25
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permintaan energi termasuk energi listrik di Indonesia cenderung meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Berdasarkan data statistik dari PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), sejak tahun 2008 permintaan akan energi listrik terus meningkat dengan rata-rata 7,5% dari tahun ke tahun. Dalam rangka memenuhi permintaan listrik di berbagai daerah maka diperlukan pembangunan jaringan listrik mulai dari pembangunan Gardu Induk (GI) sebagai sumber tenaga listrik maupun saluran transmisi sebagai media distribusi listrik. Salah satu program yang akan dilaksanakan PT.PLN adalah rencana pembangunan Gardu Induk di Ketahun beserta jaringan transmisinya sebesar 70 kV mulai dari Gardu Induk Ketahun sampai Giri Mulya Kabupaten Bengkulu Utara. Rencana pembangunan program ini tentunya membutuhkan informasi perkiraan biaya. Perkiraan biaya ini dapat dilakukan salah satunya melalui optimasi berdasarkan informasi-informasi yang terkait seperti panjang jalur, jumlah menara, tipe menara, panjang penghantar dan harga perkiraan besarnya pembangunan menara dan penghantar. Penelitian ini menitikberatkan optimasi biaya pembangunan saluran transmisi berupa Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 70 kV Gardu Induk Ketahun hingga Giri Mulya. Salah satu metode optimasi yang menarik untuk diterapkan dalam penentuan perkiraan biaya untuk pembangunan jalur transmisi ini yaitu metode programma linear. Menurut Martin (1969), pada metode programma linear nilai dari suatu fungsi dapat dimaksimumkan maupun diminimumkan. Proses memaksimumkan maupun meminimumkan fungsi ini didasarkan pada kendala yang secara fungsional diwujudkan dalam persamaan syarat batas. Adapun nilai minimum maupun maksimum secara fungsional diwujudkan dalam persamaan fungsi tujuan. Hannuksela (2011) melakukan penelitian mengenai estimasi perhitungan biaya untuk pembangunan saluran transmisi seperti pengadaan material, komponen transmisi, dan lainnya.. Namun pada penelitian tersebut kondisi topografi tidak

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79167/potongan/S1-2015... · pembangunan Gardu Induk di Ketahun beserta jaringan transmisinya sebesar

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Permintaan energi termasuk energi listrik di Indonesia cenderung meningkat

pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk.

Berdasarkan data statistik dari PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), sejak tahun

2008 permintaan akan energi listrik terus meningkat dengan rata-rata 7,5% dari tahun

ke tahun. Dalam rangka memenuhi permintaan listrik di berbagai daerah maka

diperlukan pembangunan jaringan listrik mulai dari pembangunan Gardu Induk (GI)

sebagai sumber tenaga listrik maupun saluran transmisi sebagai media distribusi

listrik. Salah satu program yang akan dilaksanakan PT.PLN adalah rencana

pembangunan Gardu Induk di Ketahun beserta jaringan transmisinya sebesar 70 kV

mulai dari Gardu Induk Ketahun sampai Giri Mulya Kabupaten Bengkulu Utara.

Rencana pembangunan program ini tentunya membutuhkan informasi perkiraan

biaya. Perkiraan biaya ini dapat dilakukan salah satunya melalui optimasi

berdasarkan informasi-informasi yang terkait seperti panjang jalur, jumlah menara,

tipe menara, panjang penghantar dan harga perkiraan besarnya pembangunan menara

dan penghantar. Penelitian ini menitikberatkan optimasi biaya pembangunan saluran

transmisi berupa Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 70 kV Gardu Induk

Ketahun hingga Giri Mulya.

Salah satu metode optimasi yang menarik untuk diterapkan dalam penentuan

perkiraan biaya untuk pembangunan jalur transmisi ini yaitu metode programma

linear. Menurut Martin (1969), pada metode programma linear nilai dari suatu fungsi

dapat dimaksimumkan maupun diminimumkan. Proses memaksimumkan maupun

meminimumkan fungsi ini didasarkan pada kendala yang secara fungsional

diwujudkan dalam persamaan syarat batas. Adapun nilai minimum maupun

maksimum secara fungsional diwujudkan dalam persamaan fungsi tujuan.

Hannuksela (2011) melakukan penelitian mengenai estimasi perhitungan biaya

untuk pembangunan saluran transmisi seperti pengadaan material, komponen

transmisi, dan lainnya.. Namun pada penelitian tersebut kondisi topografi tidak

2

menjadi parameter dalam perhitungan biaya. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan

untuk mengetahui estimasi total biaya yang dibutuhkan pada pengadaan jalur

transmisi berdasarkan kondisi topografi menggunakan programma linear. Penelitian

ini menggunakan kedua persamaan pada programma linear dengan fungsi tujuan

dibuat minimum karena besarnya biaya untuk pembangunan jalur transmisi ini

diharapkan seminimal mungkin, sedangkan syarat batas yang digunakan dalam

optimasi berupa jarak antar menara sebagai konstanta pengali dan jumlah menara

sebagai variabelnya serta total jarak pada setiap kelas kelerengan sebagai nilai

persamaan syarat batas. Semua persamaan optimasi ini diselesaikan dengan Metode

Simplex.

I.2. Rumusan Masalah

Terdapat 2 rumusan masalah yang disampaikan dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana mendapatkan jumlah menara dan jumlah panjang penghantar

dengan menyusun model optimasi untuk memperkirakan besarnya biaya

yang dibutuhkan pada pembangunan jalur tansmisi SUTT 70 kV Ketahun -

Giri Mulya berdasarkan kondisi topografi menggunakan metode

programma linear.

2. Bagaimana menyelesaikan model optimasi yang telah disusun ini dengan

menggunakan programma linear yang diselesaikan dengan metode simplex.

I.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan optimasi jumlah menara transmisi,

panjang penghantar transmisi, dan total biaya untuk pengadaan transmisi SUTT 70

kV dengan menggunakan programma linear berbasiskan kondisi kelerengan

topografi di sepanjang jalur transmisi SUTT 70 kV dari kecamatan Ketahun hingga

kecamatan Giri Mulya Propinsi Bengkulu.

I.4. Manfaat

Penelitian ini diharapkan mempunyai beberapa manfaat untuk peneliti maupun

praktisi. Manfaat penelitian ini untuk peneliti diharapkan dapat digunakan sebagai

referensi apabila akan dilakukan penelitian yang serupa dan juga dapat dijadikan

3

sebagai salah satu proses pembelajaran dalam penggunaan metode programma linear.

