Upload
vunhi
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dari jaman dahulu hingga sekarang dalam hidupnya pastilah
mengalami proses kehidupan. Proses merupakan jalan untuk menuju apa yang
hendak dicapai. Melalui sebuah proses inilah akhirnya dapat menghasilkan suatu
pemikiran unik yang akhirnya menciptakan suatu bentuk kreativitas. Suatu
kreativitas dapat menciptakan berbagai karya, salah satunya karya sastra. Karya
sastra dapat dikatakan sebagai hasil pemikiran yang diciptakan oleh seseorang
sebagai sarana untuk mengungkapkan buah pikiran, gagasan, perasaan, dan
kepercayaan mereka (Robson, S.O, 1994: 8). Wujud karya sastra jumlahnya
sangat banyak, salah satunya naskah. Naskah merupakan bentuk karya pada masa
lampau yang masih bisa kita lihat dan pelajari.
Naskah adalah tempat teks-teks ditulis yang wujudnya nyata dan di
dalamnya terdapat tulisan-tulisan sebagai simbol-simbol bahasa, berfungsi untuk
menyampaikan dan mengekspresikan hal-hal tertentu (Bani Sudardi, 2003: 10).
Naskah sebagai benda yang dilindungi dan dilestarikan, dapat memberikan
pengetahuan kepada pembaca tentang kehidupan sosial dan budaya yang terjadi di
masalalu. Peninggalan tulisan, sebagaimana naskah diketahui mampu
mengungkap informasi tentang masa lampau secara lebih jelas dibandingkan
dengan peninggalan lain (Siti Baroroh Baried et al., 1994: 9).
Menurunnya tingkat pengetahuan, perhatian dan kesadaran masyarakat
Indonesia khususnya generasi muda terhadap naskah, menyebabkan eksistensi
naskah semakin tenggelam dan terabaikan. Naskah seperti tidak memiliki daya
2
tarik lagi untuk dipelajari. Sebagian masyakarat juga menganggap bahwa naskah
merupakan benda pusaka yang dikeramatkan dan hanya dimiliki oleh orang-orang
tertentu. Penyimpanan naskah secara pribadi menyebabkan naskah tidak dirawat
secara benar dan naskah sulit untuk dilacak keberadaannya. Penyimpanan naskah-
naskah paling banyak dan dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia pada saat ini
menurut Sri Wulan Rujiati Mulyadi (1994: 5) berada di Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia. Aksara dan bahasa naskah yang sulit dimengerti dimasa
sekarang, membuat naskah tersebut dibiarkan begitu saja tersimpan di museum
maupun perpustakaan tanpa adanya perhatian dari masyarakat dan pada akhirnya
hilang dan rusak karena tidak ditelaah lebih lanjut. Adanya penjualan naskah
secara ilegal turut mempengaruhi kegiatan penelitian, karena menyebabkan
naskah jamak sulit untuk diinventarisasi.
Masyarakat pada masa sekarang cenderung lebih tertarik untuk
mempelajari hasil daripada penelitian naskah seperti kandungan isi naskah (Agus
Aris Munandar, 2015: 23). Pendapat ini sejalan dengan Siti Chamamah Soeratno
(1997: 30) yang menyatakan bahwa karya-karya lama dalam kehidupan masa kini
memiliki fungsi menyimpan sejumlah nilai-nilai luhur warisan nenek moyang
bangsa, meliputi aspek fisik naskah, bahasa, sastra, sejarah, sosial, politik, agama,
kesehatan, dan obat-obatan yang relevan bagi kehidupan masa kini sebagai darma
untuk menyukseskan pembangunan. Walaupun karya-karya lama menyimpan
berbagai informasi penting bagi dunia, kandungan isi naskah tidak akan dapat
dipelajari tanpa adanya penelitian filologi.
Penelitian filologi sangat diperlukan sebagai upaya dalam melakukan
penyelamatan dan pelestarian naskah. Penelitian filologi merupakan kajian yang
3
bertujuan untuk memahami suatu kebudayaan masa lampau melalui teks tertulis
dan menyajikan teks secara deksripsi maupun berdasarkan analisa dalam wujud
yang paling tepat atau mendekati aslinya (Bani Sudardi, 2003: 11). Pengkajian ini
juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana penelitian lanjutan dalam berbagai bidang
seperti sastra, antropologi, sosiologi, sejarah, dan agama (Panuti Sudjiman, 1995:
97). Filologi merupakan penelitian awal untuk mendapatkan teks yang bersih dari
kesalahan dan untuk memaparkan kandungan isi naskah, yang selanjutnya hasil
dari penelitian filologi dapat dijadikan bahan kajian oleh peneliti lainnya dalam
berbagai bidang.
Di Indonesia, pemakaian bahasa dan huruf untuk penulisan dalam naskah
beraneka ragam (Sri Wulan Rujiati Mulyadi, 1994: 7). Hal ini terbukti dengan
beragamnya pemakaian bahasa dan huruf (aksara) dalam naskah, seperti dalam
naskah Jawa terdapat pemakaian bahasa Jawa dan Arab namun penulisan
menggunakan huruf Jawa. Huruf jawa sendiri secara garis besar dapat dibedakan
menjadi empat bagian yaitu huruf Jawa Kuno, huruf Buda, Huruf Jawa-Baru, dan
Huruf Jawa-bali menurut tulisan pigeaud (dalam Sri Wulan Rujiati Mulyadi,
1994: 7). Selain bentuk dan bahasa naskah yang beragam, naskah menurut Nancy
K. Florida (1991) digolongkan berdasarkan isi yang ada dalam naskah, adalah :
(1) Sejarah; (2) Adat istiadat; (3) Arsitektur; (4) Hukum; (5) Roman sejarah; (6)
Ramalan; (7) Kesusastraan; (8) Piwulang atau ajaran; (9) Wayang; (10) Cerita
wayang; (11) Syair puisi; (12) Roman islam; (13) Ajaran Islam; (14) Sejarah
Islam; (15) Mistik dan tari; (16) Linguistik; (17) Mistik kejawen; (18) Obat-
obatan; (19) lain lain.
4
Berdasarkan katalog Nancy K. Florida (1993:174) yang berjudul Javanese
Language Manuscripts of Surakarta Central Java A Preliminery Descriptive
Catalogus Level II Peneliti tertarik pada satu naskah dengan judul Serat Pratelan
Miyos-dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana VII Kaprabon
Garebeg Mulud ing Taun Dal 1775. Peneliti tidak menggunakan judul tersebut,
karena sampul depan naskah menunjukkan bahwa naskah berjudul Garebeg
Mulud PB VII, sehingga peneliti menggunakan judul tersebut sebagai judul
penelitian, selanjutnya akan disebut SGM. Penelitian dalam tulisan ini termasuk
dalam naskah kategori (2), yang berisi mengenai adat istiadat.
Peneliti mengetahui kategori naskah yang diteliti ini belum ada yang
meneliti naskah SGM, sehingga selanjutnya dilakukan inventarisasi naskah di
beberapa katalog. Hasil penelurusan pada katalog-katalog naskah, tidak
ditemukan judul yang sama ataupun serupa dengan naskah SGM. Naskah ini
tercatat pada katalog Nancy K. Florida yang berjudul Javanese Language
Manuscripts of Surakarta Central Java A Preliminery Descriptive Catalogus
Level II dengan nomor MN 271C atau H 42 (Dalam Katalog Naskah
Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta). Judul naskah SGM ini terdapat
pada cover depan, halaman pertama dan ketiga sedangkan nomor katalog yaitu H
42 dicantumkan dalam cover luar.
Gambar 1: Gambar cover luar naskah SGM
5
Gambar 2: Judul ditulis dengan tinta biru pada halaman 1.
