Upload
doankiet
View
260
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan
informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan informasi di bidang kelautan (Soeprapto 2001). Survei batimetri
memetakan topografi dasar laut dengan cara mengukur kedalaman pada titik-titik
tertentu berdasarkan jalur yang telah direncanakan. Pengukuran posisi titik dan
kedalaman dilakukan secara serentak sehingga diperoleh data koordinat horisontal (x
dan y) dan nilai kedalaman (h).
Survei batimetri menggunakan alat echosounder. Alat echosounder
mengukur jarak antara alat yang ada di bawah kapal terhadap titik di bawah laut,
sedangkan kedalaman laut dinyatakan sebagai jarak vertikal antara suatu bidang
referensi tertentu dengan sebuah titik di dasar laut (Anonim 2013). Bidang referensi
yang digunakan dalam survei batimetri adalah muka surutan (chart datum) yang
ditentukan berdasarkan hasil pengamatan pasang surut.
Salah satu jenis alat echosounder untuk survei batimetri adalah Multibeam
Echosounder (MBES). Peralatan penentuan posisi yang digunakan pada MBES
adalah GPS (Abidin 2000). MBES menggunakan jumlah beam yang dipancarkan
lebih dari satu pancaran. Pola pancaran beam melebar dan melintang terhadap badan
kapal. Setiap beam mendapatkan satu titik kedalaman. Titik-titik kedalaman tersebut
saling terhubung dan membentuk profil dasar laut. Jika kapal bergerak maju, maka
hasil sapuan MBES tersebut menghasilkan suatu luasan pada jangkauan tertentu
yang menggambarkan permukaan dasar laut tersebut (Moustier 2005).
MBES mengukur kedalaman dasar perairan menggunakan teknologi sonar
(Sound Navigation and Ranging). Sonar menggunakan prinsip perambatan
gelombang akustik dalam air untuk mendeteksi keberadaan suatu objek, objek yang
2
dimaksud adalah topografi dasar perairan. Prinsip kerja yang digunakan adalah suatu
gelombang akustik dipancarkan ke arah dasar perairan oleh pemancar (transducer)
pada multibeam echosounder. Gelombang akustik setelah mencapai dasar perairan
kemudian dipantulkan dan diterima kembali oleh penerima (receiver) pada MBES.
Dalam kondisi ideal, jarak yang ditempuh oleh gelombang akustik tersebut
merupakan dua kali dari kedalaman perairan. Parameter untuk mendapatkan jarak
tempuh adalah waktu tempuh dan kecepatan rambat gelombang. Oleh karena itu,
akurasi perekaman waktu tempuh gelombang oleh instrumen pada MBES dan
akurasi dari penentuan cepat rambat gelombang akustik dalam air mempengaruhi
akurasi dari data kedalaman yang diperoleh.
Kecepatan rambat gelombang akustik dipengaruhi salinitas, densitas dan
temperatur dimana variabel tersebut dinamis sesuai kondisi dan kedalaman wilayah
perairan. Identifikasi akurasi nilai kecepatan rambat gelombang akustik pada data
MBES penting karena menentukan kualitas data kedalaman yang dihasilkan dari
pengolahan data MBES.
Identifikasi akurasi data kecepatan rambat gelombang akustik dilakukan
pada saat post-processing data MBES. Software yang digunakan adalah MB-System
dengan melakukan analisis visual pada hasil permukaan yang diperoleh. MB-System
merupakan salah satu software opensource untuk keperluan penelitian dan kualitas
data yang dihasilkan sama dengan software berlisensi. Penggunaan software MB-
System dilakukan karena kualitas akurasi data yang cukup baik dan bisa didapatkan
secara gratis oleh siapapun tanpa membutuhkan lisensi untuk menjalankannya. MB-
System menampilkan kesalahan nilai kecepatan gelombang akustik dengan tampilan
3D yang mudah diketahui pada area yang landai.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penelitian ini
mengkaji penentuan nilai dan pengaruh kecepatan gelombang akustik serta koreksi
nilai kecepatan rambat gelombang akustik pada survei batimetri menggunakan alat
MBES dengan menggunakan software MB-System. Area penelitian yang digunakan
adalah Teluk Kabui dan Selat Sagewin yang memiliki karakteristik topografi yang
berbeda untuk mengetahui pengaruhnya pada ketelitian data batimetri yang
dihasilkan. Teluk Kabui terletak di tengah pulau sehingga tidak banyak mendapat
3
pengaruh luar dan topografi yang relatif landai, sedangkan Selat Sagewin terhubung
pada samudra dan topografinya curam.
I.2. Rumusan Masalah
Kecepatan rambat gelombang akustik merupakan unsur penting yang
mempengaruhi akurasi data MBES. Nilai kecepatan gelombang akustik wajib
diketahui sebagai koreksi data kedalaman pada pengukuran batimetri.
Saat ini belum diketahui secara detil besarnya kecepatan rambat gelombang
akustik di dua area penelitian. Pengaruh koreksi kecepatan gelombang akustik serta
cara koreksi nilai kecepatan rambat gelombang akustik belum teridentifikasi untuk
mendapatkan hasil yang akurat dengan kenampakan topografi sebenarnya
menggunakan software MB-System yang merupakan software open source.
I.3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Berapa nilai kecepatan rambat gelombang akustik menggunakan survei
MBES di wilayah Selat Sagewin dan Teluk Kabui?
2. Bagaimana pengaruh nilai kecepatan rambat gelombang akustik terhadap
akurasi posisi MBES?
3. Bagaimana koreksi nilai kecepatan gelombang akustik yang akurat dengan
software MB-System?
I.4. Tujuan Penelitian
Hal-hal yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Teridentifikasinya nilai kecepatan rambat gelombang akustik menggunakan
survei MBES di wilayah Selat Sagewin dan Teluk Kabui.
2. Teridentifikasinya pengaruh kecepatan rambat gelombang akustik pada hasil
pemetaan batimetri menggunakan survei MBES.
3. Teridentifikasinya koreksi kecepatan gelombang akustik yang paling akurat
menggunakan software MB-System antara menggunakan data SVP hasil
4
pengukuran dengan kecepatan rambat gelombang akustik di masing- masing
lajur pengukuran pada data batimetri MBES.
