Upload
hadiep
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Penelitian ini menggunakan teori keagenan (agency theory) sebagai grand
theory dan teori kontingensi (contingency theory) sebagai supporting theory atau
teori pendukung. Penjelasan teori-teori tersebut dan bagaimana perannya akan
diuraikan pada bab ini.
2.1 Teori Keagenan
Teori Keagenan merupakan landasan teori dalam penelitian ini yang
menjelaskan tentang konsep corporate government. Teori keagenan berkaitan
dalam menyelesaikan permasalahan atas pendelegasian kewenangan
pengambilan keputusan yang terjadi dalam hubungan keagenan antara prinsipal
dan agen. Hubungan prinsipal dan agen dapat mengarah pada kondisi
ketidakseimbangan informasi karena agen memiliki lebih banyak informasi
dibandingkan prinsipal. Individu-individu cenderung memaksimalkan
kepentingan pribadi dan dengan informasi yang dimiliki agen akan berprilaku
menyembunyikan beberapa informasi dari prinsipal.
Eisenhardt (1989) menyatakan 3 (tiga) sifat dasar asumsi manusia: (1)
manusia pada dasarnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia
memiliki daya terbatas pada persepsi masa mendatang (Buonded ratio), (3)
manusia selalu menghindari resiko. Berdasarkan tiga asumsi sifat dasar manusia
taersebut maka selalu dipertanyakan realibilitas informasi yang disampaikan oleh
individu yang satu pada individu lainnya.
18
Menurut Jensen dan Meckling (1976) teori keagenan menganalisis susunan
kontraktual diantara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Pihak
prinsipal adalah pihak yang mengambil keputusan dan memberikan mandat
kepada pihak agen dalam melaksanakan kegiatan atas nama agen. Salah satu
pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit,
dengan pihak lain (agen) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan
pekerjaan seperti yang dinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi
pendelegasian wewenang). Lupia dan McCubbins (2000) menyatakan
pendelegasian terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang (prinsipal)
memilih orang atau kelompok lain (agen) untuk bertindak sesuai dengan
kepentingan prinsipal.
Hubungan prinsipal-agen terjadi apabila tindakan yang dilakukan
seseorang memiliki dampak pada orang lain (Stiglitz, et al 1987 dalam Halim dan
Abdullah, 2009). Ketergantungan ini diwujudkan dalam kesepakatan-
kesepakatan dalam struktur institusional pada berbagai tingkatan, seperti norma
perilaku dan konsep kontrak. Bergman dan Lane (1990) dalam Halim dan
Abdullah (2009) menyatakan bahwa rerangka hubungan prinsipal agen
merupakan suatu pendekatan yang sangat penting untuk menganalisis komitmen-
komitmen kebijakan publik.
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses anggaran sektor publik meliputi
hubungan keagenan antara Kepala Dinas/Kantor/Badan sebagai prinsipal yang
memberikan mandat kepada Kepala Seksi/Kepala Sub Bagian sebagai agensi
dalam membantu memimpin, mengendalikan dan mengkoordinasikan perumusan
19
kebijakan teknis dan pelaksanaaan urusan pemerintahan yang meliputi sumber-
sumber pendapatan, anggaran belanja dan pembiayaan. Kepala seksi/ kepala sub
bagian membantu Kepala Dinas/Kantor/Badan dalam penyiapan RKA-SKPD
dalam proses penganggaran.
Perangkat daerah (Dinas/Kantor/Badan) bertanggung jawab dalam
pelayanan masyarakat (Kencana, 2010). Kencana (2010) mengutip pernyataan
Mardiasmo (2001) bahwa slack yang diciptakan oleh perangkat daerah
cenderung adalah slack yang positif, karena menjaga hubungannya dengan
kepala daerah dan mengamankan pekerjaan dan posisi atau jabatan di
pemerintahan.
2.2 Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBD)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Dalam Negeri (Permendagri) No.59
Tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, tahapan penyusunan
APBD adalah sebagai berikut.
1) Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Untuk menyusun APBD, pemerintah daerah menyusun RKPD yang
merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD). RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas
pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan anggaran
yang baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah
maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
20
2) Penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA)
Berdasarkan RKPD, pemerintah daerah kemudian menyusun KUA. KUA
memuat target pencapaian kinerja yang terukur dari program-program yang akan
dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk setiap urusan pemerintahan daerah
yang disertai dengan proyeksi pendapatan, alokasi belanja daerah, sumber dan
penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang mendasari.
Rancangan KUA disampaikan kepada DPRD paling lambat pertengahan bulan
Juni sebelum tahun anggaran dan disepakati bersama oleh Pemda dan DPRD
menjadi KUA paling lambat minggu pertama bulan Juli.
3) Penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA)
Berdasarkan KUA yang telah disepakati, Pemda dan DPRD menyusun
PPA. PPA disepakati paling lambat bulan Juli sebelum tahun anggaran. KUA dan
PPA yang telah disepakati kemudian dituangkan kedalam nota kesepakatan yang
ditandatangani bersama oleh pihak kepala daerah dan pimpinan DPRD.
Berdasarkan nota kesepakatan tersebut pemerintah daerah menerbitkan surat
edaran tentang pedoman penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja
Perangkatdaerah (RKA-SKPD). Surat edaran tersebut diterbitkan paling lambat
awal bulan Agustus sebelum tahun anggaran dimulai.
4) Penyusunan Rencana Kerjadan Anggaran SKPD (RKA-SKPD)
Berdasarkan surat edaran yang diterbitkan oleh pemerintah daerah,
masing-masing SKPD, kemudian menyusun RKA SKPD bersama SKPD.
Surat edaran tersebut memuat memuatarah dan kebijakan umumAPBD, strategi
dan prioritas APBD, standar biaya, standar pelayanan minimal, dan formulir
21
RKA-SKPD. Formulir RKA-SKPD merupakan dokumen yang memuat
rancangan anggaran unit kerja yang disampaikan oleh setiap unit kerja. RKA-
SKPD memuat pernyataan mengenai:
a) Visi dan misi unit kerja.
b) Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) unit kerja.
c) Rencana program dan kegiatan unit kerja beserta tolak ukur dan target
kinerjanya.
RKA-SKPD kemudian disampaikan kepada tim anggaran pemerintah daerah
untuk dievaluasi. Tim anggaran pemerintah daerah mengevaluasi dan
menganalisis:
a) Kesesuaian antara rancangan anggaran unit kerja dengan program dan
kegiatan berdasarkan yang direncanakan unit kerja.
b) Kesesuaian program dan kegiatan berdasarkan tugas pokok dan fungsi
unit kerja.
c) Kewajaran antara anggaran dengan target kinerja berdasarkan Standar
Analisa Biaya (SAB) yang telah diperhitungkan.
5) Penyusunan RAPBD
Rencana kerja dan anggaran masing-masing SKPD yang telah dievaluasi
oleh tim anggaran pemerintah daerah selanjutnya dirangkum menjadi Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).
22
6) Penetapan APBD
Pemerintah daerah menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (RAPBD) kepada DPRD paling lambat pada minggu pertama
bulan Oktober sebelum tahun anggaran untuk dibahas. RABPD ditetapkan
menjadi APBD setelah mendapatkan persetujuan bersama dari pemerintah daerah
dan DPRD paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran dimulai.
2.3 Pendekatan Teori Kontinjensi
Pendekatan universalistik menyatakan bahwa desain pengendalian yang
optimal dapat diterapkan pada semua setting organisasi dan perusahaan. Teori-
teori kontijensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin dibutuhkan
dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan.
Ketidak konsistenan penelitian terdahulu kemungkinan dipengaruhi oleh
faktor kontingensi sebagai moderasi. Sesuai Govindarajan dan Hopwod dalam
(Shields, dkk 2000) bahwa untuk menyelesaikan perbedaan dari berbagai hasil
penelitian dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontigensi dimana
pendekatan kontigensi tersebut memungkinkan adanya variabel-variabel lain
yang dapat bertindak sebagai variabel moderating yang mempengaruhi
hubungan partisipasi dalam penyusunan anggaran.
Penelitian ini akan menggunakan faktor kontingensi untuk mengevaluasi
keefektifan antara partisipasi terhadap budgetary slack. Faktor kontigensi yang
dipilih dalam penelitian ini adalah etika, budaya organisasi, opportunistic
behavior dan ketidakpastian lingkungan. Faktor tersebut akan berperan sebagai
23
moderasi dalam hubungan antara partisipasi penganggaran terhadap budgetary
slack.
2.4 Partisipasi penganggaran
Partisipasi penganggaran adalah suatu proses dimana atasan memilih
kontrak kompenasasi dimana bawahan diijinkan memilih nilai spesifik setiap
parameter dalam kontrak yang tertuang (Young,1985;830).
Anggaran adalah suatu pernyataan formal organisasi tentang rencana-
rencana yang akan dilakukan pada masa yang akan datang dalam suatu periode
tertentu, yang akan digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan
selama periode tersebut (Hanson, 1966). Dari pengertian ini, anggaran yang telah
disusun memiliki peranan:
1) Anggaran berperan sebagai perencanaan, yaitu bahwa anggaran tersebut
berisi tentang ringkasan rencana-rencana keuangan organisasi di masa
yang akan datang.
