24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, yang tindakannya bersifat masif sehingga merugikan suatu bangsa. Indonesia merupakan salah satu Negara dengan jumlah kasus korupsi yang cukup banyak. Banyaknya kasus korupsi di Indonesia, diperkuat dengan data laporan tahunan atas hasil upaya pemberantasan korupsi suatu Negara, yang dikeluarkan oleh Transparency International bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menempati peringkat ke 90 dari 176 negara. 1 Data pada Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sebanding dengan fakta di lapangan, bahwa akhir-akhir ini banyak sekali pemberitaan dari koran maupun media elektronik yang memberitakan kasus korupsi di Indonesia. Korupsi sendiri, telah diatur dalam hukum positif saat ini melalui ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa : “setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara semur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 1 Eva Mazrieva, “Indeks Persepsi Korupsi RI Turun”, https://www.voaindonesia.com/a/indeks-persepsi-korupsi-ri-turun-/3692750.html, 20 Oktober 2017.

BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, yang tindakannya bersifat

masif sehingga merugikan suatu bangsa. Indonesia merupakan salah satu Negara

dengan jumlah kasus korupsi yang cukup banyak. Banyaknya kasus korupsi di

Indonesia, diperkuat dengan data laporan tahunan atas hasil upaya

pemberantasan korupsi suatu Negara, yang dikeluarkan oleh Transparency

International bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menempati peringkat ke

90 dari 176 negara.1 Data pada Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sebanding

dengan fakta di lapangan, bahwa akhir-akhir ini banyak sekali pemberitaan dari

koran maupun media elektronik yang memberitakan kasus korupsi di Indonesia.

Korupsi sendiri, telah diatur dalam hukum positif saat ini melalui

ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah

dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, bahwa :

“setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan

keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana

penjara semur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.

1 Eva Mazrieva, “Indeks Persepsi Korupsi RI Turun”,

https://www.voaindonesia.com/a/indeks-persepsi-korupsi-ri-turun-/3692750.html, 20 Oktober

2017.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

2

200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000

(satu miliar rupiah)”.

Telah dibuatnya dasar hukum yang mengatur tentang tindak pidana

korupsi, tidak selalu dapat diimplementasikan secara maksimal, hal ini

disebabkan karena Aparat Penegak Hukum dalam menjalankan tugasnya, tidak

terlepas dari kemungkinan melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, dalam Hukum Acara

Pidana sendiri dikenal dengan adanya asas Praduga Tak Bersalah (Presumption

of Innocence),2 yang diatur pada Penjelasan Umum Butir 3c Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), bahwa :

“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau

dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah

sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan

memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Salah satu upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi

manusia dari Tersangka atau Terdakwa dalam proses peradilan pidana yaitu

melalui Lembaga Praperadilan yang diatur dalam KUHAP.3 Praperadilan

merupakan suatu lembaga untuk menguji keabsahan proses perkara pidana

sebelum suatu perkara sampai pada tahap beracara di pengadilan. Lembaga

Praperadilan bukan merupakan badan tersendiri, tetapi hanya suatu wewenang

saja dari Pengadilan Negeri. Pemberian wewenang pada Lembaga Praperadilan

2 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 12.

3 Ananda Rizky, “Kompetensi Hakim Praperadilan Dalam Memutus Perkara Penetapan

Tersangka Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Praperadilan No.

1/Pid.Praperadilan/2015/PN.Kbu)”, Skripsi, 2016, Fakultas Hukum Universitas Lampung,

Bandar Lampung, hlm. 2.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

3

bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan secara sederhana, cepat dan

biaya murah dalam rangka memulihkan harkat/martabat, kemampuan/kedudukan

serta mengganti kerugian terhadap korban yang merasa dirugikan. 4

Secara yuridis, praperadilan telah diatur dalam Pasal 1 Butir 10 KUHAP,

di mana praperadilan memiliki kewenangan memeriksa dan memutuskan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang tentang :

1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas

permintaan Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa

Tersangka ;

2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan ;

3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh Tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

diajukan ke Pengadilan Negeri.

Sebagai upaya perlindungan hak asasi Tersangka/Terdakwa atas tindakan

Penyidik, diatur lebih lanjut dalam Pasal 77 KUHAP yang menyebutkan bahwa :

“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara

praperadilan tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan serta ganti kerugian

dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan

pada tingkat penyidikan atau penuntutan”.