I.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin diperoleh dalam kegiatan penelitian ini, yaitu:
1. Sebagai suatu pertimbangan dalam pembuatan standar ketelitian dengan
syarat nilai kecepatan gelombang akustik pada SNI pemetaan batimetri
menggunakan alat MBES karena ketelitian SNI pemetaan batimetri saat ini
hanya untuk Singlebeam Echosounder.
2. Teridentifikasi koreksi kecepatan gelombang akustik yang paling akurat pada
wilayah yang memiliki topografi yang berbeda.
I.6. Lingkup Penelitian
Dalam kegiatan penelitian ini, ada beberapa lingkup penelitian yang ada yaitu:
1. Data survei batimetri yang digunakan adalah data MBES, Sound Velocity
Profile (SVP), data pasang surut laut (menggunakan koreksi dari MB-
System) dan beberapa data pendukung lainnya yang merupakan hasil
pengukuran oleh BPPT di daerah Teluk Kabui dan Selat Sagewin, Raja
Ampat, Papua Barat. Pengolahan data MBES dilakukan dengan
menggunakan software MB-System.
2. Metode yang digunakan adalah membandingkan nilai kedalaman pada
wilayah pengukuran antara nilai kecepatan rambat saat pengukuran dan nilai
kecepatan rambat yang telah terkoreksi, dengan ketelitian nilai residual
kecepatan rambat gelombang akustik.
3. Hasil dari penelitian ini adalah visualisasi 2D pada wilayah dengan nilai
kecepatan rambat gelombang akustik yang telah terkoreksi.
4. Uji kualitas data mengacu pada standar IHO pada IHO Special Publication 44
tahun 2008 pada orde satu dengan sampel sebanyak 40 pasang titik.
5
I.7 Tinjauan Pustaka
Kurnia (2014) melakukan pemrosesan data MBES menggunakan software
MB-System dengan hasil akhirnya berupa Visualisasi peta tiga dimensi. Pembahasan
yang dilakukan meliputi tahap pengolahan data batimetri, faktor-faktor yang
mempengaruhi ketelitian dan akurasi data batimetri serta melakukan uji kualitas
menggunakan IHO. Penelitian ini dilakukan di daerah Penajam Panser Utara
Kalimantan Timur. Pada penelitian lebih difokuskan pada hasi akhir pemrosesan data
MBES menggunakan software MB-System.
Mangopo (2013) melakukan penelitian tentang pengaruh Sound Velocity
Profiller (SVP) pada data MBES dengan menggunakan software CARIS. Topik yang
dikaji adalah bagaimana mengidentifikasi akurasi data SVP pada pengolahan data
MBES. Pengkajian menggunakan metode ketelitian kecepatan gelombang akustik.
Kesimpulan penelitian adalah data SVP yang digunakan dalam pengolahan data tidak
akurat. Hal ini karena adanya objek berupa gundukan merupakan pola yang
disebabkan nilai SVP yang terlalu besar pada saat pengukuran bukan representasi
topografi sebenarnya dari permukaan dasar laut.
Parsons (2005) dalam makalahnya menjelaskan studi lapangan dari
pemetaan MBES pada wilayah sungai. Data MBES dikombinasikan dengan data
Acountic Doppler Current Profile (ADCP) untuk mengetahui informasi aliran
sungai. Munculnya gundukan-gundukan pada morfologi hulu dengan perubahan
puncak garis lengkung dan jalur puncak/persimpangan yang mempengaruhi bentuk
gundukan hilir. Oleh karena itu, proses pembuatan peta batimetri diperlukan berbagai
koreksi MBES, salah satunya koreksi pengaruh kecepatan gelombang akustik. Hasil
data yang dihasilkan seharusnya merupakan data topografi sebenarnya bukan karena
kesalahan dari kecepatan gelombang akustik.
Simons, dkk (2008) pada penelitian ini menjelaskan tentang koreksi
pengukuran batimetri karena kesalahan nilai SVP menggunakan koreksi teori inversi.
Topik yang dikaji adalah mengkoreksi kesalahan nilai SVP pada wilayah pengukuran
perairan tenang dengan menggunakan overlapping swath yang diperoleh dari
pengukuran MBES. Metode ini didesain untuk mengkoreksi kesalahan yang
disebabkan karena deviasi nilai SVP pada beam terluar dari MBES.
6
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Kurnia (2014)
terletak pada hasil akhir yang didapatkan. Penelitian Kurnia berupa Visualisasi
batimetri 3D sedangkan penelitian ini berupa pengaruh kecepatan rambat gelombang
akustik pada hasil batimetri. Perbedaan pada penelitian yang dilakukan Mangopo
(2013) terletak pada software yang digunakan. Penelitian yang dilakukan Parsons
(2005) menghasilkan topografi dasar sungai dengan memasukkan nilai ADCP,
sedangkan penelitian ini tidak menggunakan data ADCP. Penelitian yang dilakukan
Simons,dkk (2008) perbedaannya terletak pada koreksi nilai kecepatan gelombang
akustik yang digunakan.
I.8 Landasan Teori
I.8.1. Pemetaan Batimetri
Survei batimetri adalah survei topografi pada wilayah perairan. Proses
pengambilan data Batimetri dikenal dengan pemeruman. Pemeruman adalah proses
untuk memperoleh model topografi dasar perairan (seabed surface). Proses batimetri
dimulai sejak pengambilan data, pengolahan hingga Visualisasinya (Poerbandono
dkk., 2005).
Tahapan pelaksanaan survei batimetri dimulai dengan pembuatan lajur
pemeruman pada wilayah yang dipetakan. Lajur pemeruman merupakan jalur yang
digunakan sebagai jalur jalannya kapal saat melakukan survei. Berdasarkan
fungsinya, pemeruman dibedakan menjadi tiga macam yaitu lajur utama, lajur silang,
dan lajur tambahan/investivigasi. Lajur yang biasa digunakan dalam pengukuran
adalah lajur utama dan lajur silang. Lajur perum utama, yaitu lajur perum yang
direncanakan sehingga seluruh daerah survei dapat tercakup dan dapat
menggambarkan topografi dasar perairanya. Lajur perum silang, yaitu lajur perum
yang dibuat memotong lajur perum utama. Tujuan diadakannya lajur perum silang
adalah untuk mendekteksi kesalahan hasil pengukuran baik secara horizontal maupun
kedalaman pada sistem lajur utama (Soeprapto 2001). Namun demikian, sesuai
standar IHO dalam pemetaan menggunakan MBES tidak diwajibkan menggunakan
lajur silang (IHO SP 44 2008).
