Upload
lamkien
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang Masalah
I.1.1. Hak Bagi Penyandang Difabilitas
Sudah menjadi paradigma dalam masyarakat bahwa individu yang
berkebutuhan khusus atau difabel dianggap tidak dapat beraktivitas
dengan lancar dan seringkali dianggap sebagai beban bagi keluarganya.
Difabel dengan segala kekurangan fisiknya akan selalu dianggap
membebani individu lain, keluarga, dan masyarakat. Asumsinya, untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri saja masih harus bergantung pada
orang lain, bagaimana bisa berperan dalam masyarakat. Hak-hak mereka
yang seharusnya setara dengan hak individu lain terbaikan, atau tak dapat
mereka jangkau karena untuk mendapatkan hak tersebut mereka harus
menggunakan fasilitas yang sama dengan individu non-difabel.
Difabel adalah istilah yang ditujukan bagi orang-orang dengan
kemampuan berbeda atau different ability. Difabilitas mencakup dalam
kemampuan fisikal, audit (pendengaran), serta visual (Nussbaumer,
2012). Keterbatasan kemampuan fisikal membuat sebagian dari mereka
memerlukan alat bantu seperti kursi roda, tongkat, atau pendukung
lainnya. Difabilitas audit dapat didukung oleh alat bantu dengar atau
visual yang mencolok. Serta difabilitas visual dapat didukung oleh alat
yang mengandalkan kepekaan sentuhan dan suara. Perlu ditekankan
bahwa difabel bukan berarti tidak memiliki kemampuan fisikal, audit,
ataupun visual.
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2011
tentang pengesahan Convention on the Rights Person With Disabilities
(Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Difabilitas) menyebutkan
bahwa Indonesia telah menandatangani konvensi internasional yang
2
diadakan di New York, 2007, ini dalam rangka menunjukkan
kesungguhan negara Indonesia untuk menghormati, melindungi,
memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang difabilitas, yang pada
akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para difabel.
Penyandang difabilitas memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan
atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang
lain, juga hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial
dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.
Terdapat Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
No.4 Tahun 2012 tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang
difabilitas, atau lebih mudah disebut sebagai Perda Difabel, yang
merupakan peraturan yang ditujukan untuk mengatur upaya perlindungan
dan pemenuhan hak difabel. Perda ini mencakup hak-hak difabel dalam
berbagai bidang, yaitu di bidang pekerjaan, kesehatan, fasilitas sosial,
seni, budaya dan olahraga, pemberitaan, politik, hukum, serta
penanggulangan bencana, tempat tinggal, aksesibilitas, serta pendidikan.
UGM sebagai lembaga pendidikan sepatutnya mendukung peraturan
tersebut dengan setidaknya memfasilitasi pergerakan difabel dalam
kampus.
I.1.2. Kondisi Aksesibilitas Bagi Difabel di Indonesia
Aksesibilitas mempengaruhi setiap orang, sehingga idealnya semua
akses dapat aksesibel untuk semua, termasuk yang berkebutuhan khusus
seperti lansia dan difabel. Menurut Undang-Undang No.4 Tahun 1997
tentang penyandang cacat pasal 1 ayat 4 menyebutkan, “aksesibilitas
adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan”. Hal tersebut disebutkan lagi dalam pasal 10 ayat 2,
“penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan
lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat sepenuhnya hidup
bermasyarakat”.
3
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.30 tahun 2006 tentang
Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan
Lingkungan memberikan acuan dalam penyediaan fasilitas dan
aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan. Pedoman tenis ini
seperti disebutkan pada pasal 2, bertujuan untuk mewujudkan
kemandirian dan menciptakan lingkungan binaan yang ramah bagi semua
orang, termasuk lansia dan penyandang cacat.
Namun sayangnya dalam kondisi lingkungan yang ada sekarang
aksesibilitas masih kurang teraplikasi, terutama di kawasan yang tidak
terlalu maju. Tentunya dalam menghadapi kondisi lingkungan tersebut
menimbulkan frustasi tersendiri bagi para difabel. Bangunan-bangunan,
fasilitas-fasilitas, dan bahkan jalur untuk dapat berpindah tempat saja
tidak selalu mudah atau bahkan tidak memungkinkan bagi mereka untuk
menggunakannya tanpa bantuan orang lain. Salah satu cara yang sudah
difabel tempuh dan perjuangkan untuk menghadapi masalah tersebut
adalah dengan mendapatkan SIM D, yaitu surat izin untuk difabel agar
dapat mengemudikan kendaraan bermotor.
