22
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peristiwa 9/11 tahun 2001 telah diakui umum sebagai fenomena perubahan tentang tatanan politik-keamanan global pasca Perang Dingin. AS yang melalui pengalaman atas peristiwa tersebut menandainya sebagai bentuk resistensi terhadap kebebasan, demokrasi dan kemajuan. Penandaan tersebut menggiring aktor di seluruh dunia ke dalam ladang pertempuran antara yang baik (the good) dan yang jahat (the evil). Pada gilirannya kejadian tersebut menjadi rahim atas lahirnya wacana perang melawan terorisme global (global war on terrorism). Terdapat alasan mengapa istilah wacana menjadi objek penelitian ini. Pertama, realitas sebagai hasil konstruksi sosial yang diproduksi dan direproduksi melalui praktek-praktek diskursif dan sistem makna sehingga apa yang diterima secara sosial berkembang menjadi kesadaran dan keyakinan umum. Wacana yang berkembang tidak hanya sekedar cerminan realitas, tetapi konsep yang menetapkan, memberi batasan makna yang khusus terhadap realitas keamanan kontemporer. Berangkat dari titik ini, kajian tentang keamanan internasional secara umum dan perang melawan terorisme global pada khususnya tidak bisa dilakukan tanpa melihat wacana sebagai bagian penting yang menghadirkan (mode of being) konsep- konsep pengetahuan yang ada dalam realitas keamanan dewasa ini. Perang melawan

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77973/potongan/S2-2014...realitas terorisme, konstruksi ancaman, pengakuan umum sejarah 9/11, pembentukan

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peristiwa 9/11 tahun 2001 telah diakui umum sebagai fenomena perubahan

tentang tatanan politik-keamanan global pasca Perang Dingin. AS yang melalui

pengalaman atas peristiwa tersebut menandainya sebagai bentuk resistensi terhadap

kebebasan, demokrasi dan kemajuan. Penandaan tersebut menggiring aktor di seluruh

dunia ke dalam ladang pertempuran antara yang baik (the good) dan yang jahat (the

evil). Pada gilirannya kejadian tersebut menjadi rahim atas lahirnya wacana perang

melawan terorisme global (global war on terrorism).

Terdapat alasan mengapa istilah wacana menjadi objek penelitian ini.

Pertama, realitas sebagai hasil konstruksi sosial yang diproduksi dan direproduksi

melalui praktek-praktek diskursif dan sistem makna sehingga apa yang diterima

secara sosial berkembang menjadi kesadaran dan keyakinan umum. Wacana yang

berkembang tidak hanya sekedar cerminan realitas, tetapi konsep yang menetapkan,

memberi batasan makna yang khusus terhadap realitas keamanan kontemporer.

Berangkat dari titik ini, kajian tentang keamanan internasional secara umum

dan perang melawan terorisme global pada khususnya tidak bisa dilakukan tanpa

melihat wacana sebagai bagian penting yang menghadirkan (mode of being) konsep-

konsep pengetahuan yang ada dalam realitas keamanan dewasa ini. Perang melawan

terorisme dan manifestasi kekuasaan ternyata memerlukan konsensus sosial-politik

yang dihasilkan melalui proses diskursif.

Perang melawan terorisme global membutuhkan lebih dari sekedar kebijakan

politik konvensional seperti invasi, penindakan, propaganda atau diplomasi semata-

mata, Ia juga membutuhkan wacana sebagai narasi sejarah yang mengkonstruksi

respon kolektif dan menghilangkan keraguan tiap-tiap individu terhadap peristiwa

9/11. Sejak saat itu, wacana perang melawan terorisme menjadi sangat dominan dan

berkembang sebagai tatanan pengetahuan yang digunakan untuk memahami situasi

keamanan kontemporer.

Sebagai wacana yang dominan, perang melawan terorisme global

menciptakan kutub-kutub pemahaman yang dinamis. Setidaknya terdapat dua asumsi

yang dapat dikemukakan. Pertama, wacana perang melawan terorisme global muncul

sebagai upaya AS untuk menjatuhkan pemimpin politik di negara-negara seperti Irak

dan Afganistan serta negara lain yang mungkin memposisikan dirinya sebagai

penentang AS (rogue state). Kedua, wacana perang melawan terorisme global adalah

satu tahap filosofis yang mempertahankan status quo modernitas. Lihat saja

bagaimana metode pengetahuan dominan yang selama ini digunakan untuk

menjelaskan fenomena terorisme, hanya terbatas pada soal kepentingan AS

meruntuhkan kepemimpinan negara lain yang menentangnya. Padahal, terdapat

alasan lain bahwa wacana terorisme adalah suatu pondasi ilmiah yang melibatkan

relasi kekuasan, identitas, pengetahuan, representasi, objek dan subjek yang melekat

dalam perang melawan terorisme.

