28
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi, tindak pidana juga mengalami perkembangan yang sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Tindak pidana merupakan salah satu bentuk “perilaku menyimpang” yang selalu melekat pada kehidupan masyarakat. Perilaku menyimpang yang dimaksud merupakan suatu ancaman yang nyata terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, yang dapat menimbulkan ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial. Perilaku yang demikian apabila ditinjau dari segi hukum, tentunya ada perilaku yang sesuai dengan norma, dan ada yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran dari norma. Perilaku yang menyimpang dari norma biasanya akan menjadikan suatu permasalahan baru di bidang hukum dan merugikan masyarakat. 1 Tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang disebabkan oleh pengendalian diri dan emosi yang tidak terkontrol dan berujung pada kejenuhan pikiran. Keadaan inilah yang menimbulkan manusia tidak dapat berpikir jernih dan sehat. Tindak pidana pembunuhan maupun penganiayaan mengalami perkembangan yang diiringi dengan model dan bentuk yang sangat beragam. Peristiwa pembunuhan yang umumnya terjadi yaitu pembunuhan anak dengan 1 Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar grafika, Jakarta, h. 1.

BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id bab1.pdfkepala, jari, dan tulang adalah cara pelaku untuk mempersulit penyelidikan. Jika organ-organ penting untuk identifikasi hilang, uji deoxyribose-nucleic

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seiring dengan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi,

tindak pidana juga mengalami perkembangan yang sangat berpengaruh terhadap

kesejahteraan masyarakat. Tindak pidana merupakan salah satu bentuk “perilaku

menyimpang” yang selalu melekat pada kehidupan masyarakat. Perilaku

menyimpang yang dimaksud merupakan suatu ancaman yang nyata terhadap

norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, yang dapat

menimbulkan ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial.

Perilaku yang demikian apabila ditinjau dari segi hukum, tentunya ada perilaku

yang sesuai dengan norma, dan ada yang dapat dikategorikan sebagai bentuk

pelanggaran dari norma. Perilaku yang menyimpang dari norma biasanya akan

menjadikan suatu permasalahan baru di bidang hukum dan merugikan

masyarakat.1

Tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang disebabkan oleh

pengendalian diri dan emosi yang tidak terkontrol dan berujung pada kejenuhan

pikiran. Keadaan inilah yang menimbulkan manusia tidak dapat berpikir jernih

dan sehat. Tindak pidana pembunuhan maupun penganiayaan mengalami

perkembangan yang diiringi dengan model dan bentuk yang sangat beragam.

Peristiwa pembunuhan yang umumnya terjadi yaitu pembunuhan anak dengan

1 Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar grafika, Jakarta, h. 1.

2

berencana. Berdasarkan fakta yang terjadi, kini telah terjadi kasus pembunuhan

anak dengan berencana yang juga disertai dengan kejahatan lain yaitu mutilasi.

Sebenarnya hak hidup seorang anak perlu dilindungi dan harus benar-benar di

jaga, namun kita harus melihat begitu banyak kejadian yang mengenaskan

menimpa anak-anak. Kasus pembunuhan anak dengan berencana ini merupakan

suatu ancaman yang besar dan berbahaya bagi anak serta kekhawatiran bagi para

orang tua. Penyebab utama terjadinya kasus pembunuhan anak umumnya ialah

kesulitan ekonomi sehingga seseorang dapat nekat melakukan tindakan ini. Anak-

anak seharusnya tidak menjadi korban dalam kasus tindak pidana pembunuhan ini

karena anak seharusnya mendapat perlindungan dari keluarga maupun Negara

Indonesia. Salah satu aspek kemanusiaan yang sangat mendasar dan asasi adalah

hak untuk hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupan, karena hak-hak

tersebut diberikan langsung oleh Tuhan kepada manusia.2 Perlindungan anak

bertujuan untuk menjamin terpenuhnya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi

terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Anak merupakan anugrah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang pada

dirinya juga terdapat hak dan kewajiban yang di lindungi oleh negara, karena itu

anak-anak perlu dilindungi secara khusus agar mereka tidak menjadi korban

tindakan siapa saja.3 Anak juga harus dapat bertumbuh dengan baik, sebab anak-

2 H. Muladi, 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat Konsep dan Implikasinya dalam

Perspektif Hukum dan masyarakat, PT Rafika Aditama, Bandung, h.121. 3 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

