Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
B A B I
P E N D A H U L U A N
1. Latar Belakang Masalah
Upaya seseorang memenuhi kebutuhannya dilakukan dengan cara
menagadakan hubungan hukum dengan seseorang yang lain. Dalam
mengadakan hubungan hukum ini timbul hak dan kewajiban masing-masing.
Hubungan hukum ini timbul karena peristiwa hukum sebagai perbuatan
manusia atau karena kejadian alamiah. Sebagai akibat kejadian alamiah
missal kelahiran, kematian dan kedaluwarsa, yang masing-masing kejadian
menimbulkan akibat hukum. Kelahiran menimbulkan akibat hukum berupa
kewajiban orang tua untuk memelihara dan menafkahi anak secara layak.
Sebaliknya anak mempunyai hak untuk dipelihara dan dicukupi kebutuhan
hidupnya yang layak. Demikian juga kematian menimbulkan keadaan si-mati
menjadi meluang (boedel). Timbul hak dan kewajiban bagi ahli waris si-mati
dan harta peninggalan (boedel) si-mati atau pewaris. Kadaluwarsa
mempunyai akibat hukum bagi seseorang atas perolehan hak milik ataupun
kewajiban baginya. Kematian, kelahiran dan kadaluwarsa menimbulkan
akibat hukum tanpa diperjanjikan. Sedangkan peristiwa hukum yang
menimbulkan hubungan hukum karena perbuatan manusia, baik perbuatan
manusia menurut hukum ataupun perbuatan manusia yang melawan hukum.
Berkaitan dengan hubungan hukum atau perikatan (verbintenies)
Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat BW
dari kata Burgerlijk Wetboek) menyebutkan tiap-tiap perikatan dilahirkan baik
karena perjanjian atau karena undang-undang dan oleh masyarakat diakui
1
dan diberi akibat hukum, sehingga perikatan yang terjadi antara orang yang
satu dengan orang yang lain itu disebut hubungan hukum (legal relation).
Dengan demikian perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara
orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa dan
keadaan serta dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang
hukum harta kekayaan (law of property), bidang hukum waris (law of
succession) dan bidang pribadi (personal law).
Menurut ketentuan dalam pasal 1233 BW, bahwa perikatan dapat
timbul balik karena perjanjian maupun karena Undang-Undang. Dari
ketentuan pasal ini, maka dapat diketahui bahwa sumber dari suatu perikatan
itu adalah perjanjian dan Undang-Undang. Dalam perikatan yang timbul
karena perjanjian, pihak-pihak dengan sengaja dan bersepakat saling
mengikatkan diri, dalam perikatan maka timbul hak dan kewajiban pihak-
pihak yang perlu diwujudkan. Hak dan kewajiban ini berupa prestasi, pihak
debitur berkewajiban memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas
prestasi. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian ini, kedua belah
pihak yaitu kreditur dan debitur selalu bertindak aktif untuk mewujudkan
prestasi itu. jika salah satu tidak aktif, maka sulitlah prestasi tersebut untuk
diwujudkan. Prestasi merupakan tujuan pihak-pihak yang mengadakan
perikatan. Karena itu dalam perikatan yang timbul karena perjanjian tidak
mungkin ada persetujuan yang datang dari satu pihak saja atau yang disebut
dengan perjanjian sepihak.
Adapun perikatan yang timbul karena Undang-Undang ini diatur
dalam pasal 1352 BW dan dalam pasal 1353 BW ditentukan bahwa perikatan
yang timbul karena Undang-Undang sebagai akibat dari perbuatan orang
2
yang diperinci menjadi perikatan yang timbul dari perbuatan menurut hukum
dan perbuatan melawan hukum. Dan dalam perikatan dalam undang-undang,
hak dan kewajiban pihak-pihak itu ada karena ditetapkan oleh undan-undang.
selanjutnya Pasal 1234 BW mengatur tujuan perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu. Perbedaan berbuat sesuatu dengan tidak berbuat sesuatu, tidak
memerlukan banyak penjelasan. Berbuat sesuatu adalah bersifat positif,
sedangkan tidak berbuat sesuatu bersifat negative.
Perjanjian untuk berbuat (melakukan suatu perbuatan) juga secara
mudah dapat dijalankan secara riil, asal saja bagi si berpiutang (kreditur)
tidak penting oleh siapa perbuatan itu akan dilakukan, misalnya membuat
sebuah garasi, yang dengan mudah dapat dilakukan oleh orang lain. Kalau
yang harus dibuat itu sebuah lukisan sudah barang tentu perbuatan itu tidak
dapat dilakukan oleh orang lain selainnya pelukis yang menjajikan membuat
lukisan itu. Karena itu perjanjian untuk melakukan suatu perbuatan yang
bersifat sangat pribadi, tidak dapat dilakasanakan secara riil-apabila pihak
yang menyanggupi melakukan perbuatan tersebut tidak menetapi janjinya.
Pada umumnya tidak berbuat sesuatu berarti membiarkan sesuatu
atau mempertahankan sesuatu yang sebenarnya seperti tidak ada perikatan
yang harus diciptakan. Demikian pula ada suatu perikatan untuk tidak
berbuat sesuatu apabila kita berkewajiban untuk membiarkan sesuatu yang
apabila perikatan itu tidak ada akan dapat ditentang, misal dalam hal A telah
mengikatkan diri untuk mengizinkan/membiarkan B memasang reklame pada
dinding rumah A.
3
Perbedaan antara memberikan sesuatu dan berbuat sesuatu sangat
kecil. Menurut kebiasaan sehari-hari, memberikan sesuatu itu merupakan
suatu cara khusus dari suatu perbuatan. Pembentuk undang-undang melihat
Pasal 1234 BW ini, justru berlainan dengan yang tersebut di atas.
Pembentuk undang-undang bermaksud untuk memberikan arti pada
perikatan untuk berbuat sesuatu sebagai perikatan yang tidak bertujuan
untuk memberikan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Pengertian “memberi” dalam Pasal 1234 BW adalah “memindahkan
benda yang bertubuh atau tidak bertubuh dalam kekuasaan atau kenikmatan
kreditur”. Jadi tidak hanya suatu perikatan memindahkan hak milik tetapi
juga memberikan benda-benda yang dimaksudkan untuk disewakan atau
dipinjamkan.
Disamping pembagian perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, masih ada pembagian lain dari
perikatan menurut tujuannya, yaitu perikatan-perikatan yang mewajibkan
pihak debitur untuk menciptakan resultan/hasil tertentu dan perikatan-
perikatan yang mewajibkan pihak debitur untuk melakukan usaha tertentu
(inspanning verplichting), dalam pasal 1237 BW, bahwa adanya perikatan
untuk memberikan sesuatu benda tertentu, maka benda itu sejak perikatan
dilahirkan adalah menjadi tanggung jawab kreditur.
