25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jerawat merupakan permasalahan kulit yang dapat mengurangi rasa percaya diri, khususnya pada remaja dan dewasa muda. Jerawat disebabkan antara lain oleh produksi sebum berlebihan, peningkatan hormon androgen, dan infeksi bakteri, seperti Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis (Yuindartanto, 2009). Infeksi bakteri penyebab jerawat dapat diobati dengan antibiotik dan obat sintetik lainya, namun obat ini memiliki efek samping antara lain iritasi dan pada penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan resistensi (Wasitaadmadja, 1997). Efek samping dari penggunaan obat jerawat sintetik mendorong banyak ahli menciptakan obat jerawat menggunakan tanaman obat. Chromolaena odorata L. merupakan tanaman obat yang memiliki aktivitas sebagai antijerawat (Chomnawang et al., 2005). Ekstrak etanolik daun C. odorata memiliki aktivitas terhadap bakteri Propionibacterium acnes dan Staphylococcus epidermidis dengan nilai MIC 0,625 mg/mL (Chomnawang et al., 2005) dan terhadap Staphylococcus aureus memiliki MIC 1,25 mg/mL (Chomnawang et al., 2004). Hasnawati (2010) menyatakan bahwa isolat senyawa aktif daun C. odorata belum bisa diidentifikasi, namun senyawa aktif tersebut pada loading 250 μg memberikan aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Eschericia coli dengan diameter hambat 9,5 mm dan 7,2 mm.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85170/potongan/S1-2015... · Pertimbangan pemilihan metode penyarian yang baik adalah wujud dan bahan

  • Upload
    lyanh

  • View
    217

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jerawat merupakan permasalahan kulit yang dapat mengurangi rasa

percaya diri, khususnya pada remaja dan dewasa muda. Jerawat disebabkan antara

lain oleh produksi sebum berlebihan, peningkatan hormon androgen, dan infeksi

bakteri, seperti Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis

(Yuindartanto, 2009).

Infeksi bakteri penyebab jerawat dapat diobati dengan antibiotik dan obat

sintetik lainya, namun obat ini memiliki efek samping antara lain iritasi dan pada

penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan resistensi (Wasitaadmadja,

1997). Efek samping dari penggunaan obat jerawat sintetik mendorong banyak

ahli menciptakan obat jerawat menggunakan tanaman obat.

Chromolaena odorata L. merupakan tanaman obat yang memiliki aktivitas

sebagai antijerawat (Chomnawang et al., 2005). Ekstrak etanolik daun C. odorata

memiliki aktivitas terhadap bakteri Propionibacterium acnes dan Staphylococcus

epidermidis dengan nilai MIC 0,625 mg/mL (Chomnawang et al., 2005) dan

terhadap Staphylococcus aureus memiliki MIC 1,25 mg/mL (Chomnawang et al.,

2004). Hasnawati (2010) menyatakan bahwa isolat senyawa aktif daun C. odorata

belum bisa diidentifikasi, namun senyawa aktif tersebut pada loading 250 µg

memberikan aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Eschericia

coli dengan diameter hambat 9,5 mm dan 7,2 mm.

2

Pengobatan jerawat merupakan pengobatan yang memerlukan proses,

sehingga membutuhkan waktu kontak dengan kulit yang lebih lama untuk zat aktif

terlepas dan memberikan efek. Sediaan gel merupakan sediaan yang cocok untuk

pengobatan jerawat, karena memiliki daya lekat tinggi yang tidak menyumbat

pori-pori pada kulit, tidak mengandung minyak yang dapat meningkatkan

keparahan jerawat, mudah dibersihkan dari permukaan kulit dan memberi rasa

dingin pada kulit (Sasanti et al., 2012). Kelebihan bentuk sediaan gel juga dapat

memberikan kenyamanan dalam pemakaian dan mudah diaplikasikan pada kulit.

Basis diperlukan dalam pembuatan sediaan gel, dimana basis akan

mempengaruhi waktu kontak dan kecepatan pelepasan zat aktif untuk dapat

memberikan efek. Idealnya, suatu basis gel harus dapat diaplikasikan dengan

mudah, tidak mengiritasi kulit dan nyaman saat digunakan, serta dapat

melepaskan zat aktif yang terkandung di dalamnya (Wyatt et al., 2001).