4 Bambang Poernomo, Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana dan Beberapa Harapan Dalam

Melaksanakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 1.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

4

Pasal 77 KUHAP menjelaskan kewenangan praperadilan yang masih

terbatas, sehingga dirasa belum menjamin hak asasi Tersangka/Terdakwa secara

menyeluruh, karena penetapan status Tersangka tidak masuk dalam objek

paperadilan. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014

dilakukan pengujian materiil Pasal 77 KUHAP atas sah tidaknya penetapan status

Tersangka dalam praperadilan, seperti kasus Budi Gunawan yang ditetapkan

status Tersangkanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada judicial review

Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, menyebutkan bahwa Pasal 77

KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak

dimaknai termasuk penetapan Tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, terjadilah

perkembangan hukum dalam konteks praperadilan, yaitu dengan masuknya

penetapan Tersangka dalam objek praperadilan.

Akan tetapi dalam perkembangannya, penerapan Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 mengenai penambahan objek praperadilan

belum dapat dikatakan relevan sepenuhnya, dikarenakan masih belum

dibentuknya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara spesifik

mengenai mekanisme beracara di praperadilan, terutama dalam hal sah tidaknya

penetapan Tersangka.5 Alhasil walaupun terdapat beberapa peraturan maupun

5 Choirudin Rahmad Riyan, “Tinjauan Yuridis Penetapan Status Tersangka Sebagai Perluasan

Objek Praperadilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014”, Diponegoro

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

5

keputusan yang mengatur pelaksanaan praperadilan, namun masih terdapat

permasalahan dalam implementasinya.

Pengujian sah tidaknya penetapan Tersangka dilakukan dengan menilai

aspek formil. Ketentuan mengenai penilaian menggunakan aspek formil secara

tertulis diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia No. 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan

Praperadilan, menyebutkan bahwa :

“Pemeriksaan praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya

penetapan Tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling

sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan memasuki materi perkara”.

Sebelum menguraikan efektifitas pengujian praperadilan penetapan status

Tersangka menggunakan aspek formil, secara yuridis penjelasan mengenai

Tersangka telah diatur dalam ketentuan Pasal 1 Angka 14 KUHAP yang secara

garis besar menyebutkan seseorang bisa dijadikan Tersangka, apabila

perbuatannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai Pelaku tindak

pidana. Hal demikian juga telah dijelaskan pada Pasal 1 Angka 10 Peraturan

Kapolri No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Penjelasan mengenai bukti permulaan sendiri tidak diatur lebih jelas di dalam

KUHAP, melainkan diatur dalam Pasal 1 Angka 21 Peraturan Kapolri No. 14

Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang pada intinya

Law Review, Volume 5, 2016, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Semarang,

hlm. 2.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

6

menjelaskan dengan berdasarkan Laporan Polisi dan satu alat bukti yang sah,

seseorang dapat dijadikan Tersangka serta dapat dilakukan penangkapan.

Menguraikan nilai keefektifitasan pengujian praperadilan menggunakan

aspek formil, terdapat beberapa pertimbangan yuridis dalam implementasinya.

Berdasarkan kajian yuridis Pasal 1 Angka 11 jo. Pasal 14 Ayat (1) Peraturan

Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan

Perkara Pidana, yang pada intinya menyebutkan bahwa setiap prosedur

penyelesaian perkara termasuk penetapan Tersangka, harus dilakukan secara

professional, proporsional, objektif, transparan, dan akuntabel agar tidak terjadi

penyalahgunaan wewenang yang selanjutnya tidak semata-mata menetapkan

seseorang menjadi Tersangka. Aturan mengenai prosedur penyelesaian perkara,

menjelaskan bahwa dalam menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang,

terjadilah serangkaian proses panjang yang dilakukan Penyidik untuk menetapkan

seseorang sebagai Tersangka, melalui aspek-aspek materiil yaitu gelar perkara

dalam mendapatkan alat bukti yang sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Angka 21

Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak

Pidana.

