Upload
lephuc
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pernikahan berbeda budaya khususnya berbeda agama di Indonesia
banyak dilakukan, meskipun di dalam peraturan hukum di Indonesia sudah
tertulis mengenai pernikahan berbeda agama. Di dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 tentang perkawinan (UUP) menyatakan bahwa suatu
pernikahan akan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayannya. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (PP No. 9/1975). Berdasarkan ketentuan
mengenai sahnya suatu perkawinan yang ditentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974,
maka permasalahan yang dapat timbul apabila dilangsungkannya suatu
perkawinan beda agama antara lain1:
1. Keabsahan perkawinan. Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan
sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP.
Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan
ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah
agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan
untuk dilakukannya perkawinan beda agama.
1 Permasalahan yang timbul jika dilakukan pernikahan berbeda agama didapat dari http//masalah
dalam perkawinan beda agama/masalah_perkawinan_beda_agama.html diakses 15 Januari 2012 pukul
17.50
2
2. Pencatatan perkawinan. Apabila perkawinan beda agama tersebut
dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi
permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan
Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan
perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila
ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor
Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah
perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi
ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan.
Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut ada larangan menurut UUP maka pegawai pecatat
perkawinan dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan
(pasal 21 ayat 1 UUP).
3. Status anak. Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama
tersebut ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap
status anak yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42
UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan
perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah
dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga
ibunya (pasal 43 ayat 1 UUP).
4. Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Apabila ternyata
perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka dalam
kurun waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah
Indonesia harus mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor
Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka (pasal 56 ayat 2 UUP).
Permasalahan yang timbul akan sama seperti halnya yang dijelaskan
dalam poin 2, meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, bisa terjadi
3
Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut. Pencatatan
di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar
pelaporan.
Dari data yang tercatat pada tahun 1985 - 1986 terjadi 327 kasus
pernikahan berbeda agama di Pulau Jawa, akan tetapi ketika pada 1994,
penelitian Nuryamin Aini MA, pengajar Fakultas Syariah UIN Syarif
Hida-yatullah dan peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia UIN,
mencoba melihat fakta pernikahan beda agama dengan data-data empiris sesuai
sampel sensus penduduk tahun 1980. Pada tahun 1980, terdapat 15 kasus menikah
beda agama dari 1000 kasus pernikahan tercatat di Yogyakarta. Pada 1990, naik
menjadi 18 kasus, tapi turun menjadi 12 kasus pada 2000. Dari hasil penelitian
tersebut juga menyebutkan bahwa dampak pernikahan berbeda agama lebih pada
dampak yang negatif yaitu perceraian karena masing-masing individu kuat
berpegang teguh pada ajaran agamanya masing-masing. Di antara penyebab
diajukannya gugatan cerai, yang diterima dan diputuskan oleh Pengadilan Agama
adalah perselisihan agama. Perselisihan agama ini dilatarbelakangi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah perbedaan agama kedua belah pihak, adanya ajakan
untuk pindah agama, dan perbedaan prinsip dalam mendidik anak.
Berbicara mengenai mendidik anak atau hak asuh dalam sebuah
pernikahan berarti berkaitan pula dengan keluarga. Di dalam hasil penelitian yang
dilakukan oleh Interfaith Relationship Indonesia ( IRI ) pada tahun 2011 lalu yang
berjudul Makna Pacaran Beda Agama Antara Anak dan Orang Tua menyebutkan
bahwa salah satu faktor pendorong perselisihan di dalam pernikahan beda agama
adalah ketika masing-masing keluarga pasangan mempunyai jiwa yang otoriter
dimana seorang anak harus memilih pasangan sesuai dengan keinginan orang tua,
dalam hal ini adalah dengan agama yang sama. Penelitian yang sama mengenai
pola mengasuh anak di dalam pernikahan berbeda agama juga diteliti oleh Nine Is
4
Pratiwi Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma pada tahun 2005, yang
menyebutkan bahwa dasar seorang individu melaksanakan pernikahan berbeda
agama adalah karena adanya ikatan cinta di antaranya, kemudian melihat
permasalahan-permasalahan yang muncul di dalam pernikahan berbeda tersebut,
dan melihat pola asuh anak dan hal yang melatarbelakanginya.
