Upload
hoangdung
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Revolusi Indonesia memiliki beberapa panggilan lain, salah satunya adalah
“perang kemerdekaan” yang sering digunakan oleh negera dunia ketiga untuk
menyebut suatu perlawanan kepada negara penjajah.1 Nama lain tersebut
menandakan bahwa adanya penafsiran berbeda dari istilah revolusi. Untuk itu,
beberapa peneliti mencoba mengartikan makna dari kata revolusi tersebut.
Anthony Reid mengartikan revolusi sebagai sebuah restrukturasi fundamental dari
suatu sitem politik dengan kekerasan dalam jangka waktu yang relatif singkat.2
Sartono Kartodirdjo mengartikan Revolusi Indonesia sebagai masa gegeran
(pergolakan) yang ditandai oleh srobotan atau gedoran (pendaulatan), disamping
sebagai masa perjuangan.3 Dari dua definisi tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa revolusi adalah suatu gejala yang secara spontan dan diiringi dengan suatu
gejala-gejala kekerasan.
1Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve).
2Reid, Anthony, “Revolusi Sosial: Revolusi Nasional”, dalam Prisma, No.
8 Agustus 1981 hlm. 32.
3Sartono Kartodirdjo, “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari
Prespektivisme Struktural”, dalam Prisma, No. 8 Agustus 1981, hlm. 3.
2
Dalam kasus yang terjadi di kebanyakan daerah tingkat lokal, Reid
menggunakan istilah revolusi sosial untuk mengkhususkan gerakan-gerakan dari
bawah yang menggulingkan pejabat-pejabat Indonesia yang memegang kekuasaan
yang diberikan baik oleh Jepang maupun Belanda. Ia juga menegaskan bahwa
kekerasan yang terjadi disebabkan oleh pemahaman yang berbeda antara realisasi
revolusi di daerah satu dengan yang lainya, sehingga suatu daerah mengambil
contoh dari gerakan di daerah tetangganya tanpa mengetahui sesuatu yang telah
mendahuluinya.4 Gerakan-gerakan pemuda di Jakarta menurunkan bendera
Jepang pasca proklamasi ditafsirkan oleh daerah sekelilingnya sebagai bentuk
“perang” terhadap kekuasaan asing. Akibatnya aksi-aksi selanjutnya berbentuk
penolakan terhadap sistem yang diberlakukan oleh pemerintahan asing, yang
berlanjut kepada upaya penghapusan unsur asing dalam suatu jabatan
kepemerintahan, termasuk di dalamnya adalah para pejabat asing dan pejabat
lokal yang menerima jabatannya dari pemerintah Belanda maupun Jepang. Dalam
literature lain juga dijelaskan bahwa revolusi sosial adalah sebuah gerakan yang
keberadaannya tidak bisa dielakan selama berlangsungnya revolusi Indonesia.5
4Reid, Anthony, op. cit., hlm. 35.
5Julianto Ibrahim, “Revolusi Sosial dan Konflik Politik: Kekerasan di
Surakarta pada Masa Revolusi (1945-1950), Laporan Penelitian, Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada, 2004, hlm. 18.
3
Sebagai salah satu daerah di Indonesia, Banten juga ikut berpartisipasi
dalam sebuah remembered history6 ini. Letak Banten yang yang masih satu jalur
dengan pesisir utara pulau Jawa menjadi pemicu utama pentingnya kajian tentang
masa revolusi di Banten. Hal ini sejalan dengan pernyataan Anthony Reid yang
mengatakan bahwa gerakan-gerakan revolusi dimulai dari daerah-daerah yang
terletak di pesisir utara pulau Jawa.7 Terlebih lagi jika dilihat mengenai
karakteristik masyarakat Banten yang masih cenderung tertutup dan susah diatur,8
dan kemudian berpotensi menimbulkan persaingan antara kelompok sosial.
Peristiwa 1888 yang terjadi di Banten memberikan bukti bahwa persaingan antara
kelompok sosial telah berlangsung lama sebelum masa revolusi.
Berbicara mengenai struktur sosial, klasifikasi masyarakat Banten
didasarkan atas kepemilikan tanah, mengingat daerahnya yang cenderung agraris.
Oleh karena itu, penduduk setempat memiliki matapencaharian rata-rata sebagai
petani. Di luar itu, ada yang bekerja sebagai nelayan, tukang, pekerja industri dan
pedagang.9 Mereka ini (selain nelayan) disebut juga perantau dan dalam masa
6Istilah yang digunakan oleh Sartono untuk menyebut sejarah yang diingat,
atau yang masih dalam ingatan orang-orang. Lihat Sartono Kartodirdjo, op. cit.,
hlm. 36.
7Reid, Anthony, op. cit., hlm. 36. Lihat juga Sartono Kartodirdjo,
Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Sejarah Pergerakan Nasional: Dari
Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990),
hlm. 134.
8Rosian Anwar, Sejarah Kecil, “Petite Histoire” Indonesia (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2004), hlm. 133.
9Reid, Anthony, op. cit., hlm. 57.