HPMC merupakan basis gel turunan selulosa yang secara umum tidak

toksis dan tidak mengiritasi kulit yang sering digunakan sebagai gelling agent dan

termasuk dalam basis hidrofilik (Rowe, et al., 2005; Ansel, 1989). Penggunaan

basis gel hidrofilik memiliki daya sebar baik pada kulit, memberikan efek dingin,

tidak menyumbat pori-pori kulit, mudah dicuci dengan air dan pelepasan obatnya

baik (Voigt, 1984). HPMC memiliki rantai polimer yang panjang sehingga pada

waktu kontak dengan media akan terbentuk lapisan gel yang semakin tebal.

Semakin panjang rantai polimer dapat menyebabkan pembentukan lapisan gel

yang makin tebal, sehingga penghalang yang harus dilewati zat aktif obat dalam

berdifusi keluar dari matrik semakin sulit (Buang, 2006). Menurut penelitian

3

Resida (2013) basis HPMC 3% memberikan laju pelepasan meloksikam paling

tinggi dibandingkan gel dengan basis Karbopol 1% dengan TEA 2% dan CMC Na

3%.

Berdasarkan latar belakang di atas, dilakukan formulasi gel ekstrak

etanolik daun Chromolaena odorata dengan menggunakan HPMC sebagai gelling

agent. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh variasi kadar

HPMC terhadap sifat fisik sediaan gel ekstrak etanolik daun C. odorata dan

aktivitas antibakterinya.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh variasi kadar HPMC terhadap sifat fisik gel ekstrak

etanolik daun C. odorata?

2. Bagaimana pengaruh aktivitas antibakteri sediaan gel ekstrak etanolik daun C.

odorata dengan HPMC sebagai gelling agent ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh variasi kadar HPMC terhadap sifat fisik gel ekstrak

etanolik daun C. odorata.

2. Mengetahui pengaruh aktivitas antibakteri sediaan gel ekstrak etanolik daun

C. odorata dengan HPMC sebagai gelling agent.

4

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menambah ide untuk mengeksplor

kekayaan alam di Indonesia sehingga dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang kesehatan. Penelitian ini juga

dimaksudkan untuk merekomendasikan kepada masyarakat mengenai daun C.

odorata yang dikenal sebagai tanaman pengganggu atau gulma itu dapat

dimanfaatkan sebagai antibakteri, salah satunya untuk pengobatan jerawat.

E. Tinjauan Pustaka

1. Uraian Tanaman Chromolaena odorata

a. Morfologi

C. odorata memiliki tinggi sekitar 2,5 meter. Daun C. odorata berbentuk

hati, tepi bergerigi, ujung daun lancip, mengeluarkan bau aromatik ketika

diremas, seluruh bagian daun berbulu halus, panjang daun sekitar 4-10 cm dan

lebar sekitar 1-5 cm, terdiri dari 4-5 unit bunga di tengah-tengah daun,

produksi biji sekitar 80.000-90.000 per tanaman (Backer & Van Den Brink,

1965).

b. Klasifikasi Tanaman C. odorata

5

Gambar 1. Chromolaena odorata L.

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Asteridae

Bangsa : Asterales

Suku : Asteraceae

Marga : Eupatorium

Jenis : Eupatorium odoratum Linn (Chromolaena odorata L.)

(Laurence, 1958)

2. Khasiat dan Kandungan Kimia

a. Khasiat

Rebusan daun C. odorata digunakan untuk pengobatan asma, penurun

panas pada anak yang terinfeksi cacar air, infeksi kulit, obat batuk (Bouda et

al., 2001; Agu, 1980; Irobi, 1997). Rebusan akar C. odorata digunakan

sebagai pulmonary hemorrhage, menghambat pendarahan luka baru serta

menghentikan pendarahan pada hidung (Thakong, 1999 cit. Hasnawati,

(2010). Di Vietnam, daun segar atau rebusan E.odoratum digunakan untuk

6

mengobati gigitan lintah, luka bakar, antiseptik dan dento- alveolitis (Bamba

et al., 1993 cit. Hasnawati, 2010).

b. Kandungan kimia

Ekstrak C. odorata mengandung fenol, tanin, steroid, saponin,

flavonoid (Vital et al., 2009), sinensetin dan skutellarein tetrametil eter

(Atindehou et al., 2013). C. odorata mengandung asam fenolat, seperti

protokatekuat, p-hidroksibenzoat, ferulat, p-kumarat dan vanilat serta

campuran kompleks dari aglikon flavonoid lipofilik, seperti flavonon,

flavonol, flavon, dan kalkon (Phan et al., 2001). C. odorata mengandung

minyak atsiri, seperti α-pinen, β-pinen, germakren D, dan β-kopaen-4α-ol

(Owolabi et al., 2010).

3. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan peristiwa penarikan zat aktif oleh cairan penyari

yang sesuai. Zat aktif dapat berupa bagian tanaman obat, hewan dan beberapa

jenis ikan termasuk biota laut. Semakin luas permukaan serbuk simplisia yang

bersentuhan dengan penyari, maka penyarian akan berlangsung baik.

Pertimbangan pemilihan metode penyarian yang baik adalah wujud dan bahan uji

yang disari (Harborne, 1973).

Beberapa macam metode ekstraksi, antara lain:

1) Maserasi

Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sederhana, yaitu

dengan cara direndam dengan pelarut yang sesuai. Mekanismenya adalah

pelarut menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang

7

mengandung zat aktif. Adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif

di dalam sel dengan di luar sel, memungkinkan zat aktif yang terlarut dalam

pelarut terdesak ke luar sel. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi

keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel (Anonim,

1986).

Pengadukan dan penggantian cairan penyari perlu dilakukan selama

proses maserasi. Biasanya maserasi dilakukan selama tiga hari sampai bahan

melarut dan dilakukan pada suhu kamar, temperature 15-200C (Ansel, 1989).

Endapan hasil maserasi dipisahkan dan filtrat yang diperoleh diuapkan,

sehingga didapat filtrat pekat.

2) Perkolasi

Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan

cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Perkolasi

dilakukan dalam wadah silindris atau kerucut (perkolator) yang memiliki jalan

masuk dan keluar yang sesuai. Penyari dimasukkan secara kontinyu dari atas

kolom, mengalir lambat melintasi simplisia berupa serbuk. Hasil ekstraksi

berupa bahan aktif yang tinggi, ekstraksi yang kaya ekstrak (Voigt, 1984).

3) Infundasi

Infundasi merupakan proses penyarian yang paling umum dilakukan

untuk menyari kandungan zat aktif yang larut dalam air. Penyarian dengan

cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh bakteri

dan kapang karena bakteri dan kapang mudah tumbuh pada media berair.

8

Infundasi dilakukan dengan menyari simplisia dengan derajat halus

yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, dipanaskan di penangas air

selama 15 menit terhitung mulai suhu air mencapai 900C sambil sesekali

diaduk. Infus diserkai melalui kain flamel selagi panas, kemudian ditambah air

panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infus yang

dikehendaki (jika tidak dikatakan lain, dibuat infus 10%) (Anonim, 2000).

4) Soxhletasi

Soxhletasi merupakan salah satu metode ekstraksi yang

berkesinambungan dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi yang

kontinyu dengan jumlah pelarut realtif konstan dengan adanya pendingin

balik. Kekurangan dari metode ini adalah suhu yang digunakan cukup tinggi,

sehingga tidak baik digunakan untuk senyawa yang tidak stabil dalam panas

(Anonim, 2008).

4. Antibakteri

Pemeriksaan antibakteri ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan

kontrol kualitas selama proses produksi senyawa antibakteri, sehingga

diperoleh suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien.

Pemeriksaan daya antibakteri dapat dilakukan dengan berbagai metode,

yaitu :

1. Metode difusi

a. Kirby Bauer

9

Metode ini untuk menentukan aktivitas antibakteri. Piringan yang berisi

agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami

mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih

mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen

antimikroba pada permukaan media agar (Pratiwi, 2008).

b. Cara sumuran

Media agar yang telah ditanami bakteri dibuat lubang dan diisi zat

antibakteri. Pengamatan dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan di

sekeliling lubang atau silinder (Pratiwi, 2008).

c. Uji bioautografi

Uji bioautografi merupakan metode untuk mengetahui atau menentukan hRf

senyawa yang mempunyai aktivitas antimikroba para kromatogram. Caranya

dengan menempelkan plat KLT yang telah dielusi pada medium agar yang

telah diinokulasi dengam mikroba uji selama beberapa menit, sehingga

senyawa uji berdifusi ke dalam agar. Setelah diinkubasi selama 24 jam dapat

terlihat bercak atau daerah yang jernih tanpa pertumbuhan mikroba yang

merupakan daerah senyawa aktif (Lorian, 1980).

