Upload
phamtram
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Semangat dalam upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ini di tandai
dengan dibuatnya sejumlah aturan perundang-undangan, dengan dimulai diadakannya
aturan:
a. Tap.MPR No. XI/MPR/1998 tentang “Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas KKN”; kemudian dikeluarkan juga
b. Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang “Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari KKN” yang di dalamnya memuat ketentuan
kriminalisasi delik “Kolusi” (Pasal 21) dan delik “Nepotisme” (Pasal 22);
dan
c. Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang”Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi”, yang mengubah dan mengganti Undang-Undang lama (Undang-
Undang tahun 1971) dan saat ini sudah menjadi Undang-Undang No 20
tahun 2001.1
Segala peraturan dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah
dibuat oleh pemerintah seolah-olah tidak menjadi solusi dari permasalahan korupsi
yang tidak pernah habis walaupun telah diadakan pemberantasan serta regulasi yang
mengatur sanksi cukup berat.
Korupsi merupakan suatu permasalahan yang terkait dari berbagai
kompleksitas masalah antara lain, masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup
kebutuhan serta kebudayaan dan lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan
ekonomi dan kesejahteraan sosial ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi,
1 Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
(selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I), Hal.53.
2
masalah sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya
birokrasi/prosedur administrasi di bidang keuangan dan pelayanan publik.2
Korupsi sebagai gejala sosial, keberadaan korupsi hampir seumur dengan
keberadaan masyarakat di dunia ini. Korupsi diidentikan dengan keserakahan,
ketamakan dan kesewenang-wenangan yang di caci dan dikutuk oleh semua orang
karena membawa suatu dampak negatif pada kesengsaraan rakyat, maka dari itu
Korupsi dikategorikan sebagai suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Dikatakan sebagai extra ordinary crime karena melibatkan penyalahgunaan
kekuasaan dan menimbulkan kerugian keuangan negara, maka dalam
menanggulanginya diperlukan cara-cara yang luar biasa pula. Bagi indonesia, korupsi
merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara, karena kerugian
yang dialami sangat besar diakibatkan dari perbuatan para koruptor yang nyaris
membuat bangkrut perekonomian negara, terutama ketika terjadi krisis moneter yang
diikuti pula dengan krisis ekonomi pada tahun 1997.3
Akibat lainnya dari dampak kejahatan Korupsi menurut Gunnar Myrdal yaitu:
a. Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang
menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan mengenai
kurang tumbuhnya pasaran nasional;
b. Korupsi mempertajam permasalahan masyarakat plural sedang bersamaan
dengan itu kesatuan negara bertambah lemah, juga karena turunnya
martabat pemerintah, tendesi-tendesi itu membahayakan stabilitas politik;
c. Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial.4
2 Barda Nawawi Arief, 2001, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung,
(selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II), Hal. 85-86. 3 Teguh Sulista, 2011, Hukum Pidana, Horizon Baru Pasca Reformasi, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, Hal.206-207. 4 Andi Hamzah, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 22.
3
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara yang diakibatkan dari Tindak
Pidana Korupsi mutlak diperlukan dikarenakan menghambat negara dalam
melakukan pembangunan nasional, berdasarkan hal tersebut dibentuklah Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi) yang mengatur tentang sanksi pembayaran uang pengganti
kerugian keuangan negara hasil dari tindak pidana korupsi oleh orang pribadi maupun
badan hukum.
Ancaman sanksi pidana dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi terhadap koruptor dapat berupa pidana pokok penjara dan denda serta
pidana tambahan berupa uang pengganti.
Upaya dalam memaksimalkan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara,
maka diatur suatu konsep upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara yakni
penambahan dalam pidana tambahan yang secara khusus diatur di dalam ketentuan
Pasal 18 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dinyatakan bahwa pembayaran uang pengganti jumlahnya harus sama dengan harta
benda yang diperoleh dalam Tindak Pidana Korupsi.