3

anak merupakan tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa yang

memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara pada masa

yang akan datang.4

Sebagai suatu konteks tindak pidana biasanya pelaku melakukan tindakan

pembunuhan berencana yang disertai mutilasi adalah dengan tujuan untuk

membuat relasi antara dirinya dengan korban terputus dan agar jati diri korban

tidak dikenali dengan alasan-alasan tertentu. Dari sisi ilmu kriminologi, secara

definitive yang dimaksud dengan mutilasi adalah terpisahnya anggota tubuh yang

satu dari anggota tubuh lainnya oleh sebab yang tidak wajar. Motif dari

pembunuhan mutilasi adalah menghilangkan identitas korban sehingga identitas

korban sulit dilacak, apalagi pelakunya. Menghilangkan identitas dengan cara

memotong-motong tubuh juga mencerminkan kepanikan pelaku. Usai melakukan

pembunuhan, pelaku biasanya panik dan mencari jalan pintas untuk

menyelamatkan diri. Pelaku pembunuhan mutilasi juga umumnya seseorang yang

memiliki tingkat kecerdasan apalagi jika pelaku berpikir untuk menghilangkan

kepala, jari, dan tulang adalah cara pelaku untuk mempersulit penyelidikan. Jika

organ-organ penting untuk identifikasi hilang, uji deoxyribose-nucleic acid

(DNA) menjadi satu-satunya cara. Tapi itu bukan hal mudah, sebab uji DNA baru

bisa dilakukan jika ada pembanding. Ada dua kemungkinan orang melakukan

mutilasi. Pertama, pelaku khawatir dirinya akan ditangkap bila meninggalkan

korbannya secara utuh. Mereka berpikir bila meninggalkan jejak, terungkapnya

kasus tersebut akan sangat tinggi. Karena itu, untuk menghilangkan jejak, pelaku

4 Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, PT Refika Aditama,

Bandung, h.1.

4

dengan sengaja melakukan mutilasi dengan harapan orang lain akan sulit mencari

jejak korban maupun pelaku. Kedua, terlalu rapatnya beberapa kasus mutilasi

yang terjadi akhir-akhir ini membuat para pelaku mengadopsi tayangan televisi

atau media lainnya. Oleh karena itu, para pelaku mengambil referensi dari

berbagai ragam media massa, baik cetak maupun elektronik. Namun,

kemungkinan yang paling besar adalah para pelaku panik dengan tindakan yang

dilakukannya.

Mutilasi awalnya merupakan sebuah tradisi yang telah terjadi selama

ratusan tahun bahkan ribuan tahun, banyak suku-suku di dunia yang telah

melakukannya di mana perbuatan tersebut merupakan suatu identitas mereka

terhadap dunia, seperti suku Aborigin, Brazil, Amerika, Meksiko, Peru, dan suku

Conibos. Pada umumnya mutilasi ini dilakukan terhadap kaum perempuan di

mana tujuannya adalah untuk menjaga keperawanan mereka, yang sering disebut

dengan Female Genital Mutilation (FGM). FGM merupakan prosedur termasuk

pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital perempuan yang

paling sensitif.5 Mutilasi adalah pemotongan atau perusakan mayat, tidak jarang

mempunyai motif kejahatan seksual, di mana tidak jarang tubuh korban dirusak,

dipotong-potong menjadi beberapa bagian.6

Kejahatan mutilasi digolongkan ke dalam bentuk kejahatan yang tergolong

sadis oleh karena objek kejahatan tersebut adalah manusia baik dalam kondisi

hidup maupun telah meninggal. Pelaku tindak pidana mutilasi seringkali

5 Gilin Grosth. 2004. Pengantar Ilmu Bedah Anestesi. Yogyakarta, Prima Aksara. h.21.

6 Koesparmono Irsan. 2008.,Kedokteran Forensik. Jakarta, Sinar Grafika. h. 123.

5

mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan norma-norma yang berlaku di

masyarakat, dalam hal ini nilai agama pun tidak dipedulikan lagi karena tingginya

tingkat emosional dan rendahnya moralitas dari pelaku itu sendiri. Kasus tindak

pidana pembunuhsn disertai mutilasi menjadi ukuran tindak pidana sadis karena

perbuatan pelaku benar-benar dianggap sebagai tindakan yang luar akal sehat dan

tidak dapat diterima.