Sedangkan manfaat penelitian ini untuk praktisi diharapkan dapat digunakan untuk

pertimbangan dan pengambilan keputusan dalam pembangunan jalur transmisi SUTT

70 kV.

I.5. Batasan Masalah

Batasan-batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1. Pemodelan untuk penentuan jumlah menara, panjang penghantar, dan total

biaya pembangunan jalur tranmisi didasarkan pada data kelerengan

sepanjang jalur transmisi.

2. Data kelerengan sepanjang jalur transmisi diturunkan berdasarkan peta

situasi sepanjang jalur tranmisi.

3. Data harga tiap tipe menara dan penghantar diasumsikan berdasarkan studi

pustaka Hannuksela (2011) untuk penentuan total biaya pembangunan jalur

transmisi.

4. Penentuan kelas-kelas kelerengan jalur transmisi yang akan digunakan

sebagai dasar pemodelan dibuat dengan mengacu kelas-kelas kelerengan

pada USSSM.

5. Model optimasi diselesaikan dengan menggunakan metode simplex.

6. Aspek pembiayaan yang dioptimasi hanya meliputi pembiayaan pengadaan

pembangunan jalur transmisi berupa pengadaan menara dan penghantar

sedangkan aspek biaya pemetaan tidak dilibatkan, hanya digunakan sebagai

data.

I.6. Tinjauan Pustaka

Penelitian yang telah dilakukan oleh Heckman (2006) mengenai optimasi yang

menggunakan metode simplex menyimpulkan bahwa metode tersebut dapat

digunakan untuk mencari nilai yang optimal dalam suatu persamaan yang linier.

Penelitian tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Kaviari (2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Kaviari (2002) terkait penggunaan metode simplex

untuk optimasi. Pada penelitian tersebut, Kaviari menyimpulkan bahwa metode

programma linier yaitu metode simplex memberikan kemudahan untuk mencari

4

bobot pengukuran optimal pada persoalan optimasi desain orde dua yang memenuhi

syarat biaya minimal dan syarat ketelitian. Sementara Szabo dan Kovacs (2008)

menyimpulkan bahwa metode simplex membutuhkan 2n – 3n iterasi dengan n adalah

jumlah variabel.

Adapun penelitian yang telah dilakukan Lumantono dkk. (2012) mengenai

jalur transmisi SUTT 150 kV di sekitar Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya,

menjelaskan bahwa keadaan kondisi permukaan tanah yang tidak rata akan

menyebabkan tiang menara mempunyai perbedaan tinggi antara satu dengan yang

lainnya. Pada kondisi seperti ini perhitungan lendutan diklasifikasikan menjadi dua

jenis berdasarkan kondisi menara penyangga pada saluran penghantar, yaitu menara

yang tingginya sama dan menara yang tingginya berbeda. Salah satu hasil dari

penelitian ini yaitu perhitungan lendutan transmisi SUTT 150 kV untuk dua menara

yang sama tinggi sebesar 1,4 m – 6,683 m dan untuk dua menara yang berbeda tinggi

(h = 1m) antara 0,9 m – 6,2 m.

Migiantoro (2002) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa semakin

panjang jarak span diantara dua menara, maka semakin tinggi nilai lendutan yang

terjadi. Pada menara ke-30 yang merupakan span dengan jarak terpanjang (482.1 m),

nilai lendutan mencapai nilai maksimum yaitu 19.00015 m untuk konduktor

Alluminium Concuctor Steel Reinforced (ACSR).

Penentuan jumlah menara berdasarkan panjang jalur transmisi pernah

dilakukan oleh Kusnadi (2008) dalam penelitiannya mengenai sistem pakar

perencanaan jalur saluran transmisi dan dimensi pondasi. Kusnadi (2008) merancang

bangun desain dan prototipe sistem pakar pada SUTT. Salah satu yang

diperhitungkan dalam prototipe tersebut adalah jumlah menara yang didapatkan dari

panjang jalur transmisi SUTT dibagi dengan jarak antar menara yang minimal

menurut Standar Perusahaan Listrik Negara (SPLN) kemudian ditambahkan dengan

satu konstanta.

Standar Nasional Indonesia (SNI) 04-6918-2002 mengenai Ruang bebas dan

Jarak Bebas Minimum pada Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan Saluran

Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) mempunyai dasar penetapan jarak gawang

dasar. Jarak gawang dasar atau jarak antar menara minimum yang diperbolehkan

untuk SUTT 66 kV untuk menara baja adalah sebesar 300m.

5

Penelitian mengenai estimasi perhitungan biaya untuk pembangunan saluran

transmisi pernah dilakukan oleh Hannuksela (2011). Penelitian tersebut bertujuan

memodelkan biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan material, pengadaan

komponen transmisi, dan pembangunan saluran transmisi tegangan tinggi.

Perhitungan biaya tersebut mempertimbangkan perbedaan tipe menara, penghantar,

kabel optis bawah tanah, dan komponen lain yang lebih kecil seperti insulator dan

spacer.

Penelitian yang dilakukan oleh Heckman (2006), Kaviari (2002), serta Szabo

dan Kovacs (2008) berisi tentang penggunaan metode simplex untuk mencari nilai

optimal dan proses perhitungan. Penelitian tersebut dapat digunakan sebagi acuan

dalam proses perhitungan yang dilakukan, sedangkan penelitian lainnya yang

ditinjau berisi tentang pengaruh beda tinggi dan jarak terhadap lendutan. Adapun

penelitian yang dilakukan Hannuksela (2011) digunakan sebagai bahan pustaka

dalam penentuan pengadaan biaya pada penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut

digunakan sebagai rujukan dalam pertimbangan penentuan jarak antar menara, model

optimasi, serta perhitungan biaya pengadaan menara dan penghantar. Berdasarkan

penelitian-penelitian yang telah ditinjau ini maka dilakukan optimasi desain jalur

transmisi SUTT berdasarkan pengaruh topografi dengan menggunakan metode

simplex untuk mencari jumlah menara dan panjang penghantar yang optimal.

I.7. Landasan Teori

I.7.1. Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 70 kV

Menurut SNI 04-0225-2000 mengenai Persyaratan Umum Instalasi Listrik

(PUIL) 2000, saluran transmisi adalah saluran listrik yang merupakan bagian dari

suatu instalasi, biasanya terbatas pada konstruksi udara. Secara umum terdapat dua

saluran transmisi yaitu saluran udara (overhead lines) dan saluran kabel tanah

(underground cable). Saluran udara menyalurkan tenaga listrik melalui kawat-kawat

yang dihubungkan antar menara atau tiang transmisi dengan perantara isolator-

isolator, sedangkan saluran kabel tanah menyalurkan tenaga listrik melalui kabel-

kabel yang ditanam dibawah permukaan tanah. Saluran transmisi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah saluran udara.