Perikatan yang bertujuan untuk memberikan sesuatu, apabila pihak
yang mempunyai kewajiban untuk memberikan sesuatu (prestasi) tersebut
ingkar janji atau lalai atau wanprestasi yang berakibat pihak yang lain
dirugikan, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat mengajukan tuntutan
4
ganti rugi kepada pihak yang wanprestasi tersebut berdasarkan ketentuan
Pasal 1243 BW jo Pasal 1244 BW.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sebagai isu hukum tuntutan ganti
rugi terhadap debitur karena wanprestasi, maka sebagai rumusan masalah
adalah:
a. Kapan debitur dinyatakan melakukan wanprestasi atau lalai?
b. Upaya apa yang dilakukan oleh kreditur dalam hal debitur melakukan
wanprestasi?
3. Penjelasan Judul
Setiap perikatan mengandung kewajiban (prestasi) bagi para pihak
atau salah satu pihak yang mengikatkan diri dalam perikatan, baik berupa
kewajiban (prestasi) untuk memberikan sesuatu, atau untuk melakukan
sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu.
Setiap perikatan memberikan sesuatu tercantum kewajiban di debitur
untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya
sebagai seorang bapak rumah tangga yang baik sampai pada saat
penyerahan. Si debitur adalah wajib memberikan ganti rugi, biaya dan bunga
kepada kreditur jika ia telah membawa dirinya dalam keadaan tidak mampu
untuk mnyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawatnya dengan
sepatutnya untuk menyelamatkannya. Debitur adalah lalai (wanprestasi) bila
ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, telah
5
dinyatakan lalai (wanprestasi) atau demi perikatannya sendiri menetapkan
bahwa debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Setiap perikatan untuk berbuat suatu atau untuk tidak berbuat
sesuatu, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya, kreditur berhak
menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan
dengan perikatan, dan dapat minta dikuarkan oleh hakim untuk menyuruh
menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuatnya dengan tidak
mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan
untuk itu.
Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya
kewajibannya, debitur setelah dinyatakan wanprestasi tetap melalaikan
kewajibannya untuk memenuhi perikatannya, debitur harus dihukum
mengganti biaya, rugi dan bunga jika debitur tidak dapat membuktikan bahwa
tidak dapat memenuhi kewajibannya karena hal-hal yang tak terduga
(overmacht), dalam hukum Anglo Saxon (Inggris) keadaan memaksa ini
dilukiskan dengan istilah “frustration” yaitu suatu keadaan atau peristiwa
yang terjadi diluar tanggung jawab pihak-pihak, yang membuat perikatan
(perjanjian) itu tidak dapat dilaksanakan sama sekali.
Dalam pasal 1243 BW disebutkan dalam bahwa ganti kerugian
karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila
debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap malalaikannya,
atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan
atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampuikannya, dan debitur
tidak dapat membuktikan itikad baiknya.
6
Menurut pasal 1338 ayat (3) BW , semua perjanjian itu harus
dilaksanakan dengan itikad baik dan norma yang dituliskan diatas ini
merupakan salah satu sendi yang terpenting dari hukum perjanjian, dan dari
pasal ini hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu
perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau
keadilan, ayat ketiga ini harus kita pandang sebagai suatu tuntutan keadilan.
Karena Hukum itu selalu mengejar dua tujuan yaitu: menjamin kepastian
(ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan.
Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang dijanjikan harus
dipenuhi (ditepati). Namun dalam menuntut dipenuhinya janji itu janganlah
orang meninggalkan norma-norma keadilan atau kepatutan, berlakulah adil
dalam menuntut pemenuhan janji dan kewajiban-kewajiban yang termaktub
dalam suatu perjanjian..
Syarat sahnya suatu perjanjian menurut ketentuan yang diatur dalam
pasal 1320 BW, yaitu, ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang
membuat perjanjian (consensus) dimana kesepakatan seia sekata antara
pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat, ada kecakapan pihak-
pihak untuk membuat perjanjian (capacity), yang umumnya dikatakan cakap
melakukan perbuatan hukum, apabila yang bersangkutan sudah dewasa,
artinya mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun umurnya belum
mencapai umur 21 tahun, ada suatu hal tertentu (a certain subject matter),
hal tertentu merupakan pokok perjanjian, dan merupakan prestasi yang perlu
dipenuhi dalam suatu perjanjian serta merupakan obyek perjanjian dan ada
suatu sebab yang halal.
7
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa
kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau
sia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.
Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang
lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik Si penjual
mengiginkan sejumlah uang sedang si pembeli mengiginkan sesuatu barang
dari si penjual, oleh karena itu syarat subyektif dan syarat obyektif
merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian.
4. Alasan Pemilihan Judul
Pemilihan judul “ Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan Somasi
Terhadap Wanprestasi Oleh Debitur” adalah didasarkan pertimbangan
bahwa pemahaman dan pentingnya somasi dalam menyatakan bahwa
debitur telah lalai memenuhi kewajibannya (wanprestasi), masih belum
banyak dipahami oleh sebagian besar masyarakat, khususnya sebagai pihak
yang terkait dalam suatu pengikatan perikatan. Bagi kreditur yang
mempunyai hak untuk mendapatkan pemenuhan perikatan oleh debitur
sesuai yang telah diperjanjikan, seringkali dikecewakan oleh debitur yaitu
tidak melaksanakan kewajibannya sesuai yang telah disepakati bersama.
Oleh karena itu, dalam penulisan ini akan dipaparkan kapan dan dalam
8
perikatan yang bagaimana somasi diperlukan, serta upaya kreditur atas
wanprestasi debitur.
5. Tujuan Penelitian
Tujuan akademik, sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Sedangkan tujuan praktis untuk menjelaskan pemahaman tentang somasi
merupakan syarat bagi debitur untuk dinyatakan wanprestasi serta upaya
kreditur terhadap wanprestasi debitur.
6. Manfaat Penelitian
Dengan pemahaman yang benar dan baik tentang somasi bagi
debitur wanprestasi, maka diharapkan akan sangat bermanfaat bagi para
pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan, sehingga dapat
melakukan tindakan-tindakan yang benar menurut hukum. Upaya-upaya
yang dapat dilakukan oleh kreditur terhadap debitur wanprestasi.
7. Metode Penelitian
a. Tipe Penelitian
Dalam upaya menjelaskan dan menggambarkan permasalahan
somasi dalam wanprestasi debitur, penelitian ini merupakan penelitian
yang bersifat yuridis normatif dengan tipe kajian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif dimaksudkan bahwa dalam penelitian ini
dilakukan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder yang
berkaitan dengan permasalahan somasi dalam wanprestasi debitur.