Berbunyi : “ Hari Grebeg Moeloed”
Artinya : Hari Garebeg Mulud.
Gambar 3: Judul dalam halaman 3.
Berbunyi : “Punika pratèlanipun miyos Dalêm Kaprabon, Garêbêg Mulud
ing taun Dal”.
Artinya : ini penjelasan keluarnya sang Raja pada saat Garebeg Mulud
tahun Dal
Gambar 4: Tanda tangan penulis
( SGM halaman 1)
Gambar 5: Tanda tangan penulis
(SGM halaman 2)
6
Gambar 6: Judul naskah yang tertera pada cover
Naskah SGM ini membahas tentang prosesi upacara yang diadakan ketika
masa pemerintahan Kangjeng Sinuhun Paku Buwana VII. SGM ini ditulis
menggunakan aksara dan bahasa Jawa, serta kata serapan dari bahasa asing.
Berbentuk prosa dengan jumlah halaman sebanyak 19 halaman + 1 halaman
kosong. Berikut kutipan kata serapan bahasa asing yang terdapat dalam SGM :
Gambar 7: Kata serapan
(SGM halaman 5)
Berbunyi : “Dragundêr”
Artinya : Beserta Kerabat
Dalam gambar tersebut terdapat sisipan kata berbahasa Belanda
“Dragundêr” namun yang benar adalah kata “Drahgundêr” yang berarti
“beserta kerabat”.
7
Naskah-naskah tradisi yang memiliki umur lebih tua dari naskah
SGMsebenarnya masih banyak, namun naskah SGM ini merupakan naskah
tunggal yang perlu dan segera diselamatkan dari kerusakan. Alasan dipilihnya
naskah SGM untuk diteliti dikarenakan oleh dua faktor. Pertama dari segi filologis
dan kedua dari segi isi. Diperlukan adanya kajian filologis untuk mendapatkan
suntingan teks yang bersih dari kesalahan supaya dapat dan mudah dipahami serta
dapat terbaca oleh masyarakat. Adapun masalah-masalah filologis yang ada dalam
naskah SGM adalah terdapat varian lakuna, hiperkorek, ketidakkonsistenan
penulisan, adanya penambahan langsung, berupa coretan sebagai koreksi teks
yang salah, tidak ada tanda penutup cerita dalam akhir teks SGM.
Beberapa masalah filologis yang terdapat dalam teks SGM, yaitu sebagai
berikut:
a. Lakuna adalah bagian yang terlampaui/ kelewatan, baik suku kata, kata,
kelompok kata maupun kalimat.
Gambar 8: Lakuna
(SGM halaman 3)
Dalam gambar tersebut terdapat kalimat berbunyi : “Ingkang
Sinuhun Kajêng Susuhunan”, artinya: Yang Terhormat Kangjeng
Susuhunan. Kutipan tersebut terdapat kekurangan huruf “ng” pada kata
“Kajêng”, dibetulkan berdasarkan pertimbangan linguistik menjadi
8
“Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan”, artinya: yang terhormat
Kangjeng Susuhunan.
b. Hiperkorek yaitu perubahan ejaan karena pergeseran lafal
Gambar 9: Hiperkorek
(SGM halaman 4)
Dalam gambar tersebut tertulis: “...adad sabên”, artinya : adat
kebiasaan. Berdasarkan pertimbangan linguistik, kata “adad”, menjadi
hiperkorek, penulisan yang benar adalah “adat” bukan “adad”.
c. Ketidakkonsistenan penulisan
(a)
Gambar 10: Ketidakkonsistenan (SGM halaman 6)
Dalam gambar tersebut tertulis: “sami soan wontên ing”, artinya:
semua menghadap di.
(b)
Gambar 11: Ketidakkonsistenan (SGM halaman 6)
9
Dalam gambar tersebut tertulis: “sami sowan wontên ing ngandhap
sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo.
Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “soan” dan “sowan”,
kata “soan” menjadi tidak konsisten karena tidak menggunakan huruf
“wa”melainkan menggunakan huruf “ha”, penulisan yang benar adalah
“sowan”.
(a)
Gambar 12: Ketidakkonsistenan (SGM halaman 3)
Berbunyi : “ing wanci pukul satêngah wolu”
Artinya : Pada waktu pukul setengah delapan.
(b)
Gambar 13: Ketidakkonsistenan (SGM halaman 5)
Berbunyi : “wanci jam 8”
Artinya : waktu jam 8.
Dalam kedua gambar tersebut, penulisan penunjukan waktu pada
kata (a) “wolu” menggunakan huruf Jawa, sedangkan (b) “8” penulisan
menggunakan angka Jawa. Seharusnya kata “wolu” yang ditulis dengan
menggunakan angka Jawa diganti menjadi huruf Jawa. Karena sebagian
besar penunjukan waktu dalam naskah tersebut menggunakan huruf Jawa.
10
(a)
Gambar 14: Ketidak konsistenan (SGM halaman 3)
Berbunyi : “Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan”
Artinya : Yang Terhormat Kangjeng Susuhunan.
(b)
Gambar 15: Ketidakkonsistenan (SGM halaman 7)
Berbunyi : “kalih Radên Mas Riya Jayadiningrat”
Artinya : dengan Radên Mas Riya Jayadiningrat”
Dalam kedua gambar tersebut kata “Susuhunan” menggunakan
“na” murda, sedangkan kata “Diningrat” tidak menggunakan “na”
murda, seharusnya dalam penulisan nama gelar dan nama diri, nama
geografi, dan nama lembaga menggunakan huruf murda. Jadi huruf yang
benar dalam kata “diningrat” adalah menggunakan huruf “na” murda.
11
d. Adanya penambahan langsung
Gambar 16: Penambahan langsung (SGM halaman 4)
Berbunyi :
Bab kaping 8
Lajêng abdi dalêm Radèn Ngabèhi Suranagara, Radèn Ngabèhi
Tohpati, amêdalakên agêm dalêm titihan. Pandêngan kekalih,
ingkang satunggil dipunagêmi kambil watangan, baludru abrit prabot
mas, èbèg pêthak adêg-adêg cêmêng ciri suwiring, ingkang satunggil
kaambilan cukêl raja, sami baludru abrit...., kasongsongan jêne atal,
kaapit-apit waos kawan, sarta kaurung-urung abdi dalêm Dêmang
bêkêl ing Bai, abdi dalêm mantri Gamêl mantri Panêgar sajajaripun,
sami andhèrèkakên wontên sawingkinging titihan, sami angampil
camêthi utawi carak kaliyan kanthil pirantosan nitih, sangajênging
titihan kajajaran gêlodhog kêkalih, wadhah krakab akaliyan dhalung
ingkang ngrêmbat sami sikêp ing baki, wêdalipu-[5]n titihan Dalêm
dhatêng Pagêlaran, wonten sawetanipun Bangsal Pangrawit.
Artinya :
Bab ke 8
Kemudian abdi dalem Raden Ngabehi Suranagara dan Raden Ngabehi
Tohpati mengeluarkan kendaraan Raja. Kedua kendaraan tersebut
yang satu diberi kelapa batangan, baludru merah peralatan emas, kain
alas penyangga berwarna hitam ciri pinggirannya, sedangkan yang
satu diambilkan Cukel Raja, juga kain baludru berwarna merah.......,
12
terbungkus kain kuning gading, terapit empat tumbak, serta diiringi
oleh abdi dalem Demang Bekel dari Bai, abdi dalem Mantri Panegar
sejajarnya, semua abdi dalem mengikuti di belakang kendaraan,
semua membawa cambuk atau Carak dan gantungan peralatan
mengendara, di depan kendaraan dijajari dua Gelodhog yang
memanggul tempat rodhong dan kendhil besar, semua membawa di
nampan, kendaraan Raja keluar-[5]nya menuju Pagelaran, di timur
Bangsal Pangrawit..