Pada kajian yuridis mengenai aspek pengujian praperadilan penetapan

status Tersangka, dapat dikatakan aturan mengenai pengujian formil pada

praperadilan atas sah tidaknya penetapan Tersangka merupakan suatu hal yang

masih menjadikan tidak terangnya penyelesaian sengketa praperadilan, karena

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

7

ketika Penyidik menggunakan aspek-aspek materiil dalam menetapkan seseorang

menjadi Tersangka, akan tetapi Hakim hanya meninjau dari aspek formil.

Salah satu fungsi sentral dari Hukum Acara Pidana menurut Van

Bemmelen yaitu untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil, yang

selanjutnya Andi Hamzah, Guru Besar Hukum Acara Pidana menyatakan fungsi

mencari kebenaran merupakan fungsi yang menjadi tumpuan dari fungsi lainnya.6

Hal ini menjelaskan bahwa dalam beracara di pengadilan, hasilnya untuk

menemukan kebenaran materiil. Ketika penilaian kebenaran materiil dapat

diimplementasikan maka dapat dikatakan bahwa penyelesaian suatu perkara

dilaksanakan secara objektif.

Jadi dapat menerangkan pemahaman, bahwa aturan mengenai pengujian

aspek formil dalam praperadilan tidaklah cukup apabila tidak terkait pada aspek

materiil mengenai cara Penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup untuk

menetapkan seseorang sebagai Tersangka, karena pada hakikatnya dibuatnya

Hukum Acara Pidana untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil. Jadi

dalam hal ini Hakim yang menguji perkara praperadilan tidak hanya melihat dari

kuantitas suatu alat bukti ada, melainkan juga melihat pada kualitas alat bukti

didapatkan.

Selain mengenai pembenahan mekanisme pengujian dalam praperadilan,

terdapat juga mekanisme aturan yang belum mengatur secara komperhensif

mengenai ketentuan pengajuan alat bukti lanjutan, ketika dalam praperadilan

6 Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 9.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

8

penetapan Tersangka yang dilakukan Penyidik telah dinyatakan tidak sah oleh

pengadilan. Maksud dari lanjutan di sini bahwa ketika Penyidik melakukan

upaya untuk menetapkan Tersangka kembali, terdapat ketidaksesuaian dalam

mengajukan alat bukti, manakala alat bukti yang dikeluarkan Penyidik harus alat

bukti baru atau tetap dapat menggunakan alat bukti yang sama dengan

sebelumnya dan hanya memodifikasi sedikit materi dugaan yang disangkakan.

Penjelasan Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Mahakamah Agung No. 4 Tahun

2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, menyebutkan

bahwa :

“Putusan Praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak

sahnya penetapan Tersangka tidak menggugurkan kewenangan Penyidik

untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai Tersangka lagi setelah

memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan

alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara”.

Ketentuan ini menjelaskan bahwa Penyidik dapat mengajukan kembali

penetapan Tersangka apabila telah menemukan 2 (dua) alat bukti baru yang tidak

mempunyai keterkaitan dengan materi perkara sebelumnya, yang selanjutnya

ketentuan Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Mahakamah Agung No. 4 Tahun 2016

Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan dijadikan dasar

pertimbangan Hakim Praperadilan, karena peraturan yang dibuat Mahkamah

Agung memiliki kekuatan mengikat bagi para Hakim dilingkup Mahkamah

Agung.

Akan tetapi ketentuan mengenai pengajuan alat bukti baru yang diatur

oleh Mahkamah Agung berbeda dengan apa yang telah dipahami oleh Mahkamah

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

9

Konstitusi. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XV/2017,

terhadap uji materiil persyaratan paling sedikit 2 (dua) alat bukti baru yang sah

dan belum pernah diajukan dalam sidang praperadilan, berbeda dari alat bukti

sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara, dalam hal ini Mahkamah

Konstitusi tidak sependapat dengan argumentasi Pemohon (Anthony Chandra

Kartawiria). Mengingat dapat dikatakan alat bukti yang diajukan dalam

penyidikan yang baru adalah alat bukti yang telah dipergunakan pada tahap

penyidikan terdahulu yang ditolak karena alasan formalitas yang tidak terpenuhi

dan baru dapat terpenuhi secara substansial oleh Penyidik pada penyidikan yang

baru, dengan demikian sesungguhnya alat bukti yang dimaksud telah menjadi alat

bukti yang baru. Penjelasan Mahkamah Konstitusi terkait alat bukti baru,

memperkuat bahwa alat bukti yang telah disempurnakan oleh Penyidik tidak

boleh dikesampingkan dan tetap dapat dipergunakan sebagai dasar penyidikan

yang baru dan dasar untuk menetapkan kembali seseorang menjadi Tersangka.