”Pentingnya penerbitan SIM kepada difabel salah satunya dipicu oleh
belum optimalnya pelayanan angkutan umum dan infrastruktur publik
dalam mengakomodir orang-orang yang mengalami keterbatasan
fisik,” kata Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral)
UGM Danang Parikesit saat berbicara dalam seminar Pemenuhan
Akses Transportasi bagi Kebutuhan yang Beragam di Yogyakarta,
Senin, 29 September 2014.
(Sumber: www.m.tempo.co artikel September 2014 diakses Desember
2015
Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh urban desainer untuk
mencegah kondisi yang semakin tidak kondusif tersebut adalah dengan
menyediakan akses yang memungkinkan difabel untuk menggunakannya
4
secara mandiri. Akses tersebut dalam hal ini berupa jalur pedestrian antar
kawasan dan antar bangunan.
I.1.3. Kondisi Mobilitas dan Aksesibilitas dalam Kawasan Kampus UGM
Dalam menciptakan kawasan yang ramah bagi semua, ada dua aspek
yang sangat berkaitan erat, yaitu mobilitas dan aksesibilitas. Masalah
mobilitas umumnya dapat diatasi dengan perencanaan sistem
transportasi massal, yang berkaitan erat dengan aksesibilitas, dimana
aksesibilitas memberikan peluang untuk semua kalangan dan golongan
agar dapat beraktivitas dengan aman, mandiri, tanpa menjadi objek belas
kasihan dan merasa dilecehkan (Kurniawan, 2007).
Kawasan kampus UGM dalam RTRW Kab. Sleman ditetapkan
sebagi zona pendidikan (Pusat Studi Transportasi dan
Logistik/PUSTRAL UGM, 2005). Di mana zona tersebut harus
memberikan atmosfer pendidikan yang aman (safety area), nyaman
(comfort area), dan kondusif (condusif area) bagi semua pihak selama
proses belajar mengajar, yang mana berlangsung di seluruh kawasan
kampus.
Permasalahan lokasi kampus UGM yang utama adalah
berkembangnya kampus yang awalnya berlokasi di wilayah pedesaan,
telah berkembang menjadi urban campus, dengan berbagai bentuk
konsekuensinya. Salah satunya adalah kawasan kampus dilintasi oleh
jalan-jalan umum dan terdapat fasilitas umum di dalamnya. Yang paling
mencolok adalah keberadaan Jalan Persatuan (Kaliurang) dan Rumah
Sakit Dr.Sardjito. Jalan Persatuan yang merupakan jalan kabupaten
memiliki volume lalu lintas yang cukup padat hampir sepanjang hari,
membelah kawasan kampus menjadi sisi barat dan sisi timur.
Terpisahnya kampus menjadi dua secara langsung dan tidak langsung
mengurangi kelancaran hubungan fungsional kegiatan-kegiatan antara
kedua bagian tersebut (RIPK 2005-2015).
5
Gambar 1. 1 Jalan Persatuan (Jl.Kaliurang) dan Jalan Kesehatan depan
RS Dr.Sardjito
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015
Aksesibilitas disebut di dalam Anggaran Rumah Tangga UGM tahun
2003 pasal 102 mengenai Rencana Induk Kampus (sumber:
www.renbang.ugm.ac.id, diakses pada April 2014). Pasal tersebut
berbunyi: “RIK berfungsi sebagai acuan bagi pelaksanaan tanggung
jawab Pimpinan Universitas untuk menjaga dan meningkatkan kualitas
lingkungan fisik yang efisien, fungsional, dan nyaman. Tujuannya adalah
melaksanakan misi dan mencapai tujuan universitas, yang antara lain
mencakup tata guna lahan, integrasi yang serasi antara bangunan dengan
ruang terbuka, peralatan dan jaringan pelayanan yang memadai, serta
sistem transportasi dan sarana pejalan kaki yang aman dan aksesibel.”