2. Metode dilusi

a. Dilusi cair

Metode ini untuk mengukur MIC (minimum inhibitory concentration) dan

MBC ( minimum bactericidal concentration). Cara yang dilakukan adalah

dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang

ditambahkan dengan mikroba uji . Larutan uji agen antimikroba pada kadar

10

terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji

ditetapkan sebagai MIC. Larutan yang ditetapkan sebagai MIC tersebut

selanjutnya dikultur ulang pada media padat pada penambahan mikroba uji

ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media padat

yang terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai MBC (Pratiwi,

2008).

b. Dilusi padat

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media

padat. Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba

yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi,

2008).

5. Bakteri Staphylococcus aureus

Sistematika dari S. aureus (Salle, 1961)

Divisi : Protophyta

Kelas : Schizomycetes

Bangsa : Eubacteriales

Suku : Micrococcaceae

Marga : Staphylococcus

Jenis : Staphlococcus aureus

11

Gambar 2. Staphylococcus aureus (Anonim, 2002)

S. aureus merupakan bakteri Gram positif yang menghasilkan pigmen

kuning, bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora dan tidak motil,

tumbuh tunggal dan berpasangan, diameter sekitar 0,8-1,0 µm. S. aureus

merupakan mikroflora normal manusia.

Infeksi S. aureus dapat menyebabkan beberapa kondisi patologi,

diantaranya jerawat, bisul, meningitis, pneumonia dan arthritis. Sebagian besar

penyakit akibat S. aureus memproduksi nanah, oleh karena itu bakteri ini disebut

piogenik (Brooks et al., 1991).

6. Bakteri Staphylococcus epidermidis

Sistematika dari S. aureus (Salle, 1961)

Divisi : Protophyta

Kelas : Schyzomycetes

Bangsa : Eubacteriales

Suku : Micrococcus

Marga : Staphylococcus

Jenis : Staphylococcus epidermidis

12

Gambar 3. Staphylococcus epidermidis (Anonim, 2011)

Bakteri S. epidermidis tegolong dalam bakteri Gram positif. Koloni dari S.

epidermidis bertipe kecil, berwarna putih atau kuning, diameter sekitar 1-2 mm

setelah inkubasi semalam.

S. epidermidis merupakan bakteri bersifat infektif oportunistik (menyerang

individu pada system kekebalan tubuh yang lemah). Bakteri ini secara alami hidup

pada kulit dam membran mukosa manusia. Infeksi S. epidermidis dapat terjadi

karena bakteri ini membentuk biofilm pada alat-alat medis dirumah sakit sehingga

mudah menyebar (Lindsay, 2008).

Bakteri ini merupakan floral normal pada kulit manusia. Jerawat akan

muncul jika jumlah flora normal pada kulit berlebih. Jumlah normal bakteri pada

kulit berkisar 103-10

4 mikroorganisme/cm

2 (Burkhart & Lechman, 1999).

7. Gel

1. Definisi gel

Gel adalah sistem dua komponen berbentuk setengah padat yang

banyak mengandung air. Pada gel yang bersifat polar, konsentrasi rendah

13

(<10%) akan membentuk matriks tiga dimensi pada keseluruhan masa

hidrofilik. Karena zat pembentuk gel tidak larut sempurna atau karena

membentuk agregat yang dapat membiaskan cahaya maka sistem ini dapat

bersifat jernih atau keruh (Agoes & Darijanto, 1993).

2. Klasifikasi gel

Klasifikasi gel didasarkan pada pertimbangan karakteristik dari masing-

masing kedua fase dikelompokkan pada gel organik dan anorganik.

Berdasarkan sifat fase koloidal, gel organik dibagi menjadi gom alam, seperti

gom arab, karagen, gom xantan, dan gom sintesis, seperti hidroksi propil

selulosa dan metil hidroksi propil selulosa (Agoes & Darijanto, 1993).

3. Karakteristik gel

Berdasarkan karakteristik cairan yang terdapat dalam gel, dibedakan

menjadi gel hidrofobik dan hidrofilik.

a. Gel hidrofobik umumnya mengandung parafin cair dan polietilen atau

minyak lemak dengan bahan pembentuk gel kolodial silika atau

alumunium. Gel hidrofobik tersusun dari partikel-partikel anorganik.

Bila ditambahkan kedalam fase pendispersi, maka akan terjadi interaksi

yang sedikit antara basis gel dan fase pendispersi (Ansel et al., 1989).

b. Gel hidrofilik umumnya adalah molekul-molekul organik yang besar dan

dapat dilarutkan dengan molekul fase pendispersi. Sistem koloid

hidrofilik lebih mudah dibuat dan memiliki kestabilan yang lebih besar

dibanding hidrofobik. Gel hidrofilik mengandung komponen bahan

pembengkak, air, humektan, dan bahan pengawet (Ansel et al., 1989).