4
selanjutnya disebut sebagai golongan semi-intelektual.10 Pada abad ke-19, terjadi
pengelompokan terhadap penduduk Banten, yaitu mereka yang disebut jalma
leutik dan priyayi. Mereka yang dimaksud jalma leutik adalah kaum mayoritas,
yaitu petani, tukang, pedagang dan buruh, sedangkan priyayi diperuntukan kepada
mereka yang memiliki darah bangsawan dan para elit birokrasi. Para elit birokrasi
berada di bawah para bangsawan, namun masih lebih tinggi dari para jalma leutik.
Asumsi mengenai hubungan yang tidak baik antara para elit birokrasi
dengan masyarakat bawah dalam sejarah Indonesia rupanya juga dialami oleh
masyarakat Banten. Dimulai dari pergerakan pada tahun 1888 sebagai akibat dari
kesemena-menaan para pejabat di Banten, lalu pada tahun 1926 menjadi ladang
pergerakan komunis yang memberikan luka mendalam bagi orang-orang yang
diasingkan ke Digul setelahnya, hingga puncaknya pada masa revolusi. Pada masa
revolusi, Banten mengalami fase yang disebut oleh Anthony Reid sebagai
Revolusi Sosial.11 Hal ini digambarkan dalam aksi main hakim sendiri yang
dilakukan pemuda seeiring dengan aksi penyambutan proklamasi kemerdekaan.
Mulanya para pemuda memulai aksinya dengan menurunkan bendera Jepang di
10 Disebut golongan semi-intelektual karena mereka melakukan aktivitas
merantau yang pada umumnya tidak dilakukan oleh para masyarakat yang
berprofesi sebagai petani. Dari pengalaman merantau ini akhirnya mereka
mendapatkan sesuatu yang dinilai lebih dalam masyarakatnya ketika mereka
kembali ke kampung halamannya. Lihat Williams, Michael C., Arit dan Bulan
Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten (Yogyakarta: Syarikat Indonesia,
2003), hlm. 2 dan 7.
11Istilah yang digunakan untuk membedakan dengan revolusi politik. Lihat
Reid, Anthony, op. cit., hlm. 35.
5
Hotel Vos, disusul dengan penurunan bendera Jepang di kantor-kantor pemerintah
Jepang, hingga penurunan pejabat kolonial yang dilakukan secara seiphak.
Salah satu contoh menarik dari aksi revolusi sosial yang terjadi di Banten
adalah kosongnya jabatan syū12 karena ditinggal kabur oleh pejabatnya, Raden
Tirtasuyatna. Pada 29 September 1945. Raden Tirtasuyatna (fuku syūcōkan)13
ditunjuk sebagai syūcōkan Banten setelah menerima pengalihan jabatan dari
syūcōkan sebelumnya, Yuki Yoshii yang pergi meninggalkan Banten karena
dianggap sudah tidak aman lagi. Tidak lama setelahnya Ia juga ikut kabur,
mengingat dirinya yang bukan putra Banten, dan memang pada saat itu para kaum
revolusioner juga telah gusar dengannya. Atas dasar kekosongan jabatan tersebut,
diadakan perundingan yang dipelopori oleh para pemuda yang tergabung dalam
Angkatan Pemuda Indonesia (API) cabang Banten dan memilih Ahmad Chatib
untuk menjadi residen di Banten.14
Beberapa peristiwa lain yang berhubungan dengan dengan pemuda dan
revolusi sosial adalah gerakan Dewan Rakyat yang dipimpin oleh Ce Mamat. Aksi
pertamanya dimulai ketika Ahmad Chatib sebagai orang yang ditunjuk untuk
12Istilah zaman Jepang untuk menyebut residen pada masa Belanda. Lihat
Marwati D. Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Jepang dan
Zaman Republik Indonesia, ±1942-1998 (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2008), hlm.
19-20.
13Sebutan untuk jabatn tertinggi di tingkat syū. Lihat Marwati D.
Poesponegoro, dkk., op. cit., hlm. 20.
14 Meskipun baru disahkan oleh pemerintah RI pada 6 Oktober 1945. Lihat
Suharto, “Revolusi Sosial di Banten, 1945-1949: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan
Dampaknya”, Laporan Hasil Penelitian (Naskah Publikasi), Lembaga Penelitian
Universitas Indonesia Depok, 1996. hlm 9-10.
6
mengisi jabatan residen, mengangkat kembali pejabat lama untuk mengisi jabatan
yang kosong. Keputusan Ahmad Chatib menimbulkan ketidakpuasan di sebagian
kalangan pemuda. Ketidakpuasan ini akhirnya berujung kepada teror pemuda
melalui Dewan Rakyat kepada residen untuk membatalkan surat pengangkatan
tersebut. Permintaan tersebut dikabulkan, dan keesokan harinya diumumkan
dihadapan para pejabat sekaligus mengumumkan bahwa kekuasaan di seluruh
Karisidenan Banten diambil alih oleh Dewan Rakyat yang dipimpin oleh Ce
Mamat.15
Gerakan-gerakan lain yang mencirikan dari sebuah proses revolusi sosial
masih terus muncul, bahkan setelah organisasi yang dianggap mewadahinya yaitu
Dewan Rakyat, berhasil dihancurkan pada tahun 1946.16 Hanya saja perbedaannya
terletak pada yang menjadi target perlawanan. Setelah hancurnya Dewan Rakyat,
Pemerintah RI mencoba mebatasi peran ulama dalam bidang politik, dengan cara
menggantikan para ulama yang menjabat dengan orang-orang pilihan pemerintah
yang lagi-lagi kebanyakan berasal dari Jawa Barat.17 Hal ini tentu saja memicu
perlawanan, dan kebanyakan datang dari para aktivis bawah tanah.18 Salah satu
15Suharto, op. cit., hlm. 12.