Gambar 1. 2 Jalur Pedestrian Kampus UGM
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015
Dalam kajian Rencana Stratejik Universitas Gadjah Mada (dalam
PUSTRAL, 2005), dikemukakan bahwa prinsip dasar yang terkait
dengan pengembangan fisik kampus sebagai “suatu sistem interaksi
sosial yang khas masyarakat akademis, mandiri, dan berwawasan
6
internasional dalam jiwa kebangsaan yang tinggi”. Hal ini kemudian
mengarah kepada visi dan arah pengembangan kampus dengan
mewujudkan kampus yang educopolis, yang implementasinya berupa
suatu lingkungan kondusif untuk proses pembelajaran dalam konteks
pengembangan kolaborasi multidisiplin dan tanggap terhadap isu ekologi
demi mencapai visi universitas (RTBL UGM). Di antaranya dengan
mengembangkan transportasi sepeda dan pejalan kaki dalam kampus,
sehingga peran jalur pedestrian sangat besar di dalamnya.
Aksesibilitas bagi difabel tentunya menjadi bagian dalam ART dan
Rencana Stratejik yang telah disebutkan sebelumnya, hanya tidak
dicantumkan secara eksplisit. Hal ini berpengaruh pada pembangunan
fisik, yaitu aksesibilitas bagi difabel masih kurang maksimal, belum
terencana secara spesifik dan merata di seluruh kawasan kampus.
Gambar 1. 3 Akses Kawasan UGM yang Kurang Ramah Difabel
(Ket: Guiding block pada foto bawah tengah saat ini sudah dikoreksi)
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015
Fasilitas tidak banyak membantu pergerakan pengguna tuna netra.
Guiding block bisa terputus di ujung jalur pedestrian, juga tidak menerus
di sepanjang akses dalam kampus. Untuk rekan tuna daksa yang
menggunakan kursi roda, jalur pedestrian akan susah digunakan karena
7
perbedaan level trotoar dengan jalan serta terputusnya trotoar di tiap
pintu masuk kendaraan.
Kondisi tidak tersebarnya mahasiswa difabel, terkait dengan syarat
penerimaan mahasiswa, sedikit banyak juga memiliki andil dalam hal
tersebut. Mungkin berfikirnya seperti ini, jika tidak ada mahasiswa yang
menggunakan, nanti-nanti sajalah penyediaannya. Persebaran mahasiswa
difabel dalam kampus UGM, berdasarkan syarat penerimaan mahasiswa
dapat dilihat dalam peta sebagai berikut.
Gambar 1. 4 Peta Persebaran Mahasiswa Difabel Kawasan UGM Berdasarkan
Syarat Penerimaan Mahasiswa dalam www.daa.ugm.ac.id (diakses Maret 2014)
Sumber: Analisis, 2015
Menurut hasil wawancara dengan Indah, yang pernah menggunakan
kruk di kampus UGM, jalur pedestrian UGM yang membuatnya
membutuhkan usaha ekstra adalah material jalur yang mudah rusak serta
material batuan yang membuat kruk mudah tergelincir.
Demikian menurut pendapat bapak Soewadji, seorang tuna netra
yang setiap hari melintasi kampus UGM. Sebagai orang yang tidak dapat
melihat, kejelasan arah suatu jalur sangat penting. Jalur pedestrian di
kampus, dan juga di sebagian besar wilayah DIY, seringkali terputus dan
tidak tersambung. Furniture-furniture jalan yang berada di tengah jalur
sering menghalangi dan infrastruktur seperti saluran drainase atau
8
manhole yang terkadang ada di tengah jalur tanpa ada peringatan yang
dapat tuna netra dapatkan, membuat jalur pedestrian menjadi tempat
yang sedikit berbahaya bagi mereka. Hal tersebut membuat beliau lebih
memilih untuk berjalan di badan jalan, tepat di bawah jalur pedestrian,
sehingga beliau dapat menggunakan perbedaan level jalur menjadi
pengarah baginya. Kesulitan lain yang beliau dapatkan adalah ketika
harus menyeberang jalan. Beliau masih dapat menyeberang jalan satu
arah dengan mudah atau jalan dua arah dengan median di tengahnya,
seperti jalan Notonegoro, atau sepanjang selokan Mataram. Tetapi ketika
harus menyeberang jalan dua arah seperti jalan Kaliurang, beliau harus
menunggu bantuan dari orang lain.