Pernikahan berbeda budaya yang dilakukan di Indonesia selain
pernikahan berbeda agama tersebut adalah pernikahan berbeda etnis. Pernikahan
antar etnis bukan merupakan masalah yang baru di Negara Indonesia, karena
mengingat bahwa Indonesia merupakan Negara yang multikultural. Hal ini terjadi
sejak kaum imigran Cina datang ke Indonesia untuk mendapatkan kehidupan
yang lebih baik. Secara jasmani, pernikahan manusia antar etnis adalah hal yang
sama sekali tidak mustahil, masalah yang paling besar bukan datang dari sudut
jasmani melainkan persoalan terberat justru datang dari masalah rohani, yaitu
dalam bidang budaya dan sistem nilai. Di Indonesia ada suku yang menganut
pandangan patriarkhi dan ada pula yang tidak, oleh karena itu pandangan tersebut
bisa saja diterima atau tidak dengan etnis lain di Indonesia. Ada dan banyak orang
yang berpikir bahwa pernikahan adalah urusan pribadinya. Orangtua tidak perlu
ikut campur. Tapi bagi sebagian orang lain, urusan pernikahan adalah urusan
seluruh keluarga besar. Keluarga besarlah yang harus ikut menyetujui dengan
siapa si A akan menikah. Keluarga besarlah juga harus ikut menentukan tanggal,
jalannya upacara pernikahan dan lainnya. Dampak pernikahan beda etnis sama
halnya dengan pernikahan beda agama, yaitu jika suami dan istri masing-masing
kuat akan adat istiadat dan norma di dalam kebudayaannya masing-masing maka
akan terjadi benturan dalam pengambilan keputusan dan akan berujung pada
perceraian.
Data perceraian yang tercatat 4.420 lebih pasangan yang menikah
berbeda budaya di Indonesia, tidak sedikit di antaranya yang mengakhiri dengan
perceraian. Dari data Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kementerian Agama, angka
5
perceraian di Indonesia meningkat 10% dalam setiap tahunnya. Data dari
Bimbingan Masyarakat tersebut menyatakan bahwa tahun 2009 lalu, perkara
perceraian yang diputus Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah mencapai
223.371 perkara baik itu perceraian karena berbeda agama ataupun berbeda etnis.
Melihat tingkat perceraian di Indonesia yang semakin tinggi dan fakta
yang telah dipaparkan di atas, bahwa banyak pernikahan berbeda agama dan etnis
yang berakhir perceraian. Contohnya Dewi Sandra dan Glen yang telah
melaksanakan pernikahan berbeda agama dan etnis yang akhirnya bercerai, Yuni
Shara dengan Henri Siahaan, Kiki , calon suami Sheila Marsha dengan Siska.
Untuk menekan tingkat perceraian tersebut maka perlu adanya kewaspadaan bagi
pasangan berbeda agama dan etnis yang sedang berpacaran. Sebuah tahapan
hubungan yang sangat penting diperhatikan oleh pasangan yang berbeda tersebut
sebelum akhirnya memutuskan untuk memasuki tahapan yang lebih serius lagi
yaitu pernikahan. Sikap dimana masing-masing individu harus belajar untuk
memahami dan mengerti karakter yang membentuk pribadi pasangannya.
Sehingga tercipta sikap saling menghargai untuk dasar utama pernikahan agar
tidak terjadi perceraian.
Banyak kasus pacaran berbeda agama dan etnis di kalangan artis di
Indonesia, contohnya Bella Saphira yang masih ragu menikah dengan pacarnya
yang berbeda agama, meskipun usianya sudah cukup tua2, Laura Basuki tidak
ingin berpacaran berbeda agama lagi karena merasa trauma dengan
pengalamannya ditentang orang tua3, sedangkan Reza Rahardian memilih untuk
2 Bella Saphira ragu menikah didapat dari http:// pacaran-beda-agama-bella-saphira-ragu.html
diakses 5 Februari 2012 pukul 11.07
3 Laura Basuki tidak ingin pacaran beda agama didapat dari http://laura_basuki_ogah_pacaran_beda_agama.html diakses 5 Februari 2012 pukul 11.05
6
tidak ingin berpacaran berbeda agama4. Sandra Dewi yang memantapkan hati dan
masih menanti pasangan hidupnya nanti dengan seseorang yang mempunyai
agama dan etnis yang sama, yaitu Kristen Khatolik dan yang beretnis Tionghoa.