14

8. Monografi Bahan

a. Hidroksi propil metilselulose (HPMC)

HPMC merupakan turunan dari metilselulosa yang memiliki ciri-ciri

serbuk atau butiran putih, tidak memiliki bau dan rasa. Sangat sukar larut

dalam eter, etanol atau aseton. Dapat mudah larut dalam air panas dan akan

segera menggumpal dan membentuk koloid. Mampu menjaga penguapan air

sehingga secara luas banyak digunakan dalam aplikasi produk kosmetik dan

aplikasi lainnya (Anonim, 2006; Rowe et al., 2005).

Rumus struktur HPMC :

R = CH3

Gambar 4. Rumus Bangun HPMC (Rowe et al., 2005)

HPMC melarut sangat lambat dan sulit, metode yang disarankan yaitu

air panas disediakan terlebih dahulu, ditambahkan air panas sebanyak satu per

tiga atau dua per tiga kali dari jumlah HPMC, sebab HPMC mudah larut dalam

air panas dan HPMC disebar merata pada permukaan air panas. Tambahkan

sisa air dingin, aduk dan dinginkan campuran, kemudian ditambahkan pelarut

organik seperti etanol, propilen glikol atau minyak sebagai peningkat kelarutan,

lalu tambahkan air dapat menyebabkan HPMC benar - benar larut, lalu

ditambahkan pelarut organik seperti etanol, propilen glikol atau minyak

15

sebagai peningkat kelarutan, lalu ditambahkan air dapat menyebabkan HPMC

benar-benar larut.

b. Propilen Glikol

Nama resmi : Propilen Glikol

Sinonim : 1,2-dihidroksipropana, 2-hidroksipopanol, metil etilen

gikol, metil glikol dan propane-1,2-diol

Rumus molekul : C3H8O2

Rumus struktur :

Gambar 5. Rumus Struktur Propilen Glikol (Rowe et al., 2005)

Berat molekul : 76,09

Pemerian : Larutan jernih atau sedikit berwarna, kental, rasa

agak manis

Kelarutan : Larut dalam kloroform, etanol, gliserin, dan air

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, suhu rendah

(Rowe et al., 2005)

Propilen glikol berfungsi sebagai pengawet antibakeri, disinfektan,

humektan, plasticizer, pelarut, stabilizer untuk vitamin dan water-miscible

cosolvent (Rowe et al., 2005). Propilen glikol dapat menahan lembab,

memungkinkan kelembutan dan daya sebar yang tinggi dari sediaan, dan

melindungi gel dari kemungkinan pengeringan (Voigt, 1984).

16

Propilen glikol stabil secara kimia bila dikombinasikan dengan etanol,

gliserin, atau air. Inkompatibilitas dengan bahan yang mengoksidasi, seperti

kalium permanganat. Propilen glikol bersifat higroskopis, stabil pada suhu dingin

dan wadah tertutup rapat. Pada suhu tinggi dan di tempat terbuka cenderung

mengoksidasi, menimbulkan produk seperti propionaldehida, asam laktat, asam

piruvat, dan asam asetat. Propilen glikol secara umum merupakan pelarut yang

lebih baik dari gliserin dan dapat melarutkan berbagai bahan, seperti

kortikosteroid, fenol, obat-obatan sulfa, barbiturat, vitamin A dan D, alkaloid, dan

banyak anestesi lokal (Tabel 1) (Rowe et al., 2005).

Tabel I. Penggunaan propilen glikol dalam sediaan farmasi

Penggunaan Bentuk sediaan Konsentrasi %

Humektan Topikal ≈ 15

Pengawet Larutan,

Semisolid

15-30

Pelarut Aerosol

Larutan oral

Parenteral

Topikal

10-30

10-25

10-60

5-80

c. Metil paraben (Nipagin)

Nama resmi : Metil paraben

Sinonim : Metil ester asam 4-hidroksibenzoat, metil p-hidroksibenzoat,

Nipagin, Uniphen P-23

Rumus molekul : C8H8O3

Rumus struktur :

17

Gambar 6. Rumus Struktur Metil Paraben (Rowe et al., 2005)

Berat molekul : 152,15

Pemerian : Hablur atau serbuk tidak berwarna, atau kristal putih, tidak

berbau atau berbau khas lemah

Kelarutan : Mudah larut dalam etanol, eter praktis tidak larut dalam

minyak, larut dalam 400 bagian air

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

(Rowe et al., 2005)

