Upload
sky-yun
View
645
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tiap masyarakt sebagai suatu sistem pergaulan hidup manusia,
dulu maupun sekarang dan di daerah manapun di dunia ini, mengenal
sistem hukumnya. Tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai
sistem hukumnya, betapapun bentuk formal serta materialnya dari
sistem hukumnya itu. Ambil suatu contoh terkecil masyarakat
keluarga. Jika tidak ada hukum dalam keluarga, maka di sana tak pula
ada aturan apa yang menjadi hak dan kewajiban para anggotanya.1
Perlu ada aturan atau pengaturan mengenai soal-soal
kekeluargaan, benda dan harta kekayaan, jaminan ketertiban dan
keamanan, ketaatan terhadap perjanjian-perjanjian, nilai kehormatan
diri dan badan berikut jiwa para anggota masyarakat. Jika dalam
masyarakat itu dibentuk suatu sistem kekuasaan publik, seperti
Negara dalam suatu masyarakat bangsa, maka keamanan dan
ketertiban kekuasaan publik itu pun harus mendapat pengaturan dan
jaminan.2
Keluarga merupakan basis sosial pertama setiap orang. Karena
kehidupan keluarga sebagai barometer dasar setiap orang, maka
dalam lingkup inilah perlu dibangun konsep dan perilaku yang
1 Achmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Cet. Edisi IV, Tarsito,1991 Bandung,hlm. 8
2 Ibid. hlm. 9
1
mendasar pula. Dalam bahasa Al-Qur’an konsep dasar keluarga ini
disebut dengan sakinah, mawadah dan rahmah. Keluarga Sakinah
bermakna bahwa dalam merangkai bahtera kehidupan rumah tangga,
baik dalam suka maupun duka senantiasa pada riil ketenangan hati
dan ketentraman jiwa. Ketika dalam suka duka, tidak berlebih-lebihan
dan ketika dalam duka, tidak juga nelangsa yang berlebihan pula.
Semua kehidupan dihadapi dan dijalani dengan ayat Tuhan, Sakinah.3
Pernikahan adalah pintu gerbang yang sakral yang harus
dimasuki oleh setiap insan untuk membentuk sebuah lembaga yang
bernama keluarga. Perhatian Islam terhadap keluarga begitu besar,
karena keluarga merupakan cikal bakal terbentuknya sebuah
masyarakat yang lebih luas. Keluarga adalah pemberi warna dalam
setiap masyarakat. Baik tidaknya sebuah masyarakat tergantung pada
masing-masing keluarga yang terdapat dalam masyarakat tersebut.4
Keluarga adalah kesatuan terkecil masyarakat yang anggota-
anggotanya terikat secara batiniah dan hukum karena pertalian darah
dan pertalian perkawinan. Ikatan itu, memberikan kedudukan tertentu
kepada masing-masing anggota keluarga, hak dan kewajiban,
tanggung jawab bersama serta saling mengharapkan. Bentuk keluarga
batih atau keluarga inti atau nuclear family dalam masyarakat Barat
3 Hj. Zaitunah Subhan, Membina Keluarga Sakinah, Cet. I, Pustaka Pesantren, 2004, Yogyakarta, hlm. v-vi
4 K.H. Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah & Keluarga, Cet. I, Gema Insan Press, 1999, Jakarta,hlm. 5
2
(modern) terdiri dari seorang ayah, seorang ibu dengan beberapa
orang anak atau tanpa anak-anak.5
Dalam keluarga, asing-masing anggota mempunyai kedudukan
tertentu yang menimbulkan wewenang, hal dan kewajiban. Suami,
misalnya, menurut ajaran Islam, mempunyai kedudukan sebagai
kepala keluarga, sedangkan Isteri berkedudukan sebagai kepala
rumah tangga.6
Karena pentingnya kedudukan keluarga, seperti telah
disinggung di atas, menurut ajaran Islam, pembentukannya harus
dilakukan menurut jalan dan ketentuan yang telah ditetapkan yakni
melalui perkawinan. Dengan suatu perjanjian yaitu suatu peristiwa di
mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini
timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan
perikatan.7 Menurut Anwar Harjono (Anwar Harjono, 1968: 219)
perkawinan atau pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk
keluarga bahagia.8
Berkenaan dengan perkawinan dan rumah tangga, ada
beberapa istilah yang perlu dijelaskan hubungannya dengan hukum
Islam. Yang dimaksud adalah istilah monogami, poligami dan
5 H. Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Ed. I, Cet. 3 PT. Raja Grafindo Persada 2000 Jakarta,hlm. 299
6 Ibid. hlm. 3027 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 12 Intermasa, Jakarta,1990,hlm. 18 H. Mohammad Daud Ali, Op. Cit, hlm. 307
3
poliandri. Monogami adalah perkawinan seorang (suami) dengan
seorang )isteri). Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu
pihak mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang
bersamaan. Bentuknya mungkin poligini dan poliandri (seperti di
Tibet). Dalam poligini seorang suami kawin dengan lebih dari seorang
isteri, sedangkan sebaliknya dalam poliandri seorang isteri mempunyai
lebih dari seorang suami. Dalam kepustakaan istilah poligami lebih
banyak dipergunakan dari poligini, sehingga orang lebih memahami
