Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan.
Berbagai bangsa dan suku ada di Indonesia, sehingga terdapat
beraneka ragam jenis karya seni yang dihasilkan. Salah satunya adalah
ornamen atau ragam hias. Menurut Gustami (2008) ornamen adalah
komponen produk seni yang ditambahkan atau sengaja dibuat untuk
tujuan sebagai hiasan.1 Sunaryo (2009) ornamen Nusantara- menunjuk
pada berbagai bentuk ornamen yang tersebar di berbagai wilayah
tanah air-pada umumnya bersifat tradisional, yang pada setiap daerah
memiliki kekhasan dan keberagaman masing-masing.2
Ornamen nusantara memiliki ciri-ciri kedaerahan sesuai dengan
cita rasa masyarakat setempat. Ornamen nusantara merupakan
keragaman dan kekayaan, ungkapan budaya Indonesia yang terdiri
atas beribu-ribu pulau dan berpuluh-puluh suku bangsa dengan
ratusan bahasa daerah. Disamping terdapat perbedaan-perbedaan
bentuk ornamen yang juga terdapat persamaan-persamaannya,
misalnya tentang pola susunannya warna-warnanya, bahkan mungkin
pada nilai estetis dan makna simbolisnya yang disesuaikan dengan
karakteristik masing-masing daerah.
Seni ornamen memiliki fungsi menghiasi suatu benda atau
barang, agar barang atau benda itu menjadi lebih berharga, indah dan
bermakna, secara garis besar, dapat dimaknai bahwa ornamen
memberikan tujuan yang erat kaitannya dengan estetika dalam
kehidupan manusia. Estetik adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan keindahan, keindahan dalam kajian ini tidak terpaku pada satu
unsur yang secara wujud, melainkan isi yang ada dalam wujud
keindahan juga memiliki peranan (Kattsoff, 1986:381). Pada dasarnya
esensi seni pada ornamen lebih mengutamakan keindahan karena
merupakan dasar dari hadirnya budaya ornamen dan sebagai jawaban
1 Gustami. Nukilan Seni Ornamen Indonesia. (Yogyakarta: Institut Seni
Indonesia, 2008), h.4 2 Sunaryo,Ornamen Nusantara : Kajian Khusus tentang Ornamen Indonesia
(Semarang : Dahara Press, 2009), h. 4
1
atas kebutuhan manusia menghadirkan nilai-nilai keindahan atau
estetika.
Menurut Soegeng (1987) pada dasarnya sejak semula bangsa
Indonesia lebih memiliki bakat dalam bidang seni hias daripada seni
bangunan, berbagai hiasan hadir di tengah-tengah kehidupan
masyarakat sebagai salah satu ungkapan perasaan dalam bentuk
visual. Proses penciptaan tidak dapat dipisahkan dari pengaruh
lingkungan, dimaksudkan sebagai pelengkap dari rasa estetika. akan
tetapi pada kenyataannya bentuk hiasan ada juga bermakna. Simbolis
yang berlaku secara konvensional di komunitas pendukung.3
Berbicara tentang ornamen masjid, sebagai tempat ibadah umat
muslim, salah satu tujuan penerapan ornament dalam masjid adalah
untuk menampilkan nilai keindahan bentuknya. Bentuk tidak lepas
dari motif, ornamen dirancang untuk tujuan menampilkan benda agar
terlihat lebih indah . Hal ini sesuai dengan konsep dasar yang terdapat
pada ornamen yang bertujuan mewujudkan rasa keindahan.
Keterkaitan yang sangat erat antara ornamen dengan benda yang
dihiasi merupakan satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan.Keberadaan ornamen dimasjid-masjid tua merupakan
bagian yang penting diperhatikan karena menjadi bagian dari sejarah
terwujudnya kebudayaan Melayu dan luar juga disesuaikan dengan
karakteristik masjid itu.
Arsitektur bangunan masjid di Indonesia mempunyai ciri khas
antara lain atap berbentuk “limas” dan bersusun, ada yang tidak
memakai kubah (seperti masjid-masjid tua di Jawa), ada pula yang
memakai kubah seperti masjid-masjid kuno di Sumatera. 4 Dengan
kata lain, masjid-masjid tua yang ada di Nusantara memiliki keunikan
masing-masing, baik dari segi motif, maupun bentuk, sesuai dengan
sejarah maupun budaya masyarakat setempat.
Komponen bangunan masjid di Indonesia ada yang dipengaruhi
seni bangunan Hindu-Jawa, seperti masjid Agung Demak, masjid
Agung Banten, masjid Agung Cirebon, dan masjid Agung
3Soegeng M. Toekio, Mengenal Ragam Hias Indonesia, (Bandung : Angkasa,
1987), h.9 4Panitia Renovasi Masjid Agung Palembang, 261 Tahun Masjid Agung dan
Perkembangan Islam di Sumsel (Pemrov Sumsel, 2001), h.16
2
Djogjakarta. Ada pula yang dipengaruhi oleh bentuk bangunan gaya
Timur Tengah, Persia, India dan Eropa.5
Salah satu masjid bersejarah dan tertua yang ada di kota
Palembang adalah Masjid Agung Palembang sekarang berubah nama
menjadi masjid Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo terletak di
Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir BaratKota Palembang. Masjid ini
dibangun pada masa Kesultanan Palembang Darussalam. Masjid ini
merupakan karya seni peninggalan masa lalu yang memperlihatkan
seni arsitektur lama yang mendapat pengaruh dari budaya luar, seperti
Cina, Eropa, dan Arab.
Menurut Abdul Baqir (1999), salah satu keunikan dari masjid
Agung Palembang adalah arsitekturnya yang merupakan perpaduan
dari tiga kebudayaan, yaitu kebudaayaan Cina, Arab, dan Melayu.
Seni bangunan masjid Agung yang berbentuk tangga, mirip dengan
kelenteng yang mewakili budaya Cina. Bentuk segi delapan pada tiang-
tiang masjid merupakan unsur dari kebudayaan Melayu, sedangkan
mihrab yang diapit dua karya seni kaligrafi dan sebuah mimbar yang
mirip mimbar Nabi di Madinah al-Munawwarah merupakan bagian dari
seni budaya Arab.6
Pengaruh arsitektur Cina sebagai contoh bahwa bentuk jurai
yang melengkung ke atas pada keempat ujung atap pada mustaka
masjid Agung Palembang tampak seperti bangunan arsitektur Cina.
Hal ini karena pekerja bangunan ini banyak orang Cina. Menurut
Bangun P. Lubis, dkk (2003) bentuk atap masjid Agung Palembang
menunjukkan kesamaan dengan masjid di Hua Nan Cina.7 Pengaruh
arsitektur Eropa dapat dilihat pada pemakaian ornament kaca patri
pada beberapa bagian bangunan, antara lain pada daun jendela ruang
utama dan pada beberapa lainnya di gedung tambahan, seperti yang
kita ketahui bahwa ornamen kaca patri ini merupakan salah satu ciri
khas arsitektur Eropa (Ahmad Sunjayadi, 2007:56). Ornamen yang
dipakai pada bangunan masjid memakai corak gambar kaligrafi atau
ukiran bunga. Pada sisi lain pemakaian tiang-tiang yang mengapit
5 Panitia Renovasi Masjid Agung Palembang, 261 Tahun Masjid Agung dan
Perkembangan. .. 2001, h.17 6Abdul Baqir Zein, Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, ( Jakarta : Gema
Insani, 1999), h. 87-88 7 Bangun P. Lubis dkk, Masjid Agung Palembang, (Pemprov Sumatera
Selatan,2003), h.22
3
pintu-pintu yang berbentuk huruf ∩ pada masjid Agung Palembang
juga merupakan gaya arsitektur Eropa.
Pengaruh arsitektur Melayu, terlihat pada mimbar Masjid
Agung Palembang berupa motif ukiran khas Palembang yang dipadu
dengan motif-motif tumbuh-tumbuhan seperti bunga matahari dan
daun pakis dengan warna khas Palembang, yaitu prada emas sehingga
tampak indah dari segi bentuk dan corak. Mariati S. Saragih dkk
(1996) selain motifnya yang bercorak tumbuh-tumbuhan, hal lain yang
membedakan ukiran Palembang dengan ukiran lainnya, adalah
penggunaan warnanya yang khas. Warna ukiran yang menjadi ciri
khas Palembang adalah warna emas (prada) yang dilapisi dengan
polesan cairan pernis sehingga membuat warna emas ini semakin
mengkilat. Selain itu ada juga beberapa warna lain yang menjadi
pelengkap yaitu warna merah kesuma, merah darah dan hitam.