Terdapat contoh kasus pembunuhan anak dengan berencana yang disertai

mutilasi yang terjadi di Kabupaten Siak. Kasus ini diambil sebagai penunjang

dalam meninjau secara yuridis tentang pertanggungjawaban pidana pelaku tindak

pidana pembunuhan anak dengan berencana disertai dengan mutilasi. Berikut

adalah kronologis kasus pembunuhan anak disertai dengan mutilasi di Kabupaten

Siak.

TribunPekanbaru.com.Kamis, 12 Februari 2015 15:31

Kasus Mutilasi Tok! Terdakwa Pembunuhan Mutilasi Siak Divonis

Hukuman Mati

Delfi Cs, pelaku pembunuhan disertai mutilasi, diseret ke pengadilan atas

perbuatan sadis mereka membunuh dan memutilasi tujuh korban, yang

semuanya laki-laki dan umumnya berusia bocah. Ketujuh orang itu adalah

Febrian Dela (5), M. Hamdi Al-Iqsan (9), Rendi Hidayat (10), M. Akbar

(9), Marjevan Gea (8), Femasili Madeva (10), dan Acik (4).

Pelaku pembunuhan anak melakukan pembunuhan dengan cara atau

modus mengajak anak yang menjadi target korbannya memancing atau

bermain, kemudian diajak ketempat sepi lalu dibunuh, diambil

kemaluannya, dan juga bagian- bagian organ penting korban. Mayat

korban kemudian dibuang kesemak-semak. Setelah dibunuh, korban

dimutilasi dan diambil alat vitalnya. Seorang korban, Femasili Madeva,

bahkan dikuliti oleh Supiyan, yang pernah bekerja di rumah potong.

Dagingnya kemudian dijual ke rumah makan dan kedai tuak di Perawang,

6

Siak. Delfi Cs tak hanya memburu korban-korbanya di Siak, tapi juga

sampai ke Duri (Bengkalis) dan Rokan Hilir. Pembunuhan berantai ini

baru berakhir Juli 2014 atau sekitar setahun setelah mereka beraksi.

Dalam surat dakwaan yang dibacakan lima jaksa secara bergantian selama

sekitar dua jam, terungkap bahwa Delvi menjadi aktor utama kasus ini. Ia

memotong kelamin para korban sebagai syarat menguasai ilmu hitam,

sesuai petunjuk ayahnya yang seorang dukun. Kemaluan korban direndam

di dalam tempayan berisi kembang tujuh rupa. Air rendamannya lalu

digunakan oleh Delvi untuk mandi.

Tiga pelaku yakni M Delvi (20) alias Buyung, Dita Desmala Sari (20), dan

Supiyan (26), secara bergantian mendengarkan dakwaan jaksa penuntut

umum (JPU) di ruang sidang Cakra. Sidang dipimpin langsung oleh Ketua

Pengadilan Negeri Siak, Sorta Ria Neva SH, Mhum, yang didampingi dua

hakim anggota. Kepala Kejaksaan Negeri Siak Zainul Arifin SH, MH juga

turun langsung menjadi jaksa penuntut umum dalam kasus kriminal yang

menghebohkan Riau bahkan nasional ini.

Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum menjerat ketiga orang itu

dengan pasal berlapis. Salah satunya Pasal 340 KUHP tentang

pembunuhan berencana. “Dengan ancaman hukuman mati atau penjara

seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun,” ujar jaksa.

Pada hukum pidana di Indonesia, khususnya dalam Kitab Undang- Undang

Hukum Pidana (KUHP) sudah ada yang mengatur tentang tindak pidana

pembunuhan. Namun dalam kasus ini pembunuhan anak tersebut dilakukan oleh

orang lain yang memang sudah direncanakan oleh orang tersebut. Pelaku tidak

hanya melakukan pembunuhan anak berencana, melainkan setelah melakukan

pembunuhan, pelaku melakukan tindakan mutilasi terhadap jenazah korban.

