31
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Studi musik populer dewasa ini secara signifikan mulai menjamah studi ilmu komunikasi. Kajian musik populer penting karena perannya yang vital dalam menjangkau khalayak pendengar, khususnya kaum muda. Musik populer seringkali dianggap menjadi bahasa yang efektif untuk menyampaikan wacana tertentu. Musik selain sebagai media tersendiri juga memiliki kaitan erat dengan media-media lain seperti, media cetak, media penyiaran, maupun media baru. Pemberitaan musik seringkali muncul di surat kabar maupun majalah. Musik sering digunakan sebagai suara latar dalam program televisi, dan film. Musik sering ditemukan dalam siaran- siaran radio. Bahkan melalui media baru yang berkaitan dengan jaringan internet hubungan musik menjadi lebih kompleks. Pada awalnya Adorno (dalam Walton) 1 berpandangan bahwa industri budaya melahirkan budaya massa populer yang dimotivasi oleh keuntungan. Maka dari itu, diproduksi bentuk dengan formula tertentu dan dapat diprediksi. Selanjutnya dianggap memiliki pengaruh ideologis. Budaya populer salah satunya musik, tidak mengantarkan pada perilaku anarki atau disintegrasi, namun membuat massa pasif dan mendorong untuk menyesuaikan kondisi mereka yang dianggap memalukan. Yang mana anggapan ini disanggah oleh para ahli, khalayak bukan massa yang sepenuhnya pasif. Dalam hal ini studi musik populer tidak hanya sebatas lingkup genre tertentu. Studi musik populer seringkali membahas bermacam-macam genre seperti punk, 1 David Walton. 2008. Introducing Cultural Studies : Learning Through Practice. London : Sage Publication. Hal. 53.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78419/potongan/S1-2015... · direkam. Selain itu, baik pendekatan musikologis maupun sosio-ekonomi sepakat bahwa

  • Upload
    lycong

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Studi musik populer dewasa ini secara signifikan mulai menjamah studi ilmu

komunikasi. Kajian musik populer penting karena perannya yang vital dalam

menjangkau khalayak pendengar, khususnya kaum muda. Musik populer seringkali

dianggap menjadi bahasa yang efektif untuk menyampaikan wacana tertentu. Musik

selain sebagai media tersendiri juga memiliki kaitan erat dengan media-media lain

seperti, media cetak, media penyiaran, maupun media baru. Pemberitaan musik

seringkali muncul di surat kabar maupun majalah. Musik sering digunakan sebagai

suara latar dalam program televisi, dan film. Musik sering ditemukan dalam siaran-

siaran radio. Bahkan melalui media baru yang berkaitan dengan jaringan internet

hubungan musik menjadi lebih kompleks.

Pada awalnya Adorno (dalam Walton)1 berpandangan bahwa industri budaya

melahirkan budaya massa populer yang dimotivasi oleh keuntungan. Maka dari itu,

diproduksi bentuk dengan formula tertentu dan dapat diprediksi. Selanjutnya

dianggap memiliki pengaruh ideologis. Budaya populer salah satunya musik, tidak

mengantarkan pada perilaku anarki atau disintegrasi, namun membuat massa pasif

dan mendorong untuk menyesuaikan kondisi mereka yang dianggap memalukan.

Yang mana anggapan ini disanggah oleh para ahli, khalayak bukan massa yang

sepenuhnya pasif.

Dalam hal ini studi musik populer tidak hanya sebatas lingkup genre tertentu.

Studi musik populer seringkali membahas bermacam-macam genre seperti punk,

1 David Walton. 2008. Introducing Cultural Studies : Learning Through Practice. London : Sage Publication. Hal.

53.

2

heavy metal, reggae, hip-hop, rap, rock n roll, hingga grunge. Dapat dikatakan

bahwa istilah musik populer berbeda dengan istilah batasan genre pop.

Perkembangan musik populer di Indonesia dapat dikatakan pesat baik dari

institusi produsen industri musik arus utama hingga underground, maupun pendengar

sebagai penikmat dan penerima teks musik. Perkembangan tersebut memiliki

perbedaan mendasar dalam hal konten maupun gaya dalam bermusik di berbagai era.

baik saat orde lama, orde baru, maupun pasca reformasi memiliki perbedaan

tersendiri dari konten musik yang disajikan.

Laju pertumbuhan musik di Indonesia seringkali sulit mendapat kekangan dari

berbagai pihak. Contohnya pada era pemerintahan Soekarno meskipun terdapat

larangan memainkan musik barat, namun musik bernuansa barat tetap berkembang.

Hingga akhirnya grup musik Koeswoyo Bersaudara (Koes Plus) sempat ditahan

karena memainkan musik tersebut.2 Contoh lain pada masa orde baru yang mana pada

saat itu dilarang memainkan musik protes, namun tetap muncul musik-musik protes

khususnya karangan Iwan Fals, Harry Roesli, dan Slank.3

Namun pasca reformasi, musik protes hampir tidak pernah muncul dipasar

industri musik (major label). Musik protes era ini menjadi dinikmati secara terbatas

oleh pendengar dengan genre tertentu. Di saat musik protes mayor label surut, musik

underground semakin banyak mengeluarkan lagu berbau protes. Lagu protes musik

underground-pun lebih gamblang ditulis dalam bahasa Indonesia. Setelah di masa

orde baru musik ini menyajikan protes menggunakan lirik berbahasa Inggris.4

Saat ini, telah banyak bermunculan musisi underground yang menyajikan

lagu protes. Protes yang dimunculkan oleh musisi underground bermacam-macam.

Beberapa individu maupun kelompok musisi underground secara konsisten

menyajikan isu atau gerakan tertentu, di saat musisi yang lain memilih untuk

menyuarakan protes dengan tema beragam. Musisi yang menyuarakan suatu isu

2 Khrisna Sen & David T. Hill. 2001.Media, Budaya dan Politik Indonesia. Jakarta : ISAI. Hal. 196. 3 Jeremy Wallach. 2008. Modern Noise, Fluid Genres : Popular Music In Indonesia. Wisconsin : The University

of Wisconsin Press. Hal. 16. 4Ibid. Hal. 14-15

3

secara konsisten seperti, Tengkorak, Siksa Kubur, hingga Purgatory yang

menyuarakan jihad melalui musik Metal. Selain itu yang akan lebih banyak dibahas

dalam penelitian ini adalah yang menyuarakan isu lingkungan. Musisi yang

menyuarakan isu lingkungan secara konsisten di sini adalah Navicula. Navicula yang

merupakan salah satu band underground dengan genre grunge cukup berbeda dalam

menyajikan teks dalam musiknya. Isu lingkungan disuarakan Navicula dengan jalur

underground dan dengan genre grunge yang notabene termasuk rumpun musik keras.

Sebuah keunikan lagi bagi sebuah band, Navicula tidak hanya sebatas

menyajikan isu lingkungan dalam musik. Navicula juga aktif melakukan aktivisme

lingkungan. Salah satunya dengan mengikuti kampanye bernama “Kepak Sayap

Enggang Tur Mata Harimau Seri Kalimantan” yang diadakan oleh greenpeace.5

Selain itu Navicula juga aktif dalam melakukan kampanye lingkungan seperti

pembuatan poster hingga menerbitkan tulisan kampanye lingkungan di situs resmi

mereka. Navicula juga sering memperhatikan kaitan dengan isu-isu lingkungan saat

membuat merchandise seperti kaos hingga sampul album. Bahkan Navicula juga

memproduksi sabun sendiri yang tidak menggunakan bahan kelapa sawit. Maka dari

itu dapat dikatakan bahwa Navicula tidak sekedar basa-basi dalam mengangkat isu

lingkungan, namun juga peduli terhadap masalah degradasi lingkungan yang telah

terjadi khususnya di Indonesia.

Kondisi lingkungan sendiri di Indonesia memang sudah memprihatinkan.

Penggundulan hutan ada dimana-mana, banjir melanda di kota besar, satwa-satwa

langkapun hampir punah. Adapun salah satu dampak dari permasalahan degradasi

lingkungan ini adalah perubahan iklim. Isu perubahan iklim sendiri telah menyita

perhatian dunia sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de

Janeiro, Brasil, tahun 1992.6

5 Manajemen Navicula. Navicula Borneo Tour – Kepak Sayap Enggang (Press Release). Terarsip di :

http://www.naviculamusic.com/kepak-sayap-enggang/. Diakses 1 April 2014 6 Armely Meiviana, Diah R. Sulistiowati,& Moekti H Sujahnoen. 2004. Bumi makin panas : Ancaman Perubahan

Iklim. Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup. Hal: iv

4

Dalam lirik lagu Navicula, isu-isu lingkungan yang disebutkan di atas

seringkali muncul. Lagu seperti “Metropolutan” menggambarkan kemajuan industri

kota besar yang memiliki dampak terhadap polusi yang muncul di mana-mana, serta

permasalahan kota besar. Selain itu masih banyak lagu-lagu lain yang berkaitan

dengan isu-isu lingkungan seperti yang disebutkan di atas.