16ibid, hlm 19.
17Pejabat yang digantikan adalah Buupati Pandeglang, Kyai Abdulhalim
oleh Mas Sudibja, bupati sebelumnya pada tahun 1945. Lihat Williams, Michael
C. “Banten: Rice Debts will be Repaid with Rice, Blood Debts with Blood”,
dalam Kahin, Audrey R. (ed.), Regional Dynamics of the Indonesian Revoluition:
Unity from Diversity (USA: University of Hawai Press, 1985), hlm. 73.
18ibid, hlm. 74.
7
yang terjadi adalah peristiwa di Cibaliung yang mengatasnamakan gerombolan
“Bambu Runcing”, setidaknya merenggut nyawa pejabat setempat pada saat itu.19
Bukan sebuah kebetulan jika berasumsi bahwa kelompok pemuda menjadi
bagian penting dalam berlangsungnya “revolusi sosial” di Banten. Hal tersebut
terbukti jika melihat kenggotaan dari para kaum revolusioner, khususnya mereka
yang tidak masuk dalam jajaran ulama. Terlebih telah Peranan kelompok pemuda
sebagai pencetus ide bukan hanya sebuah gosip belaka, namun sudah menjadi
asumsi umum bahwa keterlibatan mereka tidak bisa lepas dengan jalannya
peristiwa revolusi.
Dari sini dapat dilihat bahwa ada peran dari elemen pemuda ketika
revolusi di Banten. Dari sektor politik misalnya, pemuda menjadi perintis
diadakannya perundingan untuk memilih residen Banten yang baru. Dari segi
militer, pemuda bersama komponen masyarakat lainnya turut serta dalam
menjalankan aksi pelucutan senjata dari tentara Jepang.20 Beberapa penelitian juga
menjelaskan pemuda menjadi bagian dari kelompok-kelompok pentng ketika
revolusi di Banten, yang secara tidak langsung juga malah tidak mementingkan
penjelasan mengenai elemen pemuda yang turut andil dalam kelompok tersebut.
Peneletian ini disusun atas dasar untuk mengisi kekosongan tersebut, sehingga
19Lihat Himpunan Sejarah Perjuangan Rakyat Banten, (Serang: Markas
Daerah Legiun Veteran Republik Indonesia Provinsi Banten, 1980), hlm. 46.
20Tindakan nyatanya adalah dengan menyerang markas kenpeitai di
Serang dan berhasil setelah mendapatkan bantuan dari Laskar Rakyat dibawah
pimpinan Muhaimin. Lihat Ensering, Else, “Banten in Times of Revolution”,
dalam Archipel, 1995, hlm. 131-163.
8
didapatkan informasi yang lebih spesifik mengenai eksistensi pemuda pada saat
itu.
Ada beberapa versi mengenai mereka yang disebut pemuda. Sudjarwo
menggunakan istilah pemuda untuk mengkhususkan orang-orang yang belum
mapan kedudukan sosial, ekonomi, maupun politiknya.21 Riyadi Gunawan
menyebut usia muda sebagai usia yang ada diantara 30 sampai 40 tahun.22
Penjelasan yang lebih umum diberikan oleh Benedict R.O.G. Anderson sebagai
suatu tahap tersendiri dalam garis busur kehidupan antara masa kanak-kanak dan
dewasa, yang mana dari situ mereka membedakan dirinya dari masyarakat
tradisional melalui penentangan yang sistematis. Dalam penjelasan selanjutnya,
Anderson juga menjelaskan status pemuda yang “biasa saja” dalam masyarakat.23
Dari sini kemudian penuelitian ini beranjak untuk mengklasifikasikan elemen
pemuda dalam peristiwa revolusi yang terjadi di Banten, dan juga untuk melacak
peran mereka sebelum, pada masa, dan setelah revolusi.
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian
Fokus penelitian ini adalah untuk menjelaskan sosok dari para pemuda
Banten sebelum, pada masa, dan setelah revolusi. Asumsi yang bisa menjelaskan
21Sudjarwo, “Potret Diri Pemuda dalam Revolusi Kita”, dalam Prisma,
No. 8 Agustus 1981, hlm. 20.
22Lihat Riyadi Gunawan, “Jagoan dalam Revolusi Kita”, dalam Prisma,
No. 8 Agustus 1981, hlm. 46.
23Anderson, Benedict R.O.G., Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang
dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (terj. Jiman Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1988), hlm. 21-22.