Mengedepankan pembahasan yang tetap berada pada aturan, dapat

dikatakan bahwa mekanisme penetapan Tersangka dalam praperadilan belum

mendapatkan pengaturan secara komperhensif, sehingga menyebabkan Hakim

mempunyai tolak ukur yang berbeda dalam setiap permohonan pemeriksaan

penetapan Tersangka.

Dampak belum komperhensifnya aturan mengenai pengajuan alat bukti

lanjutan, selain dari terdapatnya perbedaan aturan antara Mahkamah Konstitusi

dan Mahkamah Agung yang menyebabkan timbulnya tolak ukur Hakim yang

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

10

berbeda. Adapun dampak lainnya yaitu dengan tidak sesuainya implementasi

penerapan das solen dan das sein dalam perkembangan hukum di Indonesia.

Mahkamah Konstitusi memberikan putusan dari uji materiil yang diajukan oleh

Pemohon (Anthony Chandra Kartawiria), pada Halaman 47 Point 3.10.3, yaitu :

“Bahwa berkaitan dengan dapat dilakukannya penyidikan kembali

terhadap penetapan Tersangka yang pernah dibatalkan oleh Hakim

Praperadilan dengan syarat paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang tidak

harus baru dan masih berkaitan dengan bukti sebelumnya.”

Aturan teknis dari Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai mekanisme

pengajuan alat bukti lanjutan, secara das sein dapat dikatakan menciptakan suatu

norma hukum baru, sedangkan secara das solen hal tersebut merupakan fungsi

dari Lembaga Legislatif. Lembaga Legislatif sendiri dalam ketatanegaraan

memiliki fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan, yang apabila salah satu

fungsi tersebut dilakukan oleh lembaga Negara yang lain, maka terjadilah

penyimpangan kewenangan. Penyimpangan kewenangan yang terjadi, dalam hal

ini disebabkan karena belum jelasnya ketentuan yang mengatur mengenai

pengajuan alat bukti lanjutan dalam menetapkan Tersangka, sedangkan dinamika

hukum berkembang dengan cepat.

Berdasarkan penyimpangan kewenangan yang timbul dari belum jelasnya

ketentuan yang mengatur, maka perlu diatur secara jelas ketentuan teknis

mengenai penetapan status Tersangka di dalam peraturan perundang-undangan

yang mengatur secara keseluruhan proses beracara di praperadilan melalui

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

11

KUHAP, dengan demikian dasar pertimbangan akan mempunyai legitimasi yang

jelas dalam penerapannya.

Pada dua aspek permasalahan mengenai belum jelasnya ketentuan teknis

pemeriksaan praperadilan atas penetapan Tersangka, memiliki aplikasi utama

yaitu harus mempertimbangkan aspek materiil dalam pengujiannya. Perlunya

pertimbangan aspek materiil dikarenakan secara tidak langsung melalui putusan

judicial review Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XV/2017, menjelaskan bahwa

bukti yang sama dalam penetapan Tersangka harus dipertimbangkan karena

dimungkinkan terdapat unsur substansial baru yang ditemukan oleh Penyidik

pada penyidikan berikutnya. Selain itu dalam Pasal 2 Ayat (3) Peraturan

Mahakamah Agung No. 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali

Putusan Praperadilan, mengenai harus alat bukti baru yang berbeda dengan alat

bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara, dalam hal ini Lembaga

Praperadilan harus menggunakan prinsip kehati-hatian dengan

mempertimbangkan pula aspek materiil, mengingat konteks pembahasan dari

awal mengacu pada penambahan objek penetapan Tersangka di praperadilan

dalam kasus Tindak Pidana Korupsi, yang sejatinya merupakan kejahatan yang

bersifat extraordinary crime. Alhasil fungsi dari pertimbangan aspek materiil

secara tidak langsung akan dibutuhkan Hakim Praperadilan dalam menguji sah

tidaknya penetapan Tersangka pada alat bukti yang bersangkutan.