7
Pada pengumpulan data batimetri dilakukan kegiatan penentuan posisi titik
pemeruman (x,y) dan penentuan kedalaman titik pemeruman (h). Penentuan posisi
titik pemeruman menggunakan metode penentuan posisi dengan gelombang
elektromagnetik (satellite receiver) yaitu penenetuan posisi menggunakan satelit
GPS yang dipasang pada kapal survei. Penentuan kedalaman titik pemeruman untuk
memperoleh nilai suatu kedalaman yang bertujuan untuk menghasilkan gambaran
bentuk topografi dasar perairan. Pengukuran kedalaman pada survei batimetri salah
satunya dapat dilakukan dengan menggunakan metode gelombang akustik
(Poerbandono dkk., 2005).
Alat survei batimetri yang menggunakan metode gelombang akustik ini
adalah echosounder. Sistem dalam echosounder biasanya terdiri atas satu daya,
transducer, hidrofon dan perekam data. Prinsip kerja sistem adalah transducer
memancarakan pulsa akustik dengan frekuensi tertentu ke dasar perairan secara tegak
lurus. Pulsa akustik dipantulkan oleh dasar perairan lalu diterima kembali oleh
hidrofon. Data yang diperoleh dari proses itu adalah selang waktu gelombang mulai
dipancarkan dan gelombang kembali diterima.
Sonar adalah teknologi pemanfaatan perambatan gelombang akustik dalam
air untuk mengetahui topografi dasar perairan. Terdapat dua macam tipe sonar yaitu
tipe pasif dan aktif. Perbedaan dua tipe ini terletak pada gelombang akustik yang
didapatkan. Tipe pasif hanya menangkap gelombang akustik yang dipancarkan oleh
objek lain misal getaran pada mesin kapal, sedangkan untuk tipe aktif memancarkan
dan menerima pancaran gelombang akustik jika mengenai suatu objek pada perairan.
a
8
b
Gambar I.1 Perbedaan sonar aktif (a) dan sonar pasif (b) (Sumber: Waite 2002)
MBES merupakan salah satu aplikasi dari teknologi sonar tipe aktif yang merupakan
perpaduan dari komponen-komponen utama seperti tranducer, receiver, dan GPS.
I.8.2. Multibeam Echosounder ( MBES)
I.7.2.1. Pengertian multibeam echosounder (MBES). MBES pada dasarnya
menggunakan prinsip yang sama dengan Singlebeam Echosounder (SBES).
Perbedaan antara SBES dan MBES terletak pada jumlah beam dipancarkan serta pola
pancarannya. MBES memiliki lebih dari satu pancaran gelombang dan pola
pancarannya melebar dan melintang terhadap badan kapal. Setiap beam mendapatkan
satu titik kedalaman. Titik-titik kedalaman tersebut dihubungkan dapat membentuk
profil dasar laut (Moustier 2005).
Pada Gambar I.2 dijelaskan visual perbedaan teknik pemacaran beam antara
SBES dan MBES. Pada Gambar I.2 juga ditampilkan perbedaan hasil yang
didapatkan pada pengukuran menggunakan SBES dan MBES.
9
Gambar I.2. Perbedaan antara SBES (a) dan MBES (b) (Sumber: Brenan 2009)
MBES juga terintegrasi dengan peralatan pendukung lainnya. Oleh karena itu
sering disebut juga sebagai Multibeam Echosounder Sonar System (MBSS). Menurut
Godin (1998), sistem pada MBSS merupakan sekumpulan sensor yang dipasang pada
wahana survei yang digunakan secara bersamaan guna menentukan posisi koordinat
(x,y) dan kedalaman (h). Instrumentasi dasar yang digunakan antara lain:
1. Tranducer digunakan untuk memancarkan gelombang akustik ke dasar
perairan.
2. Tranreceiver/hidrofon digunakan untuk menangkap gelombang akustik
yang telah dipantulkan kembali setelah mencapai dasar perairan.
3. Unit kontrol dan integrasi.
4. Unit referensi vertikal (sensor roll, pitch, yaw dan heave) digunakan
untuk mengetahui nilai kesalahan kalibrasi saat pengukuran.
5. Positioning system (GPS) digunakan untuk menentukan posisi koordinat
(x,y) titik pemeruman.
Kelengkapan lainnya seperti monitor dan alat akuisisi digunakan untuk
memantau hasil secara langsung atau realtime. Unit untuk akuisisi dan mencatat data
(logging) juga terintegrasi dengan sistem.
I.7.2.2. Prinsip kerja MBES. MBES memanfaatkan gelombang akustik yang dapat
merambat dalam air. MBES memancarkan gelombang akustik atau beam kemudian
a b
10
dipantulkan kembali ketika gelombang akustik tersebut menyentuh material di dasar
perairan. Beberapa gelombang yang dipantulkan akan diterima kembali oleh sensor pada
receiver dan akan dihitung beda waktu saat gelombang dipancarkan dan saat gelombang
kembali diterima. Parameter inilah yang akan diproses menjadi informasi mengenai
kedalaman air.
Gambar I.3. Prinsip kerja MBES (sumber: nautical.noaa.gov)
Jika terdapat nilai cepat rambat dari gelombang tersebut maka dapat diketahui
nilai kedalaman dengan menggunakan persamaan I.1.
Dalam hal ini :
d : kedalaman perairan (m)
v : cepat rambat akustik dalam air (m/dt)
t : waktu tempuh gelombang akustik (dt)
I.7.2.2. Karakteristik dan akurasi MBES. MBES memancarkan beberapa beam
sekaligus secara bersamaan, sehingga dapat digunakan untuk mengukur kedalaman
permukaan dasar perairan lebih dari satu titik kedalaman dalam sekali ping. Satu
ping terdiri atas beberapa beam yang dipancarkan secara melebar atau dikenal
dengan istilah swath (dalam satuan derajat). Sistem swath bekerja dengan satu
d = 1/2 .v.t ……………………………………………….... (I.1.)
11
pancaran gelombang yang memiliki lebar dan panjang yang membentuk sebuah
kolom dan dapat juga dipakai sebagai Side Scan Sonar (SSS) (de Jong dkk 2002).
