43
1 BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Berkembangnya industrialisasi yang pesat memberikan dampak buruk terhadap kelestarian lingkungan dan adanya permasalahan-permasalahan sosial di masyarakat. Permasalahan-permasalahan tersebut tentu menuai kritikan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat. Kritik kepada perusahaan, yang tidak peduli terhadap masyarakat sekitar dan kerusakan lingkungan akibat kinerja ekonomi, mendorong munculnya komitmen moral terhadap perusahaan. Sekarang ini komitmen itu populer dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR) 1 . Corporate Social Responsibility merupakan sebuah wacana yang berkembang sangat cepat di dunia bisnis sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan kepada masyarakat khususnya masyarakat sekitar yang terkena dampak langsung di daerah operasi industri. Korporasi merupakan aktor utama dalam pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) yang mendukung terciptanya kelangsungan kondisi lingkungan dan sosial yang baik di sekitar perusahaan. Dunia korporasi saat ini tidak hanya dituntut dalam mengorganisir dan menyelesaikan permasalahan ekonomi perusahaan dalam meningkatkan nilai 1 Susetiawan dalam jurusan PSdK FISIPOL UGM. 2012. Corporate Social Responsibility : Komitmen untuk pemberdayaan masyarakat. Azzagrafika : Yogyakarta hlm 3

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108551/potongan/S1-2017... · Beberapa kasus di Indonesia, angka kemiskinan di daerah, relatif tinggi

  • Upload
    haque

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul

1. Aktualitas

Berkembangnya industrialisasi yang pesat memberikan dampak buruk

terhadap kelestarian lingkungan dan adanya permasalahan-permasalahan sosial di

masyarakat. Permasalahan-permasalahan tersebut tentu menuai kritikan dari

berbagai pihak, termasuk masyarakat. Kritik kepada perusahaan, yang tidak peduli

terhadap masyarakat sekitar dan kerusakan lingkungan akibat kinerja ekonomi,

mendorong munculnya komitmen moral terhadap perusahaan. Sekarang ini

komitmen itu populer dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR) 1 .

Corporate Social Responsibility merupakan sebuah wacana yang berkembang

sangat cepat di dunia bisnis sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan

perusahaan kepada masyarakat khususnya masyarakat sekitar yang terkena

dampak langsung di daerah operasi industri. Korporasi merupakan aktor utama

dalam pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) yang mendukung

terciptanya kelangsungan kondisi lingkungan dan sosial yang baik di sekitar

perusahaan.

Dunia korporasi saat ini tidak hanya dituntut dalam mengorganisir dan

menyelesaikan permasalahan ekonomi perusahaan dalam meningkatkan nilai

1Susetiawan dalam jurusan PSdK FISIPOL UGM. 2012. Corporate Social Responsibility : Komitmen untuk pemberdayaan masyarakat. Azzagrafika : Yogyakarta hlm 3

2

finansial semata. Namun dunia korporasi juga dihadapkan oleh permasalahan

sosial dan lingkungan dalam menuju keberlanjutan usaha. Terlepas dari adanya

berbagai macam kepentingan dari perusahaan, CSR yang dilakukan di Indonesia

memiliki berbagai perkembangan konteks. Pertama, pelaksanaan CSR yang

dilaksanakan secara sukarela dan yang kedua pelaksanaan CSR berdasarkan

undang-undang (mandatory). Tujuan dari penguatan kegiatan CSR oleh

perusahaan adalah memberikan pertanggungjawaban terhadap dampak-dampak

negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan itu melalui proses produksi. Perusahaan

dalam hal ini tentu memberikan kontribusi terhadap perkembangan pembangunan

masyarakat di wilayah sekitar industri.

Dari adanya CSR perusahaan dalam kontribusi aktif terhadap

pembangunan, maka dapat dilihat tolak ukurnya dari tingkat kemiskinan yang ada

di wilayah sekitar operasi perusahaan. Beberapa kasus di Indonesia, angka

kemiskinan di daerah, relatif tinggi di tengah berlangsungnya pembangunan

ekonomi yang di gerakkan oleh industri tambang dan migas. Hal ini tentu menjadi

sebuah paradoks dengan adanya kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat di

sekitar daerah operasi industri2. Kemiskinan yang terjadi ini di tanggapi dengan

kehadiran CSR sebagai upaya perusahaan untuk meminimalisirnya. Upaya

perusahaan melalui CSR kebanyakan dapat diimplementasikan salah satunya

dengan pemberdayaan masyarakat.

2Hudayana, Bambang dalam jurusan PSdK FISIPOL UGM. 2012. Corporate Social Responsibility : Komitmen untuk pemberdayaan masyarakat. Azzagrafika : Yogyakarta hlm 199

3

Kesadaran menjadi kondisi ideal dalam konteks pemberdayaan masyarakat

yang sering diimplementasikan dalam bentuk program CSR merupakan aktivitas

yang lintas sektor dan menjadi modal sosial yang harus dioptimalkan melalui

mekanisme kemitraan yang berperan meningkatkan sosio-ekonomi masyarkat dan

komunitas lokal yang berada di sekitar perusahaan. Program ini

diimplementasikan dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat dalam

mencapai sosio-ekonomi yang lebih baik bila dibandingkan dengan sebelum

adanya kegiatan pembangunan sehingga masyarakat ditempat tersebut diharapkan

lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraannya yang lebih baik

dengan tercapainya sasaran kapasitas masyarakat dan sasaran kesadaran. Hal

tersebut juga di tuntut untuk dapat memberikan dampak positif untuk masyarakat

(people) dan lingkungan (planet).

Upaya dalam mensejahterakan masyarakat di wilayah operasi industri

tentunya tidak hanya dimainkan oleh pemerintah saja. Namun dalam memberikan

solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat, perusahaan

juga ikut andil. Salah satu perusahaan yang aktif dalam kegiatan CSR adalah PT.

Pertamina RU IV Cilacap. Melaui program CSR PT. Pertamina RU IV Cilacap

melaksanakan kegiatan CSR dalam kurun waktu 2010-2012 di wilayah dekat

operasi industri. Wilayah yang paling besar terkena dampak (ring 1) yakni

Kecamatan Cilacap Tengah, Cilacap Selatan, Cilacap Utara dan Kampung Laut.

Banyak program yang dilansir sebagai usaha untuk memberdayakan masyarakat.

Salah satu program yang menarik bagi peneliti adalah pemberdayaan masyarakat

kelompok rentan perempuan. Sampai saat ini kegiatan pemberdayaan masyarakat

4

kelompok rentan perempuan ini memiliki perkembangan di beberapa wilayah

sekitar operasi industri, sehingga masih sangat aktual untuk diteliti.

2. Orisinalitas

Orisinalitas sebuah penelitian dapat dilihat dari ide dasar dan obyek yang

diteliti. Penelitian yang mengangkat tema Corporate Social Responsibility telah

banyak dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Akan tetapi, dari

sekian banyak tema CSR yang ada, yang membedakan penelitian ini dan

penelitian lain adalah obyek dari program yang diteliti yaitu pemberdayaan yang

berbasis kesetaraan gender dimana program tersebut merupakan salah satu

program yang mengimplementasikan kesetaraan gender dan berwawasan peduli

perempuan di PT Pertamina RU IV Cilacap.

Skripsi yang dijadikan referensi oleh peneliti yaitu mengenai CSR adalah

Pelembagaan Program Budidaya Lele Corporate Social Responsibility (CSR) PT.

Krakatau Steel Melalui Proses Kemitraan di Kecamatan Citangkil, Cilegon

periode 2013/2014 yang dilakukan pada tahun 2014 oleh Arfian Wibowo

Jatilaksono, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan

Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada. Pada

penelitian tersebut, peneliti lebih memfokuskan kepada pelembagaan dari

program CSR budidaya lele di perusahaan PT. Krakatau Steel.

Sedangkan penelitian mengenai pemberdayaan perempuan yang dijadikan

referensi oleh penulis adalah Pemberdayaan Perempuan Berbasis Masyarakat

(Studi Program Pengembangan Industri Rumah Tangga Jamu Tradisional di Desa

5

Argomulyo, Kec. Sedayu, Kab. Bantul Yogyakarta oleh PT. Pertamina TBBM

Rewulu) yang dilakukan pada tahun 2013 olehSayyid Fachrurrazi mahasiswa

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Pembangunan Sosial dan

Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada. Pada penelitian tersebut, peneliti lebih

memfokuskan kepada proses pemberdayaan yang dilakukan oleh perusahaan PT.

