Upload
phungdan
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Permintaan energi termasuk energi listrik di Indonesia cenderung meningkat
pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk.
Berdasarkan data statistik dari PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), sejak tahun
2008 permintaan akan energi listrik terus meningkat dengan rata-rata 7,5% dari tahun
ke tahun. Dalam rangka memenuhi permintaan listrik di berbagai daerah maka
diperlukan pembangunan jaringan listrik mulai dari pembangunan Gardu Induk (GI)
sebagai sumber tenaga listrik maupun saluran transmisi sebagai media distribusi
listrik. Salah satu program yang akan dilaksanakan PT.PLN adalah rencana
pembangunan Gardu Induk di Ketahun beserta jaringan transmisinya sebesar 70 kV
mulai dari Gardu Induk Ketahun sampai Giri Mulya Kabupaten Bengkulu Utara.
Rencana pembangunan program ini tentunya membutuhkan informasi perkiraan
biaya. Perkiraan biaya ini dapat dilakukan salah satunya melalui optimasi
berdasarkan informasi-informasi yang terkait seperti panjang jalur, jumlah menara,
tipe menara, panjang penghantar dan harga perkiraan besarnya pembangunan menara
dan penghantar. Penelitian ini menitikberatkan optimasi biaya pembangunan saluran
transmisi berupa Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 70 kV Gardu Induk
Ketahun hingga Giri Mulya.
Salah satu metode optimasi yang menarik untuk diterapkan dalam penentuan
perkiraan biaya untuk pembangunan jalur transmisi ini yaitu metode programma
linear. Menurut Martin (1969), pada metode programma linear nilai dari suatu fungsi
dapat dimaksimumkan maupun diminimumkan. Proses memaksimumkan maupun
meminimumkan fungsi ini didasarkan pada kendala yang secara fungsional
diwujudkan dalam persamaan syarat batas. Adapun nilai minimum maupun
maksimum secara fungsional diwujudkan dalam persamaan fungsi tujuan.
Hannuksela (2011) melakukan penelitian mengenai estimasi perhitungan biaya
untuk pembangunan saluran transmisi seperti pengadaan material, komponen
transmisi, dan lainnya.. Namun pada penelitian tersebut kondisi topografi tidak
2
menjadi parameter dalam perhitungan biaya. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui estimasi total biaya yang dibutuhkan pada pengadaan jalur
transmisi berdasarkan kondisi topografi menggunakan programma linear. Penelitian
ini menggunakan kedua persamaan pada programma linear dengan fungsi tujuan
dibuat minimum karena besarnya biaya untuk pembangunan jalur transmisi ini
diharapkan seminimal mungkin, sedangkan syarat batas yang digunakan dalam
optimasi berupa jarak antar menara sebagai konstanta pengali dan jumlah menara
sebagai variabelnya serta total jarak pada setiap kelas kelerengan sebagai nilai
persamaan syarat batas. Semua persamaan optimasi ini diselesaikan dengan Metode
Simplex.
I.2. Rumusan Masalah
Terdapat 2 rumusan masalah yang disampaikan dalam penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana mendapatkan jumlah menara dan jumlah panjang penghantar
dengan menyusun model optimasi untuk memperkirakan besarnya biaya
yang dibutuhkan pada pembangunan jalur tansmisi SUTT 70 kV Ketahun -
Giri Mulya berdasarkan kondisi topografi menggunakan metode
programma linear.
2. Bagaimana menyelesaikan model optimasi yang telah disusun ini dengan
menggunakan programma linear yang diselesaikan dengan metode simplex.
I.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan optimasi jumlah menara transmisi,
panjang penghantar transmisi, dan total biaya untuk pengadaan transmisi SUTT 70
kV dengan menggunakan programma linear berbasiskan kondisi kelerengan
topografi di sepanjang jalur transmisi SUTT 70 kV dari kecamatan Ketahun hingga
kecamatan Giri Mulya Propinsi Bengkulu.
I.4. Manfaat
Penelitian ini diharapkan mempunyai beberapa manfaat untuk peneliti maupun
praktisi. Manfaat penelitian ini untuk peneliti diharapkan dapat digunakan sebagai
referensi apabila akan dilakukan penelitian yang serupa dan juga dapat dijadikan
3
sebagai salah satu proses pembelajaran dalam penggunaan metode programma linear.
Sedangkan manfaat penelitian ini untuk praktisi diharapkan dapat digunakan untuk
pertimbangan dan pengambilan keputusan dalam pembangunan jalur transmisi SUTT
70 kV.
I.5. Batasan Masalah
Batasan-batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1. Pemodelan untuk penentuan jumlah menara, panjang penghantar, dan total
biaya pembangunan jalur tranmisi didasarkan pada data kelerengan
sepanjang jalur transmisi.
2. Data kelerengan sepanjang jalur transmisi diturunkan berdasarkan peta
situasi sepanjang jalur tranmisi.
3. Data harga tiap tipe menara dan penghantar diasumsikan berdasarkan studi
pustaka Hannuksela (2011) untuk penentuan total biaya pembangunan jalur
transmisi.
4. Penentuan kelas-kelas kelerengan jalur transmisi yang akan digunakan
sebagai dasar pemodelan dibuat dengan mengacu kelas-kelas kelerengan
pada USSSM.
5. Model optimasi diselesaikan dengan menggunakan metode simplex.
6. Aspek pembiayaan yang dioptimasi hanya meliputi pembiayaan pengadaan
pembangunan jalur transmisi berupa pengadaan menara dan penghantar
sedangkan aspek biaya pemetaan tidak dilibatkan, hanya digunakan sebagai
data.
I.6. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang telah dilakukan oleh Heckman (2006) mengenai optimasi yang
menggunakan metode simplex menyimpulkan bahwa metode tersebut dapat
digunakan untuk mencari nilai yang optimal dalam suatu persamaan yang linier.
Penelitian tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Kaviari (2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Kaviari (2002) terkait penggunaan metode simplex
untuk optimasi. Pada penelitian tersebut, Kaviari menyimpulkan bahwa metode
programma linier yaitu metode simplex memberikan kemudahan untuk mencari
4
bobot pengukuran optimal pada persoalan optimasi desain orde dua yang memenuhi
syarat biaya minimal dan syarat ketelitian. Sementara Szabo dan Kovacs (2008)
menyimpulkan bahwa metode simplex membutuhkan 2n – 3n iterasi dengan n adalah
jumlah variabel.
