23
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang jumlah penduduknya sangat besar. Sebagai negara kepulauan, penduduk Indonesia memiliki persebaran yang tidak merata. Berbagai masalah yang merupakan akibat dari persebaran penduduk yang tidak merata kerap kali muncul dan mendesak pemerintah untuk dapat sesegera mungkin bertindak untuk mengambil sebuah kebijakan. Pertumbuhan penduduk yang sangat besar dengan persebaran tidak merata disertai rendahnya kualitas penduduk juga menjadi sumber permasalahan yang berkaitan dengan kependudukan di Indonesia. Berbagai permasalahan ini mengakibatkan munculnya permasalahan baru di bidang kependudukan yang antara lain adalah : pendidikan, kemiskinan, kesehatan, pengangguran. Keselarasan jumlah penduduk yang besar akan menuntut adanya keselarasan terhadap segi kualitas sumber daya manusia yang baik pula. Akan timbul permasalahan-permasalahan menyangkut penduduk di sebuah negara apabila terjadi ketimpangan yang nyata antara jumlah penduduk yang besar dengan dukungan sumber daya manusia yang relatif rendah (Hughes, 1994). Kedua aspek itulah yang perlu dijaga keseimbangannya agar permasalahan-permasalahan tidak mudah mencuat dan mengganggu stabilitas pembangunan di suatu negara. Ketepatan dan ketersediaan data-data tentang

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70290/potongan/S1-2014...pelayanan publik melalui penerbitan dokumen kependudukan seperti Nomor Induk

  • Upload
    dothuan

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang jumlah

penduduknya sangat besar. Sebagai negara kepulauan, penduduk Indonesia

memiliki persebaran yang tidak merata. Berbagai masalah yang merupakan akibat

dari persebaran penduduk yang tidak merata kerap kali muncul dan mendesak

pemerintah untuk dapat sesegera mungkin bertindak untuk mengambil sebuah

kebijakan.

Pertumbuhan penduduk yang sangat besar dengan persebaran tidak merata

disertai rendahnya kualitas penduduk juga menjadi sumber permasalahan yang

berkaitan dengan kependudukan di Indonesia. Berbagai permasalahan ini

mengakibatkan munculnya permasalahan baru di bidang kependudukan yang

antara lain adalah : pendidikan, kemiskinan, kesehatan, pengangguran.

Keselarasan jumlah penduduk yang besar akan menuntut adanya keselarasan

terhadap segi kualitas sumber daya manusia yang baik pula. Akan timbul

permasalahan-permasalahan menyangkut penduduk di sebuah negara apabila

terjadi ketimpangan yang nyata antara jumlah penduduk yang besar dengan

dukungan sumber daya manusia yang relatif rendah (Hughes, 1994).

Kedua aspek itulah yang perlu dijaga keseimbangannya agar

permasalahan-permasalahan tidak mudah mencuat dan mengganggu stabilitas

pembangunan di suatu negara. Ketepatan dan ketersediaan data-data tentang

2

penduduk yang lengkap dalam pembangunan di negara kita merupakan aspek

yang memegang peran yang sangatlah penting. Ini menuntut kerja keras para

penyelenggara negara mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat yang paling

bawah di dalam mengumpulkan dan menjamin keterkaitan dengan pembangunan

kependudukan, pembangunan administrasi kependudukan sebagai sebuah sistem

merupakan bagian yang tak terpisahkan dari administrasi pemerintahan dan

administrasi negara dalam memberikan jaminan kepastian hukum dan

perlindungan terhadap hak-hak individu penduduk. Perlindungan tersebut berupa

pelayanan publik melalui penerbitan dokumen kependudukan seperti Nomor

Induk Kependudukan (NIK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga

(KK), akta-akta catatan sipil dan dokumen kependudukan lainnya.