Adapun media kayu yang biasa dipakai untuk membuat ukiran khas
Palembang ini biasanya dikerjakan pada kayu tembesu atau mahoni,
yang merupakan kayu khas Sumatera Selatan.8
Estetik dan makna simbol ornamen yang terdapat pada elemen-
elemen masjid Agung Palembang perlu diapresiasi. Inilah yang
menjadi pusat perhatian penelitian ini. Ornamen yang terdapat di Masjid
Agung Palembang memiliki keindahan tersendiri dari segi motifnya. Dan
karena motif merupakan bagian dari ornamen yang tidak dapat dipisahkan
dan merupakan satu kesatuan yang mendasar dalam sebuah ornamen
untuk terciptanya suatu keindahan. Dari keindahan itulah muncul makna
symbol.
Menurut Guntur (2004) secara garis besar ornamen dapat
dikategorikan ke dalam fungsi simbolis dan fungsi profan (estetis).
Pembahasan tentang fungsi ornamen ini didasarkan pada elemen
elemen pembentuknya, khususnya motif.9 Yaitu :
1. Fungsi Simbolis. Simbolik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti “perlambangan; menjadi lambang, mengenai lambang
8 Mariati S Saragih, Kerajinan Lak Palembang (Palembang : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Sumatera Selatan Bagian
Proyek Pembinaan Permuseuman, 1996), h. 2 9 Guntur. Ornamen Sebuah Pengantar(Surakarta: P2AI bekerja sama dengan
STSI Press, 2004), h.55
4
seperti lukisan-lukisan, dan sebagainya”.10 Berkaitan dengan hal ini
fungsi simbolis dapat dikatakan sebagai fungsi yang berkaitan
dengan perlambangan dan memiliki nilai simbolis berdasarkan
norma tertentu (adat, agama, sistem sosial lainnya). Bentuk, motif
dan penempatannya sangat ditentukan oleh norma adat maupun
agama. Oleh sebab itu, pengerjaan ornamen simbolis mengikuti
aturan yang ditentukan. Contoh, ragam hias motif kaligrafi, yang
terdapat pada masjid Agung Palembang, memiliki pesan dakwah
Islamiyah.
2. Fungsi Profan “Fungsi profan lebih ditekankan pada motif sebagai
elemen estetik atau unsur hias pada suatu objek. Motif sebagai
unsur hias berfungsi sebagai pemikat atau sebagai penggugah
perasaan indah”. 11 Maksudnya bentuk-bentuk ornamen hanya
dibuat untuk menghias saja demi keindahan suatu bentuk (benda )
atau bangunan, Ornamen pada masjid Agung Palembang memiliki
fungsi sebagai penghias permukaan atau bidang-bidang tertentu di
bangunan tersebut. Hal ini sesuai dengan batasan ornamen, yaitu
sebagai hiasan yang dibuat pada arsitektur, kerajinan, perhiasan,
dan sebagainya.
Menurut Francis DK Ching (2008) warna juga sangat
mempengaruhi bentuk visual.12 Penataan warna dalam desain ornamen
memiliki peran penting, karena dapat mempengaruhi orang-orang
yang melihatnya. Tampilan warna juga memiliki simbol, penerapan
warna yang terdapat pada ornamen masjid Agung didominasi warna
khas Palembang yaitu prada emas.
Semua elemen pendukung keindahan di masjid Palembang baik
dari segi motifmaupun warna merupakan satu kesatuan yang dapat
dipisahkan, karena motif merupakan unsur hias yang berfungsi
sebagai pemikat atau penggugah perasaan indah yang didasarkan pada
prinsip-prinsip yang ada dalam penerapan desain hias, yaitu
kesederhanaan, harmoni, ritme, kesatuan dan keseimbangan. Dengan
10Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,( Jakarta:
Balai Pustaka,2002), h.1066 11Guntur, Ornamen Sebuah Pengantar .. , 2004, h. 73 12 Francis DK, Ching, Arsitektur, Bentuk, Ruang dan Tatanan. (Jakarta :
Erlangga, 2008), h. 14
5
kata lain ornamen memiliki nilai tersendiri, karena dasar pembentukan
sebuah ornamen adalah motif. Berbagai perwujudan motif terdapat
pada elemen-elemen masjid Agung Palembang seperti; motif
geometris, motif kaligrafi, motif alam serta motif tumbuh-tumbuhan.
Semua motif-motif tersebut dapat mengalami perubahan wujud dari
ide awal dengan penggayaan bentuk melalui
stilasi,13distorsi,14transformasi,15 maupun deformasi.16
Memperhatikan beberapa motif ornamen masjid tua yang ada di
Palembang, tampaknya Indonesia cukup kaya dengan motif-motif
arsitektur gabungan budaya Islam dengan budaya setempat. Kekayaan
Indonesia terhadap motif-motif ornamen tradisional ditunjang oleh
keragaman suku bangsa yang tersebar di seluruh pelosok nusantara
dengan corak dan ragam budaya masing-masing ikut memperkaya
khazanah budaya Islam. Motif-motif ornamen dengan lekuk-lekuk dan
aneka gaya arsitektur yang menawan menampilkan ekspresi isi adat
ataupun tampilan berdasarkan filsafat hidup masyarakat setempat
dengan mengambil objek-objek geometris, kaligrafis, figuratif dari
tumbuh-tumbuhan yang tumbuh didaerah setempat, serta pengaruh
keindahan alam yang menjadi objek kekaguman suku setempat.
Di bidang arsitektur, peradaban Islam telah mewariskan corak
dan bentuk masjid yang khas Nusantara. Ciri khas yang erat
kaitannya dengan kebudayaan Nusantara adalah ujung menara
berbentuk kerucut seperti tumpeng. Kebanyakan masjid tua di
Indonesia, dan dalam banyak hal juga di Malaysia, dari abad ke-16
dan 18 menunjukkan karakteristik yang berbeda dari yang ditemukan
di negara-negara Muslim lainnya, khususnya di Saudi Arabia, Timur
Tengah, dan India. Jika diperhatikan dengan seksama, maka masjid-
13 Stilasi adalah Penggayaan bentuk atau penggambaran dari bentuk alami
menjadi bentuk ornamental (hiasan) yang dilakukan dengan cara pengurangan atau
penyederhanaan objek, sedangkan gambarnya disebut gambar stilasi yang dapat
diartikan sebagai bangunan hias yang menggambarkan sesuatu dan akan disusun
pada bidang hias ( Dharsono Sony Kartika,2004:42). 14Distorsi adalah Perubahan bentuk yang tidak sempurna akibat tidak sesuainya
ukuran dengan proporsi gambar pada awalnya ( Suryo Suradijo,1999:77 ) 15 Transformasi disini adalah Penggambaran bentuk yang menekankan
pencapaian karakter dengan cara memindahkan bagian dari objek atau figur ke objek
yang lain untuk menggambarkan perpaduan sifat atau pencapaian karakter ganda (
Sony Kartika, 2004 : 43) . 16Deformasi Maksudnya adalah menggambar sesuai dengan keinginan sipembuat
gambar tetapi tidak meninggalkan unsur utamanya (Sony Kartika,2004:43).
6
masjid kuno Indonesia dari awal abad ke-16 sampai abad 18, pada
umumnya memiliki ciri-ciri yang khas ialah: 1) Denah berbentuk
bujur sangkar atau persegi-empat dan pejal atau masif; 2) Atapnya
bertumpang atau bersusun makin ke atas makin kecil dan jumlahnya
ada yang tiga, lima bahkan lebih; 3) Serambi di bagian depan atau
samping; dan 4) Halaman masjid dikelilingi pagar tembok dengan satu
atau lebih pintu gerbang. Selain itu, beberapa masjid kuno umumnya
juga memiliki kolam yang biasanya ditempatkan di depan atau sekitar
bangunan masjid.17
Ornamen pada Masjid Agung Palembang khas ala Nusantara
dengan ciri-ciri khas etnis Melayu. Ornamen tersebut diserap dari
ragam motif ornamen arsitektur Indonesia, dari sanalah digali
sejumlah motif-motif ornamen tradisional yang merupakan khazanah
Nusantara.18 Motif ornamen masjid Agung Palembang yang bercirikan
Nusantara itu menjadi tolok ukur bagi ornamen masjid-masjid tua
yang ada di kota Palembang.