Jadi fungsi utama dari praperadilan dapat dioptimalkan, bahwa

praperadilan harus dilakukan secara cepat dan tepat mendahului proses pokok

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

12

perkara dalam rangka memulihkan harkat/martabat Tersangka, namun juga

dengan mempertimbangkan bahwa kajian ini menitikberatkan pada penambahan

objek praperadilan yaitu penetapan status Tersangka, yang lebih spesifiknya

dalam kasus Tindak Pidana Korupsi. Alhasil fungsi check and balances yang

sesungguhnya akan dapat terlaksana sepenuhnya, ketika kajian karya tulis ilmiah

ini terakomodasi di dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, Peneliti

termotivasi untuk melakukan kajian ilmiah dalam bentuk penelitian yang

sistematis dan mendasar, dengan mengkaji mekanisme pengajuan alat bukti

lanjutan melalui dokumen-dokumen praperadilan. Jadi, maksud makna

implementatif yaitu terjadinya dualisme pertimbangan hakim praperadilan

dikarenakan terdapat dua pola aturan pengajuan alat bukti lanjutan yang berbeda,

yaitu judicial review Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

No. 42/PUU-XV/2017 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016

tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan, sehingga akan dikaji

penambahan objek sah tidaknya penetapan status Tersangka melalui Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, sudah/belum diimplementasikan

secara efektif dalam sistem Praperadilan, dengan demikian hasil dari penelitian

akan dijadikan skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI PEMERIKSAAN

PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENETAPAN STATUS

TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI”.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

13

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka Peneliti akan

memberikan pokok-pokok permasalahan yang menjadi obyek kajian, yaitu :

1. Bagaimana implementasi pemeriksaan praperadilan tentang sah tidaknya

penetapan status Tersangka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi

No. 21/PUU-XII/2014 ?

2. Bagaimana kendala pemeriksaan praperadilan tentang sah tidaknya

penetapan status Tersangka tindak pidana korupsi berdasarkan Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 ?

C. Tujuan Penelitian

Pada penelitian ini Peneliti mempunyai tujuan yang diantaranya :

1. Untuk memahami implementasi pemeriksaan praperadilan tentang sah

tidaknya penetapan status Tersangka berdasarkan Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 ;

2. Untuk memahami kendala pemeriksaan praperadilan tentang sah tidaknya

penetapan status Tersangka tindak pidana korupsi berdasarkan Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

14

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu manfaat atau kegunaan

yang dapat diambil. Kegunaan atau manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian

ini adalah sebagai berikut :

a. Secara Teoritis ;

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya serta memberikan

khasanah keilmuan Hukum Acara Pidana, khususnya dalam praperadilan

mengenai mekanisme penetapan status Tersangka tindak pidana korupsi,

sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam

penyempurnaan kaidah-kaidah hukum yang selanjutnya dijadikan sumber

referensi untuk perbaikan KUHAP.

b. Secara Praktis ;

Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat

secara praktis, kepada Aparat Penegak Hukum dalam memperluas Ilmu

Hukum Acara Pidana serta sebagai acuan implementatif, terkait

mekanisme penetapan status Tersangka tindak pidana korupsi dalam

praperadilan. Selain itu dapat memberikan penjelasan secara khusus

kepada Aparat Penegak Hukum baik di tingkat penyidikan maupun

peradilan mengenai pentingnya pelaksanaan teknis penetapan status

Tersangka yang diatur di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.

21/PUU-XII/2014, ditinjau dari mekanisme penetapan Tersangka dan

mekanisme pengujian perkara praperadilan.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

15

E. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini, disusun dengan kerangka pemikiran yang digambarkan

dengan skema sebagai berikut :

Gambar 1. Diagram Alur Kerangka Pikir

Penambahan objek praperadilan

berupa sah tidaknya penetapan status

Tersangka melalui Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014

Implementasi pengujian sah tidaknya penetapan status tersangka dalam

praperadilan kasus tindak pidana korupsi

masih menimbulkan beberapa permasalahan

Perbedaan aturan antar lembaga Negara

dalam menyikapi mekanisme pengajuan

“alat bukti lanjutan”