poligami sebagai istilah perkawinan seorang suami dengan lebih dari
seorang isteri.9
Penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Hukum Islam
berlaku secara normatif dan secara formal yuridis. Hampir semua
bagian hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, bersifat normatif. Hukum Islam yang berlaku secara formal
yuridis adalah bagian hukum Islam yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Bagian hukum
Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh
peraturan perundang-undangan, seperti hukum perkawinan, hukum
kewarisan, hukum wakaf yang telah dikompilasikan (1988), hukum
Zakat dan sebagainya. Untuk menegakkan hukum Islam yang menjadi
bagian hukum positif itu, sejak tahun 1882 didirikan Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura. Dalam sistem Peradilan di Indonesia
kedudukan pengadilan agama ini semakin kokoh, terutama setelah
9 Ibid, hlm. 319
4
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan berlakunya Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.10
Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah Monogami,
ketentuan ini terdapat dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 3 yang
pada ayat tersebut:
“………. Kalau kamu tidak akan adil di antara isteri-isteri kami
seyogyanyalah kami mengawini seorang perempuan saja,…….. kawin
dengan seorang perempuan itulah yang paling dekat bagi kamu untuk
kamu tidak berbuat aniaya”.11
Dalam ikatan perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian
antara seorang pria dengan seorang perempuan, berlaku beberapa
asas diantaranya adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah
pihak, kebebasan memilih, kemitraan suami isteri, untuk selama-
lamanya dan monogami terbuka.12
Asas Monogami Terbuka, disimpulkan dari Al-Qur’an Surat An-
Nissa’ ayat 3 jo ayat 129. Di dalam ayat 3 dinyatakan bahwa seorang
pria muslim dibolehkan beristeri lebih dari seorang, dengan ketentuan
mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Dalam ayat 129 surat
yang sama, Allah menyatakan bahwa manusia tidak mungkin berlaku
adil terhadap isteri-isterinya walaupun ia ingin berbuat demikian. Oleh
karena ketidakmungkinan berlaku adil terhadap isteri-isteri itu maka
10 H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,PT. Raja Grasindo Persada, Jakarta,2000,hlm. 5-6
11 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. 5, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta,1986, hlm. 55
12 H. Mohammad Daud Ali, Op. Cit, hlm. 125
5
Allah menegaskan bahwa seorang pria lebih baik menikah dengan
seorang perempuan saja. Ini berarti bahwa beristeri lebih dari seorang
merupakan jalan darurat yang baru boleh dilalui oleh seorang pria
muslim untuk menyelamatkan dirinya dari berbuat dosa, kalau
isterinya tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya sebagai isteri.13
Jadi Poligami diperbolehkan sebagai suatu pengecualian.
Poligami yaitu seorang pria beristeri lebih dari satu orang perempuan
dalam waktu yang sama, memang diperbolehkan dalam Islam. Islam
bukanlah agama yang pertama yang memberlakukan Poligami, tetapi
Poligami menurut sejarahnya sudah ada sejak jaman dulu hingga
sekarang di berbagai negara. Sebagian masyarakat yang pada
umumnya menganggap agama Islam adalah agama yang membawa
Poligami sehingga seringkali hal ini dianggap mendatangkan
penderitaan bagi kaum perempuan.
Dalam hal perkawinan poligami yang memenuhi syaratnya,
perlu pertama kalinya perlindungan atas harta bersama suami isteri
dalam pasangan bermula. Sedangkan terhadap isteri muda perlu ada
penegasan bahwa pokok pikiran harta terpisah antara harta suami
isteri tetap dipertahankan. Harta bersama suami dengan isteri muda
ini hanya terdapat bagi barang-barang rumah tangga si isteri muda
saja yang berasal dari usaha mereka bersama atau usaha salah orang
mereka. Sedangkan mengenai barang-barang lainnya terutama
barang-barang yang besar dan berharga mereka tetap memiliki harta
13 Ibid, hlm. 127
6
masing-masing. Kalau hendak ada syirkah hanyalah syirkah dengan
perjanjian yang tegas-tegas tertulis atau diucapkan yang
diperkenankan.14 Dilihat dari pemikiran yang wajar, tergabungnya atau
syirkah harta pencaharian antara suami isteri itu akan sangat
mengurangi kemungkinan terjadinya poligami dan juga sangat
mengurangi adanya perceraian.15
Berdasarkan hal tersebut di atas penulis tertarik dengan
permasalahan Poligami dalam rangka penulisan tugas, dengan
mengambil judul “Harta Bersama Dalam Poligami Antara Orang-
Orang Yang Beragama Islam Didasarkan Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Undang-Undang
Perkawinan.
B. Indentifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan
di atas, ada beberapa permasalahan yang menarik untuk dibahas.
Untuk itu permasalahannya akan diidentifikasi sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan harta bersama dalam Poligami?
2. Bagaimanakah pembagian harta bersama dalam Poligami?
14 Sayuti Thalib, Op. Cit, hlm. 8515 Ibid, hlm. 86
7
BAB II
ANALISIS
A. Pengaturan Harta Bersama Dalam Poligami
Dalam hal perkawinan seorang pria itu monogami akan mudah
mencari penyelesaiannya atas semua hal yang bersangkutan dengan
syirkah nyata-nyata ataupun syirkah yang terjadi karena peraturan-
peraturan. Tetapi dalam hal terjadi perkawinan poligami yang
memenuhi syaratnya, perlulah pertama kalinya perlindungan atas harta
bersama suami isteri dalam pasangan bermula. Sedangkan terhadap
isteri muda perlu ada penegasan bahwa pokok pikiran harta terpisah
antara suami isteri tetap dipertahankan. Harta bersama suami dengan
isteri muda hanya terdapat bagi barang-barang rumah tangga si isteri
muda saja yang berasal dari usaha mereka bersama atau usaha salah
seorang mereka. Sedangkan mengenai barang-barang lainnya
terutama barang-barang yang besar dan berharga mereka tetap
memiliki harta masing-masing. Kalau hendak da syirkah hanyalah
8
syirkah dengan perjanjian yang tegas-tegas tertulis atau diucapkan
yang diperkenankan.16
Dalam rumah tangga Islam bisa terdapat harta bersama antara
suamu isteri selama perkawinan berlangsung sebagaimana, dalam Al-
Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 21 dan Surat Al-Baqarah ayat 282.
Dalam syirkah baik berupa harta bawaan, harta yang diperoleh atas
usaha masing-masing atau bersama-sama selama dalam perkawinan,
maupun harta yang diperoleh selama perkawinan atas dasar
pemberian warisan, wasiat atau hibah. Dalam hal terjadinya syirkah
(percampuran) harta kekayaan suami isteri itu dapat dilaksanakan
sebagai berikut:17
a. Dengan mengadakan perjanjian secara tertulis atau diucapkan
sebelum atau setelah berlangsungnya akad nikah, baik untuk harta
bawaan masing-masing atau harta yang diperoleh selama dalam
perkawinan tetapi bukan atas usaha mereka sendiri atau dari harta
pencaharian.
b. Dapat pula ditetapkan dengan Undang-Undang atau Peraturan
Perundang-undangan bahwa harta yang diperoleh atas usaha
suami atau isteri atau kedua-duanya, adalah harta bersama atau
syirkah suami isteri tersebut.
c. Disamping dengan cara tersebut di atas, syirkah atas harta
kekayaan suami isteri dapat pula terjadi dengan kenyataan
1617 Sayuti Thalib, Op. Cit, hlm. 8517 Sayuti Thalib, Op. Cit, hlm. 84
9
kehidupan pasangan suami isteri itu. Cara ini khusus untuk harta
bersama yang diperoleh selama perkawinan. Dengan cara diam-
diam telah terjadi syirkah apabila dalam kenyataannya mereka
bersatu dalam mencari hidup dan membiayai hidup. Mencari hidup
ini jangan diartikan mereka yang mencari nafkah saja, tetapi juga
harus dilihat dari sudut pembagian kerja dalam rumah tangga.18
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal 29, bahwa
pada waktu sebelum atau saat dilangsungkannya pernikahan, kedua
belah pihak suami dan isteri atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pencatat
perkawinan, di mana isi perjanjian tersebut juga berlaku pula terhadap
pihak ketiga yang berkepentingan dengan suami isteri mengenai harta.