Di Palembang selain masjid Agung, juga terdapat lima masjid
Tua lainnya, di antaranya, masjid Lawang Kidul, masjid Ki Merogan,
masjid Mahmudiyah (Suro) masjid Jami‟ Sungai Lumpur dan Masjid
Sultan Agung. Dari kelima masjid Tua tersebut arsitektur memiliki
kesamaan dengan masjid Agung Palembang tapi pada ornamennya
yang terdapat perbedaan. alasan utama pemilihan kelima masjid
tersebut karena masjid-masjid itu merupakan duplikasi dari masjid
Agung Palembang atau dapat dikatakan bentuk mini dari masjid
Agung Palembang.
Penelitian ini tidak membahas masalah akulturasi budaya yang
ada pada arsitektur masjid Agung Palembang. Fokus penelitian ini
adalah pada motif ornamen masjid Agung Palembang, estetika dan
makna simbolik dari ornamen yang ada di masjid tersebut.
17 Esterica Yunianti, Kajian Estetika Ornamen pada elemen Masjid Agunng
Surakarta, (Indonsian Journal of Concervation volume 07 (01) 2018 halaman,
tersedia : http://Journal.unnes.ac.id/nju/index.php/ijc/diakses, h. 64/dikases tanggal
27 Agustus 2018 18 Muhammad Lufika Tondi dan Sakura Yulia Iryani , Nilai Kearifan Lokal
Rumah Tradisional Limas Palembang Sebagai Kriteria Masyarakat Melayu,
Langkan Betang, vol. 5, No. 1, Tahun 2018, Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Raden Fatah Palembang/diakses tanggal 10 September 2019 )
7
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana motif ornamen Masjid Agung Palembang?
2. Apa makna estetik dan simbolik motif ornamen Masjid
Agung Palembang ?
3. Bagaimana karakteristik ornamen masjid Agung Palembang
dibandingkan dengan masjid-masjid tua lainnya di Kota
Palembang ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan Penelitian ini adalah
1. Menganalisa motif ornamen Masjid Agung Palembang.
2. Mengetahui makna estetik dan simbolik bentuk dan motif
ornamen masjid Agung Palembang.
3. Mengetahui karakteristik ornamen masjid Agung Palembang
dibandingkan dengan masjid-masjid tua lainnya di Kota
Palembang.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini secara teoritis dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam memperkaya wawasan konsep kajian estetika
ornamen, serta makna simbol dari ornamen masjid Agung Palembang.
Secara praktis: hasil riset dapat digunakan sebagai pengetahuan dan
pengalaman terkait semua unsur-unsur ornamen dari masjid Agung
Palembang baik dari segi keunikan, struktur konstruksi, nilai estetis,
dan makna simbolis dari berbagai ornamen yang ada, dan khususnya
bagi pembaca hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan
tentang ragam motif ornamen Masjid Agung Palembang , serta
pengetahuan tentang motif ornamen masjid-masjid tua lainnya.
E. Tinjauan Pustaka
Berikut ini adalah hasil penelitian dan karya-karya yang
berkaitan dengan ornamen masjid Agung Palembang, yang membantu
penyusunan disertasi khususnya dari segi pengayaaan teori.
Pertama adalah Kartika Purnomo Edi (2017), dengan judul
Bentuk Dan Makna Simbolik Pada Mihrab Masjid Rayaa Al-
Muttaqun Prambanan Klaten.Berdasarkan hasil penelitian diketahui
8
bahwa (1) bentuk Masjid Raya Al-Muttaqun Prambanan Klaten sesuai
dengan aspek bentuk visual bentuk dasarnya yaitu melalui ukuran,
warna dan tekstur (2) simbolis artinya pada mihrab Masjid Raya Al-
Muttaqun Prambanan sesuai dengan ornamen ornamen yang terdapat
di dalamnya, gunungan wayang purwa, ornamen tanaman ukir, ukiran
kaligrafi al-Fatihah, ornamen ukiran kaligrafi La Illaaha Illaallaah,
Muhammadu Rasuulullah,dan ukiran kaligrafi Allah dan kaligrafi
Muhammad, ornamen ukiran teratai, dan ornamen ornamen tangga.19
Berikutnya adalah Esterica Yunianti (2015), melakukan
penelitian dengan judul Estetika Unsur-Unsur Arsitektur Bangunan
Masjid Agung Surakarta, Universitas Negeri Semarang. 20 Hasil
penelitiannya diungkapkan unsur-unsur arsitektur bangunan masjid
Agung Surakarta mempunyai ciri-ciri visual yang merupakan simbol
yang memiliki makna, dan dari unsur-unsur arsitektur bangunan
Masjid Agung Sukakarta terdapat pendidikan nilai-nilai kearifan lokal
yang didapat dari nilai kebenaran, nilai moral, nilai estetika dan nilai
religius.
Dewi Purnama Sari, padatahun 2012 menjelaskan tesis S2 nya
di Program Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang. Dalam tesis ini
selain menjabarkan tentang proses akulturasi kebudayaan Cina dan
Eropa dengan kebudayaan Palembang pada arsitektur masjid Agung
Palembang. pernah melakukan penelitian dengan Judul Akulturasi
Kebudayaan Cina dan Eropa dengan Kebudayaan Palembang pada
Arsitektur Masjid Agung Palembang,.21 Dalam laporan penelitiannya
dibahas tentangTesis ini selain menjabarkan tentang proses akulturasi
Kebudayaan Cina dan Eropa dengan Kebudayaan Palembang,juga
dibahas tentang wujud akulturasi Kebudayaan Cina dan Eropa dengan
Kebudayaan Palembang pada Arsitektur Masjid Agung Palembang.
Buku yang ditulis Yulianto Sumalyo (2006), dengan Judul
Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim. Buku ini
menjelaskan secara rinci arsitektur Masjid dan Monumen sejarah
19Kartika Purnomo Edi, Bentuk Dan Makna Simbolik Pada Mihrab Masjid Raya
Al-Muttaqun Prambanan Klaten, (Universitas Djogjakarta, 2017), h. xv 20Esterica Yunianti, Estetika Unsur-Unsur Arsitektur Bangunan Masjid Agung
Surakarta, ( Universitas Negeri Semarang, 2015), h. 1 21 Dewi Purnama sari, Akulturasi Kebudayaan Cina dan Eropa dengan
Kebudayaan Palembang pada Aesitektur Masjid Agung Palembang,Tesis, (
Palembang : Program Pasca Sarjana UIN Raden Fatah Palembang, 2012).
9
Muslim mulai dari awal perkembangannya di wilayah Arab, sekitar
abad VII hingga zaman modern diakhir abad XX di seluruh dunia.
Buku ini juga membahas sejarah Islam Palembang dan pendirian
masjid Agung Palembang dan bentuk arsitekturnya, tetapi tidak
membahas secara mendalam masalah motif dan nilai estetika serta
lambang ornamen masjid.22
H. M. Mal‟an Abdullah, Dkk (1997/1998), melalui Pusat
Penelitian IAIN Raden Fatah Palembang.Pernah melakukan penelitian
tentang Manajemen Masjid Sumatera Selatan. 23 Dalam laporan
penelitiannyadibahas tentang Sejarah dan perkembangan masjid
Agung Palembang,
Berikutnya adalah buku yang ditulis oleh Josef Prijotomo
(1995), berjudul Sistem Ukiran dalam Arsitektur Jawa. Selain
menggambarkan bentuk-bentuk masjid di negara-negara Islam, buku
ini juga membahas masalah ukiran dan arsitektur masjid-masjid di
Jawa.24
Buku-buku yang dijadikan sebagai bahan rujukan oleh penulis
dalam penelitian ini antara lain : Buku Djohan Hanafiah yang berjudul
Sejarah Masjid Agung dan Masa Depannya.25 Buku ini membahas
tentang Sejarah Masjid Agung Palembang secara lengkap, mulai dari
berdiri sampai selesai dan tentang rencana masa depannya.