6

Berdasarkan besar tegangan listrik yang disalurkan, saluran transmisi udara

terbagi atas dua, yaitu:

1. Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT), mempunyai tegangan listrik di

atas 35 kV sampai dengan 230 kV.

2. Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), mempunyai tegangan

diatas 230 kV

Saluran transmisi terdiri dari empat komponen utama yaitu menara transmisi,

isolator gantung, kawat penghantar, dan kawat tanah. Keuntungan dari saluran udara

adalah mudah dalam perbaikan dan relatif lebih murah dalam pembangunan saluran

transmisi, namun kekurangan dari saluran udara adalah kondisi yang terpengaruh

cuaca dan faktor alam disekitarnya. Penelitian ini merupakan pembangunan saluran

transmisi untuk 70 kV sehingga saluran transmisi tersebut merupakan bagian dari

SUTT.

Menara transmisi merupakan struktur penopang saluran transmisi yang terbuat

dari berbagai material seperti baja, kayu, dan beton dan bisa berupa menara atau

tiang. Penggunaan material dalam pembuatan menara transmisi tergantung dari

penggunaannya. Menara yang terbuat dari baja biasa digunakan untuk SUTET

sedang tiang yang terbuat dari baja , beton, dan kayu umumnya digunakan di SUTT

dibawah 70 kV.

Penggunaan menara transmisi berbeda sesuai dengan fungsinya. Berikut adalah

jenis menara transmisi sesuai dengan fungsinya :

1. Dead end tower, yaitu menara akhir yang dipasang dekat Gardu Induk (GI).

2. Section tower, yaitu menara penyekat antar sejumlah menara penyangga

untuk memudahkan saat pembangunan (penarikan kawat)

3. Suspension tower, yaitu menara penyangga

4. Tension tower, yaitu menara penegang yang dipasang ketika jalur transmisi

belok

5. Transposision tower, yaitu menara penegang yang digunakan sebagai

tempat untuk melakukan perubahan posisi kawat

6. Gantry tower, menara berbentuk portal yang digunakan pada persilangan

antara dua jalur transmisi

7

7. Combined tower, menara yang digunakan oleh dua buah jalur transmisi

dengan tegangan yang berbeda

Menara yang digunakan jika jalur transmisi lurus akan berbeda dengan menara

yang digunakan jika jalur transmisi belok. Bahkan besar sudut belok suatu jalur

mempunyai jenis menara yang berbeda pula. Jenis menara yang dimaksud tersaji

dalam tabel dibawah ini :

Tabel I.1. Jenis menara SUTT 70 kV (PLN, 2007)

Jenis Menara Fungsi Sudut

AA Menara Penyangga 0° - 3°

BB Menara Penegang atau menara penyekat 3° - 20°

CC Menara Penegang 20° - 40°

DD Menara Penegang 40° - 60°

EE Menara Penegang 60° - 90°

FF Menara Penegang >90°

GG Menara Penegang untuk posisi kawat

I.7.2. Penghantar SUTT 70 kV

Penghantar merupakan salah satu dari komponen-komponen utama saluran

transmisi. Untuk saluran transmisi udara, penghantar yang digunakan adalah kawat

penghantar dengan jenis yang biasa digunakan adalah tembaga (Cu) atau aluminium

(Al). Menurut Hutauruk (1985) kawat penghantar aluminium terdiri dari berbagai

jenis sebagai berikut

1. AAC (All Aluminium Conductor) yaitu kawat penghantar yang sleuruhnya

terbuat dari aluminium

2. AAAC (All Aluminium Alloy Conductor) yaitu kawat penghantar yang

seluruhnya terbuat dari campuran aluminium

3. ACSR (Aluminium Conductor Steel Reinforced) yaitu kawat penghantar

aluminium berinti kawat baja

4. ACAR (Aluminium Conductor Alloy Reinforced) yaitu kawat penghantar

aluminium yang diperkuat dengan logam campuran

8

Tabel I.2. Penghantar ACSR (Hutauruk, 1985)

Ukuran

Nominal

Konstruksi

(Jumlah/Diameter

dalam mm)

Luas Penampang

Terhitung (mm²) Kuat Tarik

Minimum

(kg)

Diameter Luar (mm) Berat

(kg/km)

Tahanan

Listrik

(Ω/km)

Aluminium Baja Aluminium Baja Aluminium Baja

330 26/4,0 7/3,1 326,8 52,84 10.930 25,3 9,3 1.320 0,0888

330 54/2,8 7/2,8 332,5 43,11 10.290 25,2 8,4 1.260 0,0873

320 30/3,7 7/3,7 322,5 72,25 13.630 25,9 11,1 1.484 0,0900

290 30/3,5 7/3,5 288,6 67,35 12.170 24,5 10,5 1.328 0,101

290 54/2,6 7/2,6 286,7 37,16 8.964 23,4 7,8 1.086 0,101

250 26/3,5 7/2,72 250,1 40,68 8.670 22,16 8,16 1.013 0,116

240 30/3,2 7/3,2 241,3 56,29 10.210 22,4 9,6 1.110 0,120

210 26/3,2 7/2,49 209,1 34,09 7.260 20,27 7,47 847,0 0,139

200 30/2,9 7/2,9 198,2 46,24 8.620 20,3 8,7 911,7 0,148

170 26/2,9 7/2.26 171,7 28,08 6.010 18,38 6,78 696,2 0,169

160 30/2,6 7/2,6 159,3 37,16 6.990 18,2 7,8 732,8 0,182

140 26/2,6 7/2,02 138,0 22,44 4.860 16,46 6,06 558,1 0,210

120 30/2,3 7/2,3 124,7 29,09 5.550 16,1 6,0 573,7 0,233

120 12/3,5 7/3,5 115,5 67,35 9.590 17,5 10,5 848,1 0,251

110 26/2,3 7/1,79 108,0 17,61 3.960 14,57 5,37 437,0 0,269

Untuk SUTT, yang mempunyai jarak antar dua menara yang jauh (hingga ratusan

meter), dibutuhkan kuat tarik yang lebih tinggi. Untuk itu biasanya digunakan kawat

penghantar ACSR. Penghantar ACSR untuk penelitian pengadaan jalur transmisi

SUTT 70 kV ini menggunakan penghantar ACSR dengan ukuran nominal 210 sesuai

dengan yang telah ditetapkan oleh PLN Pusenlis.