9
b. Pendekatan Masalah
Kajian hukum normatif menggunakan pendekatan masalah berupa
pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan
konsep (conceptual aaproach). Pendekatan perundang-undangan
dengan cara mempelajari ketentuan-ketentuan hukum dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan pokok
bahasan, khususnya yang menyangkut somasi dalam wanprestasi
debitur.
Untuk pemahaman atas ketentuan-ketentuan tersebut digunakan
pendekatan konseptual, yaitu dengan mempelajari pendapat pada ahli
hukum dalam karya ilmiah dan tulisan-tulisannya yang berkaitan dengan
pokok masalah yang dibahas yaitu tentang somasi dalam wanprestasi
debitur.
c. Bahan Hukum
Sebagai bahan hukum kajian terdiri dari bahan hukum primer dan
bahan hukum skunder. Bahan hukum primer berupa undang-undang dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan somasi
dalam wanprestasi debitur. Sedangkan bahan hukum skunder berupa
buku-buku litratur, jurnal ilmiah, internet, makalah-malakah dan referensi
lainnya yang membahas tentang somasi dalam wanpretasi debitur.
d. Langkah-langkah Kajian
10
Langkah kajian yang dilakukan ialah, pertama melakukan
pengumpulan bahan-bahan hukum dengan menginventarisasi bahan
hukum yang terkait dengan menggunakan studi kepustakaan. Kemudian
bahan hukum diklasifikasi dengan cara memilah-milah bahan hukum, dan
disusun secara sistematis agar mudah dibaca dan dipahami.
Untuk menganalisa bahan-bahan hukum digunakan metode
deduksi yaitu suatu metode penelitian yang diawali dengan menemukan
pemikiran atau ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, kemudian
diterapkan pada pokok masalah yang dibahas yang bersifat khusus.
Untuk sampai pada jawaban permasalahan digunakan penafsiran
sistematis yaitu penafsiran yang mendasarkan pada hubungan antara
peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, antara
pasal yang satu dengan pasal lainnya dalam peraturan perundang-
undangan, yaitu yang berkaitan dengan somasi dalam wanprestasi
debitur.
8. Pertanggungjawaban Sistematika
Berdasarkan rumusan permasalahan dalam penelitian ini maka penulisan
dibagi dalam 4 (empat) Bab, sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, yang mendeskripsikan latar belakang masalah
yang menjadi alasan penting kajian hukum ini dilakukan. Kemudian
dilanjutkan dengan merumuskan permasalahan sebagai titik tolak kajian
hukum ini, tujuan dan manfaat penelitian ini, mengapa dilakukan. Uraian
tentang metode penelitian sebagai instrument kajian apakah langkah-langkah
kajian dalam penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
11
Bab II Debitur Melakukan Wanprestasi atau lalai, Pembahasan
meliputi somasi merupakan syarat adanya wanprestasi debitur, dan somasi
bukan merupakan syarat adanya wanprestasi debitur. Macam perikatan
untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu
serta prestasi yang sempura dan prestasi yang tidak sempurna.
Bab III Upaya Kreditur Dalam Hal Wanprestasi Yang dilakukan
Oleh Debitur. Pembahasan meliputi upaya kreditur terhadap debitur yang
telah dinyatakan wanprestasi baik berupa pemenuhan perikatan, ganti rugi,
biaya, dan bunga sesuai dengan macam dan isi perikatannya.
Bab IV Penutup. Merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri
dari bagian kesimpulan dan bagian saran. Bagian kesimpulan merupakan
jawaban singkat terhadap permasalahan yang dirumuskan, sedangkan
bagian saran merupakan sumbangan pemikiran masukan dalam khazanah
hukum.
12
B A B II
DEBITUR MELAKUKAN WANPRESTASI ATAU LALAI
1. Somasi Merupakan Syarat Adanya Wanprestasi
Pasal-pasal 1235 s/d 1252 BW memuat ketentuan-ketentuan tentang
akibat-akibat dari tidak adanya pemenuhan kewajiban, pemenuhan kewajiban
tidak tepat pada waktunya, atau pemenuhan kewajiban yang tidak pantas
dari suatu perikatan.
Karena wanprestasi (kelalaian) mempunyai akibat-akibat yang begitu
penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan
wanprestasi atau lalai dan kalau hal itu disangkal olehnya harus dibuktikan
dimuka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa
seseorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat
kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan.
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan
dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun
perikatan yang timbul karena undang-undang, debitur dikatakan sengaja atau
lalai tidak memenuhi prestasi dalam keadaan yaitu;
a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya debitur tidak
memenuhi kewajiban yang telah disanggupi untuk dipenuhi dalam suatu
perjanjian atau tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan undang-
undang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang.
b. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru, debitur
melaksanakan atau memenuhi apa yang diperjanjikan oleh undang-
13
undang tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut kualitas yang
ditentukan dalam perjanjian atau kualitas yang ditetapkan undang-undang.
c. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya yang berarti
bahwa debitur memenuhi prestasi tetapi terlambat sesuai waktu yang telah
ditetapkan dalam perjanjian tidak dipenuhi.
Pasal 1235 BW memuat ketentuan-ketentuan bahwa dalam perikatan
untuk memberikan sesuatu benda, terkandung pula suatu kewajiban untuk
mempertahankan/membiarkannya sampai saat penyerahan yang berarti ia
harus memeliharanya sebagai seorang ayah yang baik. Tentang istilah
“memelihara” terdapat bermacam-macam pendapat. Ada yang berpendapat
harus diadakan perbedaan antara:
a. memelihara sebagai penyimpan (bewaarnemer) yaitu pemeliharaan yang
cukup baik untuk kepentingan orang yang menyimpan (bewaargever)
atas barangnya.
b. memelihara sebagai peminjam (bruiklener) yaitu pemeliharaan yang
cukup baik untuk menjamin kepentingan yang meminjamkan (bruikgever)
sendiri atas barang pinjaman itu.
Sebegitu jauh tidak ditentukan lain, setelah terjadinya perikatan, pihak debitur
segera melaksanakan pemenuhannya. Ini tidak berarti bahwa ia selalu
menderita kerugian bilamana prestasi yang diwajibkan itu tidak segera
dilaksanakan atas kehendaknya sendiri, artinya tanpa didahului dengan
somasi atau tanpa diperintahkan hakim untuk memenuhinya, apabila ada
tuntutan untuk itu, maka perhutangan yang demikian itu sudah dapat dituntut.
14
Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk
melakukan suatu perbuatan, jika dalam suatu perjanjian tidak ditetapkan
batas waktunya tetapi debitur akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu
yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Kepada
debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur menghendaki pelaksanaan
perjanjian. Kalau prestasi dapat seketika dilakukan tentunya juga dapat
dituntut seketika.