Penambahan langsung pada teks di atas ditandai dengan garis
bawah pada teks asli. Penambahan langsung dilakukan dengan cara
menyisipkan tulisan di belakang kalimat untuk melengkapi kalimat yang
dianggap kurang lengkap.
e. Berupa coretan sebagai koreksi teks yang salah
Gambar 17: Coretan sebagai koreksi yang salah (SGM halaman 4)
Berbunyi : “agêmi prabot watangan, baludru abrit prabot mas”
Artinya : memakai perabot batangan, bludru merah peralatan emas.
Dalam gambar tersebut tertulis kata “kambil”, kata tersebut
merupakan pembetulan dari coretan sebagai koreksi yang salah dari kata
“prabot”.
13
f. Tidak ada tanda penutup cerita (Wasanapada) dalam akhir teks SGM.
Gambar 18: Tidak ada tanda Wasanapada (SGM halaman 19)
Dalam gambar di atas tertulis: “mênggah abdi dalem prajurit
Tamtama, Miji Pinilih, Jayeng Astra, Jayataka, Jager Rajêgwêsi,
Kawandasa Cêmêng, Kawandasa Abrit, Saragêni.”, yang artinya : tanpa
terkecuali abdi dalem prajurit Tamtama, Miji Pinilih, Jayeng Astra,
Jayantaka, Jager Rajegwesi, Kawandasa Cemeng, Kawandasa Abrit,
Sarageni. Setelah kata “Saragêni” tidak ada tanda penutup cerita atau
Wasanapada, yang berbunyi “titi” sebagai tanda bahwa naskah tersebut
sudah selesai ditulis.
Bukti kesalahan tulis di atas terdapat dalam naskah SGM. Berdasarkan
pada kesalahan tulis yang ditemukan, maka SGM perlu diadakan suntingan teks
dengan mengkritisi naskah secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal
tersebut untuk menentukan naskah yang mendekati aslinya, sesuai dengan cara
kerja penelitian filologi.
Kedua, segi isi naskah SGM sangat menarik untuk mengungkap prosesi
upacara yang terkandung di dalamnya, mengingat SGM merupakan naskah
14
tentang tradisi atau upacara tradisional, yaitu upacara adat istiadat kebudayaan
Jawa, khususnya di lingkungan Karaton Surakarta.
Garebeg sendiri memiliki makna (1) riyaya gedhe ing sasi Mulud, Pasa
lan Besar, atau Grebeg (2) brebeg banget (ing kuping), sedangkan Mulud
memiliki arti (1) dina wiyosan lan sedane K.N. Mukamad, 12 Rabingulawal, (2) -
an: slametan ing sasi Mulud, slawatan ing sasi Mulud (Poerwadarminta, 1939).
Menurut Soepanto, et al. (1991-1992: 55) Garebeg Mulud ialah garebeg yang
diselenggarakan pada bulan Mulud, atau bulan Rabiulawal. Garebeg Mulud
merupakan suatu perayaan hari kelahiran dan kematian Nabi Muhammad SAW
yang dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiulawal atau Mulud dengan ditandai
dengan keluarnya raja beserta Gunungan.
Upacara Garebeg Mulud tidak bisa lepas dari perayaan Sekaten sebagai
tradisi keagamaan yang berlangsung dari tanggal 5-12 Rabiulawal (Ani Rostiyati,
et al., 1994/1995: 76). Dapat disimpulkan bahwa upacara Garebeg Mulud dan
Sekaten saling berkaitan, karena Garebeg Mulud merupakan upacara yang
dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiulawal, sedangkan Sekaten merupakan
perayaan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan pada tanggal 5-
12 rabiulawal. Tradisi Sekaten di Surakarta adalah merupakan kelanjutan daripada
perayaan Sekaten di Demak dan tradisi tersebut dihubungkan dengan kelahiran
Nabi Muhammad S.A.W (Waldiya, 1981: 53).
Pelaksanaan upacara Garebeg Mulud pada tanggal 12 Rabiulawal tahun
Dal dalam SGM dimulai dengan mempersiapkan alat-alat yang nantinya akan
digunakan dalam upacara Garebeg Mulud seperti pemindahan gamelan Sekaten
dari Masjid Agung ke Sitinggil sebelah utara, penanaman umbul-umbul, hingga
15
memepersiapkan dan memindahkan gunungan. Hampir setiap peralatan yang akan
digunakan dalam upacara Garebeg Mulud diberi sesajen berupa gula dan kelapa,
kembar mayang. Setiap prosesi atau kegiatan diiringi Gendhing khas upacara
Garebeg Mulud.
Setelah semua peralatan selesai dipersiapkan dan diletakkan sesuai dengan
tempatnya. Para Punggawa Keraton pun mempersiapkan diri sesuai posisi yang
seharusnya dan setiap posisi punggawa dijelaskan dalam setiap bab dalam teks
SGM. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini :
Wanci jam 8 abdi dalêm prajurit sêdaya sami lumêbêt, ingkang dados
pangajêng prajurit Tamtama, anuntên prajurit Miji Pinilih, anuntên
prajurit Jayèng Astra, anuntên prajurit Carangan, dumuginipun ing
palataran lajêng kèndêl baris, prajurit Tamtama baris wontên
salèripun ing paringgitan, prajurit Miji Pinilih baris wontên
sakidulipun panggung Sangga Buwana, prajurit Jayèng Astra baris
wontên sawètanipun ing pandhapi, prajurit Carangan baris wontên
sawetanipun ing pandhapi ijêm, sêdaya wau lajêng sami amêndhêt
satandaripun piyambak-piyambak.
Artinya: Pada pukul 8.00 (delapan) abdi dalem prajurit semua masuk,
yang menjadi pimpinan, prajurit Tamtama, kemudian prajurit Miji
Pinilih, kemudian prajurit Jayeng Astra, kemudian prajurit Carangan,
sesampainya di palataran berhenti dan berbaris, prajurit Tamtama
berbaris di sebelah utara Paringgitan, prajurit Miji Pinilih berbaris di
selatan Panggung Sangga Buwana, prajurit Jayeng Astra baris di timur
Pendhapa, prajurit Carangan baris di sebelah timur Pendhapa hijau.
Semua tadi kemudian saling mengambil posisi masing-masing.
Dijelaskan pula dalam naskah ini peralatan yang dibawa oleh para
punggawa dan disebutkan tugas abdi dalem, selain itu dibahas juga pakaian yang
dikenakan Sinuhun Kangjeng Susuhunan ketika datang di Pendapa. Seperti yang
terdapat di dalam bab ke 17 :
“Ing wanci jam sêdasa, ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan miyos
têdhak ing Mandhapi Agêng, lênggah ing dhampar, suku mas majêng
mangalèr, lêlèmèk baludru abrit rinenda bara, agêm agêman dalêm
Kaprabon kampuwan kuluk biru nèm, agêm dalêm rasukan baludru
cêmêng, angagêm bintang kaprabon, paningsêt pathola cêmêng, agêm
16
dalêm calana baludru cêmêng, rinenda Mas sinilih-asih, ngagêm
canela tinarètès ing sêla byur, para èstri angampil-ampil upacara
Dalêm kaprabon, sami alênggah wontên adatipun ingkang sampun
kalampahan”.
Artinya: Di waktu pukul sepuluh, yang terhormat Kangjeng
Susuhunan keluar datang di Pendapa Ageng, duduk di Singgasana,
kakinya menghadap ke arah barat, beralaskan kain baludru berwarna
merah berendakan gemerlap, pakai-pakaian Raja mahkota berwarna
biru muda, pakaian Raja baju dari kain baludru berwarna hitam,
memakai bintang Kerajaan, memakai pengikat dari sutra halus
berwarna hitam, pakaian Raja celana dari kain baludru hitam,
berendakan emas berselang-seling, memakai sepatu (selop) yang
berenda berkilau/gemerlap, para wanita membawa upacara Kerajaan,
semua duduk di tempat biasanya yang sudah berjalan.