I.7.3. Lendutan (sag)

Penghantar yang direntangkan antara dua menara transmisi mempunyai bentuk

lengkung tertentu (catenary curve) yang diakibatkan adanya pengaruh gravitasi dan

dinyatakan dalam sebuah persamaan. Arismunandar dan Kuwahara (2004)

menyebutkan ada dua persamaan untuk menghitung nilai lendutan.

Lendutan untuk penghantar yang ditunjang oleh menara yang sama tinggi.

Karena menara didirikan sama tinggi, maka nilai lendutan didapat berdasarkan rumus

parabola

9

D =

.......................................................................................................... (I-1)

dengan:

D : Lendutan (m)

W : Berat konduktor per satuan panjang (kg/m)

S : Jarak antar menara (m)

T : Kuat tarik konduktor pada suhu 80°C (kg)

Lendutan untuk penghantar yang ditunjang oleh menara yang beda tinggi. Menara

yang tidak sama tinggi, lendutan yang miring dinyatakan dalam persamaan

(

)

.................................................................................. (I-2)

dengan:

D : Lendutan (m)

D0 : Besar lendutan yang diakibatkan karena perbedaan ketinggian (m)

H : Beda tinggi antara dua menara (m)

Panjang kabel yang didapat akibat pengaruh lendutan dapat ditulis dalam

persamaan

m .................................................................................. (I-3)

Giancoli (2001) menuliskan bahwa sebagian besar zat memuai ketika dipanaskan dan

menyusust ketika didinginkan. Besarnya pemuaian dan penyusutan tersebut

bervariasi tergantung dari jenis material. Perbedaan panjang yang diakibatkan karena

pemuaian ditulis dalam sebuah persamaan

................................................................................................ (I-4)

dengan keterangan

ΔL : Perubahan panjang

α : Konstanta pembanding atau koefisien muai panjang

L0 : Panjang awal

ΔT : Perubahan suhu

Adapun panjang akhir yang didapat setelah terjadi pemuaian ditulis dalam persamaan

berikut

....................................................................................... (I-5)

Lt : Panjang akhir yang didapat setelah terjadi pemuaian

10

Konstanta pembanding atau koefisien muai panjang (α ) suatu material berbeda satu

sama lain seperti yang tersaji pada Tabel I.3.

Tabel I.3 Besar konstanta pembanding atau koefisien muai panjang (Giancoli, 2001)

Zat Koefisien muai panjang α(C0)-1

Padat

Aluminium 25 x 10-6

Kuningan 19 x 10-6

Besi atau baja 12 x 10-6

Timah putih 29 x 10-6

Kaca (pyrex) 3 x 10-6

Kaca (biasa) 9 x 10-6

Kwarsa 0,4 x 10-6

Beton atau bata ≈ 12 x 10-6

Marmer 1,4 – 3,5 x 10-6

Berdasarkan Standar Perusahaan Listrik Begara (SPLN) 41-7-1981 mengenai

Hantaran Aluminium Berpenguat Baja (ACSR), koefisien muai panjang pada

penghantar bergantung pada jumlah masing-masing kawat pada aluminium dan baja.

Koefisien muai panjang untuk konstruksi standar ACSR dapat dilihat pada Tabel I.4.

Tabel I.4. Koefisien muai panjang untuk konstruksi standar dari ACSR (SPLN 41-7-

1981)

Jumlah Kawat Koefisien Muai Panjang (Perhitungan)

Per oC Aluminium Baja

6 1 19,1 x 10-6

6 7 19,8 x 10-6

12 7 15,3 x 10-6

18 1 21,2 x 10-6

24 7 19,6 x 10-6

26 7 18,9 x 10-6

28 7 18,4 x 10-6

30 7 17,8 x 10-6

30 19 18 x 10-6

32 19 17,5 x 10-6

54 7 19,3 x 10-6

54 19 19,4 x 10-6

I.7.4. Survei dan pemetaan jalur transmisi SUTT 70 kV

Pemilihan jalur yang akan dilalui saluran transmisi merupakan bagian utama

dalam pembangunan jalur transmisi SUTT 70 kV. Untuk itu perlu diadakan survei

untuk memungkinkan pembangunan yang ekonomis dan dapat diandalkan baik

11

dilihat dari pembangunannya sendiri maupun untuk perawatan (Arismunandar dan

Kuwahara, 2004). Salah satu kegiatan survei yang dilakukan adalah survei topografi.

Survei topografi merupakan pemetaan permukaan bumi fisik dan kenampakan hasil

budaya manusia (Basuki, 2006). Hasil dari survei topografi adalah peta topografi

atau biasa disebut sebagai peta situasi.

Peta situasi menyajikan unsur relief permukaan bumi dalam bentuk garis

kontur skala peta berkisar antara 1:500 hingga 1:250.000 dengan interval kontur

antara 0,25-100 meter (Basuki, 2006). Menurut Fryer et.al (1984) selain relief

permukaan bumi, peta topografi juga menyajikan fitur-fitur buatan manusia seperti

jalan, bangunan, jembatan, dan lainnya. Peta topografi dibuat dan digunakan oleh

insinyur untuk menentukan lokasi yang tepat dan ekonomis untuk jalan raya, rel

kereta api, kanal, jalur pipa, jalur transmisi, reservoir, dan lainnya (Fryer et.al, 1984).

Metode survei topografi dapat dilakukan dengan menggunakan fotogrametri,

pengukuran langsung di lapangan, atau kombinasi keduanya. Baik kedua metode

tersebut, syarat pertama dari kegiatan survei topografi adalah penggunaan kerangka

kontrol yang baik. Dalam kegiatan survei topografi, kerangka kontrol terdiri atas dua

kerangka yaitu kerangka kontrol horizontal dan kerangka kontrol vertikal.

Kerangka kontrol horizontal ditentukan oleh dua atau tiga titik di permukaan

bumi yang tetap secara posisi horizontal baik dari jarak maupun arah (Fryer et.a,

1984). Titik tersebut merupakan dasar untuk menentukan posisi objek di permukaan

bumi. Titik kontrol biasanya didapatkan dari pengukuran trilaterasi, pengukuran

triangulasi, pengukuran menggunakan bantuan satelit, dan lainnya. Sedangkan

kerangka kontrol vertikal ditentukan dari titik kontrol tinggi terdekat dari area

pengukruan. Titik kontrol tinggi menjadi dasar untuk mengoreksi tinggi permukaan

bumi. Titik kontrol tinggi tersebut digunakan untuk pengukuran beda tinggi pada

titik lainnya dengan menggunakan metode trigonometrik, takhimetrik, sipat datar,

atau dengan metode barometrik.