Sistem swath menghasilkan area lebih besar pada perairan dalam, namun pada
perairan dangkal menghasilkan cakupan area yang sama dengan menggunakan
sweep. Sweep juga merupakan sistem pemancaran gelombang pada MBES, sistem ini
memancarkan banyak gelombang single atau dengan kata lain merupakan multi-
single beam. Pada Gambar I.4. ditampilkan cara kerja sistem swath.
Gambar I.4. Cara kerja sistem swath pada MBES (Sumber: Anonim, 2000)
Pada MBES, konsep estimasi kedalaman pada setiap beam memiliki sedikit
perbedaan karena arah beam yang berbeda-beda membentuk sudut tertentu terhadap
garis nadir. Estimasi kedalaman pada setiap beam dilakukan perhitungan sesuai
ilustrasi pada Gambar I.5. dan persamaan I.2. berikut.
Gambar I.5. Visualisasi perhitungan nilai kedalaman pada beam (Sumber: De Jong,
2002)
12
Depth(d) = S cos ϴ………………………………………………………...……(I.2)
Dalam hal ini :
d : kedalaman (m).
S : jarak langsung tranducer terhadap target (m).
ϴ : arah pancar beam terhadap nadir (°).
Setiap beam mendapatkan satu titik kedalaman. Titik-titik kedalaman
dihubungkan membentuk satu profil dasar perairan pada proyeksi garis swath
tersebut. Pada saat kapal bergerak maju dihasilkan satu luasan dari sapuan swath
sepanjang arah gerak kapal, luasan tersebut terdapat titik titik kedalaman yang
menggambarkan permukaan topografi dasar perairan.
Karakteristik utama MBES (Lekkerker dkk 2006) adalah:
1. Frekuensi gelombang akustik berselang antara 12 hingga 500 kHz.
2. Cakupan survei berselang antara 90° hingga 180° ( 2 hingga 12x kedalaman
titik survei).
3. Lebar dari beam berselang antara 0.5° hingga 3°.
4. Resolusi jaraknya 1 hingga 15 cm tergantung kedalaman.
Faktor penentu akurasi MBES lebih kompleks dibanding SBES. Faktor
tersebut diantaranya adalah kesalahan kecepatan gelombang akustik, kesalahan
kalibrasi (time delay, pitch, roll, yaw), dan kesalahan posisi relatif transduser.
I.7.2.3. Akuisisi Data MBES. Komponen dasar yang digunakan pada proses akuisisi
data yaitu:
1. Sistem penentuan posisi
GPS (Global Positioning System) merupakan suatu sistem penentuan posisi
atau navigasi berbasis satelit. Cara penentuan posisi sistem ini adalah dengan
metode pengukuran jarak antar titik dengan satelit yang diketahui posisinya
(pemotongan ke belakang). Tiga buah pengukuran jarak untuk mengikat
posisi suatu titik di atas permukaan bumi, tetapi empat ukuran jarak
13
diperlukan untuk menghilangkan bias jam receiver (Abidin 2000). GPS baik
dengan metode pseudo differential (DGPS) atau secara Real Time Kinematic
(RTK) adalah sistem menentukan posisi saat menggunakan MBES.
Gambar I.6. Cara kerja GPS pada MBES (Sumber: Brennan, 2009)
2 Sensor montion and heading
Sensor montion adalah komponen yang digunakan untuk mengukur besarnya
pitch, roll, yaw dan heave. Heading sensor adalah komponen yang digunakan
untuk menentukan besarnya arah kapal terhadap acuan tertentu (yaw),
komponen ini juga terintegrasi dengan motion sensor. Besarnya heading
diperoleh dari sistem GPS dual receiver.
Gambar I.7. Ilustrasi sensor motion dan heading (Sumber: Brennan, C.W
2009)
3 CTD (Condutivity Temperature Depth)
14
CTD digunakan untuk mengukur kecepatan rambat gelombang akustik pada
tiap lapisan kedalaman perairan yang diturunkan dari tiga parameter utama
yaitu kedalaman, temperatur, dan salinitas. Instrumen ini terdiri atas tiga
sensor utama yaitu sensor tekanan untuk mengukur kedalaman, thermistor
untuk mengukur suhu,dan sel induktif yaitu sensor konduktivitas untuk
mengukur salinitas air. Teknis pengukuran dilakukan dengan cara
menurunkan CTD perlahan pada suatu titik pengukuran hingga mencapai
kedalaman tertentu. Setiap tahap penurunan tersebut merekam ketiga
parameter kecepatan akustik hingga dihasilkan sejumlah data dalam bentuk
per lapisan kedalaman.
I.7.2.4. Kalibrasi dalam MBES. Proses kalibrasi dilakukan sebelum melakukan survei
terhadap MBES meliputi proses kalibrasi offset statik, uji keseimbangan kapal (roll,
pitch, gyro) serta kecepatan rambat akustik (Mann dan Godin 1998).
1. Kalibrasi nilai offset
Nilai offset digunakan untuk menentukan nilai posisi dari titik pemeruman.
Hal ini karena dalam pengukuran, posisi GPS dan tranducer tidak berada
pada satu garis lurus/posisi yang sama sehingga nilai offset menghitung posisi
tranducer bukan posisi GPS.
Gambar I.8. menjelaskan posisi alat yang terpasang pada kapal saat
pengukuran dengan posisi x, y, dan z yang menyesuaikan bentuk dan ukuan
kapal. Posisi x positif didefinisikan dari tengah ke kiri kapal, y positif dari
tengah ke depan kapal dan z positif dari tengah ke bawah kapal.
15
Gambar I.8. Ilustrasi posisi pada kapal (Sumber: Anonim, 2000)
2. Kalibrasi patch test/keseimbangan kapal
Kalibrasi dilakukan di suatu daerah pada dasar laut, karena area yang
digunakan harus memiliki kontur relatif landai dan curam dengan kemiringan
1:2 atau 1:5. Parameter yang digunakan adalah roll, pitch, dan yaw
(Lekkerkek, dkk, 2006):
a. Kalibrasi roll
Kalibrasi roll adalah kalibrasi yang digunakan untuk mengkoreksi
kesalahan kedalaman akibat perubahan gerak kapal pada sumbu x.
b. Kalibrasi pitch
Kalibrasi pitch adalah kalibrasi untuk mengkoreksi kesalahan yang
diakibatkan karena kesalahan anggukan kapal atau pergerakan kapal
terhadap sumbu y, yang mengakibatkan pergeran lajur.
c. Kalibrasi yaw (gyro)
Kalibrasi yaw adalah kalibrasi untuk mengurangi kesalahan akibat
perubahan dari heading kapal pada saat survei.