Perbuatan mutilasi yang dilakukan oleh pelaku merupakan tindakan yang sangat

kejam, sadis, dan tidak manusiawi, sehingga dalam kasus ini bagaimanakah

pertimbangan hakim terhadap pertanggungjawaban pidana pelaku yang

melakukan pembunuhan anak dengan berencana yang disertai mutilasi. Pelaku

tetap dikenakan pasal dalam KUHP tentang pembunuhan berencana atau ada

7

pemberatan pidana yang diberikan kepada pelaku baik dalam KUHP maupun

dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dimana dalam penegakan

hukumnya undang-undang inilah yang menjadi acuan dalam pengenaan sanksi

dan pertanggungjawaban pelaku pembunuhan terhadap anak disertai dengan

mutilasi. Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut, maka muncul

pertanyaan yang mendasari penulisan hukum atau skripsi ini dengan judul

“Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pembunuhan Anak dengan Berencana

Disertai Mutilasi (Studi Kasus: Pengadilan Tinggi Pekanbaru)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, penulis merumuskan permasalahan

sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan pelaku tindak pidana pembunuhan anak dalam

KUHP dan UU Perlindungan Anak?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku pembunuhan anak dengan

berencana disertai mutilasi ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar tidak terjadi pembahasan yang menyimpang dan keluar dari

permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup

masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :

8

1. Pertama akan membahas tentang pengaturan terhadap kejahatan

pembunuhan anak, baik itu yang berdasarkan peraturan-peraturan yang

ada, seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan aturan

khusus mengenai perlindungan anak.

2. Kedua penulis akan membahas tentang bagaimana pertanggungjawaban

pidana yang diberlakukan kepada pelaku kejahatan tindak pidana

pembunuhan anak dengan berencana yang disertai mutilasi berdasarkan

putusan pengadilan.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Penulis menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi dengan judul

“Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pembunuhan Anak dengan Berencana (Studi

Kasus: Pengadilan Tinggi Pekanbaru)” ini merupakan hasil penelitian, pemikiran

dan pemaparan asli penulis. Jika terdapat referensi terhadap karya orang lain atau

pihak lain, maka dituliskan sumbernya dengan jelas. Beberapa penelitian dengan

jenis yang sama yang ada dalam internet atau perpustakaan skripsi adalah tentang

“Analisis Ancaman Pidana terhadap Pembunuhan yang Disertai dengan Mutilasi”

Dari penelitiaan yang telah ada tersebut terdapat perbedaan dengan penelitian ini

karena penelitian ini berfokus pada penelitian tentang Tinjauan Yuridis terhadap

pengaturan pelaku kejahatan tindak pidana pembunuhan anak disertai dengan

mutilasi dan pemidanaan terhadap tindak pidana tersebut. Berikut terlampir matrik

perbedaan penelitian yang telah ada dengan penelitian ini :

9

No Penulis Judul No Rumusan Masalah

1 Felizia

Novi

Kristanti

(Alumni

Univ.

Udayana)

“Analisi Ancaman

Pidana terhadap

Pembunuhan yang

Disertai dengan

Mutilasi”

1.

2.

Bagaimana ancaman pidana

terhadap pidana terhadap

pembunuhan disertai mutilasi

dianalisis dari prespektif

tujuan hukum pidana?

Bagaimana sebaiknya

peraturan ancaman pidana

pembunuhan yang disertai

mutilasi dimasa mendatang?

2 Putu Rosa

Paramitha

Dewi

“Pertanggungjawaban

Pidana Terhadap Pelaku

Pembunuhan Anak

dengan Berencana”.

1.

2.

Bagaimana pengaturan

pelaku tindak pidana

pembunuhan anak dalam

KUHP dan UU Perlindungan

Anak ?

Bagaimana

pertanggungjawaban pidana

pelaku pembunuhan anak

berencana disertai dengan

mutilasi ?

10

1.5 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini ada dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus.

Adapun tujuan tersebut antara lain:

1.5.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk pembaharuan hukum pidana mengenai

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pembunuhan anak berencana disertai

mutilasi, pengembangan konsep, serta teori-teori bidang ilmu hukum, khususnya

ilmu hukum Pidana

1.5.2 Tujuan khusus

- Mendeskripsikan dan menganalisis tentang pengaturan pelaku kejahatan

pembunuhan anak berencana disertai dengan mutilasi.

- Memberikan prespektif bagi perkembangan hukum pidana mengenai

pertanggungjawaban pidana yang seharusnya diberlakukan terhadap

kejahatan pembunuhan anak disertai dengan mutilasi.

1.6 Manfaat Penulisan

1.6.1 Manfaat teoritis

Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum pidana, khususnya pada

kejahatan tindak pidana pembunuhan anak dengan berencana disertai dengan

mutilasi.