9
adanya hubungan diantara pemuda dan revolusi adalah karena masa revolusi
merupakan masa yang kacau dan penuh peperangan. Hal ini sejalan dengan sikap
pemuda yang revolusioner dan menyukai tantangan. Terlebih penjelasan
Abdurrachman mengenai adanya potensi pemahaman berbeda dari revolusi di
setiap daerah,24 dan Banten memiliki potensi tersebut jika kembali kepada
pernyataan Anthony Reid mengenai pesisir utara yang menjadi tempat lahirnya
revolusi.25 Dari sini muncul pertanyaan mengenai eksistensi pemuda sebelum
masa revolusi, posisi dan peran mereka dalam revolusi tersebut, serta
perkembangan mereka selanjutnya dalam masyarakat pasca revolusi.
Adapun wilayah yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah Banten
dalam konteks geografis dan kultural, atau dapat diartikan sebagai masyarakat
Banten yang tinggal di wilayah provinsi Banten yang dikenal pada saat ini,
kecuali daerah Tangerang yang memang pada masa sebelumnya belum menjadi
bagian dari Banten. Karena konteks yang diambil adalah kultural, maka dampak-
dampak yang dibahas adalah dampak yang dialami oleh masyarakat Banten secara
umum, tanpa harus dibatasi oleh wilayah tertentu. Namun, jika dilihat dari segi
historisnya, wilayah Serang menjadi pembahsan utama dalam penulisan ini. Akan
tetapi hal tersebut tetap diartikan sebagai peristiwa berskala regional jika hal
tersebut masih bersangkutan dengan wilayah-wilayah sekitarnya. Misalnya
ditemukan adanya peran pemuda dalam membentuk pengurus pemerintahan di
24Abdurrachman Surjomihardjo, “Peristiwa Tiga Daerah: Suatu Intepretasi
Sejarah: Revolusi Sosial Menyambut Proklamasi Kemerdekaan”, dalam Prisma,
No. 8 Agustus 1981), hlm. 50.
25Reid, Anthony, op. cit, hlm. 38.
10
tingkat karesidenan, dan dari kelompok pemuda tersebut diketahui pemuda Serang
yang mendominasi.
Dalam penjelasaanya, peristiwa-peristiwa yang terjadi dinilai mewakili
masyarakat Banten secara keseluruhan, dan istilah pemuda Banten lebih sering
dimunculkan ketimbang pemuda Serang, Lebak ataupun Pandeglang. Namun,
terlepas dari itu juga diberikan contoh ke tingkat yang lebih khusus (kabupaten).
Meskipun jumlah faktanya tidak seimbang antara kabupaten yang ada pada masa
tersebut (atau mungkin tidak ditemukan sama sekali pada suatu kabupaten
tertentu), tetapi yang terpenting adalah rekonstruksi dari fakta-fakta baru yang
dapat menggambarkan Banten secara utuh.
Batasan mengenai kelompok pemuda diambil dari penjelasan yang telah
dilakukan oleh beberapa ahli. Dalam hal ini misalnya, Sudjarwo menggunakan
istilah pemuda untuk mengkhususkan orang-orang yang belum mapan kedudukan
sosial, ekonomi, maupun politiknya.26 Riyadi Gunawan menyebut usia muda
sebagai usia yang ada diantara 30 sampai 40 tahun.27 Benedict R.O.G. Anderson
menjelaskan pemuda sebagai suatu tahap tersendiri dalam garis busur kehidupan
antara masa kanak-kanak dan dewasa, yang mana dari situ mereka membedakan
dirinya dari masyarakat tradisional melalui penentangan yang sistematis. Dalam
penjelasan selanjutnya, Anderson juga menjelaskan status pemuda yang “biasa
26Sudjarwo, “Potret Diri Pemuda dalam Revolusi Kita”, dalam Prisma,
No. 8 Agustus 1981, hlm. 20.
27Lihat Riyadi Gunawan, “Jagoan dalam Revolusi Kita”, dalam Prisma,
No. 8 Agustus 1981, hlm. 46.
11
saja” dalam masyarakat.28 Ketiga pengertian ini yang kemudian digunakan dalam
pembahasan selanjutnya.
Cakupan waktu yang diambil dalam penelitian ini adalah 1926-1955 dan
lebih dikhususkan ketika masa revolusi. Pengambilahan angka tahun 1926
dimaksudkan kepada peristiwa pergerakan komunis di Banten pada tahun
tersebut, yang dianggap memiliki keterkaitan dengan peristiwa yang terjadi ketika
masa revolusi. Batas akhr tahun 1955 sebenarnya ditujukan kepada reaksi pemuda
setelah masa revolusi dengan perkembangan politik Indonesia selanjutnya.
Terutama pada tahun tersebut, Indonesia tengah mengalami proses demokrasi
yang pertama kali, yaitu pemilihan umum tahun 1955.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan penjelasan mengenai
perkembangan kehidupan para pemuda Banten sebelum hingga setelah masa
revolusi. Terlebih sedikitnya mengenai tulisan yang menjelaskan tentang pemuda
Banten, dan peran mereka pada periode tersebut. Adapun tujuan lainnya antara
lain mendokumentasikan mengenai sejarah masyarakat Banten pada masa
revolusi, mengingat masa tersebut adalah masa rekonstruksi Negara Indonesia dan
penjelasan dari sudut pandang lain diperlukan untuk menggambarkan keadaan
tersebut secara utuh. Untuk itu peran pemuda Banten yang hidup pada zaman
tersebut perlu diteliti agar mendapatkan jawaban yang lebih kritis dari istilah
28Anderson, Benedict R.O.G., Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang
dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (terj. Jiman Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1988), hlm. 21-22.