Melalui paparan di atas, dapat dikatakan bahwa Navicula menarik untuk

dibahas. Sangat jarang ditemui band yang menyajikan isu tertentu yang dibarengi

dengan aktivitas nyata dalam perjuangannya. Menariknya lagi, isu lingkungan yang

mereka sampaikan dibawakan dengan musik underground dengan genre grunge.

Dimana dalam skema musik tersebut memiliki pola lain dengan musik arus utama.

Pada awal kemunculannya, gerakan underground merupakan gerakan budaya tanding

dan alternatif. Yang dalam hal ini musik underground ini lebih melibatkan komunitas

dan kelompok-kelompok tertentu daripada dalam musik arus utama.

Dalam hal ini, isu lingkungan yang disajikan Navicula akan lebih menarik jika

dilihat dari sudut pandang khalayak pendengar. Dengan asumsi bahwa pendengar

sebagai khalayak pada awalnya dianggap pasif, namun seiring berjalannya waktu

khalayak tidak lagi dianggap sebagai target sasaran media massa, melainkan memiliki

peran aktif dalam mengolah teks. Menurut Graeme Burton, bagi peneliti media dan

budaya, hal terpenting tentang khalayak pendengar adalah apa yang mereka lakukan

dengan musik.7 Burton menambahkan bahwa musik dapat bernilai dalam hal dan

konteks yang berbeda oleh orang yang berbeda. Maka dari itu muncul anggapan

bahwa resepsi bukanlah pengalaman pasif.8

Berdasarkan deskripsi di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian terhadap pendengar Navicula. Pendengar yang akan diteliti bukan khalayak

umum yang belum tentu menyukai dan memperhatikan Navicula beserta isu-isu di

dalamnya. Dengan kata lain pendengar yang akan diangkat dalam penelitian ini

adalah fans. Dimana dalam hal ini, fans dikaitkan dengan unsur loyalitas. Fans yang

7 Graeme Burton. 2005. Media & Society : Critical Prespectives. New York : Open University Press. Hal. 166.

8 Ibid. Hal. 167.

5

dimaksud di sini adalah pendengar Navicula yang mengikuti dan mendengarkan

Navicula secara intensif, tidak hanya sebatas mendengar sambil lalu, serta telah

mengikuti dan menyukai Navicula dalam kurun waktu yang relatif lama.

Selanjutnya perlu peneliti sampaikan bahwa fokus dalam penelitian ini adalah

bagaimana fans memaknai isu lingkungan dalam musik, khususnya musik

underground. Dalam hal ini, fans tidak sama antara satu dengan yang lain. Fans yang

berbeda tentu akan memaknai teks dengan berbeda pula. Isu lingkungan dalam musik

akan menimbulkan pemaknaan teks fans yang berbeda. Fans akan secara aktif

mempunyai pandangan tersendiri mengenai isu lingkungan dalam sebuah lagu sesuai

dengan latar belakang dan pengalaman masing-masing. Dari penelitian ini nantinya

dapat diketahui apakah teks isu lingkungan dalam sebuah lagu diterima fans sesuai

dengan yang dimaksudkan pencipta lagu, atau fans memiliki alternatif pemaknaan

tersendiri.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana fans Navicula memaknai isu lingkungan dalam lagu-lagu Navicula?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui bagaimana fans memaknai lagu berikut isu yang terkandung di

dalamnya.

2. Mengetahui hubungan latar belakang, latar kelompok maupun kelas sosial

fans, dan faktor lain dengan proses fans dalam memaknai teks dalam musik.

6

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain :

1. Bagi studi ilmu komunikasi, penelitian ini akan menambahkan referensi

tambahan mengenai pemaknaan musik oleh fans.

2. Bagi fans, penelitian ini dapat menjadi acuan untuk bersikap lebih kritis dalam

memaknai teks media.

E. Kerangka Pemikiran

1. Pemahaman Konsep dalam Musik Populer

Bahasan musik populer menjadi perdebatan di beberapa pendekatan

pengetahuan. Perdebatan tersebut meliputi definisi Musik Populer, hingga kaitan

dengan media yang cukup kompleks. Menurut pandangan Middleton, pertanyaan' apa

itu musik populer' sangat penuh dengan kompleksitas, bahwa salah satu tergoda untuk

mengikuti contoh dari definisi legendaris lagu rakyat- semua lagu adalah lagu rakyat

– dan menunjukkan bahwa semua musik adalah musik populer, (meskipun hanya)

populer dengan seseorang (atau kalangan tertentu).9 Namun demikian, pernyataan

tersebut menjadi perdebatan karena tidak terdapat batasan yang jelas melalui kategori

musik tertentu. Menanggapi hal itu, banyak kritikus yang beranggapan bahwa kunci

utama definisi musik populer adalah dalam segi komersialisasi.10

Dengan kata lain,

musik dapat dikatakan sebagai musik populer ketika musik tersebut memiliki

orientasi komersial. Dalam hal ini tidak berarti bahwa aspek komersial selalu menjadi

yang utama, namun juga lebih menyangkut terhadap dinikmati oleh khalayak

pendengar dalam jumlah yang besar.

9 R. Middleton. 1990. Studying Popular Music. Milton Keynes : Open University Press. Hal. 3. 10 Roy Shuker. 2005. Popular Music : The Key Concept. London : Routledge. , Hal. 204.

7

Melalui definisi tersebut, suatu jenis musik dapat dikatakan musik populer

disaat jenis lain tidak. Meskipun demikian masalah kepopuleran masih mengalami

ganjalan mengingat musik tertentu tidak selalu lebih populer dari daerah satu ke

daerah lain. Chart maupun radio air-play juga berbeda-beda di setiap media. Maka

pendekatan ini secara luas dapat dikatakan berinti pada musik populer yang telah

direkam. Selain itu, baik pendekatan musikologis maupun sosio-ekonomi sepakat

bahwa musik populer memiliki beberapa karakteristik, yaitu hibriditas tradisi, gaya,

dan pengaruh musik, serta menjadi produk ekonomis yang diinvestasikan

kepentingan ideologis terhadap banyak konsumen.11

Melalui beberapa konsep tersebut, maka musik underground (non-

mainstream) sama-sama berpeluang tergolong musik populer. Selain itu baik musik

kritik maupun musik non kritik juga dapat digolongkan menjadi musik populer

asalkan memenuhi kriteria lainya. Dengan poin utama adalah musik populer menjadi

musik yang diproduksi secara massal, menjangkau pendengar luas, dan mempunyai

nilai komersial (berapapun kadarnya). Asalkan dapat menarik perhatian berbagai

pendengar.

Perlu ditekankan di sini bahwa istilah musik populer berbeda dengan genre

pop. Musik populer seringkali menjadi istilah yang digunakan di bidang akademis

untuk merujuk musik yang seperti disebutkan di atas. Adapun genre musik pop sering

dilihat sebagai batasan genre musik yang memanfaatkan saluran media arus utama.

Genre grunge sebagai genre yang dimainkan Navicula sendiri masuk dalam bahasan

musik populer namun tidak masuk dalam batasan genre musik pop.

Selanjutnya dalam dinamika studi musik populer yang akan sering disebut

dalam penelitian ini adalah musik underground. Istilah underground pada awalnya

merujuk pada gambaran jaringan-jaringan resistensi yang muncul selama perang

dunia II. Selanjutnya underground muncul pada akhir era 60-an bersinonim dengan

kontrakultural dan masyarakat alternatif, dengan implikasi-implikasi tantangan

11Ibid. 205.

8

represi, dan aktivitas tersembunyi-nya.12

Pada intinya musik underground lahir

melawan industri musik arus utama (major label) baik dari segi musik maupun teks

yang ada di dalamnya.

Istilah underground pertama kali digunakan di Indonesia pada awal 1990-an.

Istilah ini dipergunakan untuk merujuk pada kluster musik keras seperti halnya

metode produksi dan distribusi objek budaya. Musik underground ini terdiri dari

beberapa genre seperti punk, hardcore, death metal, grindcore, brutal death,

hyperblast, black metal, grunge, indies, industrial, dan gothic.13

Dalam hal ini,

seringkali bertumpang tindih dan ambigu dalam sebutan definisi underground

sebagai gaya musikal dan sebagai produksi dan distribusi independen.