3. Kalibrasi kecepatan rambat akustik
Kalibrasi dilakukan karena adanya perbedaan parameter seperti salinitas,
suhu dan tekanan di setiap kolom air mengakibatkan adanya perbedaan
kecepatan rambat akustik di setiap kolom tersebut. Untuk itu pengukuran
kecepatan rambat akustik diukur menggunakan alat Sound Velocity Profiler.
16
I.8.3. Pasang Surut (Pasut)
Pengamatan pasut merupakan komponen koreksi utama untuk menghasilkan
peta batimetri. Pasut laut adalah pergerakan air laut secara periodik, dimana perioda
dan amplitudo gerakannya berhubungan/disebabkan gaya-gaya geofisik periodik.
Gaya-gaya pembangkit pasut adalah resultan gaya tarik bulan, matahari dan gaya
sentifugal. Pasut biasanya diamati sebagai gerakan verikal naik turun dari lautan
yang mempunyai periode 12,4 jam atau 24,8 jam (de Jong dkk 2002). Pengamatan
Pasut biasa dilakukan bersamaan dengan pengukuran batimetri.
Menurut de Jong dkk (2002) terdapat empat macam jenis pasang surut yaitu:
1. Diurnal : memiliki satu puncak high water dan satu lembah low water.
2. Semi-diurnal : memiliki dua puncak high water dan dua lembah low water.
3. Campuran, condong diurnal : mempunyai dua puncak high water dan low
water yang tidak penuh dengan spasi tidak tetap antar satu bulan penuh
atau hanya satu puncak high water dan low water dalam satu hari.
4. Campuran condong semi-diurnal : memiliki dua puncak high water dan low
water antara satu bulan penuh dengan tinggi dan interval waktu yang tidak
teratur.
Pengamatan pasut untuk keperluan praktis dilakukan selama 15 atau 29 hari
(Djunarsjah 2005). Pengamatan pasut dapat digunakan dengan menggunakan alat
pengamat pasut seperti rambu pasut, tide gauge, radar gauge ataupun alat pengamat
pasut lainnya.
Penentuan nilai pasut digunakan sebagai referensi ketinggian ortometrik
mengacu pada geoid yang merupakan model bumi yang berhimpit dengan nilai Mean
Sea Level (MSL). MSL pada model geoid merupakan nilai rata-rata dari nilai pasut
pada perode 18,6 tahun. Nilai chart datum yang digunakan sebagai referensi dalam
peta batimetri merupakan nilai muka surutan terendah air laut.
17
I.8.4. Kecepatan Rambat Gelombang Akustik
MBES bekerja dengan menggunakan gelombang akustik yang ditembakkan
pada area perairan. Komponen utama dalam mekanisme perambatan gelombang
akustik dalam air adalah intensitas gelombang, frekuensi gelombang, panjang
gelombang dan kecepatan rambat gelombang.
Intensitas gelombang ditunjukkan oleh amplitudo dari gelombang yang
mempengaruhi jangkauan atau daya tembus dari gelombang. Frekuensi dan panjang
gelombang berkaitan dengan resolusi dan daya tembus dari gelombang akustik.
Karakteristik MBES adalah besar frekuensi gelombang akustik berbanding terbalik
dengan jangkauan atau daya tembusnya. Hal tersebut berlaku sebaliknya untuk
panjang gelombang. Ketiga komponen yaitu intensitas, frekuensi, dan panjang
gelombang dipengaruhi oleh sumber atau pemancar gelombang akustik yaitu
dipengaruhi oleh transmitter pada transducer yang nilainya telah ditentukan pada
spesifikasi instrumen yang digunakan. Ketiga komponen tersebut tidak dilakukan
kalibrasi, seperti yang dilakukan pada kecepatan rambat gelombang.
Menurut Lurton (2002) gelombang akustik secara normal merambat dalam air
dengan kecepatan sekitar 1500 m/dt. Pada beberapa kondisi kecepatan ini mengalami
perubahan yang disebabkan karena perbedaan salinitas, suhu, serta tekanan yang
mengakibatkan perbedaan pada setiap kolom air. Ketiga hal tersebut merupakan
karateristik medium yang dilalui dalam perambatannya di air. Menurut Lurton (2002)
temperatur, kedalaman, dan salinitas dapat dijabarkan seperti berikut ini:
a. Temperatur (T)
Temperatur perairan menurun dimulai dari permukaan hingga dasarnya. Ada
beberapa variasi lokal akibat faktor lokasi dan waktu. Variasi maksimal
terdapat pada lapisan dangkal yaitu tempat terjadinya pertukaran air,
pemanasan akibat matahari, dan arus. Variasi lokal berkurang pada lapisan
yang semakin dalam hingga akhirnya pada kedalaman tertentu variasi
tersebut sangat kecil sehingga temperatur makin stabil tidak bergantung pada
lokasi dan waktu.
18
b. Kedalaman (D)
Kedalaman perairan mempengaruhi kecepatan rambat gelombang akustik
terkait dengan tekanan hidrostatik dimana semakin besar tekanan hidrostatik
maka kecepatan rambat gelombang akustik semakin meningkat. Tekanan
hidrostatik meningkat sekitar 0,017 per meter kedalaman.
c. Salinitas (S)
Variasi salinitas atau kadar garam bergantung pada kondisi hidrologi suatu
perairan dan dinyatakan dalam persentasi kandungan garam terlarut (NaCl,
MgSO4) dalam air.
Secara garis besar pengaruh yang disebabkan oleh ketiga parameter tersebut
menurut Schmidt, dkk (2003) adalah perubahan kecepatan gelombang akustik yang
nilai kecepatannya dapat meningkat seiring peningkatan salinitas, suhu dan tekanan.
Kecepatan meningkat 3 m/dt setiap kenaikan suhu, 1,2 m/dt setiap kenaikan 1 part
per thousand (ppt), dan naik 0,5 m/dt setiap perubahan 30 m kedalaman. Hal tersebut
disebabkan perambatan gelombang akustik dalam air tidak pernah konstan.