Dari fakta tersebut terlihat bahwa beberapa artis masih mementingkan komitmen
diri mengenai agama dan etnis masing-masing untuk mencegah dampak negatif
pernikahan campuran yaitu perceraian.
Banyak fakta lain juga dari pacaran berbeda agama dan etnis yang
terjadi di Indonesia dilihat dalam sebuah forum diskusi di internet5. Dari
permasalahan pacaran berbeda agama dan etnis yang mereka jalani justru
pengaruh terbesar adalah dari pihak keluarga masing-masing Keluarga
mempunyai pengaruh yang besar terhadap keputusan seorang anak dalam
memutuskan untuk memilih pasangannya ketika berpacaran. Maka agama dan
etnis yang berbeda dianggap menjadi satu hal yang dapat menimbulkan
kesalahpahaman bagi hubungan yang berbeda tersebut. Pengaruh keluarga yang
besar itu mengenai perbedaan akan membuat seorang anak yang berpacaran
berbeda agama dan etnis memiliki kepercayaan yang kuat dengan agama dan
etnis yang ada dalam dirinya.
Berbicara mengenai agama dan etnis yang merupakan sebuah budaya
tidak akan lepas dengan komunikasi. Budaya dan komunikasi merupakan bagian
yang saling berkaitan satu sama lain, dimana melalui komunikasi masyarakat
dapat membentuk sebuah kebudayaan dan budaya merupakan bagian dari proses
komunikasi. Hal tersebut juga dipaparkan oleh Edward T Hall dalam ( Mulyana
4 Reza Rahardian tidak ingin pacaran berbeda agama didapat dari http://kapanlagi.com/reza-rahadian-takut-pacaran-beda-agama.html diakses 5 Februari 2012 pukul 11.11
5 Forum diskusi di internet didapat dari http://kaskus.com/showthread.php diakses 5 Februari 2012 pukul 11.27
7
dan Rakhmat, 2005: 6) culture is communication dan communication is culture.
Terdapat beberapa jenis kebudayaan yang nantinya dapat membedakan antara
individu dengan individu lainnya. Di Indonesia yang merupakan Negara
kepulauan yang terbentang wilayahnya dari Sabang sampai Merauke memiliki
kebudayaan yang beranekaragam. Keanekaragaman tersebut yang nantinya akan
mempengaruhi komunikasi masing-masing individu dan yang nantinya terwujud
adanya komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya dapat tercipta melalui
komunikasi interpersonal dan komunikasi antarkelompok. Komunikasi tersebut
tentunya juga melalui sebuah media komunikasi. Media komunikasi tersebut juga
seringkali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja
dalam pengertian pengembangan seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian
pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma (McQuail, 1987 : 3).
Gundykunst dalam Psikologi Komunikasi (Liliweri, 2002:260)
menyatakan bahwa adanya tingkat kegelisahan dan tingkat ketidakpastian yang
tinggi dapat menciptakan pertentangan antara kelompok yang berbeda budaya.
Sehingga Indonesia yang mempunyai keanekaragaman budaya dapat berpotensi
terjadinya konflik antar budaya. Beberapa contoh konflik budaya yang terjadi di
Indonesia antara lain konflik di Kalimantan antara suku Dayak dan Madura sejak
tahun 1972 sampai terakhir tahun 2000, peristiwa perang antar etnis Tionghoa-
Jawa pada tahun 1998, perang antar suku di Papua tahun 2011, kerusuhan di
Ambon pada tahun 2011 dan juga adanya pengeboman di beberapa tempat ibadah
yang mengatasnamakan agama, seperti kasus terbaru pengeboman di gereja yang
berada di Solo tahun 2011 lalu. Konflik antar budaya yang terjadi tersebut
biasanya dipengaruhi oleh ketegangan antar individu yang berbeda budaya. Hal
yang sama mengenai adanya ketegangan antar individu berbeda budaya masih
banyak terjadi di Indonesia, seperti yang sudah dipaparkan dalam fakta-fakta di
atas adalah mengenai pernikahan dan pacaran berbeda agama dan etnis.
