Upload
vanmien
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Manusia dalam usahanya meningkatkan kualitas dan martabat hidupnya
selalu berusaha meningkatkan keahlian dan kemampuan dirinya. Usaha yang
paling dominan dilakukan adalah melalui pendidikan. Pendidikan merupakan
suatu modal dasar yang berharga dan mengoptimalkan sumber daya manusia
secara unggul. Jika lebih diperhatikan lagi, pendidikan menjadi suatu jalan yang
dianggap paling benar dalam mengubah peradaban dan kebudayaan suatu bangsa.
Bangsa yang memprioritaskan pendidikan dalam program-program
pemerintahannya akan menjadi bangsa yang maju dan dapat bersaing di dunia
internasional. Bangsa yang memperhatikan pendidikan akan membuatnya sebagai
bangsa terdepan dalam ilmu pengetahuan dan pada gilirannya bisa menjadi
penguasa dunia karena bangsa yang pendidikan dan teknologinya maju akan
menjadi kiblat bagi bangsa-bangsa yang lain.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia, pendidikan menjadi suatu hal yang
penting sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang dasar
1945 yang mencantumkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan (Amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 1). Dilanjutkan dalam ayat 2
bahwa mengikuti pendidikan dasar merupakan kewajiban bagi setiap warga
negara dan kewajiban pemerintah membiayainya. Serta lebih jelas dalam ayat 3,
2
pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-
undang.
Perkembangan pendidikan di Indonesia saat ini belum cukup untuk dapat
dinyatakan berkualitas khususnya pendidikan matematika. Menurut kompas.com
(11 April 2012) posisi Indonesia menurut indeks pembangunan pendidikan untuk
semua tahun 2011 menurun. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA)
Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and
Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New
York, indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI)
berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di
posisi ke-69 dari 127 negara di dunia, menurun dari peringkat 65. EDI dikatakan
tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan
kategori rendah di bawah 0,80. Namun demikian, saat ini Indonesia masih
tertinggal dari Brunei Darussalam yang berada di peringkat ke-34. Brunai
Darussalam masuk kelompok pencapaian tinggi bersama Jepang, yang mencapai
posisi nomor satu dunia. Adapun Malaysia berada di peringkat ke-65 atau masih
dalam kategori kelompok pencapaian medium seperti halnya Indonesia. Posisi
Indonesia jauh lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos
(109).
3
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan 15 Agustus 2011 (dalam http://l itbangkemdiknas.net/detail.
php?id=214) menyatakan bahwa hasil keikutsertaan Indonesia mengikuti Survai
Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) yang merupakan
studi international tentang kecenderungan atau perkembangan matematika dan
sains, yang diselenggarakan oleh International Association for the Evaluation of
Education Achievement (IEA) yaitu sebuah asosiasi internasional untuk menilai
prestasi dalam pendidikan yang berpusat di Lynch School of Education, Boston
College, USA, dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan pembelajaran
matematika dan sains, dan diselenggarakan setiap 4 tahun sekali menempatkan
Indonesia pada tahun 1999, 2003 dan 2007 pada posisi yang memprihatinkan,
karena rata-rata skor siswa kelas 8 menurun menjadi 405, dibanding tahun 2003
yaitu 411. Rangking Indonesia pada TIMSS tahun 2007 menjadi rangking 36 dari
49 negara.
Adapun pada Programme for International Student Assessmen (PISA)
tahun 2000, 2003, 2006, 2009, Indonesia juga mendapatkan hasil yang tidak
menunjukkan banyak perubahan pada setiap keikutsertaan. Pada PISA tahun 2009
Indonesia hanya menduduki rangking 61 dari 65 peserta dengan rata-rata skor
371, sementara rata-rata skor internasional adalah 496 (OECD PISA 2009
database dalam http://www.moe.gov.sg/media/press/files/2010/annex-pisa-
2010.pdf)
Sementara di ajang International Mathematics Olympiad (IMO) tahun
2010, peringkat Indonesia naik ke posisi 30 setelah pada tahun sebelumnya berada
4
di peringkat ke-43 dari 104 negara. Hasil ini tentu lebih baik dari tahun
sebelumnya dan peringkat Indonesia berada di atas Meksiko, Brasilia, India,
Yunani, Belanda, Spanyol, Israel, Malaysia, Portugal, dan negara-negara
Skandinavia (Denmark, Finlandia, Swedia, Norwegia), serta beberapa negara
dengan tradisi olimpiade matematika yang mapan seperti Latvia, Slovakia,
Estonia, dan Slovenia. Lima negara di urutan teratas adalah China (total nilai
197), Rusia (total nilai 169), Amerika (total nilai 168), Korea Selatan (total nilai
156), serta Kazakhstan dan Thailand (total nilai 148). Peringkat negara-negara
ASEAN seperti Thailand berada pada urutan 5, Vietnam urutan 11, Singapura
urutan 22, Malaysia urutan 54, dan Filiphina urutan 74. (subdit kelembagan dan
peserta didik dalam http://siswapsma. org/index.php?option
=com_content&view=article&id=173:tim-olimpiade-matematikaindonesia&catid
=57:imo&Itemid=73).
Matematika memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan
dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi atau IPTEK. Rendahnya prestasi
matematika siswa Indonesia dapat menghambat kemajuan bangsa. Padahal
Marpaung (2004) berpendapat bahwa sejarah menunjukkan bahwa matematika
dibutuhkan manusia. Melalui matematika manusia dapat berhitung, bisa
memahami ruang tempat manusia tinggal, bisa memahami harga suatu barang di
toko. Melalui matematika manusia bisa mendengarkan radio, melihat televisi, naik
kereta api, pesawat terbang, mobil, berkomunikasi lewat telepon atau handphone.