Adapun penelitian yang telah dilakukan Lumantono dkk. (2012) mengenai
jalur transmisi SUTT 150 kV di sekitar Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya,
menjelaskan bahwa keadaan kondisi permukaan tanah yang tidak rata akan
menyebabkan tiang menara mempunyai perbedaan tinggi antara satu dengan yang
lainnya. Pada kondisi seperti ini perhitungan lendutan diklasifikasikan menjadi dua
jenis berdasarkan kondisi menara penyangga pada saluran penghantar, yaitu menara
yang tingginya sama dan menara yang tingginya berbeda. Salah satu hasil dari
penelitian ini yaitu perhitungan lendutan transmisi SUTT 150 kV untuk dua menara
yang sama tinggi sebesar 1,4 m – 6,683 m dan untuk dua menara yang berbeda tinggi
(h = 1m) antara 0,9 m – 6,2 m.
Migiantoro (2002) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa semakin
panjang jarak span diantara dua menara, maka semakin tinggi nilai lendutan yang
terjadi. Pada menara ke-30 yang merupakan span dengan jarak terpanjang (482.1 m),
nilai lendutan mencapai nilai maksimum yaitu 19.00015 m untuk konduktor
Alluminium Concuctor Steel Reinforced (ACSR).
Penentuan jumlah menara berdasarkan panjang jalur transmisi pernah
dilakukan oleh Kusnadi (2008) dalam penelitiannya mengenai sistem pakar
perencanaan jalur saluran transmisi dan dimensi pondasi. Kusnadi (2008) merancang
bangun desain dan prototipe sistem pakar pada SUTT. Salah satu yang
diperhitungkan dalam prototipe tersebut adalah jumlah menara yang didapatkan dari
panjang jalur transmisi SUTT dibagi dengan jarak antar menara yang minimal
menurut Standar Perusahaan Listrik Negara (SPLN) kemudian ditambahkan dengan
satu konstanta.
Standar Nasional Indonesia (SNI) 04-6918-2002 mengenai Ruang bebas dan
Jarak Bebas Minimum pada Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan Saluran
Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) mempunyai dasar penetapan jarak gawang
dasar. Jarak gawang dasar atau jarak antar menara minimum yang diperbolehkan
untuk SUTT 66 kV untuk menara baja adalah sebesar 300m.
5
Penelitian mengenai estimasi perhitungan biaya untuk pembangunan saluran
transmisi pernah dilakukan oleh Hannuksela (2011). Penelitian tersebut bertujuan
memodelkan biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan material, pengadaan
komponen transmisi, dan pembangunan saluran transmisi tegangan tinggi.
Perhitungan biaya tersebut mempertimbangkan perbedaan tipe menara, penghantar,
kabel optis bawah tanah, dan komponen lain yang lebih kecil seperti insulator dan
spacer.
Penelitian yang dilakukan oleh Heckman (2006), Kaviari (2002), serta Szabo
dan Kovacs (2008) berisi tentang penggunaan metode simplex untuk mencari nilai
optimal dan proses perhitungan. Penelitian tersebut dapat digunakan sebagi acuan
dalam proses perhitungan yang dilakukan, sedangkan penelitian lainnya yang
ditinjau berisi tentang pengaruh beda tinggi dan jarak terhadap lendutan. Adapun
penelitian yang dilakukan Hannuksela (2011) digunakan sebagai bahan pustaka
dalam penentuan pengadaan biaya pada penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut
digunakan sebagai rujukan dalam pertimbangan penentuan jarak antar menara, model
optimasi, serta perhitungan biaya pengadaan menara dan penghantar. Berdasarkan
penelitian-penelitian yang telah ditinjau ini maka dilakukan optimasi desain jalur
transmisi SUTT berdasarkan pengaruh topografi dengan menggunakan metode
simplex untuk mencari jumlah menara dan panjang penghantar yang optimal.
I.7. Landasan Teori
I.7.1. Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 70 kV
Menurut SNI 04-0225-2000 mengenai Persyaratan Umum Instalasi Listrik
(PUIL) 2000, saluran transmisi adalah saluran listrik yang merupakan bagian dari
suatu instalasi, biasanya terbatas pada konstruksi udara. Secara umum terdapat dua
saluran transmisi yaitu saluran udara (overhead lines) dan saluran kabel tanah
(underground cable). Saluran udara menyalurkan tenaga listrik melalui kawat-kawat
yang dihubungkan antar menara atau tiang transmisi dengan perantara isolator-
isolator, sedangkan saluran kabel tanah menyalurkan tenaga listrik melalui kabel-
kabel yang ditanam dibawah permukaan tanah. Saluran transmisi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah saluran udara.
6
Berdasarkan besar tegangan listrik yang disalurkan, saluran transmisi udara
terbagi atas dua, yaitu:
1. Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT), mempunyai tegangan listrik di
atas 35 kV sampai dengan 230 kV.
2. Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), mempunyai tegangan
diatas 230 kV
Saluran transmisi terdiri dari empat komponen utama yaitu menara transmisi,
isolator gantung, kawat penghantar, dan kawat tanah. Keuntungan dari saluran udara
adalah mudah dalam perbaikan dan relatif lebih murah dalam pembangunan saluran
transmisi, namun kekurangan dari saluran udara adalah kondisi yang terpengaruh
cuaca dan faktor alam disekitarnya. Penelitian ini merupakan pembangunan saluran
transmisi untuk 70 kV sehingga saluran transmisi tersebut merupakan bagian dari
SUTT.
Menara transmisi merupakan struktur penopang saluran transmisi yang terbuat
dari berbagai material seperti baja, kayu, dan beton dan bisa berupa menara atau
tiang. Penggunaan material dalam pembuatan menara transmisi tergantung dari
penggunaannya. Menara yang terbuat dari baja biasa digunakan untuk SUTET
sedang tiang yang terbuat dari baja , beton, dan kayu umumnya digunakan di SUTT
dibawah 70 kV.