Ketegangan yang terjadi di dalam pernikahan akan dapat dikurangi dan diperbaiki
8
ketika sedang berpacaran. Dalam pacaran berbeda budaya ketegangan biasanya
adalah dalam hal penyesuaian antar individu yang mempunyai latar belakang
yang berbeda. Penyesuaian dalam pola komunikasi yang terjadi di dalam pacaran
berbeda budaya menuntut sikap saling pengertian satu sama lain untuk dapat
saling menerima perbedaan. Penerimaan atas perbedaan dan tenggang rasa adalah
kepuasan yang tidak dapat diukur oleh apapun, kepuasannya akan menjadi
berbeda jika semuanya memiliki kesamaan.
Konflik antarbudaya yang terjadi di Indonesia beberapa diantaranya
masih menyisakan batasan atau sekat antara etnis yang berkonflik. Contohnya
adalah etnis Jawa dan Tionghoa, konflik yang terjadi antar etnis Jawa dan
Tionghoa di beberapa tempat seperti Semarang, Surakarta, Jakarta dan Kudus
berdampak pada sekat atau batasan wilayah secara geografis. Begitu pula dalam
sebuah hubungan pacaran hingga pernikahan, etnis Jawa memilih untuk
membatasi hubungan tersebut dengan sesama etnis dan begitu juga dengan etnis
Tionghoa untuk membatasi hubungan pacaran dan pernikahan dengan sesama
etnis. Sebuah jurnal penelitian yang ditulis oleh Farah Fitriani mahasiswi
Universitas di Bandung Fakultas Psikologi pada tahun 2011 lalu yang meneliti
mengenai hubungan berbeda etnis dan agama dimana seorang laki-laki etnis
Tionghoa beragama Kristen yang berada di Bandung dengan seorang perempuan
etnis Sunda beragama Islam, menyebutkan bahwa hubungan yang didasari dengan
perbedaan dari mulai pacaran sampai pada pernikahan seharusnya dapat dicegah
karena banyak dampak yang kurang baik untuk keduanya, dari sikap pengertian,
menghargai, keluarga dan keabsahan di mata hukum. Hal ini menjadi salah satu
contoh kasus nyata dimana etnis Tionghoa masih terdapat batasan dan ketegangan
dengan etnis lainnya khususnya Jawa.
Fakta-fakta menarik mengenai pernikahan dan pacaran yang telah
dipaparkan di atas membuat peneliti ingin meneliti pengaruh kebudayaan dalam
9
komunikasi interpersonal, dengan studi kasus dari penelitian ini adalah pengaruh
perbedaan etnis Jawa-Tionghoa dan agama Islam-Kristen terhadap komunikasi
interpersonal di dalam hubungan berpacaran di Salatiga. Peneliti memilih antara
Jawa-Tionghoa karena suku Jawa dimaksudkan adalah suku pribumi Indonesia
sedangkan etnis Tionghoa adalah etnis pendatang dari Cina yang berkembang di
Indonesia, oleh karena itu perbedaan antara kedua etnis tersebut akan kontras
dilihat, sehingga banyak konflik yang terjadi di antara kedua suku tersebut.
Konflik antara etnis Jawa dan Tionghoa terjadi sejak masa penjajahan
Belanda. Pada awalnya kontak budaya, dialog agama dan hubungan spiritual
antara etnis Jawa dan Tionghoa hadir dalam konteks saling memberi, bukan
melalui paksaan ataupun diskriminasi sosial. Akan tetapi kedatangan kolonial
Belanda di Indonesia yang bertujuan menjajah bangsa Indonesia menjadikan
keharmonisan yang terjadi antara etnis Jawa dan Tionghoa sebagai hambatan
Belanda untuk menaklukan Indonesia, sehingga banyak konflik terjadi dari mulai
politik, ekonomi, agama dan budaya dan muncul sebutan bagi etnis Jawa dan
Tionghoa sebagai warga pribumi dan non pribumi. Sejak saat itu konflik antar
etnis Jawa-Tionghoa terus terjadi, etnis Jawa ingin mempertahankan etnisitasnya
sebagai masyarakat pribumi sedangan etnis Tionghoa yang masih
mempertahankan identitas dirinya di Indonesia6.