12
revolusi sosial di Banten, dan lebih jauh lagi dampak selanjutnya dari revolusi
dalam hal kaitannya dengan situasi di Banten saat ini.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam prakteknya, penelitian ini dilandasi atas beberapa buku maupun
karya ilmiah yang sudah ada sebelumnya, terutama karya-karya yang membahas
mengenai Banten. Tulisan “Kiyai dan Jawara di Banten: Studi tentang Agama,
Magi, dan Kepemimpinan di Desa Pasanggrahan Serang, Banten”,29 karangan
M.A. Tihami yang diajukan sebagai tesis di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
memberikan sudut pandang yang serupa dengan yang digunakan dalam penelitian
ini, yaitu mengenai peranan Jawara dalam bidang politik dan sosial. Dalam tulisan
karangan Tihami, Jawara termasuk ke dalam kelompok yang turut serta menjadi
pembentuk elit sosial di Banten. Pemanfaatan fungsi Jawara dalam penelitian ini
karena penjelasan mengenai keterlibatan kaum Jawara yang telah turut andil
dalam perkembangan kaum pemuda. Kekurangan dari tulisan ini yang sekaligus
menjadi pembeda darinya adalah penjelasan mengenai pemuda yang kurang, dan
memang periodisasi yang tidak memungkinkan untuk menjelaskan pemuda
sebagai kaum yang berpengaruh. Tulisan karangan Tihami setidaknya
memberikan salah satu gambaran mengenai kondisi sosial masyarakat Banten.
29M.A. Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten: Studi tentang Agama, Magi,
dan Kepemimpinan di Desa Pasanggrahan Serang, Banten”, Tesis, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Depok.
13
Selanjutnya Laporan hasil penelitian dari Suharto berjudul “Revolusi
Sosial di Banten, 1945-1949: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Dampaknya”.30 Secara
tidak langsung, penelitian ini diharapkan menjadi pelengkap untuk
menggambarkan kondisi Banten pada masa revolusi. Perbedaan diantara keduanya
antara lain, pertama dari segi isi, Suharto cenderung lebih menekankan pada
peristiwa politik sekitar tahun 1945-1948. Kedua, dalam tulisan Suharto aspek
sosial tidak begitu ditekankan, dan kalaupun ada maka aspek tersebut hanya
tersirat saja. Dalam penelitian ini peneliti membahas kekosongan itu, yaitu aspek
sosial yang tidak terlalu dibahas pada tulisan tersebut, khususnya terhadap
kelompok pemuda yang sering kali muncul sebagai “perintis” dalam tulisan
Suharto.31
Tema mengenai pemuda pada masa Revolusi Indonesia memang belum
banyak yang muncul sebagai sebuah judul buku, tetapi beberapa diantaranya
muncul secara rinci sebagai jurnal penelitian yang terbit di sebuah artikel ilmiah.
Tulian karangan Sudjarwo tentang “Potret Diri Pemuda dalam Revolusi Kita”32
memberikan gambaran umum sekaligus menarik dari kelompok pemuda masa
revolusi dengan skala nasional. Gagasan utamanya adalah bahwa kelompok
pemuda muncul sebagai kelompok yang baru, yang dapat berperan sebagai
30Suharto, “Revolusi Sosial di Banten, 1945-1949: Kondisi, Jalan
Peristiwa, dan Dampaknya”, Laporan Hasil Penelitian (Naskah Publikasi),
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia Depok, 1996.
31Lihat Suharto, op. cit., hlm. 8-9.
32Sudjarwo, op. cit. hlm. 21-32.
14
kekuatan militer-politik. Salah satu penelitian yang memberikan kata pemuda
dalam judul bukunya adalah milik Benedict R.O.G. Anderson, Revoloesi
Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946.33 Buku ini
memberikan uraian terperinci mengenai istilah pemuda dalam masyarakat Jawa.
Buku inilah yang menjelaskan mengenai sejarah pemuda Indonesia hingga
perannya di masa Revolusi. Kekurangan dari buku ini adalah terlalu terpusatnya
kajian dalam lingkup yang memiliki banyaknya gerakan pemuda (dalam hal ini
Bandung dan Jakarta),34 sehingga penjelasan mengenai daerah sekitarnya kurang
dimunculkan. Penelitian ini menjelaskan mengenai salah satu daerah yang
bersinggungan secara geografis maupun administratif dengan Jakarta, sehingga
dimungkinkan pengaruh-pengaruh dari Jakarta juga turut berperan dalam
pergerakan pemuda di Banten.