Marpaung (2004) menjelaskan bahwa matematika berkembang begitu
pesat dan tidak statis seperti dugaan orang. Kemampuan berpikir manusia juga
5
berkembang. Materi matematika yang dulu dipelajari di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) sekarang dipelajari di Sekolah Dasar (SD); yang dulu dipelajari di
Sekolah Menengah Atas (SMA) sekarang dipelajari di SMP. Konsep-konsep
matematika yang dipelajari di SD adalah konsep-konsep dasar yang sangat
diperlukan agar orang dapat menyelesaikan masalah elementer yang dihadapinya
dalam kehidupan sehari-hari, seperti membeli atau menjual barang di pasar,
menukar uang, mengukur waktu dan jarak serta membuat perkiraan. Selain itu,
penguasaan konsep-konsep dasar matematika di SD sangat penting untuk
memahami matematika dan ilmu-ilmu lain yang semakin kompleks yang
dipelajari di jenjang yang lebih tinggi.
Menurut Shadiq (2007), tidak sedikit orang tua dan orang awam yang
beranggapan bahwa matematika dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan
seseorang. Jika seorang siswa berhasil mempelajari matematika dengan baik maka
siswa tersebut diprediksi akan berhasil juga mempelajari mata pelajaran yang lain.
Begitu juga sebaliknya, seorang siswa yang kesulitan mempelajari matematika
akan kesulitan juga mempelajari mata pelajaran lain.
Peran penting matematika diakui Cockcroft (1986) misalnya, yang
menulis: “It would be very difficult – perhaps impossible – to live a normal life in
very many parts of the world in the twentieth century without making use of
mathematics of some kind.” Seseorang akan sangat sulit atau tidaklah mungkin
untuk hidup di bagian bumi ini pada abad ke-20 ini tanpa sedikitpun
memanfaatkan matematika.
6
National Research Council (NRC) atau lembaga penelitian dari Amerika
Serikat (1989) telah menyatakan pentingnya Matematika dengan pernyataan
berikut: “Mathematics is the key to opportunity.” Matematika adalah kunci untuk
membuka peluang-peluang yang baru. Masih menurut NRC, bagi seorang siswa
keberhasilan mempelajari matematika akan membuka pintu karir yang cemerlang.
Bagi para warga negara, matematika akan menunjang pengambilan
keputusan yang tepat. Bagi suatu negara, matematika akan menyiapkan warganya
untuk bersaing dan berkompetisi di bidang ekonomi dan teknologi (NRC, 1989).
Hal ini dipahami karena matematika merupakan sebuah disiplin ilmu yang
mengkombinasikan antara fakta dan kemampuan berpikir logis, sistematis,
analitis, kritis dan kreatif (BNSP, 2006).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditegaskan kembali bahwa pelajaran
matematika mempunyai posisi sangat penting dalam kehidupan manusia maupun
kemajuan suatu bangsa. Demikian pula keberadaan pelajaran matematika bagi
siswa di Indonesia, karena dengan kemampuan pelajaran matematika yang baik
para siswa dapat bersaing dengan bangsa lain dalam percaturan dan persaingan
kehidupan global yang semakin kompetitif.
B. Rumusan Permasalahan
Pembelajaran matematika masih menjadi sesuatu yang cukup istimewa
dalam proses pendidikan siswa di sekolah. Hal ini dikarenakan banyaknya
penelitian yang membicarakan bahwa pemahaman matematika yang baik pada
siswa akan membantu untuk meningkatkan perkembangan sosial/emosi di
7
antaranya membangun citra diri yang positif, membantu membangun kepercayaan
diri pada siswa untuk mengikuti pelajaran di sekolah, serta menunjang siswa
dalam meraih prestasi (Ma, 1997; 1999).
Di lain pihak, matematika juga dipandang sebagai salah satu mata
pelajaran yang menjadi stresor utama dalam proses belajar di sekolah (Ormrod,
2004). Wigfield dan Meece (dalam Ormrod, 2004) menjelaskan mengenai sebab
terjadinya kecemasan terhadap mata pelajaran matematika, yaitu: (a) orang-orang
yang khawatir dengan matematika tidak percaya pada kemampuan dirinya untuk
menyelesaikan soal matematika dan (b) memiliki reaksi emosi yang negatif
terhadap soal-soal matematika, sehingga takut dan tidak menyukai matematika
secara terus-menerus.
Tingginya tingkat kecemasan dalam pembelajaran matematika mengarah
pada ketidaksukaan terhadap pelajaran matematika sehingga hal ini menurunkan
pemahaman siswa terhadap matematika. Ketidakpahaman matematika dapat
mengakibatkan terjadiya kekurangan dalam kesempatan bahkan ketidakmampuan
dalam menyelesaikan tugas sehari-hari lainnya (Jbeili, 2003).
Banyak siswa yang mengalami kecemasan matematika memiliki sedikit
kepercayaan pada kemampuan dirinya untuk mengerjakan matematika dan
cenderung sedikit untuk mengambil mata pelajaran yang berkaitan dengan
matematika atau berhitung, serta sangat membatasi pilihan karir (Scarpello, 2007).
Selain itu, berbagai penelitian menunjukkan bahwa kecemasan matematika
berpengaruh negatif terhadap kesuksesan siswa (Hembree, 1990; Thomas,
8
Higbee, 1999), proses belajar (Sloan, Daane, & Geisen, 2002; Vinson, 2001)
masalah yang sering dijumpai oleh pendidik (Bursal &Paznokas, 2006).
Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan
Maret dan April 2011 terhadap 30 siswa; 12 siswa laki-laki dan 18 siswa
perempuan dari dua Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota Kediri, ditemukan
adanya indikasi bahwa umumnya para siswa mengalami kecemasan terhadap
pelajaran matematika. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara convenience sampling, peneliti mengambil subjek karena mereka ingin dan
bersedia untuk diteliti, yang berasal dari siswa dari dua Sekolah Menengah Atas
(SMA) kota Kediri. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
secara terstruktur. Penelitian pendahuluan ini dilakukan dengan mengajukan enam
pertanyaan, sebagai sampel untuk mengungkap kecemasan pada mata pelajaran
matematika, yang meliputi komponen kecemasan tes (3 pertanyaan) dan
komponen kecemasan matematika (3 pertanyaan). Adapun indikator-indikator
yang menunjukkan bahwa siswa mengalami kecemasan pada mata pelajaran
matematika, secara urut adalah: (1) kalau berhadapan dengan soal matematika,
pikiran seolah menjadi kosong dan tidak mengerti bagaimana mengerjakan soal
tersebut (86, 7%), (2) ketenangan saat menghadapi tes matematika (40,2%), (3)
berpikir tentang tes matematika yang akan datang satu hari sebelumnya (55,1%),
(4) tidak nyaman apabila guru menerangkan materi berkaitan tentang hitungan
(85,7%), (5) pelajaran matematika adalah pelajaran yang mencemaskan, karena
hanya ada satu jawaban yang benar, dan jika tidak bisa menemukan jawabannya
9
berarti gagal (46,6%), (6) pelajaran matematika adalah pelajaran yang
membosankan karena tidak terkait dengan kehidupan nyata (52,8%).
Penelitian pendahuluan juga dilakukan dengan melakukan wawancara
terhadap dua guru bidang studi, dua guru bimbingan dan konseling sekolah dan
dua kepala sekolah. Wawancara di lakukan pada bulan Maret dan April 2011 di
dua Sekolah Menegah Atas (SMA) di kota Kediri yaitu SMA Negeri 1 dan SMA
Negeri 2. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pelajaran yang paling ditakuti
dan dicemaskan adalah pada pelajaran matematika dengan indikasi siswa yang
datang dan melakukan konsultasi terhadap guru adalah mata pelajaran matematika
karena pelajaran matematika menurut siswa adalah pelajaran berhitung dan
pelajaran ilmu pasti sehingga memerlukan ketelitian dan ketekunan dalam
menjawab soal.
Beberapa peneliti menjelaskan bahwa kecemasan matematika di mulai di
Sekolah Dasar (Leung & Cohen, 2004). Peneliti lain (Brady & Bowd, 2005;
Haynes, Mullins & Stein, 2004) mengidentifikasi sumber kecemasan mulai
terbentuk pada siswa bersamaan dengan terbentuknya kegelisahan pada diri siswa,
dan sebagian besar kecemasan matematika dialami di tingkat perguruan tinggi dan
di mulai di sekolah dasar atau menengah.
Menurut Bandura, (1986), sebagai pencetus teori kognitif sosial
mendefinisikan perilaku manusia sebagai suatu interaksi triadik, dinamis, dan
resiprokal antara faktor-faktor individual, perilaku, dan lingkungan. Lebih detail
Bandura menyatakan bahwa fungsi-fungsi yang ada pada diri manusia dijelaskan
melalui model “tiga kesatuan yang saling mempengaruhi” (triadic reciprocality),
10
bahwa perilaku, kognisi dan faktor-faktor individual yang lain, serta peristiwa-
peristiwa yang terjadi di lingkungan, semuanya beroperasi sebagai faktor-faktor
penentu secara utuh (integrating determinants) dan manusia dalam berperilaku
tidak digerakkan oleh kekuatan-kekuatan internal atau hanya dibentuk oleh
stimulus eksternal secara otomatis (Bandura, 1986).
Interaksi dapat dikonseptualisasikan dengan berbagai cara yang
merefleksikan alternatif pandangan tentang bagaimana beroperasinya proses
kausalitas antara perilaku, individu, dan peristiwa lingkungan. Dalam gagasan
interaksi satu arah (unidirectional), individu dan situasi masing-masing dipandang
sebagai kesatuan yang independen yang mempengaruhi perilaku. Menurut
Bandura (1977) faktor-faktor individual dan lingkungan tidaklah berfungsi
sebagai determinan yang independen, melainkan masing-masing saling
menentukan satu sama lain. Adapun konsep interaksi yang kedua mengakui
bahwa pengaruh individu dan lingkungan adalah dua arah (bidirectional),
walaupun tetap mempertahankan pandangan tentang perilaku yang satu arah.
Dalam analisisnya, individu dan situasi atau lingkungan, digambarkan sebagai
penyebab perilaku yang saling tergantung satu sama lain, seakan-akan perilaku itu
hanyalah suatu produk yang sama sekali tidak menggambarkan adanya proses
kausalitas. Dalam pandangan belajar sosial, interaksi dianalisis sebagai suatu
proses determinisme timbal balik (reciprocal determinism ). Perilaku, faktor-
faktor individual, dan faktor-faktor lingkungan semuanya beroperasi sebagai
determinan yang satu sama lain saling kait-mengkait (interlocking determinants ).