Metil paraben digunakan secara luas sebagai bahan pengawet antimikroba

dalam kosmetik, produk makanan, dan sediaan farmasi. Golongan paraben efektif

pada rentang pH yang luas dan mempunyai aktivitas antimikroba pada spektrum

yang luas, meskipun paraben paling efektif melawan kapang dan jamur. Pada

sediaan topikal umumnya metil paraben digunakan dengan konsentrasi antara

0,02-0,3% (Rowe et al., 2005).

d. Propil paraben

Nama resmi : Propil paraben

Sinonim :Propil ester asam 4-hidroksibenzoat, Nipasol M,

propagin, propyl p-hidroksibenzoat, Uniphen P-23

18

Rumus molekul : C10H12O3

Rumus struktur :

Gambar 7. Struktur Kimia Propil Paraben (Rowe,et al., 2005)

Berat molekuler : 180,20

Pemerian : Serbuk putih, hablur kecil atau tidak berwarna

Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam etanol,

dan dalam eter; sukar larut dalam air mendidih.

Kegunaan : zat pengawet

Propil paraben banyak digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam

kosmetik, produk makanan, dan formulasi sediaan farmasi.Propil paraben dapat

digunakan sendiri, kombinasi dengan ester paraben lain atau dengan agen

antimikroba lainnya. Propil paraben adalah salah satu pengawet yang paling

sering digunakan dalam kosmetik. Propil paraben efektif pada kisaran pH yang

luas dan memiliki spektrum yang luas dari aktivitas antimikroba, meskipun yang

paling efektif aktivitasnya terhadap ragi dan kapang. Karena kelarutan yang

dimiliki paraben rendah , maka garam paraben, khususnya garam natrium adalah

bentuk yang paling sering digunakan dalam formulasi. Pada sediaan topikal

umumnya propil paraben digunakan dengan konsentrasi antara 0,01-0,6% (Rowe,

et al., 2005).

19

e. Aquadest

Nama resmi : Purifed Water (air murni)

Sinonim : Aqua, aqua purificata

Rumus molekul : H2O

Berat molekul : 18,02

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

(Anonim, 1995)

Air murni adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan destilasi,

perlakuan menggunakan penukar ion, osmotik balik, atau proses lain yang sesuai.

Tidak mengandung zat tambahan lain (Anonim, 1995). Kegunaannya adalah

sebagai pelarut. Air dapat bereaksi dengan obat-obatan dan eksipien lain yang

rentan terhadap hidrolisis (dekomposisi dalam keberadaan air atau uap air) pada

suhu tinggi. Beraksi dengan logam alkali dan oksidannya, seperti kalsium oksida

dan magnesium oksida. Air juga bereaksi dengan garam anhidrat untuk

membentuk hidrat dari berbagai komposisi, dan dengan bahan organik tertentu

dan kalsium karbida (Anonim, 1979).

9. Kontrol Kualitas Stabilitas Fisik Gel

a. Organoleptis

Organoleptis merupakan pengujian kualitas suatu bahan atau produk

menggunakan panca indra manusia. Organoleptis biasa dilakukan secara

makroskopis dengan mendeskripsikan warna, kejernihan, transparansi,

kekeruhan, dan bentuk sediaan (Paye et al., 2001).

20

b. pH

pH menunjukkan derajat keasaman suatu bahan. Nilai pH idealnya

sama dengan pH kulit atau tempat pemakaian. Hal ini bertujuan untuk

menghindari iritasi. pH normal kulit manusia berkisar antara 4,5–6,5

(Draelos & Lauren, 2006).

c. Homogenitas

Pemeriksaan homogenitas dapat dilakukan secara visual (Paye et al.,

2001). Homogenitas gel diamati pada kaca objek di bawah cahaya, diamati

apakah terdapat bagian-bagian yang tidak tercampurkan dengan baik. Gel

yang stabil harus menunjukkan susunan yang homogen.

d. Vikositas

Viskositas merupakan gambaran suatu benda cair untuk mengalir.

Viskositas menentukan sifat sediaan dalam hal campuran dan sifat alirnya,

pada saat diproduksi, dimasukkan ke dalam kemasan, serta sifat-sifat penting

pada saat pemakaian, seperti konsistensi, daya sebar, dan kelembaban.

Selain itu, viskositas juga akan mempengaruhi stabilitas fisik dan

ketersediaan hayatinya (Paye et al., 2001). Semakin tinggi viskositas, waktu

retensi pada tempat aksi akan naik, sedangkan daya sebarnya akan menurun.