Penggunaan menara transmisi berbeda sesuai dengan fungsinya. Berikut adalah
jenis menara transmisi sesuai dengan fungsinya :
1. Dead end tower, yaitu menara akhir yang dipasang dekat Gardu Induk (GI).
2. Section tower, yaitu menara penyekat antar sejumlah menara penyangga
untuk memudahkan saat pembangunan (penarikan kawat)
3. Suspension tower, yaitu menara penyangga
4. Tension tower, yaitu menara penegang yang dipasang ketika jalur transmisi
belok
5. Transposision tower, yaitu menara penegang yang digunakan sebagai
tempat untuk melakukan perubahan posisi kawat
6. Gantry tower, menara berbentuk portal yang digunakan pada persilangan
antara dua jalur transmisi
7
7. Combined tower, menara yang digunakan oleh dua buah jalur transmisi
dengan tegangan yang berbeda
Menara yang digunakan jika jalur transmisi lurus akan berbeda dengan menara
yang digunakan jika jalur transmisi belok. Bahkan besar sudut belok suatu jalur
mempunyai jenis menara yang berbeda pula. Jenis menara yang dimaksud tersaji
dalam tabel dibawah ini :
Tabel I.1. Jenis menara SUTT 70 kV (PLN, 2007)
Jenis Menara Fungsi Sudut
AA Menara Penyangga 0° - 3°
BB Menara Penegang atau menara penyekat 3° - 20°
CC Menara Penegang 20° - 40°
DD Menara Penegang 40° - 60°
EE Menara Penegang 60° - 90°
FF Menara Penegang >90°
GG Menara Penegang untuk posisi kawat
I.7.2. Penghantar SUTT 70 kV
Penghantar merupakan salah satu dari komponen-komponen utama saluran
transmisi. Untuk saluran transmisi udara, penghantar yang digunakan adalah kawat
penghantar dengan jenis yang biasa digunakan adalah tembaga (Cu) atau aluminium
(Al). Menurut Hutauruk (1985) kawat penghantar aluminium terdiri dari berbagai
jenis sebagai berikut
1. AAC (All Aluminium Conductor) yaitu kawat penghantar yang sleuruhnya
terbuat dari aluminium
2. AAAC (All Aluminium Alloy Conductor) yaitu kawat penghantar yang
seluruhnya terbuat dari campuran aluminium
3. ACSR (Aluminium Conductor Steel Reinforced) yaitu kawat penghantar
aluminium berinti kawat baja
4. ACAR (Aluminium Conductor Alloy Reinforced) yaitu kawat penghantar
aluminium yang diperkuat dengan logam campuran
8
Tabel I.2. Penghantar ACSR (Hutauruk, 1985)
Ukuran
Nominal
Konstruksi
(Jumlah/Diameter
dalam mm)
Luas Penampang
Terhitung (mm²) Kuat Tarik
Minimum
(kg)
Diameter Luar (mm) Berat
(kg/km)
Tahanan
Listrik
(Ω/km)
Aluminium Baja Aluminium Baja Aluminium Baja
330 26/4,0 7/3,1 326,8 52,84 10.930 25,3 9,3 1.320 0,0888
330 54/2,8 7/2,8 332,5 43,11 10.290 25,2 8,4 1.260 0,0873
320 30/3,7 7/3,7 322,5 72,25 13.630 25,9 11,1 1.484 0,0900
290 30/3,5 7/3,5 288,6 67,35 12.170 24,5 10,5 1.328 0,101
290 54/2,6 7/2,6 286,7 37,16 8.964 23,4 7,8 1.086 0,101
250 26/3,5 7/2,72 250,1 40,68 8.670 22,16 8,16 1.013 0,116
240 30/3,2 7/3,2 241,3 56,29 10.210 22,4 9,6 1.110 0,120
210 26/3,2 7/2,49 209,1 34,09 7.260 20,27 7,47 847,0 0,139
200 30/2,9 7/2,9 198,2 46,24 8.620 20,3 8,7 911,7 0,148
170 26/2,9 7/2.26 171,7 28,08 6.010 18,38 6,78 696,2 0,169
160 30/2,6 7/2,6 159,3 37,16 6.990 18,2 7,8 732,8 0,182
140 26/2,6 7/2,02 138,0 22,44 4.860 16,46 6,06 558,1 0,210
120 30/2,3 7/2,3 124,7 29,09 5.550 16,1 6,0 573,7 0,233
120 12/3,5 7/3,5 115,5 67,35 9.590 17,5 10,5 848,1 0,251
110 26/2,3 7/1,79 108,0 17,61 3.960 14,57 5,37 437,0 0,269
Untuk SUTT, yang mempunyai jarak antar dua menara yang jauh (hingga ratusan
meter), dibutuhkan kuat tarik yang lebih tinggi. Untuk itu biasanya digunakan kawat
penghantar ACSR. Penghantar ACSR untuk penelitian pengadaan jalur transmisi
SUTT 70 kV ini menggunakan penghantar ACSR dengan ukuran nominal 210 sesuai
dengan yang telah ditetapkan oleh PLN Pusenlis.
I.7.3. Lendutan (sag)
Penghantar yang direntangkan antara dua menara transmisi mempunyai bentuk
lengkung tertentu (catenary curve) yang diakibatkan adanya pengaruh gravitasi dan
dinyatakan dalam sebuah persamaan. Arismunandar dan Kuwahara (2004)
menyebutkan ada dua persamaan untuk menghitung nilai lendutan.
Lendutan untuk penghantar yang ditunjang oleh menara yang sama tinggi.