Kebijakan pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat diawali dengan

mengatur kebijakan tentang kependudukan sehingga dapat dicapai tertib

administrasi kependudukan. Tertib administrasi kependudukan dapat terjadi

apabila pemerintah dan masyarakat menyadari dan masing-masing melakukan

tindakan. Pemerintah dalam menjalankan tertib administrasi kependudukan

tersebut sesuai dan diatur dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintah Daerah. Pada hakekatnya pemerintah daerah, pemerintah

kota ataupun pemerintah kabupaten diberi kewenangan untuk mengurus dan

memajukan daerahnya. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya

3

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan

peran serta masyarakat.

Dalam penelitian ini Pemerintah Kota Yogyakarta khususnya Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil sebagai objek penelitian, dikarenakan

pelayanan administrasi kependudukan sebagai hal yang strategis dan menjadi

primadona pelayanan publik dibanding dengan pelayanan yang lainnya. Hal ini

tidak lepas dari kemajekmukan masyarakat yang tinggal di Kota Yogyakarta,

salah satunya Kota Yogyakarta sebagai kota tujuan pendidikan dan perekonomian

dari berbagai penjuru daerah di Indonesia yang tidak sedikit kemudian dalam

perjalanannya membutuhkan legalitas kependudukan dari Pemerintah Kota

Yogyakarta.

Terkait dengan administrasi kependudukan, Pemerintah Kota Yogyakarta

menindaklanjutinya dengan mengeluarkan kebijakan administrasi kependudukan

yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007, Peraturan Daerah

Nomor 8 Tahun 2007, Peraturan Walikota Nomor 86 Tahun 2007, Peraturan

Walikota Nomor 25 Tahun 2008 serta Peraturan Walikota Nomor 10 Tahun 2009.

Semua kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta tersebut pada intinya mengatur

hal-hal yang berkenaan dengan penyelenggaraan administrasi kependudukan.

Dalam melaksanakan tugas administrasi kependudukan tersebut, Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil merupakan pelaksana pemerintah daerah

dalam bidang kependudukan dan pencatatan sipil.

4

Dalam pelaksanaan tertib administrasi kependudukan pemerintah, dalam

hal ini Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, tidak dapat berusaha sendiri

namun sangat memerlukan adanya peran serta dari masyarakat dan lembaga sosial

kemasyarakat yang lain. Sinergi antara Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

(sebagai pelaksana kebijakan) dengan masyarakat dan lembaga sosial

kemasyarakatan akan berdampak positif bagi penyelenggaraan kebijakan tersebut.

Namun dalam pelaksanaannya masih banyak ditemui beberapa permasalahan

yang muncul, baik pada pelaksana maupun pada masyarakat. Sebagai contoh dari

sisi pemerintah; adanya penerbitan dokumen kependudukan ganda, ditemuinya

data kependudukan yang tidak sama, ditemuinya perbedaan jumlah pendudukan

yang dikeluarkan antar instansi pemerintah, masih adanya keterbatasan sumber

daya manusia secara kualitas di pemerintah dan beberapa sarana dan prasana yang

kurang memadai. Sedangkan dari sisi masyarakat; tingkat kesadaran akan arti

pentingnya dokumen kependudukan masih rendah. Atas dasar permasalahan yang

muncul maka Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mengambil beberapa

langkah kebijakan yang diharapkan dapat memperlancar penyelenggaraan

administrasi kependudukan. Kebijakan terkait penyelenggaraan administrasi

kependudukan diarahkan pada pemenuhan hak asasi dan kewajiban setiap orang

di bidang pelayanan administrasi kependudukan, pemenuhan data statistik

kependudukan secara nasional, regional, dan lokal serta dukungan terhadap

pembangunan sistem administrasi kependudukan guna meningkatkan pemberian

pelayanan tanpa diskriminasi.

5

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk

mengambil judul “Implementasi Administrasi Kependudukan di Kota

Yogyakarta”.

I.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah disampaikan di atas maka perumusan

masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana implementasi administrasi

kependudukan yang diterapkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

Yogyakarta kepada masyarakat?”

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah melakukan analisis terhadap implementasi

penyelenggaraan administrasi kependudukan di Kota Yogyakarta.

I.4 Kerangka Teori

Implementasi administrasi kependudukan dalam penelitian ini

dimaksudkan sebagai suatu implementasi sebuah kebijakan publik. Pemahaman

mengenai kebijakan publik menjadi pijakan untuk menganalisis permasalahan

yang ada dan dilanjutkan dengan penjabaran mengenai implementasi kebijakan.