Pertamina TBBM Rewulu dalam program pemberdayaan perempuan anggota

kelompok jamu seruni putih melalui program pengembangan IRT jamu tradisional

berbasis masyarakat. Peneliti belum menemui kajian yang sama dengan yang akan

diteliti sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar tanpa adanya berbagai

spekulasi yang mengatas namakan penelitian orang lain.

3. Relevansi dengan jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

Sebagai salah satu prodi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Gadjah Mada, program studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

(PSdK) merupakan studi yang lahir atas isu dan latar belakang adanya kritik

terhadap dominasi pembangunan ekonomi. Berbagai masalah sosial seperti

ketimpangan, kemiskinan dan ketidakadilan justru muncul di tengah

pembangunan yang berorientasi ekonomi. Oleh sebab itu, jurusan PSdK bertujuan

untuk mendorong terciptanya keseimbangan antara pembangunan ekonomi di

suatu pihak dan pembangunan sosial di pihak lain.

Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut, program studi ini

mendidik para akademikanya melalui tiga konsentrasi. Konsentrasi pertama

adalah pemberdayaan masyarakat (Community Empowerment) dimana konsentrasi

ini mengkaji berbagai upaya dan media dalam memberdayakan masyarakat di luar

6

pemerintah dan sektor swasta. Kemudian yang kedua adalah kebijakan sosial

(social policy) dimana mengkaji mengenai kebijakan yang diambil oleh Negara

baik kebijakan publik maupun kebijakan sosial dan menangani masalah

pembangunan masyarakat dengan cara sentralistik hingga desentralistik.

Lalu konsentrasi ketiga adalah Corporate Social Responsibility (Tanggung

Jawab Sosial Perusahaan) yang mana konsentrasi ini mengkaji tanggung jawab

sosial dalam perusahaan dan bagaimana menangani permasalahan masyarakat

dengan cara preventif maupun rehabilitatif. Konsentrasi CSR ini merupakan

respon atas berkembangnya komitmen entitas bisnis untuk terlibat aktif dalam

menciptakan kesejahteraan. Komitmen dunia korporasi yang terwujud dalam

tanggungjawab sosial perusahaan telah mendasari berbagai kegiatan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan konsentrasi ini, diharapkan

memiliki kerangka analisis dalam menjelaskan CSR guna peningkatan

kesejahteraan masyarakat sekaligus menjembatani hubungan yang baik antara

masyarakat dengan perusahaan agar tercipta kondusi sosial yang sejahtera baik

untuk masyarakat maupun entitas bisnis.

Penelitian ini relevan dalam fokus kajian jurusan Pembangunan Sosial dan

Kesejahteraan yang mana telah dijelaskan bahwa perusahaan memiliki peranan

penting dalam peningkatan kapasitas masyarakat melalui kegiatan Corporate

Sosial Responsibility dalam program-program yang dibuat oleh perusahaan salah

satunya dengan program pemberdayaan. Perusahaan berupaya memberdayakan

masyarakat dengan meningkatkan kapasitas masyarakat dengan memberikan

pelatihan, pembinaan, hingga pemberian modal bagi seluruh mitra dan sasaran

7

program CSR. Pembangunan yang dilakukan oleh perusahaan dalam bentuk CSR

merupakan salah satu wujud dari perusahaan dalam menuju ke arah pembangunan

berkelanjutan. Masyarakat merupakan subyek dalam proses pembangunan

berbasis pemberdayaan.

Melalui partisipasi perempuan dalam program CSR berbasis, perempuan

memiliki kesempatan dalam meningkatkan pengembangan dan kapasitas sumber

daya manusia pada dirinya sehingga nantinya akan timbul masyarakat yang

berdaya khususnya perempuan.

B. Judul

Partisipasi Perempuan dalam Program Corporate Social Responsibility (CSR)

(Studi Pada Perempuan Kelompok Bina Usaha Pemanfaatan Kerajinan Limbah

Non B3 PT. Pertamina RU IV, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah)

8

C. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan saat ini menjadi permasalahan krusial yang dihadapi oleh

semua negara di dunia. Isu kemiskinan merupakan isu yang serius terutama bagi

negara-negara berkembang. Terlebih dengan terjadinya krisis ekonomi pada tahun

1997, jumlah penduduk miskin di negara-negara tersebut dipastikan meningkat.

Sorotan utama yang paling merasakan dampak krisis ekonomi salah satunya

adanya perempuan3. Whitehead telah mendata bahwa lebih dari separuh penduduk

miskin di Negara berkembang adalah kaum perempuan4. Data dari perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa dari 1,3 miliar warga dunia yang

masuk kategori miskin, 70% nya adalah kaum perempuan. Hal ini menguatkan

terjadinya feminisasi kemiskinan yakni sebuah kenyataan bahwa sebagian besar

angka kemiskinan dialami oleh kaum perempuan.

Kemiskinan kini merambah dalam fase kritis dimana perempuan menjadi

korban utama dari ketidakadilan dalam pembangunan. Padahal dalam konsep dan

paradigma Gender and Development (GAD) upaya pengarusutamaan gender

dalam pembangunan akan membawa arah kesejahteraan perempuan dalam

pembangunan dengan melihat aspek kehidupan perempuan 5 . Akan tetapi

menjamurnya strategi pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan saat ini

rupanya tidak membawa angin segar secara signifikan bagi masyarakat yang

hidup dibawah garis kemiskinan terutama bagi perempuan. Muhammad Yunus

3Agnes Sunartiningsih, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Aditia media bekerjasama dengan Departemen PSdK FISIPOL UGM, Yogyakarta, 2004, Hlm 141 4Imam Cahyono, Wajah Kemiskinan Wajah Perempuan dalam Jurnal Perempuan. No. 42, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2005, Hlm 11 5Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 1996, Hlm 209

9

(Peraih Nobel 2009) menyampaikan bahwa tidak mungkin bicara kemiskinan jika

tidak melibatkan perempuan. Ketidakadilan gender dalam masyarakat telah

banyak merugikan kaum perempuan. Yunus melihat, pembangunan global kurang

mengikutsertakan perempuan dalam setiap kebijakan yang dibuatnya. Kemiskinan

pun terjadi karena perempuan tidak diberi kesempatan untuk bekerja dan

memperoleh penghasilan sendiri. Selain itu, perempuan mengalami kelaparan dan

kemiskinan lebih hebat daripada laki-laki. Hal ini tentu menjadi sorotan dan fokus

utama masyarakat dunia internasional. Sebagai perbandingan, berdasarkan data

dari Human Development Report (HDR) tahun 2013, selama tahun 1990 hingga

2012 Indeks ketimpangan gender yang tinggi dimiliki oleh negara-negara

berkembang ASEAN.

Gambar 1.1 Perbandingan Indeks Ketimpangan Gender di

Negara-negara ASEAN Tahun 2000-2012

Sumber: Human Development Report

10

Data tersebut menyebutkan Indonesia, Laos, dan Kamboja merupakan

tiga negara dengan indeks ketimpangan gender yang tinggi, meskipun ketiga

Negara tersebut melakukan berbagai program kesetaraan gender. Hal tersebut

tentu menggambarkan bahwa lemahnya partisipasi perempuan dalam

pembangunan untuk mereduksi kemiskinan yang menimpa kebanyakan dari kaum

perempuan di negara berkembang. Di sisi lain, kemiskinan merupakan sebuah

pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah khususnya negara-negara

berkembang seperti Indonesia.

Imam Cahyono menyatakan sebagian besar kemiskinan dialami

perempuan, dan perempuan mengalami kesulitan untuk mengakses ekonomi

karena sering kali terpinggirkan dan tidak dihargai6. Di bidang ekonomi, tingkat

partisipasi angkatan kerja laki-laki jauh lebih tinggi (86,5%) daripada perempuan

(50,2%). Dimensi kemiskinan yang menimpa perempuan juga didasari oleh faktor

akibat posisi tawar perempuan yang lemah di dalam masyarakat, kultur yang

represif, miskin akibat bencana dan konflik, diskriminasi di ruang publik dan

domestik, serta tidak pedulinya negara dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan

yang bermanfaat guna mengentaskan perempuan dalam kemiskinan. Dalam

kenyataan ini, banyak praktek diskriminasi dilakukan terhadap perempuan.