Karena menara didirikan sama tinggi, maka nilai lendutan didapat berdasarkan rumus
parabola
9
D =
.......................................................................................................... (I-1)
dengan:
D : Lendutan (m)
W : Berat konduktor per satuan panjang (kg/m)
S : Jarak antar menara (m)
T : Kuat tarik konduktor pada suhu 80°C (kg)
Lendutan untuk penghantar yang ditunjang oleh menara yang beda tinggi. Menara
yang tidak sama tinggi, lendutan yang miring dinyatakan dalam persamaan
(
)
.................................................................................. (I-2)
dengan:
D : Lendutan (m)
D0 : Besar lendutan yang diakibatkan karena perbedaan ketinggian (m)
H : Beda tinggi antara dua menara (m)
Panjang kabel yang didapat akibat pengaruh lendutan dapat ditulis dalam
persamaan
m .................................................................................. (I-3)
Giancoli (2001) menuliskan bahwa sebagian besar zat memuai ketika dipanaskan dan
menyusust ketika didinginkan. Besarnya pemuaian dan penyusutan tersebut
bervariasi tergantung dari jenis material. Perbedaan panjang yang diakibatkan karena
pemuaian ditulis dalam sebuah persamaan
................................................................................................ (I-4)
dengan keterangan
ΔL : Perubahan panjang
α : Konstanta pembanding atau koefisien muai panjang
L0 : Panjang awal
ΔT : Perubahan suhu
Adapun panjang akhir yang didapat setelah terjadi pemuaian ditulis dalam persamaan
berikut
....................................................................................... (I-5)
Lt : Panjang akhir yang didapat setelah terjadi pemuaian
10
Konstanta pembanding atau koefisien muai panjang (α ) suatu material berbeda satu
sama lain seperti yang tersaji pada Tabel I.3.
Tabel I.3 Besar konstanta pembanding atau koefisien muai panjang (Giancoli, 2001)
Zat Koefisien muai panjang α(C0)-1
Padat
Aluminium 25 x 10-6
Kuningan 19 x 10-6
Besi atau baja 12 x 10-6
Timah putih 29 x 10-6
Kaca (pyrex) 3 x 10-6
Kaca (biasa) 9 x 10-6
Kwarsa 0,4 x 10-6
Beton atau bata ≈ 12 x 10-6
Marmer 1,4 – 3,5 x 10-6
Berdasarkan Standar Perusahaan Listrik Begara (SPLN) 41-7-1981 mengenai
Hantaran Aluminium Berpenguat Baja (ACSR), koefisien muai panjang pada
penghantar bergantung pada jumlah masing-masing kawat pada aluminium dan baja.
Koefisien muai panjang untuk konstruksi standar ACSR dapat dilihat pada Tabel I.4.
Tabel I.4. Koefisien muai panjang untuk konstruksi standar dari ACSR (SPLN 41-7-
1981)
Jumlah Kawat Koefisien Muai Panjang (Perhitungan)
Per oC Aluminium Baja
6 1 19,1 x 10-6
6 7 19,8 x 10-6
12 7 15,3 x 10-6
18 1 21,2 x 10-6
24 7 19,6 x 10-6
26 7 18,9 x 10-6
28 7 18,4 x 10-6
30 7 17,8 x 10-6
30 19 18 x 10-6
32 19 17,5 x 10-6
54 7 19,3 x 10-6
54 19 19,4 x 10-6
I.7.4. Survei dan pemetaan jalur transmisi SUTT 70 kV
Pemilihan jalur yang akan dilalui saluran transmisi merupakan bagian utama
dalam pembangunan jalur transmisi SUTT 70 kV. Untuk itu perlu diadakan survei
untuk memungkinkan pembangunan yang ekonomis dan dapat diandalkan baik
11
dilihat dari pembangunannya sendiri maupun untuk perawatan (Arismunandar dan
Kuwahara, 2004). Salah satu kegiatan survei yang dilakukan adalah survei topografi.
Survei topografi merupakan pemetaan permukaan bumi fisik dan kenampakan hasil
budaya manusia (Basuki, 2006). Hasil dari survei topografi adalah peta topografi
atau biasa disebut sebagai peta situasi.
Peta situasi menyajikan unsur relief permukaan bumi dalam bentuk garis
kontur skala peta berkisar antara 1:500 hingga 1:250.000 dengan interval kontur
antara 0,25-100 meter (Basuki, 2006). Menurut Fryer et.al (1984) selain relief
permukaan bumi, peta topografi juga menyajikan fitur-fitur buatan manusia seperti
jalan, bangunan, jembatan, dan lainnya. Peta topografi dibuat dan digunakan oleh
insinyur untuk menentukan lokasi yang tepat dan ekonomis untuk jalan raya, rel
kereta api, kanal, jalur pipa, jalur transmisi, reservoir, dan lainnya (Fryer et.al, 1984).
Metode survei topografi dapat dilakukan dengan menggunakan fotogrametri,
pengukuran langsung di lapangan, atau kombinasi keduanya. Baik kedua metode
tersebut, syarat pertama dari kegiatan survei topografi adalah penggunaan kerangka
kontrol yang baik. Dalam kegiatan survei topografi, kerangka kontrol terdiri atas dua
kerangka yaitu kerangka kontrol horizontal dan kerangka kontrol vertikal.
Kerangka kontrol horizontal ditentukan oleh dua atau tiga titik di permukaan
bumi yang tetap secara posisi horizontal baik dari jarak maupun arah (Fryer et.a,
1984). Titik tersebut merupakan dasar untuk menentukan posisi objek di permukaan
bumi. Titik kontrol biasanya didapatkan dari pengukuran trilaterasi, pengukuran
triangulasi, pengukuran menggunakan bantuan satelit, dan lainnya. Sedangkan
kerangka kontrol vertikal ditentukan dari titik kontrol tinggi terdekat dari area
pengukruan. Titik kontrol tinggi menjadi dasar untuk mengoreksi tinggi permukaan
bumi. Titik kontrol tinggi tersebut digunakan untuk pengukuran beda tinggi pada
titik lainnya dengan menggunakan metode trigonometrik, takhimetrik, sipat datar,
atau dengan metode barometrik.
Pada penelitian ini, pengukuran survei topografi yang dilakukan merupakan
pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan titik kontrol horizontal yang
diukur menggunakan alat GPS dengan bantuan satelit GPS. Datum referensi
horizontal yang digunakan adalah datum WGS 1984. Sedangkan untuk titik kontrol
vertikal menggunakan tinggi dari hasil pengukuran GPS sehingga datum referensi
12
vertikal yang digunakan adalah datum WGS 1984. Titik kontrol tersebut kemudian
digunakan untuk pengukuran objek-objek di permukaan bumi mulai dari objek alami
hingga objek buatan manusia. Pengukuran objek tersebut didapatkan berdasarkan
survei pemetaan topografi langsung dilapangan secara otomatis menggunakan alat
Total Stasion.