Selanjutnya, buku karya Abdul Rochym yang berjudul Masjid dalam
karya Arsitektur Islam.26 Buku ini membahas tentang Masjid-masjid
lama dan kontemporer di Indonesia, baik dari segi Arsitekturnya, adat
istiadat,, kondisi, sosial ekonomi dan politik yang turut mempengaruhi
bentuk penampilan Masjid. Buku Aryo Sunaryo Ornamen Nusantara
Kajian Khusus tentang ornamen Indonesia. 27 Buku ini membahas
22 Yulianto Sumalyo, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,2006), h.24 23Mal‟an Abdullah, dkk, Manajemen Masjid Di Sumatera Selatan. (Palembang :
Pusat Penelitan Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang, 1997/1998),
h. 19-20 24Josef Prijotomo, Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa, (Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press, 1995), h.15 25Djohan Hanafiah. Masjid Agung Palembang dan Masa Depannya. Mas Agung,
Jakarta, 1988), h.23 26Abdul Rochym, Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Angkasa,
Bandung.1983), h.53 27 Aryo Sunaryo, Ornamen Nusantara (Kajian Khusus tentang Ornamen
Indonesia), (Semarang: Dahara Press. 2009), h. 23
10
tentang motif-motif hias ornamen Nusantara terklasifikasi dalam motif
hias geometris serta tekhnik-tekhnik yang berkaitan dengan gambar
ornamen. Buku Serba Serbi Semiotika, Penyunting Panuti Sudjiman
dan Aart Van Zoest.28 Buku ini membahas tentang semiotika dengan
konsep-konsepnya, serta perbedan dan persamaan pengikut dan
perkembangan teori masing-masing antara pandangan Pierce dan
Saussure.
Dari buku-buku diatas, memang ada diantaranya yang
membahas tentang arsitektur, tetapi sebatas akulturasi budaya dan
terdapat pada corak bangunan Masjid Agung Palembang. Dengan
kata lain, penulis menggali lebih dalam makna estetis serta simbolis
dari arsitektur bangunan Masjid Agung Palembang serta masjid-
masjid tua yang memiliki sejarah yang ada di Kota Palembang.
F. Kerangka Teori
Untuk menganalisis masalah dalam penelitiaan ini, maka
penelitian ini akan berpijak pada dua teori yaitu teori estetika dan teori
semiotika.
Teori Estetika, karena berkaitan dengan seni dan keindahan.
Istilah estetika berasal dari kata aisthenasthai yang artinya persepsi.29
Istilah ini muncul menurut Jacob tahun 1750 diambil oleh seorang
filsof minor bernama A.G. Baumgarten. Estetika dari kata bahasa
Yunani kuno, aistheton (kemampuan melihat lewat penginderaan).
Baumgarten menamakannya sebagai pengetahuan sensoris, yang
membedakan antara logika dengan intelektual. Tujuan dari estetika
adalah keindahan, sedangkan logika adalah kebenaran. 30 Hegel
berpendapat dalam tulisan Michael Hauskeller (2015) bahwa
pembahasan yang menyangkut estetika selalu berkaitan dengan seni,
karena estetika dan teori seni adalah kedua istilah yang sering
dianggap kalimat sinonim. 31 Oleh sebab itu Lingga Agung (2017)
mengatakan bahwa bahwa estetika itu pada dasarnya adalah ilmu yang
28 Panuti Sudjiman dan Van Zoest, Serba-Serbi Semiotika (Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. X 29 Lingga Agung, Pengantar Sejarah dan Konsep Estetika,( Yogyakarta, PT
Kanisius, 2017), h. 2 30Jacob Sumarjo, Filsafat Seni, (Bandung: ITB., 2000), h. 25 h. 25 31Michael Hauskeller, Seni-Apa itu? Posisi Estetika dari Platon Sampai Danto,
(Yogyakarta, PT Kanisuis, 2015), h. 51
11
berusaha untuk memahami keindahan, atau segala sesuatu yang
berkaitan dengan keindahan, dengan salah satu teorinya intrinstik
(penilaian keindahan pada bentuk).32
Seni merupakan realisasi kehalusan jiwa manusia dalam
menghadirkan yang indah kedalam dunia, dan makna keindahan itu
berdasarkan arti dalam bahasa Inggris, Prancis dan Spanyol yaitu
cantik atau kebaikan.33 Makna ornamen adalah hiasan, dengan kata
lain seni menghias indah. Immanuel Kant dalam buku yang ditulis
Mickhael Hauskeller berpendapat bahwa keindahan dalam sebuah
karya seni itu keindahan yang tidak dapat ditetapkan dengan batasan
apapun, serta dapat menimbulkan rasa nikmat, nyaman dan enak bagi
diri sendiri dan orang lain.34 Keindahan dalam seni menghias suatu
benda dapat tercipta apabila dihiasi berbagai macam motif-motif
hiasan serta bagaimana cara menghias sesuai dengan teknik cara
menghias.
Teori Semiotika milik Roland Barthes, salah satu tokoh
terpenting dalam semiologi, teori Roland Barthes (1968) sering
digunakan untuk menganalisa ornamen-ornamen yang mengandung
kebudayaan sebuah masyarakat. Menurutnya semiologi merupakan
suatu tujuan untuk mengambil berbagai sistem tanda seperti substansi
dan batasan, gambar-gambar, berbagai macam gesture, berbagai suara
musik serta berbagai obyek yang menyatu dalam sistem significance.
Salah satu hal yang penting yang dirambah Roland Barthes adalah
tanda adalah peran pembaca. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli
tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi.
Barthes (1968) secara panjang lebar mengulas apa yang sering
disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun
diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan
contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran ke dua yang dibangun
atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh
Barthes disebut dengan konotatif, yang didalam Mytologisnya secara
tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran
pertama. Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar
memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian
32Lingga Agung, Pengantar Sejarah dan Konsep Estetika, 2017, h. 3 dan 17 33Lingga Agung, Pengantar Sejarah dan Konsep Estetika, 2017, h. 2 34 Michael Hauskeller,Seni-Apa Itu ... 2015, h. 34
12
tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.Sesungguhnya inilah
sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan
semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran
denotatif.35
Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi
dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang
dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya
dimengerti sebagai makna secara harfiah, ataupun makna
sesungguhnya. Proses signifikan secara tradisional disebut sebagai
denotasi ini mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang
sesuai dan terucap.
Memahami makna tanda akan mengarah pada penilaian
berdasarkan minat masing-masing. Terutama dalam studi tanda-tanda
yang diterapkan pada bidang desain yang dapat dianalogikan dengan
bahasa visual. Untuk gambar teknis, informasi atau aspek yang
berkaitan dengan produksi, tanda-tanda visual yang bersifat denotatif
cenderung digunakan, sehingga tidak ada pembiasan makna. Hal-hal
yang mengandung ekspresi, seperti bentuk, gambar, motif, ornamen
atau hal-hal yang bersentuhan dengan aspek manusia, cenderung
menerapkan tanda konotatif.36 Jadi bila dikaitkan dengan ornamen
yang melekat pada bangunan masjid Agung Palembang merupakan
sebuah simbol yang merupakan penanda (signifier), dan makna
ataupun fungsi ornamen pada masjid merupakan petanda dari simbol
pada ornamen yang ada, dalam penelitian ornamem masjid Agung
Palembang maka melalui teori semiotik inilah yang dianggap sesuai
untuk analisa data.