11
Pengaruh relatif dari masing-masing faktor yang interdependen ini akan
berbeda dalam situasi dan kondisi (setting) yang berbeda, dan untuk perilaku yang
berbeda. Pada suatu saat faktor lingkungan mungkin menjalankan fungsi
pembatasan yang kuat terhadap perilaku, akan tetapi pada saat yang lain faktor
individual menjalankan fungsi regulator penolak peristiwa -peristiwa yang terjadi
di lingkungan. Menurut teori ini, perilaku individu secara khas ditentukan oleh
masing-masing dari ketiga faktor tersebut. Walaupun teori kognitif sosial
membenarkan gagasan kelompok teori behaviorial bahwa konsekuensi respon
mengantarai perilaku, namun teori ini mengatakan bahwa perilaku secara luas
diregulasi melalui proses kognitif. Oleh karena itu, konsekuensi dari suatu
perilaku digunakan untuk membentuk harapan dari perilaku tersebut. Hal ini
merupakan kemampuan untuk membentuk harapan-harapan yang memberi
kemampuan pada manusia untuk memprediksi hasil dari perilakunya, sebelum
perilaku tersebut dilaksanakan (Alsa, 2005).
Mengacu pada pendapat teori kognitif sosial, kecemasan matematika pada
siswa dapat terjadi melalui interaksi triadik, dinamis, dan resiprokal antara faktor-
faktor individual, perilaku, dan lingkungan. Perilaku individu secara khas
ditentukan oleh masing-masing faktor tersebut. Walaupun teori kognitif sosial
membenarkan gagasan kelompok teori behaviorial bahwa konsekuensi respon
mengantarai perilaku yang dalam penelitian ini adalah kecemasan matematika,
namun teori ini mengatakan bahwa perilaku secara luas diregulasi melalui proses
kognitif.
12
Berdasarkan teori kognitif sosial, seorang individu hidup dalam
lingkungan sosial yang lebih luas, dan dirinya tidak mungkin untuk melepaskan
lingkungan tersebut. Individu berkembang dan melakukan proses belajar tidak
hanya dipengaruhi oleh diri individu sendiri namun dipengaruhi juga oleh
berbagai sistem di sekitar individu tersebut tinggal. Oleh karena itu, keunikan
individu dalam belajar sangat ditentukan juga oleh daya pengaruh dari sistem-
sistem yang ada di sekitar individu.
Menurut Bronfenbrenner (Santrock, 2006), perkembangan individu
dimulai dari sistem lingkungan yang terdekat hingga sistem lingkungan yang
cukup jauh dari individu. Kondisi individu berinteraksi secara lebih intensif
dengan lingkungan yang terdekat adalah berasal dari keluarga, teman sekolah,
tetangga dan guru sekolah.
Penelitian Furman dan Buhrmester (1992) serta Wentzel, (1998)
menunjukkan bahwa konteks sosial memainkan peran penting dalam menentukan
hasil prestasi dan tidak berprestasinya siswa termasuk kecemasan matematika
siswa. Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa orangtua, guru, dan
teman sebaya dapat menjadi sumber pengaruh yang signifikan terhadap prestasi
belajar maupun kecemasan matematika.
Hasil penelitian Silva, Tadeo, Reyes dan Dadigan (2006) menunjukkan
bahwa dukungan orangtua memberikan kontribusi bagi keberhasilan anak-anak
sementara yang tidak mendukung akan menambah masalah akademik. Sementara
itu, Kindermann dan Skinner (2008) berpendapat bahwa keterlibatan teman
membuat kontribusi langsung dalam keberhasilan belajar. Teman dapat
13
memberikan bantuan instrumental, dengan membantu memberi pemahaman atau
memberikan les pada teman-teman yang lain, dengan membantu teman
mengerjakan tugas, atau belajar bersama.
Selain dukungan akademik orangtua dan teman sebaya berpengaruh
terhadap kecemasan matematika, Xin, Jitendra dan Deatline-Buchman (2005)
memaparkan bahwa faktor lain yang dapat menjelaskan lemahnya kemampuan
memecahkan masalah dalam pembelajaran matematika adalah kurang efektifnya
strategi yang digunakan oleh pengajar. Sementara itu, Oxford dan Vordick (2006)
menyebutkan bahwa salah satu penyebab kecemasan matematika karena
kecenderungan pengajar yang monoton dalam menggunakan metode
pembelajaran. Untuk itulah perlu dicermati pembelajaran matematika yang lebih
memperhatikan aspek psikologis siswa.
Menurut Sastrapratedja (2001), proses belajar mengajar merupakan
transaksi manusiawi yang sangat halus yang menuntut kepekaan dan ketrampilan
dalam hubungan antar manusia. Hubungan ini merupakan hubungan yang rapuh
karena kecemasan yang ada pada siswa atau ancaman yang datang dari guru atau
perasaan ketergantungan pada pengajar dari siswa. Sikap yang diperlukan adalah
bahwa guru mampu menerima siswa sebagai pribadi yang menyeluruh, mampu
berpikir rasional secara konstruktif, positif, dapat diterima dan mempunyai
potensi-potensi.
Sriyanto (2004) menjelaskan bahwa, seringkali keberhasilan proses belajar
mengajar ditentukan oleh pola relasi dan interaksi yang terjalin antara guru dan
siswa dalam kelas. Pola interaksi dan relasi biasanya sangat tergantung pada
14
guru. Pola interaksi dan relasi yang positif dapat tercipta jika guru dan siswa bisa
saling menerima keberadaan satu sama lain. Guru yang mampu menghadirkan diri
sebagai sosok teman yang akrab, familiar, mau terbuka untuk mendengarkan, dan
membantu setiap kesulitan yang dihadapi siswa kiranya akan mudah diterima oleh
siswa daripada guru yang menampilkan diri sebagai sosok yang galak, seram,
menakutkan, dan sering menghukum siswa. Kedekatan secara personal antara
guru dan siswa akan membuat siswa lebih bisa terbuka mengungkapkan kesulitan
dan persoalan yang dihadapinya dalam pembelajaran matematika.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses belajar mengajar berupa
interaksi yang positif dan menyenangkan dengan guru dapat mengurangi
kecemasan matematika (Alsup, 2005; Leung & Cohen,2004; Stevens, 2010).