I. 2. Rumusan Permasalahan
I.2.1. Permasalahan Umum
Menjamin dan mewujudkan aksesibilitas yang baik untuk difabel
merupakan sebuah keharusan. Banyak sedikitnya difabel yang akan
menggunakan hal tersebut bukanlah hal utama.
Universitas Gadjah Mada adalah kampus yang terbuka bagi siapa
yang mampu untuk mengenyam pendidikan, termasuk difabel, walau jika
bicara jumlah tentunya berbeda jauh dibandingkan dengan jumlah
mahasiswa non-difabel. Aksesibilitas yang baik dan universal diperlukan
agar semua civitas akademika UGM dapat beraktivitas secara mandiri di
dalamnya, tanpa menjadi objek belas kasihan dan pelecehan.
Di Indonesia, peraturan terkait penyelenggaraan aksesibilitas diatur
dan berpedoman dalam Permen PU No.30/PRT/M/2006 tentang
Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan
Lingkungan. Demikian pula terkait jaringan pejalan kaki, diatur dalam
Permen PU No.3/PRT/M/2014 yang menyebutkan bahwa prasarana dan
sarana jaringan pejalan kaki adalah untuk menjamin keselamatan dan
kenyamanan pejalan kaki.
9
I.2.2. Permasalahan Khusus
UGM cukup mendukung hak para difabel untuk mengenyam
pendidikan hingga setinggi-tingginya sesuai kemampuannya. Terbukti
dari diterimanya difabel menjadi mahasiswanya, juga diperhatikannya
aksesibilitas tuna netra dan tuna daksa dalam kampus melalui jalur
pedestrian beserta guiding block.
Gambar 1. 5 Sarana Pejalan Kaki (dan Difabel) di Kawasan Pusat Kampus
UGM
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015
Dalam Pustral (2013), dikatakan bahwa perencanaan transportasi dan
sirkulasi di lingkungan kampus UGM diarahkan pada beberapa konsep,
salah satunya adalah towards zero emission campus menuju green
campus melalui penetapan moda prioritas bagi pejalan kaki dan
pesepeda. Universitas Gadjah Mada juga memiliki kebijakan educopolis
serta ART tahun 2003 yang telah disebutkan sebelumnya, yang
menunjukkam perhatian kampus terhadap aksesibilitas untuk semua
orang termasuk difabel.
Dari hal-hal yang sudah dijabarkan sebelumnya, dapat dilihat adanya
perhatian kampus terhadap aksesibilitas untuk semua orang termasuk
difabel. Di sisi lain, ada anggapan bahwa kampus masih kurang
aksesibel, seperti tertera pada beberapa artikel berikut ini.
10
“.....Pada kenyataannya, hingga saat ini belum ada langkah signifikan
terkait aksesibilitas difabel. Menurut Nunu Luthfi, S. T., Kasi Gedung
dan Ruang UGM, penyediaan fasilitas untuk difabel terbentur dengan
berbagai kepentingan. Salah satunya Gedung Panca Dharma sebagai
cagar budaya yang tidak akan direnovasi karena mempertahankan
keasliannya. Selain itu, penyediaan fasilitas tersebut memerlukan
biaya yang tidak sedikit. “Membuat lift saja, satu perangkat itu
harganya antara enam ratus juta sampai satu milyar. Padahal yang
menggunakan hanya sedikit,” tambahnya.
Masih minimnya fasilitas yang tersedia bagi para difabel
mengisyaratkan perlunya kebijakan universitas yang mengatur
tentang hal ini. Mahasiswa difabel di UGM berharap fasilitas dan
sarana yang ada mengakomodasi kepentingan mereka. “Saya
berharap UGM lebih memperhatikan penyandang difabel sebagai
kaum minoritas,” pungkas Hanif.......”
Sumber: www.balairungpress.com artikel Desember 2011 diakses Mei
2016
11
“..............Untuk sarana dan prasarana, menurut Hanif, UGM
belum memberikannya secara merata dan sungguh-sungguh. Baru
beberapa gedung fakultas yang memiliki aksesibilitas bagi kaum
difabel. Misalnya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yang
sudah cukup ramah bagi difabel. Saat pembangunannya pun
beberapa perwakilan UKM UGM Peduli Difabel diajak untuk
berkontribusi dan mencoba sarananya.