G. Defenisi Operasional
1. Ornamen
Franz Sales Meyer (1957) dalam bukunya Handbook of
Ornament menyebut: “The term „ornament‟, in its limited sense,
includes such of the Elements of Decoration as are adapted, or
developed, from Natural Foliage. These differ from the
35Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Cetakan Kedua), (Bandung,: PT Remaja
Rosdakarya, 2004), h. 74 36Agus Sachari, Pengantar Metode Penelitian Seni Rupa (Desain Arsitektur, Seni
Rupa dan Karya), (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 71
13
Geometrical elements, inascmuch as they are organic i.e.
possessing stems, leaves, flowers, & c., while the latter are
inorganic”. 37 Istilah ornamen dalam arti terbatas mengandung
unsur-unsur dari hiasan yang digubah atau dikembangkan dari
motif daun-daun alam, bentuk geometris dan bentuk-bentuk
binatang. Dalam kesenian primitif, kepandaian hias-menghias
sering lebih dipentingkan dari pada cara-cara berkesenian
kemudian.
Van Der Hoop (1957) dalam bukunya Ragam-ragam hias
Indonesia menyebutkan: “Ragam hias terjadi pada suatu bangsa,
dalam suatu waktu dan dari sana lalu tersebar melalui negeri-negeri
lain, kalau penyebaran dari suatu pusat (“diffusie”) tidak dapat
diterima, maka persamaan ragam-ragam hias diberbagai tempat
yang berjauhan letaknya (parallelisme) harus diterangkan dari hal
bahwa pada dasarnya jiwa manusia dimana-mana adalah sama dan
oleh karena itu selalu menimbulkan pikiran-pikiran yang sama.38
Ahli bangsa-bangsa Jerman bernama Adolf Bastian (1826-1905)
menamakan ini Elementargedanken. Pendapat ini kita jumpai
kembali dalam bentuk yang lebih baru di dalam ilmu jiwa dari Jung
yang mengatakan, bahwa selalu munculnya lagi lambang yang
sama adalah akibat dari archetypen, yang terletak jauh di dalam
ketidak sadaran tiap-tiap manusia”.
Ornamen sebagai media ungkapan makna simbolis sangat
berkembang pada masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai
masyarakat religius.39 Kehadiran ornamen dapat dijadikan sebagai
sumber kekayaan budaya bangsa. Dalam perkembangan
selanjutnya, banyak ornamen mengalami pergeseran sebagai nilai
dari ungkapan makna simbolis pada masyarakat tertentu kini lebih
banyak berfungsi sebagai hiasan saja.
37Franz Saler Meyer, Handbook of Ornament, ( New York Dover Publications
Inc, 1957).Vii 38Van Der Hoop, A.N.J. Th.a., Th, Ragam-ragam Perhiasan Indonesia, (Jakarta
:Uitgegeven Door Het Koninklijk Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En
Wetenschappen, 1957), h.9 39 Daulat Saragih, Nilai Estetis dan Makna Simbolis yang Terkandung Pada
Ornamen Tradisional Bangunan Rumah Adat Batak Toba, ( Yogyakarta :Tesis S2
Ilmu Filsafat UGM,1996), h.4
14
2. Motif
Motif adalah dasar atau prinsip dari suatu pola yang
mengalami proses persiapan dan digambarkan berulang kali. Dari
proses tersebut menghasilkan pola yang dapat diaplikasikan pada
benda lain sehingga menjadi ornamen. Motifnya sangat beragam
dan dapat dikelompokkan menjadi beberapa yaitu: motif alam,
stylation, geometri dan gratis.
Menurut Petrusumadi (1991) dari berbagai macam motif
tersebut di atas, yaitu
1. Motif alami adalah motif yang menggambarkan motif alami
seperti gunung, awan, biasanya digambarkan secara dekoratif
tetapi biasanya digambarkan sebagai bentuk aslinya.
2. motif bunga adalah motif yang menggambarkan motif dalam
bentuk tanaman.
3. Motif fauna adalah motif yang menggambarkan motif
berbentuk binatang.
4. Motivasi gaya adalah motif yang dihasilkan dari proses
komposisi (gaya mengalami) dari bentuk aslinya.
5. Motif geometri adalah motif yang dibentuk menggunakan
bentuk geometris, misalnya lingkaran, segitiga, persegi
panjang dan sebagainya.
6. Motif bebas adalah motif yang sering dihargai oleh motif
modern baik dalam pembentukan motif maupun
persiapannya.40
Pada motif geometris terdapat beberapa kelompok, yaitu
motif hias yang bercorak geometris berupa unsur-unsur ilmu ukur
dan motif hias non-geometris berupa makhluk hidup. 41 Bentuk
geometris ini antara lain, berbentuk jajaran genjang, tumpal, pilin
berganda, meander, swastika dan lain-lain. Berikut gambaran lebih
jelas tentang bentuk-bentuk motif hiasan geometris. :
Motif jajaran genjang hias, atau lebih sering disebut dengan
motif intan atau motif bubur talam, pada dasarnya adalah garis
zigzag yang membentuk jajaran genjang: motif spal atau lebih
40 Petrussumadi . AtisahSipahelut, Dasar-dasarDesain. (Jakarta:Departe men
PendidikandanKebudayaan, 1991), h. 51 41Dirjen Kebudayaan Bagian Pembinaan Permusiuman, 1993-1994, h. 26
15
dikenal dengan sebutan rebung, dalam bentuk segitiga sama kaki.
Motif ini memiliki posisi tegak atau ujung di atas baik sendiri-
sendiri atau terdiri dari beberapa motif yang tersusun dalam satu
baris. Ada juga motif tumpal yang terbalik atau di bagian bawah.
Sering juga ditemukan motif-motif yang disusun bertumpukan
berhadapan antara tegak dan terbalik, yang dibuat sesekali. Motif-
motif ini dibuat polos, ada pula yang diisi dengan motif lain, baik
dalam bentuk garis, bunga, bintang, atau sulur. Motif pucuk tunas
merupakan simbol pertumbuhan.
Motif pilin adalah salah satu motif lama yang sudah ada sejak
budaya perunggu. Motif ini berbentuk seperti huruf "S" motif
memutar sering dibut sebagai pelengkap yang dipasang di tepi
motif utama. Motif berliku-liku, berkelok-kelok memiliki beberapa
bentuk, salah satunya menyerupai huruf "T" yang dibuat tegak dan
berputar, yang disusun bergantian. Seperti motif yang dipelintir,
motif yang berliku-liku juga umumnya digunakan sebagai motif
pelengkap yang dibuat lebih kecil dari motif utama. Motif
Swastika, juga ditemukan dalam ukiran Swastika tradisional,
adalah simbol sirkulasi bintang Swastika. Mereka juga memiliki
makna atau sering diyakini sebagai tanda keberuntungan untuk
hidup. Swastika ini diperkirakan berasal dari Cina.42
Adapun motif non geometris umumnya merupakan
penggayaan dari bentuk-bentuk makhluk hidup, seperti tumbuh-
tumbuhan, hewan dan manusia, namun motif non geometris yang
paling banyak digunakan pada ukiran khas palembang adalah motif
tumbuh-tumbuhan (flora) karena tanaman memainkan peran yang
sangat besar dalam kehidupan manusia, baik sebagai sumber
kehidupan atau sumber untuk penciptaan dekorasi. Manfaat yang
dapat diambil dari sumber seni ini tidak hanya sumber ide dan
simbolisme tetapi juga nilai-nilai estetika yang terkandung secara
alami.
Penjelasan di atas digunakan untuk mendeskripsikan motif
pada ornamen masjid Agung Palembang baik motif geometris,
motif floral, maupun motif stilasi, sedangkan untuk motif fauna
tidak ditemukan karena Islam melarang untuk penerapan motif
42Soegeng M.Toekiyo, Mengenal Ragam Hias Nusantara, (Bandung, Angkasa,
1987), h. 9
16
tersebut dalam ornamen masjid. Motif geometris dapat kita temui
pada elemen-elemen masjid karena ornamen ini pada mulanya
dibuat dengan guratan-guratan mengikuti bentuk benda yang dihias
karena ornamen geometris merupakan salah satu aspek penting
dalam seni Islam yang biasanya ditemukan dalam dekorasi
bangunan arsitektur Islam. 43 Jadi motif seni ini memiliki fungsi
sebagai pengingat tauhid. Seni ornamen geometris arabesk dikenal
memiliki konsep dasar yaitu dengan adanya pola-pola yang bersifat
karakteristik, fungsi dan struktur yang merupakan cikal bakal dari
konsep desain ornamen, baik bentuk dasar lingkaran, bentuk dasar
dari segitiga, bentuk dasar kotak, atau pola dasar dalam bentuk segi
enam, dan pola dasar. Dari pola ini dapat ditemukan ornamen di
setiap bagian masjid, terutama Masjid Agung Palembang.