Interaksi positif dapat terbentuk melalui terciptanya suatu iklim kelas yang
mendukung. McNaught (2007) menunjukkan bahwa guru yang baik adalah guru
yang mampu menciptakan lingkungan belajar, dengan menjadikan siswa memiliki
harapan yang tinggi dan positif tentang belajar siswa, kesesuaian antara perilaku
dan yang diucapkan, dan menciptakan budaya yang mendorong siswa untuk
belajar.
Sinclair dan Fraser (2002) berpendapat bahwa, iklim kelas yang baik
ditentukan oleh faktor antara lain (a) kerjasama, sejauh mana siswa bekerja sama
dengan siswa lain dalam kegiatan kelas; (b) dukungan guru, sejauh mana guru
membantu, mendorong, dan tertarik pada siswa; (c) orientasi tugas, sejauh
mana kelas menetapkan tugas dan kelengkapan tugas; (d) keterlibatan,
sejauh mana siswa berpartisipasi aktif dalam kegiatan kelas atau diskusi; dan (e)
15
kesamaan, sejauh mana guru memperlakukan semua siswa sama termasuk pujian
dan pertanyaan.
Berdasarkan pendapat Sinclair dan Fraser (2002) kerjasama dalam kelas
dapat dibangun melalui berbagai strategi pembelajaran seperti pembelajaran
kooperatif, pembelajaran konstruktivisme dan sebagainya. Pembelajaran
kooperatif dapat membantu siswa menurunkan tingkat kecemasan matematika
yang tinggi (Cates & Rhymer, 2003; Furner, Yahya, & Duffy, 2005). Sebagian
besar teknik pembelajaran kooperatif efektif untuk diterapkan dalam berbagai
bidang studi dan berbagai tingkatan umur siswa. Berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa struktur kooperatif dibandingkan dengan struktur kompetisi
dan usaha individual, lebih menunjukkan komunikasi yang lebih efektif dan
pertukaran informasi di antara siswa, saling membantu tercapainya hasil belajar
yang baik, lebih banyak bimbingan perorangan, berbagi sumber diantara siswa,
perasaan terlibat yang lebih besar, berkurangnya rasa takut akan gagal, dan
berkembangnya sikap saling percaya di antara para siswa (Suparno, 2000).
Selain faktor lingkungan yang berasal dari dukungan akademik dan
strategi pembelajaran atau lingkungan pembelajaran serta iklim kelas, kecemasan
matematika dapat terjadi karena pengaruh efikasi diri individu yang rendah (Akin
& Kurbanoglu, 2011; Bourquin, 1999; Pajares & Graham, 1999). Seseorang
dengan efikasi diri rendah menganggap dirinya pada dasarnya tidak mampu
mengerjakan segala sesuatu yang ada disekitarnya sedangkan pada seseorang
dengan efikasi diri tinggi percaya bahwa dirinya mampu melakukan sesuatu untuk
mengubah kejadian-kejadian disekitarnya. Orang dengan efikasi diri yang rendah
16
cenderung akan mudah menyerah ketika dihadapkan pada situasi dan persoalan
yang sulit, sementara orang dengan efikasi diri yang tinggi akan berusaha lebih
keras untuk mengatasi tantangan yang ada (Chemers, Hu, & Garcia, 2001).
Efikasi diri memainkan satu peran penting dalam memotivasi perilaku untuk
menyelesaikan pekerjaan yang menantang dalam kaitannya dengan pencapaian
tujuan tertentu (Chemers, et al., 2001).
Menurut Judge dan Erez (2001), efikasi diri dapat membawa pada perilaku
yang berbeda di antara individu dengan kemampuan yang sama karena efikasi diri
mempengaruhi pilihan, tujuan, pengatasan masalah, dan kegigihan dalam
berusaha. Sementara menurut Wolters et al., (1996) efikasi diri mampu mengatasi
perasaan ketegangan dan kecemasan yang mengganggu yang berhubungan dengan
manipulasi angka dan pemecahan masalah matematika dalam berbagai kehidupan
dan situasi akademis.
Beberapa penelitian yang lain menunjukkan bahwa efikasi diri
berpengaruh positif terhadap prestasi akademik (Bandura, 1997; Bandura,
Barbaranelli, Caprara, & Pastorelli, 1996; Gore, 2006; Kahn & Nauta, 2001;
Pajares, 1996; Zimmerman, Bandura, & Martinez-Pons, 1992; Zimmerman, 2000;
Zimmerman & Kitsantas, 2007).
Faktor internal individu selain dari efikasi diri yang rendah yang
berpengaruh terhadap kecemasan matematika adalah flow. Csikszentmihalyi dan
LeFevre (1989) menamakan pengalaman flow sebagai “pengalaman optimal”
(optimal experience). Flow digambarkan sebagai keadaan psikologis perasaan
seseorang yang secara simultan efisien, secara kognitif termotivasi, dan merasa
17
bahagia'’ (Moneta dan Csikszentmihalyi 1996). Flow merupakan keadaan
psikologis yang penuh arti ketika dihadapkan pada tugas yang memerlukan
konsentrasi tinggi. Idiom umumnya adalah “meleburnya diri sendiri dalam suatu
tindakan”.