Namun untuk fakultas lain, terutama untuk klaster Sains, belum
banyak yang askesibel bagi kaum difabel. Berdasar
pengamatan UKM UGM Peduli Difabel, sebanyak 80 persen
gedung di UGM belum aksesibel, padahal berdasarkan Perda No.
4 tahun 2012 semua bangunan yang diperbarui di Yogya harus
aksesibel bagi kaum difabel dan harus universal design........”
Sumber: www.liputan.tersapa.com artikel Mei 2015 diakses Mei
2016
Dalam artikel-artikel tersebut, mahasiswa difabel UGM
menyuarakan pendapatnya tentang UGM yang tidak sungguh-sungguh
menjamin akses difabel. Gedung-gedung baru telah dibangun dan
direncanakan dengan sistem aksesibilitas yang baik. Sebagaimana juga
didukung oleh artikel di atas. Namun bangunan-bagunan tersebut belum
terintegrasikan dengan sistem transportasi dalam kampus, dalam hal ini
ada pada aksesibilitas yang terputus antara bangunan satu dan yang
12
lainnya, belum lagi bangunan lama yang sama sekali belum
mengakomodasi pergerakan difabel.
Pernah juga terjadi satu kesalahan dalam pengadaan fasilitas pejalan
kaki dan guiding block di salah satu penggal jalur pedestrian UGM. Saat
ini kesalahan tersebut sudah dikoreksi dan dipasang dengan arah yang
benar, setelah sebelumnya terpasang terbalik. Meski demikian, guiding
block semestinya tidak hanya memiliki blok pemandu tetapi juga blok
peringatan, satu hal yang masih belum ada di jalur pedestrian tersebut.
Padahal di saat terjadi perubahan alur perjalanan, blok peringatan wajib
ada untuk memberi peringatan kepada pengguna agar mereka tidak kaget
terhadap perubahan yang ada di depannya (jalur berbelok, jalur melandai,
dan sebagainya). Cukup menjadi peringatan, karena lokasi jalur pemandu
yang dimaksud ada di dalam kampus fakultas Teknik, tempat di mana
Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Wilayah berada.
Gambar 1. 6 Pemasangan Guiding Block di penggal kampus Teknik (gambar kiri:awal pemasangan; gambar kanan:setelah dibenarkan)
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016
Permasalahan timbul karena adanya perbedaan antara kondisi ideal dengan
yang ada di lapangan, baik dalam hal filosofis, teori, maupun teknis.
Permasalahan tersebut antara lain:
‐ Kondisi aksesibilitas dalam kampus UGM yang masih kurang
maksimal dan tidak terintegrasikan antara satu lokasi dengan lokasi
13
lainnya. sehingga kurang dapat digunakan oleh rekan difabel
dengan baik.
‐ Fasilitas yang sudah ada tidak sepenuhnya memenuhi syarat
I. 3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan permasalahan, maka
didapatkan pertanyaan penelitian:
‐ Bagaimana kondisi aksesibilitas di jalur pedestrian kampus UGM dari
aspek keselamatan dan kenyamanan bagi difabel?
‐ Bagaimanakah strategi untuk meningkatkan aksesibilitas bagi difabel
pada jalur pedestrian di kawasan kampus UGM?