Sementara itu, ketergantungan ekonomi membuat perempuan tidak dapat

menentukan sendiri kualitas hidup dan status sosialnya. Dalam kondisi semacam

itu, perempuan sekaligus dituntut untuk turut bertanggung jawab atas

kelangsungan rumah tangga. Keadaan tersebut akhirnya menghasilkan

6Imam Cahyono, Wajah Kemiskinan Wajah Perempuan dalam Jurnal Perempuan. No. 42, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2005, Hlm 12

11

ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender di segala bidang kehidupan. Padahal

peran perempuan merupakan kunci utama untuk mereduksi jumlah kemiskinan

yang jumlahnya 13,33% dari populasi di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik

tahun 2012 menyebutkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia

dengan jenis kelamin perempuan mencapai skala 6.77 lebih tinggi dibandingkan

dengan laki-laki yang mencapai 5.75. Angka tersebut menjelaskan bahwa masih

tingginya tingkat pengangguran terbuka yang dialami oleh perempuan jika

dibandingkan dengan laki-laki.

Tabel 1.1 Tingkat Pengangguran Terbuka Penduduk di Indonesia

Sumber : www.bps.go.id

Kelompok Umur

2012

Tingkat Pengangguran Terbuka Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas

Laki-Laki Perempuan Laki-laki +

Perempuan

15-19 26.08 26.52 26.25

20-24 15.08 15.48 15.24

25-29 6.97 7.77 7.26

30-34 3.52 5.33 4.18

35-39 1.90 3.81 2.63

40-44 1.88 3.04 2.32

45-49 2.02 2.46 2.19

50-54 2.40 2.74 2.53

55-59 1.80 1.15 1.55

60-64 0.65 0.47 0.59

Jumlah 5.75 6.77 6.14

12

Persoalan kemiskinan masih menjadi isu penting dalam pembangunan

wilayah di Kabupaten Cilacap. Tentang permasalahan perempuan, masih ada

problematika yang belum terselesaikan termasuk kesempaan perempuan dalam

bekerja. Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Cilacap, Perempuan

memiliki rasio tingkat partisipasi angkatan kerja yang masih rendah jika

dibandingkan dengan laki-laki dengan skala 45.20 di tahun 2015. Rendahnya rasio

tersebut dikarenakan di Indonesia khususnya di Kabupaten Cilacap, tanggung

jawab mencari nafkah pada umumnya adalah laki-laki, sehingga perempuan lebih

sedikit masuk ke dalam angkatan kerja.

Tabel 1.2 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin di

Kabupaten Cilacap

Sumber: www.cilacapkab.bps.go.id

Hal ini menjadi kontradiktif karena Kabupaten Cilacap sebagai salah satu

daerah kawasan industri yang memiliki berbagai potensi ekonomi akan tetapi

masyarakat disekitar kawasan industri masih jauh dari keadaan sejahtera. Seperti

yang kita ketahui, Cilacap merupakan salah satu lokasi keberadaan pengolahan

minyak milik PT. Pertamina RU IV. Terkait dalam hal tersebut, dalam

memberikan kontribusinya terhadap pembangunan, PT Pertamina RU IV sebagai

Jenis Kelamin/Sex

TPAK menurut Jenis Kelamin/Labor Foarce Participation Rate by Sex

2010 2011 2012 2013 2014 2015

Laki-laki/Male 83.35 83.77 83.50 81.36 80.88 79.82

Perempuan/Female 46.56 59.93 47.60 51.66 45.83 45.20

13

salah satu korporasi besar sudah banyak melakukan program pengembangan

masyarakat melalui program Corporate Social Responsibility yang peduli

terhadap kaum rentan. Menjalankan program-program CSR yang sustainableyang

mendukung keterlibatan perempuan merupakan salah satu konsep yang dilakukan

oleh perusahaan PT. Pertamina RU IV guna meningkatan kualitas hidup kaum

rentan perempuan.Keseriusan Pertamina dalam melaksanakan program Corporate

Social Responsibility (CSR) tercermin dalam komitmen manajemen Pertamina

RU IV yang diimplementasikan melalui kegiatan-kegiatan konkrit dan menyentuh

langsung kehidupan sosial masyarakat khususnya perempuan.

Pada tahun 2009, Pertamina RU IV mengadakan program CSR dengan

tujuan untuk mengimplementasikan program kesetaraan Gender dan Women

Empowerment. Melalui program ini, PT Pertamina RU IV Cilacap ikut andil

dalam melakukan pemberdayaan kelompok rentan perempuan di sekitar daerah

operasi industri. Salah satu programnya adalah Kelompok Bina Usaha yaitu

pelatihan kecakapan hidup dan keterampilan membuat cinderamata berbahan

bakulimbah non B3 dan kegiatan pemberdayaan lain. Penelitian ini ingin

menggali dan melihat bagaimana sebenarnya partisipasi perempuan dalam

program Corporate Social Responsibility (CSR).

14

D. Rumusan Masalah

Bagaimana Partisipasi Perempuan dalam Program Corporate Social

Responsibility (CSR)?

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang yang dijelaskan, penelitian ini memiliki beberapa

tujuan yaitu :

1. Mengetahui bentuk-bentuk partisipasi perempuan dalam

programCorporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan oleh PT.

Pertamina RU IV.

2. Melihat berbagai dampak yang ditimbulkan dari partisipasi

perempuandalam programCorporate Social Responsibility (CSR) yang

dilakukan oleh PT. Pertamina RU IV.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diberikan dalam penelitian ini :

1. Memberikan gambaran sebejauhmanaperempuanberpartisipasi dalam

program Corporate Social Responsibility.

2. Memberikan gambaran hubungan timbal balik antara program Corporate

Social Responsibility denganmasyarakatpenerimamanfaatyakniperempuan.

15

3. Memberikan masukan kepada PT. Pertamina RU IV dan pemerintah dalam

mengimplementasikan program Corporate Social Responsibility.

4. Memberikan referensi dan kontribusi kepada peneliti selanjutnya.

G. Tinjauan Pustaka

1. Pemberdayaan Perempuan

Kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan dengan kegiatan

pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat ialah kegiatan yang

bertujuan untuk mengembangkan suatu kelompok tertentu di suatu daerah dengan

memanfaatkan potensi yang ada. Pengembangan masyarakat tersebut biasa

dikenal dengan istilah pemberdayaan (empowerment). Terdapat beberapa definisi

mengenai konsep pemberdayaan. Menurut Martono mendefinisikan konsep

pemberdayaan masyarakat sebagai proses menyiapkan masyarakat dengan

berbagai sumber daya, kesempatan, pengetahuan, dan keahlian untuk

meningkatkan kapasitas diri masyarakat di dalam menentukan masa depan

mereka, serta berpartisipasi dan mempengaruhi kehidupan dalam komunitas

masyarakat itu sendiri 7 . Menurut Kartasasmita mengemukakan bahwa

pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat

lapisan masyarakat untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan

7Ife dalam Nanang Martono,Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern,

dan Poskolonial, Rajawali Press, Jakarta, 2011

16

keterbelakangan 8 . Intinya bahwa pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk

melahirkan masyarakat yang mandiri dengan menciptakan kondisi yang

memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang.

Proses pemberdayaan menekankan pada proses memberikan kemampuan

kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong, atau memotivasi individu

agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan

hidupnya. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan

masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki 9 .

Pemberdayaan tidak selalu terikat dengan hal-hal ekonomi, tetapi lebih dari

sekedar hal itu yang berkaitan dengan tindakan usaha usaha perbaikan di segala

aspek termasuk hal yang berkaitan dengan sosial, budaya, politik, psikologi baik

secara individual maupun kolektif berbeda menurut kelompok etnik dan

kelompok sosial10. Inti dari pemberdayaan adalah bagaimana masyarakat marginal

tertentu mempunyai posisi tawar sehingga menjadi pelaku proses pembangunan

yang partisipatif dan aktif dan bukan hanya sebagai objek pembangunan.