Pada penelitian ini, pengukuran survei topografi yang dilakukan merupakan

pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan titik kontrol horizontal yang

diukur menggunakan alat GPS dengan bantuan satelit GPS. Datum referensi

horizontal yang digunakan adalah datum WGS 1984. Sedangkan untuk titik kontrol

vertikal menggunakan tinggi dari hasil pengukuran GPS sehingga datum referensi

12

vertikal yang digunakan adalah datum WGS 1984. Titik kontrol tersebut kemudian

digunakan untuk pengukuran objek-objek di permukaan bumi mulai dari objek alami

hingga objek buatan manusia. Pengukuran objek tersebut didapatkan berdasarkan

survei pemetaan topografi langsung dilapangan secara otomatis menggunakan alat

Total Stasion.

Total Station merupakan teodolit elektronis yang digabung atau dikombinasi

dengan alat Pengukur Jarak Elektronis (PJE) dan pencatat data (kolektor) elektronis

menjadi Total Station (Basuki, 2006). Alat ini dapat membaca dan mencatat sudut

horizontal dan vertikal bersama-sama dengan jarak miringnya. Bahkan alat ini juga

dilengkapi dengna mikroprosesor, sehingga dapat melakukan bermacam-macam

operasi perhitungan matematis seperti merata-rata hasil sudut ukuran dan jarak-rajak

ukuran, menghitung koordinat (x, y, dan z), menentukan ketinggian objek dari jauh,

menghitung jarak antara objek-objek yang diamati, koreksi atmosfer dan koreksi alat,

dan lain-lain (Basuki, 2006).

Pengukuran menggunakan Total Station menggunakan prinsip perambatan

gelombang elektromagnetik yang memungkinkan untuk melakukan pengukuran

dengan ketelitian yang tinggi dan jangkauan yang cukup jauh. Adapun konsep

pengukuran jarak pada Total Station adalah suatu sinyal gelombang elektromagnetik

yang dipancarkan dari suatu alat yang dipasang pada stasiun di ujung suatu garis

yang akan diukur jaraknya kemudian di ujung lain dari garis tersebut dipasang

pemantul atau reflektor. Sinyal tersebut dipantulkan kembali ke pemancar waktu

lintas perjalanan sinyal pergi-pulang diukur oleh pemancar. Karena kecepatan sinyal

diketahui dengan teliti maka jarak lintasan dapat diketahui pula (Basuki, 2006).

Secara matematis, konsep pengukuran jarak pada Total Station dituliskan dalam

persamaan berikut

.......................................................................................................... (I-6)

dengan keterangan

D : Jarak garis yang diukur (Lintasan)

t : Waktu lintasan sinyal pergi-pulang

v : Kecepatan sinyal

13

Total Station dapat digunakan untuk mengukur sudut, secara koinsiden optis dengan

sensor foto elektronis menggunakan scanning dan membaca lingkaran dalam mode

derajat, grade maupun radian. Konsep yang digunakan untuk pengukuran detil

hingga mendapatkan koordinat (x,y,z) pada Total Station adalah dengan

menggunakan metode koordinat kutub. Pada metode ini, posisi detil ditentukan

dengan komponen azimuth (sudut arah), jarak, dan beda tinggi dari titik ikat (Basuki,

2006). Metode ini disebut juga dengan takhimetri, yaitu jarak detil ditentukan dengan

cara elektronis, beda tinggi ditentukan dengan bacaan sudut vertikal atau sudut

miring, dan arah ditentukan dengan sudut horizontal. Secara matematis, posisi titik

detil didapatkan melalui persamaan berikut (Basuki, 2006):

Xa = Xp + dpa sin αpa ..................................................................................... (I-7)

Ya = Yp + dpa cos αpa ..................................................................................... (I-8)

Za = Zp + Δhpa ............................................................................................... (I-9)

dalam hal ini

a : Titik detil

p : Titik kontrol

d : Jarak horizontal

Δh : Beda tinggi

αpa : Azimuth sisi pa

Pada penelitian ini, peta situasi dibuat dalam bentuk profil memanjang.

Kiessiling et.al (2003) mengemukakan bahwa profil memanjang tersebut digunakan

untuk mengetahui perbedaan ketinggian di permukaan tanah mulai dari titik awal

jalur sampai titik akhir jalur dan untuk menentukan lokasi menara dan tinggi

menara. Adapun pengertian dari profil menurut Ghilani et.al (2008) adalah data yang

memberikan informasi mengenai ketinggian pada titik-titik yang telah diukur di

sepanjang jalur. Informasi mengenai ketinggian dari sebuah profil digunakan untuk

menentukan kelerengan (slope) dalam suatu pekerjaan konstruksi, menghitung

volume dalam suatu pekerjaan, dan untuk menentukan secara detil ketinggian untuk

area yang digali maupun yang ditimbun (Frics, 1980)

Kelerengan (slope) dapat dinyatakan dalam bentuk kemiringan (gradient) atau

persentase antara jarak vertikal dengan jarak horizontal. Van Zuidam (1985)

menyatakan gradient kelerengan dengan persamaan berikut

14

.................................................................................... (I-10)

dengan keterangan

x : Gradient kelerengan

VD : Vertical Distance atau jarak vertikal

HD : Horizontal Distance atau jarak horizontal

United States Soil System Management (USSSM) membagi kelas kelerengan

berdasarkan nilai gradient. Pembagian kelas kelerengan tersebut tersaji pada Tabel

I.5.

Tabel I.5. Pembagian kelas kelerengan berdasarkan USSSM

I.7.5. Desain lendutan SUTT 70 kV

Lendutan mempunyai arti penting untuk penggunaan SUTT dalam jangka

panjang. Pada SNI 04-6918-2002, besar lendutan digunakan untuk penentuan jarak

bebas minimum vertikal dari penghantar ke objek tertinggi yang ada pada permukaan

tanah. Jarak bebas minimum vertikal tidak boleh kurang dari jarak yang telah

ditetapkan demi keselamatan manusia, makhluk hidup dan benda lainnya serta

keamanan Operasi SUTT. Oleh karena itu, desain lendutan merupakan pekerjaan

yang tidak boleh dilewatkan pada tahapan pembangunan saluran transmisi.