Berangkat dari pendapat yang kedua, kajian tentang relasi kekuasan menjadi

penting dalam memahami wacana terorisme. Namun ini bukan sebuah upaya

menentang kebijakan AS dan kebencian terhadap bangsa tersebut, tetapi untuk

menelusuri sarang persembunyian kekuasaan yang terdalam dan menghadirkan

realitas kekuasaan dalam ruang kesadaran individu yang pada gilirannya

menghasilkan kesepakatan kolektif terhadap sejarah terorisme. Berangkat dari hal ini

kemudian dapat dirumuskan bahwa terdapat keterkaitan antara wacana (discourse)

dengan relasi kekuasaan (power relations).

Keterkaitan wacana dan relasi kekuasaan merujuk pada kedudukan keduanya

sebagai sistem mekanis yang dinamis, yaitu bagaimana keduanya menghubungkan

dengan persoalan bagaimana kekuasaan memproduksi subjek, mengkonstruksi

pengalaman historis, menciptakan nilai-nilai universal, diskursus, memori politik dan

rentang pemaknaan secara kolektif.

Wacana perang melawan terorisme bukan semata-mata peristiwa sejarah yang

given atau sekedar kebijakan perang maupun mendudukkan lawan politik Amerika

Serikat di seluruh dunia, melainkan sebuah narasi partikular yang direproduksi ke

dalam kesepakatan kolektif selama sejarah perkembangan terorisme sebelum 9/11.

Sebagai sistem yang mekanis, kekuasaan dan wacana adalah kombinasi efektif dalam

menandai (signfying) kejadian 9/11. Tanpa adanya wacana, proses pembentukan

realitas terorisme, konstruksi ancaman, pengakuan umum sejarah 9/11, pembentukan

subjek-objek dan relasi kekuasaan tidak akan menjadi kumpulan pengetahuan

universal. Berdasarkan hal ini kekuasan menjadi tampak produktif karena

menciptakan konsep-konsep baru dalam merumuskan tatanan dunia. Sebagai ilustrasi

misalnya, pembentukan ancaman baru melalui wacana terorisme menciptakan

individu-individu yang bertanggung jawab terhadap keamanan lingkungannya.

Produktifitas kekuasaan dalam menandai kejadian yang dirumuskan menjadi

sebuah proyek diskursif, wacana perang melawan terorisme global juga sekaligus

menjadi sistem pengetahuan yang umum. Misalnya, terbentuknya identitas kolektif

dalam relasi kekuasaan antar the self / the other, the friend / the enemy, who are we /

who are they? adalah bangunan kontekstual yang menggambarkan diferensiasi dalam

realitas hubungan antar subjek-persoalan dan subjek-aktor. Selain itu, totalisasi

sejarah 9/11 sebagai realitas kompleks kekuasaan yang bergeser menjadi pengetahuan

kolektif adalah satu aspek yang harus dilihat dalam wacana perang melawan

terorisme global.

Wacana dengan demikian menjadi instrumen yang menghubungkan berbagai

unsur dan elemen dalam tatanan sosial-politik masyarakat dunia. Terlihat

instrumentalis memang, namun pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang dimaksud

dengan teroris dan siapa yang menjadi musuh bukan hadir dengan sendirinya (taken

for granted), melainkan dihasilkan melalui ruang produktif kekuasaan yang berproses

melalui reproduksi wacana.

Wacana dan kekuasaan adalah satu kesatuan yang utuh dalam menghadirkan

realitas kolektif, eksistensi dan identitas kita dan mereka yang sekaligus terdiri dari

bangunan pengetahuan yang memberikan jawaban-jawaban paling relevan terhadap

pertanyaan-pertanyaan yang berkembang dalam masa teror dan kemudian dilokalisir

ke dalam relasi sosial masyarakat (Barns, 1999: 3).

Tesis ini dibuat bukan untuk berpihak kepada salah satu pihak yang terkait

dengan terorisme global, dan bukan pula menentang kekuasaan Amerika Serikat,

tetapi justru ditujukan untuk menghadirkan realitas kekuasaan dalam menyusun

kembali dirinya (reconfiguring) dan kaitannya dengan hubungan kekuasaan yang

retak di antara subjek sebelum peristiwa 9/11. Selain itu, tesis ini merupakan

penelitian yang ditulis untuk menelusuri gejala-gejala kekuasaan dari sudut pandang

berbeda atau lebih khusus memahaminya dengan pendekatan posmodernisme.

1.2 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana bentuk relasi kekuasaan dalam wacana perang melawan

terorisme global?

2. Bagaimana mekanisme kekuasaan dalam wacana perang melawan

terorisme global?

1.3 Telaah Pustaka

Studi terorisme pada khususnya dan keamanan secara umum telah

berkembang luas. Namun minat kajian terorisme berbasis pendekatan

pascamodernisme dan/atau pascastrukturalisme dalam hubungan internasional

terbilang masih relatif terbatas. Mungkin sebagian sarjana dalam negeri - tanpa

bermaksud mengadili - lebih memilih menjadi seorang pragmatis dan menghindari

pilihan teori yang dinilai sulit. Pemilihan teori posmodernisme sebagai landasan

pemikiran dalam penelitian tentang terorisme dan keamanan internasional cukup

berkembang di luar negeri sebagai agenda penelitian kritis yang mencoba keluar dari

rezim metodologi klasik.