Lepas dari masa penjajahan Belanda, ketegangan yang terjadi antara
etnis Jawa dan Tionghoa masih berlangsung di masa Soekarno dan Soeharto
(Orde Baru). Di dalam jurnal penelitian oleh Erin Kite mahasiswa ACICIS
Malang pada tahun 2004 lalu memaparkan kebijakan-kebijakan yang sudah
dilakukan oleh Soekarno dan Hatta adalah melakukan asimilasi dan pembaharuan
6 Sejarah terjadinya konflik antara etnis Jawa dan Tionghoa di Indonesia didapat dari
http://kedaulatanrakyat.com.detail.php.html diakses 20 Februari 2012 pukul 10.55
10
bagi etnis Tionghoa, dimana di dalan kebijakan tersebut etnis Tionghoa
diharapkan untuk mengganti nama, agama, kepercayaan dan adat istiadat mereka.
Akan tetapi walaupun undang-undang ini diciptakan untuk mendorong adanya
tujuan pencapaian pembauran lengkap, masih ada beberapa hukum-hukum,
khususnya di bidang perekonomian, yang menentang tujuan tersebut
(Suryadinata,1978: 4).
Pada masa Orde Baru, Soeharto kemudian menginginkan pembauran
lengkap antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat bukan Tionghoa, mereka
masih memperbolehkan aktivitas dan undang-undang yang mendorong dan
memperkuat identitas etnis Tionghoa yang terpisah. Misalnya perbedaan
perlakuan yang diterima masyarakat Tionghoa dicerminkan dalam Keppres No.
14A/1980 yang berisi bahwa semua lembaga pemerintah dan kementerian harus
memberikan perlakuan istimewa kepada pengusaha pribumi. Itu juga mewajibkan
bahwa di mana ada patungan antara seorang pribumi dan seorang bukan pribumi,
pengusaha pribumi harus memilik 50% dari nilai perusahaan dan juga harus
memegang peranan aktif dalam menjalankan perusahaannya (Suryadinata,2002:
91). Untuk memperkuat undang-undang tersebut maka Soeharto juga menerapkan
adanya sistem cukong, yaitu sistem pembagian bisnis dimana pribumi
menyediakan surat ijin dan fasilitas sedangkan Tionghoa menanamkan modal
dalam bisnis dan menjalankan (Suryadinata, 2002: 91).
Syarat lain yang masih diteruskan sampai sekarang adalah Kartu
Tanda Penduduk orang keturunan Tionghoa yang masih berbeda pada nomor
identifikasi daripada nomor yang berada pada KTP bukan Tionghoa. Akan tetapi
kebijakan, aktivitas, praktek, dan hukum ini semuanya membantu masyarakat
Tionghoa memperkuat posisi terpisah dari masyarakat lain dan kemudian justru
membuat etnis Tionghoa semakin kuat dan pribumi semakin lemah sehingga
konflik justru semakin bertambah, salah satu contohnya adalah peristiwa Mei
1998 di Jakarta yang menelan banyak korban, dimana banyak toko etnis Tionghoa
11
yang dirusak dan perempuan keturunan Tionghoa diperkosa (Suryadinata, 2002:
98).
Kota Salatiga merupakan tempat yang sangat terkenal pada masa
penjajahan Belanda. Salatiga yang dikenal berhawa sejuk ini kemudian dijadikan
tempat untuk orang Belanda beristirahat, sehingga kota Salatiga merupakan salah
satu kota yang terpengaruh akan dirusaknya keharmonisan etnis Jawa dan
Tionghoa, sehingga kota Salatiga inilah yang menarik untuk diteliti. Dari kota
Salatiga peneliti memfokuskan penelitiannya pada Universitas Kristen Satya
Wacana, dimana Universitas ini adalah gambaran pluralitas dari kota Salatiga
secara nyata. Secara khusus juga peneliti memfokuskan agama Islam dan Kristen
karena di Indonesia agama Islam merupakan agama yang penganutnya terbanyak
dan secara fakta banyak kerusuhan yang terjadi di Indonesia mengatasnamakan
agama. Contohnya adanya pengeboman gereja-gereja oleh seseorang yang
mengatasnamakan agama Islam pada kasus pengebomam gereja yang berada di
Solo tahun 2011 lalu. Oleh karena itu perbedaan yang kontras antara ke dua etnis
dan agama serta di dalam fakta-fakta yang ada akan menjadi menarik untuk
diteliti ketika individu dengan perbedaan, berkomunikasi dengan individu lain
yang berbeda di dalam satu ikatan cinta yaitu pada hubungan berpacaran.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
Bagaimana proses komunikasi interpersonal dalam berpacaran di Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga yang dilatarbelakangi oleh perbedaan etnis Jawa-
Tionghoa dan agama Islam-Kristen ?