Tentang bagaimana caranya memperingatkan seorang debitur, agar
jika ia tidak memenuhi teguran itu dapat dikatakan lalai, diberikan petunjuk
oleh pasal 1238 BW yaitu: Si berutang adalah lalai, bila ia dengan surat
perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau
demi perikatannya sendiri jika ini menetapkan bahwa si berutang akan harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas
ditagih janjinya, seperti yang diterangkan diatas maka jika ia tetap tidak
melakukan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau alpa dan
terhadap dia dapat diperlakukan sanksi-sanksi sebagaimana disebutkan di
atas yaitu ganti rugi, pembatalan perjanjian dan peralihan resiko.
Apabila debitur betul-betul telah melakukan wanprestasi, maka
keadaannya lebih tidak baik. Apabila pemenuhan perikatan itu masih
dimungkinkan maka ia tidak akan dapat meloloskan diri dari pembayaran
biaya-biaya atau ongkos-ongkos untuk terciptanya tujuan dari perikatan
tersebut. Disamping itu, karena wanprestasi debitur masih terkena akibat-
akibat yang merugikan, seperti kewajiban untuk mengganti kerugian.
Pertanyaannya ialah kapan debitur dinyatakan wanprestasi?
15
Pasal 1243 BW menyatakan bahwa pada umumnya wanprestasi itu
terjadi setelah debitur dinyatakan lalai (ingebreke). Menurut Hoge Raad di
dalam arrestnya tanggal 29 Januari 1915 bahwa ingebreke-stelling bukanlah
suatu pernyataan adanya wanprestasi, akan tetapi suatu pemberitahuan
kreditur bahwa ia mengharapkan segera dipenuhinya perikatan, baik segera
mau pun pada saat yang ditetapkan dalam pemberitahuan itu.
Untuk suatu gugatan pemenuhan hanya disyaratkan, bahwa tuntutan
yang bersangkutan telah dapat ditagih. Akan tetapi gugat ganti rugi baru
dapat dikabulkan jika debitur wanprestasi. Misal : A menjual 1000 kaleng
mentega kepada B. Penyerahan belum dilakukan kerana jangka waktu
penyerahan tidak diperjanjikan, maka B segera dapat meminta pemenuhan.
Apabila B menggugat pemenuhan dimuka sidang pengadilan, maka gugatan
tersebut akan dikabulkan sedangkan gugat ganti rugi tidak akan berhasil
karena A tidak wanprestasi.
Oleh karena wanprestasi debitur merupakan syarat dikabulkannya
gugatan ganti rugi, maka penting menyelidiki timbulnya wanprestasi tersebut.
Untuk hal tersebut, kadang-kadang disyaratkan somasi dan dalam hal-hal
lain debitur wanprestasi karena hukum. Apakah gugatan ganti rugi harus
didahului dengan somasi? Apabila di dalam perjanjian tidak ditentukan
kapan prestasi harus dilakukan, tidaklah berarti bahwa debitur yang tidak
segera memenuhi kewajibannya telah wanprestasi. Seyogyanya kepada
debitur diberikan kesempatan untuk memenuhi kewajibannya. Somasi
kreditur terhadap debitur bertujuan untuk menetapkan jangka waktu bagi
debitur untuk melakukan prestasinya dengan sanksi tanggunggugat atas
16
kerugian. Wanprestasi timbul apabila jangka waktu yang wajar yang
dicantumkan dalam somasi lampau jangka waktu tanpa adanya pemenuhan.
Alasan-alasan mengapa somasi diperlukan untuk terjadinya
wanprestasi, ialah bahwa pada kebanyakan perikatan yang tidak menunjuk
suatu jangka waktu tertentu, tanpa somasi debitur dianggap memenuhi
prestasi tidak tepat pada waktunya. Bahkan bila tidak ditetapkan waktu
terakhir untuk memenuhi prestasinya, maka haruslah diterima bahwa kreditur
dapat menerima prestasinya setiap waktu dan waktu tersebut dapat diukur
sampai kapan saja tanpa adanya wanprestasi.
Untuk menghentikan agar debitur dalam menunda-nunda pemenuhan
kewajiban prestasinya tidak bertentangan dengan kehendak kreditur,
undang-undang memberikan satu upaya untuk mengingatkan debitur akan
waktu terakhir untuk pemenuhan itu dengan cara fixatie dan sebagai
pemberitahuan akan ganti rugi, apabila ia tidak memperhatikan jangka waktu
tersebut.
Untuk menetapkan jangka waktu tersebut haruslah diperhatikan
kepantasan (redelijkheid). Pada umumnya debitur harus diberi kesempatan
yang pantas/layak untuk memenuhi perikatan tersebut. Menurut Arrest Hoge
Raad tanggal 12 Maret 1925 apabila pemenuhan segera de facto
memungkinkan misalnya pada hutang yang umumnya haruslah diterima,
dengan tidak dijanjikan suatu ketetapan waktu pihak kreditur dengan
somasinya dapat menuntut supaya hutang itu segera dilunasinya.
Apabila untuk adanya prestasi itu diperlukan waktu, maka haruslah
diberikan kesempatan untuk memenuhinya. Tentang waktu ini tidaklah perlu
terlalu lama, apabila pihak kreditur tanpa melalaikan atau membiarkan
17
kepentingannya sendiri dapat mengizinkannya, cukuplah apabila untuk
tecapainya prestasi, waktu tersebut telah dipandang cukup.
Apabila dalam melaksanakan perikatan itu dibutuhkan waktu yang
cukup lama maka ini berarti bahwa pihak kreditur harus memberikan waktu
yang layak pula untuk itu. Bahkan pada umumnya pihak debitur bebas untuk
melaksanakan prestasi itu sampai pada saat ia disommer, yaitu atas dasar
bahwa ia telah memperoleh kesempatan yang cukup untuk menunaikan
kewajibannya itu. Jika jangka waktu yang diberikan itu telah singkat, maka
somasi itu kehilangkan kemanfaatannya. Akan tetapi debitur harus sedapat
mungkin berusaha untuk memenuhi prestasi itu tepat pada waktunya, setelah
ia menerima somasi.
Apakah perlu jangka waktu dalam somasi untuk memenuhi kewajiban
tersebut juga harus ditetapkan secara seksama? Hoge Raad dalam
arrestnya tanggal 7 Pebruari 1924 menyatakan, tidak perlu. Seorang penjual
yang menjual barang-barangnya tertentu secara tunai teah melever sebagian
dari barang-barangnya, sedang si pembeli masih berhutang 500 gulden yang
belum pernah dilunasinya. Pihak penjual mendesak pemenuhan
pembayaran kekurangannya dan menolak penyerahan selanjutnya sampai
kekuranganya dilunasi. Ketika pembayaran itu tidak kunjung tiba, maka
pihak pembeli digugat. Hoge Raad dalam arrest tersebut memutuskan
bahwa pihak debitur dinyatakan wanprestasi.