Total Station merupakan teodolit elektronis yang digabung atau dikombinasi
dengan alat Pengukur Jarak Elektronis (PJE) dan pencatat data (kolektor) elektronis
menjadi Total Station (Basuki, 2006). Alat ini dapat membaca dan mencatat sudut
horizontal dan vertikal bersama-sama dengan jarak miringnya. Bahkan alat ini juga
dilengkapi dengna mikroprosesor, sehingga dapat melakukan bermacam-macam
operasi perhitungan matematis seperti merata-rata hasil sudut ukuran dan jarak-rajak
ukuran, menghitung koordinat (x, y, dan z), menentukan ketinggian objek dari jauh,
menghitung jarak antara objek-objek yang diamati, koreksi atmosfer dan koreksi alat,
dan lain-lain (Basuki, 2006).
Pengukuran menggunakan Total Station menggunakan prinsip perambatan
gelombang elektromagnetik yang memungkinkan untuk melakukan pengukuran
dengan ketelitian yang tinggi dan jangkauan yang cukup jauh. Adapun konsep
pengukuran jarak pada Total Station adalah suatu sinyal gelombang elektromagnetik
yang dipancarkan dari suatu alat yang dipasang pada stasiun di ujung suatu garis
yang akan diukur jaraknya kemudian di ujung lain dari garis tersebut dipasang
pemantul atau reflektor. Sinyal tersebut dipantulkan kembali ke pemancar waktu
lintas perjalanan sinyal pergi-pulang diukur oleh pemancar. Karena kecepatan sinyal
diketahui dengan teliti maka jarak lintasan dapat diketahui pula (Basuki, 2006).
Secara matematis, konsep pengukuran jarak pada Total Station dituliskan dalam
persamaan berikut
.......................................................................................................... (I-6)
dengan keterangan
D : Jarak garis yang diukur (Lintasan)
t : Waktu lintasan sinyal pergi-pulang
v : Kecepatan sinyal
13
Total Station dapat digunakan untuk mengukur sudut, secara koinsiden optis dengan
sensor foto elektronis menggunakan scanning dan membaca lingkaran dalam mode
derajat, grade maupun radian. Konsep yang digunakan untuk pengukuran detil
hingga mendapatkan koordinat (x,y,z) pada Total Station adalah dengan
menggunakan metode koordinat kutub. Pada metode ini, posisi detil ditentukan
dengan komponen azimuth (sudut arah), jarak, dan beda tinggi dari titik ikat (Basuki,
2006). Metode ini disebut juga dengan takhimetri, yaitu jarak detil ditentukan dengan
cara elektronis, beda tinggi ditentukan dengan bacaan sudut vertikal atau sudut
miring, dan arah ditentukan dengan sudut horizontal. Secara matematis, posisi titik
detil didapatkan melalui persamaan berikut (Basuki, 2006):
Xa = Xp + dpa sin αpa ..................................................................................... (I-7)
Ya = Yp + dpa cos αpa ..................................................................................... (I-8)
Za = Zp + Δhpa ............................................................................................... (I-9)
dalam hal ini
a : Titik detil
p : Titik kontrol
d : Jarak horizontal
Δh : Beda tinggi
αpa : Azimuth sisi pa
Pada penelitian ini, peta situasi dibuat dalam bentuk profil memanjang.
Kiessiling et.al (2003) mengemukakan bahwa profil memanjang tersebut digunakan
untuk mengetahui perbedaan ketinggian di permukaan tanah mulai dari titik awal
jalur sampai titik akhir jalur dan untuk menentukan lokasi menara dan tinggi
menara. Adapun pengertian dari profil menurut Ghilani et.al (2008) adalah data yang
memberikan informasi mengenai ketinggian pada titik-titik yang telah diukur di
sepanjang jalur. Informasi mengenai ketinggian dari sebuah profil digunakan untuk
menentukan kelerengan (slope) dalam suatu pekerjaan konstruksi, menghitung
volume dalam suatu pekerjaan, dan untuk menentukan secara detil ketinggian untuk
area yang digali maupun yang ditimbun (Frics, 1980)
Kelerengan (slope) dapat dinyatakan dalam bentuk kemiringan (gradient) atau
persentase antara jarak vertikal dengan jarak horizontal. Van Zuidam (1985)
menyatakan gradient kelerengan dengan persamaan berikut
14
.................................................................................... (I-10)
dengan keterangan
x : Gradient kelerengan
VD : Vertical Distance atau jarak vertikal
HD : Horizontal Distance atau jarak horizontal
United States Soil System Management (USSSM) membagi kelas kelerengan
berdasarkan nilai gradient. Pembagian kelas kelerengan tersebut tersaji pada Tabel
I.5.
Tabel I.5. Pembagian kelas kelerengan berdasarkan USSSM
I.7.5. Desain lendutan SUTT 70 kV
Lendutan mempunyai arti penting untuk penggunaan SUTT dalam jangka
panjang. Pada SNI 04-6918-2002, besar lendutan digunakan untuk penentuan jarak
bebas minimum vertikal dari penghantar ke objek tertinggi yang ada pada permukaan
tanah. Jarak bebas minimum vertikal tidak boleh kurang dari jarak yang telah
ditetapkan demi keselamatan manusia, makhluk hidup dan benda lainnya serta
keamanan Operasi SUTT. Oleh karena itu, desain lendutan merupakan pekerjaan
yang tidak boleh dilewatkan pada tahapan pembangunan saluran transmisi.
Untuk merancang lendutan, hal yang harus diperhatikan adalah jenis
penghantar, jarak antar menara, dan tinggi menara. Jenis penghantar dan jarak antar
menara digunakan untuk menentukan besar lendutan, sedangkan tinggi menara
digunakan untuk pertimbangan jarak bebas minimum vertikal. Secara geometri,
posisi antara menara, penghantar, dan objek di permukaan tanah tersaji pada Gambar
(I.1). Adapun geometri penghantar yang mengalami lendutan tersaji pada Gambar
(I.2) dan Gambar (I.3) yang menunjukan lendutan penghantar antar dua menara.