Mahkamah Konstitusi,

boleh menggunakan alat

bukti yang lama

Mahkamah Agung,

harus menggunakan

alat bukti baru

Tolak ukur Hakim menjadi

berbeda dalam beracara di

praperadilan

Perluasan kewenangan yang dilakukan

Mahkamah Konstitusi dalam menyikapi

dinamika hukum penambahan objek

praperadilan tentang sah tidaknya

penetapan status Tersangka

Secara das sein

Mahkamah Konstitusi dalam

Putusan Mahkamah

Konstitusi

No. 42/PUU-XV/2017

memutuskan suatu norma

hukum baru pada

mekanisme pengajuan

“alat bukti lanjutan”

Secara das solen

dalam memutuskan

suatu norma hukum

baru, merupakan

fungsi dari Lembaga

Legislatif

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

16

F. Hipotesis

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang selanjutnya disebut KBBI,

hipotesis merupakan:

“sesuatu yang dianggap benar untuk alasan atau pengutaraan pendapat

(teori, proposisi, dan sebagainya) meskipun kebanyakan masih harus

dibuktikan; anggapan dasar.”

Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka dapat dimaknai bahwa

hipotesis merupakan bentuk kesimpulan sementara dan tetap perlu dibuktikan

kebenarannya melalui penelitian.

Pada hakikatnya dalam setiap penelitian baik penelitian kualitatif maupun

penelitian kuantitatif, hipotesis selalu ada tapi tidak selalu ditulis. Peneliti

memilih untuk menuangkan hipotesis dalam bentuk tertulis adalah untuk

memberikan korelasi yang jelas antara judul, permasalahan dan pembahasan. Hal

tersebut semata-mata bertujuan untuk memberi rambu/batasan penelitian,

sehingga dalam pelaksanaannya, tidak terjadi perluasan ruang lingkup dari apa

yang telah ditentukan pada mulanya.

Hipotesis yang disusun oleh Peneliti adalah untuk memberikan

kesimpulan sementara mengenai sesuai tidaknya penerapan pengajuan alat bukti

lanjutan yang digunakan untuk menetapkan seseorang kembali menjadi

Tersangka pada hukum positif Indonesia saat ini dengan tolak ukur Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 42/PUU-XV/2017 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016

Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, sehingga dapat

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

17

diketahui dalam ditetapkannya penambahan objek sah tidaknya penetapan status

Tersangka, sudah/belum diimplementasikan secara maksimal dalam sistem

Praperadilan di Indonesia. Guna diperolehnya kesimpulan sementara itu, maka

akan diuraikan secara singkat beberapa posisi kasus, pertimbangan Hakim,

putusan dan kemudian analisa singkat oleh Peneliti.

Berdasarkan data yang diperoleh, terdapat beberapa posisi kasus yang

menjadi tolak ukur Peneliti dalam Penelitian skripsi, yaitu kasus Setya Novanto

yang condong menggunakan Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016

Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan dan kasus Anthony

Chandra Kartawira yang condong menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 42/PUU-XV/2017, dengan runtutan peristiwa sebagai berikut:

Tabel 1. Posisi Kasus KTP-Elektronik dan beberapa Putusan Praperadilan

Setya Novanto

Waktu Persitiwa

13 Desember 2016 Setya Novanto diperiksa pertama kali sebagai saksi

kasus e-KTP

17 Juli 2017 KPK menetapkan Setya Novanto sebagai Tersangka

kasus e-KTP

4 September 2017 Setya Novanto mengajukan gugatan praperadilan ke

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

18

29 September 2017 Putusan Praperadilan memutus penetapan Tersangka

atas Setya Novanto tidak sah (Hakim Cepi)

31 Oktober 2017 KPK menetapkan Setya Novanto kembali sebagai

Tersangka dengan menggunakan alat bukti baru

14 Desember 2017 Putusan Praperadilan menyatakan permohonan

pemohon gugur dan Setya Novanto tetap menjadi

Tersangka (Hakim Kusno)

Tabel 2. Posisi Kasus Korupsi Restitusi Pajak PT. Mobile 8

Anthony Chandra Kartawiria

Waktu Persitiwa

19 Oktober 2016 Dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan Direktur

Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus

Nomor Print-129/F.2/Fd.1/10/2016 dan disusul

dikeluarkannya Surat Penetapan Tersangka Nomor

Print 25/P.2/Fd.1/10/2016

1 November 2016 Anthony Chandra Kartawiria mengajukan praperadilan

29 November 2016 Permohonan praperadilan dikabulkan melalui Putusan

Nomor 140/Pid.Prap/2016/PN.Jkt.Sel.