Dalam penelitian ini, teori Grindle digunakan untuk menganalisis isi dan konteks

kebijakan, selain itu juga digunakan untuk mendiskripsikan sistem kebijakan top-

down dan bottom-up.

6

I.4.1 Kebijakan Publik

Public policy is whatever governments choose to do or not to do

(kebijakan publik merupakan pilihan pemerintah tentang apa yang dilakukan

maupun yang tidak dilakukan (Dye, 1978). Pengertian kebijakan publik tersebut

mengarah pada tindakan pemerintah dalam berbagai sektor, semisal politik,

ekonomi, sosial yang bersifat dinamis, dimana pemerintah menjadi satu-satunya

otoritas dalam pengambilan kebijakan publik. Sedangkan kebijakan publik

menurut Dimock dalam Soenarko (2000) adalah suatu perpaduan pendapat dan

keinginan berbagai golongan dalam masyarakat. Adapun kebijakan publik

menurut Anderson dalam Soenarko (2000) merupakan suatu arah tindakan yang

memiliki tujuan yang dilaksanakan oleh pelaku dalam rangka untuk mengatasi

suatu masalah.

Terdapat tiga hal utama dalam kebijakan publik menurut (Wibawa, 1994),

yakni tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara untuk mencapai sasaran

tersebut. Dua hal utama, tujuan yang luas dan sasaran yang spesifik, kemudian

diterjemahkan dalam program aksi dan proyek. Hal ketiga yakni cara untuk

mencapai sasaran merupakan komponen yang berfungsi untuk mewujudkan

tujuan dan sasaran, yang kemudian disebut sebagai implementasi.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik harus

memenuhi dua hal utama, yakni, pertama dibuat oleh institusi yang memiliki

otoritas (pemerintah) dan kedua adalah kebijakan tersebut diarahkan kepada

masyarakat yang memberi otoritas kepada pengambil kebijakan. Suatu keputusan

menjadi kebijakan publik jika mengandung unsur kepentingan masyarakat.

7

Menurut Herbert A. Simon dalam Soenarko (2000) suatu keputusan yang menjadi

kebijakan publik tidak hanya berisikan hal-hal faktual (factual proposition),

namun juga berisi nilai-nilai luhur bagi kehidupan masyarakat (ethical

proposition). Menurut Portiley (1986), kebijakan publik mengkhususkan kajian

pada hasil tindakan pemerintah. Kebijakan publik harus dilihat sebagai suatu

proses dan hasil (output) yang kemudian menghasilkan keluaran (outputs) dan

dampak (outcomes) yang kemudian dapat digunakan sebagai feedback

untukperbaikaninput.

Proses kebijakan menurut Portiley (1986)

I.4.2 Implementasi Kebijakan Publik

Jika suatu kebijakan sudah dibuat, dilaksanakan dan ditegakkan

pelaksanaannya, maka kebijakan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai suatu

kebijakan publik (Dye, 1978). Kebijakan sebagai suatu proses berarti pembuatan

kebijakan tidak selesai setelah kebijakan tersebut ditentukan ataupun disetujui.

Policy conversion

process

Public policy "outputs"

Public policy "outcomes"

Public policy "feedbacks"

Public policy input

8

Namun, hal ini berarti ada sebuah tindakan pasca kebijakan agar tujuan yang

diharapkan dapat tercapai. Tindakan inilah yang disebut sebagai suatu

implementasi kebijakan. Mudahnya, suatu implementasi kebijakan merupakan

tindakan pemerintah dalam mengelola sumberdaya untuk mencapai tujuan

kebijakan.

Menurut Parsons (2003), implementasi merupakan pelaksanaan

pembuatan kebijakan yang terkadang malah memberikan jarak antara kebijakan

itu sendiri dan administrasi, walaupun proses implementasi itu sebenarnya

merupakan permasalahan administrasi. Permasalahan implementasi kebijakan

dapat terjadi sebagai dampak dari sebuah mata rantai yang hilang setelah proses

evaluasi kebijakan dilakukan. Suatu kebijakan publik yang memenuhi semua

komponen kelayakan kebijakan tidak selalu mencapai tujuan yang diinginkan

karena adanya penyimpangan maupun reduksi hasil dari sasaran yang ditargetkan.