Kelas Rentang Gradient (%) Keterangan
A 0-3 Datar – Hampir Datar
B 3-7 Sangat Landai
C 7-13 Landai
D 13-20 Agak Curam
E 20-55 Curam
F 55-140 Sangat Curam
G >140 Terjal
15
Gambar I.1. Ruang Bebas SUTT 66 kV dan 150 kV menara
(Sumber gambar : SNI 04-6918-2002)
Adapun keterangan dari Gambar I.1. adalah sebagai berikut:
: Penampang melintang ruang bebas pada tengah jarak antara menara
L : Jarak dari sumbu vertikal menara ke penghantar
H : Jarak horizontal akibat ayunan dari penghantar
I : Jarak bebas impuls petir
C : Jarak bebas minimum vertikal
D : Jarak lendutan terendah ditengah antara dua menara
Lendutan untuk kawat tanah dihitung 80% dari lendutan penghantar fase pada
suhu harian maksimum 40oC
Gambar I.2. Desain lendutan untuk tiang pada ketinggian yang sama
(Sumber gambar : Standar Perusahaan Listrik Negara 12l:1996)
16
Gambar I.3. Desain lendutan untuk menara pada ketinggian yang berbeda
(Sumber gambar : Standar Perusahaan Listrik Negara 12l:1996)
Adapun keterangan gambar untuk Gambar I.2. dan Gambar I.3. adalah sebagai
berikut:
D : Lendutan miring (oblique)
Do : Lendutan datar
S : Jarak rentang atau jarak antar menara
SA : Jarak rentang dari menara A hingga titik berat dari lendutan
SB : Jarak rentang dari menara B hingga titik berat dari lendutan
C : Jarak bebas vertikal dari permukaan tanah hingga lendutan
T : Kuat tarik penghantar
TA : Kuat tarik penghantar dari menara A
TB : Kuat tarik penghantar dari menara B
M : Titik tengah antara menara A dan Menara B
H : Beda tinggi antar menara
Menentukan jumlah menara dapat dilakukan dengan menggunakan desain
lendutan atau desain sagging. Berdasarkan Network Lines Standard Guidelines For
Overhead Line Design dari Ergon Energy, desain sagging diselesaikan dengan
menghitung rasio antara weight span dan rata-rata dari dua wind span yang
berdekatan. Weigh span adalah jarak titik terendah lendutan penghantar antar dua
segmen sedangkan wind span merupakan istilah lain dari segmen atau jarak antar
menara. Rasio antara weight span dan wind span harus sesuai dengan rasio yang
telah ditetapkan oleh pemberi pekerjaan. Berdasarkan rasio tersebut maka didapatkan
17
jumlah menara pada jalur transmisi. Secara grafis, implementasi desain sagging
tersaji pada Gambar I.4.
Gambar I.4. Weight span dan wind span pada jalur transmisi.
(Sumber gambar : Ergon Energy Reference P56M02R09 ver 1)
Pada gambar I.4. terdapat dua penghantar dalam satu segmen atau wind span
yang merupakan kondisi penghantar pada suhu 0o dan pada suhu 50
o. Weight span
pada suhu 50o lebih panjang karena penghantar mengalami pemuaian.
I.7.6. Programma Linear
Menurut Martin (1969) programma linier adalah suatu metode matematika
yang digunakan untuk memecahkan persoalan optimasi atau dengan kata lain
progrmma linier adalah suatu cara pemecahan persoalan untuk membuat nilai suatu
fungsi menjadi maksimum atau minimum dengan memperhatikan kendala-kendala
yang ada. Fungsi yang dimaksimumkan atau diminimumkan disebut sebagai fungsi
tujuan (objective function), sedangkan fungsi-fungsi yang menyatakan kendala
disebut sebagai syarat batas (constraint). Jika suatu persoalan optimasi mempunyai
bentuk fungsi tujuan dan syarat batas yang linier maka programma matematika yang
digunakan disebut programma linier. Menurut Martin (1969) model matematis
fungsi tujuan adalah sebagai berikut.
Z = f(x1, x2, x3,...,xn) ................................................................................... (I-11)
Z : Nilai maksimum atau minimum dari tujuan yang kan diperoleh
f : Fungsi dari persamaan tujuan
x1, x2,…,xn : Variabel dari fungsi tujuan
18
Adapun persaman syarat batas adalah sebagai berikut :
Gi (x1, x2, x3,...,xn) = bi ................................................................................ (I-12)
Gi : Fungsi syarat batas
x1, x2,….xm : Variabel dari syarat batas
bi : Nilai dari persamaan syarat batas
i : 1,... , n
Programma linear terdiri atas persamaan dan pertidaksamaan. Pada penelitian
kali ini model optimasi berupa persamaan linear. Persamaan linear adalah sebuah
model dengan variabel dalam bentuk pangkat pertama dan bukan merupakan
argument dari fungsi-fungsi trigonometri, logaritma, atau eksponensial dan konstanta
dalam bilangan real tidak nol (Anton, Rorres, 2004). Secara umum, variabel dan
konstanta dapat dinyatakan dalam bentuk
a1x1 + a2x2 + a3x3 + … + anxn = b ............................................................... (I-13)
a1…an : Konstanta variabel persamaan linear
x1...xn : Variabel yang akan ditentukan nilainya
b : Nilai dari sebuah persamaan
Apabila persamaan (I-13) terdiri dari satu variabel maka persamaan tersebut dapat
diselesaikan dengan menggunakan metode substitusi. Contoh dari penggunaan
metode substitusi adalah sebagai berikut
Contoh kasus
Tentukan nilai x dari persamaan
3x + 7 = -8
Cara penyelesaian
Menganti nilai x dengan -5 dan mengeliminasi setiap ruas pada persamaan
3x + 7 = -8
3(-5) + 7 = -8
-15 + 7 = -8
-8 = -8 (benar)
I.7.7. Metode simplex
Metode simplex adalah suatu metode yang secara matematika dimulai dari
suatu pemecahan dasar yang layak ke pemecahan dasar layak lainnya dan cara ini
19
dilakukan berulang-ulang (dengan jumlah ulangan yang terbatas) sehingga akhirnya
tercapai suatu pemecahan dasar yang optimum. Metode simplex digunakan untuk
memecahkan persoalan programma linier yang mempunyai variabel lebih dari dua
atau tiga variabel. Penggunaan perangkat elektronis komputer membuat metode
simplex dapat menyelesaikan persoalan programma linier hingga ratusan variabel
dan kendala (Martin, 1969).