Untuk merancang lendutan, hal yang harus diperhatikan adalah jenis

penghantar, jarak antar menara, dan tinggi menara. Jenis penghantar dan jarak antar

menara digunakan untuk menentukan besar lendutan, sedangkan tinggi menara

digunakan untuk pertimbangan jarak bebas minimum vertikal. Secara geometri,

posisi antara menara, penghantar, dan objek di permukaan tanah tersaji pada Gambar

(I.1). Adapun geometri penghantar yang mengalami lendutan tersaji pada Gambar

(I.2) dan Gambar (I.3) yang menunjukan lendutan penghantar antar dua menara.

Kelas Rentang Gradient (%) Keterangan

A 0-3 Datar – Hampir Datar

B 3-7 Sangat Landai

C 7-13 Landai

D 13-20 Agak Curam

E 20-55 Curam

F 55-140 Sangat Curam

G >140 Terjal

15

Gambar I.1. Ruang Bebas SUTT 66 kV dan 150 kV menara

(Sumber gambar : SNI 04-6918-2002)

Adapun keterangan dari Gambar I.1. adalah sebagai berikut:

: Penampang melintang ruang bebas pada tengah jarak antara menara

L : Jarak dari sumbu vertikal menara ke penghantar

H : Jarak horizontal akibat ayunan dari penghantar

I : Jarak bebas impuls petir

C : Jarak bebas minimum vertikal

D : Jarak lendutan terendah ditengah antara dua menara

Lendutan untuk kawat tanah dihitung 80% dari lendutan penghantar fase pada

suhu harian maksimum 40oC

Gambar I.2. Desain lendutan untuk tiang pada ketinggian yang sama

(Sumber gambar : Standar Perusahaan Listrik Negara 12l:1996)

16

Gambar I.3. Desain lendutan untuk menara pada ketinggian yang berbeda

(Sumber gambar : Standar Perusahaan Listrik Negara 12l:1996)

Adapun keterangan gambar untuk Gambar I.2. dan Gambar I.3. adalah sebagai

berikut:

D : Lendutan miring (oblique)

Do : Lendutan datar

S : Jarak rentang atau jarak antar menara

SA : Jarak rentang dari menara A hingga titik berat dari lendutan

SB : Jarak rentang dari menara B hingga titik berat dari lendutan

C : Jarak bebas vertikal dari permukaan tanah hingga lendutan

T : Kuat tarik penghantar

TA : Kuat tarik penghantar dari menara A

TB : Kuat tarik penghantar dari menara B

M : Titik tengah antara menara A dan Menara B

H : Beda tinggi antar menara

Menentukan jumlah menara dapat dilakukan dengan menggunakan desain

lendutan atau desain sagging. Berdasarkan Network Lines Standard Guidelines For

Overhead Line Design dari Ergon Energy, desain sagging diselesaikan dengan

menghitung rasio antara weight span dan rata-rata dari dua wind span yang

berdekatan. Weigh span adalah jarak titik terendah lendutan penghantar antar dua

segmen sedangkan wind span merupakan istilah lain dari segmen atau jarak antar

menara. Rasio antara weight span dan wind span harus sesuai dengan rasio yang

telah ditetapkan oleh pemberi pekerjaan. Berdasarkan rasio tersebut maka didapatkan

17

jumlah menara pada jalur transmisi. Secara grafis, implementasi desain sagging

tersaji pada Gambar I.4.

Gambar I.4. Weight span dan wind span pada jalur transmisi.

(Sumber gambar : Ergon Energy Reference P56M02R09 ver 1)

Pada gambar I.4. terdapat dua penghantar dalam satu segmen atau wind span

yang merupakan kondisi penghantar pada suhu 0o dan pada suhu 50

o. Weight span

pada suhu 50o lebih panjang karena penghantar mengalami pemuaian.

I.7.6. Programma Linear

Menurut Martin (1969) programma linier adalah suatu metode matematika

yang digunakan untuk memecahkan persoalan optimasi atau dengan kata lain

progrmma linier adalah suatu cara pemecahan persoalan untuk membuat nilai suatu

fungsi menjadi maksimum atau minimum dengan memperhatikan kendala-kendala

yang ada. Fungsi yang dimaksimumkan atau diminimumkan disebut sebagai fungsi

tujuan (objective function), sedangkan fungsi-fungsi yang menyatakan kendala

disebut sebagai syarat batas (constraint). Jika suatu persoalan optimasi mempunyai

bentuk fungsi tujuan dan syarat batas yang linier maka programma matematika yang

digunakan disebut programma linier. Menurut Martin (1969) model matematis

fungsi tujuan adalah sebagai berikut.

Z = f(x1, x2, x3,...,xn) ................................................................................... (I-11)

Z : Nilai maksimum atau minimum dari tujuan yang kan diperoleh

f : Fungsi dari persamaan tujuan

x1, x2,…,xn : Variabel dari fungsi tujuan

18

Adapun persaman syarat batas adalah sebagai berikut :

Gi (x1, x2, x3,...,xn) = bi ................................................................................ (I-12)

Gi : Fungsi syarat batas

x1, x2,….xm : Variabel dari syarat batas

bi : Nilai dari persamaan syarat batas

i : 1,... , n

Programma linear terdiri atas persamaan dan pertidaksamaan. Pada penelitian

kali ini model optimasi berupa persamaan linear. Persamaan linear adalah sebuah

model dengan variabel dalam bentuk pangkat pertama dan bukan merupakan

argument dari fungsi-fungsi trigonometri, logaritma, atau eksponensial dan konstanta

dalam bilangan real tidak nol (Anton, Rorres, 2004). Secara umum, variabel dan

konstanta dapat dinyatakan dalam bentuk

a1x1 + a2x2 + a3x3 + … + anxn = b ............................................................... (I-13)

a1…an : Konstanta variabel persamaan linear

x1...xn : Variabel yang akan ditentukan nilainya

b : Nilai dari sebuah persamaan

Apabila persamaan (I-13) terdiri dari satu variabel maka persamaan tersebut dapat

diselesaikan dengan menggunakan metode substitusi. Contoh dari penggunaan

metode substitusi adalah sebagai berikut

Contoh kasus

Tentukan nilai x dari persamaan

3x + 7 = -8

Cara penyelesaian

Menganti nilai x dengan -5 dan mengeliminasi setiap ruas pada persamaan

3x + 7 = -8

3(-5) + 7 = -8

-15 + 7 = -8

-8 = -8 (benar)

I.7.7. Metode simplex

Metode simplex adalah suatu metode yang secara matematika dimulai dari

suatu pemecahan dasar yang layak ke pemecahan dasar layak lainnya dan cara ini

19

dilakukan berulang-ulang (dengan jumlah ulangan yang terbatas) sehingga akhirnya

tercapai suatu pemecahan dasar yang optimum. Metode simplex digunakan untuk

memecahkan persoalan programma linier yang mempunyai variabel lebih dari dua

atau tiga variabel. Penggunaan perangkat elektronis komputer membuat metode

simplex dapat menyelesaikan persoalan programma linier hingga ratusan variabel

dan kendala (Martin, 1969).