4
Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu perbuatan curang yaitu dengan
menyelewengkan atau menggelapkan keuangan negara yang dimaksudkan untuk
memperkaya diri seseorang yang dapat merugikan negara. Secara umum, Tindak
Pidana Korupsi dilakukan secara rahasia, melibatkan elemen kewajiban dan
keuntungan secara timbal balik. Kewajiban dan keuntungan tersebut tidak selalu
berupa uang.5
Secara umum, Tindak Pidana Korupsi dikategorikan dalam salah satu
kejahatan white collar crime yang pada umumnya dilakukan oleh seorang yang
terhormat, serta mempunyai status sosial tinggi dan dilakukan dalam rangka
pekerjaannya. Pengertian lain dari white collar crime antara lain sebagai berikut:
a. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang duduk dibelakang meja;
b. Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berpangkat;
c. Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berilmu pengetahuan;
d. Ditafsirkan sebagai lawan kata “crime using force” atau “ street crime”
(kejahatan biasa);
e. Kejahatan yang dilakukan dengan teknologi canggih;
f. Kejahatan yang non konvensional; dilakukan oleh orang yang mempunyai
keahlian atau mempunyai pengetahuan teknologi canggih;
g. Kejahatan terselubung.6
Tindak Pidana Korupsi secara umum cenderung dilakukan oleh oknum
intelektual atau oknum yang memiliki kekuasaan dan kekuatan dalam pemerintahan
sehingga Korupsi dapat dilakukan secara tertutup dan terorganisir. Dengan
kemampuan yang dimilikinya pelaku Tindak Pidana Korupsi dapat memperhitungkan
5 Aziz Syamsuddin, 2001, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.15.
6 Romli Atmasasmita, 2007, Analisis dan evaluasi hukum tentang penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana korupsi, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Hal. 31.
5
segala sesuatu terkait kejahatan yang dilakukan dengan tujuan mengaburkan segala
tindakan agar tidak terbongkar oleh aparat penegak hukum.
Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara tertutup dan terorganisir yang
menjadi suatu permasalahan bagi aparat penegak hukum, dimana akibatnya aparat
penegak hukum harus bekerja lebih giat di banding dalam melakukan penegakan
hukum di bidang kejahatan konvensional. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintah
yang melaksanakan kekuasaan negara memiliki kewenangan dalam penyidikan,
penuntutan dan eksekusi dalam penanganan pengembalian kerugian keuangan negara
dalam tindak pidana korupsi.
Terkait kewenangan Kejaksaan di bidang Penyidikan diatur dalam Pasal 30
ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia dan dalam Penuntutan di dalam Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Pasal
30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia. Kejaksaan juga memiliki wewenang menjalankan Putusan
Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk di eksekusi dalam upaya
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
dan tegas diatur juga dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Bali dikenal sebagai primadona daerah wisata yang terkenal dengan
keindahan alamnya terutama pantainya. Salah satu contoh keindahan pantai yang
6
terkenal di Bali yakni Pantai Lovina yang terletak di Kabupaten Buleleng, Singaraja.
Hal yang paling menarik dan membedakan dari Pantai lainnya yakni pengunjung
dapat melihat lumba-lumba dari habitat aslinya.
Dibalik gemerlap sektor pariwisata dengan pendapatan pajak hotel dan
restoran mencapai ratusan miliar rupiah, Provinsi Bali masih berjuang keras
membangun kesejahteraan masyarakat pada 82 Desa yang memiliki keluarga miskin
di atas 35 persen. Berdasarkan data Bapedda Provinsi Bali, 82 Desa dengan jumlah
keluarga miskin di atas 35 persen itu tersebar pada 20 kecamatan di empat kabupaten
dan yang terbanyak di Buleleng mencapai 33 Desa di tujuh Kecamatan dengan
jumlah 13.464 rumah tangga miskin.7
Bali sebagai daerah tujuan utama destinasi pariwisata sedang gencarnya
melakukan pembangunan di berbagai bidang yang tentunya didukung dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Kekuasaan yang dimiliki dalam mengelola APBD dan
APBN tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh oknum penguasa.
Banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Bali khususnya di Kabupaten
Buleleng secara umum disebabkan lemahnya pengawasan dalam pengelolaan bantuan
APBD maupun APBN dan hal tersebut memerlukan perhatian lebih karena
menyebabkan tidak meratanya kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Buleleng,
7 http://balicaringcommunity.org/bali-simpan-82-desa-miskin.html diakses pada tanggal 7
Maret 2015.
7
mengingat Kabupaten Buleleng merupakan Daerah yang memiliki Desa dengan
jumlah keluarga miskin terbanyak di Bali.
Salah satu contoh dari sekian banyak kasus korupsi yang terjadi di Bali dan
menjadi perhatian masyarakat Bali adalah kasus Korupsi APBD yang terjadi di
Kabupaten Buleleng dan dilakukan oleh Mantan Ketua DPRD Nyoman Sudarmaja
Duniaji bersama-sama dengan tiga Wakil Ketua DPRD Kabupaten Buleleng yakni
Gede Widjana Dangin, Made Sudana, Nyoman Gede Astawa. Korupsi yang
dilakukan tersebut diduga mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara atau
Perekonomian Negara atau Keuangan Daerah sebesar Rp. 15.828.294.094,00 (lima
belas milyar delapan ratus dua puluh delapan juta dua ratus sembilan puluh empat
ribu sembilan puluh empat rupiah).8 Berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung
RI No. 357 K/Pid.Sus/2007 tanggal 30 April 2008 keempat Terdakwa hanya di Putus
membayar Uang Pengganti yang apabila keempatnya di jumlahkan Rp.
2.503.385.194,00 (dua milyar lima ratus tiga juta tiga ratus delapan puluh lima ribu
seratus sembilan puluh empat rupiah).9 Eksekusi harta benda terpidana khususnya
Nyoman Sudarmaja Duniaji dan Gede Widjana Dangin masih mengalami
permasalahan sehingga terkendalanya penerapan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
8http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/7f557866ae75d54065ca855831b114a3
diakses pada tanggal 30 Maret 2014, Hal. 38. 9 Ibid, Hal. 50.
8
Upaya dalam pemberantasan serta penanggulangan Tindak Pidana Korupsi
yang banyak terjadi di Kabupaten Buleleng tidak terlepas dari Peranan Kejaksaan
Negeri Singaraja dalam melakukan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara.
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi yang
terjadi di Kabupaten Buleleng yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Singaraja
bertujuan agar APBD maupun APBN yang seharusnya ditujukan untuk lebih
memajukan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan fasilitas publik di
Kabupaten Buleleng agar tidak diselewengkan oleh oknum penguasa di Kabupaten
Buleleng.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik menulis judul skripsi
yang akan membahas mengenai :
“PERANAN KEJAKSAAN DALAM UPAYA PENGEMBALIAN
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI SINGARAJA)”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan dari latar belakang diatas, maka terdapat dua
permasalahan pokok yang akan dibahas, yakni :
a. Bagaimana peranan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam pengembalian
kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi ?
b. Apa hambatan dan upaya yang dilakukan Kejaksaan Negeri Singaraja
dalam pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana
korupsi ?
9
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Dilihat dari latar belakang masalah, ruang lingkup dari penelitian ini hanya
dibatasi dalam hal Peranan, hambatan dan Upaya yang dilakukan Kejaksaan Negeri
Singaraja dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana
Korupsi. Dalam hal Peranan dibatasi dalam bagaimana Peranan Kejaksaan Negeri
Singaraja dalam Penyidikan, Penuntutan dan Eksekusi terkait Pengembalian
Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Buleleng.
Terkait dalam hal upaya dibatasi dalam hambatan yang ditemui dan upaya
yang dilakukan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam mengatasi hambatan-hambatan
yang terdapat di dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak
Pidana Korupsi di Kabupaten Buleleng.