2) Anggaran mengukur kinerja, yaitu anggaran dipakai sebagai sistem
pengendalian untuk mengukur kinerja manajerial.
Partisipasi penganggaran merupakan anggaran yang dibuat oleh lebih dari
seorang individu, yang menegaskan bahwa anggaran disusun dengan melibatkan
banyak pihak yang berkompeten didalamnya. Partisipasi sendiri oleh Siegel
dalam Rahayu (1997) didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan
bersama oleh dua belah pihak atau lebih yang mempunyai dampak dimasa yang
akan datang bagi pembuat keputusan tersebut. Milani dalam Rahayu (1997)
24
mendefinisikan partisipasi penganggaran sebagai tingkat pengaruh dan
keterlibatan yang dirasakan individu dalam proses perancangan anggaran.
Menurut Nouri dan Parker (1996), dalam Darlis (2002), menyatakan individu
berkomitmen tinggi akan menghindari budgetary slack. Bawahan berkomitmen
tinggi akan menggunakan informasinya agar anggaran menjadi lebih akurat.
Sebaliknya individu berkomitmen rendah cenderung tidak memberikan informasi
yang mereka miliki kepada atasan karena bawahan tidak bersungguh-sungguh
memenuhi tujuan organisasi.
Adapun karakteristik penganggaran partisipatif menurut Milani (1975):
1) Sejauh mana angggaran dipengaruhi oleh keterlibatan para atasan
2) Alasan atasan dalam merevisi anggaran
3) Keinginan memberikan pendapat kepada atasan tanpa diminta
4) Sejauh mana atasan memiliki pengaruh dalam anggaran akhir
5) Pentingnya kontribusi bawahan dalam proses pengganggaran
6) Seringnya atasan meminta pendapat saat anggaran disusun
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa partisipasi
penganggaran adalah menekankan pada setiap atasan sebagai pusat
pertanggungjawaban dalam proses penyusunan anggaran dimana atasan harus
memperhatikan keterlibatan bawahan secara maksimal untuk tujuan organisasi.
Dengan adanya partisipasi bawahan dalam penyusunan anggaran maka akan
terjadi pertukaran informasi yang baik antara atasan dengan bawahan untuk
mencapai tujuan organisasi.
25
2.5 Pengertian Budgetary slack
Budgetary slack telah banyak dipelajari dengan perspektif yang berbeda
dalam akuntansi manajemen dan akuntansi perilaku. Definisi yang dibuat pada
sektor swasta oleh Young (1985:831) dalam Miyati (2014) budgetary slack
sebagai suatu tindakan dimana agen melebihkan kemampuan produktif dengan
mengestimasikan pendapatan lebih rendah dan biaya lebih tinggi ketika diberi
kesempatan untuk memilih standar kerja sehingga dapat meningkatkan kinerjanya.
Menurut Lubis (2011:241) mendefinisikan budgetary slack sebagai selisih
antara sumber daya yang sebenarnya diperlukan secara efisien dan jumlah
sumberdaya yang lebih besar untuk menyelesaikan suatu tugas tersebut. Selain
itu, definisi yang dibuat pada sektor publik oleh Yuhertiana (2005) budgetary
slack adalah proses yang terjadi saat perencanaan anggaran, dimana ketika
individu dilibatkan dalam pembuatan anggaran akan cenderung meng-
overestimate-kan cost atau meng-underestimate-kan revenue. Dalam proses
penganggaran, budgetary slack adalah ketidaksesuaian antara penggunaan dana
yang lebih besar dari anggaran yang telah direncanakan sebelumnya. Dengan
tingginya budgetary slack akan mengakibatkan dua kemungkinan yaitu
penambahan dana diluar rencana anggaran semula atau tetap sesuai dengan
rencana anggaran dana yang ditetapkan tetapi menurunkan kinerja pelaksana
anggaran. Dalam penganganggaran partisispatif keterlibatan bawahan sangat
dibutuhkan berdasarkan Agency Theory bawahan akan membuat target anggaran
yang lebih mudah dicapai, dengan cara membuat target anggaran yang rendah
pada sisi pendapatan dan mengajukan biaya yang lebih tinggi (Maskun,2008).