12
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui proses komunikasi interpersonal dalam pacaran di Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga yang dipengaruhui oleh adanya perbedaan etnis
Jawa-Tionghoa dan agama Islam-Kristen.
1.4 Manfaat Penelitian
Peneliti memiliki harapan bahwa penelitian ini dapat mempunyai
manfaat sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat Teoritis
Untuk mengetahui adanya pengaruh perbedaan etnis dan agama
terhadap komunikasi interpersonal dalam hubungan berpacaran, sehingga
dapat menjadi bahan pembelajaran mengenai karakteristik kebudayaan dan
komunikasi antar budaya khususnya dalam hubungan berpacaran.
1.4.2 Manfaat Praktis
Diharapkan dapat pula memberikan saran kepada para individu yang
sedang berpacaran dengan adanya perbedaan etnis dan agama agar dapat
menjadikan sebuah perbedaan menjadi semangat untuk dapat mengerti antara
satu budaya dengan budaya yang lain, khususnya Jawa dan Tionghoa serta
agama Islam dan Kristen. Kemudian dapat pula memberikan pandangan dan
menambah wawasan bagi mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana,
khususnya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi tentang adanya
pengaruh perbedaan etnis dan agama bagi komunikasi interpersonal tersebut.
1.5 Batasan Penelitian
13
1.5.1 Fokus penelitian ini adalah bagaimana komunikasi interpersonal
terjadi di dalam hubungan berpacaran masyarakat Salatiga dan secara khusus
berada pada lingkungan Universitas Kristen Satya Wacana yang dipengaruhui
oleh adanya perbedaan etnis Jawa-Tionghoa dan agama Islam-Kristen.
Hubungan berpacaran lebih difokuskan dengan usia hubungan berpacaran
minimal 1 tahun dan sudah mempunyai keseriusan harapan untuk melanjutkan
ke pernikahan. Usia mahasiswa yang sedang berpacaran beda etnis dan agama
juga dibatasi pada usia minimal 20 tahun, dimana seorang laki-laki dan
perempuan dikatakan dewasa pada usia 20 tahun.
1.6 Definisi Konsep
1.6.1 Agama
Manusia modern atau homo sapiens ada karena suatu proses
perkembangan yang panjang dan dalam rentang waktu lama. Proses panjang
dan lama itu terjadi karena manusia berkembang dari organisme sederhana
menjadi makhluk yang relatif sempurna dan segala sesuatu yang bertalian
dengan manusia serta kemanusiaannya juga berkembang karena adanya proses
evolusi. Hal ini berbanding terbalik dengan Kitab Suci, dimana Tuhan yang
berperan dalam proses penciptaan bumi dan seluruh isinya. Salah satu aspek
yang biasanya ada dalam suatu komunitas masyarakat adalah cara-cara
penyembahan kepada kekuatan lain di luar dirinya. Hal itu terjadi karena
manusia mempunyai naluri religius yang universal. Kekuatan lain di luar diri
manusia itu bersifat Ilahi, supra natural, berkuasa, mempunyai kemampuan
maha dasyat, sumber segala sesuatu, dan memiliki Kekuasaan Yang Tertinggi
melebihi apapun yang ada di alam semesta.
Kata agama berasal dari bahasa Sanskerta, a yang berarti tidak dan
gama yang berarti kacau, sehingga agama berarti tidak kacau atau adanya
keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu. Sedangkan
14
agama hanya bisa didefinisikan berdasarkan ciri-ciri yang ditemukan di dalam
agama mana saja (Durkheim, 2006:48-49). Ide lain yang digunakan menurut
M.Reville (Durkheim, 2006:56) menyatakan bahwa:
“Agama merupakan daya penentu kehidupan manusia, yaitu
sebuah ikatan yang menyatukan pikiran manusia dan pikiran misterius
yang menguasai dunia dan diri yang disadari, dan dengan hal-hal yang
menimbulkan ketentraman bila terikat dengan hal tersebut”.
