Upload
lytu
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau
beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu hidup di
dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.1
Sebagai penganut paham negara kesejahteraan (welfare state) tentunya
Pemerintahan Negara Indonesia tampil aktif untuk ikut campur dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat.2 Salah satunya dalam tugas administrasi negara.
Tugas administrasi negara dalam welfare state ini menurut Lemaire dalam
bukunya Bachsan Mustafa adalah bestuurszorg yaitu menyelenggarakan
kesejahteraan umum.3 Menurut Budi Ispriyarso, untuk mencapai tujuan negara
kesejahteraan tersebut diperlukan berbagai sarana pendukung. Dalam hal ini salah
satunya adalah sarana hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara dikenal
dengan sistem Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).4
Mengenai tugas negara dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, negara
harus memberikan perlindungan kepada penduduk dalam wilayah tertentu. Kedua,
negara mendukung atau langsung menyediakan berbagai pelayanan kehidupan
1Moh Mahfud MD, 2000, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Edisi Revisi), Penerbit
RenakaCipta, Jakarta, hlm. 64. 2Patuan Sinaga, 2004, Hubungan Antara Kekuasaan Dengan Pouvoir Discretionnere Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam S.F Marbun dkk., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum
Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hlm. 73. 3Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 40. 4Bud Ispriyarso, 2004,Hubungan Fungsional Antara Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum Terhadap
Perkembangan Hukum Administrasi Negara dalam S.F Marbun dkk., Op.Cit, hlm. 19.
2
masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Ketiga, negara menjadi
wasit yang tidak memihak antara pihak-pihak yang berkonflik dalam masyarakat
serta menyediakan suatu sistem yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam
hubungan kemasyarakatan.5 Tugas negara menurut paham modern sekarang ini
(dalam suatu Negara Kesejahteraan atau Social Service State), adalah
menyelenggarakan kepentingan umum untuk memberikan kemakmuran dan
kesejahteraan yang sebesar-besarnya berdasarkan keadilan dalam suatu Negara
Hukum.6
Indonesia sebagai negara hukum telah menjamin hak atas perlindungan
hukum terhadap rakyatnya seperti termaktub dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 D ayat (1) yang berbunyi
“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Hal ini juga
dijadikan sebagai tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan
administrasi dalam suatu negara terkait dengan falsafah negara yang dianutnya.
Indonesia sebagai negara hukum, hak dan kepentingan perseorangan dijunjung
tinggi, untuk itu kepentingan perseorangan harus seimbang dengan kepentingan
masyarakat atau kepentingan umum. Itulah sebabnya tujuan pembentukan
peradilan administrasi secara filosofis adalah untuk memberikan perlindungan
terhadap hak-hak perseorangan dan masyarakat, sehingga tercapai keseimbangan
5Sri Pudyatmoko, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembenahan, PT. Gramedia Widiarsana Indonesia,
Jakarta, hlm.1. 6Amrah Muslimin, 1985, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum
Administrasi, Alumni, Bandung, hlm.110.
3
dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat
atau kepentingan umum.
Hukum dan masyarakat bagaikan dua sisi mata uang, ubi societas ibi ius
(dimana ada masyarakat di sana ada hukum) keduanya tidak dapat dipisahkan.
Hukum yang tidak dikenal atau tidak sesuai dengan konteks sosialnya serta tidak
ada komunikasi yang efektif tentang tuntutan dan pembaharuannyaa bagi warga
negara tidak akan bekerja secara efektif.
Berlakunya hukum di masyarakat akan berakibat terjadinya perubahan
sosial pada masyarakat itu sendiri, sedangkan fungsi hukum bagi kehidupan
masyarakat menurut Soejono Dirjo Sisworoada 4 (empat) yaitu :
1. Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal ini
dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan
petunjuk tentang bagaimana berperilaku di dalam masyarakat sehingga
masing-masing anggota masyarakat telah jelas apa yang harus diperbuat
dan apa yang tidak boleh diperbuat.
2. Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir
batin. Hal ni dimungkinkan karen sifat hukumyang mengikat, baik fisik
maupun psikologis.
3. Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan hukum merupakan
alat bagi otoritas untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
4. Fungsi kritis dari hukum. Dewasa ini sedang berkembang suatu pandangan
bahwa hukum mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak
semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pengawas, pada
aparatur pemerintah (petugas) dan aparatur penegak hukum termasuk di
dalamnya.7
Pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat suatu produk hukum
sebagai salah satu alat untuk menjalankan pemerintahannya. Dalam menciptakan
suatu produk hukum telah terbagi dua jenis yaitu yang pertama berupa peraturan
(regeling) dan yang kedua berupa keputusan (beschikking). Suatu peraturan
7Menurut Soejono Dirjo Sisworo dalam Muchsin dan Fadilah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik,
Averroes Press, Malang, hlm. 19-20.
4
(regeling) bersifat mengatur ketentuan-ketentuan umum dalam menjalankan suatu
kebijakan atau pemerintahan. Sedangkan suatu keputusan (beschikking) lebih
bersifat konkret, individul dan final. bersifat konkret artinya objek yang
diputuskan dalam keputusan tata usaha negara tersebut tidak abstrak tetapi
berwujud tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya keputusan tata
usaha negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun
hal yang dituju. Bersifat final artinya sudah definitif, dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum tertentu.8
Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Menurut R.J.H.M. Huisman yang
diterjemahkan dalam buku Ridwan, HR :
“Organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri
wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-
undang. Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang
pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap
para pegawai (misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan
sebagainya) atau terhadap badan khusus (seperti dewan pemilihan umum,
pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah, atau bahkan terhadap badan
hukum privat”.9
Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat.
Menurut Indroharto, pada atributif terjadi pemberian wewenang pemerintahan
yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Pada
delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau
Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan
8Muchsan , 2007, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan PTUN, Liberty,
Yogyakarta hlm. 60. 9Ridwan, H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara,UII Press, Yogyakarta, hlm. 72-73.
5
secara atributif kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Jadi, suatu
delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.10
Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini H.D. van Wijk/Willem
Konijnenbelt yang diterjemahkan dalam buku Ridwan Hr, mendefinisikan sebagai
berikut :
a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-
undang kepada organ pemerintahan.
b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
c. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya.11
Dalam hal keputusan maupun peraturan yang dibuat oleh pemerintah
tentunya harus memenuhi syarat materiil dan syarat formil yang harus termaktub
dalam sebuah keputusan tersebut. Menurut Kuntjoro dalam membuat suatu
ketetapan oleh administrasi negara harus memenuhi syarat-syarat materiil dan
formal, sebagai berikut:
1. Syarat Materiil
a. Alat pemerintahan yang membuat keputusan harus mempunyai
kewenangan (berhak).
b. Dalam kehendak alat perlengkapan yang membuat keputusan tidak
boleh ada kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de
wilsvorning)
c. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam
peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatannya harus juga
memperhatikan prosedur membuat keputusan, bilamana prosedur
itu disebutkan dengan tegas dalam peraturan itu (rechtmatig)
d. Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan
yang hendak dicapai.
10Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Hlm. 97 11Ridwan, H.R. Op.Cit., hlm. 74.
6
2. Syarat Formil
a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan
dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya
keputusan itu harus dipenuhi;
b. Harus diberi bentuk yang telah ditentukan;
c. Syarat-syarat, berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu di
penuhi;
d. Jangka waktu harus ditentukan, antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan
tidak boleh dilupakan.12
Sebagai salah satu syarat materil, suatu produk hukum tidak boleh
mengalami kekurangan yuridis karena akan berpengaruh terhadap kekuatan
produk hukum itu ketika lahir. Dalam hal pembentukan suatu produk hukum baik
yang berupa keputusan (beschikking) atau pun dalam bentuk peraturan (regelling)
pemerintah yang berwenang harus membuat peraturan maupun keputusan itu
harus berdasarkan ketentuan dan amanah yang diberikan yaitu memenuhi rasa
keadilan, kemanfaatan, kepastian kepada masyarakat.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan bagian dari masyarakat dari
sebuah negara. Seperti tertuang pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian bahwa yang dimaksud Pegawai Negeri adalah
setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu
jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai bagian dari sebuah negara,
hubungan hukum (rechts betrekking) antara Pegawai Negeri dengan negara
merupakan hubungan dinas publik. Hubungan dinas publik timbul semenjak
12Arifien Sutrisno, Sikap Tindak Administrasi Negara Menurut Hukum yang Menimbulkan Kerugian dalam
Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hlm.285-286.