30 November 2016 Anthony Chandra Kartawiria ditetapkan kembali

menjadi Tersangka menggunakan alat bukti yang

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

19

berkaitan dengan materi sebelumnya

6 Desember 2016

Anthony Chandra Kartawiria mengajukan praperadilan

kembali

14 Desember 2016 Permohonan praperadilan ditolak oleh Hakim

Praperadilan, dan dilanjutkan pada sidang peradilan

tipikor

Berdasarkan data – data tersebut, fokus kajian Peneliti menyasar pada

pertimbangan hakim dan penyidik dalam menganalisa alat bukti lanjutan yang

digunakan untuk menetapkan kembali Setya Novanto dan Anthony Chandra

Kartawiria sebagai Tersangka kasus Tindak Pidana Korupsi. Hal ini dapat

dijadikan sebuah analisis, sudahkah objek praperadilan mengenai sah tidaknya

penetapan status Tersangka terimplementasi secara maksimal dengan hukum

positif Indonesia.

Pada kasus Setya Novanto KPK dalam menetapkannya kembali menjadi

Tersangka sudah mengaplikasikan Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung

No. 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan,

yaitu dengan menggunakan alat – alat bukti baru tanpa ada keterkaitan dengan

alat bukti sebelumnya, hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan oleh Juru

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

20

Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi pada konferensi pers di Jakarta pada hari

Senin tanggal 11 Desember 2017.7

Berbeda hal nya dengan alat bukti lanjutan yang digunakan Kejaksaan

Tinggi Jawa Timur dalam menetapkan kembali Anthony Chandra Kartawiria

sebagai tersangka, mengaplikasikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor No.

42/PUU-XV/2017, yaitu menggunakan alat – alat bukti lama yang berkaitan

dengan alat bukti sebelumnya, hal tersebut dapat diketahui pada penetapan

tersangka kembali yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur selang satu hari

setelah diterimanya praperadilan yang diajukan oleh Anthony Chandra

Kartawiria, padahal terdapat serangkaian kegiatan lagi dalam mencari sebuah alat

bukti baru dalam penyidikan, seperti dikeluarkannya surat perintah dimulainya

penyidikan yang baru, hal tersebut seperti yang diatur dalam Pasal 109 Ayat (1)

KUHAP.

Pada dua pola dalam pengajuan alat bukti lanjutan untuk menetapkan

seseorang kembali menjadi Tersangka, maka Peneliti berpendapat bahwa pola

yang terdapat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor No. 42/PUU-XV/2017

tidak efektif dalam implementasinya, dikarenakan menimbulkan proses hukum

yang berlarut – larut dan bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 4

Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, yaitu

peraturan yang sifatnya harus di implementasikan oleh seluruh Hakim yang

7 Rina Widiastuti, “KPK Pastikan Jerat Setya Novanto dengan Alat Bukti Baru”,

https://nasional.tempo.co/read/1041446/kpk-pastikan-jerat-setya-novanto-dengan-alat-bukti-baru,

5 Mei 2018

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

21

berada di lingkungan Mahkamah Agung, dengan demikian akan menimbulkan

dualisme pertimbangan Hakim. Jadi untuk mengantisipasi terjadinya dualisme

putusan Hakim tersebut, Peneliti menawarkan agar secara legalitas hal – hal

mengenai alat bukti lanjutan tetap mendasarkan pada Peraturan Mahkamah

Agung No. 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan

Praperadilan atau diatur kembali secara spesifik pada Peraturan Mahkamah

Agung tentang Prosedur Beracara Praperadilan yang memeriksa penetapan

Tersangka, yang di dalammnya memuat pula alat bukti lanjutan yag digunakan

Penyidik untuk menetapkan seseorang menjadi Tersangka kembali.