Dijelaskan bahwa upacara Garebeg Mulud merupakan upacara yang
berbeda dengan upacara garebeg lainnya. Seperti yang dijelaskan dalam kutipan di
bawah ini:
..Nanging garêbêg têtiga, Mulud ingkang botên panuju ing taun Dal,
utawi Garêbêg Siyam, Garêbêg Bêsar, garêbêg tetiga wau dados
satunggal kemawon, sabab pakurmatanipun tuwin samukawisipun sami
botên wontên sanèsipun, amung Garêbêg Mulud taun Dal punika
ingkang sanès.
Artinya : Tetapi Garebeg ketiga, Mulud yang tidak di tahun Dal atau
Garebeg Pasa, Garebeg Besar, Garebeg tadi menjadi satu saja, karena
penghormatan juga semuanya sama tidak ada perbedaannya, hanya
Garebeg Mulud tahun Dal inilah yang berbeda.
Menurut sampel di atas, isi dari naskah SGM sangat menarik dan dapat
bermanfaat bagi masyarakat. Kelihatannya Garebeg Mulud merupakan acara
menarik bagi masyarakat, sehingga mendapat pernghormatan tersendiri. Hingga
sekarang, perayaan Garebeg Mulud masih menarik perhatian masyarakat dan para
peneliti. Hal ini terbukti dengan adanya penelitian-penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan Perayaan Garebeg Mulud atau Sekaten, namun diluar penelitian
pada bidang kajian filologis. Naskah SGM sudah dialihaksarakan oleh Dra.
Mulyani, setelah diteliti ternyata masih ada kesalahan dalam alihaksara tersebut.
17
Penjelasan di atas dapat dijadikan tolok ukur mengapa naskah SGM harus
dikaji lebih lanjut, baik secara filologis maupun isinya, mengingat masih banyak
permasalahan-permasalahan yang ada di dalam teks yang perlu dianalisis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti
dapat merumuskan masalah dalam penelitian teks SGM adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana teks dari naskah SGM yang dipandang benar, bersih dari
kesalahan?
2. Bagaimanakah prosesi dan makna simbolis pada upacara Garebeg Mulud
PB VII yang terkandung dalam naskah SGM?
C. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian terhadap SGM yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Menyajikan dan memperoleh teks SGM yang dipandang benar, bersih dari
kesalahan.
2. Mengungkapkan prosesi dan makna simbolis upacara Garebeg Mulud
pada masa PB VII yang terkandung di dalam teks SGM.
D. Batasan Masalah
Pembahasan yang dikaji dari naskah ini sangat beragam. Untuk itu
diperlukan adanya batasan masalah, supaya tidak terjadi pelebaran pembahasan
dalam penelitian ini. Batasan masalah dapat dilihat dari salah satu sudut pandang,
yaitu disiplin ilmu yang digeluti oleh peneliti. Naskah ini dapat dikaji dalam
18
berbagai ilmu diantaranya dalam ilmu sastra, filsafat, semiotik, sintaksis, filologi,
dan lainnya. Banyaknya masalah yang perlu dikaji dalam penelitian ini dan latar
belakang disiplin ilmu peneliti sangat mempengaruhi penelitian ini. Bidang ilmu
peneliti adalah bidang filologi, maka dari itu penelitian ini lebih menekankan
kajian filologi tradisional dan kajian isi dalam teks SGM yang tersimpan di Reksa
Pustaka Pura Mangkunegaran, Surakarta. Filologi tradisional mengupas
permasalahan melalui cara kerja filologis, sedangkan kajian isi mendeskripsikan
prosesi, serta makna simbolis dalam upacara Garebeg Mulud tahun Dal pada masa
pemerintahan Kangjeng Paku Buwana VII yang terkandung dalam teks SGM.
E. Landasan Teori
1. Pengertian Filologi
Filologi adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk
memahami kebudayaan suatu bangsa melalui teks-teks tertulis di dalam naskah-
naskah klasik (Bani Sudardi, 2003: 7). Sudibyo (2007: 107) menyatakan bahwa
secara etimologis, filologi berarti ketertarikan dan keterpesonaan terhadap kata.
Hal ini sejalan dengan pendapat Siti Baroroh Baried et al., (1994:1) yang
menjelaskan bahwa kata filologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani
philologia yang terdiri dari dua kata yaitu philos yang berarti “cinta” dan logos
yang berarti “kata”. Sehingga filologi dapat diartikan sebagai “cinta kata” atau
“senang bertutur”, yang kemudian berkembang menjadi “senang belajar”, “senang
ilmu”, dan “senang kesastraan” atau “senang kebudayaan”.
Menurut Hartini (2014: 3) filologi merupakan ilmu yang menyelidiki
berbagai peninggalan nenek moyang masa lampau yang tertulis di atas kertas,
19
lontar, dluwang, kulit kayu, nipah dan sebagainya. Istilah filologi dalam sejarah
perkembangannya mengalami perubahan dan perkembangan, menurut Edwar
Djamaris (2002: 3) Pengertian filologi adalah suatu ilmu yang objek penelitiannya
adalah naskah-naskah lama.
Bani Sudardi (2003: 7) menyatakan bahwa filologi merupakan suatau
disiplin ilmu yang bertujuan untuk memahami kebudayaan suatu bangsa melalui
teks-teks yang tertulis di dalam naskah-naskah klasik. Filologi dalam arti luas
adalah ilmu yang mempelajari segala segi kehidupan di masa lalu seperti yang
ditemukan dalam tulisan dan di dalamnya tercakup bahasa, sastra, adat istiadat,
hukum, dan lain sebagainya (Achadiati Ikram, 1997: 1). Pengertian filologi dapat
disimpulkan sebagai ilmu yang mengkaji bahasa, sastra, dan budaya dari masa
lalu yang terkandung di dalam sebuah teks yang bertujuan untuk mengungkapkan
makna dan isi dari sebuah naskah. Dengan melakukan pengkajian filologi, bangsa
yang memiliki naskah tersebut dapat mengtetahui latar belakang budaya yang
berkaitan dengan pandangan hidup, kepercayaan, dan adat-istiadat (Panuti
Sudjiman, 1995: 97).
2. Objek Filologi
Objek penelitian filologi adalah naskah dan teks. Siti Baroroh Baried et
al., (1994: 57) berpendapat bahwa naskah pada umumnya berupa buku atau bahan
tulisan tangan (handscrift atau manuscrift) dengan memakai daun, lontar,
dluwang, kulit kayu, rotan, bambu, dan kertas. Teks sendiri memiliki arti
kandungan atau muatan naskah berupa abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja
dan memuat berbagai ungkapan pikiran serta perasaan penulis yang disampaikan
kepada pembacanya. Teeuw, A. (1984: 253) memiliki pendapat tentang naskah
20
dan teks. Naskah akan dipakai dalam arti manuskrip, tulisan tangan : versi adalah
wujud sebuah karya, sedangkan istilah teks dipakai secara umum untuk wujud
sebuah tulisan.
Istilah teks dan naskah memiliki makna yang berbeda dalam istilah
filologi. Menurut Bani Sudardi (2003: 10) Istilah teks menunjukkan sesuatu yang
abstrak, sedangkan naskah merupakan sesuatu yang konkret. Dapat disimpulkan
bahwa filologi mempelajari kebudayaan masa lalu melalui teks-teks tertulis, yang
ditulis di suatu bahan yang disebut dengan naskah. Teks yang berasal dari masa
lalu tertulis di dalam sebuah naskah yang memiliki nilai budaya dapat disebut
sebagai objek penelitian filologi.