Dalam hal inilah kajian mengenai implementasi menjadi penting. Hal tersebut

sesuai apa yang dikemukakan oleh Koening (1986), bahwa terdapat keluhan-

keluhan terhadap pemerintah atas implementasi kebijakan yang tidak/kurang

sempurna. Terdapat faktor eksternal maupun internal pemerintah yang dapat

mempengaruhi proses dan implementasi kebijakan. Studi mengenai implementasi

menekankan bahwa proses implementasi harus dibedakan dari proses pembuatan

kebijakan, karena dua hal tersebut memiliki fokus perhatian dan proses yang

berbeda Hill (1997). Kebijakan seringkali dianggap sebagai bagian tersendiri,

merupakan suatu kesatuan yang tegas, sedangkan implementasi merupakan kajian

yang terpisah. Berkaca dari hal tersebut, permasalahan implementasi dapat

9

mencakup identifikasi dari pandangan aktor-aktor terkait mengenai apa yang

seharusnya terjadi baik secara kasat mata (eksplisit) maupun tidak kasat mata

(implisit).

I.4.2.1 Implementasi Kebijakan Publikdalam Ranah Sistem Top-Down

Permasalahan implementasi merupakan suatu proses interaksi

antara penentuan suatu tujuan dan tindakan yang dilakukan untuk

mencapai tujuan tersebut Pressman dan Wildavsky (1984). Hal ini

dimaksudkan agar hubungan mata rantai sebab akibat yang mempengaruhi

jalan atau tidaknya suatu kebijakan bisa tercapai. Menurut Pressman dan

Wildavsky (1984) bahwa implementasi tidak akan efekfif apabila

hubungan antar semua aktor kebijakan malah menghasilkan “defisit

implementasi”. Oleh karena itu, untuk mengurangi permasalahan

implementasi maka beberapa hal harus dilakukan, diantaranya: tujuan

harus dijelaskan secara rinci dan dipahami dengan baik, sumberdaya harus

tersedia, komunikasi efektif antar sistem untuk dapat mengontrol individu

dan organisasi yang terlibat. Pressman dan Wildavsky (1984) juga

menegaskan perlunya sistem kontrol yang baik, komunikasi top-down

yang tepat dan sumberdaya yang efektif. Selain itu, Parson (2003)

menggarisbawahi bahwa suatu keputusan/kebijakan yang diambil

pengambil keputusan haruslah suatu kebijakan yang dipandang bisa

dilakukan. Jika sistem dalam kebijakan publik tidak dapat memenuhi

tujuan, maka pembatasan janji (suatu kebijakan) ada pada tingkat yang

bisa dipenuhi dalam proses implementasi.

10

Sabartier dan Mazmanian dalam Wibawa (1994) menegaskan

bahwa implementasi suatu kebijakan akan mudah jika birokrasi

pelaksanaan patuh terhadap peraturan. Hal ini penting untuk menjamin

efektivitas proses implementasi dalam suatu kerangka sistem top-down.

Hal ini juga diungkapkan oleh Hill (1997) bahwa kebijakan diletakkan

secara top-down untuk menjaga kemurnian kebijakan (meminimalisir

ambiguitas), mengatur struktur implementasi (agar mata rantai kebijakan

tidak terlalu panjang), menghindari interfensi luar dan mengendalikan

aktor yang bekerja untuk implementasi kebijakan.

I.4.2.2 Implementasi Kebijakan Publik dalam Ranah Sistem Bottom-up

Ketidakadaan penjelasan mengenai peran aktor dan unsur lain

dalam proses implementasi dalam ranah sistem top-down memunculkan

kritik yang diwujudkan dalam suatu model baru yang disebut bottom-up.