7
seseorang mengikat dirinya untuk tunduk pada perintah untuk melakukan suatu
atau beberapa macam jabatan tertentu.13
Hubungannya berkaitan dengan
kedudukan PNS dalam menjalankan tugasnya sebagai aparatur negara dan
pemerintah. Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, mengatur
kedudukan PNS yaitu sebagai aparatur negara yang bertugas untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam
penyelenggaraan tugas negara, pemerintah dan pembangunan. Rumusan
kedudukan PNS didasarkan pada pokok-pokok pikiran bahwa pemerintah tidak
hanya menjalankan fungsi umum pemerintah, tetapi juga harus mampu
melaksanakan fungsi pembangunan atau dengan kata lain pemerintah bukan
hanya menyelenggarakan tertib pemerintahan, tetapi juga harus mampu
menggerakkan dan memperlancar pembangunan untuk kepentingan rakyat.14
PNS sebagai aparatur negara mempunyai posisi sangat strategis dan
peranan menentukan dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan.
Sebagai aparatur negara, PNS berkewajiban menyelenggarakan tugas
pemerintahan dan pembangunan dengan penuh kesetiaan dan ketaatan kepada
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah. Untuk itu, PNS
sebagai pelaksana perundang-undangan wajib berusaha untuk taat pada setiap
perundang-undangan dalam melaksanakan tugas kedinasan. Pemberian tugas
kedinasan kepada PNS pada dasarnya merupakan kepercayaan dari atasan yang
berwenang, dengan harapan bahwa tugas itu akan dilaksanakan dengan sebaik-
13Muchsan, 1988, Pengangkatan Dalam Pangkat Pegawai Negeri Sipil, cetakan kedua, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 9. 14C.S.T. Kansil, 1979, Pokok-Pokok Hukum Kepegawaian Republik Indonesia, Pradnya Paramitha, Jakarta,
hlm. 38.
8
baiknya. Oleh karenanya, setiap PNS wajib melaksanakan tugas kedinasan yang
dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan
tanggungjawab. Namun dalam pelaksaan tugasnya PNS kemungkinan banyak
mengalami masalah dan sengketa yang berkenaan dengan pekerjaannya. Sengketa
kepegawaian menurut Sastro Djatmiko, juga dapat timbul disebabkan penugasan
oleh atasan dengan tugas tertentu, percepatan dan pensiunan pegawai, izin
perkawinan.15
Aparat negara juga tidak hanya memiliki kewajiban mengabdi
kepada negara namun juga berhak mendapatkan perlindungan hukum apabila
dalam pelaksanaan tugasnya PNS mengalami kerugian atas hak-hak yang
seharusnya ia dapatkan.
Dari sudut sejarah ide dibentuknya PTUN adalah untuk menyelesaikan
sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dalam penelitian ini
dikhususkan kepada PNS. Salah satu kewenangan absolut dari PTUN adalah
menyelesaikan sengketa kepegawaian. Pembentukan PTUN bertujuan
mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai
melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang
bertentangan dengan hukum (abuse of power). Eksistensi PTUN diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-UndangNomor 5 Tahun
1986 Tentang PTUN dirasa sudah memenuhi syarat untuk menjadikan lembaga
PTUN yang profesional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol yudisialnya.
15Sastro Djatmiko, 1990, Hukum Kepegawaian di Indonesia , Djambatan, Jakarta, hlm. 48-52.
9
Namun, perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan dengan das sein,
salah satu contohnya terkait dengan pemberian perlindungan hukum kepada PNS,
sistem PTUN bisa dikatakan belum optimal.
Pembentukan Komisi Kepegawaian Negara sebagai lembaga yang
menangani masalah sengketa kepegawaian dan diharapkan dapat
memperjuangkan hak-hak PNS, hingga saat ini belum terbentuk, walaupun
keberadaan komisi tersebut telah dituangkan dalam Pasal 13 ayat 4 Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-UndangNomor
8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dimana pada pelaksanaannya
dilaksanakan oleh Badan Kepegawaian Negara (BAPEK).