Sarjana barat pada masa lalu menekankan bahwa teks Indonesia berguna
untuk dipelajari karena mungkin dalam teks mengandung informasi penting yang
bermanfaat bagi ahli sejarah, antropolog, linguis, maupun mahasiswa teologia
(Robson, S.O, 1994: 7).
3. Langkah Kerja Penelitian Filologi
Edwar Djamaris (2002: 9) membagi langkah kerja penelitian filologi ke
dalam 6 tahapan, meliputi inventarisasi naskah (pengumpulan data), deskripsi
naskah, pertimbangan dan pengguguran naskah, dasar-dasar penentuan naskah
yang asli (autografi) atau naskah yang berwibawa, transliterasi naskah, suntingan
teks. Menurut Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), langkah kerja
penelitian filologi terdiri atas: penentuan sasaran penelitian, inventarisasi naskah,
observasi pendahuluan, penentuan naskah dasar, transliterasi naskah dan
penenerjemahan teks. Sedangkan langkah kerja penelitian filologi dalam
kumpulan makalah filologi menurut Edi S. Ekadjati (1992: 1-8), terdiri dari
21
inventarisasi naskah, deskripsi naskah, perbandingan naskah, pemilihan teks yang
akan diterbitkan, ringkasan isi naskah, alih aksara, dan penyajian teks. Dalam
praktiknya penanganan naskah SGM menggunakan langkah kerja menurut Edwar
Djamaris, yang dikombinasikan dengan langkah kerja menurut Manassa. Terdapat
modifikasi dengan tidak menggunakan langkah perbandingan naskah dalam
penanganan naskah, mengingat naskah SGM merupakan naskah tunggal dan tidak
ada naskah lain yang bisa digunakan untuk perbandingan. Langkah perbandingan
naskahyang tidak digunakan berupa pertimbangan dan pengguguran naskah,
dasar-dasar penentuan naskah yang asli (autografi) atau naskah yang berwibawa,
dan penentuan naskah dasar.
Langkah kerja penelitian filologi dalam naskah SGM dijelaskan secara
terperinci, sebagai berikut :
a. Penentuan Sasaran Penelitian
Pemilihan naskah sebagai objek kajian diperlukan mengingat jenis naskah
sangat beragam, sehingga seorang peneliti harus menentukan sasaran penelitian
sebagai langkah awal dalam penelitian. Secara umum jenis, isi, bentuk, bahasa,
aksara, alas penulisan, dan asal naskah berbeda-beda. Berdasarkan aksara
penulisan ada naskah yang bertuliskan huruf Arab, Jawa, Bali, Sasak, pegon,
makasar dan Batak. Penggunaan Bahasa juga beragam, menggunakan bahasa
Jawa, Sunda, Makasar, Minangkabau, Bugis dan Banjar. Adapula naskah yang
ditulis pada kertas, kulit kayu, atau rotan dan daun lontar. Dari segi bentuk,
naskah dibedakan menjadi dua yaitu berbentuk puisi dan berbentuk prosa.
Keragaman pada isi naskah juga dijumpai, diantaranya sejarah atau babad,
22
kesusastraan, ajaran atau piwulang, adat istiadat, roman, cerita dongeng, agama,
cerita wayang, primbon, silsilah, dan lain sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas, penentuan sasaran penelitian yang ingin
diteliti menjadi terbantu. Sasaran yang dipilih oleh peneliti adalah naskah
bertuliskan Jawa carik (manuscripts) yang ditulis pada kertas, berbentuk prosa
atau gancaran dan berisi tentang adat istiadat yang dilakukan oleh Kraton
Surakarta Hadiningrat. Bentuk tersebut telah terangkum secara menyeluruh di
dalam naskah SGM.
b. Inventarisasi Naskah
Inventarisasi naskah dilakukan melalui metode pustaka, seperti yang
diungkapkan oleh Edwar Djamaris (2002: 10) bahwa “pengumpulan data itu
dilakukan dengan metode studi pustaka”. Inventarisasi naskah dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara pertama mendata naskah di katalog-katalog naskah yang
terdapat di tempat-tempat penyimpanan naskah baik di museum maupun
perpustakaan, kemudian mengumpulkan naskah SGM yang berjudul sama dan
sejenis. Hasil dari pendataan dan pengumpulan naskah SGM kemudian dijadikan
sebagai objek penelitian.
Inventarisasi yang dilakukan pada naskah SGM melalui 9 (sembilan)
katalog berikut :
1. Javanese Language Manuscripts of Surakarta Central Java A
Preminary Descriptive catalogus Volume I, II, dan III ( Nancy K.
Florida, 1994),
23
2. Descriptive Catalogus of the Javanese Manuscripts and Printed Book
in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta (Girardet-Sutanto,
1983),
3. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 1 Museum Sana
Budaya Yogyakarta ( T. E Behrend, 1990),
4. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 2 Keraton Yogyakarta
(T. E Behrend et al., 1994),
5. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3A dan 3B (Edy
Sedyawati, et al., 1998),
6. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia (Lindstay, 1994).
7. Katalog Naskah Carik Koleksi Museum Radya pustaka Surakarta
8. Katalog Naskah Sasanapustaka Karaton Surakarta
9. Katalog Naskah Pura Mangkunegaran Surakarta.
Berdasarkan kesembilan katalog yang disebutkan di atas, tidak ditemukan
judul yang sama atau serupa dengan naskah SGM, sehingga dapat disumpulkan
bahwa naskah SGM merupakan naskah tunggal.
c. Observasi Pendahuluan
Peneliti Setelah mendapatkan hasil dari inventarisasi naskah diberbagai
katalog, kemudian melakukan observasi untuk mengecek keberadaan naskah dan
keadaan naskah. Observasi merupakan kegiatan pengamatan yang dilakukan
dengan pancaindra sebagai alat bantunya untuk mendapatkan data penelitian
(Burhan Bungin, 2008: 115). Observasi pendahuluan dapat dilakukan dengan cara
mengecek data secara langsung ke tempat koleksi naskah sesuai dengan informasi
24
yang diungkapkan oleh katalog. Tempat koleksi naskah SGM adalah Reksa
pustaka Pura Mangkunegaran. Setelah didapatkan objek yang dimaksud yaitu
SGM, kemudian langkah selanjutnya yang dilakukan dengan cara
mendeskripsikan naskah atau identifikasi naskah.
d. Deskripsi Naskah
Deskripsi naskah menurut Emuch Hermansoemantri (1986: 2) ialah uraian
ringkas naskah secara terperinci. Deskripsi naskah wajib dilakukan untuk
mengetahui informasi tentang naskah dan sejauh mana isi mengenai naskah yang
dijadikan data penelitian. Deskripsi naskah merupakan sarana untuk memberikan
informasi tentang judul naskah, tempat penyimpanan naskah, asal naskah,
keadaan naskah, ukuran naskah, tebal naskah, keadaan naskah, nomor naskah,
tempat penyimpanan naskah, asal naskah, keadaan naskah, ukuran naskah, tebal
naskah, jumlah baris setiap halaman, huruf,aksara, tulisan, cara penulisan, bahan
naskah, bahasa naskah, bentuk teks, umur naskah, pengarang atau penyalin, asal-
usul naskah, fungsi sosial naskah, serta ikhtisar teks atau cerita.