Teori bottom-up ini menitikberatkan pada hubungan antara pembuat

kebijakan dan pelaksana kebijakan. Ide bottom-up ini kemudian

diistilahkan sebagai pemetaan mundur (backward mapping), maksudnya

adalah analisis ini dimulai pada fase ketika kebijakan sudah mencapai titik

terakhir, pola perilaku dan konflik yang ada diteliti untuk kemudian

merumuskan kebijakan baru dengan dasar kebijakan lama. Model ini

sering dianggap sebagai proses negosiasi dan pembuatan konsensus.

Model bottom-up ini menekankan pada fakta bahwa implementasi di

“lapangan” memberi keleluasaan dalam penerapan kebijakan. Di lapangan,

suatu kebijakan pemerintah dapat diimplementasikan secara berbeda

11

dengan yang dikehendaki oleh pembuat kebijakan. Model bottom-up

relatif lebih ‘bebas dari asumsi’ yang telah ditentukan sebelumnya

dibandingkan dengan model top-down. Barret dan Hill dalam Hill (1997)

mengungkapkan bahwa untuk dapat mengerti hubungan antara kebijakan

dengan tindakan, maka kita harus meninggalkan pola perspektif tunggal

yang mencerminkan suatu bentuk administrasi normatif dan mencoba

untuk menemukan konsep yang mencerminkan bukti empiris di lapangan.

Bukti empiris akan memperjelas interaksi antara aktor (individu dan

kelompok) yang sangat kompleks dan dinamis. Hal ini akan memperjelas

bagaimana posisi penentu aksi dan siapa yang akan diuntungkan jika

perubahan tercapai. Model ini menginginkan adanya aktor-aktor lain

pembuat kebijakan untuk ikut dalam proses implementasi kebijakan

dengan memperhitungkan bahwa suatu kebijakan adalah fenomena yang

sangat kompleks sehingga kebijakan dapat memberi efek yang diharapkan

oleh obyek kebijakan. Namun demikian, entah apapun pendekatan yang

dipilih, mereka yang ada di garda depan pelaksanaan kebijakan memiliki

level keleluasaan dengan tingkat yang berbeda dalam hal pemilihan aturan

yang akan digunakan dalam penerapan kebijakan (Parsons, 2003).

I.4.2.3 Implementasi Kebijakan dalam Kerangka Grindle

Teori mengenai implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh

Grindle (1980) dianggap sebagai jalan keluar dari dua perdebatan top-

down dan bottom-up. Grindle (1980) memberikan pemahaman bahwa

pendekatan top-down dan bottom-up sama-sama penting karena peran dari

12

masing-masing level implementasi kebijakan sama-sama penting

walaupun berbeda satu sama lain. Grindle (1980) menjelaskan peran para

pihak dengan melihat pada isi dan konteks kebijakan. Pada isi dan konteks

kebijakan, setiap aktor mempunyai ruang untuk memainkan peran mereka

masing-masing sesuai dengan porsi yang dipunyai dan berupaya untuk

dapat mencapai tujuannya sendiri, entah itu merupakan bagian dari tujuan

bersama maupun tidak. Kajian mengenai isi kebijakan mencerminkan

sebuah kondisi top-down, dimana para pembuat kebijakan dapat

merumuskan apa yang menjadi keinginan dan kehendaknya untuk

diterapkan di masyarakat. Sedangkan dalam kajian mengenai konteks

kebijakan mencerminkan kondisi bottom-up dimana peran dari ‘street level

bureaucracy’ dan para pelaksana kebijakan lainnya menjadi sangat

penting untuk menjamin kesuksesan implementasi kebijakan.

Terdapat dua faktor yang menentukan implementasi kebijakan

publik yakni isi kebijakan dan konteks kebijakan menurut Grindle (1980):

1. Isi kebijakan, yang meliputi:

a. Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan,

Kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak akan

cenderung lebih sulit untuk diimplemtasikan daripada kebijakan yang

menyangkut kepentingan orang dalam skala kecil. Hal tersebut wajar

mengingat bahwa kebijakan merupakan suatu proses politik yang sarat

akan kepentingan.