1.4. Orisinalitas Penelitian
Terkait orisinalitas dari penelitian ini, penulis akan memperlihatkan skripsi
terdahulu sebagai perbandingan yang pembahasannya berkaitan dengan “Peranan
Kejaksaan dalam Upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak
Pidana Korupsi (studi kasus di Kejaksaan Negeri Singaraja)”, yakni :
10
No. Judul Penulis Rumusan Masalah
1
Tinjauan Yuridis
Terhadap Uang Pengganti
Untuk Pengembalian
Kerugian Negara dalam
Perkara Tindak Pidana
Korupsi
Fuad Akbar
Yamin, Fakultas
Hukum
Universitas
Hassanudin,
Makassar, Tahun
2013.
1. Bagaimana mekanisme
pembayaran uang
pengganti untuk
pengembalian kerugian
negara dalam kasus tindak
pidana korupsi?
2. Kendala apakah yang
dihadapi dalam proses
pembayaran uang
pengganti untuk
pengembalian kerugian
negara dalam kasus tindak
pidana korupsi?
2
Pelaksanaan Penyidikan
Tindak Pidana Korupsi
oleh Kejaksaan (Studi di
Kejaksaan Negeri
Sawahlunto)
Rheysa Qadri,
Fakultas Hukum
Universitas
Andalas, Padang,
Tahun 2012.
1. Bagaimanakah
pelaksanaan penyidikan
tindak pidana korupsi di
kejaksaan negeri
sawahlunto?
2. Apakah kendala yang
ditemui dalam melakukan
11
penyidikan tindak pidana
korupsi di kejaksaan negeri
sawahlunto?
3. Bagaimanakah koordinasi
jaksa dengan perangkat
hukum lainnya yaitu
kepolisian dan badan
inspektorat yaitu BPKP
dalam melakukan
penyidikan tindak pidana
korupsi di sawahlunto?
3 Pengembalian Aset Hasil
Tindak Pidana Korupsi
Sebagai Salah Satu
Bentuk Penerapan
Keadilan Restoratif
(Restorative Justice)
Riani Atika
Nanda Lubis,
Fakultas Hukum
Universitas
Indonesia, Depok,
Tahun 2011.
1. Bagaimanakah
perbandingan pengaturan
dan pelaksanaan
perampasan asset hasil
tindak pidana korupsi di
Indonesia, Britania raya,
dan Thailand?
2. Apakah bentuk
perampasan aset hasil
tindak pidana korupsi
12
sejalan dengan program
keadilan restoratif yang
sedang berkembang saat
ini?
3. Hal-hal apa sajakah yang
harus di siapkan oleh
pemerintah dan aparat
penegak hukum agar
pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi
dapat berjalan ?
Bila dilakukan perbandingan pada penelitian skripsi pertama membahas
tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Uang Pengganti Untuk Pengembalian
Kerugian Negara dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Skripsi kedua membahas
tentang Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Kejaksaan (Studi di
Kejaksaan Negeri Sawahlunto) dan Skripsi ketiga membahas tentang
Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Salah Satu Bentuk
Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).
13
Penelitian ini membahas mengenai Peranan Kejaksaan dalam Upaya
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi (studi
kasus di Kejaksaan Negeri Singaraja).
1.5. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni sesuai dengan rumusan
masalah diatas yang dituangkan dalam tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun
mengenai tujuan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Tujuan Umum
Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
memberikan pemahaman mengenai peranan Kejaksaan Negeri Singaraja
dalam upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
- Untuk mengetahui peranan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi.
- Untuk mengetahui hambatan dan upaya yang dilakukan Kejaksaan Negeri
Singaraja dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak
Pidana Korupsi .
14
1.6. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang ingin dicapai dalam penelitian ini diharapkan dapat
memberi masukan yang bermanfaat dalam pengembangan studi ilmu hukum
terkait dengan peranan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam Pengembalian
Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, serta hambatan
dan upaya apa yang dilakukan Kejaksaan Negeri Singaraja dalam
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi
berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini selain bagi penulis sendiri, tetapi juga
diharapkan bermanfaat bagi institusi penegak hukum, khususnya Jaksa dan
diharapkan juga bermanfaat khususnya bagi Mahasiswa Fakultas Hukum
dalam mendalami Hukum Pidana terkait hal peranan Kejaksaan Negeri
Singaraja dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak
Pidana Korupsi, serta hambatan dan upaya yang dilakukan Kejaksaan Negeri
Singaraja dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak
Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo.
Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
15
1.7. Landasan Teoritis
Penelitian terhadap Peranan Kejaksaan dalam upaya Pengembalian Kerugian
Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, ditunjang dari beberapa Asas
dan Teori Hukum yang digunakan sebagai landasan teoritis dalam menganalisis
permasalahan dalam penelitian ini.
Asas yang berkaitan dengan penelitian ini yakni Asas legalitas dan Asas Lex
Specialist Derogat Lex Generalis. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana merumuskan bahwa tiada suatu perbuatan boleh dihukum,
melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada
terlebih dahulu dari perbuatan itu. Dalam penelitian ini, Asas legalitas dikaitkan
dengan segala kewenangan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum khususnya
Kejaksaan Negeri Singaraja dalam melakukan Pengembalian Kerugian Keuangan
Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Buleleng harus didasari
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi
harus didasari dari ketentuan Pasal 4 serta Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Terkait Asas Lex Specialist Derogat Lex Generalis memiliki makna bahwa
hukum yang bersifat khusus mengkesampingkan hukum yang bersifat umum.
Asas tersebut terkait penelitian ini dapat dilihat dalam proses penanganan perkara
Tindak Pidana Korupsi khususnya dalam Pengembalian Kerugian Keuangan
16
Negara. Ketentuan yang digunakan tidak hanya ketentuan umum sebagaimana
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tetapi
ketentuan khusus yang ada di luar dari KUHAP sebagaimana dalam Pasal 26
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ditentukan bahwa :
“Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
Tindak Pidana Korupsi, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang
berlaku kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Ketentuan tersebut mengartikan bahwa pembentuk Undang-Undang
memberikan peluang untuk melakukan penyimpangan di dalam proses peradilan
pidana yang ditentukan oleh KUHAP sepanjang hal tersebut diatur secara tegas di
dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga berlakunya Asas Lex
Specialist Derogat Lex Generalis dalam proses Pengembalian Kerugian
Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi.
Adapun Teori yang digunakan dalam penelitian ini :
1. Teori Kepastian Hukum
Teori Kepastian hukum dikemukakan oleh Van Kan mengatakan bahwa
hukum bertujuan menjaga kepentingan-kepentingan tiap-tiap manusia supaya
kepentingan - kepentingan itu tidak dapat diganggu. Jelas disini dikemukakan
bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum di
dalam masyarakat. Sehingga setiap perkara harus diselesaikan melalui proses
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang
17
boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum
yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum
bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya
konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan
hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.10
2. Teori Keadilan
Teori Keadilan dikemukakan oleh John Rawls apabila dikaitkan dengan
penelitian ini menyebutkan bahwa salah satu bentuk keadilan sebagai fairness,
yaitu memandang netral kepada semua pihak yang melanggar hukum.11
Dapat
dipahami bahwa aparat penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan Negeri Singaraja
dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi di Kabupaten Buleleng
harus bersikap netral kepada semuanya tanpa memandang atribut sosial yang
melekat dalam diri individu baik jabatan, nama baik ataupun yang lainnya.
3. Teori Penegakan Hukum
Terkait pemberantasan dan penanganan tindak pidana korupsi digunakan
Teori penegakan hukum (law enforcement). Teori Penegakan hukum adalah
proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma
10
Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Peter Mahmud I), Hal. 158. 11
Sukarno Aburaera, 2013, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, Hal. 196.
18
hukum secara nyata sebagai pedoman prilaku dalam hubungan-hubungan hukum
di kehidupan masyarakat. Dalam arti luas, penegakan hukum mencakup seluruh
subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Dalam arti sempit, penegakan
hukum berarti sebagai upaya aparat penegak hukum tertentu dalam menjamin
suatu aturan hukum berjalan sebagaimana mestinya.