26
2.6 Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD)
Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan UU No.32/2004
tentang pemerintah daerah, Permendagri No.13/2006, Peraturan Pemerintah
No.58/2005, dan Permendagri No.37/2012 sebagai pedoman penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Lembaga-lembaga yang
berperan penting dalam perencanaan dan penganggaran daerah berdasarkan
UU.No.17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU.No.25/2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) adalah Badan Perencanaan Daerah
(Bappeda), Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Badan Pengelola Keuangan
Daerah (BPKD), Kepala Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan berbagai praktek
penyimpangan pengelolaan keuangan negara. Salah satu upaya yang dilakukan
pemerintah pusat untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menerapkan
sistem penganggaran yang disebut dengan Anggaran Berbasis Kinerja (ABK).
Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) adalah proses penyusunan APBD diorganisasi
sektor publik untuk tata kelola pemerintahan, yakni proses pembangunan yang
efisien dan partisipatif, serta terjadi reformasi anggaran, yaitu penggunaan sistem
anggaran berbasis kinerja (performance budget system) untuk menggantikan
sistem anggaran tradisional (traditional budget system). Proses pembangunan ini
melibatkan pengambilan kebijakan pemerintahan, pelaksanaan kegiatan
pemerintahan, dan dalam tahap tertentu melibatkan masyarakat sebagai penerima
manfaat dari kegiatan pelayanan publik. Salah satu kunci utama penyusunan
anggaran berbasis kinerja adalah penentuan kinerja, adanya ukuran kinerja yang
27
jelas dan dapat diverifikasi terhadap outcome, output maupun kewajaran dana
yang dikeluarkan dengan output yang dicapai (Mahsun dkk, 2007).
2.7 Prinsip Penyusunan APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berdasarkan
Permendagri No.37/2012 adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah
yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan
ditetapkan dengan peraturan daerah. Tahun anggaran daerah meliputi masa satu
tahun terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:pendapatan daerah,
belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Prinsip penyusunan APBD berdasarkan
pada Permendagri No.37/2012 adalah:
1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah
daerah;
2) APBD harus disusun secara tepat waktu sesuai dengan tahapan dan jadwal;
3) Penyusunan APBD dilakukan secara transparan, yaitu memudahkan
masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan aksesi nformasi yang seluas-
luasnya tentang APBD;
4) Penyusunan APBD harus melibatkan partisipasi masyarakat;
5) APBD harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan;
6) Substansi APBD dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan
yang lebih tinggi dan peraturan daerah lainnya.
28
2.8 Etika
Menurut Stoner, et al (1995) etika didefinisikan sebagai studi bagaimana
keputusan yang kita ambil akan mempengaruhi orang lain. Selain itu, etika juga
didefinisikan sebagai studi mengenai hak dan kewajiban manusia, penalaran
moral yang diterapkan orang dalam membuat keputusan,dan sifat alami
hubungan antar manusia.
Menurut Widodo (2001), etika sektor publik didefinisikan sebagai pedoman,
referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparatur pemerintah
dalam menjalankan kebijakan-kebijakan publik, dan dapat digunakan sebagai
standar penilaian apakah perilaku aparatur pemerintah dalam menjalankan
kebijakan-kebijakan publik dapat dikatakan baik atau buruk.
Menurut Kartasasmita (1997) dalam Widodo (2001), pendekatan etika
dalam sektor publik dibedakan menjadi dua macam pendekatan, yaitu:
1) Pendekatan Teleologi
Pendekatan teleologi merupakan pendekatan etika sektor publik yang
berasumsi bahwa apa yang baik dan buruk atau apa yang seharusnya
dilakukan oleh aparat pemerintah adalah “nilai kemanfaatan” yag akan
diperoleh. Pendekatan teleologi dibedakan menjadi dua macam pendekatan :
pendekatan ethicalegoisme dan utilitarianisme. Pendekatan ethicalegoisme
berupaya mengembangkan kebaikan bagi dirinya sendiri. Pendekatan
utilitarianisme berupaya mengembangkan kebaikan bagi kepentingan
umum.
29
2) Pendekatan Deontologi
Pendekatan deontologi merupakan pendekatan etika sektor publik yang
mengutamakan penegakan moral, karena kebenaran yang ada dalam dirinya,
dan tidak terkait dengan akibat atau konsekunsi dari keputusan tindakan yang
dilakukan
Menurut Widodo (2001) nilai etika sektor publik yang dapat digunakan
sebagai acuan, referensi, penuntun bagi aparatur pemerintah dalam menjalankan
tugas dan kewenangannya antara lain :
1) Nilai Efisiensi
Nilai efisiensi lebih mengarah pada penggunaan sumber dana dan daya yang
dimiliki secara tepat, tidak boros,dan dapat dipertanggungjawabkan.
2) Nilai Membedakan Milik Pribadi dengan Milik Kantor
Nilai yang mengarahkan aparatur pemerintah dalam membedakan mana milik
kantor dan mana mlik pribadi.