Pemberdayaan perempuan yang menjadi isu tersendiri dalam kajian

perempuan dan pembangunan. Pemberdayaan perempuan dianggap tidak terlalu

menyibukkan diri dengan proyek pembangunan tetapi menemukan

8Ginanjar Kartasasmita,Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang berakar pada

Masyarakat, Jakarta, Bappenas, 1996, Hal. 249 9Gunawan Sumodiningrat,Pemberdayaan Masyarakat dan Jaringan Pengaman Sosial,PT Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 1999 10A.M.W Pranarka & Onny S. Prijono,Pemberdayaan: konsep, kebijakan, dan implementasi. (Centre for Strategic and International Studies : Jakarta), 1996

17

perwujudannya dalam beberapa kegiatan gerakan perempuan dunia ketiga 11 .

Menurut Novian pemberdayaan perempuan adalah upaya kemampuan perempuan

untuk memperoleh akses dan kontrol terhadap sumber daya, ekonomi, politik,

sosial, budaya, agar perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa

percaya diri untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan

masalah, sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep diri12.

Menurut Moser strategi pemberdayaan bukan bermaksud menciptakan

perempuan lebih unggul dari laki-laki kendati menyadari pentingnya

meningkatkan kekuasaan, namun pendekatan ini mengidentifikasikan kekuasaan

bukan sebagai dalam rangka dominasi yang satu terhadap yang lain, melainkan

lebih condong dalam kapasitas perempuan meningkatkan kemandirian dan

kekuatan internal 13 . Sesuatu hal yang diperjuangkan dalam pemberdayaan

perempuan adalah pemenuhan hak mereka dalam menentukan pilihan dalam

kehidupan dan mempengaruhi arah perubahan melalui kesanggupan melakukan

kontrol atas sumber daya material dan non-material yang penting 14 . Tujuan

pemberdayaan perempuan adalah untuk menantang ideologi patriarki yaitu

dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan, merubah struktur dan pranata yang

memperkuat dan melestarikan diskriminasi gender dan ketidakadilan sosial.

11Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Kalyanamitra, 1997 12Budhy Novian, “Sekilas Tentang Pemberdayaan Perempuan” Artikel Sanggar Kegiatan Belajar

Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung. 2010 13Caroline O. N. Moser, Gender Planning and Development: Theory, Practice and Training, Routledge, 1993 14Bagong Suyanto dan Emy Susanti Hendrarso. Wanita dari Subordinasi dan Marginalisasi Menuju

ke Pemberdayaan. Surabaya: Airlangga University Press. 1996

18

Pendekatan pemberdayaan memberi kemungkinan bagi perempuan miskin

untuk memperoleh akses kepada dan penguasaan terhadap sumber-sumber

material maupun informasi maka proses pemberdayaan harus mempersoalkan

semua struktur dan sumber kekuasaan. Argumentasi yang melihat implikasi

pengaruhnya terhadap laki-laki dari pemberdayaan perempuan ini adalah

pemberdayaan ini juga membebaskan dan memberdayakan kaum laki-laki dalam

arti material maupun psikologis. Kaum perempuan memperkuat dampak gerakan

politik yang didominasi kaum laki-laki dengan memberikan energi, wawasan,

kepemimpinan dan strategi baru. Lebih penting lagi dampak psikologis, jika

perempuan menjadi mitra setara maka kaum laki-laki di bebaskan dari penindasan

dan pengeksploitasi dan dari stereotip gender yang pada dasarnya membatasi

potensi laki-laki sebagaimana juga perempuan untuk mengekspresikan diri dan

mengembangkan pribadinya15.

Di Indonesia keberadaan perempuan yang jumlahnya lebih besar dari laki-

laki membuat pendekatan pemberdayaan dianggap suatu strategi yang melihat

perempuan bukan sebagai beban pembangunan melainkan potensi yang harus

dimanfaatkan untuk menunjang proses pembangunan. Program pemberdayaan

perempuan di Indonesia pada hakekatnya telah dimulai sejak tahun 1978. Dalam

perkembangannya upaya dalam kerangka pemberdayaan perempuan ini secara

kasat mata telah menghasilkan suatu proses peningkatan dalam berbagai hal.

Seperti peningkatan dalam kondisi, derajat, dan kualitas hidup kaum perempuan

15Mely G Tan, “Perempuan dan Pemberdayaan” makalah dalam Kongres Ikatan Sosiologi

Indonesia (ISI), Ujung Pandang. 1995

19

di berbagai sektor strategis seperti bidang pendidikan ketenagakerjaan, ekonomi,

kesehatan dan keikutsertaannya dalam Keluarga Berencana. Peningkatan dalam

proses pemberdayaan tidak serta merta merubah dalam pola relasi gender antara

laki-laki dan perempuan. Apalagi kalau kita berbicara bahwa pemberdayaan

perempuan terutama pemberdayaan ekonomi yang diasumsikan menaikkan posisi

tawar dengan relasi sosial dengan laki-laki. Perempuan yang berdaya tidak mau

hanya mengorbankan diri untuk orang lain dengan mengorbankan dirinya, tidak

mau tergantung pada belas kasihan dan persetujuan orang lain16. Wanita yang

berdaya tidak mau tenggelam atau melarikan diri dari permasalahan, tetapi ingin

menyelesaikan masalah secara bersama. Adapun analisis atau pendekatan

pemberdayaan perempuan yang dijelaskan dengan analisis Longwe (Sara

Hlupekile Longwe) atau Kriteria Pembangunan Perempuan.

Gambar 2.1 Analisis Gender Perspektif Longwe

Sumber: Centre for Strategic and International Studies

16A.M.W Pranarka & Onny S. Prijono, 1996. Pemberdayaan: konsep, kebijakan, dan implementasi. (Centre for Strategic and International Studies : Jakarta)

20

Dalam analisis ini, Longwe menggunakan pendekatan analisis gender yang

dikembangkan sebagai metode pemberdayaan perempuan dengan lima kriteria

analisis yang meliputi : Kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi dan

kontrol. Lima dimensi pemberdayaan ini adalah kategori analitis yang bersifat

dinamis, satu sama lain berhubungan secara sinergis, saling menguatkan dan

melengkapi, serta mempunyai hubungan hierarkis. Di samping itu kelima dimensi

tersebut juga merupakan tingkatan yang bergerak memutar seperti spiral, makin

tinggi tingkat kesetaraan otomatis makin tinggi tingkat keberdayaan17.

a. Dimensi Kesejahteraan

Dimensi ini merupakan tingkat kesejahteraan material yang diukur dari

tercukupinya kebutuhan dasar seperti makanan, penghasilan, tempat tinggal, dan

kesehatan yang harus dinikmati oleh perempuan dan laki-laki. Dengan demikian

kesenjangan gender ditingkat kesejahteraan ini diukur melalui perbedaan tingkat

kesejahteraan perempuan dan laki-laki sebagai kelompok, untuk masing-masing

kebutuhan dasarnya. Pemberdayaan tidak dapat terjadi dengan sendirinya

ditingkat ini, melainkan harus dikaitkan dengan peningkatan akses terhadap

sumber daya yang merupakan dimensi tingkat kedua. Level ini merupakan

tingkatan nihil dari pemberdayaan perempuan. Padahal upaya untuk memperbaiki

kesejahteraan perempuan diperlukan keterlibatan perempuan dalam proses

empowerment dan pada tingkat pemerataan yang lebih tinggi.