13

b. Jenis manfaat yang didapatkan dari implementasi kebijakan,

Kebijakan yang akan memberi manfaat lebih besar tentunya mendapat

dukungan berbagai pihak sehingga implementasinya lebih mudah.

Manfaat kebijakan terkait dengan tingkat perubahan yang dikehendaki

dengan adanya kebijakan yang dimaksud.

c. Tingkat perubahan yang diinginkan,

Tingkat perubahan dapat disesuaikan dengan dimensi waktu. Untuk

jangka waktu byang lama, tingkat perubahan dapat dilaksanakan

secara perlahan sehingga proses implementasi juga lebih mudah. Hal

ini tentu saja berbeda apabila suatu kebijakan yang menghendaki

adanya perubahan mendasar dalam perilaku kehidupan masyarakat

yang menjadi objek kebijakan. Dalam hal ini, implementasi kebijakan

akan lebih sulit dilakukan.

d. Tempat pembuatan kebijakan,

Tempat pembuat kebijakan mengandung pengertian kedudukan

pembuat kebijakan.

e. Aktor implementasi kebijakan,

Aktor implementasi kebijakan meliputi pembuat dan penerima

kebijakan (sasaran kebijakan).

14

f. Sumberdaya yang tersedia.

Sumber daya yang dialokasikan dalam kebijakan juga akan

mempengaruhi implementasinya. Jumlah sumber daya yang besar akan

mempermudah implementasi kebijakan.

2. Konteks kebijakan meliputi:

a. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

b. Karakteristik lembaga dan penguasa

c. Kepatuhan dan daya tanggap

15

Model Implementasi Kebijakan menurut Grindle dalam Wibawa (1994)

I.4.2.4 Implementasi Kebijakan Administrasi Kependudukan

Kebijakan administrasi kependudukan oleh Pemerintah Kota

Yogyakarta diatur oleh Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007, Peraturan

Daerah Nomor 8 Tahun 2007, Peraturan Walikota Nomor 86 Tahun 2007,

Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2008, Peraturan Walikota Nomor 9

Tahun 2009, Peraturan Walikota Nomor 49 Tahun 2013 tentang perubahan

atas lampiran Peraturan Walikota Nomor 90 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.

16

Permasalahan yang muncul tentang administrasi kependudukan

yang ada di masyarakat yang sebelumnya penyelenggaraan administrasi

kependudukan ditangani dan dilaksanakan oleh kecamatan maka untuk

selanjutnya penyelenggaraan administrasi kependudukan menjadi

kewenangan penuh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

Permasalahan yang sering muncul tentang penyelenggaraan administrasi

kependudukan pada tingkat kecamatan kadang muncul multi tafsir tetapi

dengan kewenangan yang ada pada otoritas yang lebih tinggi yaitu pada

dinas maka akan lebih efektif dan legal. Beberapa permasalahan yang

muncul akan kebijakan akan berada di luar kecamatan sehingga apabila

terjadi perlawanan akan kebijakan kecamatan akan mengalami

keterbatasan untuk mengakomodir permasalahan tersebut. Missal terjadi

keterlambatan pelayanan penerbitan dokumen kependudukan karena

masalah jaringa internet, tentunya akan berdampak langsung terhadap

waktu yang dibutuhkan untuk penebitan dokumen kependudukan. Pihak

kecamatan akan sangat terbatas dalam menanganinya. Maka dibutuhkan

kewenangan dan kemampuan yang lebih tinggi untuk pengambilan

keputusan dalam kebijakan tersebut. Berbicara tentang kebijakan

penyelenggaraan administrasi kependudukan yang tertuang dalam

peraturan daerah dan peraturan walikota dapat dilihat dan

mengindikasikan arah kebijakan yang bersumber dari eksekutif saja.