Genre grunge yang dibawakan Navicula memiliki karakteristik yang khas.

Musik grunge merupakan perkembangan dari Punk dan Hardcore. Genre ini lahir di

Seattle yang dipopulerkan terutama oleh Nirvana, Pearl Jam, dan Sound Garden.

Grunge menekankan penampilan dan memoles teknik dalam bentuk lagu yang kasar,

mengandung amarah, dan penuh gairah, yang mengartikulasikan pesimisme dan

kecemasan anak muda.14

Selanjutnya istilah fans dalam musik juga akan sering digunakan. Dalam hal

ini fans adalah orang yang sangat mengikuti musik (baik dalam bentuk rekaman suara

maupun pertunjukan) dari musisi tertentu, serta mengikuti sejarah dari genre musikal,

dengan bermacam-macam derajat antusiasme dan komitmen. Adapun fandom

merupakan istilah kolektif yang merujuk pada fenomena fans dan perilaku mereka.15

Selanjutnya nanti juga akan dibahas fans maupun fandom dalam musik underground

yang memiliki sejumlah perbedaan dengan fans musik arus utama.

12Tony Thorne. 2008. Kultus Underground: Pengantar Untuk Memahami Budaya (Kaum Muda) Pascamodern

(terj.. Devo Rizki). Yogyakarta: Continuum. Hal 311 13 Jeremy Wallach. Op, Cit. Hal 36 14 Roy Shuker. Op. Cit. Hal. 130 15 Roy Shuker. Op.Cit, Hal 97-98.

9

2. Musik sebagai Media Protes

Menurut Mcquaill, rekaman musik tidak selalu dianggap sebagai media yang

terpisah. Meskipun demikian, musik memiliki industri yang terpisah, sistem

distribusi sendiri, serta memiliki otonomi kelembagaan sendiri.16

Musik diproduksi

oleh komunikator tertentu, kemudian pesan disampaikan pada khalayak luas melalui

penggandaan medium. Komunikator dan khalayak musik memiliki jarak ruang dan

waktu yang signifikan. Selain itu musik juga memungkinkan bias latar belakang

ekonomi, sosial, maupun budaya. Mengingat beragamnya target khalayak yang

dituju.

Seperti halnya media lain, musik juga disampaikan oleh komunikator tertentu

dan diterima oleh komunikan. Dalam hal ini komunikator adalah seorang musisi dan

perusahaan rekaman yang menghasilkan rekaman suara. Industri musik merupakan

ranah di mana komunikator musik (musisi dan perusahaan rekaman) memproduksi,

memasarkan, hingga mendistribusikan kepada pendengar sebagai komunikan.

Bahasan industri musik ini meliputi perusahaan besar (major label) maupun

perusahaan kecil/independen.

Terdapat empat perusahaan besar (sebagai institusi media) yang mendominasi

industri musik dunia, antara lain : Sony (sekarang Sony BMG), EMI, Universal, dan

Warner.17

Perusahaan tersebut bekerja secara multinasional dengan mempunyai anak

perusahaan dengan segmen yang berbeda-beda. Keempat besar raja industri musik

tersebut mampu mendapatkan keuntungan dari segi pasar, dan tentu saja menjangkau

khalayak yang luas. Meskipun pada awalnya dikenal istilah : "Think globally, act

Locally" dalam indsutri musik termasuk juga bagi keempat besar ini, namun

selanjutnya berkonsentrasi pada mengambil hit musik Amerika dan Barat (western)

untuk dijadikan mega hit di seluruh dunia.18

16 Denis Mcquail. 1997. Audience Analysis. Thousand Oaks, CA : Sage Publication. Hal. 31. 17 Joseph D. Straubhaar, Robert LaRose, & Lucinda Davenport. 2012. Media Now : Understanding Media,

Culture, and Technology. Boston, MA: Wadsworth/Cengage Learning. Hal. 141. 18 Joseph Turow. 1992. Media Today : An Introduction to Mass Communication. New York : Routledge. 391.

10

Lain halnya dengan perusahaan besar tersebut terdapat pula perusahaan

independen yang sedikit banyak berbeda. Perusahaan ini dimiliki oleh seseorang di

luar keempat perusahaan besar tersebut, dengan bermacam-macam ukuran, mulai dari

sangat kecil (3-4 pekerja) hingga menengah (sekitar 50 pekerja). Beberapa

perusahaan independen bekerja dengan promosi dan keuntungan rata-rata yang sangat

rendah, maka akan mendapatkan keuntungan setelah menjual 25.000 kopi, tidak

sebanding dengan major label yang membutuhkan jutaan album hit.19

Salah satu label

independen yang cukup diakui adalah Motown Records yang dimiliki oleh Berry

Gordy. Label ini selanjutnya dijual pada MCA dan Boston Ventures. Tercatat dari

awal berdiri tahun 1959 hingga dijual pada tahun 1988, Label ini telah berhasil

memproduksi lebih dari 30.000 lagu seperti "To Be Loved" (1957) dan "Shop

Around" (1959), selain itu juga meluncurkan karir bintang seperti Supremes, Marvin

Gaye, Stevie Wonder, dan Jackson 5.20

Adapun grunge (sebagai genre musik

dominan dalam penelitian ini) diasiosiasikan dengan label independen berpengaruh di

Seatle, yaitu Sub-Pop.21

Namun demikian Burnett (dalam Mcquail)22

, berpandangan bahwa musik

memperoleh perhatian yang relatif sedikit sebagai media, baik dalam teori maupun

riset bila dibandingkan dengan media lain. Hal ini berkemungkinan dikarenakan

belum diterangkannya implikasi musik terhadap masyarakat secara jelas. Meskipun

demikian, telah banyak kalangan yang mempercayai musik sebagai media yang

memiliki kekuatan.

Bagi Mcquail, di saat penerimaan unsur kultural dalam musik diperhatikan

secara sporadis, hubungannya dengan peristiwa sosial politik telah diketahui dan

kadang kala dirayakan atau dikhawatirkan.23

Menurut Mcquail, musik populer yang

termediasi (mass-mediated popular music) telah berkaitan dengan hedonisme,

19 Joseph D. Straubhaar, Robert LaRose, & Lucinda Davenport. Op. Cit,. Hal 141-142. 20 Joseph Turow. Op. Cit,. Hal. 388. 21 Roy Shuker. Op. Cit,. Hal. 130. 22

Denis Mcquail. 2010. Mcquail’s Mass Communication Theory. London : Sage Publication. Hal. 37. 23

Ibid. Hal. 38.

11

penggunaan narkoba, kejahatan dan perilaku anti sosial. Selain itu, musik juga

seringkali mengarahkan pada lagu protes dan nasionalisme yang mana menjadi

elemen potensial dalam pencapaian kemerdekaan Irlandia dari Jerman.24

Musik merupakan media yang sulit mendapatkan kekangan dari pihak

tertentu. Musik dapat mudah tersebar bahkan melampaui batas negara. Maka dari itu

industri musik tersebut di atas bermunculan seiring dengan perkembangan teknologi.

Terlebih muncul pandangan bahwa musik merupakan bahasa universal. Dengan

demikian dapat dinikmati oleh khalayak luas yang bahkan tidak mengerti bahasa

dalam lirik lagu. Meski demikian dalam hal penggunaan musik rekaman lebih banyak

secara personal. Maka dari itu lebih memiliki potensi dalam hal keberagaman

pemaknaan.

Mcquail membagi ciri-ciri musik rekaman ke dalam dua aspek. Pertama aspek

media, yang mana menyangkut media musik itu sendiri. Dalam aspek ini ciri-ciri

tersebut meliputi : berbentuk hanya suara, kepuasan penggunaan berupa pribadi dan

emosional, pada umumnya memiliki daya tarik terhadap kaum muda, serta

penggunaan yang mudah berpindah dan fleksibel. Sementara yang kedua dari aspek

institusional meliputi: peraturan yang kendur, internasionalisasi yang tinggi, memiliki

teknologi dan dasar yang beragam, terhubung dengan industri yang besar, terdapatnya

fragmentasi organisasi, serta merupakan inti dari budaya kaum muda.25

Sementara dalam kaitannya dengan media protes, musik seringkali digunakan

sebagai wujud perlawanan terhadap kondisi tertentu. Seperti musik Punk Rock yang

menggunakan musik sebagai sarana perlawanan terhadap ketimpangan sosial yang

ada. Seperti juga musik reggae yang muncul melawan rasisme yang terjadi. Wacana

perlawanan terhadap degradasi lingkungan sendiri hadir melalui berbagai ragam

karakter atau genre musik meski didominasi oleh musik folk. Namun demikian pada

umumnya musisi tertentu tidak secara konsisten menyajikan isu lingkungan di dalam

musiknya. Hanya sesekali mengangkat isu lingkungan di dalam musiknya.