Mengenai isi perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Perjanjian tersebut
berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Serta selama perkawinan
berlangsung perjanjian tesebut tidak dapat diubah, kecuali ada
perjanjian dari suami isteri dan perubahan itu tidak merugikan pihak
ketiga.19
Berdasarkan Pasal31 Undang-Undang Perkawinan telah
ditetapkan bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan
hak dan kedudukan suami dan masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum. Akibat hukum dari suatu perkawinan
18 Indonesia, Undang-undang Tentang Perkawinan, Loc. Cit, Ps. 3519 Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, Loc. Cit, Ps. 29
10
selain timbul hak dan kewajiban suami isteri satu sama lainnya, juga
hak dan kewajiban suami osteri terhadap anak dan terhadap harta
benda perkawinan. Mengenai harta benda perkawinan menurut Pasal
119 BW, sejak terjadinya perkawinan antara seorang pria dan seorang
perempuan maka sejak saat itu terjadilah harta persatuan perkawinan
baik yang menyangkut harta yang diperoleh selama perkawinan
maupun harta bawaan dengan kemungkinan dilangsungkan, antara
mereka dapat dilakukan suatu perjanjian perkawinan yang isinya tidak
menghendaki harta bawaan masing-masing dimasukan dalam harta
campuran bersama.20
Mengenai masalah harta bersama, dalam perkawinan seorang
suami berpoligami, maka dalam masalah kepemilikan harta bersama
tersebut masing-masing terpisah dan berdiri sendiri yang dihitung
sejakberlangsungnya akad perkawinan yang kedua dengan isteri
kedua. Dalam hal demikian diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 94 yang terdiri dari 2 ayat, yang menyatakan:
(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai
isteri lebih dari seorang, maka masing-masing terpisah dan berdiri
srndiri.
20 H.R. Sardjono dan Hj. Frieda Husni Hasbullah, Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata, Edisi Revisi, Cet. II, Ind-Hill-Co,Jakarta,2003, hlm. 147-148
11
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1),
dihitung pada saat berlangsungnya. Akad perkawinan yang kedua,
ketiga atau keempat.21
Dalam penggunaan harta bersama oleh satu pihak harus
didasari persetujuan dari pihak lain, dimana penggunaan harta
bersama oleh salah satu pihak dengan tidak ada persetujuan dari
pihak lain, maka tindakan hukum demikian tidak diperbolehkan. Dalam
hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasl 92, yang menyatakan:
“Suami atau isteri tanpa persejuan pihak lain tidak diberbolehkan
menjual atau memindahkan harta bersama”. 22
Dalam hal ini dimaksudkan agar masing-masing pihak dapat
melakuan hal-hal yang berurusan dengan soal rumah tangga dengan
penuh rasa tanggung jawab. Apabila terhadap utang pribadi, maka
dibedakan kepada masing-masing suami isteri yang berutang.
Terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga
dibebankan kepada harta bersama, yang kemudian apabila tidak
mencukupi maka dibebankan kepada harta pribadi suami dan
kemudian baru dicukupkan dengan harta pribadi isteri.23
Berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan telah
ditetapkan bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan 21 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Loc. Cit, Ps. 94
22 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Loc. Cit, Ps. 92.23 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Loc. Cit, Ps. 93.
12
hak dan kedudukan suami dan masing-masing pihak berhak untuk
melkukan perbuatan hukum dari satu perkwinan selain timbul hak dan
kewjiban suami isteri satu sama lainnya, juga hak dan kewajiban
suami isteri terhadap anak dan terhadap harta benda perkawinan.
Mengenai harta benda perkawinan menurut Pasal 119 BW, sejak
terjadinya perkawinan antara seorang pria dan seorang perempuan
maka sejak saat itu terjadilah harta persatuan perkawinan baik yang
menyangkut harta yang diperoleh selama perkawinan maupun harta
bawan dengan kemungkinan sebelum perkawinan dilangsungkan,
antara mereka dapat dilakukan suatu perjajian perkawinan yang isinya
tidak menghendaki harta bawaan masing-masing dimasukan dalam
harta campuran bersama.24
C. Pembagian harta bersama dalam poligami
Mengenai pembagian harta bersama dalam poligami, maka akan
terdapat pemisahan harta harta bersama dalam perkawinan pertama
dengan perkawinan yang kedua.dimana dalam hal ini yang
membedakan tentu lamanya perkawinan, perumpamaan perkawinan
dengan dengan isteri pertama berlangsung selama 10 tahun dan
memiliki harta bersama sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta
rupiah). Dalam perkawinan dengan isteri kedua berlangsung selama 3
24 H.R. Sardjono dan Hj. Frieda Husni Hasbullah, Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata, Edisi Revisi, Cet. II, Ind-Hill-Co, 2003,Jakarta hlm, 147-1548
13
tahun dan memiliki harta bersama sebesar Rp. 20.000.000,- (dua
puluh juta rupiah).