Berdasarkan sumber-sumber bacaan yang dihimpun dan diteliti oleh penulis,

kajian wacana tentang global war on terrorism dengan pendekatan posmodernisme

masih hanya berpusat pada ilmuwan - sekedar menyebut beberapa - seperti Der

Derian, A. W Neal dan Lee Jarvis. Masing-masing di antara mereka memiliki

argumentasi dan cara penjelasan yang berbeda, namun terdapat komitmen yang sama

dalam substansi penelitian mereka. Upaya menunjukkan perbedaan utama dan

sejumlah persamaan substansi dilakukan dengan mengurai satu persatu penelitian

yang telah mereka hasilkan yang dimulai dari telaah atas penelitian James Der

Derian, dan dilanjutkan dengan penelusuran riset Lee Jarvis dan terakhir Andrew W

Neal.

Der Derian dalam bukunya Critical Practices in International Theory:

Selected Essays melakukan tinjauan semiotik terhadap wacana terorisme global. Der

Derian mempersoalkan tentang keterkaitan bahasa dalam wacana terorisme global

dengan pembentukan identitas ‘yang lain’ (the other). Tulisan Der Derian mencoba

mengurai definisi wacana terorisme global melalui tahap dekonstruksi dan

rekonstruksi makna ancaman dan bentuk-bentuk terorisme. Tahap ini adalah upaya

mendalam yang digunakan untuk menelusuri berbagai macam definisi terorisme

sebagaimana yang berkembang dalam wacana pengetahuan teror pada rentang waktu

yang berbeda (Der Derian, 2009: 71 – 73).

Dalam penelitiannya, Der Derian menganjurkan bahwa kajian terorisme

global seharusnya dimulai dengan mengidentifikasi aktivitas terorisme dari berbagai

latar belakang pelaku, jenis dan tujuan yang ingin dicapainya. Pengetahuan tentang

definisi dan pemahaman dalam wacana terorisme global yang selama ini dihasilkan

melalui pemberitaan publik, akademisi dan media massa adalah persoalan

epistemologi yang serius sehingga terdapat bias-bias pengetahuan dalam memahami

terorisme.

Menurut Der Derian, menulis tentang terorisme tidak selamanya harus

dialamatkan pada studi kepentingan dan kekuasaan tradisional, tetapi juga

membutuhkan usaha serius untuk mempersoalkan beragam perbedaan terminologi

dalam mendefinisikan terorisme yang berkembang dalam rentang waktu sebelumnya

atau membandingkan pengertian yang telah ada sebelumnya dalam konteks 9/11 dan

setelahnya. Misalnya, apa yang membedakan terorisme yang ditampilkan di media

massa dengan kelompok bandit, kriminal, pejuang pembebasan, terorisme sosial,

pure terrorism, narco-terrorism dan state terrorism vs stateless terrorism?

Selanjutnya menurut Der Derian, juga perlu dipertanyakan mengapa

kekerasan dan teror yang dilakukan identitas tertentu dianggap aksi terorisme

sementara yang lainnya tidak? atau selanjutnya mempersoalkan mengapa tindakan

kekerasan negara kepada subjek-pelaku yang baru berpotensi melakukan aksi tidak

diklasifikasikan sebagai tindakan teror? Persoalan-persoalan ini menggiring pembaca

Der Derian untuk memahami memahami kembali berbagai bias episemologis dan

terminologi dari praktek pengetahuan ilmiah (mode of knowledge).

Pada bagian selanjutnya, Der Derian juga menampilkan proses diferensasi

antara "the self" dan "the other”. Menurutnya, proses berhubungan secara inheren

dengan wacana terorisme global (Der Derian, 2009: 71 – 73). Wacana tidak hanya

sebagai pembingkai realitas dan membentuk relasi sosial-politik dalam konteks

keamanan internasional, tetapi juga melibatkan representasi identitas. Misalnya

beberapa waktu setelah serangan 9/11, media massa dan sebagian masyarakat dunia

mengidentifikasi pelaku serangan WTC dengan simbol-simbol masyarakat Islam

sebagai pembedaan terhadap identitas mereka dan Osama bin Laden. Hal ini

merepresentasikan identitas antara AS dan teroris.