Akan tetapi satu tahun kemudian di dalam arrestnya tanggal 12 Maret
1924 Hoge Raad memutuskan bahwa dengan somasi yang tidak
menentukan jangka waktu tertentu untuk prestasi, debitur tidak dapat
dinyatakan wanprestasi, bahkan bilamana somasi yang demikian itu diulangi.
18
Pada ketentuan yang terakhir ini pada umumnya kita anggap bahwa somasi
itu berguna untuk memperingatkan pihak debitur agar mengetahui bahwa
pihak kreditur menghendaki prestasi itu pada suatu waktu tertentu.
Mengenai jangka waktu somasi haruslah diperhatikan, bahwa bilaman
suatu perikatan dengan ketentuan waktu, artinya bilamana untuk itu
ditentukan, bahwa ia tidak dapat ditagih untuk waktu tertentu, maka pihak
kreditur dapat memberikan peringatan untuk memenuhinya pada waktunya
tiba. Untuk debitur dapat dinyatakan wanprestasi, bilamana ia tidak dapat
memenuhi pada waktunya.
Kecuali waktu penuntutan prestasi, pihak kreditpun di dalam
somasinya harus menerangkan secara jelas apa yang dikehendakinya, dan
alasan apakah yang dijadikan dasar tuntutannya. Menurut ajaran yang
berlaku sekarang suatu gugatan yang diajukan di muka pengadilan sudah
merupakan somasi.
Bila seorang kreditur tanpa memberikan somasi, terlebih dahulu minta
kepada hakim untuk memutuskan debitur melakukan prestasi, maka
keputusan itu dapat diberikannya tanpa memberi akibat yang merugikan
debitur. Dalam prinsip, sesaat sesudah berkewajiban memberikan
persetujuan terjadi, debitur sudah berkewajiban memberikan prestasi dan
oleh karenanya belumlah terjadi wanprestasi.
Dengan mengemukakan, bahwa tanpa berperkara di depan
pengadilan, ia juga akan memenuhi kewajibannya. Debitur dalam hal yang
demikian dapat mengingkari biaya-biaya pengadilan. Debitur dapat
mengemukakan alasan ini sebab biasanya dalam perikatan-perikatan itu
tidak terdapat ketentuan waktu, yang bila dilampaui debitur dapat
19
memperpanjang waktu penyelesaian kewajibannya dengan sekehendaknya.
Dengan demikian somasi itu mempunyai arti sebagai pemberian “fixatie
termijn” yang terakhir bagi debitur untuk memenuhi prestasinya. Disamping
itu diberitahukan sekali, bahwa apabila waktu tersebut dilampaui debitur wajib
membayar ganti rugi.
Walaupun debitur yang telah melakukan wanprestasi (lalai)
diharuskan membayar ganti kerugian kepada kreditur, akan tetapi undang-
undang masih memberikan pembatasan-pembatasan yaitu dalam hal ganti
kerugian yang bagaimana yang seharusnya dibayar oleh debitur atas
tuntutan kreditur. Pembatasan-pembatasan itu sifatnya sebagai perlindungan
undang-undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak
kreditur sebagaimana dalam ketentuan yang diatur pada pasal 1247 dan
1248 BW.
Dalam memberikan jangka waktu harus diperhatikan syarat
“redelijkheid” dan “billijkheid” artinya debitur harus diberikan waktu yang
cukup panjang untuk dapat memenuhi kewajibannya. Apabila waktu yang
diberikan itu kurang cukup, maka somasi itu tidak mempunyai kekuatan
hukum, bilamana debitur memberikan bukti bahwa ia telah berusaha untuk
memenuhi prestasinya. Jangka waktu itu, harus pula ditetapkan dengan
tepat dan seksama. Jangka waktu itu harus ditetapkan dengan seksama dan
tepat untuk diberitahukan, bahwa debitur harus memberikan prestasi pada
waktu yang tepat. Bila somasi tidak memuat jangka waktu tertentu berarti
tidak “memsommer” debitur. Lain sifatnya dengan prestasi yang memang
sukar atau tidak mungkin untuk menetapkan waktu tertentu, misalnya harus
20
mengapur rumah di musim hujan dan harus selesai dalam waktu tiga hari,
dan sebagainya.
Pada perikatan dengan ketentuan waktu debitur dapat memberikan
somasi sebelum jatuhnya prestasi, dan jika pada waktunya tersebut debitur
tidak memenuhi kewajibannya, maka debitur sudah dalam wanprestasi.
Dalam somasi harus dicantumkan pula:
a. apa yang dituntut;
b. dasar tuntutan;
c. tanggal paling lambat untuk pemenuhan prestasi.
Lagipula harus jelas bahwa yang disampaikan itu adalah somasi untuk
pemenuhan dan bukan permintaan pemenuhan.
Ada pula sifat khas dari somasi, yaitu:
a. somasi itu selalu mengandung somasi untuk pemenuhan. Ini berarti
bahwa somasi tidak disyaratkan jika pemenuhan tidak mungkin lagi
dilakukan atau tidak ada gunanya sama sekali. Dalam hal-hal yang
demikian debitur karena hukum melakukan wanprestasi, disebabkan
prestasinya tidak mungkin lagi atau tidak berarti lagi.
b. somasi adalah suatu syarat untuk timbulnya wanprestasi dan tidak
merupakan “constatering” adanya wanprestasi. Oleh karena itu, somasi
dapat diungkapkan sebelum tuntutan dapat diajukan, asalkan
pemenuhan dituntut menjelang tanggal jatuh waktunya tagihan.
2. Somasi Tidak Merupakan Syarat Adanya Wanprestasi
Dalam beberapa hal somasi tidak lagi merupakan syarat adanya
wanprestasi debitur, antara lain:
21
a. Apabila dalam perikatan itu sendiri telah ditentukan bahwa pada saat
tertentu debitur dalam keadaan wanprestasi.
Dengan tidak perlu adanya somasi apriori para pihak sendiri dapat
menentukan sebelumnya bahwa dengan dilampauinya jangka waktu itu,
sudah ada wanprestasi.
b. Apabila tidak secara tegas ditentukan, maka dapatlah debitur karena
lampaunya suatu jangka waktu tertentu wanprestasi yaitu apabila
terkandung dalam sifat perikatan. Misalnya, dengan suatu “boete”
(dwangsom) yang diperjanjikan untuk tiap hari keterlambatan dalam
pemenuhan perikatan, debitur mengetahui bahwa kreditur menginginkan
dari padanya prestasi yang tepat pada waktunya, maka ia dalam
wanprestasi tanpa somasi. Juga tidak secara tegas ditentukan dalam
perjanjian. Pada perikatan yang telah tertentu waktunya untuk melakukan
prestasi, masih dibutuhkan somasi tertentu untuk wanprestasi debitur.
c. Apabila prestasi itu hanya mempunyai arti, apabila dilaksanakan dalam
jangka waktu yang telah ditentukan (Pasal 1243BW).