Salah satu ketentuan dalam perhitungan menggunakan metode simplex adalah

harus mengkonversi semua kendala pertidaksamaan menjadi sebuat persamaan

dengan menambahkan variabel slack yang tidak akan memengaruhi fungsi tujuan.

Programma linier dengan persamaan yang mengandung kendala dapat dinyatakan

dalam bentuk matriks (Martin, 1969).

Programma linier dengan persamaan syarat batas mempunyai dua persoalan

yaitu memaksimumkan fungsi tujuan atau meminimumkan fungsi tujuan. Secara

matematis fungsi tujuan maksimum dapat dilihat pada persamaan berikut :

∑ ............................................................................................ (I-14)

Syarat batas untuk fungsi tujuan maksimum adalah sebagai berikut :

∑ ....................................................................................... (I-15)

Adapun fungsi tujuan minimum secara matematis dapat dilihat pada persamaan

berikut :

∑ ...................................................................................... (I-16)

Syarat batas untuk fungsi tujuan minimum adalah sebagai berikut

∑ ....................................................................................... (I-17)

dengan

z : nilai dari fungsi tujuan

al, b, c : konstanta

xlj ≥ 0 untuk j : 1, ..., n dan i : 1,... , m

Proses dengan metode ini dilakukan secara berulang-ulang dengan

menggunakan tableu mulai dari tableu pertama yang memberikan pemecahan dasar

awal yang layak sampai dengan pemecahan akhir yang memberikan jawaban yang

optimal. Tableu merupakan istilah dari matriks yang mendeskripsikan persamaan

20

syarat batas dan fungsi tujuan. Bentuk tableu simplex untuk persoalan programma

linier disajikan pada Tabel I.6 (Martin, 1969) :

Tabel I.6. Tableu metode simplex untuk programma linier (Martin, 1969)

Xst C

t

X0 C0 As Bs

C0T As - C

t

Keterangan :

Xst

: vektor baris yang berisikan semua variabel Xs, termasuk

variabel-variavel slack, surplus, dan buatan

Ct : vektor baris yang berisi semua konstanta variabel Xs pada

fungsi tujuan

X0 : vektor kolom yang berisi variabel slack dan buatan sebagai

dasar awal yang layak

C0 : vektor kolom yang berisi semua konstanta elemen vektor X0

pada fungsi tujuan

As : konstanta yang berasal dari syarat batas

C0T As – C

t : vektor baris hasil perkalian dan pengurangan matriks-matriks

tersebut

Bs : vektor kolom yang berisi konstanta pada ruas kanan

persamaan syarat batas

Secara garis besar tahapan penyelesaian suatu masalah menggunakan metode

simplex adalah sebagai berikut:

1. Menambahkan variabel slack untuk mengganti konstrain dalam persamaan

dan menulis keseluruhan variabel ke kiri dari tanda sama dengan dan

konstanta ke kanan tanda sama dengan

2. Menulis fungsi tujuan dengan ketentuan tidak sama dengan nol pada ruas kiri

tanda sama dengan (=) dan angka nol pada ruas kanan. Variabel yang

dimaksimumkan harus bernilai positif

3. Membuat inisial tableau simplex dengan membuat matriks dari persamaan

dan menempatkan persamaan fungsi tujuan pada baris terakhir

21

4. Menentukan elemen pivot dan menggunakan operasi baris matriks untuk

mengubah kolom yang berisi elemen pivot hingga kolom unit

5. Apabila tanda negatif masih berada pada baris terbawah maka ulangi langkah

(4). Apabila seluruh elemen pada baris terbawah telah bernilai positif maka

proses telah berakhir.

6. Ketika matriks telah diselesaikan maka itulah solusi terakhir dari sebuah

persamaan. Ini akan memberikan nilai maksimum pada fungsi tujuan dan

nilai variabel maksimum

Tahapan penyelesaian pada metode simplex dapat diaplikasikan dalam ilmu

desain konstruksi sipil atau mesin, pemeliharaan jaringan, penentuan biaya produksi

dan keuntungan, dan lainnya. Untuk mempermudah pemahaman mengenai

penggunaan metode simplex maka diberikan contoh kasus menenai penentuan

keuntungan maksimum sebagai berikut:

Contoh kasus :

Sebuah persamaan akan menentukan keuntungan produk sebesar $6, $5, dan $4

pada masing-masing tipe souvernir A, B, dan C yang akan diproduksi. Untuk

memproduksi tipe A membutuhkan waktu pekerjaan selama 2 menit pada mesin I, 1

menit pada mesin II, dan 2 menit pada mesin III. Tipe B membutuhkn waktu

pekerjaan selama 1 menit pada mesin I, 3 menit pada mesin II, dan 1 menit pada

mesin III. Tipe C membutuhkan 1 menit pada mesin I, 2 menit pada mesin II dan

mesin III. Adapun ketahanan mesin adalah 3 jam untuk mesin I, 5 jam untuk mesin

II, dan 4 jam untuk mesin III setiap harinya. Berapakah jumlah masing masing tipe

souvernir yang diproduksi tiap harinya untuk menghasilkan keuntungan yang

maksimum?

Cara penyelesaian:

1. Mengatur informasi yang tersedia

Souv/Mesin Unit yang

diproduksi

I (menit) II(menit) III(menit) Keuntungan

($/unit)

A x 2 1 2 6

B y 1 3 1 5

C z 1 2 2 4

Maksimum yang tersedia 180 300 240 P

22

2. Menentukan persamaan syarat batas dan fungsi tujuan

a. Persamaan syarat batas

2x + y + z = 180

x + 3y + 2z = 300

2x + y + 2z = 240

x ≥ 0, y ≥ 0, z ≥ 0

b. Persamaan fungsi tujuan

P = 6x + 5y + 4z untuk dimaksimumkan

3. Menambahkan varibel slack untuk merubah pertidaksamaan menjadi

persamaan, menuliskan kembali fungsi tujuan. Persamaannya menjadi

sebagai berikut

2x + y + z +s = 180

x +3y +2z + t = 300

2x + y +2z + u = 240

-6x -5y -4z +P = 0

dalam hal ini:

x, y, z = variabel utama

s, t, u = variabel slack

P = nilai dari tujuan yang ingin dicapai

4. Menuliskan tableau pertama dari simplex

x y z s t u P = konstanta

2 1 1 1 0 0 0 = 180

1 3 2 0 1 0 0 = 300

2 1 2 0 0 1 0 = 240

-6 -5 -4 0 0 0 1 = 0

a. Dasar solusi yang memungkinkan dari tableau pertama adalah x=0, y=0,

z=0, s=180, t= 300, u=240, dan P=0

b. Interpretasi pertama dari solusi tersebut adalah tidak akan ada

keuntungan jika masing-masing souvernir tidak di produksi.

c. Selama tanda negatif masih ada pada baris terbawah pada matriks

tersebut maka nilai tersebut belum maksimum.