Lee Jarvis menekankan wacana global war on terrorism sebagai agenda

perjuangan kekuasaan (the political struggle). Jarvis berpendapat bahwa wacana

merupakan pembentuk identitas, pengorganisasi agen-agen sosial, sebuah praktek dan

relasi antar individu, institusi politik serta pembingkai sejarah baru yang koheren

dengan relasi kekuasaan (Jarvis, 2009: 7 – 10). Dalam bukunya Times of Terror

Discourse: Temporality and the War on Terror (Jarvis, 2009: 10), menyatakan:

Discourse theory puts power and power struggles at the top of the agenda. Power is not analysed in terms of a resource or capacity one can possess, store, or retrieve, or as a relation of domination. Power is conceived in terms of the political acts of inclusion and exclusion that shape social meanings and identities and condition the construction of social antagonisms and political frontiers. The construction of discourse always involves both inclusion and exclusion of identity and this means that discourse and power are intrinsically linked with each other

Berdasarkan kutipan di atas, wacana perang melawan terorisme global yang

dikampanyekan oleh bangsa Amerika dan perang terhadap bangsa Barat yang

dinyatakan Osama bin Laden beserta pengikutnya adalah medan pertarungan wacana

perjuangan kekuasaan yang menghasilkan pengecualian terhadap identitas yang

dimiliki lawan mereka. Melalui pertarungan wacana, kedua pihak sama-sama

membangun identitas kolektif perjuangan politiknya. Konstruksi wacana perang

melawan terorisme global telah membentuk perbedaan identitas kebudayaan maupun

politik antara Timur vs Barat, Osama bin Laden vs George W. Bush, Demokrasi vs

anti-demokrasi dan kebebasan vs anti kebebasan. Itulah sebabnya mengapa

kekuasaan dan wacana berhubungan dengan pembentukan identitas sebuah

kebudayaan, ideologi dan karakter perjuangan kekuasaan.

A.W Neal berbicara tentang pembentukan subyek-objek dalam wacana global

war on terrorism. Dengan meminjam gagasan Foucault, Neal berpandangan bahwa

wacana global war on terror sebenarnya tidak lain adalah perwujudan dari proses

pembentukan subjek politik secara kolektif yang ditujukan kepada kelompok

pembangkang, revisionis dan kelompok minoritas. Menurut Neal cara berpikir

demikian adalah cara yang berguna untuk melihat hubungan antara wacana dan

kekuasan yang ada dalam perang terhadap terorisme, semisal subjektifikasi yang

ditujukan kepada kelompok Islam yang selama ini menentang nilai-nilai politik dan

kekuasaan barat dan penandaan1 kelompok Osama bin Laden kepada bangsa Barat

(Neal, 2008: 44).

Wacana perang yang dikumandangkan oleh Bush dan Osama pada dasarnya

memiliki klasifikasi yang spesifik tentang kawan-lawan dan sekaligus membingkai

kebenaran-kebenaran realitas, sejarah, nilai dan keyakinan yang ditujukan kepada

publik dalam memahami dan menyampaikan pesan-pesan kekuasaan kepada publik.

Dalam konteks ini bisa disimpulkan bahwa realitas perang melawan terorisme adalah

medan pertarungan wacana kekuasaan.

Jika ditelaah dengan seksama, ketiga akademisi diatas menggunakan konsep

wacana dan kekuasaan sebagai objek kajian mereka. Wacana dilihat sebagai

pembingkai realitas sosial, institusi politik, identitas dan subjek-objek di mana

pagelaran kekuasaan global sedang digelar dengan tujuan akhirnya bukan pada

tercapainya kepentingan AS dan Osama bin Laden semata-mata, tetapi bagaimana

cara pandang atau perspektif global dapat diterima secara universal dan sejalan

dengan apa yang diproduksi secara simultan oleh kekuasaaan, baik yang direproduksi

oleh negara maupun individu atau kelompok. Sejak wacana memiliki peran penting

terhadap reproduksi pengetahuan, maka dengan cara itulah kekuasaan beroperasi.

Penelitian ini bukan diarahkan untuk menunjukkan perjuangan kekuasaan AS

dan Osama bin Laden melalui wacana. Tetapi dikhususkan pada usaha untuk

memahami gejala-gejala kekuasaan dan korelasinya dengan berbagai pengecualian

1 Istilah penandaan yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada proses identifikasi terhadap

identitas suatu kelompok maupun individu. Sebuah upaya untuk memberi klasifikasi kepada pihak lain.

terminologis sebagaimana yang diartikan dalam konsep wacana. Jadi, penelitian ini

tidak mengkhususkan wacana perang melawan terorisme sebagai medium perjuangan

kekuasaan, melainkan kekuasaan sebagai sistem mekanis yang terkait dengan

pengecualian terhadap terminologi teror, ancaman, dan identitas, tetapi disini, wacana

sebagai bentuk pamer kekuasaan dengan tekniknya yang spesifik, tersebar bahkan

manipulatif.

1.4 Kerangka Dasar Pemikiran

Topik kekuasaan terbagi menjadi dua narasi besar, yakni positivisme

(modernisme) dan pascapositivisme. Teori kekuasaan modern menilai bahwa

kekuasaan terukur dengan bentuknya yang paling jelas, seperti tindakan represif dan

kedaulatan seorang raja. Kelompok modernis memisahkan topik kekuasaan dan

wacana. Itu sebabnya selama ini terjadi kesenjangan antara wacana/pengetahuan

dengan kekuasaan (Devetak, 2001: 162). Kelompok modernis berpegang teguh pada

prinsip pengetahuan bebas nilai (value free), bebas kepentingan (interests) dan tidak

memiliki keterkaitan intrinsik dengan relasi kekuasaan (power relations).