Csikszentmihalyi (1975) memulai penelitiannya tentang “flow” dengan
pertanyaan yang sederhana tentang mengapa orang-orang sering merasa terikat
dengan aktivitas walaupun tanpa penghargaan eksternal. Para peneliti lain juga
berusaha untuk memahami pertimbangan termotivasinya individu “secara
internal” pada suatu perilaku (DeCharms 1968; Deci & Ryan 1980).
Csikszentmihalyi (1975) berpendapat bahwa suatu aktivitas secara umum
memiliki aspek yang diberi nama dengan flow state atau flow experience. flow
state mempunyai satu aspek fungsional yang kuat pada saat diri individu
memerlukan konsentrasi yang tinggi dan mengoptimalkan tantangan dengan cara
mengontrol perilaku. Keadaan fungsional ini mempunyai valensi positif dan
menerangkan mengapa seseorang menjalankan tugas dengan tidak terlalu
mengharapkan penghargaan eksternal.
Melalui flow, individu secara psikologis termotivasi dan hanya melakukan
suatu kegiatan yang mendukung tercapainya tujuan (Mandelson, 2007). Bila
dikaitkan dengan kecemasan matematika, individu dengan flow yang tinggi dapat
mengurangi kecemasan tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa dukungan akademik
orangtua, dukungan akademik teman sebaya, iklim kelas, efikasi diri matematika
18
dan flow secara terpisah-pisah berpengaruh negatif terhadap kecemasan
matematika.
Hasil penelitian Vieno, Santinello, Pastore dan Perkins (2007) tentang
peran efikasi diri dalam memediasi pengaruh dukungan sosial terhadap
perkembangan remaja menemukan bahwa efikasi diri dapat memediasi pengaruh
dukungan sosial terhadap perkembangan remaja khususnya penyesuaian
psikososial siswa. Sementara hasil penelitian Canpolat (2012) menunjukkan
bahwa, efikasi diri terbukti menjadi mediasi hubungan antara iklim kelas dengan
orentasi tujuan pada pendidikan jasmani, dan secara lebih spesifik iklim kelas
yang mendukung kegiatan yang positif dapat berpengaruh terhadap tinggi
rendahnya efikasi diri siswa.
Hasil penelitian Mandelson (2007) menemukan bahwa flow dapat
memediasi hubungan antara kecemasan berprestasi dan prokrastinasi akademik
dengan prestasi akademik.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa faktor
lingkungan, yang dalam penelitian ini meliputi dukungan akademik; dukungan
dari orangtua dan teman sebaya, iklim kelas akan berpengaruh terhadap
kecemasan matematika. Sementara faktor internal yang ada pada individu berupa
efikasi diri matematika dan flow dapat memperkuat atau memperlemah pengaruh
dukungan akademik, baik dukungan dari orangtua maupun teman sebaya serta
iklim kelas terhadap kecemasan matematika.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa pelajaran
matematika sangat penting dalam menciptakan kesejahteraan dan kemajuan
19
kehidupan manusia terutama pada diri siswa. Sementara itu masih banyak pula
sebagian siswa yang mengalami dan mengganggap pelajaran matematika itu
dengan penuh kesulitan dan bahkan mengalami kecemasan.
Mengacu pada pendapat teori kognitif sosial, kecemasan matematika
terjadi karena berasal dari faktor lingkungan seperti dukungan akademik keluarga,
teman sebaya dan iklim kelas serta karena faktor individu seperti diri matematika
dan flow yang rendah. Posisi efikasi diri matematika dan flow dapat menjadi
mediasi antara faktor lingkungan seperti dukungan akademik keluarga, teman
sebaya dan iklim kelas terhadap kecemasan matematika.
Mengkaitkan faktor lingkungan seperti dukungan akademik keluarga,
teman sebaya dan iklim kelas baik langsung maupun tidak langsung melalui
efikasi diri matematika dan flow terhadap kecemasan matematika menjadi satu
kajian psikologi pendidikan yang menarik. Meski demikian, sepengetahuan
penulis belum ada penelitian yang secara spesifik membahas tentang tema
tersebut dalam wujud, skripsi, tesis ataupun disertasi. Berdasar paparan di atas,
penulis tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan
mtematika siswa SMA.
Secara lebih operasional, uraian dari permasalahan penelitian ini adalah:
1. Apakah dukungan akademik orangtua, dukungan akademik teman sebaya dan
iklim kelas berpengaruh langsung terhadap kecemasan matematika ?, dan
2. Apakah efikasi diri matematika dan flow dapat menjadi mediator pengaruh
dukungan akademik orangtua, dukungan akademik teman sebaya, dan iklim
kelas terhadap kecemasan matematika siswa SMA ?,
20
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menguji apakah dukungan akademik orangtua, dukungan akademik
teman sebaya dan iklim kelas berpengaruh langsung terhadap kecemasan
matematika.
2. Untuk menguji apakah efikasi diri matematika dan flow dapat menjadi
mediator pengaruh dukungan akademik orangtua, dukungan akademik teman
sebaya, dan iklim kelas terhadap kecemasan matematika siswa SMA.
Adapun manfaat yang diharapkan dan didapatkan dari penelitian adalah:
1. Manfaat teoretis berupa sumbangan bagi pengembangan teori tentang peran
faktor lingkungan berupa dukungan akademik orangtua, dukungan akademik
teman sebaya, iklim kelas serta faktor individu berupa efikasi diri matematika
dan flow terhadap kecemasan matematika siswa SMA.