Disini berarti bahwa prestasi yang terlambat identik dengan tanpa
mengadakan prestasi. Misalnya, seorang nona yang memesan baju
pengantin, maka prestasinya tidak mempunyai arti lagi jika dilaksanakan
sesudah perkawinan dilangsungkan.
Tiga hal tersebut diatas (butir a, b, c) dinamakan juga wanprestasi
karena hukum (more ex re). Perbedaan antara butir a dan b disatu pihak,
dengan butir c di lain pihak, adalah pada butir a dan b pemenuhan masih
dimungkinkan. Apabila kreditur masih menghendakinya, pemenuhannya
masih dapat dituntut. Beda butir c, pemenuhan tidak lagi dimungkinkan.
22
Tuntutan pemenuhan tidak mempunyai arti lagi. Dalam hal ini dapat
dikatakan debitur tidak memberikan prestasi.
d. Apabila debitur melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban
Jika debitur telah mengikatkan diri untuk tidak berbuat sesuatu tetapi ia
tetap melakukannya, maka tanpa somasipun ia berkewajiban mengganti
rugi (Pasal 1242 BW) dan kreditur dapat menuntut penghapusan sesuatu
yang telah diperbuat berlawanan dengan perikatan, dan dapatlah dengan
ini kuasa hakim atas biaya debitur untuk meniadakan tindakan debitur
(Pasal 1240 BW).
Dengan kewajiban yang bertentangan termasuk pula melakukan
perbuatan yang menyebabkan ketidak mungkinan lagi mengadakan
prestasi. Apabila hal ini terjadi, maka suatu somasi tidak perlu lagi
berdasarkan butir c tersebut di atas. Dengan demikian, seseorang yang
berkewajiban untuk menyerahkan suatu benda tertentu dinyatakan
wanprestasi, apabila ia telah memusnahkannya atau telah tidak merawat
sepantasnya sehingga benda itu hilang.
e. Apabila debitur menolak untuk melakukan prestasi dengan alasan tidak
ada perikatan, dan kreditur dapat menerima, bahwa suatu somasi tidak
akan membawa perubahan.
f. Apabila debitur mengaku sendiri bahwa ia wanprestasi dan pengakuan
demikian ini dapat dilakukan dengan suatu pernyataan yang tegas di
dalam suatu akta atau di dalam suatu surat atau bahkan dengan diam-
diam, apabila misalnya debitur sebelum dituntut menawarkan suatu
jumlah sebagai ganti rugi.
23
g. Apabila debitur tidak memprestir sebagaimana mestinya, maka tanpa
somasi ganti rugi dapat dituntut.
Prestasi yang tidak semestinya atau tidak sempurna, berlaku sebagai
somasi. Mengenai prestasi yang tidak semestinya ada, somasi tidak
perlu karena sudah ada wanprestasi dan untuk itu orang dapat minta
pemutusan/pembubaran dan menuntut ganti rugi. Demikian pula
pendapat Hoge Raad dalam arrestnya tanggal 19 Nopember 1915,
seseorang membeli satu “partij bondvellen”, yang akan diterimanya pada
suatu hari tertentu di gudang penjual. Ketika ia datang kepadanya
diserahkan “bondvellen” yang macam dan keadaannya berlainan dengan
yang telah diperjanjikan pada saat diadakan pembelian, sehingga tidak
dapat ia gunakan. Tanpa menyatakan penjual wanprestasi, ia/pembeli
menuntut pecahnya perjanjian (ontbinding der evereenkomst) dan ganti
rugi. Penjual menolak untuk memberikan ganti rugi, karena untuk
memberikan ganti rugi karena tidak ada somasi lebih dahulu, akan tetapi
hoge Raad mengabulkan tuntutan ganti rugi tersebut.
Menurut Meyers harus diadakan perbedaan antara kerugian yang diderita
oleh kreditur karena tidak memperoleh apa yang seharusnya ia peroleh
(negatieve contract breuk), dan kerugian yang diderita kreditur pada harta
benda kekayaan yang lain karena prestasi yang tidak pantas itu (positive
contract breuk). Misalnya, dalam hal ini dimana ia seharusnya menerima
sapi yang sehat, maka negatieve contract breuk disini adalah fakta bahwa
kreditur tidak menerima sapi sehat.
Sedangkan positieve contract breuk terjadi apabila sapi sakit yang dilever
menulari sapi-sapi yang lain milik kreditur. Ganti rugi yang disebabkan
24
karena positieve contract breuk, menurut Meyers hanya dapat diganti
apabila debitur dengan suatu somasi telah diberi kesempatan untuk
memperbaiki kesalahannya dan ia tidak menggunakan kesempatan tersebut.
Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan
ketentuan-ketentuan tentang apa yang dapat dimasukkan dalam ganti rugi
tersebut. Boleh dikatakan, ketentuan-ketentuan itu merupakan pembatasan
dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi. Dengan demikian sorang
debitur yang lalai atau alpa masih juga dilindungi oleh undang-undang
terhadap kesewenang-wenangan kreditur.
Apabila terjadinya wanprestasi, maka pada umumnya kreditur dapat
meminta:
a. Pembubaran saja atau pembubaran ganti rugi.
Pembubaran dengan atau tanpa ganti rugi, terjadi pada perikatan-
perikatan yang tercipta karena perjanjian timbal balik.
b. Pemenuhan saja atau pemenuhan ditambah dengan ganti rugi.
Pemenuhan dengan atau penambahan ganti rugi yang terjadi bilamana
masih dimungkinkan. Pemenuhan yang tidak dimungkinkan lagi, apabila:
1) barang yang harus dierahkan telah punah.
Dalam hal ini kreditur dapat meminta ganti rugi sebagai ganti
pemenuhan yang terpaksa tidak dapat diperolehnya.
2) telah diadakannya pemenuhan akan tetapi terlambat.
Dalam hal ini kreditur dapat meminta ganti rugi atas keterlambatan
tersebut.
c. Pemenuhan prestasi (herstelprestatie) ditambah dengan ganti rugi
tambahan.