Selanjutnya menurut paham pemikiran kelompok modernis, jika ada sebuah

pengetahuan yang tidak bebas nilai, maka itu merupakan bentuk penyimpangan

ilmiah dan tidak obyektif. Pandangan ini begitu dominan dalam sejarah

perkembangan ilmu sosial modern, termasuk studi hubungan internasional sehingga

model-model penelitian di luar kebiasaan ini akan dicurigai sebagai bentuk

penentangan terhadap obyektivitas pengetahuan.

Pernyataan Hans J. Mourgenthou dalam bukunya Politics among Nations: The

Struggle for Power menggambarkan bahwa wujud kekuasaan yang paling nyata

ditunjukkan dari tindakan pemerintahan Hitler untuk menjajah Eropa Timur

(Mourgenthou, 1985: 31-33). Pemikiran ini telah berlangsung sangat lama dan

menata cara berpikir masyarakat akademik hubungan internasional secara konsisten.

Konsekuensinya, studi kekuasaan selama ini hanya diletakkan ke dalam terminologi

penaklukan, paksaan (coercion), kekuatan (force), perimbangan kekuatan (balance of

power), kendali formal (formal control), intervensi (intervention), kolonialisme,

ideologi, demonstrasi militer dan kapabilitas material semata-mata.

Bagi penganut paham realisme, perang melawan terorisme global adalah

upaya Amerika Serikat untuk mendemonstrasikan kekuatannya. Negara tersebut

menggunakan kapabilitas materilnya untuk menguasai dan menundukkan lawan-

lawan politiknya di Irak dan Afganistan. Karena itu Morgenthou sebagaimana yang

ditulisnya dalam “international politics like all politics is struggle for power”

menyimpulkan bahwa tindakan dan kebijakan setiap negara dalam politik

internasional sebagaimana dilakukan AS selalu berorientasi pada kekuasaan material

(Mourgenthou, 1985: 31-33). Pandangan klasik ini kemudian memicu perdebatan

yang cukup panjang di antara kalangan akademik sehingga berkembang perspektif

lain tentang kekuasaan sebagai respon terhadap cara pandang yang tampaknya sangat

absolut, mulai dari neorealisme, liberalisme, neoliberalisme, marxisme,

konstruktivisme sampai dengan teori pascakolonialisme dan pascamodernisme.

Teori terakhir, yakni pascamodernisme yang dijadikan landasan pemikiran

dalam penelitian ini tidak lain merupakan penolakan terhadap tatanan perspektif

tentang kekuasaan yang selama ini sangat baku. Perspektif pascamodernisme tidak

memahami kekuasaan dalam bentuk kapabilitas materil semata-mata, tetapi

kekuasaan merujuk pada teknologi dan mekanisme mikro-politik yang tidak selalu

represif dan hanya beroperasi melalui model penaklukan maupun sebagai milik

seorang raja yang berdaulat, tetapi kekuasaan bersifat produktif, beroperasi dengan

strategi sistematis yang beroperasi dalam medan wacana.

Wacana dan kekuasaan dialamatkan pada konstruksi pengetahuan umum,

identitas dan membentuk subjek sekaligus perilaku agen-agen sosial. Menurut

Sterling-Folker, pandangan pascamodernisme atau sering diasosiasikan dengan

pascastrukturalisme mendefinisikan kekuasaan lebih dari model penaklukan dan

imperialisme, tetapi sebagai sistem-strategi dan mekanisme (Sterling-Folker, 2006:

157).

Pascamodernisme pada mulanya berkembang di Eropa kontinental, tepatnya

di Perancis. Michael Foucault adalah filsuf yang dijadikan referensi dalam banyak

tulisan yang berbasis pendekatan posmodernisme. Tulisan-tulisan Foucault

menempatkan wacana sebagai topik utama dalam menganalisis relasi kekuasaan.

Wacana menurut Shapiro bukan konsep yang netral dan bebas nilai, tetapi memuat

elemen kekuasaan yang selama ini disembunyikan (Devetak, 2005: 162 mengutip

Shapiro, 1991: 1). Berangkat dari titik ini, wacana, pengetahuan dan relasi kekuasaan

saling berkaitan dan tidak ada relasi kekuasaan tanpa keberadaan wilayah

pengetahuan yang korelatif dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan dan

membentuk relasi kekuasaan (Foucault, 1995: 27).

Pandangan kekuasaan berdasarkan perspektif pascamodernisme merupakan

jalan keluar alternatif menuju analisis dan penjelasan terhadap sistem, strategi dan

mekanisme kekuasaan pada tataran yang paling mikro (micro-politics of power).