I. 4. Tujuan Penelitian
‐ Mengevaluasi aksesibilitas difabel di jalur pedestrian UGM
‐ Merumuskan strategi untuk meningkatkan aksesibilitas bagi difabel
pada jalur pedestrian di kawasan kampus UGM
14
I. 5. Keaslian Penulisan
No Peneliti
Judul Penelitian Fokus Hasil Penelitian Lokus
1 Estar Putra Akbar
(Tesis UGM, 2012)
Pengaruh Seting Ruang
dan Lingkungan
Terhadap Perilaku
Adaptasi Siswa Tuna
daksa di SLB N I Bantul
Yogyakarta
Menjelaskan bagaimana
anak SLB Tuna daksa
melakukan adaptasi
terhadap kondisi setting
ruang dan lingkungan
yang tidak dirancang
khusus untuk tuna daksa
dan faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhinya
‐ Pengaruh setting ruang dan lingkungan pada
tingkatan adaptasi anak tuna daksa SLB N 1
Bantul berdasarkan derajat ketunaan (ketunaan
ringan, sedang, dan berat)
‐ Faktor-faktor setting ruang dan lingkungan yang
mempengaruhi tingkatan adaptasi tersebut
‐ Rekomendasi faktor-faktor pertimbangan utama
dalam merancang bangunan bagi anak tuna daksa
agar dapat beradaptasi dan berkegiatan mandiri
tanpa banyak bergantung pada orang lain
SLB N 1 Bantul
Yogyakarta
15
No Peneliti
Judul Penelitian Fokus Hasil Penelitian Lokus
2 M. Sholahuddin
(Tesis UGM, 2006)
Setting Ruang dan
Pengaruhnya Terhadap
Aksesibilitas Para
Penyandang Cacat
Tubuh di Pusat
Rehabilitasi
Penyandang Cacat
Tubuh YAKKUM,
Yogyakarta
Pengaruh setting ruangan
terhadap aksesibilitas
dipengaruhi oleh
pencahayaan,
penghawaan, perabot, dan
ukuran ruang
‐ Pengaruh setting ruang terhadap aksesibilitas
difabel pada tiap jenis ruangan
‐ Faktor-faktor setting ruang yang mempengaruhi
aksesibilitas difabel di Pusat Rehabilitasi
Yakkum Yogyakarta
Pusat Rehabilitasi
Yakkum,
Yogyakarta
3 Angling Randhiko
Putro (Tesis UGM,
2013)
Aksesibilitas Halte
Trans JogjaTerhadap
Potensi Kawasan
Aksesibilitas antara halte
ke kawasan dan potensi
kawasan
‐ Kesesuaian potensi kawasan sebagai bangkitan
dan tarikan mobilitas terhadap lokasi halte Trans
Jogja (permukiman, sekolah, pasar, perkantoran,
pertokoan, tempat wisata kota, rumah sakit, dan
terminal)
16
No Peneliti
Judul Penelitian Fokus Hasil Penelitian Lokus
Halte Trans Jogja,
Yogyakarta
‐ Arahan aksesibilitas jalur pejalan kaki antara
halte dengan titik bangkitan dan tarikan mobilitas
dengan aspek connectivity, proximity,
convenience, atrractivness, safety, dan security
4 Dony Fitriandy
(Tesis UGM, 2006)
Linier Space untuk
Pejalan Kaki di Kampus
Universitas Gadjah
Mada
Identifikasi tipologi linier
space sesuai dengan
hirarki zonasi di Kampus
UGM; khususnya bagi
pejalan kaki, ditinjau dari
aspek kenyamanan,
keamanan, dan
keselamatan.
‐ Strategi untuk mewujudkan linier space pada
lingkungan kampus UGM yangnyaman bagi
pejalan kaki Kampus UGM
17
I. 6. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan bagi penelitian ini adalah:
1. Bagi Akademisi
Diharapkan dapat memberi gambaran mengenai aksesibilitas yang
dapat mendukung aktivitas difabel secara mandiri.
2. Bagi Kampus UGM
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi UGM
dalam penataan fisik dan sirkulasi kampus.
3. Bagi Difabel di area Kampus UGM
Diharapkan ke depannya difabel mendapat akses yang baik di area
kampus.
I. 7. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi Latar Belakang mengenai aksesibilitas bagi difabel,
Rumusan Masalah, Pertanyaan Penelitian, Tujuan dan Sasaran Penelitian,
Keaslian Penulisan, Sistematika Penulisan, serta Pola Pemikiran.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tinjauan teoritis mengenai teori yang digunakan.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini akan membahas metode yang digunakan dalam penelitian, lingkup
penelitian, penentuan lokasi penelitian, dan tahapan penelitian.
BAB IV. GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN
Bab ini akan membahas gambaran umum jalur pedestrian UGM yang
menjadi sampel penelitian
BAB V. PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
Bab ini memaparkan hasil analisa dan temuan-temuan yang ada di
lapangan.