Ketiga parameter tersebut digunakan untuk menentukan besarnya kecepatan
rambat gelombang akustik dalam air.. Salah satu model parametrik yang secara resmi
digunakan dalam industri survei dan pemetaan adalah model Chen dan Millero
(Unesco) persamaan I.3 dan model koefisien pada persamaan I.4 (Lekkerkerk,dkk
2006):
Chen and Millero (Unesco) ………………………………………………………(I.3)
c = (((C00 + C01T + C02T2 + C03T
3 + C04T
4 + C05T
5 )
+ ( C10 + C11T + C12T2 + C13T
3 + C14T
4)P
+ ( C20 + C21T + C22T2 + C23T
3 + C24T
4)P
2
+ ( C30 + C31T + C32T2 )P
3)
+ ( A00 + A01T + A02T2 + A03T
3 + A04T
4)
+ ( A10 + A11T + A12T2 + A13T
3 + A14T
4)P
+ ( A20 + A21T + A22T2 + A23T
3 )P
2
+ ( A30 + A31T + A32T2 )P
3)S
+ ( B00 + B01T +( B10 + B11T)P)S3/2
+ D00+D10P)S2
19
KOEFIEN CHEN MILLERO……………………………….…………... (I.4)
Dalam hal ini:
T : temperatur (°C)
S : Salinitas ( °/°°)
C : Cepat rambat gelombang akustik (m/dt)
P : Tekanan (bar)
Pada model I.4 tekanan (P) merupakan fungsi dari nilai kedalaman massa
jenis, dan percepatan gravitasi. Nilai A, B, C dan D merupakan koefisien
perhitungan yang dikalkulasi oleh Chen berdasarkan skala suhu internasional tahun
1990. Parameter yang paling mempengaruhi variasi kecepatan rambat gelombang
akustik adalah temperatur. Perubahan temperatur dipengaruhi oleh pemanasan
matahari, akibatnya kecepatan rambat gelombang akustik bergantung pada waktu
dilakukannya pengukuran atau pengambilan data. Grafik pada Gambar I.9
menunjukkan perubahan kecepatan rambat gelombang akustik akibat perubahan
ketiga parameter utama (Lekkerkerk.dkk 2006), dimana tampak bahwa perubahan
20
pada nilai temperatur lebih signifikan pengaruhnya terhadap nilai kecepatan
gelombang akustik dibanding ketiga parameter lainnya.
Gambar I.9. Grafik perubahan kecepatan gelombang akustik akibat salinitas,
temperatur, dan kedalaman (Sumber: Lekkerkerk, dkk. 2006)
Pada Gambar I.9. tampak perubahan bentuk setiap kenaikan kedalaman.
Suhu, salinitas dan tekanan konstan seiring bertambahnya kedalaman. Pada suatu
daerah survei yang memiliki variasi kolom kedalaman semakin banyak yang
mempengaruhi kecepatan dari gelombang akustik yang ditembakkan. Perbedaan
kolom kedalaman menyebabkan perbedaan salinitas, temperatur dan suhu. Semakin
dalam, nilai suhu semakin turun dan tekanan makin meningkat sedangkan salinitas
bergantung dari komponen yang dikandung pada perairan tersebut.
Arah dari perambatan gelombang akustik dalam air berubah seiring dengan
perubahan dari kecepatan gelombang akustik tersebut. Ketika gelombang akustik
merambat dari area dengan kecepatan yang tinggi mengarah ke kecepatan yang
rendah maka arah dari gelombang akan membelok ke arah bawah dan begitu juga
sebaliknya (Anonim 2000). Penjelasan tersebut dapat dilihat pada Gambar I.11
Kec
epat
an g
elom
ban
g a
kust
ik
21
Gambar I.10. Perubahan arah gelombang akustik karena pengaruh perbedaan
kolom kedalaman (Sumber: Anonim, 2000)
Profil kecepatan gelombang akustik dapat mempengaruhi hasil pemetaan
MBES. Jika ada kesalahan, jalur pemetaan menjadi melengkung. Kesalahan ini dapat
terjadi karena salah dalam menentukan nilai kecepatan rambat gelombang akustik
dalam sebuah perairan yang dapat menggangu penghitungan waktu tembakan dan
penerimaan beam. Akibatnya kesalahan ini maka kedalaman yang tercatat bukan
merupakan kedalaman yang sesungguhnya.
Tranducer menghitung waktu perjalanan gelombang dalam air. Apabila
terdapat kesalahan dalam menentukan kecepatan gelombang akustik kedalaman yang
dihitung mengalami perambatan kesalahan dari nilai kecepatan rambat gelombang
tersebut. Bila nilai kecepatan rambat gelombang akustik terlalu kecil, nilai kedalaman
bisa menjadi lebih dari yang sebenarnya. Bila terlalu besar maka nilai kedalaman bisa
saja kurang dari yang sebenarnya.
Pengukuran kecepatan rambat akustik menggunakan alat SVP. Sistem kerja SVP
adalah dengan reflektor yang diletakan di dasar laut dan kemudian dipantulkan sinyal
akustik dari SVP yang dipasang pada kapal. Kecepatan rambat SVP dibagi menjadi
kecepatan downward untuk kecepatan rambat dari SVP ke reflektor dan upward untuk
22
kecepatan rambat dari reflekor menuju SVP. Kecepatan rambat kemudian dirata-rata dan
didapatkan profil dan koreksi dari kecepatan rambat akustik di setiap kolom air laut pada
area survei.
Untuk menentukan SVP dilakukan pengukuran menggunakan CTD. Alat
CTD diturunkan ke dalam perairan dan pengukuran dilakukan di setiap interval
kedalaman tertentu hingga mencapai kedalaman maksimal perairan di lokasi
dilakukan survei MBES. Pengukuran SVP dilakukan bersamaan dengan waktu
dilaksanakannya survei MBES dan dilakukan pada area yang memiliki kedalaman
maksimal agar SVP dapat mencakup semua lapisan kedalaman dari area survei.
Perbedaan nilai kecepatan gelombang akustik pada setiap lapisan perairan
menyebabkan terjadinya fenomena refraksi atau pembelokan arah dari gelombang
akustik yang merambat. Mekanisme dan besarnya perubahan arah gelombang
gelombang akustik terlihat pada Gambar III.11 dan persamaan I.5.