24

Ibid. Hal. 38. 25

Ibid. Hal. 38.

12

R. Serge Denisof mengistilahkan protest song (lagu protes) sebagai lagu yang

digunakan untuk mengekspresikan ideologi sosial dan politik.26

Dalam istilah protest

song tersebut terbagi menjadi dua jenis yaitu magnetic dan rhetorical. Jenis magnetic

disampaikan dengan mengutarakan masalah di masyarakat, menyampaikan solusi,

dan menyatakan simpati dan dukungan. Lagu berjenis magnetic ini umumnya

dihadirkan dalam protes radikal seperti gerakan kemerdekaan dan anti perang.

Adapun jenis Rhetorical hanya menunjukan permasalahan yang ada tanpa

memberikan solusi dan dukungan tertentu. Namun demikian, lagu berjenis rhetorical

tetap diciptakan dengan usaha untuk membentuk opini publik.

Jenis lagu rhetorical pada musik berbau kritik pada umumnya lebih sering

digunakan. Lirik dalam musik juga diperhalus menggunakan gaya bahasa tertentu

agar tidak menyinggung pihak-pihak terkait yang cukup sensitif. Mengingat tidak -

semua negara memberikan kebebasan penuh untuk berekspresi. Beberapa masih

terdapat sensor dan bahkan terancam masuk penjara bila lagu secara tegas

menyinggung pihak tertentu, contohnya di Indonesia pada era orde baru. Maka dapat

ditegaskan gaya rhetoric dan dengan bahasa yang tidak selalu langsung dan bersifat

bermakna ganda sering digunakan salah satunya karena dianggap aman.

Penting untuk dipertimbangkan bahwa abad ke-19, lebih tepatnya tahun 1837

lagu protes (protest song) berbasis aktivisme lingkungan telah diperkenalkan.George

Morris dan Henry Russel yang ditengarai memunculkan pertama kali melalui lagu

berjudul “Woodman! Spare that Tree!”. Setelah itu mulai bermunculan musisi yang

beberapa lagunya bertemakan isu lingkungan. Kebanyakan musisi tersebut berasal

dari musik folk, musik alternatif, dan musisi independen. Di antara musisi tersebut

adalah Woody Guthrie, Pete Seeger, Earth Crisis, Ani Di Franco, Michael Franti dan

Spearhead, atau Dead Prez. Selain itu beberapa musisi dari major label juga turut

26 Keith Negus. 1996. Popular Music in Theory. Middletown, CT: Wesleyan University Press. Hal.

10.

13

memberikan perhatian terhadap lingkungan seperti Joni Mitchell, Marvin Gaye,

Michael Jackson, Neil Young, Pearl Jam, hingga Radiohead.27

Di Indonesia terdapat beberapa musisi yang pernah menyuarakan protes

berkaitan dengan isu lingkungan. Seperti Slank yang pada tahun 1990-an jauh

sebelum gerakan green marak di Indonesia menyampaikan isu lingkungan dalam lagu

“Nggak Perawan Lagi”.28

Melalui lagu tersebut Slank mengkritik kinerja pemerintah

yang tidak bisa menanggulangi berbagai permasalahan Indonesia dari mulai laut,

sungai, gunung, hingga hutan. Iwan Fals sebagai tokoh musik bermuatan kritik lain

juga memiliki lagu berkaitan isu lingkungan seperti “Hutanku” , “Tanam Siram

Tanam”, hingga “Pohon untuk Kehidupan.”

Seiring dengan berjalannya waktu, generasi musisi saat ini juga menaruh

perhatian pada isu lingkungan di dalam lagu-lagunya. Meski jumlahnya tidak banyak,

terdapat beberapa musisi yang banyak menyajikan isu lingkungan dalam lagu-

lagunya, di antaranya Dialog Dini Hari, No Stress, dan Navicula.

3. Khalayak Pendengar dan Resepsi Teks

Kata khalayak dengan sebutan lain audiens merupakan sebuah kata serapan

dari kata audience. Dalam studi komunikasi, khalayak menempati sebagai

komunikan. Di sini khalayak melakukan aktivitas berupa menerima teks. Komunikan

dapat disebut khalayak ketika berada dalam lingkup komunikasi massa. Khalayak

adalah orang yang mengonsumsi media baik itu media cetak, maupun media

penyiaran. Sejalan dengan deskripsi di atas menurut Wilbur Schramm (dalam

Mcquail) 29

, kata audience selama ini familiar sebagai istilah kolektif untuk penerima

27 Richard Kahn. 2010. Environmental Activism in Music. Terarsip di:

http://www.academia.edu/1395159/Environmental_Activism_in_Music. Diakses: 10 Mei 2014 28Tommy Apriando. 2013. Terarsip di : http://www.mongabay.co.id/2013/01/07/slank-hukum-lingkungan-di-

indonesia-mandul/ . Diakses 5 April 2014. 29 Denis McQuail. 1997. Audience Analysis. California: SAGE Publications. hal. 1

14

pesan (receiver) dalam model proses komunikasi massa yang dimanfaatkan oleh

pelopor di ranah penelitian tentang media. Namun dalam tradisi kultural pesan media

tidak lagi berwujud pesan, melainkan teks.

Ardianto dan Komala menyatakan terdapat beberapa karakteristik khalayak.

Antara lain:30

Khalayak pada umumnya terdiri atas individu-individu yang memiliki

pengalaman yang sama dan terpengaruh oleh hubungan sosial dan

interpersonal yang sama. Individu tersebut memilih media yang digunakan

beredasarkan kebiasaan dan kesadaran sendiri.

Khalayak memiliki jumlah yang besar. Khalayak dalam jumlah yang besar ini

dapat dijangkau dengan relatif cepat oleh media, namun tidak mampu diraih

dengan menggunakan komunikasi tatap muka atau interpersonal.

Khalayak bersifat heterogen. Individu-individu dalam audiens mewakili

berbagai kategori sosial.

Khalayak bersifat anonim. Meskipun institusi media mengetahui karakteristik

khalayak yang dituju, namun media tidak mengetahui secara pasti identitas

khalayak tersebut.

Khalayak bersifat tersebar, baik dalam konteks ruang dan waktu.

Seiring berkembangnya zaman, studi khalayak turut berkembang. Khalayak

yang sebelumnya dianggap pasif dan mendapat pengaruh langsung dari media

menjadi dipercaya memiliki entitas sendiri. Konsep ini dikenal sebagai khalayak

aktif. Konsep khalayak aktif mengambil prespektif yang dipandang dari sudut

pandang khalayak, bukan semata-mata dari institusi media. Bahasan ini menyangkut

bagaimana pertemuan khalayak dengan teks. Yang mana aktivitas ini

menggambarkan perhatian pada bagian khalayak dalam membuat pilihan, dan

30 Ardianto, Elvinaro, Siti Karlinah & Lukiati Komala.2009. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. .Jakarta: Ikapi.

15

memberikan makna terhadap teks. Hal ini memperkenankan khalayak untuk menjadi

produsen makna.31

Menurut David Croteau dan William Hoynes, ada tiga arah dasar yang mana

khalayak media dianggap aktif. Di antaranya :

Interpretasi individual : Makna dalam suatu teks media tidak sepenuhnya

tetap. Di dalamnya terdapat makna ganda atau dikenal dengan istilah

polisemi. Pesan media dapat dimaknai lain oleh khalayak. Dalam teks media,

khalayak secara individual mengambil kesenangan, kenyamanan,

kegembiraan, atau jajaran luas simulasi intelektual maupun emosional.

Khalayak menggunakan aktivitas interpretif dalam derajat tertentu setiap

bertemu dengan teks media.

Interpretasi dalam konteks sosial : Khalayak selain menjalani kehidupan

sebagai individu juga tidak bisa lepas dari kehidupan sosial. Media juga

menjadi bagian dari konteks kehidupan sosial. Maka dari itu khalayak juga

berhubungan dengan teks media dalam latar sosial. Dalam pembicaraan

sehari-hari dapat tak terduga seberapa banyak pembicaraan yang dilakukan

mengenai media.

Aksi kolektif : Pada dasarnya khalayak tidak selalu setuju dengan pesan

media. Khalayak yang menolak pesan media seringkali berusaha mengubah

pesan media untuk kedepannya. Khalayak tidak jarang melakukan aksi (protes

publik, boikot terhadap produk media yang spesifik, kampanye publisitas,

kemarahan khalayak luas, menekan pengiklan untuk menarik dukungan

finansial, surat terbuka, serta melobi (lobying) kongres untuk aksi pemerintah,

dalam menolak pesan media.32

31 Graeme Burton. 2005. Op. Cit. Hal. 88. 32 David Croteau, William Hoynes, & Stefania Milan. 2012. Media Society :Industries, Image, and Audiences

(4th. ed). California : Sage Publication. Hal. 258 – 259.