17Handayani, Trisakti. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. 2001. Pusat Studi Wanita dan Kemasyarakatan UNMUH. Malang. Hal 167

21

b. Dimensi Akses

Kesenjangan gender di sini terlihat dari adanya perbedaan akses antara

laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya. Lebih rendahnya akses mereka

terhadap sumber daya menyebabkan produktivitas perempuan cenderung lebih

rendah dari laki-laki. Selain itu dalam banyak komunitas, perempuan diberi

tanggung jawab melaksanakan hampir semua pekerjaan domestik sehingga tidak

mempunyai cukup waktu untuk mengurusi dan meningkatkan kemampuan

dirinya. Pembangunan perempuan tidak cukup hanya pada pemerataan akses

karena kurangnya akses perempuan bukan saja merupakan isu gender tetapi akibat

dari diskriminasi gender. Oleh karena itu akar penyebab kesenjangan akses atas

sumber daya adalah diskriminasi sistemik yang harus diatasi melalui penyadaran.

c. Dimensi Kesadaran Kritis

Kesenjangan gender ditingkat ini disebabkan adanya anggapan bahwa

posisi sosial ekonomi perempuan yang lebih rendah dari laki-laki dan pembagian

kerja gender tradisional adalah bagian dari tatanan abadi. Pemberdayaan di tingkat

ini berarti menumbuhkan sikap kritis dan penolakan terhadap cara pandang di atas

bahwa subordinasi terhadap perempuan bukanlah pengaturan alamiah, tetapi hasil

diskriminatif dari tatanan sosial yang berlaku. Keyakinan bahwa kesetaraaan

gender adalah bagian dari tujuan perubahan merupakan inti dari kesadaran gender

dan merupakan elemen ideologis dalam proses pemberdayaan yang menjadi

landasan konseptual bagi perubahan ke arah kesetaraan.

22

d. Dimensi Partisipasi

Partisipasi aktif perempuan diartikan bahwa pemerataan partisipasi

perempuan dalam proses penetapan keputusan yaitu partisipasi dalam proses

perencanaan penentuan kebijakan dan administrasi. Aspek ini sangat penting pada

proyek pembangunan. Disini partisipasi berarti keterlibatan atau keikutsertaan

aktif sejak dalam penetapan kebutuhan, formulasi proyek,implementasi dan

monitoring serta evaluasi. Partisipasi dapat dibedakan menjadi partisipasi

kuantitatif dan partisipasi kualitatif. Kesenjangan partisipasi perempuan mudah

diidentifikasi, misalnya dari partisipasi di lembaga legislatif, eksekutif, organisasi,

politik, dan massa. Namun partisipasi secara umum dapat dilihat dari adanya

peran serta setara antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan,

baik di tingkat keluarga, komunitas, masyarakat maupun negara. Di tingkat

program, ini berarti dilibatkannya perempuan dan laki-laki secara setara dalam

identifikasi masalah, perencanaan, pengelolaan, implementasi dan monitoring

evaluasi. Meningkatnya peran serta perempuan merupakan hasil dari

pemberdayaan sekaligus sumbangan penting bagi pemberdayaan yang lebih besar.

e. Dimensi Kontrol

Kesenjangan gender di tingkat ini terlihat dari adanya hubungan kuasa

yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Ini bisa terjadi di tingkat rumah

tangga, komunitas, dan tingkatan yang lebih luas lagi. Kesetaraan dalam kuasa

berarti adanya kuasa yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, satu tidak

mendominasi atau berada dalam posisi dominan atas lainnya. Artinya perempuan

23

mempunyai kekuasaan sebagaimana juga laki-laki, untuk mengubah kondisi

posisi, masa depan diri dan komunitasnya. Kesetaraan dalam kuasa merupakan

prasyarat bagi terwujudnya kesetaraan gender dan keberdayaan dalam masyarakat

yang sejahtera.

Pemberdayaan perempuan merupakan sebuah proses sekaligus tujuan.

Sebagai proses, pemberdayaan merupakan kegiatan memperkuat kekuasaan dan

keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, maka

pemberdayaan merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh

perubahan sosial, yaitu masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan perempuan

merupakan upaya untuk mengatasi hambatan guna mencapai pemerataan atau

persamaan bagi laki-laki dan perempuan pada setiap tingkat proses pembangunan.

Teknik analisis pemberdayaan atau teknik analisis Longwe sering dipakai untuk

peningkatan pemberdayaan perempuan khususnya dalam pembangunan. Metode

Sara H. Longwee mendasarkan pada pentingnya pembangunan bagi perempuan,

bagaimana menangani isu gender sebagai kendala pemberdayaan perempuan

dalam upaya memenuhi kebutuhan spesifik perempuan dan upaya mencapai

kesetaraan gender18. Kriteria analisis yang digunakan dalam metode ini adalah (1)

tingkat kesejahteraan, (2) tingkat akses (terhadap sumberdaya dan manfaat), (3)

tingkat penyadaran, (4) tingkat partisipasi aktif (dalam pengambilan keputusan),

dan (5) tingkat penguasaan (kontrol). Pemahaman akses (peluang) dan kontrol

(penguasaan) disini perlu tegas dibedakan. Akses (peluang) yang dimaksud di sini

adalah kesempatan untuk menggunakan sumberdaya ataupun hasilnya tanpa

18Muttalib, Jang A. Menggunakan Kerangka Pemampuan Wanita, dalam Moeljarto Tjokrowinoto, dkk. Bahan Pelatihan Jender dan Pembangunan. 1993. Kantor Menteri Negara UPW.

24

memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan

hasil sumberdaya tersebut, sedangkan kontrol atau penguasaan diartikan sebagai

kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil

sumberdaya. Dengan demikian, seseorang yang mempunyai akses terhadap

sumberdaya tertentu, belum tentu selalu mempunyai kontrol atas sumberdaya

tersebut, dan sebaliknya.

2. Partisipasi

Suatu perencanaan program pembangunan pasti membutuhkan adanya

partisipasi. Secara etimologi, partisipasi berasal dari Bahasa Inggris

“participation” yang artinya mengambil bagian atau keikutsertaan. Sedangkan

dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia KLBI partisipasi memiliki arti turut

berperan serta dalam suatu kegiatan atau adanya keikutsertaan. Sedangkan

menurut Soepomo, partisipasi adalah keterlibatan secara fisik, mental dan emosi

sehingga merasa tergerak untuk berbuat demi kepentingan bersama dalam

memikul tanggung jawab19. Suparjan dan Hempri Suyatna berpendapat bahwa

partisipasi sebagai keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam situasi

kelompok yang mendorong mereka untuk ikut serta menyumbangkan kemampuan

dalam mencapai tujuan kelompok dan ikut bertanggung jawab atas tujuan

kelompok tersebut20.

19Soepomo, 1992.Pembangunan Masyarakat. CV. Karyako. Jakarta. Hlm 22 20Suparjan dan Hempri Suyatno.2003. Pengembangan Masyarakat dari Pembangunan Sampai Pemberdayaan.Yogyakarta : Aditya Media. Hlm 57

25

Pemahaman partisipasi tersebut merupakan kekuatan besar dalam

menunjang keberhasilan suatu program atau kegiatan. Keikutsertaan dari seluruh

masyarakat akan menjadi indikator keberhasilan dari suatu program terutama

dalam pembangunan masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh Suparjan dan

Hempri Suyatna bahwa pembangunan masyarakat yang berkesinambungan pada

hakekatnya merupakan suatu proses yang disengaja dan terarah, mengutamakan

pendayagunaan potensi dan sumber daya setempat atau lokal dan mengutamakan

kreatifitas inisiatif serta partisipasi masyarakat 21 . Dari hal tersebut partisipasi

membutuhkan sikap yang sukarela dari masyarakat untuk membantu keberhasilan

program-program terutama program pembangunan22. Sikap sukarela yang timbul

dari masyarakat diharapkan akan memberikan rasa saling percaya antar

masyarakat sehingga program dan kegiatan pembangunan akan berjalan seperti

yang diharapkan. Partisipasi masyarakat dapat dikatakan menjadi optimal jika

masyarakat dapat mengetahui dengan jelas apa yang diharapkan dirinya dari

program dan kegiatan pembangunan. Partisipasi dan aspirasi dari masyarakat juga

penting dalam mendukung program dan kegiatan pembangunan. Sebaik apapun

program-program dibuat, jika tidak memperhatikan aspirasi masyarakat pada

akhirnya juga akan berakibat kepada kegagalan program tersebut dalam upaya

mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu pentinganya kebijakan yang

mendukung akan peningkatan dari adanya partisipasi untuk mencapai

keberhasilan program dan kegiatan. Seperti yang dikemukakan oleh Emrich dalam

21Suparjan dan Hempri Suyatno.2003. Pengembangan Masyarakat dari Pembangunan Sampai

Pemberdayaan.Yogyakarta : Aditya Media. Hlm 24 22Ibid, Hlm 58

26

Suparjan mengusulkan beberapa pedoman dalam penyusunan kebijakan yang

berisikan peningkatan partisipasi, yaitu23:

a. Partisipasi harus dimulai dari tingkat yang paling bawah yaitu

mengikutsertakan kelompok penduduk paling miskin di desa.

b. Partisipasi harus terjadi pada semua tahap proses pembangunan.

c. Suatu dukungan itu semata-mata bukanlah bentuk partisipasi.

d. Partisipasi harus berisi program-program nyata dibidang produksi dan

distribusi.

e. Partisipasi harus mengubah loyalitas organisasi atau kelompok yang

sudah ada.