3. Estetika
Estetika dengan ungkapan lain adalah “teori kesenian”,
filsafat seni” atau “teori keindahan” merupakan bagian penting dari
pranata kesenian dan pranata kesenian tersebut dapat dilihat
sebagai salah satu keterpaduan sistemik. 44 Adapun tujuan orang
melakukan seni adalah sebagai sasaran langsung ataupun sebagai
sasaran bertujuan untuk menghadirkan keindahan. Dikatakan
sasaran langsung apabila penikmat seni memang menjadi tujuan
utama dari kegiatan berseni itu adalah sesuatu diluar penikmat seni
itu sendiri, melainkan misalnya pencapaian tujuan-tujuan
keagamaan. 45 Teori estetika sebagai pengetahuan diketengahkan
oleh Thomas Munro; ia mengetengahkan bahwa menganggap seni
sebagai ilmu pengetahuan berarti bertentangan dengan teori klasik
dari Plato dan Aristoteles yang cenderung kepada pandangan
filsafat.
Kebanyakan orang menganggap bahwa suatu karya seni
harus mampu mengungkapkan diri melalui tata bentuknya sehingga
43Taty Diah Pancawati, dan Muhammad Faqih, Arsitektur, Islamic Center tema :
Arabesque Fakultas Tekhnik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi (IST) Jurnal
Sains dan Seni pomits Vol, 1, No.1,6 halaman, Tersedia ;
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-paper-22130-3204100069 Paper.pdf.html /diakses
tanggal 10 September 2018 44 Edy Sedyawati, Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 125 45Edi Sedyawati,Budaya Indonesia 2006, h.127
17
dapat dipahami maknanya. William Bossart mencoba
mendiskusikan pengertian bentuk suatu karya seni, menurutnya
pertama-tama haruslah bersifat ekspresif, yaitu sebagai perwujudan
kualitas emosional tertentu yang menyebabkan karya itu dipahami
tanpa harus menggali pengalaman lampau dari si pengamat. Seperti
halnya dalam konteks„permainan‟ seni menolak tiap penjelasan
lebih lanjut tentang bentuk dan pengertiannya, lewat bentuknya
itulah seni membuka diri bagi kontemplasi estetis.46
Untuk mendapatkan kejelasan apakah seni itu merupakan
ekspresi atau isi dari sesuatu emosi, C. J Ducasse (1965) mencoba
menelaah masalah bahasa emosi dalam kaitannya dengan seni.
Apakah mungkin ada pengalaman estetis yang ditimbulkan karya
seni dengan perasaan si seniman yang diekspresikan lewat objek
ciptaanya? Menurut Herbert (1959) Seni adalah aktivitas yang
punya tujuan yang terkontrol, yang bermaksud menciptakan suatu
objek punya kemampuan merefleksi terhadap penciptanya. Bila ia
mengkontempletasi import emosionalnya, image perasaanlah yang
melahirkan bentuk dan isi spesifik bagi objek; objek itulah yang
akan membangkitkan perasaan estetis yaitu bahasa perasaan si
seniman yang diekspreikan lewat karyanya. Proses penciptaan
karya seni adalah proses komunikasi, proses ekspresi, yaitu
memindahkan perasaan supaya dapat ditanggapi pihak lain
sehingga mengalami perasaan yang sama demikian menurut
Herbert Read.47 Jadi, Fungsi seni itu adalah untuk mengekspesikan
perasaan dan memindahkan pengertian.
Menurut Edgar De Bruyne dalam Herbert (1959) asal mula
seni dan perkembangannya berpendapat bahwa seni bukan gejala
yang serba mewah, bukan untuk kegunaan praktis juga semata-
mata bukan permainan atau pengutipan. Seni menyangkut
kesadaran terhadap rasa nilai dan merupakan penciptaan tata
bentuk yang disengaja dan terencana. Seni menjabarkan pengertian
yang hidup diantara bentuk dan tata nilai. Sekalipun kehidupan
manusia terus berubah namun perkembangan seni tidak mesti
46 Pranjoto Setjoatmodjo (ed), Bacaan Pilihan Tentang Estetika, ( Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Proyek pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, 1988), h.4 47 Herbert, The Meaning of Art. ( New York: Penguin Book, 1959 ), h. 32
18
sejalan dengan perkembangan kebudayaan. Seni yang bercorak
primitif bisa saja muncul dalam era kebudayaan dan teknologi
modern.48
Seni mengandung unsur-unsur praktis maupun estetis tetapi
tanpa lebih dari itu ia tidak dapat dikembalikan kepada sumber dari
kepuasan estetis maupun kepada kegunaan sebagai peralatan
praktis, yang karena dirinya sendiri, dan terlepas dari setiap
pengaruh terhadap kesadaran, akan tunduk kepada tujuan-tujuan
kehidupan seni menyangkut kesadaran baik pada diri seniman
maupun pada diri manusia yang disuguhinya, tetapi kesadaran ini
agar supaya seni dapat dirasakan sebagai gejala khusus terhadap
tata bentuk, rasa kefakuran terhadap Tuhan.49
Pada dasarnya seni merupakan gejala yang rumit seperti
halnya kehidupan manusia. Seni tersusun atas berbagai unsur, yang
tunduk pada hukum-hukum kejiwaan dan pengaruh-pengaruh dari
luar. Seperti halnya manusia yang perhatian dan tingkah lakunya
berpindah dari suatu objek ke objek lain, sesuai dengan
kepercayaan saat itu. Demikian pula dengan minat artistic berbagai
bangsa yang juga berpindah-pindah dari aspek satu ke aspek yang
lain. Kaidah pembagian seni sebagian dapat diduga dan ditentukan
sejauh ia bersamaan dengan kaidah-kaidah kehidupan, kesadaran,
dan kejiwaan.
Estetika Ornamen Masjid Agung Palembang adalah sebuah
kajian keindahanyang diperolehmelalui bentuk visual dari ukiran
yang dibentuk sedemikian rupa,sehingga mewujudkan sebuah
ragam hias yang bermakna,yang merupakan manifestasi
kehidupan masyarakat Palembang,serta ungkapan kreativitas dari
kebudayaan masyarakat itu sendiri sebagai salah satu bahagian dari
kebudayaan Melayu Palembang.
4. Simbol
Secara etimologis, simbol berasal dari kata kerja Yunani
sumballo (sumballein) (symbolos) yang berarti tanda atau ciri yang
memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Bentuk simbol
48Herbert, The Meaning of Art, 1959 ), h.6 49Herbert, The Meaning of Art...1959 h. 32
19
adalah penyatuan dua hal menjadi satu. Dalam simbolisasi, subjek
menyatukan dua hal menjadi satu.50
Hampir tidak mungkin masyarakat tanpa simbol (lambang).
Setiap komunikasi dengan bahasa atau sarana yang lain,
menggunakan lambang-lambang, “Manusia adalah animal
symbolicum” kata Ernst Cassirer (1967) Hanya dengan
menggunakan lambang-lambang manusia dapat mencapai potensi
dan tujuan tertinggi hidupnya. Ungkapan simbolis merupakan jalan
menuju kebebasan yang berdaya cipta.
Simbol merupakan alat yang kuat memperluas penglihatan
kita, merangsang daya imajinasi, dan memperdalam pemahaman.
Bagi Whitehead (2002) simbol mengacu kepada makna; bagi
Goethe (1848) simbol menggambarkan yang universal; bagi
Coleridge (1997) simbol berpartsipasi dalam realitas; bagi Toynbee
(2005) simbol menyinari realitas; bagi Goodnough (1988) simbol
mendatangkan transformasi atas apa yang harfiah dan lumrah; bagi
Brown (2008) simbol menghubungi simbol ke-Tuhanan. Sebuah
simbol sendiri dapat dipandang sebagai: 1). Sebuah kata atau
barang atau tindakan atau peristiwa atau pola, atau pribadi atau hal
yang konkret, 2). Yang mewakili atau menggambarkan atau
mengisyaratkan atau menandakan atau menyelubungi atau
menyampakan atau mengungkapkan atau berkesesuaian atau
berhubungan dengan atau mengacu kepada atau berkaitan dengan,
3). Sesuai yang lebih besar atau transeden atau tertinggi atau
terakhir; sebuah makna, realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi,
kepercayaan, masyarakat, konsep, lembaga, dan suatu keadaan.