2. Manfaat praktis berupa hasil penelitian yang dapat digunakan sebagai langkah
awal dalam membuat rancangan intervensi perilaku kecemasan matematika
siswa SMA, paling tidak untuk membuat pertimbangan dalam menyiapkan
dan mengembangkan lingkungan dan aspek psikologis yang dapat mengurangi
kecemasan matematika pada siswa SMA.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai kecemasan matematika sangatlah menarik dan telah
banyak dilakukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Penelitian
mengenai kecemasan matematika di ketahui sudah banyak, dengan masing-
21
masing peneliti menginvestigasikan dari sudut pandang yang berbeda-beda,
dengan variabel dan karakteristik subjek yang beraneka ragam dan lokasi
penelitian serta menghasilkan yang berbeda-beda.
Kuntoro (2007) melakukan penelitian dengan judul “Hubungan
Karakteristik Guru dengan Kecemasan Matematika”. Hasil penelitian ini
menemukan bahwa karakteristik guru yang efektif memiliki korelasi yang sangat
signifikan (dengan derajat kepercayaan <.01) dengan kecemasan matematika dan
ketiga dimensinya (kecemasan pada pelajaran matematika, kecemasan pada tes
matematika, dan kecemasan pada tugas matematika). Namun ada dua sub dimensi
dari karakteristik guru efektif yang tidak memiliki korelasi sama sekali dengan
kecemasan matematika maupun dimensi-dimensinya, yaitu: guru yang hangat dan
humoris (dimensi 1) serta guru yang cekatan (dimensi 3). Dari karakteristik guru
efektif yang memiliki korelasi tersebut juga tidak semuanya benar-benar memiliki
kontribusi terhadap kecemasan matematika dan ketiga dimensinya.
Kusumawati (2005) meneliti siswa kelas V SD Karang Tengah 6 dan 7
Ciledug Kota Tangerang sebanyak 100 siswa, dengan judul “Hubungan Sikap
Siswa terhadap Pembelajaran Matematika dengan Kecemasan Matematika kelas
V SDN Karang Tengah 6 dan Karang Tengah 7 Ciledug Kota Tangerang”. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sikap siswa terhadap
pembelajaran Matematika dengan kecemasan matematika siswa kelas V SD.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan
menggunakan jenis penelitian korelasional. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa semakin positif sikap siswa terhadap pembelajaran matematika maka akan
22
semakin rendah tingkat kecemasan dalam menghadapi pelajaran atau ujian
matematika. Semakin rendah sikap siswa terhadap pembelajaran matematika
maka akan semakin tinggi tingkat kecemasan dalam menghadapi pelajaran atau
ujian matematika.
Wahyuningsih (2011) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh
Bibliotherapy Terhadap Penurunan Kecemasan Matematika”. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari bibliotherapy terhadap penurunan
kecemasan matematika. Guna mendeskripsikan secara mendalam pengaruh
bibliotherapy terhadap penurunan kecemasan matematika, maka penelitian ini
menggunakan pendekatan quasi eksperimen. Subjek dalam penelitian ini berasal
dari SMAN 1 Cawas kabupaten Klaten kelas XII program regular yang berjumlah
15 orang siswa yang termasuk dalam kategori memiliki kecemasan matematika
tinggi berdasarkan skala kecemasan matematika, dan memiliki kecemasan tinggi
berdasarkan skor TMAS. Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen one
group design. Teknik yang digunakan untuk menganalisis data hasil pengukuran
menggunakan uji t-test (paired sample t-test). Berdasarkan hasil uji t-test dan hasil
rerata dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan pemberian
bibliotherapy terhadap kecemasan matematika. Dengan demikian dapat
disimpulkan juga bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa bibliotherapy
berpengaruh terhadap penurunan kecemasan matematika dapat diterima.
Akin dan Kurbanoglu (2011) melakukan penelitian dengan judul “The
Relationships Between Math Anxiety, Math Attitudes, And Self-Efficacy: A
Structural Equation Model”. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan
23
antara kecemasan matematika, sikap matematika, dan efikasi diri. Subjek
penelitian berjumlah 372 mahasiswa yang terdaftar di Universitas Sakarya, Turki.
Pengambilan data dengan menggunkan skala kecemasan matematika yang telah
diperbaiki, skala sikap matematika, dan skala efikasi diri. Menggunakan analisis
korelasi, kecemasan matematika ditemukan berhubungan negatif dengan sikap
positif dan efikasi diri dan berhubungan positif terhadap sikap yang negatif. Di
sisi lain, sikap positif ditemukan berhubungan positif dengan efikasi diri dan
berhubungan negatif dengan sikap yang negatif. Hasil analisis jalur, sikap positif
dapat memprediksi secara positif dan sikap negatif dapat memprediksi secara
negatif oleh efikasi diri. Demikian juga efikasi diri dan sikap positif dapat
memprediksi kecemasan matematika secara negatif dan sikap negatif dapat
memprediksi kecemasan matematika dengan cara yang positif.
Alexander (2010) melakukan penelitian dengan judul “Effective Teaching
Strategies For Alleviating Math Anxiety And Increasing Self-Efficacy In
Secondary Students”. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kecemasan
matematika dapat didikurangi dengan intervensi secara langsung seperti terapi
relaksasi, atau tidak langsung, dengan gaya pengajaran dan pembelajaran
kooperatif.