11

1.6.2 Manfaat praktis

Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan dan sumbangan pemikiran tentang tindak pidana pembunuhan anak

berencana disertai dengan mutilasi dalam hukum pidana di Indonesia. Sehingga

para aparat penegak hukum mulai memberi perhatian dan perlindungan yang lebih

kepada anak korban mutilasi, baik yang terkena langsung maupun dari keluarga

korban. Bagi penegak hukum, selama ketentuan khusus mengenai kejahatan

tindak pidana mutilasi belum diatur, pemberatan penjatuhan sanksi pidana adalah

opsi terbaik untuk menanguulangi adanya tindak pidana mutilasi terhadap anak

sehingga rasa adil dan perlindungan terhadap korban setidaknya dapat tercapai.

1.7 Landasan Teoritis

Sebelum membahas permasalahan dalam skripsi ini, maka terlebih dahulu

akan diuraikan beberapa teori atau landasan untuk menunjang pembahasan

permasalahan yang ada. Adapun teori-teori yang dipergunakandalam penilitian ini

meliputi :

1.7.1 Teori Tindak Pidana

Istilah “tindak pidana” pada dasarnya merupakan terjemahan dari bahasa

Belanda yaitu strabaarfeit. Strafbaar berarti dapat dihukum, sedangkan feit berarti

sebagian dari suatu kenyataan. Maka secara harafiah, perkataan strafbaarfeit dapat

diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang data dihukum. Simons

mengemukakan bahwa “perbuatan tindak pidana (strafbaarfeit) adalah kelakuan

(handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang

12

berhubungan denagn kesalahan, dan yang dilakukan oleh orang yang mampu

bertanggungjawab”.7 Simons juga menyebutkan bahwa tindak pidana adalah

tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja maupun tidak

sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya dan

oleh undang-undang tindakannya dinyatakan sebagai tindakan yang dilarang dan

dapat dihukum.8

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-

undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan

perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai

kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat

menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.9

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu

yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi

terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.10

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan

7 Moeljatno. 1983. Azaz-Azaz Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, h. 56. (selanjutnya

disingkat Moeljatno I) 8 Tongat, 2008, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Prespektif Pembaharuan,

UMM pres, Malang, h.101. 9 Andi Hamzah,2001,. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia

Indonesia, Jakarta, h. 22 10

P.A.F. Lamintang,1996, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta

Bakti.Bandung. h.16.

13

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana

d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif.11

Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang

dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk

adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang

menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan bahwa

kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan

sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan

terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan

suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya

tersebut maka dia harus bertanggungjawab atas segala bentuk tindak pidana yang

telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa

telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka

dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang

mengaturnya.

Pengertian tindak pidana pembunuhan, didalam KUHP telah disebutkan

bahwa yang disebut sebagai suatu pembunuhan yaitu kesengajaan menghilangkan

nyawa orang lain. Pada peristiwa pembunuhan, pelaku harus melakukan suatu

rangkaian tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Tindak

pidana pembunuhan didalam kehidupan masyarakat meningkat baik secara

kuantitatif mau kualitatif dengan korban yang meluas terutama dikalangan anak-

11

Andi Hamzah, op.cit, h.30

14

anak. Pencegahan terjadinya tindak pidana pembunuhan semakin meningkat,

maka perlu adanya penjatuhan sanksi yang bertujuan untuk memberi efek jera dan

rasa takut dalam melakukan suatu tindak pidana sekaligus memberi efek kepada

masyarakat guna menyelanggarakan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, dalam kejahatan tindak pidana mutilasi khususnya terhadap anak

perlu ditetapkan ancaman pidana yang lebih berat, karena kejahatan mutilasi

tergolong kejahatan sadis dan selain membunuh korbannya kejahatan ini juga

merusak organ tubuh korban sampai tidak dikenali identitas fisiknya.

1.7.2 Teori Pertanggungjawaban pidana

Dilihat dari istilah tindak pidana yaitu perbuatan yang dijatuhi sanksi

pidana yang hanya berfokus pada sifat-sifat dari perbuatan saja, sedangkan sifat-

sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian persoalan lain, yaitu

pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana mengandung asas

kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik

bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan

berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian.

Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan

kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya

pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang

ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai

keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan

15

konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu

patut dipersalahkan.12

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun

juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik

culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan

pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian

yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam

dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara

keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat

dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu

menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.13

Simos menyatakan “kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan

sebagai suatu keadaan phschis yang membenarkan adanya penerapan suatu

pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orangnya.” Dikatakan

selanjutnya, bahwa seseorang mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat, yakni

apabila :

i. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya

bertentangan dengan hukum.

12

Barda Nawawi Arief ,2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung,h. 23 13

Moeljatno,1993, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,

Bina Aksara, Jakarta. h. 49 (Selanjutnya disingkat Moeljatno II)

16

ii. Ia dapat menentukan kehendakknya sesuai dengan kesadaranya.14

Van Bemmelen juga menyataka bahwa seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan ialah yang dapat mempertahankan hidupnya secara

patut.” Sebagai dasar untuk mengukur hal tersebut apabila orang yang normal

jiwanya itu mampu bertanggungjawab, ia mampu untuk menilai dengan pikiran

atau perasaaannya bahwa perbuatan itu dilarang oleh undang-undang dan berbuat

sesuai dengan pikran dan perasaannya itu. Dalam kasus kejahatan tindak pidana

mutilasi banyak yang mempertanyakan apakah pelakunya dapat dipidana, seperti

yang kita ketahui pelaku pembunuhan mutilasi sering meng disebut memiliki

gangguan jiwa, psikopat, berkepribadian ganda, dan kelainan psikologis lainnya.

Ini yang menyebabkan dalam penanganan kasus ini perlu dipastikan apakah

pelaku benar-benar memiliki kemampuan pertanggungjawaban pidana dengan

menyelidiki keadaan psikologisnya.

Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat

(1) KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau

terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak

dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal

dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila

hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus

memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu:

14

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia, 2011, Modul Hukum

Pidana, Jakarta, h.62.

17

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau

sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak

kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku

melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul

sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa

tidak dapat dikenai hukuman.15

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa

pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang

melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan

sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan

pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila

ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu

melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan

normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

1.7.3 Teori Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap

pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan

sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.

Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil. J.M. Van

Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut :16

Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-

turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan

15

Moeljatno II, op.cit, h.51 16

Leden Marpaung, 2005,Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,. Jakarta, h.2.

(Selanjutnya disingkat Leden Marpaung I)

18

pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil

mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan

menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu.

Pemidanaan merupakan suatu penderitaan atau nestapa yang senagaja

dijatuhkan negara kepada mereka atau seseorang yang telah melakukan suatu

tindak pidana. Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi atas tiga. Pada

bagian ini penulis akan menguraikan teori tersebut sebagai berikut :

a) Teori Absolut atau Teori pembalasan (Vergeldings Theorien)

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang

telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan

oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut didasarkan pada pemikiran bahwa

pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi

pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu

dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana

adalah pembalasan (revegen). Sebagaimana yang dinyatakan Muladi

bahwa:17

Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas

kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan

terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan

bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang

telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang

harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan

kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.

Dari teori tersebut di atas, nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu

tuntutan etika, di mana seseorang yang melakukan kejahatan akan

17

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1,2007, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 11.

19

dihukum dan hukuman itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya untuk

membentuk sifat dan merubah etika yang jahat ke yang baik.

b) Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien)

Teori relatif atau teori tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa

pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam

masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dasar pemikiran agar

suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana

mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental atau

membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap

mental.

Menurut Muladi tentang teori ini bahwa:18

Pemidanaan bukan

sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan

yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menujukesejahteraan

masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah

agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk

pemuasan absolut atas keadilan.

Teori ini memunculkan tujuan pemidanaan sebagai sarana

pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale preventie) yang ditujukan

kepada pelaku maupun pencegahan umum (general preventie) yang

ditujukan ke masyarakat. Teori relative ini berasas pada tiga tujuan utama

pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif

18

Ibid, h. 11

20

(prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku

kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk

menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku

agar tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah

panjang. Sedangkan tujuan perubahan (reformation) untuk mengubah sifat

jahat si pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga

nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari

sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.

c) Teori Gabungan/modern (Vereningings Theorien)

Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan

pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip

relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini

bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter pembalasan

sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab

tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide

bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan

perilaku terpidana di kemudian hari.

Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, Van List dengan

pandangan sebagai berikut:19

1) Tujuan terpenting pidana adalah membrantas kejahatan sebagai

suatu gejala masyarakat.