Perbedaan kepemilikan harta bersama antara perkawinan
pertama dengan perkawinan kedua masing-masing terpisah dan
berdiri sendiri sebagaimana dalam Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam.25
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 97; janda atau duda
cerai hidup masing-masing berhak mendapat seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjajian perkawinan.26
Salah satu adanya pembagian harta bersama apabila terjadinya
perceraian. Dalam hal ini pembagian harta bersama dalam poligami.
Apabila terjadi perceraian dalam perkawinan suami yang berpoligami
ini, maka suami dan para isteri ini dalam mendapatkan pembagiannya
masing-masing berbeda. Dalam pembagian harta bersama atau bisa
disebut dengan harta gono gini, pembagiannya ditentukan dan dihitung
berdasarkan lamanya perkawinan. Apabila perkawinan dengan isteri
pertama terjadi perceraian, yang telah berlangsung selama 10 tahun
dengan memiliki harta sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah),
maka pembagian dari harta bersama antara suami dengan isteri
pertama mendapatkan harta gono gini masing-masing sebesar Rp.
50.000.000,-(lima puluh juta).
Perkawinan yang kedua berlangsung selama 3 tahun, dalam
perkawinan dengan isteri kedua memiliki harta bersama sebesar Rp.
25 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Loc. Cit, Ps. 9426 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Loc. Cit, Ps. 97
14
20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Apabila dikemudian hari terjadi
pula perceraian dengan perkawinannya yang kedua, pembagian harta
bersama dari perkawinan dengan isteri kedua ini, yakni antara suami
dengan isteri kedua mendapat harta gono gini masing-masing sebesar
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
15
BAB III
KESIMPULAN
Mengenai kedudukan suami isteri dalam poligami, terdapat dalam
surat An Nisaa' ayat 3 dan ayat 129, kedua ayat ini saling menguatkkan
dan menafsirkan,dinyatakan bahwa seorang pria muslim dibolehkan
beristeri lebih dari seorang dengan ketentuan mampu berlaku adil
terhadap para isteri. Poligami dalam hukum Islam syarat utamanya
harus mampu berlaku adil, yang berarti berlaku adil dalam kewajiban
suami terhadap isteri terutama dalam hal materi. Poligami dalam
Undang-Undang Perkawinan terdapat dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4
dan Pasal 5 jo Pasal 40, 41, 42 dan 43 Peraturan Pemerintah Tahun
1975. dengan persyaratan yang sangat ketat, salah satu syarat utama
adanya pesetujuan isteri. Poligami bukan hanya ada dalam Undang-
Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah tetapi juga terdapat
dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasl 55 sampai dengan Pasal 59.
Mengenai pengaturan Harta Bersama, yang diatur dalam Undang-
Undang Perkawinan dalam Pasal 35, bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, harta bawaan
dari masing-masing suami dan isteri, dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
16
penguasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain. Dan dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal1 huruf,
disebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah
adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersam suami
isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung atau disebut harta
bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Mengenai pengaturan harta bersama dalam poligami, maka telah
diatur dalam Pasal 94 Kopilasi HukumIslam, yakni dikatakan bahwa
harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri
lebih dari seorang maka masing-masingterpisah dan berdiri sendiri,
pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai isteri lebih dari seorang maka dihitungpada saat
berlangsungnya akad perkawinan yang kedua. Apabila terjadi
perceraian maka menurut Kopilasi Hukum Islam dalam Pasal 97; janda
atau duda cerai hidup masing-masinhg berhak mendapat seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
17
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Ali, Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam, Ed.I. Cet. 3. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 2000.
18
_____________, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Idonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Faridl, KH. Miftah, Masalah Nikah & Keluarga. Cet I. Cet. 3. Jakarta:
Gema Insan Pres, 1999.
Subekti., Hukum Perjanjian. Cet. 12. Jakarta: PT. Intermesa, 1990.
Sardjono , dan Frieda Husni Hasbullah. Bunga Rampai Perbandingan
Hukum Perdata. Cet. 2. Jakarta: Ind-Hill-Co, 2003.
Sanusi, Ahmad. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum
Indonesia. Ed.IV. Bandung: Tarsito, 1991.
Subhan, Zaitunah. Membawa Keluarga Sakinah. Cet.I. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2004.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Cet.5. Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Pres), 1986.
19
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perkawinan. UU Nomor 1 Tahun
1974. LN RI Nomor 1 Tahun 1974, TLN RI Nomor 3019.
___________, Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991). LN Nomor 3885.
20