Padahal ada peluang dari pihak institusi dan kelembagaan lain untuk turut

andil dalam kebijakan melalui peraturan daerah yang merupakan wujud

17

representasi masyarakat. Hal ini sedikit banyak menurut Grindle akan

berpengaruh pada kesuksesan dalam implementasi kebijakan. Karena

nantinya pada hal konteks implementasi kebijakan akan mengalami

benturan dari pihak diluar instansi atau birokrasi seperti elit partai politik

dan elit ekonomi. Hal ini menjadi penting karena isi kebijakan akan

mendapatkan sorotan dan kritik ketika berhadapan dengan kenyataan yang

ditemui, dan sangat potensial berimplikasi terhadap kehidupan politik,

sosial, pendidikan, dan perekonomian. Maka sangatlah penting untuk

mempertimbangkan konteks kebijakan dan hal-hal apa saja yang terjadi

sepanjang proses implementasinya pada permasalahan yang muncul di 14

kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta.

Penyelenggaraan administrasi kependudukan, isi kebijakan

mencakup kepentingan-kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan

adalah dari sisi masyarakat. Dalam pelaksanaannya diperlukan daya

dukung, karena kebijakan ini menyangkut kepentingan orang banyak dan

tidak bias terlepas dari kehidupan sehari-hari karena menyangkut dokumen

dan identitas dari masing-masing penduduk. Manfaat dari penerapan

kebijakan ini dapat diperoleh dengan adanya ketegasan dalam mengurus

dokumen kependudukan. Hal ini untuk mendukung tertib administrasi

kependudukan. Kebijakan ini dibuat di Kota Yogyakarta, yang merupakan

gambaran Indonesia mini. Melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan

Sipil yang dalam pelaksanaannya diatur sesuai dengan tugas, pokok dan

fungsi serta rincian tugasnya.

18

Pada tingkatan konteks, Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki

kewenangan dan otoritas penuh untuk mengeluarkan dan melaksanakan

kebijakan yang dianggap perlu dalam penyelenggaraan administrasi

kependudukan. Kepentingan pemerintah adalah untuk menciptakan

kondisi masyarakat Kota Yogyakarta yang sadar akan arti pentingnya

tertib administrasi kependudukan yang berdampak member manfaat

kesejahteraan karena administrasi kependudukan dapat dijadikan tolok

ukur atau sebagai dasar penentuan kebijakan pemerintah dalam sektor lain.

I.5 Definisi Konsep

I.5.1 Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang

mempunyai wewenang atas sebuah permasalahan tertentu atau atas wilayah

tertentu yang mempunyai implikasi kepada masyarakat.

I.5.2 Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan publik adalah cara pelaksanaan kebijakan public

yang dilakukan oleh lembaga yang diberi otoritas oleh pemerintah dalam upaya

untuk mencapai tujuan kebijakan dan menghasilkan efek yang diharapkan.

I.5.3 Administrasi Kependudukan

Administrasi kependudukan adalah penyelenggaraan rangkaian kegiatan

penataan dan penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran

penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan

serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor

19

lain yang dilaksanakan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan

masyarakat.

I.6 Definisi Operasional

I.6.1 Kebijakan Publik

Kebijakan Publik, indikatornya adalah

- Perumusan latar belakang dan tujuan yang jelas dalam kebijakan.

- Penentuan sasaran kebijakan yang spesifik.

I.6.2 Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan, faktor yang mempengaruhi implementasi

kebijakan adalah isi kebijakan dan konteks kebijakan.

Isi kebijakan, indikatornya adalah

- Kepentingan publik yang terpengaruhi oleh kebijakan

- Tingkat perubahan yang dikehendaki dari implementasi kebijakan

- Manfaat dari perubahan yang dikehendaki

- Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia pelaksana kebijakan

- Struktur pemerintah pelaksana kebijakan yang jelas

Konteks kebijakan, indikatornya adalah

- Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung implementasi kebijakan

- Sikap dan persepsi pelaksana kebijakan dalam pencapaian tujuan

kebijakan

20

- Derajat koordinasi dan komunikasi antar bidang dalam pelaksanaan

tugas

- Pembagian kewenangan dalam hal pelaksanaan implementasi

kebijakan

I.6.3 Administrasi Kependudukan

Administrasi kependudukan, indikatornya adalah

- Adanya kegiatan pendataan penduduk, penerbitan dokumen

kependudukan dan pemutakhiran data kependudukan melalui

pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, dan pengelolaan informasi

administrasi kependudukan.