5. Memilih elemen pivot

23

a. Memilih kolom dengan indikator nilai yang berada paling kiri pada

matriks, dalam tableau ini yang dimaksud adalah kolom 1.

b. Membagi setiap konstanta pada kolom paling kanan dengan elemen pivot

kemudian pilih yang nilainya paling kecil.

180/2 = 90……… nilai terkecil

300/1 = 300

240/2 = 120

c. Elemen pivot merupakan interseksi antara kolom dengan nilai paling kiri

dengan baris yang mempunyai nilai terkecil. Pivot yang digunakan

adalah nilai 2 pada kolom 1 pada tableau tersebut.

6. Mengubah elemen pivot menjadi 1

1/2 Baris1

7. Pivot dalam pivot elemen

-Baris1 + Baris2

-2Baris1 + Baris3

6Baris1 + Baris4

a. Solusi yang memungkinkan pada tableau ini adalah x=90, y=0, z=0, s=0,

t=210, u=60, dan P=540

b. Interpretasi pada solusi ini adalah apabila souvernir A diproduksi

sebanyak 90 unit dengan tidak memproduksi kedua tipe souvernir lainnya

maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan sebesar $540

c. Nilai negatif masih terdapat pada baris terbawah tableau tersebut

sehingga fungsi tujuan dinyatakan belum maksimal

X y z s t u P = konstanta

1 0.5 0.5 0.5 0 0 0 = 90

1 3 2 0 1 0 0 = 300

2 1 2 0 0 1 0 = 240

-6 -5 -4 0 0 0 1 = 0

X y z s t u P = konstanta

1 0.5 0.5 0.5 0 0 0 = 90

0 2.5 1.5 -0.5 1 0 0 = 210

0 0 1 -1 0 1 0 = 60

0 -2 -1 3 0 0 1 = 540

24

8. Menentukan elemen pivot yang baru

a. Memilih kolom dengan indikator nilai yang berada kedua dari kiri pada

matriks, dalam tableau ini yang dimaksud adalah kolom 2.

b. Membagi setiap konstanta pada kolom paling kanan dengan elemen pivot

kemudian pilih yang nilainya paling kecil.

90/0,5 = 180

210/2,5 = 84………nilai terkecil

c. Pivot yang digunakan adalah nilai 2,5 pada kolom 2 tableau tersebut

9. Mengubah elemen pivot menjadi bernilai 1

1/2,5 Baris2

10. Pivot dalam pivot elemen

-0.5 Baris2 + Baris2

2 Baris2 + Baris4

a. Hasil yang memungkinkan adalah x=48, y=84, z=0, s=0, t=0, u=60, dan

P=708

b. Interpretasi dari solusi persamaan tersebut adalah apabila souvernir tipe

A diproduksi sebanyak 48, tipe B sebanyak 84, dan tidak ada produk C

yang diproduksi maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan sebesar

$708

c. Nilai negatif sudah tidak muncul pada baris terakhir matriks tersebut

sehingga fungsi tujuan dapat dinyatakan maksimum.

X y z s t u P = konstanta

1 0.5 0.5 0.5 0 0 0 = 90

0 1 0.6 -0.2 0.4 0 0 = 84

0 0 1 -1 0 1 0 = 60

0 -2 -1 0 0 0 1 = 540

x y z s t u P = konstanta

1 0 0.2 0.6 -0.2 0 0 = 48

0 1 0.6 -0.2 0.4 0 0 = 84

0 0 1 -1 0 1 0 = 60

0 0 0.2 2.6 0.8 0 1 = 708

25

I.8. Hipotesis

Pada penelitian ini optimasi penentuan jumlah menara, jumlah panjang

penghantar, dan total biaya pembangunan didasarkan pada jarak antar menara. Jarak

antar menara dalam penelitian ini berdasarkan pada kelas kelerengan dengan rentang

jarak antar menara yang didesain dengan asumsi jarak minimum sebesar 290 m

sedangkan jarak maksimum antar menara sebesar 350 m. Jika diasumsikan semua

jarak antar menara minimum yaitu sebesar 290 m maka jumlah menara yang akan

diperoleh adalah 117 menara, sedangkan jika asumsi jarak maksimum yaitu sebesar

350 m maka jumlah menara yang akan diperoleh adalah 97 menara. Mengacu pada

asumsi ini, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Jumlah menara hasil optimasi menggunakan metode programma linear yang

diselesaikan dengan metode simplex berjumlah antara 97 menara hingga 117

menara. Perkiraan jumlah menara didapatkan dari panjang jalur transmisi

keseluruhan dibagi dengan asumsi jarak minimum dan maksimum.

2. Jumlah panjang penghantar hasil optimasi menggunakan programma linear

yang diselesaikan dengan metode simplex berjumlah antara 33.930 m hingga

33.950 m. Perkiraan jumlah panjang penghantar tersebut didapatkan dari

perkiraan jumlah menara dikalikan dengan asumsi jarak minimum dan

maksimum.

3. Total biaya pembangunan hasil optimasi berkisar antara Rp. 4.762.180.000,00

dengan rincian harga menara sebesar Rp 3.880.000.000,00 dan harga

penghantar sebesar Rp. 882.180.000,00 hingga Rp. 5.562.700.000,00 dengan

rincian harga menara sebesar Rp.4.680.000.000,00 dan harga penghantar

sebesar Rp. 882.700.000,00. Total biaya perkiraan tersebut didapatkan dari

perkiraan jumlah menara pada poin (1.) dikalikan dengan perkiraan harga

satuan menara sebesar Rp. 40.000.000,00 dan perkiraan jumlah panjang

penghantar pada poin (2.) dikalikan dengan harga panjang penghantar tiap km

sebesar Rp. 26.000.000,00.