Tulisan yang meyinggung tentang pemuda Banten dapat dilihat dari
tulisan Nina Herlina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara.35 Dalam buku ini Nina sebenarnya memberikan penjelasan mengenai
sejarah panjang dari Banten, mulai masa kesultanan hingga Banten berdiri sebagai
sebuah provinsi. Dalam pertengahan bab-nya yang berkaitan dengan masa
33Anderson, Benedict R.O.G., Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang
dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (terj. Jiman Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1988).
34Anderson menyebut hal itu mungkin karena banyaknya lembaga
pendidikan di dua kota tersebut. Lihat Anderson, Benedict R.O.G., op. cit., hlm.
37.
35Nina H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara (Jakarta: LP3ES, 2004).
15
revolusi, Nina menggambarkan sedikit mengenai peran pemuda Banten, namun
masih terlalu sedikit bila dibandingkan dengan tulisan milik Suharto. Hal tersebut
terjadi karena rentang waktu yang diambil begitu panjang, sehingga buku ini
memiliki fokus yang banyak. Penelitian yang dilakukan penulis mencoba fokus
terhadap satu aspek dan satu periode tertentu, sehingga keberadaannya diharapkan
dapat melengkapi serangkaian sejarah Banten yang ditulis sebelumnya.
Kajian yang meneiliti mengenai proses revolusi di Banten lebih lengkap
dijelaskan oleh Michael C. Williams, “Banten: Rice Debts will be Repaid with
Rice, Blood Debts with Blood”, dalam buku Regional Dynamics of the Indonesian
Revoluition: Unity from Diversity yang diedit oleh Audrey R. Kahin.36 Tulisan ini
adalah mirip dengan tulisan Suharto yang juga menjadi landasan dalam penelitian
ini. Beberapa yang menonjol dari tulisan ini adalah penjelasannya yang mendalam
bila dibandingkan dengan tulisan lain yang menjelaskan mengenai revolusi di
Banten. Terlebih dijelaskan pula mengenai peristiwa-peristiwa sebelumnya,
seperti peristiwa tahun 1926 yang kemudian dihubungkan dengan penjelasan dan
fakta yang kaya. Namun lagi-lagi seperti kebanyakan kajian lainnya, penjelasan
mengenai pemuda di Banten pada masa tersebut masih menjadi peran figuran dan
hanya disinggung sedikit, dan tentu saja hal ini yang membedakan tulisan
Williams dengan kajian ini.
36Williams, Michael C., “Banten: Rice Debts will be Repaid with Rice,
Blood Debts with Blood”, dalam Kahin, Audrey R. (ed.), Regional Dynamics of
the Indonesian Revoluition: Unity from Diversity (USA: University of Hawai
Press, 1985).
16
Dari beberapa tinjauan pustaka diatas, penulisan ini menjadi penting
mengingat tidak ditemukannya suatu penelitian yang khusus membicarakan
mengenai kelompok pemuda di Banten. Pembahasan pemuda di tingkat lokal
selama ini hanya muncul sebagai penjelas dari tema-tema yang lebih besar.
Sejarah harus mampu mengangkat masalah yang kecil, karena secara tidak
langsung hal ini akan menjadi tumpuan bagi masalah yang lebih besar. Dengan
sudut pandang seperti ini, maka kiranya penelitian ini menjadi pelengkap bagi
sejarah pemuda di tingkat lokal.
E. Metode Penelitian dan Sumber
Dalam penelitian ini digunakan metode sejarah yang terdiri dari lima
tahap. Pertama adalah pemilihan topik, tahap kedua adalah pengumpulan sumber
atau heuristik, tahap ketiga yaitu verifikasi yang didalamnya termasuk kritik
sejarah, kemudian tahap intepretasi yang berupa analisis dan sintesis, dan terakhir
adalah tahap penulisan.37 Pemilihan metode sejarah didasari aspek historis yang
ditonjolkan dalam penelitian ini dan juga kebutuhan teknik untuk mengumpulkan
sumber-sumber masa lampau.
Tahap pertama adalah pemilihan topik yang sudah terlaksana sebelumnya.
Alasan mengapa diambil tema tentang pemuda adalah karena pemuda memiliki
peranan yang cukup penting dalam sejarah revolusi Indonesia. Hal ini ditunjukan
dalam beberapa penelitian mengenai Revolusi Indonesia (meskipun hanya sedikit
sekali penelitian yang bertujuan khusus untuk menulis tentang pemuda) yang
37Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005),
hlm. 90.
17
dalam penjelesannya, selalu diperlihatkan mengenai sosok peranan dari kelompok
pemuda. Misalnya dalam Peristiwa Tiga Daerah, peran pemuda di Brebes
digambarkan sebagai pembangkit semangat daerahnya dengan menjalankan aksi
penurunan bendera Jepang, setelah mendengar berita mengenai Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia.38 Di Banten, pemuda memiliki peranan penting dalam
bidang politik, seperti peranan mereka sebagai pengusul diadakannya perundingan
mengenai kepengurusan karesidenan Banten, atau turut aktif dalam organisasi
pemuda yang ada saat itu (API).39 Sudjarwo menggambarkan pemuda Indonesia
pada masa revolusi sebagai kelompok militer-politik,40 dan ini juga terjadi di
Banten. Dalam kaitannya dengan tokoh nasional, pemuda Banten juga turut
berperan dalam pertemuan rahasia di Rangkasbitung yang diadakan oleh Tan
Malaka.41 Dari semua ini, belum banyak penelitian mengenai pemuda sebagai
objek pertama dalam sebuah tulisan sejarah Banten, maka dari itu penulis
mengambil kesempatan ini.