Namun pemerintah telah berupaya memenuhi kebutuhan dengan
membentuk suatu lembaga yang khusus bertugas menangani sengketa
kepegawaian, sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-UndangNomor 5
Tahun 1986 tentang PTUN yang menerangkan bahwa sengketa Tata Usaha
Negara itu termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, hal ini menunjukkan bahwa PTUN punya kewenangan
absolut dalam menyelesaikan sengketa kepegawaian. Juga diterangkan dalam
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 bahwa sengketa
kepegawaian diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Selain itu
diterangkan pula bahwa selain PTUN, Badan Pertimbangan Kepegawaian juga
berhak menyelesaikan sengketa kepegawaian sebagai akibat pelanggaran terhadap
peraturan disiplin PNS sebagaimana tertuang dalam Pasal 35 ayat (2) UU Nomor
10
43 Tahun 1999 dan dipertegas pula dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pertimbangan Kepegawaian sebagai
pelaksana ketentuan Pasal 35 ayat (3) UU Nomor 43 Tahun 1999.16
Tujuan dari sistem PTUN diantaranya yaitu melaksanakan fungsi teknis
dan non-teknis PTUN. Fungsi teknis terdiri dari menerima, memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, sedangkan fungsi non-teknis
berupa administrasi peradilan yang mendukung atau menyediakan sarana
prasarana dalam pelaksanaan fungsi teknis.
Salah satu perkara yang ditangani oleh PTUN adalah sengketa
Kepegawaian. Perkara yang terjadi pada umumnya terkait persoalan kedudukan
dan hak dari seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain itu semakin banyaknya
jumlah pegawai yang ada di Indonesia pada kenyataanya tidak selalu diikuti
dengan kualitas dan kinerja yang baik. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya
PNS yang dijatuhi hukuman disiplin karena dianggap melanggar kewajiban dan
larangan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin
PNS. PNS yang merasa dijatuhi sanksi tidak sesuai dengan pelanggaran disiplin
yang dilakukan, berhak mengajukan upaya hukum ke badan lain yang tersedia.
Mekanisme Upaya Keberatan Penyelesaian sengketa kepegawaian, sebelum
diajukan ke PTUN, terlebih dahulu diajukan banding administratif.
Banding administratif yang dikemukakan di atas adalah banding
administratif yang diatur dalam Undang-Undang 43 Tahun 1999 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian yang kemudian dicabut oleh Undang-Undang Nomor 5
16Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Pertimbangan
Kepegawaian.
11
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Sengketa kepegawaian sebagai akibat
pelanggaran terhadap peraturan disiplin PNS diselesaikan melalui upaya banding
administratif melalui BAPEK sesuai Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Banding administratif di sini
dapat diartikan sebagai pengajuan keberatan atas suatu hukuman disiplin yang
diajukan melalui saluran hirarki.
Upaya keberatan di bidang kepegawaian diatur dalam Peraturan
Pemerintah 53 Tahun 2010 tentang Pengaturan Disiplin PNS. Beberapa
pengertian yang perlu ditegaskan dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 ini yaitu
mengenai upaya administratif, keberatan dan banding administratif. Pasal 6 PP
Nomor 53 Tahun 2010 menyatakan bhwa upaya administratif adalah prosedur
yang dapat ditempuh oleh PNS yang tidak puas terhadap hukuman disiplin yang
dijatuhkan kepadanya berupa keberatan administratif atau banding administratif.
Pada Pasal 7 disebutkan pula bahwa keberatan administratif adalah upaya
administratif yang dapat ditempuh oleh PNS yang tidak puas terhadap hukuman
disiplin yang dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum kepada atasan
pejabat yang berwenang menghukum. Sedangkan pada Pasal 8 disebutkan
banding administratif adalah upaya administratif yang dapat ditempuh oleh PNS
yang tidak puas terhadap hukuman disiplin berupa pemberhentian tidak dengan
hormat sebagai PNS yang djatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum,
kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian.
Penggunaan upaya administratif pada sengketa kepegawaian merupakan
satu hal yang dapat ditempuh oleh seorang PNS yang merasa kepentingannya
12
dirugikan atas suatu KTUN. Bentuk upaya administrasi dapat dilakukan hanya
berupa keberatan administratif, hanya berupa banding adminstratif, ataupun dalam
bentuk keduanya. Apabila putusan atau hasil dari upaya administratif yang
dilakukan belum memuaskan, maka penyelesaiannya dapat diupayakan melalui
gugatan ke PTUN, tapi apabila sudah melalui upaya banding administratif dan
hasilnya tidak memuaskan, maka dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Tinggi
Tata Usaha Negara (PTTUN). Proses keberatan di bidang sengketa kepegawaian
tidak langsung ditangani oleh PTUN, namun terlebih dahulu diselesaikan melalui
proses yang mirip dengan peradilan dan dilakukan oleh tim atau seorang pejabat
di lingkungan pemerintahan.
