan wawancara.31 Didalam penelitian ini,

akan melakukan observasi di café The House of Raminten pada saat jam operasional,

pengamatan ini akan membantu peneliti dalam mendeskripsikan situasi yang terjadi

di lapangan, sehingga sebenarnya implementasi dari nilai perusahaan apakah sudah

kuat atau belom

4. Penentuan Informan

Wawancara dari para informan untuk memperoleh pernyataan yang sifatnya terbuka

untuk mengetahui keaslian-keaslian yang terjadi di internal café The House of Raminten.

Keaslian data wawancara yang dilakukan pada pihak management, karyawan dan beberapa

konsumen di café The House of Raminten dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kondisi yang

nyata dilapangan. Adapun pihak-pihak yang akan diwawancarai antara lain:

a) Pemilik atau pendiri café The House of Raminten, diharapkan memberikan informasi

tentang kebijakan perusahaan dan nilai organisasi serta tujuan yang ingin dicapai

untuk karyawannya.

b) Manager café The House of Raminten, untuk membantu memberikan informasi

tentang management kepegawaian, prosedur karyawan dan pengalaman-pengalaman

yang terjadi dilapangan.

c) Karyawan café The House of Raminten, diharapkan lebih mendalam mengetahui

bagaimana yang sebenarnya ada dibenak karyawan serta pengalaman-pengalaman

yang terjadi pada saat bekerja.

31 Daymon and Holloway. Loc. cit.

d) Konsumen (customer) café The House of Raminten, membantu mendukung data-data

seperti kepuasan konsumen, loyalitas konsumen, pengalaman yang terjadi pada saat

di café dan pendapat tentang mitos yang terjadi.

Untuk pemilihan informan bukan sebagai perwakilan saja, tetapi disesuaikan dengan

realitas dan yang terjadi dilapangan.

5. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan

dengan memahami dan merangkai data yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis,

kemudian ditarik kesimpulan. Kesimpulan yang diambil dengan menggunakan cara berpikir

Induktif. Hal ini sesuai dengan apa yang akan diteliti, yaitu tentang penguatan nilai dalam

praktek organisasi pada cafe The House of Raminten, berdasarkan dengan teori-teori komunikasi

yang bertujuan dan mengarahkan pada direalisasikannya nilai organisasi yang dimaksud oleh

pendiri dengan berbagai budaya dan strategi yang digunakan.

6. Limitasi Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, limitasi atau pembatasan penelitian masalah

pada penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan praktek-praktek organisasi yang terjadi di café

The House of Raminten nilai budaya jawa organisasi.