- Adanya masyarakat sebagai pemohon pelayanan dan pemerintah

sebagai pelaksana pelayanan.

- Adanya respon masyarakat dalam mematuhi peraturan yang diatur

dalam ketentuan penyelenggaraan administrasi kependudukan.

I.7 Metode Penelitian

Penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif1 yang

bertujuan untuk menganalisis implementasi administrasi kependudukan di Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Yogyakarta.

1Penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan ihwal masalah atau objek tertentu secara rinci. Penelitian deskriptif dapat bertipe kuantitatif dan/atau kualitatif dan biasanya dilakukan peneliti untuk menjawab sebuah atau beberapa pertanyaan mengenai keadaan objek atau objek amatan secara rinci.

21

Adapun pendekatan yang digunakan adalah bersifat kualitatif. Pendekatan

kualitatif dilakukan melalui observasi dan wawancara terhadap key persons dan

kuestioner terhadap masyarakat.

I.7.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh Peneliti dalam penelitian

ini adalah:

a. Studi Pustaka

Telaah pustaka tentang implementasi kebijakan administrasi

kependudukan dalam meningkatkan pelayanan publik di Kota Yogyakarta.

b. Observasi

Pengamatan langsung dilakukan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan

Sipil Kota Yogyakarta dan di seluruh kecamatan di Kota Yogyakarta

untuk mengetahui bagaimana pelayanan administrasi kependudukan

dilaksanakan. Dalam teknik pengumpulan data ini peneliti menggunakan

observasi non partisipan, hanya sebatas mengamati aktivitas pelayanan

administrasi kependudukan.

c. Wawancara terstruktur dengan orang kunci (key person).

Wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (terlampir) kepada

narasumber yang mengetahui dan memahami implementasi kebijakan

administrasi kependudukan di tingkat Kota Yogyakarta dan di tingkat

kecamatan di seluruh wilayah Kota Yogyakarta.

22

Narasumber yang akan diwawancarai meliputi :

1. Kepala atau Sekretaris Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Kota Yogyakarta yang memiliki tugas utama dalam penyusunan,

pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program dan kegiatan di

bidang kependudukan dan pencatatan sipil.

2. Kepala Bidang Pencatatan Sipil yang melaksanakan dan mengelola

pelayanan pencatatan kelahiran dan kematian, pengakuan anak,

pengesahan anak dan perceraian.

3. Kepala Bidang Data Informasi dan Pengembangan Sistem yang

mengelola secara langsung SIAK dan melaksanakan monitoring dan

evaluasi data kependudukan.

4. Kepala Bidang Pendaftaran Penduduk yang menerbitkan dokumen

kependudukan.

5. Operator Administrasi Kependudukan / Staf Registra di tingkat

kecamatan (14 kecamatan di Kota Yogyakarta), yang merupakan

pelaksana teknis operasional di lapangan.

(Lampiran 1)

d. Wawancara dengan Masyarakat

Wawancara ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi dan persepsi

masyarakat terhadap pelayanan administrasi kependudukan, yang meliputi:

- Akses dan perolehan informasi mengenai pelayanan pengurusan

dokumen kependudukan.

23

- Pemahaman prosedur (peraturan) pengurusan dokumen

kependudukan.

- Kemudahan dalam proses pengurusan dokumen kependudukan:

kesamaan hak, syarat, waktu yang diperlukan untuk pengurusan

dokumen kependudukan.

- Permasalahan yang ditemui.

Pemilihan responden dilakukan pada tingkat kecamatan, dengan alasan

bahwa kecamatan merupakan ujung tombak dari pelayanan kependudukan.

Pemilihan responden dilakukan secara acak terhadap penduduk yang

sedang melakukan kegiatan pelayanan administrasi kependudukan di

tingkat kecamatan. (Lampiran 2)

I.7.2 Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang sesuai dengan penelitian ini adalah analisa

deskriptif kualitatif. Data yang bersifat kualitatif akan dirangkum, difokuskan

pada temuan penting penelitian, dengan menganalisis tema dan polanya, serta

disajikan pula uraian deskriptif naratif, bagan, hubungan antar kategori.