Gambar I.11. Grafik perubahan kecepatan (c) dan arah gelombang (ϴ) pada tiap
lapisan layer kedalaman ( M-13 IHO) (Sumber: Lekkerkerk, dkk, 2006)
23
…………………………………………………...……. (I.5)
Pada Gambar I.11. ditunjukkan bahwa fenomena refraksi gelombang
gelombang akustik dapat mempengaruhi estimasi nilai kedalaman (h) pada setiap
beam dan posisi relatifnya (x) terhadap transducer atau sumber gelombang.
Pengukuran SVP dilakukan untuk mengkoreksi nilai kedalaman dan posisi titik
kedalaman akibat adanya refraksi tersebut. Proses koreksi dilakukan pada saat post
processing data MBES.
Efek familiar yang ditemui untuk mengidentifikasi ketidakakuratan data SVP
pada MBES adalah dengan adanya bentukan yang disebut dengan istilah smile dan
frown. Pada Gambar I.12. ditampilkan bagaimana bentuk lajur jika ada kesalahan
kecepatan rambat gelombang akustik.
Gambar I.12. Kenampakan lajur saat adanya kesalahan kecepatan rambat gelombang
akustik (Sumber: Brenan 2009)
Bentuk smile menunjukkan bahwa nilai cepat rambat gelombang akustik terlalu
besar, yang mengakibatkan kedalaman yang dihasilkan menjadi lebih pendek dari yang
seharusnya. Efek ini bisa dilihat pada ujung-ujung beam menjadi lebih pendek dari yang
seharusnya, begitu pula sebaliknya pada bentuk frown.
Bentuk lengkung pada kedua lajur menentukan bagian overlap antara dua lajur
pengukuran yang berdekatan. Pemodelan yang dilakukan menggunakan prinsip least-
Kecepatan
Gelombang akustik
terlalu besar
Kecepatan gelombang
akustik terlalu kecil
Kecepatan gelombang
akustik terlalu besar
Permukaan refrensi
24
squares. Nilai seharusnya adalah mendekati nilai sama dengan nol, dengan fungsi
persamaan I.6.
X2 = ∑ ∑ (tk,i – Tk,i)
2
Dalam hal ini :
N : jumlah beam yang dipancarkan,
S : jumlah swath yang dipancarkan,
tk,i : pemodelan dua waktu perjalanan,
Beam pada posisi terluar berpotensi mengalami kesalahan terbesar akibat
fenomena refraksi yang tidak terkoreksi dengan benar. Hal tersebut disebabkan
karena tidak akuratnya data variasi spasial dan temporal dari kecepatan rambat
gelombang akustik dalam hal ini SVP. Efek kesalahan SVP pada data batimetri dapat
dilihat pada Gambar I.13.
………….……………………………….. (I.6)
S
Gambar I.13. Efek batimetri yang mengandung kesalahan nilai SVP
(Sumber: Peyton dkk, 2009)
k=0 i=0
N
σ2
25
Koreksi nilai SVP seharusnya dilakukan pada total area karena nilai
SVP dinamis secara spasial maupun waktu. Prakteknya pada saat survei
MBES pengukuran SVP hanya dilakukan pada satu atau beberapa titik saja
sebagai sampel.
I.8.5. Software MB-System
Post-processing data MBES merupakan kegiatan pengolahan data yang
dilakukan setelah pelaksanaan survei selesai. Proses ini meliputi pembersihan data
(filtering), pengkoreksian data, pembuatan mosaik citra dasar perairan, dan pada
teknik tingkat lanjut dapat dilakukan klasifikasi sedimen dasar perairan (Kongsberg
Maritime 2014).
Proses post-procesing dapat dilakukan dengan menggunakan software yang
dibuat oleh produsen atau vendor pembuat instrumen MBES itu sendiri. Perbedaan
software terdapat pada format raw data yang dapat dibaca oleh software tersebut.
Salah satu software yang mendukung beberapa format raw data adalah MB-System
(software open source dengan OS Linux).
MB-System adalah sebuah paket software open sources yang digunakan untuk
mengolah dan menampilkan data citra batimetri, backscatter dari MBES,
Interferometry dan SSS (Ferreira 2013). Awalnya MB-System dikembangkan di
Lamont-Doherty Earth Observatory of Columbia University (L-DEO). Seiring
berkembangnya teknologi kini L-DEO berkolaborasi dengan Monterey Bay
Aquarium Reasearch Institute (MBARI). Kini MB-System telah didukung pula
perkembangannya oleh SeaBeam Instrumen dan juga National Oceanic and
Atmospheric Administration (NOAA).
Pengolahan data yang dilakukan oleh software ini adalah berupa filterisasi
data atau pembersihan data dari data outlier atau data spike. Namun beberapa fitur
tersembunyi dapat digunakan untuk melakukan pemrosesan data lebih dari hal
tersebut.
26
I.8.6. Standar Orde Ketelitian Survei Hidografi
Pengukuran batimetri memiliki standar resmi yang digunakan untuk menjaga
kualitas data pengukuran, baik skala international dan nasional. Pemetaan MBES
menggunakan standar International Hydrograpic Organization (IHO) karena belum
tersedianya dalam Standar Nasional Indonesia (SNI).
Standar teknis pelaksanaan survei batimetri menggunakan standar IHO untuk
data pengukuran MBES. Klasifikasi derajat ketelitian yang dibedakan menjadi
beberapa orde ketelitian sebagai berikut (IHO SP-44 tahun 2008):
a. Orde khusus
Orde khusus survei hidrografi mendekati standar ketelitian survei rekayasa. Orde
khusus digunakan secara terbatas di daerah-daerah kritis pada kedalaman di bawah
laut sangat minim dan karakteristik dasar airnya berpotensi membahayakan kapal.
Daerah-daerah kritis tersebut ditentukan secara langsung oleh instansi yang
bertanggung-jawab di dalam masalah kualitas survei. Sebagai contoh ialah
pelabuhan-pelabuhan tempat sandar dan alur masuknya. Semua sumber kesalahan
harus dibuat minimal.