25
Dalam hal ini terjadi dalam perikatan yang prestasinya tidak sempurna.
d. Ganti rugi saja
Tentang dapat tidaknya diterima tuntutan akan pemenuhan tidaklah
diperlukan somasi terlebih dahulu. Lain halnya bila mengenai dapat
tidaknya diterima suatu tuntutan ganti rugi karena wanprestasi.
Keputusan hakim untuk pemenuhan dapat diberikan dengan tidak
mempersoalkan apakah keputusan itu dapat atau tidak dapat dilaksanakan.
26
B A B III
UPAYA KREDITUR DALAM HAL WANPRESTASI YANG DILAKUKAN
OLEH DEBITUR
1. Bentuk Paksaan Kreditur
Wanprestasi yang dilakukan oleh debitur akan membawa akibat bagi
kreditur. Wanprestasi dapat terjadi karena:
a. tidak ada prestasi sama sekali;
b. ada prestasi, akan tetapi tidak tepat pada waktunya, atau terlambat;
c. ada prestasi akan tetapi tidak tepat waktunya.
Dalam bab II telah dijelaskan kapan suatu debitur dinyatakan
wanprestasi. Dengan demikian debitur memiliki prestasi yang belum atau
tidak dilaksanakan bagi kreditur. Oleh karena itu harus ada pelaksanaan
atau pemenuhan prestasi oleh debitur kepada kreditur. Dalam mendapatkan
pemenuhan prestasi oleh debitur, maka kreditur dapat melakukan beberapa
upaya hukum agar prestasi tersebut dapat dipenuhi. Untuk itu kreditur dapat
meminta pada debitur untuk:
a. pembubaran saja atau pembubaran dengan ganti rugi;
b. pemenuhan saja atau pemenuhan ditambah dengan ganti rugi.
c. Pemenuhan prestasi dengan ganti rugi tambahan; atau
d. Ganti rugi saja.
Kreditur dapat memaksa debitur untuk pemenuhan prestasi dengan
bantuan Polisi atau Juru Sita. Bentuk lain dari paksaan ini adalah paksaan
badan (lijfsdwang) dan uang paksa, yaitu alat untuk memberikan dorongan
kepada debitur untuk melaksanakan perikatan, jadi bukan merupakan ganti
27
rugi. Bentuk paksaan badan yang dimaksud disini adalah dengan
menggunakan bantuan aparat penegak hukum, bukan dilakukan oleh kreditur
sendiri. Sedangkan uang paksa dilakukan pula dengan bantuan aparat
penegak hukum. Hal ini untuk menghindari tindakan melanggar hukum yang
mungkin akan dilakukan oleh kreditur jika tanpa mendapat bantuan dari Polisi
dan Juru Sita.
Pembayaran ganti rugi jumlahnya harus sama dengan kerugian yang
telah diderita meskipun tidak mungkin ditetapkan jumlahnya yang tepat dan
hanya merupakan perkiraan saja. Uang paksa itu sendiri tidak
mempersoalkan kerugian. Dengan demikian uang paksa itu dan ganti rugi
dapat dimintakan bersama-sama karena tujuannya berbeda.
2. Ganti Rugi
Selain upaya paksaan badan dan uang paksa, terhadap pemenuhan
berupa ganti rugi dapat pula pemenuhan prestasi dengan ganti rugi
tambahan (helstelprestatie) pada perikatan yang tidak sempurna prestasinya,
maka kreditur dapat:
a. Menerima baik apa yang telah diprestasikan, dan disamping itu dapat
meminta ganti rugi tambahan;
b. Mengembalikan apa yang telah diprestasikan dan minta sekali lagi
prestasi yang baik;
c. Mengembalikan sama sekali apa yang telah diprestasikan dan minta ganti
rugi untuk seluruhnya.
28
Tentang ada atau tidaknya prestasi yang sempurna haruslah dilihat
dari sifat perikatan itu sendiri. Misalnya, mengenai Pasal 91 Wetboek van
Koopghandel (W.v.K) dan Pasal 1602 BW.
Pasal 91 W.V.K menyatakan bahwa mualim bertanggungjawab atas
barang-barang yang diangkutnya kecuali bila terdapat overmacht, yang
berarti jika barang-barang yang diwajibkan untuk diserahkan itu tidak baik,
maka terdapat prestasi yang tidak sempurna. Pasal 1602 BW mewajibkan
majikan untuk menyediakan tempat kerja yang aman bagi buruh. Bila buruh
mendapat luka-luka, belumlah tentu bahwa majikan tidak sempurna dalam
prestasinya. Demikian pula dengan seorang advokat yang kalah dalam
proses, karena tidak ada perjanjian untuk memenangkan proses tersebut,
tujuannya adalah untuk membela kliennya dengan sebaik-baiknya.
Dalam prestasi yang tidak sempurna ada yang dinamakan pelepasan
hak, yaitu bila kreditur menyatakan persetujuan secara diam-diam dianggap
ada, bilamana kreditur setelah menerima prestasi dalam waktu yang layak
lalai untuk memperingatkan. Bila kreditur meminta ganti rugi pemenuhan
perikatan, maka ia tidak berhak lagi atas prestasi primairnya.
Hal ini menimbulkan persoalan, apakah debitur dapat secara sepihak
menghindari hak kreditur untuk meminta ganti rugi sebagai pemenuhan
perikatan dengan mengadakan “zuivering van verzuim”, yaitu setelah
wanprestasi debitur secara sepihak mengadakan wanprestasi, dengan atau
tanpa ganti rugi sebagai pemenuhan perikatan.
Dalam hal ini pendapat sarjana ada yang pro dan ada yang kontra
atas pendapat ini. Pendapat yang pro mengemukakan sebagai berikut:
29
a. Dengan adanya wanprestasi, perikatan belum lenyap, perikatan belum
berakhir, kreditur masih dapat minta pemenuhan;
b. Perjanjian timbal balik bukan berakhir karena adanya wanprestasi,
melainkan karena adanya vonnis van ontbinding.
c. Karena adanya Pasal 1266 ayat (4) BW yang menyatakan bahwa Jika
syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, Hakim adalah leluasa
untuk menuntut keadaan atas permintaan si tergugat, memberikan suatu
jangka waktu mana namun ia tidak boleh lebih dari satu bulan.
Dari rumusan ini dapat disimpulkan bahwa penjernihan (zuivering) masih
diizinkan.
d. Selama kreditur diam saja dan belum mengadakan gugatan, maka belum
mengadakan tuntutan ganti rugi sebagai pemenuhan, atau pada
perjanjian timbal balik belum minta pemutusan perjanjian selama debitur
dalam keadaan bimbang (dubium). Ia tidak dapat menentukan apakah ia
nanti harus mengadakan pemenuhan atau memberikan ganti rugi. Oleh
karena itu pada debitur harus diberi kesempatan untuk melepaskan diri
dari tekanan keragu-raguan dengan mengadakan sekali lagi suatu
prestasi dengan memberikan ganti rugi tambahan.