38Abdurrachman Surjomihardjo, op. cit., hlm 35.
39API merupakan singkatan dari Angkatan Pemuda Indonesia, API cabang
Banten dipimpin oleh Ali Amangku. Lihat Ensering, Else, op. cit, hlm 147.
40Julukan militer-politik yang dinyatakan Sudjarwo dimaksudkan terhadap
kelompok pemuda yang mampu masuk dalam aspek militer maupun politik.
Dalam hal ini Sudjarwo percaya bahwa pemuda mapu menggunakan sisi ideologi
maupun militer. Lihat Sudjarwo, op. cit., hlm. 29-32.
41Sebuah pertemuan rahasia yang diselenggarakan untuk membahas tindak
lanjut dari proklamasi Indonesia merdeka dan dipelopori oleh Tan Malaka. Dalam
pelaksanaannya, Tan Malaka mengundang lima perwakilan dari pemuda seluruh
Banten. Lihat Ensering, Else, op. cit., hlm. 144-145.
18
Suatu hal unik yang terjadi dalam pemuda adalah yang dimaksud Benedict
Anderson sebagai masa ketika pemuda harus mengabdikan dirinya kepada
seorang guru.42 Proses ini tentu saja menjadi menarik jika dihubungkan dengan
kondisi masyarakat tempat tinggal pemuda tersebut, dalam hal ini Banten yang
masyarakatnya digambarkan oleh orang Belanda sebagai masyarakat yang fanatik
dalam hal agama, bersikap agresif dan bersemangat memberontak.43 Jika saja para
“orang tua” Banten seperti itu, maka para pemuda yang mendapat pelajaran dari
orang tua juga bersikap sama. Inilah yang kemudian inti permasalahan mengapa
penelitian tentang pemuda Banten perlu.
Tahap kedua yaitu heuristik atau pengumpulan sumber berupa jejak-jejak
sejarah yang mampu menjelaskan masalah dalam penelitian ini. Perlu diakui
bahwa penelitian ini banyak mengambil data-data serupa dari penelitian yang
sudah ada. Namun tidak semuanya diambil, hanya sebagian saja yang sekiranya
dapat membantu dalam menjawab permasalahan di penelitian ini. Koleksi arsip
yang digunakan antara lain berupa arsip Kementrian Sosial dan Kementrian
Perburuhan (1946-1950), arsip Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
(1945-1950), arsip Kementrian Penerangan (1945-1950) ditambah dengan data
kependudukan dari Volksteling 1930 serta kumpulan surat kabar dari Pikiran
42Anderson berpendapat bahwa setelah mencapai usia yang cukup, para
pemuda wajib untuk menuntut ilmu di luar orang tuanya. Mungkin pada zaman
sekarang hal tersebut serupa dengan pendidikan formal yang diterima anak
sekolah. Ia juga menyatakan bahwa sang “guru” tersebut bermacam-macam, bisa
dari seorang anggota keluarga yang lebih tua, Kyai terkenal, maupun seorang Jago
atau ahli ilmu gaib. Lihat Anderson, Benedict R.O.G., op. cit., hlm. 23.
43Suharto, op. cit., hlm. 7. Lihat juga Rosian Anwar, op. cit.,, hlm. 130.
19
Rakyat dan Suara Merdeka terbitan tahun 1950-1955. Sumber wawancara tidak
banyak didapat, mengingat usia para pelaku yang sudah sangat tua bahkan sudah
meninggal.
Dalam prakteknya, banyak sumber yang sudah hilang maupun rusak, salah
satunya adalah kumpulan majalah tahun 1940 yang berbicara langsung mengenai
Banten. Banten Bode juga tidak digunakan mengingat kondisinya yang sudah
rusak dan juga rentan waktu yang sangat berbeda jauh dari kajian penelitian.
Dalam proses pengumpulan data, penulis juga kesulitan dalam mencari sumber-
sumber yang berasal dari daerah Banten sendiri, terutama koleksi Perpustakaan
Daerah Banten yang masih dalam penataan ulang.
Tahapan ketiga adalah verivikasi atau kritik sumber. Dalam tahapan ini
penulis menguji keabsahan sumber baik dari segi otensititas, maupun dari segi
kredibilitas. Dari segi otensititas digunakan kritik ekstern, berupa pengujian
berdasarkan ciri fisik. Dalam hal ini dilakukan pengecekan terhadap jenis kertas
(dokumen). Akan tetapi, karena arsip yang diperoleh berasal dari Arsip Nasional
Indonesia, maka kegiatan kritik ini kurang dilakukan karena hal tersebut sudah
dilakukan oleh badan pengurusnya. Kritik intern digunakan untuk menguji tingkat
kredibilitas atau substansi dari sumber tersebut. Dalam hal ini, meskipun
kebanyakan sumber yang diambil juga merupakan sumber arsip, tetapi tetap
dilakukan perbandingan dengan sumber lainnya.