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa agama dapat
didefinisikan sebagai kesatuan sistem kepercayaan dan praktek-praktek yang
berkaitan dengan yang sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan dan terlarang.
Kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatukan seluruh orang yang
menganut dan meyakini hal-hal tersebut ke dalam satu komunitas moral.
Objek dalam sebuah agama akan mengatur hubungan-hubungan
manusia dengan suatu yang khas, maka agama hanya bisa ada jika ada doa,
kurban, ritus tolak balak dan sejenisnya. Agama juga merupakan sebuah
kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian yaitu sistem-sistem mitos,
dogma, ritus dan upacara yang kompleks akan tetapi agama bekerja seolah-
olah sebagai satu entitas yang tidak dapat dipilah dan dibagi-bagi (Durkheim,
2006:65).
Jim Chew ( Chew, 2006:4) melihat agama dari pandangan dunia,
kepercayaan, nilai-nilai dan perilaku. Pandangan dunia dari agama tersebut
adalah yang sesuai dengan kenyataan merupakan inti dari agama itu sendiri,
dari pandangan dunia mengenai agama itu datang kepercayaan dan nilai-nilai
suatu agama yang mana dapat mempengaruhi perilaku masing-masing individu
dalam memeluk suatu agama tertentu.
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila
KeTuhanan Yang Maha Esa. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara
15
kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Pada tahun 2010, kira-kira
85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2%
Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha. Berdasarkan
Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, Agama-agama yang
dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha dan Khong Hu Cu. Tidak sembarangan membentuk suatu agama, di
Indonesia syarat – syarat dikatakan sebagai agama adalah jika7 :
1. Adanya Tuhan. Tuhan yang diyakini sebagai suatu pencipta dan
pengatur alam semesta ini. Baik secara penyebutan tentang panggilan sayang
terhadap Tuhannya hingga pengaturan secara simbolis melalui lambang dan
simbol.
2. Adanya Kitab Suci. Untaian kata – kata yang menenangkan dari
pencipta yang tertuang dalam satu buku sakral yang diyakini sebagai firman
Tuhan yang dibawa oleh utusan-Nya sebagai syarat mutlak kedua harus
dipenuhi karena jika tidak keberadaan agama itu sendiri masih disangsikan.
3. Cara Peribadatan / Penyembahan. Ini merupakan suatu prosesi
pengakuan diri dari hamba terhadap penguasanya. Jadi dalam hal ini tata cara
dalam beribadah menjadi kunci utama yang membedakan antara agama yang
satu dengan yang lainnya meskipun memiliki tujuan yang sama.
4. Mempunyai Hari Raya Keagamaan. Hampir setiap bangsa atau
golongan manusia dan agama di dunia ini memiliki hari raya yang dianggap
7 Syarat-syarat agama di Indonesia didapat dari http://sangaayuudara.com/syaratberdirinyaagama/html
diakses 20 Februari 2012 pukul 10.57
16
suci serta keramat untuk memperingati suatu kejadian. Pada umumnya yang
berlaku di dunia, hari-hari raya itu adalah peringatan dari pelaksanaan
keagamaan dan lambat laun ditambah pula dengan hari raya kebangsaan.
1.6.2 Etnis
Pada awalnya istilah etnis hanya digunakan untuk suku-suku tertentu
yang dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama berbaur dalam
masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara
khas mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benar-benar
khas, misalnya etnis Cina, etnis Arab, dan etnis Tamil-India. Menurut
perkembangan istilah etnis juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada
suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnis Bugis, etnis Minang,
etnis Dairi-Pakpak, etnis Dani, etnis Sasak, dan ratusan etnis lainnya. Istilah
etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok.
Seperti halnya dalam agama, Jim Chew ( Chew, 2006:4) melihat etnis
dalam sebuah budaya dari pandangan dunia, kepercayaan, nilai-nilai dan
perilaku. Pandangan dunia dari etnis tersebut adalah sesuai dengan kenyataan
merupakan inti dari etnis itu sendiri, dari pandangan dunia mengenai etnis itu
datang kepercayaan dan nilai-nilai suatu etnis yang mana dapat mempengaruhi
perilaku masing-masing individu.