Pihak yang dirugikan akibat dikeluarkannya KTUN (beschikking) dalam
upaya banding administratif, apabila merasa bahwa keputusan tersebut tidak
memenihi rasa keadilannya, maka pihak tersebut berhak mengajukan gugatan ke
PTUN sesuai dengan kompetensi absolute dan kompetensi relatif dari PTUN yang
bersangkutan. Landasan hukum untuk mengajukan gugatan ke PTUN adalah Pasal
53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
yang terdiri dari 2 (dua) macam dasar gugatan, yaitu :
1. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
13
Apabila suatu KTUN yang dikeluarkan dalam bidang kepegawaian
tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik maka KTUN tersebut dapat disengketakan oleh pihak
yang merasa dirugikan. Asas-asas umum pemerintahan yang baik harus menjadi
pedoman bagi penggunaan wewenang jabatan termasuk dalam diskresi Pejabat
TUN, sehingga sifatnya tidak tertulis dan senantiasa berkembang. Putusan hakim
atas sengketa TUN juga selayaknya berpedoman pada Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik.
Bagi pihak yang bersengketa dalam bidang kepegawaian tersebut, jika
akan melakukan gugatan ke PTUN , maka dapat dilakukan dengan dua macam
cara, yaitu gugatan tertulis dan gugatan lisan.17
Gugatan tertulis berisikan tuntutan
dan diajukan pada PTUN dengan tujuan agar keputusan TUN yang disengketakan
dinyatakan batal atau tidak sah secara hukum, dengan atau tanpa ganti rugii
maupun rehabilitasi dari pihak tergugat. Gugatan secara lisan oleh Undang-
Undang PTUN digunakan untuk mempermudah pihak yang merasa dirugikan
yang tidak dapat membuat gugatan secara tertulis. Gugatan lisan tersebut
disampaikan pada panitera pengadilan yang kemudian akan merumuskan gugatan
tersebut dalam bentuk tertulis.18
Proses pengadilan pada PTUN dalam menangani gugatan tersebut akan
sampai pada penyelesaian sengketa. Wujud akhirnya berupa putusan hakim yang
memiliki kekuatan hukum yang berupa gugatan diterima atau gugatan ditolak.
Apabila gugatan diterima, maka pihak badan atau Pejabat TUN yang menjadi
17 Darwan Prinst, 1995, Strategi Menangani Perkara Tata Usaha Negara, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm 53. 18 Ibid.
14
pihak tergugat harus melaksanakan putusan pengadilan dengan membatalkan atau
menarik kembali putusannya, sedangkan apabila gugatan ditoak maka PNS
sebagai pihak penggugat dalam hal ini tidak dapat meminta pembatalan keputusan
yang disengketakan. Apabila putusan pengadilan menyatakan gugatan ditolak,
maka pihak penggugat dalam hal ini dapat mengajukan banding ke PTTUN jika
merasa tidak puas dengan putusan tersebut.
Ketukan palu pimpinan sidang yang menetapkan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) boleh saja sedikit
memberi nafas dan semangat baru bagi reformasi birokrasi dan manajemen
kepegawaian di Indonesia. Bukan berarti undang-undang ini mampu menjawab
segala permasalah yang kerap muncul dalam hal birokrasi. Tentu tidak mudah
menuding jika undang-undang ini dipengaruhi oleh kepentingan politik mengingat
pelaksanaanya belum dapat dioptimalkan karena Peraturan Pemerintah yang
mendukung undang-undang ini masih dalam proses. Namun ada beberapa hal
yang signifikan perlu di amati bersama dalam Undang-Undang ini, adanya
hubungan hukum dengan politik tidak dapat dipisahkan. Jika didasari pada das
sein (kenyataan) dalam faktanya hukum yang dikonsepkan dalam Undang-
Undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka hukum itu merupakan produk
politik sebab merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-
kehendak politik yang bersaing baik itu melalui kompromi politik maupun melalui
dominasi kekuatan politik yang terbesar. Namun jika menggunakan das sollen
(keinginan, keharusan) hukum seharusnya sebagai dasar mencari kebenaran
ilmiah dan memberi arti hukum di luar undang-undang.