Pola ini menyingkapkan bahwa nomor 1 lebih dapat dilihat, lebih
dapat didengar, lebih dapat diraba, lebih dekat, lebih konkret
daripada no 3. Fungsi simbol menurut definisi-definisinya ini,
yaitu untuk menjembatani jurang antara dunia nomor 1 dan dunia
nomor 3, jadi sebuah simbol menghubungkan atau
menggabungkan.51
50 Dibyasuharda, Dimensi Metafisik Dalam Simbol, Ontologi Mengenai Akar
Simbol, Disertasi,(Yogyakarta, Gadjah Mada, 1990),h.11 51Dillistone, F.W, The Power Of Simbol, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius,2002),
h.17
20
Menurut Paul Tillich dalam dillistone (2002) simbol memiliki
empat ciri khas yang berhubungan dengan manusia, diantaranya :
1) Simbol berfungsi seturut dengan ciri khas yang membedakan
simbol dengan tanda, 2) Simbol membukakan kepada manusia
adanya tingkat-tingkat realitas yang tidak dapat dimengerti dengan
cara lain, 3) Simbol membuka dimensi-dimensi roh batiniah
manusia sehingga terwujud suatu koespondensi atau korelasi
dengan segi-segi ralitas tertinggi, 4) Simbol mirip dengan makhluk
hidup; muncul dari kegelapan, dan hidup oleh karena hubungan
dengan suatu kebudayaan khusus. Oleh karena itu, simbol tidak
terpisahkan dengan suatu kebudayaan masyarakat tertentu. Dalam
masyarakat, simbol memiliki tempatnya karena berkembang dan
turut mengembangkan kebudayaan sehingga manusia semakin
mengenali realitas dirinya dan realtas yang tertinggi.52
Setelah mengetahui peran simbol diatas dapat dibayangkan
bahwa dalam hidup manusiasimbol diperlukan. Apabila kehilangan
simbol dalam kehidupannya manusia tidak sanggup memahami
realitas yang tertinggi dan dimensi-dimensi baru dalam realitas
kehidupan.53
Dalam penelitian simbol yang terdapat pada onamen masjid
Agung Palembang karena masjid tersebut memiliki nilai sejarah
dan merupakan masjid bersejarah yang ada di kota Palembang,
arsitektur dan dekorasi masjid memiliki banyak simbol yang
mengandung makna filosofis. Keunikan yang disoroti di masjid
Agung Palembang terletak pada simbol-simbol yang melekat pada
ornamen masjid.
Menurut James Daver (1988) Simbol adalah objek atau
aktivitas yang melambangkan, dan berfungsi sebagai pengganti
untuk sesuatu yang lain dan gambar dengan sesuatu yang tidak
memiliki hubungan langsung dengannya. 54 Dalam dunia yang
semakin modern, kebanyakan orang tidak tahu arti yang
terkandung dalam simbol-simbol ornamen di masjid, mereka
hanya tahu tentang keindahan yang terlihat di setiap ornamen
52 Dillistone, F.W,The Power Of Simbol,(Yogyakarta,Penerbit Kanisius,2002),
h.124 53Dillistone, F.W,The Power Of Simbol.. 2002, h. 128 54James Daver, Simbol dalam kamus Psikologi (Jakarta: Bina Aksara, 1988),
h.476
21
masjid. Namun ada juga orang yang masih mempertahankan adat
dan mengetahui makna yang terkandung dalam simbol ornamen
masjid dan meyakini bahwa simbol tersebut memiliki fungsi dan
makna kegunaannya.
Oleh karena itu perlu juga diketahui makna simbol-simbol
yang ada di ornamen Masjid Agung Palembang secara mendalam,
karena simbol-simbol ini penting untuk diketahui dan dipelajari.
Makna simbol-simbol motif ornamen di Masjid Agung Palembang
pada umumnya digunakan sebagai pengingat agar orang yang
berada di masjid Agung Palembang selalu mengingat Allah swt,
dan berusaha selalu mendekatkan diri kepada Allah .
H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field reserch)
yakni mencari informasi dari lapangan tentang ragam motif ornamen
Masjid Agung Palembang baik dari estetik dan simbolik yang
terkandung didalam ragam hias masjid tersebut. Informasi yang
terhimpun dari lapangan yang dijadikan sebagai sumber utama
disertasi ini. Adapun informasi dari bahan-bahan kepustakaan dari
buku-buku tentang ragam motif ornamen masjid Agung Palembang
yang dijadikan bahan sekunder serta dikaitkan dengan ragam motif
ornamen masjid-masjid tua yang ada di kota Palembang dari sisi
estetika dan makna simbol dari ornamen itu sendiri.
1. Lokasi, subjek, dan Objek Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian yang dipilih oleh penulis untuk
penelitian ini adalah masjid Agung Palembang. Posisinya berada
di Pusat Kota Palembang, antara lain Jalan Merdeka di Jalan
Jendral Sudirman tidak jauh dari Jembatan Ampera dan Benteng
Kuto Besak, masjid ini sangat strategis dan mudah di akses,
dibangun pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, masjid
ini ditetapkan sebagai salah satu peninggalan sejarah dan
menjadi suaka budaya serta salah satu aset wisata sejarah dan
religi di Palembang.
22
Gambar 1.1 Peta Lokasi Penelitian
(Sumber : https://www.google.co.id/peta+masjid+agung+palembang/
diakses tanggal 13 September 2018 )
Keterangan gambar : Masjid Agung Palembang letaknya berada
di pusat Kota, berada di dekat Ampera dan air
mancur yang merupakan Ikon masyarakat kota
Palembang, masjid tersebut berada di Jalan
Jendral Sudirman 19 Ilir, Kecamatan Bukit Kecil.
b. Subjek dan Objek Penelitian
Adapun yang menjadi subjek penelitian ini adalah estetik
dan simbolik dari ornamen Masjid Agung Palembang,
sedangkan objek penelitian adalah Masjid Agung Palembang.
Dalam hal ini makna estetik dan simbolik dari ragam motif
ornamen Masjid Agung Palembang, menjadi sumber bagi
masjid tua lain yang ada di kota di Palembang.
2. Populasi dan Sampel
Penulis tidak menentukan sampel dari populasi objek yang
diteliti, penulis meneliti motif ornamen Masjid Agung Palembang
serta masjid tua yang ada di Palembang dengan menganalisis
masing-masing motif ornamen yang ada.
3. Data dan Sumber Data
a. Data
Data yang digali dalam penelitian ini meliputi :
23
1. Data primer yang merupakan data pokok dalam
penelitian ini berkenaan dengan ragam motif ornamen
Masjid Agung Palembang
2. Data Sekunder yang akan melengkapi data primer berupa
motif masjid tua yang ada di kota Palembang.
b. Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah sumber pustaka yang
berkaitan dengan ornamen masjid pada umumnya. Data-data
kepustakaan dalam bentuk disertasi, tesis, jurnal, majalah,
artikel, penelusuran melalui internet sebagai referensi yang
relevan serta arsip-arsip yang berkaitan dengan objek penelitian,
sumber pustaka tersebut penting artinya dalam menunjang
pengamatan di lapangan sekaligus menjadi dasar pemahaman
aspek sejarahnya. Hasil penelusuran melalui sumber tertulis
antara lain teori untuk menganalisis kajian ornamen khususnya
masjid Agung Palembang.