19

Djoko Prakoso, Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana dan Eksaminasi Perkara di Dalam

Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta, h. 47.

21

2) Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus

memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis.

3) Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat

digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana

bukanlah satu-satunya sarana, oleh karena itu pidana tidak

boleh digunakan tersendiri akan tetapi harus digunakan dalam

bentuk kombinasi denga upaya sosialnya.

Pandangan diatas menunjukkan bahwa teori ini mensyaratkan agar

pemidanaan itu selain memberikan penderitaan jasmani juga psikologi dan

terpenting adalah memberikan pemidanaan dan pendidikan. Dari uraian di

atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemidanaan, yaitu

dikehendakinya suatu perbaikan-perbaikan dalam diri manusia atau yang

melakukan kejahatan-kejahatan terutama dalam delik ringan. Sedangkan

untuk delik-delik tertentu yang dianggap dapat merusak tata kehidupan

sosial dan masyarakat, dan dipandang bahwa penjahat-penjahat tersebut

sudah tidak bisa lagi diperbaiki, maka sifat penjeraan atau pembalasan dari

suatu pemidanaan tidak dapat dihindari.

1.7.4 Teori Pemberatan Pidana

Kejahatan tindak pidana mutilasi tehadap anak tergolong kejahatan sadis

yang salah satu tujuan dari mutilasi tersebut yaitu menghilangkan jejak dari

pelaku dan identitas korban. Di dalam KUHP pada Pasal 340 hanya diatur

perbuatan pembunuhan saja yang telah direncanakan pelaku untuk menghilangkan

22

nyawa seseorang dan juga pada pasal dalam UU perlindungan anak. Jika kembali

kepada pengertian mutilasi yaitu pemotongan tubuh menjadi beberapa bagian

yang terjadi dari bebrapa faktor yaitu untuk menghilangkan jejak agar pelaku sulit

dilacak atau menyulitkan penyelidikan dan faktor lain yaitu karena pelaku

mungkin memiliki gangguan kejiwaan.

Pada fakta yang terjadi saat ini kasus mutilasi hanya dapat dijerat Pasal

338, Pasal 339, atau Pasal 340 KUHP. Sehingga perlu ada pemikiran baru yang

membedakan tentang pembunuhan biasa atau berencana serta pembunuhan yang

disertai dengan mutilasi baik dari segi pemidanaannya dan segi kemanusiaannya.

Salah satu opsi untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban kejahatan ini yaitu

dengan adanya pemberat pidana kepada pelakunya.

1. Pemberatan pidana yang bersifat primer

Pemberatan pidana primer merupakan dasar pemberatan pidana

utama yang mengacu pada KUHP dan undang-undang khusus yang

dijadikan pedoman pemberatan pidana pada tahp penyidikan, penuntutan,

dan mengadili. Alasan atau dasar pemberat pidana yang bersifat primer ini,

yaitu:

a) Seorang pejabat melanggar suatu kewajiban khusus dari

jabatannya,

b) Waktu melakukan kejahatan, menggunakan bendera kebangsaan

Republik Indonesia,

c) Karena Pengulangan (recidive),

d) Karena gabungan (samenloop),

23

e) Karena ada beberapa keadaan tertentu lainnya yang diatur secara

khusu ditentukan dalam beberapa pasal tindak pidana,

f) Karena ada beberapa keadaan yang menjadi asas umum bagi

ketentuan hukum pidana khusus.20

2. Pemberat pidana yang bersifat sekunder

Pemberat pidana yang bersifat sekunder ini adalah perumusan hal-

hal yang memberatkan pidana dalam surat tuntuan (reqisitoir) dan putusan

pengadilan. Sehubungan dengan itu, maka dapat dikatakan pemberat

pidana yang bersifat sekunder ini diterapkan pada proses mengadili, yaitu

pada tahap penyusunan surat tuntutan dan pada tahap putusan pengadilan.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum

normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini

menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas

dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.21

Penelitian normatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: beranjak dari adanya

kesenjangan dalam norma/asas hukum, tidak menggunakan hipotesis,

menggunakan landasan teoritis, menggunakan bahan hukum yang terdiri atas

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian hukum normatif

20

Adam Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Rajawali Pers, Jakarta, h.73

(Selanjutnya disingkat Adam Chazawi I) 21

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995,Penelitian Hukum Normatif(Suatu tinjauan

Singkat), PT. Grafindo Persada, Jakarta, h.13.