16

Kemunculan analisis resepsi turut memberikan kontribusi terhadap kajian

khalayak aktif. Konsep encoding-decoding yang ditawarkan analisis resepsi

merupakan perpanjangan inisiasi politis yang dimulai Halloran, Elliott, dan Murdock,

namun lebih eksplisit sebagai perlawanan hegemonik terhadap posisi penelitian

positivis Amerika sekaligus mengejar agenda kultural. Berbeda dengan teori uses and

gratification yang melihat khalayak secara individual, konsep encoding-decoding

melihat khalayak yang terbentuk dan terkondisikan secara budaya. Konsep ini lebih

kepada aktivitas khalayak mengenai proses kontribusi politisnya terhadap arah

persetujuan dengan pesan media (dengan menerima, negosiasi, atau menolak ide-ide

media).33

Khalayak menginterpretasikan teks secara berbeda. Dalam sebuah diskusi

tentang teks media misalnya, khalayak mempunyai interpretasi sendiri terhadap

makna dalam teks media tersebut. Interpretasi khalayak menjadi berbeda melalui

perbedaan latar belakang. Perbedaan interpretasi khalayak ini berhubungan erat

dengan konsep decoding. Adapun menurut Croteau, Hoynes, & . Milan, decoding

merupakan proses dimana khalayak menggunakan pengetahuan implisit dari kode

budaya antara medium spesifik dan luas untuk menginterpretasikan makna teks

media.34

Konsep decoding bersama dengan encoding pertama kali diperkenalkan oleh

Stuart Hall dalam analisis resepsi. Encoding dilakukan pengirim teks, decoding

dilakukan penerima teks. Media menjadi pengirim kode-kode tertentu, khalayak

yang menciptakan makna atas kode-kode tersebut. Penciptaan makna teks ini

berhubungan erat dengan latar belakang khalayak tertentu. Berkaitan dengan hal ini,

dalam “Cultural and Communication Studies”, Fiske berpandangan bahwa studi

tentang kode seringkali memberikan penekanan pada dimensi sosial komunikasi.35

33Ibid. Hal. 36-37. 34 David Croteau ,William Hoynes, & Stefania Milan. Op. Cit. Hal. 264. 35 John Fiske. 2008. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta :

Jalasutra. Hal. 91.

17

Kondisi budaya dapat dikatakan di-encode melalui perkawinan sejarah yang

spesifik, norma profesional, dan peralatan teknis. Strategi decoding dilakukan

khalayak dengan cara yang sama bergantung pada relasi struktur sosial, kecondongan

politis dan budaya, serta akses pada teknologi yang relevan.36

Meskipun demikian,

media hanya menawarkan identitas sosial pada khalayak dengan cara menyampaikan

tersendiri. Khalayak tidak selamanya menerima makna dari keseluruhan kode

tersebut. Media dan khalayak tidak berbagi kode dan posisi sosial bersama, kode dari

encoder tidak berarti sama pada proses decoding.

Hall menegaskan bahwa posisi sosial memiliki peran dalam perbedaan

pemaknaan khalayak yang berbeda terhadap teks media. Stuart Hall mengidentifikasi

terdapat tiga posisi pembacaan dalam decoding, antara lain:

Dominant reading : khalayak dalam posisi yang menyerupai posisi media.

Khalayak sepenuhnya berbagi kode teks, menerima, dan mereproduksi

preferred reading.

Negotiated reading : khalayak berbagi sebagian kode teks. Secara garis besar

menerima preferred reading, namun tidak sepenuhnya. Khalayak

menyandingkan dengan wacana lain, berdasarkan posisinya sendiri yang

umumnya mengandung kontradiksi.

Oppositional reading : khalayak dalam posisi ini berlawanan dengan kode

dominan. Khalayak memahami preferred reading namun tidak berbagi kode

teks dan cenderung menolaknya dan mengajukan pandangan alternatif.37

Selain itu, terdapat satu konsep tambahan yang akan digunakan pula dalam

penelitian ini. Konsep yang dimaksud diambil dari gagasan Umberto Eco (dalam

36 Nicholas Stevenson. 2002. Understanding Media Cultures : Social Theory and Mass Communication (2nd ed).

California : Sage Publication.Hal. 78. 37

Stuart Hall. 1999. Encoding Decoding dalam Simon During (ed). Hal. 515 – 517.

18

Alasuutari)38

, yang mana menggunakan istilah aberant decoding untuk mengacu pada

teks yang di-decode dengan kode berbeda dari kode yang digunakan dalam proses

encoding.

Dalam perkembangannya analisis resepsi meliputi tiga generasi. Ketiga

generasi tersebut muncul dengan pandangan masing-masing yang sedikit banyak

memiliki perbedaan, khususnya dari segi karakteristik fokus kajian. Generasi pertama

analisis resepsi disebut penelitian resepsi (reception research), kedua etnografi

khalayak (audience ethnography), dan ketiga pandangan konstruksionis

(constructionist view).39

Penelitian resepsi (reception research) menjadi kajian klasik dalam generasi

selanjutnya. Sebagai bagian analisis resepsi generasi pertama, penelitian resepsi

mengandung dasar dari analisis resepsi. Generasi pertama ini didominasi oleh

pemikiran Stuart Hall. Konsep encoding-decoding muncul semenjak generasi ini.

Semiotika dengan menekankan interpretasi teks media yang diperkenalkan Hall juga

muncul dari generasi ini.

Generasi etnografi khalayak (audience ethnography) banyak mengadopsi

konsep dalam generasi pertama. Perbedaan mendasar dari generasi ini adalah

diterapkannya etnografi khalayak. David Morley sebagai penanda dari generasi kedua

ini melakukan penelitian terhadap khalayak penonton televisi. Morley melakukan

wawancara mendalam terhadap khalayak mengenai bagaimana khalayak memaknai

teks media dalam program televisi tersebut.40

Kemudian Morley juga menganalisis

kehidupan sehari-hari khalayak untuk dihubungkan dengan pemaknaan yang

dilakukan. Pandangan konstruksionis (constructionist view) menjadi yang terakhir

dalam tiga generasi analisis resepsi.

Dalam generasi ini, ditekankan kajian terhadap media dan penggunaanya

untuk memperoleh pemahaman mengenai kultur media, serta bagaimana peran media

38

Alasuutari. Op. Cit. Hal. 2-8. 39

Ibid. Hal 2-8. 40

Ibid. Hal. 5.

19

dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya sebatas encoding dan decoding, pandangan

konstruksionis memiliki lingkup kajian yang lebih luas.

Konsep khalayak memiliki istilah beragam, sesuai dengan media yang

digunakan. Khalayak media cetak disebut pembaca, khalayak radio dan musik disebut

pendengar, dan khalayak televisi disebut penonton maupun pemirsa.41

Adorno (dalam Negus)42

membagi khalayak (pendengar) musik dalam dua

kategori. Kategori yang dibagi Adorno adalah khalayak (pendengar) musik yang

dengan mudah terpengaruh kolektifitas dan khalayak (pendengar) yang mendengar

musik secara individual, jauh dari lingkungan sosial. Berbeda dengan Adorno, David

Riesman membagi pendengar musik menjadi kelompok mayoritas dan minoritas.

Pembagian ini berdasar pada pemilihan musik masing-masing individu yang

dinikmati sehari-hari, dan berhubungan dengan kehidupan sosial. Selain itu,

pendengar musik juga dapat dibagi dalam komunitas kultural dan massa seperti

halnya yang diungkapkan Leavises (dalam Walton)43

.

Namun demikian di antara pandangan pendengar pasif dan aktif tidak

semestinya terlalu ditekankan. Apa yang lebih diperlukan adalah ketegangan antara

khalayak musik sebagai kelompok sosial kolektif dan di waktu yang sama sebagai

konsumen individual (individual consumer).44

Dalam hal ini, pendengar yang

melakukan aktivitas mendengar secara individual tidak sepenuhnya melepaskan

pengalaman sosio-kultural mereka.