Menurut Ensiklopedi Indonesia tahun 2007 etnis berarti orang-orang
dalam kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai
arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan
sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam
hal sejarah keturunan, bahasa baik yang digunakan ataupun tidak, sistem nilai,
serta adat-istiadat dan tradisi. Definisi etnis di dalam Ensiklopedi Indonesia
menjelaskan pembatasan-pembatasan kelompok etnis yang didasarkan pada
populasi tersendiri, terpisah dari kelompok lain, dan menempati lingkungan
geografis tersendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Sebuah kelompok
17
etnis pertama kali diidentifikasi melalui hubungan darah. Antara satu etnis
dengan etnis lainnya kadang-kadang juga terdapat kemiripan bahasa.
Kesamaan bahasa itu dimungkinkan karena etnis-etnis tersebut memiliki
kesamaan sejarah tradisi kuno yang satu, yang mewariskan tradisi yang mirip
dan juga bahasa yang mirip pula8.
1.6.3 Pacaran
Pacaran merupakan suatu hubungan interpersonal, dimana terdapat
dua individu yang berbeda menjalin komitmen untuk menjalani sebuah
hubungan berdasarkan kasih sayang, sikap saling pengertian, perhatian dan
kesabaran. Pada umumnya pacaran dilakukan karena masing-masing individu
merasa tertarik dan nyaman antara lawan jenis, dimana kedua individu tersebut
sama-sama belajar untuk memahami karakter dan sikap pasangannya masing-
masing. Pacaran juga bisa dilakukan berkali-kali atau bahkan tidak sama sekali
dalam hidup seseorang. Hal itu tergantung oleh masing-masing individu.
Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia9. Ini
merupakan proses pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang
dikenal dengan pernikahan. Dalam pacaran, ada aktivitas yang disebut dengan
kencan. Aktivitas ini berupa kegiatan yang telah direncana, maupun tak
terencana. Kencan yang tak terencana disebut dengan kencan buta. Tradisi
pacaran memiliki variasi dalam pelaksanaannya. Dimulai dari proses
pendekatan, pengenalan pribadi, hingga akhirnya menjalani hubungan afeksi
yang ekslusif. Pembedaan tradisi dalam pacaran, sangat dipengaruhi oleh
8 Pengertian etnis dalam ensiklopedi didapat dari http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/etnik-
dan-etnisitas.html diakses 10 Januari 2012 pukul 17.26 9 Pengertian pacaran didapat dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pacaran diakses 5Februari 2012 pukul
12.03
18
kebudayaan yang dianut oleh seseorang. Berdasarkan tradisi zaman kini,
sebuah hubungan dikatakan pacaran jika telah menjalin hubungan cinta-kasih
yang ditandai dengan adanya aktivitas-aktivitas seksual atau percumbuan.
Berkaitan dengan itu Stenberg dalam (Rahmanto,2008) komponen
terpenting dalam cinta adalah gairah, keintiman dan komitmen. Keintiman
adalah komponen emosional yang melibatkan perasaan, gairah adalah
komponen motivasional yang mencakup daya tarik seksual dan romantisme
sedangkan komitmen adalah komponen kognitif dimana seseorang mempunyai
keinginan untuk mempertahankan suatu hubungan. Hal ini berbanding terbalik
oleh pendapat Bowman (dalam Yusuf, 2007) yang menyatakan bahwa dalam
hubungan cinta daya tarik fisik sangatlah penting, dan hal ini tidak dapat
dikatakan sebagai cinta murni ketika kecantikan fisik tersebut hilang maka
tidak ada lagi cinta karena ketertarikan secara fisik.
Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga,
2002:807) pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan
mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Berpacaran adalah bercintaan,
berkasih-kasihan dengan pasangan atau pacar. Memacari adalah mengencani
atau menjadikan dia sebagai pacar. Sementara kencan sendiri menurut kamus
tersebut adalah berjanji untuk saling bertemu di suatu tempat dengan waktu
yang telah ditetapkan bersama.