Foucault menyatakan bahwa dalam berpikir tentang kekuasaan, yang perlu dilihat

adalah lebih dari sekedar bentuk eksistensial, titik di mana kekuasaan mencapai pada

tingkatan individu yang menyentuh hingga pada struktur tubuh, cara berpikir,

bertindak dan sikap setiap individu melalui mekanisme yang khusus (Lukes, 2005:

88-89; lihat juga Foucault, Power/Knolwedge, 1980a: 39). Kekuasaan tulis Foucault

tidak selamanya mewujud dalam bentuk represif dan berwujudkan ideologi serta

hegemoni semata, tetapi juga menempatkan subjek-persoalan dan subjek-aktor dalam

seluruh efek kekuasaan (Foucault 1978[1975]: 23).

Dalam bukunya Discipline and Punish: The Birth of the Prison, Foucault

menulis bahwa kekuasaan merupakan sebuah sistem dan mekanisme yang

menentukan karakter, memproduksi subjek dan menormalisasinya yang menyebar

dalam interaksi sosial. Kekuasaan dapat menciptakan kepatuhan subjek terhadap

norma pengetahuan yang dianggap normal secara umum dengan mekanisme yang

selama ini tidak diperhatikan. Mekanisme kekuasaan direduksi dari bentuk-bentuk

ideal dan diabstraksikan untuk melampaui hambatan dan resistensi (Foucault 1978:

205).

Selain itu, Jenny Edkins menyatakan bahwa kekuasaan memiliki sifat

produktif yang tersebar, melalui rangkaian relasi kekuasaan yang hadir pada tingkatan

mikro dalam setiap praktik dan interaksi sosial (Edkins, 2007: 92). Wacana dan

kekuasaan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Weedon, merujuk pada kontrol

dinamis untuk menutupi kekosongan kendali yang ada dalam wacana dan subjek atau

agen-agen sosial tertentu. Praktek kekuasaan yang beroperasi di dalam wacana dapat

digunakan untuk meliahat bagaimana kekuasaan dan wacana sebagai ruang kemudi

yang mengatur dan memantau aktivitas setiap individu (Pinkus, 1996 mengutip

Weedon, 1987: p 113).

Berangkat dari ide kunci pascamodernisme tentang keterkaitan intrinsik antara

wacana dan relasi kekuasaan mengarahkan penulis untuk menjelaskan tentang

relevansi teori pascamodernisme dengan kajian antara wacana perang terhadap

terorisme dengan relasi kekuasaan? Pemikiran Focuault mengingatkan pembacanya

bahwa realitas atau semua hal yang telah diterima secara sosial tentang tatanan

keamanan internasional pasca 9/11 merupakan bangunan wacana yang terdiri dari

banguan-bangunan tekstual, bahasa dan pengetahuan yang dikonstruksi dan

direproduksi secara simultan oleh kekuasaan untuk mengklasifikasi subjek dan

pemahaman berpikir dan bertindak setiap agen sosial dalam konteks sejarah yang

spesifik.

Sebagai contoh, konstruksi subjek-aktor dalam wacana terorisme dihasilkan

melalui proses diferensiasi antara 'the self' dan 'the other'. Ini tidak berlangsung

dengan model penaklukan, tetapi dibangun melalui ruang wacana sebagai mekanisme

kekuasaan yang strategis. Produksi wacana perang terhadap terorisme global adalah

bagian dari strategi kekuasaan untuk menciptkan kendali pengetahuan tentang

kehadiran ancaman dan terorisme. Melalui wacana ancaman terorisme, subjek, dan

identitas, cara pandang masyarakat dunia diklasifikasi dan ditetapkan secara

bersamaan. Lihat misalnya yang dikatakan oleh Oliver Daddow bahwa productive

power shapes things, build ‘things’, describes and categorize them (Daddow, 2009:

159). Sebagai konsekuensinya, klasifikasi dan penetapan secara simultan terhadap

identitas dan subjek terorisme mengarahkan persepsi tentang apa latar belakang

gerakan terorisme dan siapa mereka. Wacana perang terhadap terorisme menjadi

ontologi ganda yang mengklasifikasi kebutuhan kekuasaan atas rasa aman dirinya

(the self) dengan menciptakan ancaman dari ‘yang lain' (the other) (Campbell, 1995:

55; Buzan & Hanse, 2009: 218).

Dengan meminjam perspektif kekuasaan Foucault, penelitian ini diarahkan

untuk mendalami praktik, strategi dan mekanisme kekuasaan pada tingkat mikro

(micro-practices of power exercised) dalam konteks wacana perang melawan

terorisme global. Penelitian ini merujuk pada produktifitas kekuasaan dalam

memproduksi subjek, pelembagaan pengetahuan, pembentukan identitas, norma

kewajaran, representasi, disiplin (discipline) dan hukuman (punishment).

1.4.1 Mendefinisikan Wacana dan Formasi Diskursif

Terdapat beragam varian definisi tentang wacana dan formasi diskursif. Ada

kerumitan tersendiri untuk merumuskan konsep wacana ke dalam penjelasan yang

komprehensif dan menyesuaikannya dengan yang dimaksud oleh Foucault. Namun,

upaya untuk menemukan penjelasan yang lengkap dapat dilakukan dengan mengurai

beberapa definisi wacana dan formasi diskursif sehingga dapat diambil pengertian

yang umum.