Graeme Burton berpandangan bahwa proses konsumsi musik oleh pendengar

dapat diambil dari berbagai segi, terpisah dari mendengar dan berpartisipasi di acara

musik publik. Bagi beberapa orang hal ini berkaitan dengan pengkoleksian atau

pengkatalogan, tentang kenikmatan mencari dan membeli. Beberapa yang lain adalah

untuk mengeksplorasikan suatu genre musik. Bagi yang lain lagi untuk menambah

kredibilitas grup ataupun identitas personal. Untuk yang lain lagi berkaitan dengan

41 Denis McQuail.1997.Op. Cit. Hal.202. 42

Keith Negus. 1996. Popular Music in Theory. Middletown, CT: Wesleyan University Press. Hal. 10 – 13. 43 David Walton. Op,Cit. Hal. 37. 44 Roy Shuker. Op. Cit. Hal. 13.

20

personalitas dan latar belakang dari musisi. Selain itu juga untuk meningkatkan

suasana hati. Selain itu bisa jadi mengenai pengalihan dari pengalaman lain. Yang

lain lagi juga berhubungan dengan efek retrospektif, untuk mengingat kembali

pengalaman tertentu, periode kehidupan. Penggunaan musik ini dapat juga

berhubungan dengan kombinasi dari berbagai macam hal yang disebutkan di atas.

Yang jelas konsumsi musik bukan hanya transaksi komoditas kosong. Lebih dari itu,

konsumsi musik merupakan transaksi budaya. Yang mana pendengar dapat membeli

kenikmatan, status, ataupun mengambil tempat dari perkembangan kultural.45

Dalam media yang berciri khas mengandung unsur hiburan (termasuk musik)

khalayak yang loyal dikenal dengan sebutan fans, sedangkan aktivitasnya disebut

fandom. Yang mana fandom merupakan fenomena kompleks, berkaitan dengan

formasi identitas sosial. Dalam perspektif tradisional, konsep fandom identik dengan

nilai kerendahan. Dalam hal ini, aktivitas fans berupa kegiatan seperti mengumpulkan

rekaman dari musisi favoritnya namun lebih fokus pada kesan dan persona dari

musisi. Berbeda dengan konsep afficionados yang mana lebih fokus terhadap musik

daripada musisi itu sendiri.46

Namun demikian aficionados dalam satu waktu juga

termasuk sebagai fans. Dalam hal ini peneliti juga tidak membedakan afficionados

dari fans, melainkan dilihat sebagai satu kesatuan.

Seiring berjalannya waktu, penilaian yang merendahkan fans perlahan mulai

berkurang. Saat ini, terdapat banyak peneliti yang beranggapan bahwa dalam

memahami fans perlu kiranya untuk melihat dari sudut pandang fans sendiri. Dengan

demikian tidak terjadi penilaian yang bersifat merendahkan, mengingat afficionados

juga termasuk sebagai fans pula.

Daniel Cavicchi (1998) melakukan penelitian terhadap fans Bruce

Springsteen. Dalam penelitiannya tersebut, Cavicchi memandang bahwa fans berbeda

dari khalayak umum. Tidak cukup sampai di situ, fans yang satu berbeda dari fans

lainnya. Mereka memiliki derajat keterikatan baik terhadap musisi maupun lagu.

45 Graeme Burton.Op. Cit. Hal. 165. 46 Roy Shuker. Op. Cit. Hal. 99.

21

Fans yang satu juga berbeda dalam menikmati musik. Di saat fans yang satu lebih

suka mendengar musik rekaman, di sisi lain lebih suka menonton konser. Namun

dalam penelitian Cavicchi tersebut dikatakan bahwa ketika melakukan aktivitas

mendengar, fans pada umumnya lebih memilih musik rekaman.

F. Kerangka Konsep

Fans, Underground, dan Isu Lingkungan dalam Musik

Pendengar musik sebagai khalayak medium musik memiliki batasan tertentu

sesuai dengan konten media yang disajikan. Ketika konsep khalayak adalah sebagai

penerima teks media, maka pendengar musik adalah penerima teks dalam konten

musik sebagai media. Komunikator profesional (musisi) bekerjasama dengan institusi

(industri rekaman) mengirim teks dalam musik yang kemudian pendengar

menerimanya. Dalam konteks analisis resepsi, pendengar musik ini akan menerima

dengan cara yang berbeda-beda. Pendengar memaknai, menginterpretasikan,

membaca teks dalam musik tertentu sesuai dengan beragamnya latar belakang.

Bahkan pendengar sebagai khalayak juga dianggap dapat memproduksi makna

sendiri.

Dapat dikatakan bahwa aktivitas mendengar musik tidak hanya berhubungan

dengan tuntutan emosional individual. Aktivitas ini senantiasa berkaitan dengan

berbagai segi pengalaman. Ide dari resepsi tidak hanya berkaitan dengan

mendengarkan musik, dan bukan hanya musik itu sendiri. Melainkan berkaitan

dengan bermacam tempat, situasi, dan relasi sosial yang mana menunjang aktivitas

resepsi. Hal ini berkaitan dengan variasi media yang mana musik diterima. Hal ini

berkaitan juga dengan variasi pengalaman kultural dan komoditas yang diasosiasikan

dalam musik.

Di sini ditekankan kembali bahwa pendengar tidak hanya dipandang dari

sudut pandang aktif atau pasif, komunitas atau massa, dan pembagian sederhana lain.

22

Bahasan pendengar musik juga berkaitan dengan studi subkultur yang yang

berhubungan dengan identitas, kelas, ras, etnis, hingga gender. Hubungan antara

musik populer dan subkultur kaum muda ini secara konmprehensif mulai diungkap

dalam beberapa studi berpengaruh antara 1970’an hingga awal 1980’an. Secara

kolektif, dalam studi pada masa itu dapat disimpulkan bahwa subkultur kaum muda

mengambil dan memperkenalkan bentuk musik dan gaya baru berbasis identitas

mereka, dan selanjutnya melakukan penegasan politik kebudayaan tanding (counter-

cultural).47

Musik underground juga menjadi salah satu bentuk budaya tanding tersebut.

Kemunculan musik underground adalah untuk menentang dominasi musik arus

utama yang umumnya didominasi oleh perusahaan besar. Melalui jalur produksi

hingga distribusi secara independen, musik underground menjadi titik tolak dari

musik arus utama yang umumnya didonimasi genre pop. Meskipun fokus

pertentangan musik underground dengan arus utama berada di dalam musik, namun

dalam lirik juga seringkali berbeda. Melalui sistem produksi hingga distribusinya

yang independen membuat musik ini lebih bebas tanpa sensor ataupun campur tangan

dari pihak-pihak tertentu.

Selain itu, yang menarik dalam membahas pendengar musik ketika dikaitkan

dengan unsur loyalitas. Pendengar akan menjadi fans ketika mereka sangat menyukai

baik musik, musisi, maupun teks yang dibawannya. Kemudian yang dipertanyakan

adalah apakah dan bagaimana loyalitas itu mempengaruhi pemaknaan mereka?

Apakah dan bagaimana pula perbedaan derajat fandom mempengaruhi pemaknaan?

Setidaknya pertanyaan tersebut muncul di samping lebih pentingnya penggalian

terhadap pemaknaan fans.

Penelitian ini secara spesifik membahas mengenai teks media Navicula dan

penerimaan fans-nya. Dengan demikian batasan pendengar musik yang menyangkut

penelitian ini juga dilakukan. Tidak semua pendengar musik dapat menjadi informan

47 Roy Shuker. Op,Cit. Hal. 259

23

dalam penelitian ini. Penelitian ini akan terfokus dengan informan pendengar yang

mendengar lagu-lagu Navicula, telah mengikuti, dan mengerti karya mereka sejak

beberapa album terdahulu. Pendengar yang dimaksud juga merupakan pendengar

yang mengetahui lirik-lirik Navicula.

Navicula yang baik secara gaya musikal dan sistem produksi hingga distribusi

memiliki ciri musik underground menjadi menarik. Musik underground yang secara

gaya musikal keras untuk menyampaikan isu lingkungan terbilang langka. Adapun

secara sistem produksi hingga produksi yang berbeda dengan musik arus utama juga

memberikan warna tersendiri. Yang dalam hal ini, pendengar musik seperti ini juga

memiliki kecenderungan berbeda dengan penggemar musik arus utama. Terlebih

dalam penelitian ini dikaitkan dengan unsur loyalitas pendengar.

Dalam hal ini fans Navicula berkemungkinan mewakili beragam latar

belakang. Meskipun khalayak yang mendengarkan musik saat ini lebih cair dan dapat

disatukan di bawah payung pendengar, namun pada kenyataanya memungkinkan

karakter yang beragam. Terlebih di satu sisi Navicula merupakan band underground

yang menggunakan genre grunge (yang pada awal perkembangannya digunakan

untuk mengekspresikan emosi depresif anak belasan tahun), di sisi lain konten dalam

lagu-lagu Navicula berkaitan erat dengan isu lingkungan. Dalam hal ini perkiraan

awal peneliti, fans Navicula meliputi pecinta alam dan lingkungan, pecinta musik

underground pada umumnya, dan pecinta musik grunge baik yang tergabung dalam

kelompok komunitas grunge maupun tidak. Di luar itu peneliti juga melihat latar

belakang sosio-kultural lain yang tidak kalah penting.