Pentingnya memberikan partisipasi kepada masyarakat merupakan suatu

halyang penting dalam keberhasilan suatu pembangunan. Seperti yang

dikemukakan oleh Diana Conyers bahwa pentingnya partisipasi masyarakat dalam

sebuah program pembangunan yaitu yang pertama, partisipasi masyarakat

merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan

dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan

serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai

proyek atau program pembanguanan jika merasa dilibatkan dalam proses

persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk

proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut.

Ketiga, partisipasi menjadi urgen karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu

23Ibid, Hlm 65

27

hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat itu

sendiri24.

Cohen dan Uphoff dalam Soepomo memberikan rumusan partisipasi

masyarakat yang lebih aplikatif dalam bentuk sebagai partisipasi dalam

pengambilan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam

pemanfaatan dan partisipasi dalam evaluasi 25 . Bentuk partisipasi yang

dikemukakan tersebut merupakan bentuk partisipasi yang lebih nyata terjadi di

masyarakat.

Partisipasi dalam pengambilan keputusan : merupakan bentuk

keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan keputusan melalui

perencanaan pembangunan. Masyarakat dilibatkan dalam perumusan atau

proses pembuatan keputusan dengan mengemukakan pendapat atau saran

dalam menilai suatu program atau kebijakan yang akan ditetapkan.

Program yang dimaksud disini adalah program CSR yang dirancang oleh

perusahaan dengan basis pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini,

perempuan memiliki kesempatan yang sama. Aspek-aspek dalam

partisipasi bentuk pengambilan keputusan adalah :

1. Keikutsertaan perempuan dalam menghadiri rapat perencanaan

program atau pembentukan program Corporate Social

Responsibility.

24Conyers, Diana. 1992. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga Suatu Pengantar. Terjemahan

Susetiawan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hlm. 154 25Soepomo, 1992.Pembangunan Masyarakat. CV. Karyako. Jakarta. Hlm 25

28

2. Perempuan terlibat dalam sebuah perencanaan program,

menyumbangkan ide-ide, gagasan, mengajukan usul, atau saran-

saran, memberikan tanggapan atau kritik terhadap masalah-

masalah yang dibicarakan serta ikut memberikan suaranya dalam

pengambilan keputusan.

Partisipasi dalam pelaksanaan: merupakan keikutsertaan masyarakat

dalam partisipasi yang berwujud kontribusi guna menunjang pelaksanaan

program Corporate Social Responsibility. Kontribusi tersebut secara

langsung dalam pelaksanaan keikutsertaan perempuan dalam program

pemberdayaan perempuan

Partisipasi dalam pemanfaatan : merupakan wujud peran dimana dalam

keikutsertaan tersebut dapat memberikan manfaat lebih positif bagi

masyarakat khususnya perempuan.

1. Memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh program-program

dalam pemberdayaan masyarakat.

2. Menikmati manfaat secara pribadi seperti merasa puas terhadap

hasil program yang telah tercapai, merasa aman di dalam hidup

bemasyarakat, serta memperoleh kehidupan masa depan yang lenih

baik.

29

Partisipasi dalam evaluasi :keikutsertaan dalam evaluasi merupakan

keikutsertaan masyarakat dalam mengawasi dan menilai pelaksanaan

hasil-hasil program. Masyarakat dapat memberikan saran dan kritik

terhadap pelaksanaan agar sesuai dengan apa yang telah direncanakan dan

mencapai hasil yang telah ditetapkan. Partisipasi ini dapat dilihat dalam

tiga aspek yakni :

1. Tanggapan masyarakat terhadap tindakan hasil-hasil pelaksanaan

program

2. Tanggapan masyarakat terhadap tindakan program-program

dengan rencana yang telah ditentukan baik dari segi waktu, biaya,

dan tempat.

3. Keterlibatan dalam menanggapi sesuai tidaknya dengan kebutuhan

masyarakat.

Untuk menilai tingkat partisipasi masyarakat, penelitian ini juga

menggunakan konsep derajat partisipasi menurut teori Arnstein. Sherry Arnstein

mendefiniskan strategi partisipasi melalui typologi yang dikenal dengan derajat

partisipasi masyarakat atau the ladder of citizen participation, menjelaskan tingkat

atau derajat partisipasi masyarakat berdasarkan pada kekuatan masyarakat untuk

menentukan suatu produk akhir. Arnstein menekankan bahwa tiap perbedaan

tersebut berdasarkan “corresponding to the extent of citizen’s power in

30

determining the plan and/or program”. Secara umum Arnstein menjelaskan

terdapat 3 derajat partisipasi masyarakat yaitu26:

a. Tidak Partisipatif (Non Participation)

b. Derajat Semu (Tokenism)

c. Kekuatan Masyarakat (Citizen Powers)

Dalam 3 derajat partisipasi tersebut, Arnstein menjelaskan pada derajat

partisipasi paling bawah yaitu non participation dimana derajat partisipasi ini

merepresentasikan derajat partisipasi tanpa partisipasi (non participation), yang

meliputi manipulasi (manipulation) dan terapi (therapy).Kemudian diikuti dengan

tangga ketiga, keempat dan kelima yaitu menginformasikan (informing),

konsultasi (consultation), dan penentraman (placation), dimana ketiga tangga itu

digambarkan sebagai derajat partisipasi tokenisme (degree of tokenism).

Tokenisme dapat diartikan sebagai kebijakan semu atau sekadarnya dan

merupakan tindakan simbolis atau pembentukan citra dalam pencapaian suatu

tujuan dan bukan usaha yang sungguh-sungguh untuk melibatkan masyarakat.

Derajat partisipasi selanjutnya dalam tingkatan tangga keenam, ketujuh

dan kedelapan yaitu kemitraan (partnership), pendelegasian kekuasaan (delegated

power), dan pengendalian masyarakat (citizen control). Tiga tangga terakhir ini

menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh Arnstein

dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat. Dalam hal ini,

26Sherry R Arnstein, A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Institute of Planners 35.1969, hal 216-224 dalam Bruce Mitchell, Resources and Environmental Management, First Edition. Addison Wesley Longman Limited. 1997,hal 187.

31

otoritas memperlakukan publik selayaknya rekan kerja dan memiliki mitra dalam

merancang dan mengimplementasikan kewenangannya kepada publik. Derajat

partisipasi masyarakat tersebut dapat di lihat seperti gambar di bawah ini:

Gambar 3.2 Derajat Partisipasi Masyarakat Menurut Arnstein

Sumber: Sherry R Arnstein, A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Institute of

Planners 35.1969, hal 216-224 dalam Bruce Mitchell, Resources and Environmental Management,

First Edition. Addison Wesley Longman Limited. 1997,hal 187.

1.Manipulation (manipulasi)Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan

relatif tidak ada komunikasi apalagi terlebih dialog. Tujuan dari

partisipasi sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam

perencanaan dan pelaksanaan program tapi untuk mendidik atau

32

menyembuhkan partisipan (masyarakat tidak tahu sama sekali terhadap

tujuan, tapi hadir dalam forum).

2.Therapy (terapi) Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat

terbatas. Inisiatif datang dari otoritas dan hanya satu arah.

3.Information (informasi)Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai

banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal

balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat

tidak diberikan kesempatan melakukan tangapan balik.

4.Consultation (konsultasi)Pada tangga partisipasi ini komunikasi

telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah

ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada

harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada

jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan

akan terjadi.