15
Perubahan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 j.o Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menjadi Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014 berimplikasi pada perubahan yang paling mendasar
yaitu tentang manajemen kepegawaian. Diharapkan dengan adanya Undang-
Undang No 5 Tahun 2014 ini manajemen kepegawaian di Indonesia lebih
berorientasi kepada profesionalisme sumber daya masyarakat aparatur (PNS),
yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara jujur, adil, dan
merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan,
tidak partisan dan netral, keluar dari pengaruh semua golongan dan partai politik
dan tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk
melaksanakan tugas pelayanan masyarakat dengan persyaratan yang demikian,
sumber daya manusia aparatur dituntut memiliki profesionalisme, memiliki
wawasan global, dan mampu berperan sebagai unsur perekat Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara (selanjutnya disingkat UU ASN) sebagai penganti Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian tersebut membawa
perubahan mendasar guna mewujudkan sumber daya aparatur yang profesional
yaitu dengan pembinaan karir PNS yang dilaksanakan atas dasar perpaduan antara
sistem prestasi kerja dan karir yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja yang
pada hakekatnya dalam rangka peningkatan pelayanan publik.
Pada UU ASN ini fokus terhadap pengembangan dan peningkatan profesi
sangat ditekankan, tetapi masalah hak dan kewajiban pegawai sangat kurang
16
khususnya perlindungan hukum bagi pegawai sangat minim. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam pembentukannya, tinjauan dari undang-undang ini
lebih kepada kebijakan administrasi publik bukan pada kebijakan hukum publik.19
Dalam konteks hukum, kebijakan publik seringkali disepadankan
pemahamannya dengan konsep Freisses Ermessen atau Pouvoir Discretionare
yang berarti kebebasan bertindak dari administrasi negara dalam melakukan
tugas-tugas pelayanan publiknya. Sehingga dari pemahaman ini, kebijakan publik
lebih diposisikan sebagai penerjemahan praktis atas idealitas-idealitas yang ada
dalam sebuah produk hukum.20
Sebelum Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian dicabut, penyelesaian sengketa kepegawaian diatur dalam Pasal 35
Undang-Undang ini, yang berbunyi :
(1) Sengketa kepegawaian diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara.
(2) Sengketa Kepegawaian sebagai akibat pelanggaran terhadap peraturan
disiplin Pegawai Negeri Sipil diselesaikan melalui upaya banding
administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian.
(3) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
Setelah Undang-Undang ASN disahkan, penyelesaian sengketa pegawai
ASN diatur dalam Pasal 129 Undang-Undang ASN yang berbunyi :
(1) Sengketa Pegawai ASN diselesaikan melalui upaya administratif.
19Wawancara dengan Prof. Dr. Muchsan, S.H. pada tanggal 5 April 2014 di Universitas Widya Mataram,
Yogyakarta. 20Muchsin dan Fadilah Putra, op.cit, hlm. 7
17
(2) Upaya administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
keberatan dan banding administratif.
(3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis
kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum dengan memuat
alasan keberatan dan tembusannya disampaikan kepada pejabat yang
berwenang menghukum.
(4) Banding administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan
kepada badan pertimbangan ASN.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya administratif dan badan
pertimbangan ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian menyebutkan dalam ayat (1) bahwa PTUN berwenang dalam
menyelesaikan sengketa kepegawaian sedangkan dalam Undang-Undang ASN
tidak menyebutkan secara langsung tentang kewenangan PTUN dalam
menyelesaikan sengketa Pegawai ASN hanya menitik beratkan pada penyelesaian
sengketa melalui upaya Administratif yang pelaksanaannya akan diberlakukan
setelah ada peraturan pemerintah dibuat.
Dari uraian di atas terlihat bahwa cara penyelesaian sengketa kepegawaian
dapat ditempuh melalui dua jalur, pertama melalui PTUN untuk sengketa yang
tidak berhubungan dengan disiplin pegawai negeri dan kedua melalui BAPEK
(sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 melalui Badan
Pertimbangan ASN, mengenai mekanisme dan tata kerja Badan Pertimbangan
18
ASN belum ada aturan lebih lanjut). Adanya perbedaan cara penyelesaian
sengketa kepegawaian seperti ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi
pihak yang bersengketa. Mengingat kepegawaian rawan akan masalah sengketa
kepegawaian, maka harus dilakukan cara yang paling efektif dalam penyelesaian
sengketa kepegawaian sehingga kepastian hukum dan keadilan bagi pihak yang
bersengketa dapat dioptimalkan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah pelaksanaan sistem Peradilan Tata Usaha Negara dapat
memberikan perlindungan hukum kepada PNS secara optimal?