Salah satu ketentuan dalam perhitungan menggunakan metode simplex adalah
harus mengkonversi semua kendala pertidaksamaan menjadi sebuat persamaan
dengan menambahkan variabel slack yang tidak akan memengaruhi fungsi tujuan.
Programma linier dengan persamaan yang mengandung kendala dapat dinyatakan
dalam bentuk matriks (Martin, 1969).
Programma linier dengan persamaan syarat batas mempunyai dua persoalan
yaitu memaksimumkan fungsi tujuan atau meminimumkan fungsi tujuan. Secara
matematis fungsi tujuan maksimum dapat dilihat pada persamaan berikut :
∑ ............................................................................................ (I-14)
Syarat batas untuk fungsi tujuan maksimum adalah sebagai berikut :
∑ ....................................................................................... (I-15)
Adapun fungsi tujuan minimum secara matematis dapat dilihat pada persamaan
berikut :
∑ ...................................................................................... (I-16)
Syarat batas untuk fungsi tujuan minimum adalah sebagai berikut
∑ ....................................................................................... (I-17)
dengan
z : nilai dari fungsi tujuan
al, b, c : konstanta
xlj ≥ 0 untuk j : 1, ..., n dan i : 1,... , m
Proses dengan metode ini dilakukan secara berulang-ulang dengan
menggunakan tableu mulai dari tableu pertama yang memberikan pemecahan dasar
awal yang layak sampai dengan pemecahan akhir yang memberikan jawaban yang
optimal. Tableu merupakan istilah dari matriks yang mendeskripsikan persamaan
20
syarat batas dan fungsi tujuan. Bentuk tableu simplex untuk persoalan programma
linier disajikan pada Tabel I.6 (Martin, 1969) :
Tabel I.6. Tableu metode simplex untuk programma linier (Martin, 1969)
Xst C
t
X0 C0 As Bs
C0T As - C
t
Keterangan :
Xst
: vektor baris yang berisikan semua variabel Xs, termasuk
variabel-variavel slack, surplus, dan buatan
Ct : vektor baris yang berisi semua konstanta variabel Xs pada
fungsi tujuan
X0 : vektor kolom yang berisi variabel slack dan buatan sebagai
dasar awal yang layak
C0 : vektor kolom yang berisi semua konstanta elemen vektor X0
pada fungsi tujuan
As : konstanta yang berasal dari syarat batas
C0T As – C
t : vektor baris hasil perkalian dan pengurangan matriks-matriks
tersebut
Bs : vektor kolom yang berisi konstanta pada ruas kanan
persamaan syarat batas
Secara garis besar tahapan penyelesaian suatu masalah menggunakan metode
simplex adalah sebagai berikut:
1. Menambahkan variabel slack untuk mengganti konstrain dalam persamaan
dan menulis keseluruhan variabel ke kiri dari tanda sama dengan dan
konstanta ke kanan tanda sama dengan
2. Menulis fungsi tujuan dengan ketentuan tidak sama dengan nol pada ruas kiri
tanda sama dengan (=) dan angka nol pada ruas kanan. Variabel yang
dimaksimumkan harus bernilai positif
3. Membuat inisial tableau simplex dengan membuat matriks dari persamaan
dan menempatkan persamaan fungsi tujuan pada baris terakhir
21
4. Menentukan elemen pivot dan menggunakan operasi baris matriks untuk
mengubah kolom yang berisi elemen pivot hingga kolom unit
5. Apabila tanda negatif masih berada pada baris terbawah maka ulangi langkah
(4). Apabila seluruh elemen pada baris terbawah telah bernilai positif maka
proses telah berakhir.
6. Ketika matriks telah diselesaikan maka itulah solusi terakhir dari sebuah
persamaan. Ini akan memberikan nilai maksimum pada fungsi tujuan dan
nilai variabel maksimum
Tahapan penyelesaian pada metode simplex dapat diaplikasikan dalam ilmu
desain konstruksi sipil atau mesin, pemeliharaan jaringan, penentuan biaya produksi
dan keuntungan, dan lainnya. Untuk mempermudah pemahaman mengenai
penggunaan metode simplex maka diberikan contoh kasus menenai penentuan
keuntungan maksimum sebagai berikut:
Contoh kasus :
Sebuah persamaan akan menentukan keuntungan produk sebesar $6, $5, dan $4
pada masing-masing tipe souvernir A, B, dan C yang akan diproduksi. Untuk
memproduksi tipe A membutuhkan waktu pekerjaan selama 2 menit pada mesin I, 1
menit pada mesin II, dan 2 menit pada mesin III. Tipe B membutuhkn waktu
pekerjaan selama 1 menit pada mesin I, 3 menit pada mesin II, dan 1 menit pada
mesin III. Tipe C membutuhkan 1 menit pada mesin I, 2 menit pada mesin II dan
mesin III. Adapun ketahanan mesin adalah 3 jam untuk mesin I, 5 jam untuk mesin
II, dan 4 jam untuk mesin III setiap harinya. Berapakah jumlah masing masing tipe
souvernir yang diproduksi tiap harinya untuk menghasilkan keuntungan yang
maksimum?
Cara penyelesaian:
1. Mengatur informasi yang tersedia
Souv/Mesin Unit yang
diproduksi
I (menit) II(menit) III(menit) Keuntungan
($/unit)
A x 2 1 2 6
B y 1 3 1 5
C z 1 2 2 4
Maksimum yang tersedia 180 300 240 P
22
2. Menentukan persamaan syarat batas dan fungsi tujuan
a. Persamaan syarat batas
2x + y + z = 180
x + 3y + 2z = 300
2x + y + 2z = 240
x ≥ 0, y ≥ 0, z ≥ 0
b. Persamaan fungsi tujuan
P = 6x + 5y + 4z untuk dimaksimumkan
3. Menambahkan varibel slack untuk merubah pertidaksamaan menjadi
persamaan, menuliskan kembali fungsi tujuan. Persamaannya menjadi
sebagai berikut
2x + y + z +s = 180
x +3y +2z + t = 300
2x + y +2z + u = 240
-6x -5y -4z +P = 0
dalam hal ini:
x, y, z = variabel utama
s, t, u = variabel slack
P = nilai dari tujuan yang ingin dicapai
4. Menuliskan tableau pertama dari simplex
x y z s t u P = konstanta
2 1 1 1 0 0 0 = 180
1 3 2 0 1 0 0 = 300
2 1 2 0 0 1 0 = 240
-6 -5 -4 0 0 0 1 = 0
a. Dasar solusi yang memungkinkan dari tableau pertama adalah x=0, y=0,
z=0, s=180, t= 300, u=240, dan P=0
b. Interpretasi pertama dari solusi tersebut adalah tidak akan ada
keuntungan jika masing-masing souvernir tidak di produksi.
c. Selama tanda negatif masih ada pada baris terbawah pada matriks
tersebut maka nilai tersebut belum maksimum.