Tahapan keempat adalah intepretasi dari sumber-sumber yang telah diuji
kebenarannya. Tahap ini merupakan penggabungan antara sumber-sumber yang
20
didapat dengan teori-teori yang mendukung beserta pendapat penulis mengenai
aspek yang dikaji. Tahap terakhir adalah penulisan, yaitu penuangan ide-ide, teori-
teori, beserta fakta-fakta yang dihasilkan dari proses intepretasi. Tahapan ini
kemudian menjadi tahapan akhir, hingga nantinya penelitian ini dapat dikatakan
sebagai salah satu wujud dari konsep history as written.
F. Sistematika Penulisan
Setelah melalui tahapan metode, penelitian ini menjelaskan hasilnya ke
dalam sistematika berikut; bab pertama berjudul Pendahuluan yang berisi
mengenai latar belakang penelitian, rumusan dan ruang lingkup penelitian, tujuan
penelitan, tinjauan pustaka yang menjadi landasan teori serta metode dan sumber
dengan kendala-kendalanya di lapangan.
Bab kedua berjudul Pemuda Banten Sebelum Masa Revolusi (1926-1945),
terdiri dari dari empat sub-bab. Sub-bab pertama berjudul Struktur Sosial
Masyarakat Banten yang membahas mengenai gambaran umum masyarakat
Banten, termasuk didalamnya penggambaran struktur sosial masyrakat Banten dan
juga data kependudukan sebelum masa revolusi. Sub-bab kedua dan ketiga secara
berturut-turut berjudul Pemuda Banten dalam Konteks Demografi dan Kultural
serta Kondisi Pendidikan di Banten, keduanya secara umum menjelaskan tentang
kedudukan pemuda dalam masyarakat beserta pendidikan pemuda di Banten
sebelum revolusi. Sub-bab keempat berjudul Akar Radikalisme Pemuda Banten
menjelasklan sejarah singkat pemuda Banten dalam kaitannya dengan sejarah
Banten sebelum masa revolusi.
21
Bab ketiga berjudul Pemuda Banten Ditengah Revolusi (1945-1949) yang
menjelaskan mengenai inti dari penelitian ini, terutama kaitan antara pemuda
dengan pergeseran pemerintahan yang terjadi di Banten. Untuk itu dibuat satu
sub-bab diawal yang berjudul Periode Awal Revolusi, serta satu sub-bab di akhir
yang berjudul Banten di Bawah Kendali Pemerintahan Indonesia. Dua sub-bab
khusus dibuat untuk menjelaskan posisi dan peranan Dewan Rakyat yang dnilai
sangat berpengaruh terhadap pergerakan revolusi pemuda secara keseluruhan.
Kedua sub-bab tersebut yang pertama berjudul Dewan Rakyat dan Peran Pemuda
Banten di Dalamnya yang lebih membahas masa ketika berjayanya Dewan
Rakyat, serta pengaruhnya terhadap pergerakan pemuda. Sub-bab kedua yang
dimaksud berjudul Pemuda Banten di Luar Dewan Rakyat yang lebih
memfokuskan kepada kelompok-kelompok militer dan juga kelompok yang
kemudian terpecah ketika Dewan Rakyat runtuh. Dalam penjelasannya mengenai
status pemuda, cenderung dibaur dengan kelompok mayoritas yang ada karena
alasan tertentu, seperti kurangnya data yang mampu membedakan antara pemuda
dengan orang tua. Maka dari itu, pemahaman pemuda dalam segi ekonomi-sosial
akan sangat membantu untuk memahami pemuda Banten pada masa itu
Bab keempat berjudul Pemuda Banten Setelah Revolusi (1950-1955) yang
menjelaskan mengenai dampak yang muncul setelah peristiwa-peristiwa di Banten
pada periode revolusi. Dalam bab ini dibagi menjadi tiga sub-bab, yang pertama
berjudul Pemerintahan di Banten Setelah Revolusi yang akan membahas keadaan
politik di Banten pasca revolusi. Kedua, berjudul Demobilisasi Pemuda
Revolusioner Perkembangan Pasca Revolusi yang secara umum membicarakan
22
mengenai dampak revolusi terhadap perkembangan dalam beberapa sector lain di
Banten, serta usaha-usaha untuk mengembalikan mantan pejuang kembali ke
masyrakat. Ketiga berjudul Pemilihan Umum Tahun 1955 yang akan menjelaskan
sedikit tentang proses pemilu di Banten serta tanggapan para pemuda terhadapnya.
Bab kelima adalah penutup, yang berisi kesimpulan dari rumusan masalah
yang dibuat. Dalam penelitian ini, didapatkan kesimpulan dampak dari revolusi di
Banten bukan terletak dari para pemuda yang aktif pada masa revolusi dan masih
hidup pada masa selanjutnya, melainkan nilai yang dibawa oleh kelompok besar
pada saat itu yang kemudian secara tidak sadar menjadi sarat diterimanya
seseorang menjadi tokoh sebuah masyarakat. Selanjutnya, adalah lembaran Daftar
Pustaka dan Lampiran-lampiran yang dibutuhkan.