Dari alasan-alasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapat
tersebut terutama hanya memikirkan kepentingan debitur. Yang kontra
penjernihan (zuivering) mengatakan bahwa suatu penjernihan (zuivering)
tidak mungkin dengan alasan sebagai berikut:
a. Undang-undang memang memberikan ketentuan bahwa apabila timbul
“verzuim” dan apa hak-hak yang diperoleh kreditur. Akan tetapi undang-
30
undang tidak menentukan jika “verzuim” itu lenyap, dan jika hak yang
diperoleh kreditur itu lenyap pula karenanya..
b. Berdasarkan Pasal 1266 BW, maka wanprestasi itu merupakan syarat
batal dari perikatan yang timbul dari perjanjian timbal balik.
Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada
keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah menerima
sesuatu dari pihak lain, baik uang maupun barang, maka itu harus
dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan, jadi dengan adanya
wanprestasi, perikatan sudah tidak ada lagi, sehingga pemenuhan prestasi
dalam hal ini tidak mungkin lagi. Debitur hanya wajib membayar ganti rugi
jika ada hubungan kausal antara wanprestasi dan kerugian.
Menurut Yurisprudensi, hubungan kausal ada bila bukan hanya
wanprestasi yang merupakan “condition sine quanon” untuk timbulnya
kerugian, akan tetapi juga kerugian itu akibat yang secara wajar diduga dari
adanya wanprestasi tersebut.
Menurut Pasal 1248 BW, ganti rugi hanya dapat diberikan sebagai
“akibat langsung dan seketika dari tidak dipenuhinya perikatan”. Akan tetapi
saat mana yang dijadikan patokan (tolok ukur) untuk menilai apakah kerugian
tersebut dapat diduga? Bagaimanapun juga debitur yang wanprestasi tidak
pernah mengganti lebih dari pada kerugian yang dapat diduganya secara
wajar pada saat wanprestasi. Pasl 1247 BW membatasi lebih sempit
tanggunggugat debitur yang tidak bersifat tipu daya dengan tidak hanya
melihat saat wanprestasi, akan tetapi tanggunggugatnya juga dikaitkan
dengan pertanyaan apakah kerugian itu dapat diduga pada saat diadakannya
perikatan.
31
Pada wanprestasi yang bersifat menipu, dapat diduganya kerugian
hanya dinilai menurut satu saat timbulnya wanprestasi. Hal ini menimbulkan
pertanyaan:
a. Apakah pengertian “dapat diduga” dalam Pasal 1247 BW hanya
berkaitan dengan pertanyaan tentang dapat atau tidak dapat diduga
bahwa kerugian akan timbul, atau juga tentang luasnya kerugian
tersebut?
Peradilan menjawab atas pertanyaan dapat tidaknya diduga timbulnya
kerugian termasuk luasnya kerugian, bahwa debitur yang wanprestasi
tanpa tipu daya, dalam hal dapat diduga akan timbulnya kerugian bila
tidak ada pemenuhan, akan tetapi kerugian itu tidak sedemikian luasnya,
hanya wajib mengganti bagian kerugian yang dapat diduga pada waktu
dibuatnya perjanjian.
b. Kapankah kita dapat berbicara tentang “tipu daya”?. Untuk adanya tipu
daya tidak disyaratkan bahwa debitur mempunyai tujuan untuk
merugikan krediturnya, akan tetapi sudah cukup jika ia secara sadar
melanggar kewajiban kontraknya.
32
B A B IV
P E N U T U P
1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada Bab II dan
Bab III, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Debitur dinyatakan wanprestasi atau lalai apabila telah ada peringatan
(somasi) dari kreditur. Namun somasi tidak lagi merupakan syarat
adanya wanprestasi debitur, apabila:
1) dalam perikatan itu sendiri telah ditentukan bahwa pada saat
tertentu debitur dalam keadaan wanprestasi dan ini merupakan
akibat dari aanvullendrecht.
2) Tidak secara tegas ditentukan waktu tertentu.
3) Prestasi hanya mempunyai arti apabila dilaksanakan dalam jangka
waktu yang telah ditentukan.
4) Debitur menolak untuk melakukan prestasi dengan alasan tidak ada
perikatan.
5) Debitur mengaku sendiri bahwa ia wanprestasi.
6) Debitur tidak memprestir sebagaimana mestinya.
b. Bahwa perjanjian harus memuat syarat-syarat sahnya perjanjian
sebagaimana yang diatur dalam pasal 1320 BW yaitu:
1) Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat
perjanjian (consensus).
2) Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity).
3) Ada suatu hal tertentu (a certain subject matter).
33
4) Ada suatu sebab yang halal (legal cuasa).
c. Kreditur dapat melakukan upaya paksa baik berupa paksa badan dan
uang paksa termasuk tuntutan ganti rugi dengan wanprestasinya debitur.
d. Ganti kerugian dalam hal debitur wanprestasi harus memuat 3 (tiga)
unsur sesuai dengan pasal 1246 BW yaitu :
1). Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan
2). Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan
kreditur akibat kelalaian debitur
3). Bunga atau keuntungan yang diharapkan karena debitur lalai,
kreditur kehilangan keuntungan yang diharapkannya
2. Saran
a. Dalam setiap perikatan baik prestasi berupa memberikan sesuatu
atau mengerjakan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu,
seyogyanya harus ditentukan dengan tegas waktu pemenuhan
kewajiban dengan ancaman sanksi denda atas setiap hari
keterlambatan pemenuhan prestasi.
b. Dalam suatu perikatan atau perjanjian janganlah mencantumkan
klausula baku yang bersifat berat sebelah dan jika dicantumkan
dalam perjanjian, maka klausula baku tersebut adalah batal demi
hukum (undang-undang nomor 8 tahun 1999).
c. Perlu kiranya diperingatkan supaya jangan menganggap
pemenuhan perjanjian sebagai suatu sanksi atas kelalaian, sebab
hal itu memang sudah dari semula menjadi kesanggupan para
pihak.
34
d. Dalam membuat perikataan seyogyanya para pihak saling
mempunyai itikad baik untuk melakukan hak-hak dan kewajiban
sesuai dengan isi perjanjian.
35
DAFTAR BACAAN
Pitlo, A, Hukum Perdata, alih bahasa M. Moerasad, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1979.
Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan, Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1984.
Subekti, Hukum Pembuktian, Penerbit CV. Perkasa, Jakarta, 1964.
Prof. Subekti, S.H. Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1987.
--------, Aneka Perjanjian, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, Penerbit Sumur Bandung, Jakarta, 1962.
---------------------------, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Penerbit Sumur Bandung, Jakarta, 1966.
36