Aparat penegak hukum sebagaimana dijelaskan dalam penegakan hukum
dalam arti sempit yakni aparat penegak hukum yang terlibat dalam proses
tegaknya hukum itu, dimulai dari Saksi, Polisi, Penasehat Hukum, Jaksa, Hakim,
dan Petugas Sipir Pemasyarakatan.
Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum berwenang dalam melakukan upaya
pengembalian kerugian keuangan negara terkait pemberantasan dan
penanggulangan tindak pidana korupsi, hal tersebut ditegaskan dalam salah satu
poin dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi yang menginstruksikan kepada Kejaksaan Republik
Indonesia Untuk :
a. Mengoptimalkan upaya-upaya Penyidikan terhadap Tindak Pidana
Korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara;
b. Mencegah dan memberikan sanksi yang tegas terhadap penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh jaksa/penuntut umum dalam rangka
penegakan hukum;
c. Meningkatkan kerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia, Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya
penegakan hukum dan Pengembalian Kerugian Negara akibat Tindak
Pidana Korupsi.
19
Penegakan hukum dalam Tindak Pidana Korupsi dapat ditempuh dengan
berbagai jalur yakni :
a. Jalur Hukum Pidana
Jalur ini pun luas ruang lingkupnya karena seperti diketahui korupsi itu tidak
berupa korupsi materiil dan keuangan saja, tetapi juga meliputi korupsi
politik, korupsi ilmu, sastra dan seni. Pidana yang diberikan yaitu mulai dari
hukuman mati, penjara dan kurungan serta ditambah dengan pidana denda;
b. Jalur Hukum Perdata
Kemungkinan gugatan perdata terhadap para koruptor berupa ganti kerugian
keuangan kepada negara sesuai Pasal 1365 Buku ke III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer), dan terutama terhadap para koruptor yang telah
meninggal dunia. Hal ini telah diatur dalam Pasal 32, 33, dan 34 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999;
c. Jalur Hukum Administrasi
Dengan pemberian administratif kepada Pegawai Negeri Sipil yang
melakukan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri.12
Penelitian ini difokuskan terhadap penegakan hukum yang dilakukan
Kejaksaan Negeri Singaraja di jalur pidana khususnya dalam Penyidikan, Penuntutan
dan Eksekusi terkait pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana
korupsi yang dilakukan di Kabupaten Buleleng.
4. Teori Pencegahan
Terkait pembahasan rumusan masalah mengenai upaya yang dilakukan dalam
mengatasi hambatan dalam pengembalian kerugian keuangan negara digunakan Teori
Pencegahan Umum sebagaimana dikemukakan oleh Anselm Von Feurbach mengenai
psychologische zwang.
12
Andi Hamzah, Op.cit, Hal.24.
20
Teori dari Anselm Von Feurbach mengenai psychologische zwang yang
berbunyi :
“Apabila setiap orang mengerti dan tahu, bahwa melanggar peraturan hukum
itu diancam dengan pidana, maka orang itu mengerti dan tahu juga akan
dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukannya dapat digolongkan ke dalam
teori pencegahan umum. Jadi menurut teori ini tercegahlah bagi setiap orang
untuk berniat jahat sehingga di dalam jiwa orang masing-masing telah
mendapatkan tekanan atas ancaman pidana.”13
1.8.Metode Penelitian
a. Jenis penelitian
Penelitian yang digunakan didalam penelitian ini yakni penelitian
hukum empiris yang bertujuan untuk mengetahui secara langsung peranan
Kejaksaan Negeri Singaraja dalam melakukan pengembalian kerugian
keuangan negara serta hambatan yang ditemui dan upaya yang dilakukan
dalam mengatasi hambatan pengembalian kerugian keuangan negara dalam
tindak pidana korupsi di Kabupaten Buleleng dan untuk mendapatkan
informasi berupa data yang berkaitan dalam pembahasan rumusan masalah.
b. Jenis Pendekatan
Adapun mengenai jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini :
1. Pendekatan Fakta ( The Fact Approach )
Pendekatan fakta digunakan bertujuan untuk mendapatkan informasi
dari Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi Pidsus), Kepala Seksi
Inteligen (Kasi Intel) dan Jaksa yang ditunjuk untuk menangani perkara
13
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, PT Refika Aditama, Bandung, Hal. 57.