Dalam karya Michel Foucault, wacana merupakan penanda yang menetapkan

hubungan berulang dan spesifik terhadap subjek-objek (Foucault 1969: 141). Wacana

merupakan cara untuk mengkonstitusi pengetahuan yang berproses secara bersamaan

dengan praktek sosial dan relasi kekuasaan. Wacana mengkonstitusi tubuh sosial,

kesadaran pikiran dan subjek untuk menciptakan regulasi terus menerus atas subjek

sosial (Pinkus, 1996 mengutip Weedon, 1987, p. 108). Bentuk wacana dalam

pandangan ini merujuk pada sistematika teks, seperangkat gambar atau metafora yang

menghasilkan sebuah objek dengan cara tertentu (Burr, 2003:162).

Wacana merujuk pada bentuk-bentuk penandaan, representasi dan kebiasaan

sosial yang membentuk pemahaman pada bidang pengetahuan dan sejarah tertentu

(Jackson, 2009: 67). Tulisan-tulisan awal Michel Foucault dalam The Order of

Discourse dan The Archaeology of Knowledge adalah sumber paling penting tentang

konsep wacana. Dalam karyanya, istilah tentang 'praktik diskursif' dan formasi

diskursif diartikan sebagai bangunan pengetahuan yang terdiri dari klasifikasi dan

diferensiasi dan bahasa maupun teks secara hierarkis yang berimplikasi pada

terbentuknya kebenaran universal atau semua hal yang diterima sebagai realitas oleh

suatu masyarakat. Sebagai kumpulan dari klasifikasi dan diferensiasi yang tersusun

secara hierarkis, formasi diskursif menampilkan objektifikasi dan subjektifikasi

terhadap agen sosial tertentu, misalnya status, identitas, kelompok maupun kelas

sosial (Goldberg, 2007)

Eksistensi formasi diskursif yang diperkuat oleh regulasi yang direproduksi

secara terus-menerus menghasilkan pengetahuan dan wacana yang stabil. Wacana

juga menandai kehadiran setiap anggota masyarakat, termasuk kaum intelektual, yang

terlibat dalam sebuah rezim wacana. Pada saat inilah wacana dan relasi kekuasaan

dikategorikan sebagai dua unsur yang saling berdampingan.

Pemikiran Foucault tentang wacana adalah sebuah penolakan tegas terhadap

gagasan klasik bahwa pengetahuan hanya dapat berkembang dalam ketiadaan nilai-

nilai kekuasaan. Wacana yang tersusun sebagai formasi diskursif pada dasarnya

berfungsi untuk melihat cara di mana relasi kekuasaan bersembunyi di balik realitas

pengetahuan. Apa keterkaitan antara wacana, kekuasaan dan perang melawan

terorisme?

Wacana dalam konteks ini merujuk pada teks yang meliputi pidato, laporan,

dokumen kebijakan maupun gambar dan mengacu pada banyak sekali asumsi,

keyakinan, mitos, metafora dan narasi yang menghasilkan rezim diskursif tentang

ancaman terorisme. Penandaaan bahaya, penetapan ancaman, moralisasi perang,

konstruksi identitas kolektif adalah rezim diskursif yang menjadi bagian dari teknik

kekuasaan untuk menciptkan kendali informal atas cara setiap individu memahami

perang dan ancaman terorisme.

1.5. Hipotesis

Tatanan keamanan internasional pasca 9/11 dan konstruksi wacana terorisme

merupakan hasil produksi kekuasaan terhadap realitas. Wacana terorisme terdiri dari

totalisasi sejarah pengetahuan terorisme sebagai realitas objektif, representasi subjek

dan identitas Islam yang kemudian dihasilkan melalui proses diferensiasi, penetapan

karakter dan kategori terhadap ancaman baru. Konstruksi identitas, subjek,

pengetahuan, dan penandaan dalam wacana terorisme adalah sebuah formasi diskursif

yang berdampak pada pembatasan kriteria pemikiran dan tindakan tiap-tiap individu.

Pembatasan yang ditetapkan melalui proses diferensiasi dalam wacana perang

melawan terorisme global pada gilirannya membentuk rezim pengetahuan tentang

keamanan yang menyembunyikan kontrol kekuasaan terhadap berbagai subjek dan

objek yang ada dalam wacana terorisme global. Perang global melawan terorisme

pada gilirannya mereduksi ragam ekspresi kebebasan berpendapat dan menutup

evaluasi kritis atas tindakan-tindakan kekerasan anti-terorisme. Kekuasaan dengan

demikian mengabstraksikan dirinya dengan menghadirkan nilai-nilai etis dan moral

dalam konsepsi 'perang' dan melanjutkan monopolinya terhadap praktek kekerasan

dan kendali dalam berpengetahuan (will to knowledge).