Viskositas juga menentukan lama lekatnya sediaan pada kulit, sehingga obat

dapat dihantarkan dengan baik. Viskositas sediaan dapat dinaikkan dengan

menambahkan polimer (Donovan & Flanagan, 1996).

e. Daya sebar

21

Daya sebar berkaitan dengan kenyamanan pada pemakaian. Sediaan

yang memiliki daya sebar yang baik sangat diharapkan pada sediaan topikal.

Menurut Garg et al. (2002), daya sebar sediaan semipadat berkisar pada

diameter 3 cm-5 cm.

f. Daya lekat

Daya lekat berkaitan dengan kemampuan sediaan untuk menempel

pada lapisan epidermis. Semakin besar daya lekat gel, maka semakin baik

penghantaran obatnya. Tidak ada persyaratan khusus mengenai daya lekat

sediaan semipadat. Daya lekat dari sediaan semipadat sebaiknya adalah lebih

dari 1 detik (Zats & Gregory, 1996).

10. Jerawat

a. Definisi Jerawat

Jerawat merupakan penyakit yang terjadi akibat folikel sebasea yang

biasa ditandai dengan adanya komedo (Djuanda, 2002). Definisi lain jerawat

adalah adanya peradangan dari kelenjar unit polisebaseus disertai dengan

adanya sumbatan keratin pada kulit. Kelenjar unit polisebaseus adalah tempat

keluarnya rambut di kulit beserta kelenjarnya.

Jerawat biasanya tumbuh di muka, dada (depan dan belakang) dan atas

lengan. Kulit memerah dan meradang terjadi jika adanya kelenjar minyak

(sebasea) memproduksi minyak kulit (sebum) secara berlebihan sehingga

mengakibatkan terjadinya penyumbatan pada saluran kelenjar minyak dan

pembentukan komedo. Komedo disebabkan adanya sumbatan pada pori-pori

yang awalnya berwarna putih pucat yang biasa disebut komedo tertutup.

22

Apabila sumbatan membesar, komedo menjadi kehitaman yang disebut

komedo terbuka sehingga terjadi interaksi dengan bakteri jerawat (Ayu, 2009)

b. Patogenesis

Jerawat terbentuk ketika kelenjar minyak pada kulit terlalu aktif,

sehingga menyebabkan pori kulit tersumbat oleh timbunan lemak.

Keberadaan keringat, debu, dan kotoran lain akan meneyebabkan timbunan

lemak menjadi kehitaman yang lebih dikenal dengan komedo. Komedo yang

disertai dengan infeksi bakteri akan menimbulkan peradangan yang dikenal

dengan jerawat, dimana ukurannya bervariasi mulai dari kecil hingga besar

serta berwarna merah, kadang bernanah serta menimbulkan rasa nyeri. Selain

itu jerawat juga dapat dipengaruhi oleh hormon-hormon androgenik seperti

testosteron yang mengakibatkan pembesaran kelenjar sebasea yang akhirnya

meningkatkan produksi sebum (Odom et al., 2000).

c. Pengobatan

Tujuan pengobatan jerawat adalah mengurangi proses peradangan

kelenjar polisebasea dan frekuensi timbulnya jerawat, serta memperbaiki

penampilan pasien. Terdapat tiga hal yang penting pada pengobatan jerawat

(Price & Lorraine, 2006), yaitu:

1) Mencegah timbulnya komedo, biasanya digunakan bahan pengelupas kulit.

2) Mencegah pecahnya mikrokomedo atau meringankan reaksi peradangan.

3) Mempercepat resolusi lesi peradangan.

23

Pengobatan terhadap jerawat dapat dikategorikan menjadi dua yaitu

pengobatan yang diberikan dengan resep dokter dan tanpa resep dokter. Obat

jerawat tanpa resep dokter seperti benzoil peroksida, sulfur, dan asam salisilat

memiliki efek samping iritasi dan tak jarang mengakibatkan parakeratolitik.

Pengobatan dengan resep dokter pun tak jarang menggunakan antibiotik

seperti klindamisin, eritromisin, tetrasiklin, asam azeloat, tretinoin, dan

adapalen. Penggunaan antibiotik tersebut dalam jangka panjang dapat

menimbulkan resistensi, fotosensitivitas, kerusakan organ dan imuno

hipersensitivitas (Wasitaatmadja, 1997).