21
Tindak Pidana Korupsi terkait dalam Pengembalian Kerugian Keuangan
Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Buleleng dalam lingkup
Kejaksaan Negeri Singaraja guna menjawab permasalahan yang dirumuskan
dalam rumusan masalah.
2. Pendekatan Perundang-Undangan ( The Statute Approach )
Pendekatan Perundang-undangan digunakan bertujuan untuk
menyimpulkan mengenai ada atau tidaknya benturan antara Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan penerapannya terkait
Pengembalian Kerugian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana
Korupsi.
c. Sumber Data
Adapun mengenai bahan hukum/data yang diteliti dalam penelitian ini yakni :
1. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari informan yakni
Kasi Pidsus, Kasi Intel dan Jaksa yang ditunjuk untuk menangani perkara
Tindak Pidana Korupsi terkait Pengembalian Kerugian Keuangan Negara
dalam Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Buleleng dalam lingkup
Kejaksaan Negeri Singaraja terkait permasalahan yang di bahas dengan
melakukan penelitian lapangan (Field Research).
22
2. Data Sekunder
Data-data yang bersumber dari penelitian kepustakaan (Library
Research) yaitu data yang bersumber dari data-data yang sudah
terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum. Bahan-bahan hukum
tersebut terdiri dari :
1) Bahan Hukum Primer:
Berupa kaedah dasar (Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945), peraturan perundang-undangan, hukum yang
tidak tertulis dan yurisprudensi.14
Dalam penelitian ini
menggunakan bahan hukum primer berupa kaedah dasar dan
peraturan perundang-undangan.
2) Bahan Hukum Sekunder:
Bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer yang antara
lain berupa rancangan undang-undang, hasil penelitian, pendapat
pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa,
buku-buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum.15
Dalam
penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder berupa hasil
penelitian, buku-buku hukum dan pendapat pakar hukum.
14
Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Peter Mahmud II), Hal. 181. 15
Ibid, Hal. 182.
23
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,16
seperti Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam
penelitian ini menggunakan bahan hukum tersier berupa Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
d. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang dipakai dalam penelitian ini terkait pengumpulan data yakni :
1. Teknik Studi Dokumen
Teknik Studi Dokumen digunakan agar data yang diperoleh dari data yang
bersumber dari data kepustakaan yang relevan dengan permasalahan
penelitian dikumpulkan dengan cara membaca dan mencatat kembali data
yang dikumpulkan kemudian dikelompokkan secara sistematis.
2. Teknik Wawancara/Interview
Kegiatan wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan keterangan-
keterangan secara lisan melalui bercakap-cakap yang bermuatan tanya
jawab antara peneliti dan orang yang diteliti.17
Teknik Wawancara
digunakan agar data diperoleh melalui proses wawancara atau interview
kepada pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan penelitian di
16
Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Hal. 32. 17
Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah Alternatif,
Universitas Trisakti, Jakarta, Hal. 85.
24
lapangan yaitu Kasi Pidsus, Kasi Intel dan Jaksa yang ditunjuk untuk
menangani perkara Tindak Pidana Korupsi terkait Pengembalian Kerugian
Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi yang terjadi di
Kabupaten Buleleng dalam lingkup Kejaksaan Negeri Singaraja untuk
memperoleh kebenaran informasi dan data yang pasti.
e. Teknik Analisis
Terkait penelitian ini apabila keseluruhan data telah didapat akan di
analisis secara kualitatif atau lebih dikenal dengan analisis deskriptif
kualitatif. Dimana keseluruhan data yang terkumpul baik data primer maupun
data sekunder akan diolah dan dianalisis secara sistematis, dihubungkan
antara satu data dengan data lainnya sehingga memperoleh suatu kesimpulan
dan gambaran yang jelas dalam pembahasan masalah.