1.6 Sumber dan Teknik Penelitian

Sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari sumber

sekunder, yakni informasi, fakta dan data yang didapat dari hasil bahan-bahan bacaan

yang meliputi buku, jurnal, majalah. Sumber internet juga akan digunakan sebagai

sumber tersier tanpa mengabaikan aspek validity dan realibility. Sementara itu, dalam

hal teknik penelitian tesis ini berdasarkan pada studi kepustakaan.

Penelusuran bacaan utama dalam tesis ini merujuk pada karya-karya penting

berupa buku dan jurnal yang menjadi sumber pokok dalam pendekatan

pascastrukturalisme maupun pascamodernisme studi ilmu sosial pada umumnya dan

studi hubungan internasional khususnya. Adapun bacaan yang dimaksud antara lain,

(1) Critical Practises of International Relations: Selected Essays (Der Derian, 2009);

(2) Intertextual/International Relations: Postmodern Readings of World Politics (Der

Derian & J Shapiro, 1989), (3) Discourse of Global Politics: Critical

(Re)Introduction to International Relations (George, 1994), (4) Time of Terror:

Discourse, Temporality, and the War on Terror (Jarvis, 2009), dan karya-karya klasik

yang menjadi pusat acuan teoritik dalam riset-riset ilmu sosial berbasis pendekatan

pascastrukturalisme/pascamodernisme, diantaranya adalah (1) Discipline and Punish:

The Birth of the Prison (Foucault, 1977); (2) Power/Knowledge: Selected Interviews

and Other Writings 1972 – 1977 (dalam Gordon C, 1980); (3) Orientalism: Western

Conception of the Orient (Said, 1995) serta ditunjang dengan buku-buku lain maupun

jurnal-jurnal yang relevan dengan topik penelitian.

Teknik penelitian dalam tesis ini menggunakan Critical Discourse Analysis.

Ini merujuk pada kajian tentang wacana, bahasa, identitas dan representasi sebagai

unit yang tidak stabil. Bahasa merupakan instrumen yang merepresentasikan identitas

serta diferensiasi antara subjek. Oleh karena itu kebijakan anti teror dalam wacana

perang melawan terorisme global dan representasi identitas yang

dikonseptualisasikan dalam wacana tersebut memiliki keterkaitan yang intrinsik.

Merujuk pada Lene Hansen (Hansen Mengutip Kristeva, 50: 2006) makna

intertekstual menunjukkan secara konkret bahwa tidak ada teks maupun pernyataan

yang ditulis tanpa jejak teks sebelumnya, bahwa teks secara bersamaan menginduk

pada teks atau penggambaran masa lalu dan membentuk masa sekarang menjadi

seolah-olah baru (Der Derian dan Shapiro 1989). Dengan kata lain, metode penelitian

ini akan merujuk pada penggambaran teks dan pernyataan sejarah teror yang

memiliki analogi dengan peristiwa 9/11 serta kaitannya dengan relasi kekuasaan-

rezim pengetahuan.

1.7 Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini akan dibagi ke dalam lima bab. Bab Pertama berisikan

uraian tentang latar belakang penulisan. Ini merujuk pada uraian tentang kemunculan

wacana perang melawan terorisme dan menjelaskan alasan-alasan mengapa wacana

menjadi topik penting dalam kajian kekuasaan dalam studi keamanan internasional.

Bab Kedua adalah pembahasan tentang keterkaitan antara kekuasaan dan

formasi diskursif sebagai bentuk episteme yang memindahkan dan menempatkan

kembali terminologi terorisme yang lama ke dalam penggambaran yang seolah baru.

Pembahasan fokus pada kehadiran ancaman sebagai bentuk transformasi pengetahuan

dan konstruksi total terhadap sejarah keamanan pasca 9/11.

Bab Ketiga merupakan pembahasan tentang subjek, identitas, representasi,

dan pembentukan budaya teror dalam masyarakat industri kapitalisme lanjut. Ia juga

menerangkan hipotesis tentang ancaman teror yang perlahan-lahan mengurangi nilai-

nilai kebebasan sebagai konsekuensi yang dihadapi oleh masyarakat Amerika pasca

9/11.

Bab Keempat berisikan uraian tentang mekanisme dan sistem kekuasaan

dalam wacana perang global melawan terorisme yang mendeskripsikan tentang

bentuk pamer kekuasaan dalam menerapkan kepatuhan, disiplin dan hukuman kepada

pelaku dan kemungkinan efek yang mungkin (the possibilites effect) ditimbulkannya

kepada setiap individu. Selain itu bab ini menerangkan tentang ritual kekuasaan dan

kekerasan dalam wacana perang melawan terorisme sebagai ruang performatif

kekuasaan dalam menampilkan watak dasarnya. Ini merujuk pada satu bentuk relasi

kekuasaan-kekerasan.

Bab kelima memberikan kesimpulan dari keseluruhan isi penelitian sekaligus

penegasan kembali terhadap poin-poin penting yang telah disampaikan pada bagian-

bagian sebelumnya.