Iossi (2009) meneliti tentang tingkat kecemasan matematika dan hasil
kinerja pada komunitas mahasiswa yang menggunakan dua bahasa dan satu
bahasa yang mengambil matakuliah Aljabar. Peserta (N = 618, 250 pria, 368
perempuan; 361 partisipan yang menggunakan satu bahasa, 257 dua bahasa).
Pengambilan data dengan menggunakan skala kecemasan matematika yang
24
disingkat (Amas) dan demografi. Mahasiswa yang menggunakan dua bahasa dan
yang menggunakan satu bahasa dihasilkan sebanding dengan nilai Amas (20,6
dan 20,7, masing-masing) dan proporsi yang sebanding pada kecemasan
matematika (50% dan 48%, masing-masing). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa siswa yang menggunakan dua bahasa dan satu bahasa mendapatkan
kecemasan matematika sama dan bahwa kecemasan matematika memiliki asosiasi
yang sama dengan ukuran kinerja, meskipun ada perbedaan pada variabel
prediktor.
Stevens (2010) melakukan penelitian dengan judul “The Effects of Gender
and Teaching Method on Secondary Students’ Mathematics Anxiety”. Tujuan
penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah metode pembelajaran kooperasi
berpengaruh terhadap kecemasan matematika pada siswa SMA dibandingkan
dengan metode pembelajaran secara langsung. Perbedaan gender juga dianalisis
dalam penelitian ini. Tiga hipotesis yang dibangun melibatkan perbedaan di antara
metode pengajaran dan efek perbedaan gender pada kecemasan matematika, dan
hubungan antara metode mengajar dan jenis kelamin. Peserta termasuk siswa
SMA dan terdaftar dalam kursus matematika. Sebagian besar siswa berasal dari
keluarga yang lebih rendah status sosial ekonomi dan tinggal di sebuah
komunitas, kecil pedesaan di negara Amerika Serikat bagian tenggara. Adapun
untuk pengambilan data menggunakan Skala Kecemasan Matematika. Data yang
diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan ANCOVA. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa metode pengajaran yang langsung berdampak pada
kecemasan matematika pada siswa yang diajarkan serta dapat menurunkan tingkat
25
kecemasan. Jenis kelamin tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara
statistik pada kecemasan matematika, juga tidak ada hubungan antara metode
mengajar dan jenis kelamin. Penelitian ini secara sosial signifikan karena
memberikan data statistik di bidang kecemasan matematika dan menunjukkan
bahwa instruksi langsung membantu para mahasiswa menurunkan kecemasan
mereka.
Parks (2009) meneliti siswa dengan kesulitan belajar atau Learning
Disabilities (LD) dan kelainan perhatian serta hiperaktif atau Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD), dengan judul “Possible Effects of Calculators
on the Problem Solving Abilities and Mathematical Anxiety of Students With
Learning Disabilities or Attention Deficit Hyperactivity”. Tujuan penelitian ini
adalah melihat pengaruh penggunaan kalkulator pada kemampuan pemecahan
masalah dan tingkat kecemasan dari 3 kelompok siswa SMP yang mengalami LD,
ADHD, dan kelompok kontrol. Melalui analisis korelasi parsial, penelitian ini
menunjukkan bahwa siswa LD dan ADHD menunjukkan kemampuan ketrampilan
pemecahan masalah yang rendah dan kecemasan yang lebih tinggi dari teman
sebayanya. Penggunaan kalkulator tidak menunjukkan dampak yang signifikan
pada kecemasan siswa atau kemampuan memecahkan masalah, juga tidak ada
interaksi yang signifikan antara penggunaan kalkulator dan status kecacatan. Studi
lebih lanjut dengan tes yang berbeda dianjurkan karena validitas konstruk yang
juga berbeda. Hasil penelitian ini memberikan informasi tentang kontribusi untuk
perubahan sosial oleh para pengajar profesional dan orang tua, bahwa yang harus
diambil ketika menetapkan penggunaan kalkulator sebagai akomodasi bagi siswa
26
yang mengalami LD dan ADHD, seperti kalkulator yang sebenarnya justru dapat
menyebabkan tingginya tingkat kecemasan.
Penelitian kecemasan matematika di Negara Indonesia memang sudah
banyak dilakukan seperti yang telah dilakukan Kuntoro (2007) yang melihat dari
karakteristik Guru, penelitian kusumawati (2005) yang meneliti siswa kelas V SD
berdasarkan sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan kecemasan
matematika, Wahyuningsih (2011) melakukan penelitian eksperimen untuk
melihat pengaruh dari bibliotherapy terhadap penurunan kecemasan matematika.
Penelitian di luar negeri seperti yang dilakukan oleh Akin dan
Kurbanoglu (2011) seperti tersebut di atas memang di antaranya menguji peran
efikasi diri sebagai variabel bebas terhadap kecemasan matematika, tapi penelitian
mereka tidak dalam konteks Sekolah Menengah Atas (SMA) melainkan di
Perguruan Tinggi di Turki.
Sepanjang pengetahuan peneliti, belum pernah ada penelitian sebelumnya
yang berusaha menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kecemasan
matematika ditinjau teori kognitif sosial dari perpaduan faktor lingkungan,
meliputi: (1) dukungan akademik orangtua; (2) dukungan akademik teman
sebaya; dan (3) iklim kelas serta dari faktor individu meliputi: dan (1) efikasi diri
matematika dan (2) flow. Penelitian ini menjadi lebih spesifik dengan perbedaan
posisi variabel, dan dengan mengambil subjek siswa SMA di Indonesia. Dengan
demikian, menurut peneliti, topik penelitian ini, masih dapat dianggap asli.