Orde khusus memerlukan penggunaan yang berkaitan dengan scan sonar, multi
transducer arrays atau MBES dengan resolusi tinggi dengan jarak antar lajur perum
yang rapat untuk mendapatkan gambaran dasar air 100%. Setiap benda dengan
ukuran lebih besar dari satu meter persegi dapat terlihat oleh peralatan
perum yang digunakan. Penggunaan side scan sonar dan MBES mungkin diperlukan
di daerah-daerah dimana benda-benda kecil dan rintangan bahaya mungkin
ditemukan, atau survei untuk keperluan investigasi.
b. Orde satu
Orde satu survei hidrografi diperuntukkan bagi pelabuhan-pelabuhan, alur
pendekat, haluan yang dianjurkan, alur navigasi dan daerah pantai dengan lalu lintas
komersial yang padat. Kedalaman di bawah laut memiliki luas cukup memadai dan
kondisi geofisik dasar lautnya tidak begitu membahayakan kapal (misalnya lumpur
atau pasir).
27
Survei orde satu berlaku di daerah dengan kedalaman kurang dari 100 m. Pada
daerah daerah ini, kedalaman sampai dengan 40 m. Benda-benda dengan ukuran
lebih besar dari 2 m2, atau pada kedalaman lebih dari 40 m, benda-benda dengan
ukuran 10% dari kedalaman harus dapat digambarkan oleh peralatan perum yang
digunakan.
Pembagian orde I dibagi menjadi orde Ia dan orde Ib. Perbedaan antara orde Ia
dan Ib terletak pada spesifikasi yang dibutuhkan dalam standar pengukuran
hidrografi.
c. Orde dua
Orde dua survei hidrografi diperuntukkan di daerah dengan kedalaman kurang
dari 200 m yang tidak termasuk di dalam orde khusus maupun orde satu. Gambaran
batimetri secara umum sudah mencukupi untuk meyakinkan bahwa tidak terdapat
rintangan di dasar laut yang akan membahayakan tipe kapal yang lewat atau bekerja
di daerah tersebut.
Kriteria penggunaannya di bidang kelautan, sangat beraneka ragam, dimana orde
hidrografi yang lebih tinggi tidak dapat diberlakukan. Pemeriksaan dasar laut
mungkin diperlukan pada daerah-daerah tertentu dimana karakteristik dasar air dan
resiko adanya rintangan berpotensi membahayakan kapal
I.8.7. Uji Kualitas Data Pemeruman
Pada data MBES pengujian kualitas data dilakukan pada daerah yang
bertampalan pada masing-masing lajur. Data MBES pengujian kualitas data
dilakukan menggunakan standar IHO untuk menguji tingkat kepercayaan 95%
dengan persamaan I.7 sebagai berikut:
√𝑎2 + (𝑏 𝑥 𝑑)2 ………………………………………………………. (I.7)
Dalam hal ini:
a : kesalahan independen,
b : faktor kesalahan kedalaman yang dependen,
28
d : kedalaman rata-rata,
(b xd) : kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan yang
dependen).
Konstanta a dan b yang digunakan dalam persamaan tersebut harus
disesuaikan dengan orde survei yang telah diatur oleh IHO.
Tabel I.1. Konstanta ketelitian kedalaman
Orde Spesial 1a 1b 2
Konstanta a = 0,25 a = 0,5 a = 0,5 a = 1,0
b = 0,0075 b = 0,013 b = 0,013 b = 0,023
(Sumber: IHO SP- 44 2008)
Berdasarkan standar IHO SP-44 tahun 2008, uji kualitas dilakukan dengan
mengambil 40 pasang sampel acak pada area pertampalan dua lajur yang
berdekatan. Sampel yang digunakan merupakan sampel minimal pada uji statistik
menggunakan tabel z.
Sampel merupakan dua titik beda lajur yang berdekatan tersebut yaitu Hn dan
Hn-1 diasumsikan memiliki kedalaman yang sama. Kemudian dicari selisih antara
Hn dan Hn-1, dari selisih tersebut dicari nilai rata-rata dan rata-rata absolut,
kemudian nilai standar deviasinya. Pada persamaan (I.8) disajikan persamaan untuk
rata-rata dan persamaan (I.9) adalah persamaan standar deviasi.
a. Rata-rata
Ĥ = ∑(𝐻𝑛− 𝐻𝑛−1)
𝑛…………………………………..…………………(I.8)
b. Standar deviasi
S = √∑(𝐻𝑖− Ĥ)2
𝑛−1…………………………………...………………… (I.9)
Dalam hal ini nilai:
S : standar deviasi,
29
Hn : kedalaman lajur 2,
Hn-1 : kedalaman lajur 1,
Ĥ : rata-rata,
Hi : beda nilai kedalaman antara lajur 1 dan lajur 2,
n : banyaknya sampel.
Kemudian dihitung nilai kesalahan beda kedalaman dengan tingkat
kepercayaan 95% yang mengacu pada IHO SP-44 tahun 2008 yaitu sebesar 1,96 x
S. Kualitas di uji berdasarkan hasil dari nilai kesalahan beda kedalaman tersebut,
jika hasilnya masih dibawah toleransi maka hasil tersebut dapat diterima.
I.8 Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dari penelitian sejenis dan merujuk pada teori
yang ada maka hipotesis dari penelitian ini yaitu;
1. Nilai kecepatan rambat gelombang pada wilayah Selat Sagewin dan Teluk Kabui
adalah 1500 m/dt dengan nilai residual 0 m. Nilai tersebut merupakan nilai yang
digunakan pada kondisi ideal perairan yaitu kondisi salinitas, temperatur, dan
tekanan yang memiliki nilai perubahan tidak signifikan. Nilai yang dianggap
tepat dapat digunakan untuk mengkoreksi nilai kesalahan kecepatan rambat
gelombang akustik pada wilayah tersebut.
2. Pengaruh kesalahan kecepatan gelombang akustik mengakibatkan hasil
pengukuran tidak menunjukkan topografi yang sebenarnya dan kedalaman yang
sebenarnya serta tidak diterima hasil pengukuran dengan standar IHO.
3. Cara koreksi paling akurat yang digunakan untuk kecepatan gelombang akustik
adalah menggunakan nilai SVP pada pengukuran karena nilai SVP yang sudah
benar yaitu 1500 m/dt dengan residual 0 m serta memudahkan dalam pengolahan
data MBES.