Peneliti juga akan melihat pemaknaan fans terhadap musik Navicula, dalam

penelitian ini juga akan melihat hubungan fans dengan media. Peneliti melihat praktik

fans informan dalam bermedia. Lebih spesifik, peneliti akan melihat penggunaan

media yang memiliki konten isu lingkungan. Selain itu peneliti juga akan melihat

Bagaimana cara pendengar menikmati musik, apakah pendengar juga mendengar

musik berkonten isu lingkungan lain, dan apakah pendengar mendengarkan musik

genre grunge lain. Tak terbatas pada media musik, peneliti juga melihat hubungan

24

pendengar dengan media lain seperti surat kabar, televisi, radio, hingga internet.

Dengan demikian peneliti juga berharap agar beragamnya pendengar dapat dilihat

dan dipahami lebih jauh. Mengingat terdapat asumsi bahwa penggunaan media yang

berbeda juga akan menimbulkan pola pemaknaan pendengar yang berbeda.

Sementara itu, posisi pembacaan Stuart Hall dikombinasikan dengan konsep

Umberto Eco akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini, meski tidak

digunakan sebagai pisau analisis tunggal. Dalam penerapannya dalam posisi

pembacaan fans Navicula terhadap lagu-lagu Navicula dapat dicontohkan dengan

lagu “Everyone Goes to Heaven” yang mana merupakan lagu Navicula yang tidak

mengandung isu lingkungan. Lagu tersebut memiliki preffered reading berupa kritik

terhadap orang yang fanatik terhadap agama tertentu. Di samping itu terdapat

pandangan bahwa semua agama itu setara. Maka dapat dilihat posisi pembacaan

sebagai berikut :

Fans berada di posisi dominant reading ketika dalam lagu tersebut fans

memahami apa yang dimaksud dengan Navicula dalam lagu itu dan melihat

bahwa fanatisme terhadap suatu agama tidak dibenarkan, atau mungkin

beranggapan bahwa semua agama itu sama di mata Tuhan.

Fans berada di posisi negotiated reading ketika fans mengetahui apa yang

dimaksud Navicula dalam lagu itu dan menganggap bahwa menghargai

sebuah agama itu penting, namun meyakini bahwa agama yang ia anut adalah

agama yang paling benar.

Fans berada di posisi oppositional ketika memahami apa yang dimaksud

Navicula dengan lagu itu dan memandang bahwa fanatisme terhadap suatu

agama itu baik-baik saja, atau selalu menganggap bahwa agamanya paling

benar.

Fans dapat dikatakan aberant decoding ketika fans memandang bahwa lagu

itu bukan tentang apa yang terdapat dalam preffered reading tersebut.

25

Misalnya mengartikan bahwa lagu itu berisi tentang cara-cara untuk menuju

surga.

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Secara umum, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif

untuk mengetahui interpretasi mendalam terhadap isu lingkungan dalam musik.

Penelitian kualitatif memiliki karakteristik fleksibilitas dalam perolehan data.

Pendekatan kualitatif memungkinkan spontanitas dan adaptasi dalam interaksi antara

peneliti dengan partisipan.48

Hubungan antara peneliti dan informan menjadi lebih

informal jika dibandingkan dengan penelitian kuantitatif. Peneliti dapat

mengembangkan pertanyaan sesuai dengan jalannya penelitian. Dengan demikian

tujuan untuk mendapatkan hasil penelitian secara mendalam menjadi lebih

memungkinkan untuk terpenuhi.

Selanjutnya secara lebih khusus, penelitian ini akan menggunakan analisis

resepsi untuk memahami khalayak dalam memaknai teks. Analisis resepsi ini akan

akan memfokuskan pada pertemuan antara teks media dan pembaca teks (dalam hal

ini pendengar). Dengan demikian diharapkan agar penelitian ini mencapai tujuan

memperoleh hasil penelitian yang dinamis dan mendalam. Seperti halnya Antonio La

Pastina yang menyebut bahwa pertemuan media dan khalayak memberikan informasi

akan kompleksitas dan dinamika yang terjadi antara konsumen dan produk budaya.49

Dalam analisis resepsi, khalayak tidak menemukan makna di dalam pesan

media, melainkan melalui proses interaksinya dengan teks. Khalayak berinteraksi

dengan teks kemudian menginterpretasikan teks sesuai dengan kerangka pandang

48Cynthia Woodsong, Emily Namey, Greg Guest, Kathleen M. Macqueen, & Natasha Mack.

2005. Qualitative Research Methods: A Data Collector’s Field Guide. Research Triangle Park, NC: Family

Health International. Hal. 4. 49Antonio C. La Pastina. 2005. Audience Ethnographies. A Media Engagement Approach.

dalam Eric W. Rothenbuhler & Mihai Coman (ed.). Media Anthropology. London: SAGE

Publications. Hal. 142.

26

yang ia miliki. Proses interpretasi tersebut melibatkan faktor kontekstual seperti

identitas, latar belakang, hingga persepsi. Khalayak memaknai dengan faktor-faktor

tersebut untuk melahirkan makna di dalam suatu teks. Di sini khalayak dianggap

memiliki kekuatan yang lebih besar daripada media dalam hal menghasilkan makna.

Menurut Jensen terdapat tiga komponen pokok dalam analisis resepsi. Ketiga

komponen tersebut antara lain pengumpulan data, analisis data, dan interpretasi data

yang diperoleh.50

Dengan demikian, penelitian ini juga mengandung ketiga

komponen tersebut guna mendapatkan hasil yang kaya namun valid.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam metode penelitian resepsi, terdapat beberapa teknik umum yang

digunakan untuk memperoleh data resepsi dari informan. Menurut Jensen, terdapat

tiga teknik, antara lain wawancara baik secara kelompok maupun individual,

observasi, dan kritik terhadap teks.51

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

wawancara mendalam dan observasi partisipan. Wawancara mendalam merupakan

proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab

sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang

diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara (interview

guide) di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang

relatif lama.52

Wawancara mendalam ini bertujuan untuk mempelajari segala sesuatu yang

subjek penelitian paparkan berkaitan dengan topik tertentu. Informan dapat menjawab

50 Klaus Bruhn Jensen, Nicholas W. Jalankowski.1993.A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass

Communication Research.London: Routledge. Hal. 189. 51Klaus Bruhn Jensen, Nicholas W. Jalankowski. Op Cit. Hal. 139. 52M. Hariwijaya. 2007. Metodologi dan Teknik Penulisan Skripsi, Tesis, danDisertasi. Yogyakarta: elMatera

Publishing. Hal. 73-74.

27

pertanyaan secara luas, peneliti juga dapat mengembangkan pertanyaan selama masih

relevan dengan pertanyaan yang diajukan sebelumnya.

Adapun fungsi dari wawancara mendalam pada penelitian ini adalah untuk

mengetahui bagaimana subjek penelitian melakukan decoding terhadap lagu-lagu

Navicula. Peneliti akan menananyakan bagaimana tanggapannya mengenai lagu-lagu

Navicula. Peneliti juga akan menggali pengetahuan subjek penelitian mengenai lirik

beserta makna dari lagu-lagu Navicula. Peneliti juga akan menanyakan kenikmatan

yang dirasakan dalam mendengarkan lagu-lagu Navicula.

Dalam melaksanakan jalannya wawancara, peneliti melakukan secara

informal. Peneliti tidak mengajukan wawancara yang terpaku pada pertanyaan yang

spesifik, namun lebih kepada menyelipkan pertanyaan dengan gaya percakapan

sehari-hari. Dengan demikian peneliti berharap agar mendapatkan data yang valid,

sangat meminimalkan jawaban/kesan subjek penelitian yang dibuat-buat. Dengan

demikian pula subjek penelitian akan lebih leluasa dalam mengutarakan pandangan.

Meskipun demikian, peneliti menggunakan panduan wawancara (interview

guide) demi memperoleh data yang dapat dibandingkan antara informan satu dengan

yang lain. Dalam hal ini, peneliti tidak sepenuhnya terpaku pada panduan wawancara,

melainkan mengembangkannya sesuai dengan jawaban dari informan.