4. Jenis Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
a. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian ini adalah Field Reserch (Penelitian
lapangan).
b. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa
penggalian data sebagai berikut :
1. Observasi 55 . Menurut Suwardi (2006) observasi
(pengamatan) adalah suatu penyelidikan secara sistematis
menggunakan kemampuan indera manusia.56 Dalam tahap
ini observasi dilakukan dengan cara mencatat secara
sistematis gejala-gejala yang diselidiki. Bentuk observasi
55 Observasi merupakan suatu teknik untuk menggli sumber data berupa
peristiwa, tempat, loasi, dan rekaman. Teknik observasi didasarkan atas pengamatan
secara langsung, pengamatan merupakan alat yang valid untuk mengetes suatu
kebenaran atas informasi yang diberikan kepada subjek untuk memperoleh
kevalidan tentang data yang dilakukan dengan mengamati secara langsung terhadap
objek yang ada dilokasi penelitian. H.B. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif
(Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001), h. 103 56 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press, 2006), h. 208
24
ini survei lapangan terhadap ragam motif pada ornamen
Masjid Agung Palembang atau pengamatan langsung
terhadap objek yang diteliti. Observasi juga tidak hanya
mengamati tetapi juga melakukan pemotretan untuk
mendokumentasikan ornamen Masjid terkait lengkap
dengan detail motif teknik perwujudan serta
penerapannya. Fakta-fakta tersebut membantu dalam
pengumpulan data, terutama untuk memperjelas deskripsi
dan analisa terhadap data-data yang disajikan.
2. Wawancara (interview), wawancara adalah metode
pengumpulan data dengan tanya jawab sepihak yang
dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan pada
tujuan penelitian. 57 Adapun wawancara yang peneliti
lakukan adalah wawancara bebas terpimpin yaitu peneliti
memberikan kebebasan kepada responden untuk berbicara
dan memberikan keterangan yang diperlukan peneliti
melalui pertanyaan pertanyaan yang diberikan.
Wawancara ditujukan kepada pengurus dan pengelola
masjid sebanyak 6 orang sebagai informan untuk
mendapatkan data-data yang valid, karena mereka
dianggap banyak mengetahui tentang masjid Agung
Palembang serta masjid tua lainnya.
3. Pencarian Dokumen tentang hal yang berkaitan dengan
ragam motif ornamen masjid Agung Palembang melalui
pengkajian motif-motif ornamen masjid dari seluruh
masjid-masjid tua di Palembang.
5. Teknis Analisis Data
Teknis analisis data dalam penelitian ini dengan teknis
analisis semiotika melalui proses pemaknaan/ semiosis. Proses
pemaknaan semiosis ditujukan untuk untuk membantu penafsir
menemukan makna yang lebih sempurna. Data ini disajikan dalam
pola deskriptif, dengan menguraikan data hasil temuan di lapangan,
dalam penelitian ini dilakukan analisis kualitatif, analisis kualitatif
adalah suatu analisis data yang dipergunakan untuk permintaan
informasi yang bersifat menerangkan dalam bentuk uraian , maka
57 Sutrisno Hadi, Metodologi ResearchJilid 2 (Yogyakarta : Andi, 1989 ), h. 218
25
data tersebut tidak dapat diwujudkan dalam bentuk angka-angka,
diambil suatu kesimpulan. 58 yang selanjutnya diinterpretasikan
pada bab pembahasan.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan penelitian ini disusun berdasarkan alur
penulisan disertasi,59 yaitu sebagai berikut :
Pada bab pertama, peneliti mengawali tulisannya dengan
pendahuluan, hal ini dibuat mengungkapkan latar belakang masalah
penelitian, sebagai alasan untuk apa penelitian terhadap ornamen
masjid dilakukan, kemudian membuat rumusan masalah, tujuan
penelitian dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori,
metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan
yang ada, serta sisteatika pembahasan agar penulisan disertasi ini
menjadi terarah.
Pada bab kedua, ornamen dalam arsitektur masjid di Nusantara
meliputi : pengertian ornamen dan fungsinya, ciri dan motif ornamen
masjid bersejarah di Nusantara, corak ornamen masjid di Nusantara,
ornament masjid bersejarah dan elemen-elemennya, desain arsitektur
bangunan masjid, kajian estetik dan simbolik.
Pada bab ketiga, arsitektur masjid Agung Palembang meliputi,
sejarah arsitektur masjid Agung Palembang, transfomasi bentuk
arsitektur masjid Agung Palembang, wujud corak budayaa pada
arsitektur masjid Agung Palembang, dan penerapan warna ornamen
masjid Agung Palembang.
Pada bab keempat, peneliti akan menjawab estetik dan simbolik
motif ornamen arsitektur masjid Agung Palembang meliputi : motif
ornamen masjid Agung Palembang, nilai estetik dan makna simbolik
ornamen masjid Agung Palembang.
Pada bab kelima, karakteristik ornamen masjid Agung
Palembang dibandingkan dengan masjid-masjid-masjid tua lainnya di
Palembang, diantaranya masjid lawang Kidul, masjid Muara Ogan,
masjid Suro (Mahmudiyah), masjid Jami‟ Sungai Lumpur, serta
masjid Sultan Agung.
58 Subagyo, Metodologi Penelitian dalam Teori dan Praktek ( Jakarta : Rieneka
Cipta, 2006), h. 94 59Abdullah Idi, dkk (Tim editor) Pedoman Penulisan Disertasi, 2003, h. 6
26
Untuk mengakhiri pembahasan ini, peneliti menutup tulisan
pada bab keenam yang merupakan bab terakhir yaitu : Penutup,
berupa simpulan dan saran.
Kesimpulan
Penelitian dengan judul Ornamen Masjid Agung Palembang :
Estetik dan Simbolik, menghasilkan bahwa (1) ornamen Masjid
Agung Palembang terdiri atas 3 bentuk, yaitu 1. geometris, 2. kaligrafi
dan 3 tumbuh-tumbuhan. Bentuk geometris ada 4 yaitu pada bagian
pintu, jendela, ventilasi dan pilar. Bentuk kaligrafi ada 5 bentuk, yaitu
pada dinding, langit, pintu, jendela serta ruang serambi, sedangkan
motif tumbuhan ada 6 bentuk diantaranya, pintu masuk, jendela,
mimbar, mihrab, meja serta pilar.(2) makna estetik dari arsitektur
masjid Agung Palembang dari bentuk bangunan mengandung makna
bahwa dalam pemikiran Islam terutama pada bidang aqidah, ibadah,
dan dakwah yang memungkinkan ajaran Islam menyebar melalui
masjid ini keseluruh umat Islam dimana saja berada. Aqidah
merupakan pondasi dimana bangunan Islam didirikan, dibangun, dan
dikembangkan. Disini ditanamkan keyakinan bahwa tidak ada tuhan
selain Allah dan Nabi Muhammmad adalah utusan Allah. Siapa
mencintai Muhammad berarti mencintai Allah dan siapa taat kepada
Muhammad berarti taat kepada Allah. (3) makna simbolik dari
ornamen masjid Agung Palembang pada lambang persegi delapan
melambangkan cahaya Allah yang menyebarkan Iman dan Islam,
ornamen bentuk pesegi delapan ini menunjukkan bahwa cahaya
Ketuhanan memiliki delapan sisi segitiga sama sisi dengan makna
nikmat Tuhan yang adil dan merahmati siapapun, motif tumbuh-
tumbuhan menunjukkan simbol bahwa manusia sangat tergantung
dari tumbuh-tumbuhan, konstruksi atap bertajug 3 (tiga) memiliki
makna simbolis, dari ketiga tingkatan atap ini secara garis besar
merupakan simbol dari makna hubungan manusia dengan manusia
(hablum minannas) dan makna hubungan manusai dengan Allah
(hablum minallah). Pada tingkatan ini hubungan antara manusia
dengan lingkungannya masih lebih dominan hablumminal alam (4)
Karakteristik persamaan masjid Agung Palembang dengan masjid
tua lainnya adalah pada bentuk atap limas segitiga dan bentuk
mimbar, sementara itu perbedaannya terletak pada jumlah atap dan
bentuk motif mimbar.
287
Data kajian ini dapat disimpulkan bahwa masjid Agung
Palembang menjadi tolak ukur atau sumber ornamen bagi lima masjid
tua lainnya. kelima masjid tua lainnya yang berada di Palembang telah
menjadikan masjid Agung Palembang sebagai inspirasi atau tolok ukur
dalam pembangunan masjidnya. Oleh karena itu masjid Lawang Kidul,
masjid Kiai Muara Ogan, masjid Mahmudiyah (Suro), masjid Jami‟
Sungai Lumpur serta masjid Sultan Agung semacam miniatur dari
masjid Agung Palembang.