5.Placation(penentraman)Pada level ini komunikasi telah berjalan

baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan otoritas. Masyarakat

dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan

kegiatan. Namun otoritas tetap menahan kewenangan untuk menilai

kelayakan dan keberadaan usulan tersebut.

6.Partnership (kemitraan)Pada tangga partisipasi ini, otoritas dan

masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah

33

ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam

hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada

masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses untuk proses

pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasiai dan

melakukan kesepakatan.

7.Delegated power (pendelegasian kekuasaan) Otoritas memberikan

kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa

kepentingannya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring

dan evaluasi, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan

bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program.

8.Citizen control (pengendalian warga)masyarakat sepenuhnya

mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang

disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah.

3. Corporate Social Responsibility

3.1 Definisi dan Konsep

Konsep awal tanggung jawab sosial dari suatu perusahaan secara eksplisit

baru dikemukakan oleh Howard R. Bowen melalui karyanya yang diberi judul

34

“Social Responsibilities of the Businessmen” pada tahun 195327. Sejalan dengan

waktu, konsep perkembangan CSR mengalami perubahan terus menerus sampai

saat ini. Kemajuan konsep CSR waktu demi waktu juga menimbulkan berbagai

opini dengan banyaknya aktifitas atau kegiatan filantropi berlabel CSR bahkan

CSR telah dijadikan sebagai salah satu strategi perusahaan untuk meningkatkan

citra perusahaan. Penerimaan dunia korporasi terhadap Corporate Social

Responsibility (CSR), laksana bola salju yang menggelinding semakin besar.

Penerapan CSR di perusahaan menjadi semakin penting dengan munculnya

konsep “sustainable development” yang dirumuskan oleh The World Comission

on Environment and Development sebagai

“...development that meets the needs of the present without compromosing

the ability of future generations to meet their needs”.

Sejalan dengan diperkenalkannya konsep sustainnable development, maka

konsep CSR pun mengalami penyesuaian dan dikembangkan dalam bingkai

sustainable development. Teguh Sri Pambudi mengemukakan bahwa pengertian

CSR dari beberapa sumber, salah satu di antaranya dari World Bank. Dalam versi

World Bank, CSR adalah komitmen dunia usaha untuk memberikan kontribusi

bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan bekerja sama dengan tenaga kerja

dan organisasi representasinya, dengan masyarakat lokal dan dengan masyarakat

dalam lingkup yang lebih luas, untuk memperbaiki kualitas hidup dengan cara

yang menguntungkan kedua belah pihak untuk dunia usaha maupun untuk

27Carroll AB. Corporate Social Responsibility : Evolution of a definitional construction. 1999. Business and Society

35

pembangunan28. Secara umum, terdapat beberapa alasan yang mendorong dunia

korporasi melaksanakan aktivitas CSR sebagai bagian dari seluruh aktivitas

perusahaannya. Sebagai perihal bahwa terdapat perusahaan yang melaksanaan

CSR secara mandatory atau berdasarkan dengan undang-undang. Terdapat juga

pelaksanaan CSR secara charity atau amal sukarela dimana hal ini tidak dapat

dilepaskan dari pertimbangan dan nilai yang dimiliki oleh pemilik perusahaan

secara pribadi atau niatan pribadi. Namun ada juga perusahaan yang baru bergerak

melakukan aktivitas CSR setelah mendapat tekanan dari berbagai elemen

masyarakat.

Meskipun gagasan tentang tanggung jawab sosial korporat telah

dirumuskan, namun pada awalnya korporat memandang CSR sebagai beban dan

melakukannya dengan terpaksa. Ini terjadi karena dunia korporasi masih

berpatokan pada external & reputation driven (CSR as a beyond profit activity)

dalam implementasinya. Di samping itu, CSR dilakukan atas dasar keinginan

mendapatkan penghargaan (CSR as a beyond compliance activity). CSR juga

dipandang sebagai sebuah kesempatan memberikan kontribusi pada masyarakat

didasarkan internal driven perusahaan (CSR as a beyond PR activity). Secara

umum CSR dengan patokan hal tersebut akan sangat rentan terhadap terjadinya

krisis kepercayaan publik.

Menyikapi pentingnya peranan Corporate Social Responsibility,

dibutuhkan kerjasama antara swasta, pemerintah, institusi, LSM, tokoh-tokoh

28Teguh Sri Pambudi “ CSR : sebuah keharusan” Pusat Penyuluhan Sosial (PUSPENSOS), La Tofi

Enterprise, Jakarta, 2005. h. 19

36

masyarakat serta calon penerima manfaat CSR. Oleh sebab itu dalam

implementasi program CSR diperlukan beberapa kondisi yang akan menjamin

terlaksananya implementasi program dengan baik. Terdapat beberapa kondisi

yang menciptakan komunikasi atau hubungan antara kepentingan dunia korporasi

dengan masyarakat atau publik. Hubungan tersebut salah satunya tercipta dalam

implementasi CSR dimana CSR memperoleh persetujuan dan dukungan dari para

pihak yang terlibat dan pola hubungan diantara pihak-pihak yang terlibat secara

jelas. Hal ini meningkatkan kualitas koordinasi pelaksanaan CSR. Tanpa adanya

komunikasi atau hubungan komunikasi yang baik dan jelas diantara perusahaan

dan masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan CSR, maka kemungkinan besar

pelaksanaan implementasi CSR tidak berjalan secara optimal dengan arti bahwa

korporasi telah gagal dalam melaksanakan aktivitas CSR sesuai dengan komitmen

entitas korporasi.

Dalam konteks pembangunan saat ini, keberhasilan sebuah perusahaan

bukan lagi diukur dari keuntungan bisnis semata, melainkan juga dilihat dari

sejauh mana kepedulian perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Dalam

bisnis apa pun, prioritas utama adalah keberlanjutan usaha. Sedangkan

keberlanjutan tanpa di topang kepedulian terhadap aspek lingkungan dan sosial,

berpotensi menimbulkan kendala-kendala baik berbentuk laten maupun manifes

yang tentunya akan menghambat pencapaian keuntungan perusahaan. Hal tersebut

terkait konsep pembangunan berkelanjutan yakni pembangunan yang diharapkan

mampu memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan

generasi yang akan datang. Bagaimanapun sebuah bisnis tidak akan berjalan

37

optimal jika tidak mampu menjaga cadangan sumber daya, yang meliputi aspek

sosial dalam hal ini sumber daya manusia (SDM) dan aspek lingkungan atau

sumber daya alam (SDA).

Aspek sosial dan lingkungan perusahaan menjadi keberlanjutan

perusahaan dalam menjalankan usahanya. Kedua aspek ini merupakan parameter

untuk mengetahui apakah perusahaan sebagai komunitas baru tersebut

menimbulkan dampak positif atau negatif kepada masyakarat lokal atau setempat.

Akibatnya timbul sebuah legalitas secara kultural dari masyarakat atau bisa

disebut sebagai local license dimana perusahaan akan mendapat ijin beroperasi

jika masyarakat menerima keberadaannya. Paradigma seperti ini memuat

bagaimana perubahan tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal

dengan Corporate Social Responsibility (CSR) berkembang di masyarakat.

Dahulu perusahaan memaknai CSR atau istilah lain Community Development

(CD), Program Kemitraan, Program Bina Lingkungan sebagai sebuah beban atau

biaya resiko, karena tidak menghasilkan timbal balik terhadap keuntungan

perusahaan. Sedangkan saat ini perusahaan semakin menyadari bahwa CSR bukan

lagi beban, melainkan dari modal sosial sendiri, dimana keberlanjutan perusahaan

tidak hanya ditentukan oleh profit (keuntungan), tetapi juga daya dukung planet

(lingkungan alam) dan people (masyarakat).