Deskripsi naskah dapat dilakukan apabila peneliti dapat bertemu langsung
dengan naskah yang dijadikan sebagai data penelitian. Kegiatan tersebut
dilakukan untuk mengecek data dan mendapatkan informasi valid secara langsung
mengenai naskah.
e. Transliterasi
Transliterasi menurut Edwar Djamaris (2002: 19) merupakan suatu
penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Panuti
Sudjiman (1995: 99) menyatakan bahwa transliterasi merupakan penggantian
suatu huruf dalam teks dengan huruf yang lainatau lebih dikenal dengan nama alih
25
aksara. Dua tugas pokok yang harus dilakukan peneliti dalam melakukan
transliterasi yaitu menjaga keaslian bahasa khususnya dalam hal penulisan kata
dan menyajikan teks sesuai dengan pedoman ejaan yang berlaku. Tugas tersebut
bertujuan untuk melindungi dan menjaga keabsahan data mengenai bahasa yang
digunakan dalam naskah serta memudahkan pembaca untuk memahami teks.
Penyajian bahan transliterasi haruslah lengkap, supaya dalam penelitian
mudah dibaca dan dipahami. Penyusunan kalimat dalam transliterasi harus jelas
disertai tanda-tanda baca, pembagian alinea dan bab yang diteliti dan disesuaikan
dengan ejaan yang berlaku supaya mempermudah dalam kegiatan pengolahan
data. Digunakan beberapa kamus dalam kegiatan transliterasi untuk menyesuaikan
ejaan bahasa Jawa yang berlaku saat ini, yakni Bausastra Jawa karangan W. J. S.
Poerwodarminta tahun 1939 dan Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) karangan
Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta tahun 2001.
f. Suntingan Teks dan Aparat Kritik
Suntingan teks merupakan hasil kritik teks yang disajikan dalam bentuk
asli berdasarkan bukti-bukti yang ada dalam naskah yang telah bersih dari
kesalahan. Kata kritik berasal dari bahasa Yunani krites artinya “seorang hakim”.
Kritik teks memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks
pada tempatnya yang tepat. Kegiatan kritik teks bertujuan untuk mengembalikan
teks ke bentuk aslinya (constitutio textus) sebagaimana diciptakan oleh
penciptanya (Siti Baroroh Baried et al.,1994: 61). Metode yang tepat digunakan
dalam kritik teks adalah metode edisi standar. Metode edisi standar digunakan
apabila naskah tidak ada pembanding atau merupakan naskah tunggal (Bani
Sudardi, 2003: 60). Metode standar digunakan karena isi naskah merupakan cerita
26
biasa, bukan dianggap sebagai cerita suci atau penting dalam keagamaan atau
sejarah, sehingga teks tidak perlu diperlakukan secara khusus atau istimewa
(Edwar Djamaris, 2002: 24).
Hasil kritik teks kemudian dimasukkan ke dalam suntingan teks dengan
cara memasukkan varian-varian yang terdapat dalam teks ke dalam aparat kritik
(Bani Sudardi, 2003: 58). Suntingan teks SGM tidak disajikan dalam bentuk
aksara asli teks lagi melainkan sudah dalam bentuk aksara latin. Penyajian dalam
bentuk latin dilakukan supaya mempermudah pembaca untuk memahami isi teks.
Aparat kritik atau apparatus criticus merupakan catatan pembetulan varian-varian
atau keterangan hasil kerja perbandingan naskah yang tempatnya biasa berada di
bawah teks atau di bawah terjemahan (Edi S. Ekadjati, 1992: 6). Menurut Edwar
Djamaris (2002: 8) Kelainan bacaan berupa kata-kata yang salah atau bacaan yang
salah di dalam naskah juga ditampilkan dalam aparat kritik. Aparat kritik
merupakan suatu pertanggungjawaban ilmiah atas suntingan filologis (Bani
Sudardi, 2003: 58).
Wujud Kelainan bacaan tersebut dapat berupa Korupsi atau bagian naskah
yang rusak, penambahan, pengurangan, perbedaan bacaan, kekhasan
bacaan hanya dalam satu tempat saja, huruf yang seharusnya ditulis ganda
hanya ditulis satu (Haplografi), penulisan ganda, penghilangan satu baris
teks, saut de meme au de meme (kelewatan akibat adanya dua kata yang
sama dalam satu baris/bagian) yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan
oleh penulis (Bani Sudardi, 2003: 56).
g. Terjemahan
Terjemahan merupakan suatu pengalihan makna yang sepadan dalam hal
isi dan bahasa dengan cara mengalihkan teks sumber ke teks bahasa sasaran yang
dilakukan secara lengkap dan terperinci. Pengalihan makna dilakukan dengan
maksud untuk mempermudah pemahaman terhadap isi teks dari suatu naskah,
27
sehingga masyarakat yang tidak menguasai bahasa naskah aslinya tetap dapat
mempelajari dan menyebarluaskan naskah (Darusuprapta, 1984: 27).
Seorang peneliti dalam melakukan penerjemahan memiliki potensi
berbeda dengan peneliti lainnya. Hal tersebut terjadi karena peneliti memiliki
kemampuan dalam menemukan makna yang belum diketahui artinya dengan pasti
secara tepat dari sebuah kata ( Edy Sedyawati, 1998: 3).
Metode penerjemahan isi atau makna digunakan dalam penelitian ini
karena teks SGM berbentuk prosa, sehingga dapat mempermudah dalam
penyampaian kandungan isi atau makna dari teks SGM. Penerjemahan naskah
SGM juga dilakukan untuk mempermudah masyarakat luas yang tidak mengerti
aksara jawa untuk membaca, memahami, dan menikmati teks SGM, maka dari itu
diperlukan adanya terjemahan dari bahasa jawa ke dalam bahasa indonesia.
4. Pengertian Upacara Adat dan Garebeg Mulud
Upacara merupakan suatu perayaan yang diselenggarakan karena adanya
suatu peristiwa penting (Sudarmanto, 2008: 378). Kata “adat” dalam Kamus
Bahasa Indonesia Lengkap (2007) memiliki makna aturan atau konvensi yang
telah ada sejak jaman nenek moyang, sedangkan kata “istiadat” berarti kebiasaan.
Adat istiadat dapat dikatakan sebagai aturan di masyarakat sejak masa lampau
yang mengikat dan menjadi suatu kebiasaan. Upacara adat dapat disimpulkan
sebagai suatu perayaan yang selalu diadakan karena adanya peristiwa penting
yang telah ada di masyarakat sejak jaman dahulu dan menjadi suatu aturan yang
mengikat hingga sekarang.
Upacara adat bisa disebut juga dengan selamatan karena di dalamnya
diadakan doa-doa yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan
28
kepada Tuhan YME. Ani Rostiyati, et al., (1994/1995: 1) menyatakan bahwa
aktivitas upacara atau selamatan merupakan salah satu usaha manusia sebagai
jembatan yang menghubungkan antara dunia bawah (manusia) dengan dunia ritus
atas (makhluk halus/Tuhannya) dengan harapan leluhur, roh halus dan Tuhannya
akan memberikan berkah keselamatan di dunia. Selamatan adalah versi Jawa dari
upacara keagamaan yang paling umum di dunia karena melambangkan kesatuan
mistis dan sosial dari mereka yang ikut hadir di dalam kegiatan tersebut (Geertz,
Clifford, 1989: 13).
Upacara adat yang masih ada hingga sekarang salah satunya adalah
upacara Muludan atau Garebeg Mulud. Upacara Garebeg Mulud merupakan
upacara yang digunakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW
setiap tanggal 12 Maulud yang ditandai dengan keluarnya Gunungan Raja yang di
iring dari Keraton hingga pada akhirnya didoakan dan dibagikan kepada
masyarakat di depan Masjid Agung. 12 mulud: hari yang menurut konvensi, nabi
dilahirkan da meninggal dunia, muludan tersebut disebut dengan slametan
(Geertz, Clifford, 1989: 105). Upacara Garebeg Mulud ini masih diselenggarakan
hingga sekarang di tiga keraton, yakni Keraton Yogyakarta, Surakarta, dan
Cirebon.