5. Memilih elemen pivot
23
a. Memilih kolom dengan indikator nilai yang berada paling kiri pada
matriks, dalam tableau ini yang dimaksud adalah kolom 1.
b. Membagi setiap konstanta pada kolom paling kanan dengan elemen pivot
kemudian pilih yang nilainya paling kecil.
180/2 = 90……… nilai terkecil
300/1 = 300
240/2 = 120
c. Elemen pivot merupakan interseksi antara kolom dengan nilai paling kiri
dengan baris yang mempunyai nilai terkecil. Pivot yang digunakan
adalah nilai 2 pada kolom 1 pada tableau tersebut.
6. Mengubah elemen pivot menjadi 1
1/2 Baris1
7. Pivot dalam pivot elemen
-Baris1 + Baris2
-2Baris1 + Baris3
6Baris1 + Baris4
a. Solusi yang memungkinkan pada tableau ini adalah x=90, y=0, z=0, s=0,
t=210, u=60, dan P=540
b. Interpretasi pada solusi ini adalah apabila souvernir A diproduksi
sebanyak 90 unit dengan tidak memproduksi kedua tipe souvernir lainnya
maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan sebesar $540
c. Nilai negatif masih terdapat pada baris terbawah tableau tersebut
sehingga fungsi tujuan dinyatakan belum maksimal
X y z s t u P = konstanta
1 0.5 0.5 0.5 0 0 0 = 90
1 3 2 0 1 0 0 = 300
2 1 2 0 0 1 0 = 240
-6 -5 -4 0 0 0 1 = 0
X y z s t u P = konstanta
1 0.5 0.5 0.5 0 0 0 = 90
0 2.5 1.5 -0.5 1 0 0 = 210
0 0 1 -1 0 1 0 = 60
0 -2 -1 3 0 0 1 = 540
24
8. Menentukan elemen pivot yang baru
a. Memilih kolom dengan indikator nilai yang berada kedua dari kiri pada
matriks, dalam tableau ini yang dimaksud adalah kolom 2.
b. Membagi setiap konstanta pada kolom paling kanan dengan elemen pivot
kemudian pilih yang nilainya paling kecil.
90/0,5 = 180
210/2,5 = 84………nilai terkecil
c. Pivot yang digunakan adalah nilai 2,5 pada kolom 2 tableau tersebut
9. Mengubah elemen pivot menjadi bernilai 1
1/2,5 Baris2
10. Pivot dalam pivot elemen
-0.5 Baris2 + Baris2
2 Baris2 + Baris4
a. Hasil yang memungkinkan adalah x=48, y=84, z=0, s=0, t=0, u=60, dan
P=708
b. Interpretasi dari solusi persamaan tersebut adalah apabila souvernir tipe
A diproduksi sebanyak 48, tipe B sebanyak 84, dan tidak ada produk C
yang diproduksi maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan sebesar
$708
c. Nilai negatif sudah tidak muncul pada baris terakhir matriks tersebut
sehingga fungsi tujuan dapat dinyatakan maksimum.
X y z s t u P = konstanta
1 0.5 0.5 0.5 0 0 0 = 90
0 1 0.6 -0.2 0.4 0 0 = 84
0 0 1 -1 0 1 0 = 60
0 -2 -1 0 0 0 1 = 540
x y z s t u P = konstanta
1 0 0.2 0.6 -0.2 0 0 = 48
0 1 0.6 -0.2 0.4 0 0 = 84
0 0 1 -1 0 1 0 = 60
0 0 0.2 2.6 0.8 0 1 = 708
25
I.8. Hipotesis
Pada penelitian ini optimasi penentuan jumlah menara, jumlah panjang
penghantar, dan total biaya pembangunan didasarkan pada jarak antar menara. Jarak
antar menara dalam penelitian ini berdasarkan pada kelas kelerengan dengan rentang
jarak antar menara yang didesain dengan asumsi jarak minimum sebesar 290 m
sedangkan jarak maksimum antar menara sebesar 350 m. Jika diasumsikan semua
jarak antar menara minimum yaitu sebesar 290 m maka jumlah menara yang akan
diperoleh adalah 117 menara, sedangkan jika asumsi jarak maksimum yaitu sebesar
350 m maka jumlah menara yang akan diperoleh adalah 97 menara. Mengacu pada
asumsi ini, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jumlah menara hasil optimasi menggunakan metode programma linear yang
diselesaikan dengan metode simplex berjumlah antara 97 menara hingga 117
menara. Perkiraan jumlah menara didapatkan dari panjang jalur transmisi
keseluruhan dibagi dengan asumsi jarak minimum dan maksimum.
2. Jumlah panjang penghantar hasil optimasi menggunakan programma linear
yang diselesaikan dengan metode simplex berjumlah antara 33.930 m hingga
33.950 m. Perkiraan jumlah panjang penghantar tersebut didapatkan dari
perkiraan jumlah menara dikalikan dengan asumsi jarak minimum dan
maksimum.
3. Total biaya pembangunan hasil optimasi berkisar antara Rp. 4.762.180.000,00
dengan rincian harga menara sebesar Rp 3.880.000.000,00 dan harga
penghantar sebesar Rp. 882.180.000,00 hingga Rp. 5.562.700.000,00 dengan
rincian harga menara sebesar Rp.4.680.000.000,00 dan harga penghantar
sebesar Rp. 882.700.000,00. Total biaya perkiraan tersebut didapatkan dari
perkiraan jumlah menara pada poin (1.) dikalikan dengan perkiraan harga
satuan menara sebesar Rp. 40.000.000,00 dan perkiraan jumlah panjang
penghantar pada poin (2.) dikalikan dengan harga panjang penghantar tiap km
sebesar Rp. 26.000.000,00.