24

digunakan beranjak dari adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu

norma yang kabur atau tidak jelas (vague van normen), norma yang konflik

(geschijld van normen), maupun norma yang kosong (leemten van normen) yang

ada dalam peraturan perundang-undangan terkait permasalahan yang hendak

diteliti. Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang

ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan

mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian

hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum

subjektif (hak dan kewajiban).22

Penulisan penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini

beranjak dari adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma kabur.

Tidak jelasnya aturan dan terperinci mengenai tindak pidana pembunuhan anak

dengan berencana yang disertai mutilasi merupakan kelemahan dari sistem hukum

yang menimbulkan adanya kekaburan norma. Penelitian hukum normatif dalam

skripsi ini berangkat dari norma kabur yang tidak menerangkan secara spesifik

mengenai sanksi dari tindak pidana pembunuhan anak dengan berencana disertai

dengan mutilasi. Didalam kasus, pelaku pembunuhan anak dengan berencana

tersebut memutilasi tubuh korban. Maka dari itu perlu adanya pertimbangan

hakim tentang tindakan mutilasi yang dilakukan oleh pelaku. Adanya kekaburan

norma dirasa perlu untuk dikaji kembali mengenai aturan-aturan serta sanksi-

sanksi yang dapat dijatuhkan.

22

Hardijan Rusli, Metode Penelitian Hukum Normatif : Bagaimana?, Law Review

Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No.3 Tahun 2006, h. 50.

25

1.8.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan sebagai dasar sudut

pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti didalam melakukan analisis.

Secara teoritis, dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, namun

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) hal ini dimaksudkan

bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan, norma-

norma hukum yang berhubungan dengan tindak pidana pembunuhan anak

dengan berencana sebagai dasar awal melakukan analisis.

2. Pendekatan analitis konsep hukum ( Analytical & Conseptual Approach),

pendekatan ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah

hukum yang terdapat didalam perundang-undangan berupa aspek hukum,

dengan begitu peneliti memperoleh pengertian atau makna baru dari

istilah-istiah hukum dan menguji penerapannya secara praktis dengan

menganalisis putusan-putusan hukum.

3. Pendekatan kasus (case Approach), pendekatan kasus dalam penelitian

hukum bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum

yang dilakukan dalam praktik hukum.23

Pendekatan kasus yang dilakukan

ialah pendekatan mengenai kasus pembunuhan anak dengan berencana

yang disertai dengan mutilasi yang terjadi di Kabupaten Siak dan juga

dengan putusan hakim.

23

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif

&Empiris,Pustaka Pelajar, Yogjakarta, h. 185-190.

26

1.8.3 Sumber bahan hukum

Mengenai sumber bahan hukum dari penelitian hukum normatif ini

merupakan hasil penelitian melalui penelitian kepustakaan (Library Research).24

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari :

1. Sumber bahan hukum primer

Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang bersifat

mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan. Sumber

bahan hukum primer yang digunakan adalah :

- Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

- Peraturan Perundang-undangan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) , dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP)

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak

- Hukum yang tidak tertulis

- Putusan pengadilan

- Doktrin

24

Ronny Hanitiyo Soemitro, 2000, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,

Jakarta,h. 24.

27

- Pembaharuan Hukum Pidana dengan Kebijakan Hukum Pidana

2. Sumber bahan hukum sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang

digunakan adalah literatur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas,

baik literatur-literatur hukum yang ditulis para ahli seperti buku tentang hukum

pidana, buku tentang mutilasi, pendapat para sarjana, jurnal-jurnal hukum

maupun literatur non hukum dan artikel atau berita yang diperoleh via internet.

3. Sumber bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar

bahasa Indonesia dan kamus hukum.

1.8.4 Teknik pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang

diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document).

Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara

mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang

relevan, kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan

yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.

28

1.4.1 Teknik analisis bahan hukum

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

deskripsi, teknis interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik

sistematisasi.

Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari

penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau

posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum.

Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu

hukum seperti penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran teleologis,

penafsiran historis, dan lain sebagainya.

Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau

tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu

pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera

dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena

penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

Dalam pembahasan permsalahan hukum makin banyak argumen makin

menunjukkan kedalaman penalaran hukum.

Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu

konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang

sederajat maupun yang berurutan secara hierarkis.