Ada sejarah lisan yang mewartakan bahwa dahulu kala para raja Jawa
selalu menyelenggarakan selamatan kerajaan (dalam bahasa Jawa disebut
wilujengan nagari) setiap tahun baru dengan sebutan rajawedha, memiliki makna
kitab suci raja atau kebajikan raja (B. Soelarto, 1993: 9). Herry Lisbijantoro
(2013: 38) menyatakan bahwa Garebeg Mulud sebenarnya merupakan
penyempurnaan dari upacara rajawedha (dalam agama Hindu), yang bertujuan
29
untuk memohon berkah serta keselamatan dari para dewa untuk kerajaan dan
penduduk kerajaan supaya terhindar dari wabah penyakit yang dilakukan setiap
awal tahun. Tujuan dari upacara kurban adalah untuk memohon keselamatan,
perlindungan untuk raja dan rakyatnya kepada Tuhan YME.
Banyak orang menyebut Garebeg Mulud dengan sebutan sekaten.
Garebeg mulud dan sekaten memang dilaksanakan dalam bulan yang sama
rabiulawal, akan tetapi keuda acara tersebut pelaksanaannya berbeda hari, namun
saling berkaitan. Garebeg Mulud merupakan acara pengeluaran hajad dalem
berupa Gunungan dalem yang dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiulawal tahun Dal
untuk memperingati kelahiran dan kematian nabi Muhammad SAW. Sekaten
merupakan acara untuk memeriahkanperingatan kelahiran dan kematian Nabi
Muhammad SAW berupa keramaian di alun-alun yang diadakan selama 7 hari
sebelum tanggal 12 rabiulawal. Hal tersebut sejalan dengan pendapat B. Soelarto
(1993: 12) yang menyatakan bahwa “Sekaten merupakan sebutan untuk perayaan
dan keramaian selama seminggu sebelum hari kelahiran nabi dalam bulan
rabiulawal”.
5. Simbolisme
Kata simbol sendiri berasal dari bahasa Yunani “Symbolon” yang berarti
ciri atau tanda yang memberikan sesuatu kepada seseorang (Suwardi Endraswara,
2012: 171). Simbol digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan pesan
tentang aturan seperti pesan-pesan agama, nilai-nilai budaya, norma-norma yang
ada di dalam masyarakat supaya dapat dijalankan dan tetap dilestarikan.
Simbol atau lambang menurut Budiono Herusatoto (2008: 18) adalah
“sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantara pemahaman terhadap
30
obyek”. Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa simbol merupakan sesuatu
hal yang digunakan sebagai perantara untuk memahami suatu obyek. Sebagai
contoh, apabila dalam suatu upacara kita memakai sesaji berupa gula dan kelapa,
gula dan kelapa dijadikan sebuah simbol dari keberanian dan kesucian. Ada 3
teori makna yang menerangkan perilaku manusia berdasarkan teori simbolik,
yakni :
a) Seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu didasarkan pada
makna yang ada didalam sesuatu tersebut, b) Makna sesuatu muncul
jika hal tersebut berada di lingkungan interaksi manusia, c) Seseorang
akan memegang makna tersebut untuk dijadikan referensi dan
interpretasi jika orang tersebut berhadapan dengan orang lain (Jonathan
Sarwono, 2006: 198).
Upacara adat mengandung simbolisme yang sangat menonjol karena pada
dasarnya simbolisme dalam masyarakat tradisional merupakan upaya pendekatan
manusia kepada Tuhannya yang mengatur kehidupan manusia dan membawakan
pesan religi kepada generasi mendatang yang selalu dilaksanakan (Budiono
Herusatoto, 2008: 48-49). Oleh karena itu, upacara adat akan tetap dilaksanakan
hingga nanti oleh generasi penerusnya walaupun dalam pelaksanaannya terdapat
sedikit perbedaan. Simbolisme yang ada dalam upacara adat tidak terbentuk
dengan sendirinya, namun terbentuk melalui pengalaman dan kebiasaan
masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Suwardi Endraswara (2012: 171)
yang menyatakan bahwa Simbol-simbol tersebut merupakan ciri dari keseluruhan
tingkah laku dan pemikiran manusia, sehingga manusia disebut sebagai animal
symboliticum.
Dalam budaya Jawa, bentuk-bentuk simbolisme sangat beragam dalam
segala hal dan dalam segala bidang. Bentuk-bentuk simbolisme itu menurut
Budiono Herusatoto (2008: 155-156) dikelompokkan dalam 3 macam tindakan,
31
yaitu a) tindakan simbolis dalam religi, b) tindakan simbolis dalam tradisi, c)
tindakan simbolis dalam kesenian.
Prosesi upacara Garebeg Mulud PB VII di naskah SGM mengandung
simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut tidak dapat dibaca secara langsung
melainkan harus melalui pemahaman. Seperti gunungan yang jika dipelajari dapat
diartikan sebagai perwujudan simbol.
6. Penelitian yang Relevan dengan Penelitian Naskah SGM
Penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Perayaan Garebeg
Mulud maupun Sekaten yaitu :
(a) Unsur-Unsur Agama Islam dalam Adat Garêbêg Mulud di Karaton
Kasunanan Surakarta oleh Suwito, pada tahun 1992. (020. Uns. Suw. 92).
Penelitian ini memaparkan tentang pelaksanaan Adat Garebeg di Kraton
Kasunanan Surakarta baik Adat Garebeg Besar, Pasa, maupun Garebeg Mulud.
menjelaskan juga tentang perayaan Sekaten sebagai media Dakwah Islam,
memandang Selamatan Gunungan dari sudut Agama Islam, dan usaha-usaha
lembaga Islam dalam menanamkan ajaran Islam dalam adat Garebeg Mulud.
(b) Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Grebeg Maulud di Kraton
Surakarta. Skripsi. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. 2010.
Santoso.
Penelitian ini secara umum membahas tentang latar belakang adanya
Tradisi Garebeg Maulud di Kraton Surakarta, prosesi dan Ritual Upacara
Garebeg Mulud secara lengkap, dan juga membahas tentang nilai-nilai pendidikan
Islam dalam masing-masing Gunungan. Nilai-nilai pendidikan Islam dalam
32
barang-barang yang dijual dalam perayaan sekaten juga dibahas dalam penelitian
ini.
(c) Tinjauan Secara Filosofis Terhadap Makna Simbol Upacara Gunungan
Dalem Sekaten Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. 2008. Nunik
Umiyati (085.Tin. Nun).
Penelitian ini menjelaskan secara umum mengenai pengertian, bentuk, dan
fungsi Upacara dan Simbol. Selain itu gambaran umum Karaton Kasunanan
Surakarta Hadiningrat tentang Kondisi Ekonomi, Keagamaan, serta Sejarah atau
lambang bangunan-bangunan keraton. Dijelaskan pula tentang gambaran umum
dalam upacara Gunungan Sekaten baik selama persiapan, prosesi maupun makna
serta memaparkan dimensi simbol dalam gunungan sekaten, secara dimensi
simbol, ketuhanan,dan Kemanusiaan.
F. Data dan Sumber Data
Data merupakan hasil dari sebuah sumber data, berupa naskah dan teks.
Data yang diperoleh dari penelitian merupakan data empiris yang valid
(Sugiyono, 2014: 2). Data penelitian dapat digunakan sebagai data primer dan
sekunder karena SGM merupakan naskah tunggal. Data dalam penelitian ini
adalah naskah dan teks SGM dengan nomor katalog H42. Penelitian ini juga
menggunakan data sekunder untuk menunjang penelitian. Data sekunder terbagi
menjadi dua yakni bahan pustaka dan hasil wawancara, keduanya terkait tradisi
Garebeg Mulud. Naskah yang bersih dari kesalahan menjadi sumber data untuk
analisis isi.