Perkembangan CSR tidak bisa terlepas dari konsep pembangunan

berkelanjutan. Maka menurut The Brundtland Commision bahwa untuk

menanggapi keprihatinan yang semakin meningkat dari para pemimpin dunia,

menyangkut peningkatan kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam

38

yang semakin cepat habis. Selain itu juga untuk mencermati dampak kerusakan

lingkungan hidup dan sumber daya alam terhadap ekonomi dan pembangunan

sosial. Oleh karenanya konsep sustainable development dibangun atas tiga pilar

yang berhubungan dan saling mendukung satu dengan yang lainnya. Ketiga pilar

tersebut sosial, ekonomi dan lingkungan sebagiaman ditegaskan dalam The United

Nation 2005 World Summit Outcome Document.29

Berikut ini adalah beberapa definisi dan konsep CSR menurut lembaga

dan organisasi internasional serta pakar-pakar :

The Organization for Economic Cooperation and Development

(OECD) Merumuskan bahwa CSR sebagai kontribusi bisnis bagi

pembangunan berkelanjutan, serta adanya perilaku korporasi yang

tidak semata-mata menjamin adanya pengembalian bagi pemegang

saham, upah bagi karyawan, dan pembuatan produk serta jasa bagi

para pelanggan, melainkan perusahaan juga harus memberi perhatian

terhadap berbagai hal yang dianggap penting serta nilai-nilai yang ada

di masyarakat30.

The World Business Council for Sustainability Development

(WBCSD) Menurut organisasi ini CSR adalah komitmen bisnis

untuk berkontribusi dalam pembanguan ekonomi berkelanjutan,

bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan,

29Ismail Solihin.Corporate Social Responsibility: from Charity to Suistainability.2009. Salemba

Empat : Jakarta. hlm. 16. 30the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) “The OECD Guidelines for

Multinational Enterprises” Edisi 2011 adopsi di tahun 1976, di unduh tanggal 5 Agustus 2015

39

berikut komunitas-komunitas setempat, masyarakat secara

keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.

(WBCSD, 2002)31

World Bank CSR adalah komitmen dunia usaha untuk

memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi yang

berkelanjutan bekerja sama dengan tenaga kerja dan organisasi

representasinya, dengan masyarakat lokal dan dengan masyarakat

dalam lingkup yang lebih luas, untuk memperbaiki kualitas hidup

dengan cara yang menguntungkan kedua belah pihak untuk dunia

usaha maupun untuk pembangunan.

Mark Goyder Bentuk tindakan atas program yang diberikan

terhadap komunitas dan nilai yang menjadi acuan dari Corporate

Social Responsibility. Tindakan dalam hal ini terhadap luar corporate

atau erat kaitannya dengan lingkungan seperti komunitas lokal dan

lingkungan alam, atau bagaimana corporate menerapkan atau

memenuhi kebutuhan komunitas sekitarnya. Sedangkan nilai CSR

lebih kepada nilai corporate yang dipakai untuk menerapkan atau

mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan keadaan sosial

terhadap komunitas sekitarnya

European Commission Sebuah konsep dengan mana perusahaan

mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam

31http://www.wbcsd.org/work-program/business-role/previous-work/corporate-sociaesponsibility.aspx. diakses pada tanggal 14 Agustus 2014

40

operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku

kepentingan berdasarkan prinsip kesukarelaan.

ISO 26000, Draft 3 Tanggung jawab sebuah organisasi atas

dampak dari keputusan dan kegiatan suatu organisasi bagi masyarakat

dan lingkungan melalui perilaku transparan dan etis yang konsisten

dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat.

Memperhatikan ekspektasi dari stakeholdersnya, sejalan dengan

hukum yang berlaku dan norma-norma sikap, dan juga terintegrasi

kepada keseluruhan organisasi.

(A+ CSR Indonesia) CSR merupakan upaya sungguh-sungguh

dari perusahaan untuk meminimumkan dampak negatif,

mengkompensasi dampak negatif residual dan memaksimumkan

dampak positif operasinya dalam ranah ekonomi, sosial, dan

lingkungan, terhadap seluruh pemangku kepentingannya, untuk

mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan32.

3.2 Tujuan CSR

Entitas korporasi mengharapkan adanya keberlanjutan dan kestabilan

usaha, karena dengan adanya keberlanjutan dan kestabilan usaha akan

mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi perusahaan. Setidaknya

32www.csrindonesia.com%2Fdata%2Farticles%2F20090525112040a.pdf&ei=BsCgUfLlD5CrrAeZzIHwCg&usg

=AFQjCNF9RFFCCdA2qRS7IMZdmevigTG6A&sig2=ZxCMe2zhs_JeryX79d_OCw&bvm=bv.47008514,d.bmk&cad=rja.Diunduhtanggal 14 Agustus 2015

41

ada tiga alasan penting mengapa kalangan korporat dunia usaha harus merespon

CSR agar sejalan dengan jaminan keberlanjutan operasional perusahaan33.

Yang pertama bahwa perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh

karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat.

Perusahaan mesti menyadari bahwa mereka beroperasi dalam satu tatanan

lingkungan masyarakat. Kegiatan sosial ini berfungsi sebagai kompensasi atau

upaya timbal balik atas penguasaan sumber daya alam atau sumber daya ekonomi

oleh perusahaan yang kadang bersifat ekspansif dan eksploratif, disamping

sebagai kompensasi sosial karena timbul ketidaknyamanan kepada masyarakat.

Kedua bahwa kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki

hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme untuk mendapatkan dukungan dari

masyarakat. Wajar bila perusahaan dituntut untuk memberikan kontribusi positif

kepada masyarakat, sehingga bisa tercipta harmonisasi hubungan bahkan

pendongkrakan citra dan performa perusahaan.

Ketiga yaitu kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk meredam atau

bahkan menghindarkan konflik sosial. Potensi konflik itu bisa berasal akibat dari

dampak operasional perusahaan atau akibat kesenjangan struktural dan ekonomis

yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan.

3.4 Perkembangan CSR di Indonesia

Perkembangan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk konteks

Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda. Pertama, pelaksana CSR

33Wibsono, Yusuf. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. 2007. Fascho Publishing. Gresik

42

memang merupakan praktik bisnis secara sukarela artinya pelaksanaan CSR lebih

banyak berasal dari inisiatif perusahaan dan bukan merupakan aktivitas yang

dituntut untuk dilakukan perusahaan oleh peraturan perundang-undangan yang

berlaku di Negara Republik Indonesia.

Kedua, pelaksanaan CSR bukan lagi merupakan discretionary business

practice, melainkan pelaksanaannya sudah diatur oleh undang-undang atau

bersifat mandatory. Sebagai contoh, Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

memiliki kewajiban untuk menyisihkan sebagai laba yang diperoleh perusahaan

untuk menunjang kegiataan sosial seperti pemberian modal bergulir untuk Usaha

Kecil dan Menengah (UKM). Demikian halnya perusahaan yang menjalankan

kegiatan usaha bidang sumber daya alam atau berkaitan dengan sumber daya

alam, diwajibkan untuk melaksanakan CSR sebagaimana diatur di dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomer 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Pasal 74.

Selain itu dilihat dari segi dasar hukum pelaksanaannya, CSR di Indonesia

secara konseptual masih harus dipilah antara pelaksanaan CSR yang dilakukan

oleh perusahaan besar. Selama ini, terdapat anggapan yang keliru bahwa

pelaksanaan CSR hanya diperuntukkan bagi perusahaan besar, padahal tidak

hanya perusahaan besar yang dapat memberikan dampak negatif terhadap

masyarakat dan lingkungan melainkan perusahaan kecil dan menengah pun bisa

memberikan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Namun dari segi perspektif masyarakat, tidak jarang yang beranggapan

bahwa CSR hanya merupakan proyek selundupan perusahaan untuk menaikkan

43

pamong dan citra perusahaan saja. Masyarakat yang mempunyai anggapan seperti

ini beranggapan bahwa CSR hanya memiliki tujuan untuk kepentingan

perusahaan sendiri. Tidak jarang terjadi banyak perdebatan akan pelaksanaan

CSR. Namun ada juga kelompok praktisi, akademisi dan masyarakat yang

mendukung penuh dengan adanya CSR yang merambah dalam masyarakat.

Perdebatan antara kelompok yang mendukung dan menentang pelaksaaan

CSR menunjukkan bahwa CSR saat ini masih menjadi masalah yang penting serta

memiliki kemungkinan untuk berkembang di masa yang akan datang terutama

bila para pendukung program CSR mampu menunjukkan adanya kontribusi

positif pelaksanaan aktivitas CSR terhadap kinerja keuangan perusahaan.