2. Kendala hukum apa yang menyebabkan belum mampunya sistem
Peradilan Tata Usaha Negara memberikan perlindungan hukum kepada
PNS ?
3. Langkah apa yang dapat ditempuh pemerintah dalam memberikan
perlindungan hukum yang optimal kepada PNS?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Tujuan Deskriptif
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan kiprah
fungsi PTUN dalam memberikan perlindungan hak kepada Pegawai
Negeri Sipil (PNS) yang dikenai hukuman disiplin.
19
2. Tujuan Kreaktif
Hasil penelitian ini bertujuan menganalisis kendala hukum yang
berupa kendala sistem peraturan perundang-undangan, kendala yang
berkaitan degan sinkronisasi dan harmonisasi perundang-undangan, serta
kendala yang berkaitan dengan eksekutor sehingga membuat fungsi
PTUN tidak mampu memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS).
3. Tujuan Inovatif
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan baru
mengenai langkah apa yang seharusnya ditempuh untuk menyelesaikan
kendala hukum dalam pelaksanaan fungsi PTUN sehingga dapat
memberikan perlindungan hukum bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Manfaat Objektif
Sebagai bahan masukan dan kontribusi pemikiran dalam hal
pengembangan hukum administrasi negara pada umumnya, Hukum
Kepegawaian dan Hukum PTUN pada khususnya serta dapat memberikan
informasi dan pemahaman yang mendalam mengenai perlindungan hukum
bagi PNS.
20
2. Manfaat Subjektif
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pengetahuan,
informasi, pedoman bagi peneliti selaku PNS untuk mendapatkan
perlindungan hukum melalui sistem PTUN.
E. Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian dapat diartikan bahwa masalah yang dipilih belum
pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya, atau harus dinyatakan dengan tegas
bedanya dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan.21
Penelitian tentang Perlindungan hukum bagi PNS melalui sistem Peradilan
Tata Usaha Negara belum pernah dilaksanakan sebelumnya. Sekalipun ada karya
ilmiah yang berkaitan dengan tentang PNS seperti yang diteliti oleh Puguh
Trihatmoko dan dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 6 September
2013 dalam tesis pasca sarjana program studi Magister Hukum Kenegaraan
Universitas Gadjah Mada memiliki variabel yang berbeda. Variabel yang diteliti
dalam penelitian tersebut adalah pengangkatan PNS dalam jabatan struktural di
pemerintahan. Pada penelitian ini lebih memberikan gambaran tentang
pelaksanaan pengangkatan PNS dalam jabatan struktural, membahas kendala-
kendala yang dihadapi dalam pengangkatan PNS dalam jabatan struktural dan
memberikan solusi terhadap permasalahan pengangkatan PNS dalam jabatan
struktural tersebut.
21 Maria S.W., Soemardjono, 2011, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum, Program Magister Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 19.
21
Sedangkan penelitian yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi
masyarakat melalui Sistem Peradilan Tata Usaha Negara juga diteliti oleh Delta
Arga Prayudha dan dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 5
September 2013 dalam tesis pasca sarjana program studi Magister Hukum
Kenegaraan Universitas Gadjah Mada memiliki variabel yang berbeda dengan
variabel ultra petita dalam Putusan PTUN sebagai upaya perlindungan hukum
bagi masyarakat pencari keadilan. Penelitian ini menitikberatkan pada putusan-
putusan hakim PTUN yang mengandung ultra petita dalam mewujudkan keadilan
substantif bagi masyarakat sebagai bentuk dari penegakan hukum yang progresif.
Meskipun dari penelitian sebelumnya ada beberapa kemiripan dalam objek
penelitian yaitu PNS dan sistem Peradilan Tata Usaha Negara, namun pada
penelitian yang penulis laksanakan ini memiliki variabel yang berbeda karena
tesis ini memfokuskan diri pada Pemberian perlindungan hukum kepada PNS
melalui sistem PTUN, sehingga menurut hemat penulis tesis yang diangkat
dengan judul “PEMBERIAN PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA PEGAWAI
NEGERI SIPIL MELALUI SISTEM PERADILAN TATA USAHA NEGARA”
belum pernah dilakukan dan dapat dikatakan asli, jauh dari unsur plagiat yang
bertentangan dengan asas-asas keilmuan sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.