33
Sumber data adalah sesuatu yang dapat menghasilkan data dan merupakan
tempat dari data tersebut dihasilkan. Tanpa adanya sumber data, tidak akan
diperoleh sebuah data (Sutopo, 2002: 49). Sumber data dalam penelitian ini
berupa tempat dan narasumber (informan). Tempat dalam sumber data penelitian
ini adalah penyimpanan naskah SGM Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran
Surakarta. Narasumber dalam penelitian ini adalah Budayawan yakni KGPH.
Dipokusumo. Data yang ingin didapat dari narasumber berupa informasi
mengenai prosesi upacara Garebeg Mulud yang dapat dijadikan sebagai data
sekunder untuk kajian isi.
G. Metode dan Teknik
1. Bentuk dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian filologi. Penelitian filologi
menggunakan objek kajian berupa manuskrip (naskah tulisan tangan) dengan
mendasarkan pada pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Penelitian ini
merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan
penelitian yang menghasilkan prosedur analisis menggunakan pendekatan
kualitatif yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara
kuantifikasi (Moleong, Lexy J., 2014: 6).
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan untuk
menggambarkan, menuliskan, melukiskan, melaporkan objek penelitian pada saat
ini berdasarkan data yang ditemukan melalui pendekatan kualitatif yang bersifat
deskriptif. Menurut Sutopo (2002: 111) penelitian ini mengarah pada
pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai gambaran keadaan tentang
34
apa yang sebenarnya terjadi berdasarkan data yang ada di lapangan. Penelitian
kualitatif memusatkan perhatiannya pada pengumpulan data kualitatif yang
berupa informasi kualitatif yang disampaikan secara lisan maupun tertulis.
Kebenaran menurut penelitian kualitatif bergantung pada dunia realitas empirik
dan konsensus dalam masyarakat ilmuwan (S. Nasution, 1996: 6). Dalam
penelitian kualitatif peneliti berbaur menjadi satu dengan yang diteliti sehingga
peneliti dapat memahami persoalan dari sudut pandang yang diteliti itu sendiri
(Jonathan Sarwono, 2006: 194).
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
content analysis dan wawancara. Teknik content analysis ini mencatat isi penting
tentang makna yang tersirat tidak sekedar mencatat makna yang tersurat dalam
dokumen atau arsip (Yin dalam Sutopo, 2002 : 69-70). Secara teknis content
analysis mencakup upaya: a) klasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam
komunikasi, b) menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi, dan c)
menggunakan teknik analisis tertentu sebagai pembuat prediksi (Noeng Muhadjir,
2000: 68).
Content analysis menggunakan arsip dan dokumen sebagai sumber data
pokok dalam penelitian kesejarahan, terutama untuk mendukung proses
interpretasi dari setiap peristiwa yang diteliti (Sutopo, 2002: 69). Sumber data
dalam penelitian ini berupa naskah dan teks SGM serta teks yang telah bersih dari
kesalahan.
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dengan langkah-langkah
sebagai berikut (a) membaca beberapa katalog naskah yang tersimpan di
35
perpustakaan atau museum yang ada, (b) mendatangi beberapa tempat lokasi yang
memiliki koleksi naskah baik koleksi pribadi maupun koleksi naskah umum
(dijaga) kemudian mendaftar judul, (c) mengecek dan memastikan kebenaran
naskah ke lokasi penyimpanan naskah dan mengadakan pengamatan untuk
memastikan keberadaan naskah ke lokasi penyimpanan naskah dan mengadakan
pengamatan, (d) menemui naskah yang dimaksudkan yaitu naskah SGM,
selanjutnya mengambil gambar naskah SGM dengan kamera digital tanpa
menggunakan blits supaya tidak merusak naskah, (e) mentransfer data ke dalam
komputer melalui program ACDsee photo Manager 21 dan Microsoft Office
Picture Manager Setelah semua data diperoleh (f) melakukan pengeditan dengan
menggunakan Program Photoscape supaya gambar terlihat jelas, (g) data dipindah
ke Microsoft Office 2007 untuk dijadikan bahan pengkajian filologis dan kajian
isi, (h) setelah itu mencari data sekunder dengan mengumpulkan referensi (buku-
buku, jurnal, makalah, artikel) tentang Garebeg Mulud.
Teknik wawancara dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara
mendalam (tidak terstruktur). Wawancara mendalam merupakan proses
memperoleh penjelasan untuk mendapatkan data penelitian tanpa menggunakan
pedoman wawancara, melalui cara tanya jawab dengan sambil bertatap muka
antara pewawancara dan informan (Burhan Bungin, 2008: 108). Sugiyono (2014:
233) menyatakan bahwa wawancara tak berstruktur (unstructrured interview)
adalah kegiatan wawancara yang dilakukan secara bebas tanpa menggunakan
pedoman wawancara yang sudah disusun secara sistematis dan lengkap untuk
pengumpulan sebuah data. Wawancara mendalam atau tidak berstruktur dilakukan
dengan budayawan yakni KGPH Dipokusumo pada tanggal 28 April 2016 di
36
Ruang Dosen Hubungan Internasional Universitas Slamet Riyadi. Wawancara ini
dilakukan untuk menggali informasi secara mendalam tentang objek penelitian
yang belum dimengerti oleh peneliti yaitu Garebeg Mulud.
3. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini analisis data yang dilakukan menggunakan teknik
penyuntingan naskah tunggal yang sesuai dengan kajian filologis. Objek
penelitian berupa naskah tunggal, dengan menggunakan analisis berupa edisi
standar. “Metode standar adalah metode yang biasa digunakan dalam
penyuntingan teks naskah tunggal” (Edwar Djamaris, 2002: 24). Digunakannya
edisi standar dalam penelitian ini, karena isi dalam naskah SGM ini dianggap
sebagai hal yang biasa dan bukan merupakan sesuatu yang dianggap suci atau
sakral. Namun, langkah kerja dengan menggunakan perbandingan naskah dan
dasar-dasar penentuan naskah dasar yang akan ditransliterasi tidak berlaku dalam
penggarapan naskah tunggal ini.
Menurut Edwar Djamaris (2002: 24), hal-hal yang perlu dilakukan dalam
edisi standar antara lain, yaitu :
1. mentransliterasi teks
2. membetulkan kesalahan teks
3. membuat catatan perbaikan
4. memberi komentar atau tafsiran
5. membagi teks menjadi beberapa bagian; dan
6. menyusun daftar kata-kata sukar.
Edisi standar ini bertujuan untuk memudahkan pembaca dalam memahami
dan membaca teks.
37
Setelah memperoleh suntingan teks yang bersih dari kesalahan, kemudian
dilanjutkan dengan analisis data kedua dengan menggunakan teknik analisis isi.
Dalam KBBI (2007) interpretasi merupakan pemberian kesan, pendapat dan
pandangan terhadap sesuatu. Analisis isi dilakukan dengan tujuan untuk
mengungkap isi yang terkandung di naskah atau teks. Jawaban atas tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini menggunakan simpulan akhir. Penarikan
simpulan mengacu pada analisis data dengan menyajikan hasil dari suntingan teks
yang telah bersih dari kesalahan dan isi teks yang telah ditelaah.
H. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini diuraikan sistematika berupa:
I. Pendahuluan
Bab ini merupakan uraian tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, landasan teori, data dan
sumber data, metode dan teknik, dan sistematika penulisan.
II. Analisis Data
Analisis Data merupakan bagian yang memaparkan hasil analisis dari
permasalahan yang dibahas dalam penelitian, yaitu mengenai kajian
filologis dan kajian isi naskah SGM.
III. Penutup
Berisi kesimpulan dan saran, pada bagian akhir dicantumkan daftar
pustaka dan lampiran-lampiran.