Teknik lain yang digunakan dalam penelitian ini selain wawancara mendalam

yaitu observasi partisipan. Observasi merupakan penelitian dengan melihat langsung

melalui penginderaan. Observasi dilakukan untuk melihat perilaku subjek dalam

mendengarkan lagu-lagu Navicula. Observasi juga dilakukan untuk melihat

keseharian khalayak yang berkaitan dengan resepsi lagu-lagu Navicula. Dengan

demikian akan diperoleh data mengenai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya

khalayak yang berkaitan dengan musik, genre grunge, dan isu lingkungan.

Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengunjungi rumah

subjek, mencermati sekitar yang berhubungan dengan media, musik, isu lingkungan

dan Navicula. Khususnya juga mengamati subjek penelitian saat mendengarkan

musik. Selain itu peneliti juga berkunjung bersama subjek penelitian ke tempat yang

28

biasa subjek penelitian lalui. Pada prosesnya, peneliti bersama dengan subjek

penelitian menjalani keseharian bersama-sama dalam beberapa kali pertemuan. Pada

saat melakukan observasi ini peneliti menyembunyikan tujuannya untuk observasi.

Dengan demikian diharapkan akan mendapatkan kesan yang sebenar-benarnya dari

subjek penelitian.

Peneliti memandang bahwa observasi ini penting untuk dilakukan karena

dapat membantu memenuhi validitas data. Dengan pengamatan langsung tersebut,

peneliti dapat memperoleh data latar belakang subjek penelitian lebih dalam. Selain

itu, proses observasi ini dapat berfungsi untuk mengetahui kenyataan di lapangan

mengenai hal-hal yang dipaparkan subjek penelitian saat wawancara mendalam.

Maka dari itu, observasi ini juga dapat berfungsi sebagai konfirmasi apakah yang

dikatakan subjek penelitian dalam wawancara mendalam sesuai dengan keadaan yang

sebenar-benarnya.

Untuk membantu observasi, peneliti membuat catatan lapangan (fieldnotes).

Catatan ini berguna untuk mengingat hal-hal yang dilakukan oleh subjek penelitian

selama diobservasi. Selain itu, peneliti juga menyiapkan kamera untuk merekam

gambar sekitar keseharian subjek penelitian khususnya yang menyangkut dengan

topik.

Selain menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam

dan observasi partisipan, peneliti juga menggunakan studi pustaka mulai dari buku,

jurnal, hingga sumber internet sebagai data pendukung. Kemudian data tersebut akan

dimanfaatkan untuk memperkuat kerangka pemikiran hingga memperkuat konsep.

3. Teknik Analisis Data

Menurut Bodan dan Biklen (dalam Lisa J. Moleong) 53

, analisis data kualitatif

adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan

53Lexy J. Moleong. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Hal. 248.

29

data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,

mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari,

dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain. Data yang telah

terkumpul diolah sedemikian rupa agar dapat diinformasikan kepada orang lain.

Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik analisis resepsi.

Dalam hal ini khalayak dipandang sebagai khalayak interpretif yang akan selalu

memproduksi makna dan pemaknaan teks yang disampaikan media, tidak hanya

sebagai individu yang pasif.54

Fokus utama dari analisis resepsi adalah perbedaan

pemaknaan khalayak dan hubungannya dengan latar belakang tertentu. Analisis

resepsi ini sangat dekat dengan prespektif sosio-kultural.

Data akan diolah dari observasi dan wawancara yang telah dilakukan dalam

upaya pengumpulan data dalam bentuk catatan dan transkrip. Catatan saat observasi

akan digunakan untuk menganalisis latar belakang subjek penelititan. Transkrip

wawancara selanjutnya menjadi gambaran bentuk praktek decoding subjek pada lagu-

lagu isu lingkungan Navicula.

Penelitian ini berwujud interpretasi khalayak terhadap teks media,

berhubungan dengan pengalaman bermedia dan kondisi kultural. Maka, analisis

penelitian ini tidak sekedar mencocokkan model pembacaan seperti yang telah

dirumuskan dalam kerangka teoritis. Secara lebih luas penelitian ini akan

mengelaborasikan model pembacaan tersebut dengan temuan sesungguhnya yang

terjadi di lapangan.

4. Subjek Penelitian

Penelitian kualitif tidak mengutamakan besarnya populasi maupun sampel.

Peneliti menjadi instrument langsung di lapangan. Dengan demikian penelitian akan

54Dennis Mcquaill. Op, Cit. Hal.19.

30

bersifat subjektif. Penentuan subjek penelitian akan menggunakan purpossive sample.

Maka penelitian akan diwakili oleh beberapa informan yang dipilih karena dianggap

sesuai oleh peneliti.

Secara umum, penelitian ini ditujukan kepada pendengar Navicula, sesuai

dengan target pendengar Navicula. Lebih spesifik, penelitian ini akan mengambil

subjek penelitian pendengar Navicula yang dapat dikategorikan menjadi fans. Dengan

kata lain, subjek penelitian ini merupakan khalayak yang menyukai, mempunyai

album (baik itu album fisik maupun digital) Navicula. Lebih jauh, pendengar yang

akan diteliti adalah yang cukup sering mendengar, dan mengerti lirik (berupa teks)

dalam lagu-lagu Navicula.

Peneliti membandingkan resepsi fans Navicula dengan latar belakang sosio-

kultural yang beragam. Lebih khusus, yang menjadi pembanding utama dalam

penelitian ini adalah latar belakang berkaitan dengan lingkungan, pengalaman

musikal, dan praktek bermedia. Meskipun tidak menjadi poin utama, namun daerah

asal informan juga menjadi pertimbangan, mengingat lagu-lagu Navicula seringkali

merujuk pada permasalahan di daerah tertentu.

Dalam menemukan informan sebagai subjek penelitian, peneliti melakukan

kiat-kiat khusus (mengingat tidak ada fans base penggemar resmi Navicula). Peneliti

menggunakan beberapa cara sesuai dengan latar belakang informan yang berbeda.

Pertama peneliti mencari lalu mengunjungi komunitas grunge yang berada di sekitar

lokasi peneliti, kemudian mencari tahu dan memilah beberapa di antara mereka yang

mendekati kriteria subjek penelitian. Kedua peneliti mencari dan mengunjungi

perkumpulan lembaga atau organisasi berkaitan dengan aktivisme lingkungan, lalu

juga mencari tahu dan memilah beberapa dari mereka yang mendekati kriteria subjek

penelitian.

Selain itu, peneliti juga mengunjungi dan memperhatikan pusat interaksi

Navicula dengan khalayak. Dalam hal ini dapat melalui facebook, twitter,

reverbnation, myspace, soundcloud, hingga web site resmi Navicula

(naviculamusic.com). Dalam hal ini peneliti dapat mengajukan pertanyaan langsung

31

melalui media sosial di atas. Peneliti juga dapat memberikan pertanyaan ataupun

pernyataan pancingan guna mengetahui koleksi album ataupun merchandise

khalayak. Selain itu peneliti mencari penggemar yang hadir di panggung pertunjukan

musik Navicula untuk menemukan fans yang dimaksud.

Selanjutnya dari beberapa cara pencarian subjek penelitian di atas, peneliti

memiliah-milah fans yang lebih sesuai kriteria. Peneliti memilih lima informan yang

lebih sesuai dengan kriteria untuk memudahkan peneliti mendalami latar belakang

dan pemaknaan mereka. Untuk memudahkan pendalaman pula, peneliti melakukan

batasan fans yang pada waktu penelitian berada di sekitar DIY.

Dari langkah-langkah di atas, peneliti memilih lima informan untuk diteliti.

Pertama Adit, sebagai fans yang menyukai grunge sebagai jenis musik yang

dibawakan Navicula. Kedua Dadan, merupakan anggota organisasi pecinta alam di

kampus MSD. Selain itu yang menarik dari Dadan adalah ia suka mengadopsi gaya

Navicula dan sering mengirimkan karyanya yang terinspirasi dari Navicula. Ketiga

Iin, merupakan seorang fans yang berasal dari Bali, dan tergabung dalam Komunitas

Anak Alam. Keempat Nova, merupakan fans yang menyukai grunge dan mulai

tinggal di Kalimantan yang mana daerah yang banyak terekspos dalam lagu-lagu

Navicula. Selain itu, Nova memiliki koleksi sejumlah 4 album Navicula. Kelima

Abdi, yang mana berasal dari Bali dan tertarik dengan isu lingkungan meski tidak

banyak bersinggungan dengan gerakan peduli lingkungan.

Keseluruhan informan tersebut sama-sama telah mengikuti dan menyukai

Navicula sejak lebih dari dua tahun. Namun demikian, antara informan satu dengan

yang lain memiliki perbedaan beragam latar belakang. Dalam hal ini, kelima

informan memiliki perbedaan baik dari aspek sosial ekonomi, pilihan musik, derajat

fandom, hingga pilihan akses media dan isu lingkungan.