G. Sistematika Penelitian

Adapun sistematika Penelitian dalam skripsi yang berjudul Implementasi

Pemeriksaan Permohonan Praperadilan Atas Penetapan Status Tersangka Tindak

Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Sistematika Penelitian

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terbagi ke dalam 7 (tujuh) sub bab, yang meliputi latar

belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

kerangka pemikiran, hipotesis dan sistematika Penelitian skripsi. Latar

belakang menjelaskan mengenai dasar-dasar yang digunakan untuk

memilih judul penelitian. Perumusan masalah menguraikan

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

22

permasalahan yang muncul sesuai dengan judul penelitian. Perumusan

masalah juga digunakan untuk membatasi ruang lingkup bahasan.

Bagian tujuan penelitian tentunya menguraikan tujuan dari Penelitian

karya ilmiah ini yang menyasar pada masalah yang telah dirumuskan.

Kegunaan penelitian menjelaskan mengenai kegunaan dilakukannya

penelitian baik secara teoritis dan secara praktis. Kerangka pemikiran

juga turut dalam bentuk diagram alur. Hipotesis merupakan

kesimpulan sementara terhadap objek penelitian. Terakhir, pada

bagian sistematika Penelitian diuraikan cakupan bahasan pada masing-

masing bab yang ada dalam Penelitian skripsi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan landasan teori dari istilah-istilah yang

ditemukan dalam kerangka pemikiran Peneliti. Bagian tinjauan

pustaka ini terbagi ke dalam 4 (empat) sub bab, yang terdiri dari

tinjauan umum korupsi, tinjauan umum hukum acara pidana, tinjauan

umum praperadilan, dan tinjauan mekanisme pembuktian dalam

praperadilan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-

XII/2014.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

23

BAB III METODE PENELITIAN

Pada bab metode penelitian, pokok bahasan terbagi ke dalam 5 (lima)

sub bab, meliputi metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode

pengumpulan data, metode pengolahan dan penyajian data serta

metode analisis data. Sebelum memasuki sub bab yang pertama

mengenai metode pendekatan terlebih dahulu diuraikan jenis

penelitian yang dilakukan oleh Peneliti. Selanjutnya, pada bagian

metode pendekatan dicantumkan metode pendekatan yang dipilih

Peneliti untuk melakukan analisis terhadap objek penelitian. Bagian

spesifikasi penelitian menjelaskan jenis yang lebih khusus dari jenis

penelitian yang telah dipilih. Metode pengumpulan data menguraikan

teknik/cara yang dilakukan oleh Peneliti dalam mengumpulkan data

penelitian yang diperlukan. Sementara pada bagian metode

pengolahan dan penyajian data tentunya disebutkan teknik-teknik

yang digunakan Peneliti dalam mengolah dan menyajikan data

penelitian. Terakhir, pada bagian metode analisis data dijelaskan cara

berpikir dalam mengkaji permasalahan.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab hasil penelitian dan pembahasan terbagi ke dalam 2 (dua)

sub bab yang menguraikan rumusan masalah dari belum efektifnya

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - eprints.umk.ac.ideprints.umk.ac.id/11101/2/BAB I.pdfTahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,

24

implementasi penambahan objek praperadilan yaitu sah tidaknya

penetapan status Tersangka yang lebih spesifik pada pengajuan alat

bukti lanjutan dalam menetapkan seseorang kembali menjadi

Tersangka. Pokok bahasan yang pertama membahas mengenai

implementasi secara yuridis pemeriksaan praperadilan tentang sah

tidaknya penetapan status Tersangka berdasarkan peraturan yang

berlaku saat ini melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-

XII/2014. Pada pokok bahasan kedua, diuraikan

permasalahan yang menjadi objek utama dalam penetapan status

Tersangka seseorang, yaitu pada pengajuan alat bukti lanjutan yang

masih terdapat kerancuan hukum sehingga menyebabkan dualism

hakim dalam kasus – kasus Tindak Pidana Korupsi.

BAB V PENUTUP

Bab penutup berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan disajikan runtut

sesuai dengan urutan permasalahan dan pembahasan. Sementara saran

merupakan bentuk rekomendasi yang diberikan oleh Peneliti kepada

pihak yang berkepentingan guna memperbaiki kelemahan yang

ditemukan atas hasil penelitian.