F. Landasan Teori

Jerawat merupakan permasalahan kulit yang dapat mengurangi rasa

percaya diri, khususnya pada remaja dan dewasa muda. Jerawat disebabkan antara

lain oleh produksi sebum berlebihan, peningkatan hormon androgen, dan infeksi

bakteri, seperti Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis

(Yuindartanto, 2009).

Salah satu tanaman yang berkhasiat sebagai antijerawat adalah

Chromolaena odorata L. (Chomnawang et al., 2005). Ekstrak C. odorata

mengandung fenol, tanin, steroid, saponin, flavonoid (Vital et al., 2009),

sinensetin dan skutellarein tetrametil eter (Atindehou et al., 2013). Ekstrak

etanolik daun C. odorata memiliki aktivitas terhadap bakteri Propionibacterium

acnes dan Staphylococcus epidermidis dengan nilai MIC 0,625 mg/mL

24

(Chomnawang et al., 2005) dan terhadap Staphylococcus aureus memiliki MIC

1,25 mg/mL (Chomnawang et al., 2004). Hasnawati (2010) menyatakan bahwa

isolat senyawa aktif daun C. odorata belum bisa diidentifikasi, namun senyawa

aktif tersebut pada loading 250 µg memberikan aktivitas antibakteri terhadap

Staphylococcus aureus dan Eschericia coli dengan diameter hambat 9,5 mm dan

7,2 mm.

Pengobatan jerawat lebih menguntungkan dalam bentuk sediaan gel,

karena pelarut yang polar lebih mudah dibersihkan dari permukaan kulit dan tidak

mengandung minyak yang dapat meningkatkan keparahan jerawat (Sasanti et al.,

2012). Kelebihan bentuk sediaan gel juga dapat memberikan kenyamanan dalam

pemakaian dan mudah diaplikasikan pada kulit.

Gelling agent dalam sediaan gel merupakan faktor kritis yang

mempengaruhi sifat fisik gel yang dihasilkan. Gelling agent yang dapat digunakan

salah satunya adalah Hidroxy Prophyl Methyl Cellulose (HPMC). HPMC

merupakan dasar gel semi-sintetik turunan selulosa yang tahan terhadap fenol dan

stabil pada pH 3 hingga 11. HPMC sebagai gelling agent dapat menghasilkan gel

yang jernih, bersifat netral, dan memiliki viskositas yang stabil pada penyimpanan

jangka panjang (Rowe et al., 2005). HPMC juga mempunyai resistensi yang baik

terhadap serangan mikroba, dan memberikan kekuatan film yang baik bila

mengering pada kulit (Suardi, 2008). HPMC mengembang dalam air sehingga

merupakan bahan pembentuk hidrogel yang baik. Hidrogel sangat cocok

digunakan sebagai sediaan topikal dengan fungsi kelenjar sebaseus berlebih,

dimana hal ini merupakan salah satu faktor penyebab jerawat (Voigt, 1984).

25

HPMC memiliki rantai polimer yang panjang sehingga pada waktu kontak

dengan media akan terbentuk lapisan gel yang semakin tebal. Semakin panjang

rantai polimer dapat menyebabkan pembentukan lapisan gel yang makin tebal,

sehingga penghalang yang harus dilewati zat aktif obat dalam berdifusi keluar dari

matrik semakin sulit (Buang, 2006).

Pelepasan bahan obat dari basis dipengaruhi oleh faktor fisika-kimia baik

dari basis maupun dari bahan obatnya, kelarutan, viskositas, ukuran partikel, dan

formulasi (Aulton, 2003 cit. Indrayudha, 2010). Pada penelitian yang dilakukan

oleh Jaelani (2012) bahwa perbedaan viskositas gel ekstrak etanolik patikan kebo

(Euphorbia hirta L.) berpengaruh pada aktivitas antibakteri terhadap

Staphylococcus epidermidis secara in vitro, semakin besar viskositas maka akan

semakin besar pula tahanannya untuk mengalir sehingga pelepasan zat aktifnya

akan semakin kecil dan penghambatan terhadap Staphylococcus epidermidis akan

menurun.

G. Hipotesis

1. Variasi kadar HPMC berpengaruh terhadap sifat fisik gel ekstrak etanolik daun

C. odorata, yaitu semakin besar kadar HPMC meningkatkan viskositas dan

daya lekat serta menurunkan daya sebar.

2. Sediaan gel ekstrak etanolik daun C. odorata dengan HPMC sebagai gelling

agent mempengaruhi aktivitas antibakteri, yaitu semakin besar kadar HPMC

menurunkan difusi zat aktif sediaan gel ekstrak etanolik daun C. odorata.