3) Nilai Impersonal
Nilai impersonal lebih menonjolkan unsur“rasio” daripada unsur “perasaan”
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan
yang ada dalam organisasi.
4) Nilai Merytal System
Nilai Merytal System berkaitan dengan sistem penarikan atau promosi
pegawai yang tidak didasarkan pada hubungan kekerabatan, patrimonial
(anak, keponakan, famili, alumni, daerah, golongan, dan lain-lain), akan
tetapi didasarkan pada pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill),
30
kemampuan (capable), dan pengalaman (experience) yang dimiliki oleh
orang yang bersangkutan.
5) Nilai responsibel (responsible)
Nilai responsibel menunjukkan seberapa jauh proses pemberian pelayanan
publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan
administrasi dan organisasi yang benar dan telah ditetapkan.
6) Nilai akuntabilitas (accountability)
Nilai akuntabilitas menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan
pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholders dan norma-norma yang
berkembang dalam masyarakat.
7) Nilai Responsivitas
Nilai responsivitas berkaitan dengan daya tanggap yang tinggi terhadap apa
yang menjadi permasalahan, kebutuhan,keluhan,dan aspirasi publik.
2.9 Budaya Organisasi
Budaya organisasi (organizational culture) mengacu pada sebuah sistem
makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan organisasi
tersebut dengan organisasi lainnya. Sistem makna bersama ini, ketika dicermati
secara lebih seksama, adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung
tinggi oleh organisasi. Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh karakteristik
utama yang, secara keseluruhan, merupakan hakikat budaya sebuah organisasi.
1) Inovasi dan keberanian mengambil risiko. Sejauh mana karyawan didorong
untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
31
2) Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan
presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.
3) Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang
pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4) Orientasi orang. Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen
mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada dalam
organisasi.
5) Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada tim
ketimbang pada individu-individu.
6) Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang
santai.
7) Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.
Masing-masing karakteristik ini berada di suatu kontinum mulai dari
rendah sampai tinggi. Karenanya, menilai organisasi berdasarkan ketujuh
karakteristik ini akan menghasilkan suatu gambaran utuh mengenai budaya
sebuah organisasi berdasarkan pengamatan orang lain dan pengamatannya
sendiri. Schein (1985) mengemukakan bahwa ada beberapa pengertian yang
sama yang berkaitan dengan budaya antara lain:
1) Keteraturan perilaku yang diamati (observed behavioral regularities) ketika
orang-orang berinteraksi, misalnya bahasa yang digunakan dan upacara yang
dilakukan sehubungan dengan rasa hormat dan cara bertindak/ bersikap.
32
2) Norma yang berkembang dalam kelompok kerja.
3) Nilai dominan yang didukung oleh sebuah organisasi, seperti mutu produk
dan sebagainya.
4) Falsafah yang menjadi landasan kebijaksanaan organisasi yang berkaitan
dengan karyawan dan atau pelanggan.
5) Peraturan pergaulan dalam organisasi, cara-cara/seluk-beluk untuk diterima
sebagai warga organisasi.
6) Rasa atau iklim yang disampaikan dalam sebuah organisasi oleh tata letak
fisik dan cara interaksi para warga organisasi dengan para pelanggan atau
orang luar yang lain.
2.10 Opportunistic Behaviour
Pengertian perilaku oportunistik adalah tentang pribadi, sifat atau dinamika
kelompok dalam menghadapi suatu kondisi dimana dalam posisi tertentu merasa
mempunyai kesempatan atau peluang lebih untuk melakukan sesuatu sesuai
keinginan. Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha mencapai
keinginan dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun (Havid,
2014;Megasari 2015). Faktor yang mempengaruhi perilaku oportunistik adalah
kekuatan (power) dan kemampuan. Perilaku oportunistik mengarah pada
terjadinya adverse selection (menyembunyikan informasi) dan moral hazard
(penyalahgunaan wewenang). Moral hazard adalah permasalahan yang muncul
karena agen tidak melaksanakan kesepakatan bersama yang tertuang dalam
kontrak kerja. Adverse selection adalah kondisi dimana prinsipal tidak
33
mengetahui keputusan yang diambil oleh agen dalah keputusan yang diambil
sesuai dengan informasi yang diterima oleh prinsipal atau terjadi kelalaian dalam
bertugas (Sandrya,2013).
Teori prinsipal-agen menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam
proses penganggaran memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan utilitasnya
melalui pengalokasian sumberdaya dalam anggaran yang ditetapkan (Magner &
Johnson, 1995). Didalam partisipasi penganggaran keterlibatan bawahan sangat
dibutuhkan berdasarkan Agency Theory. Bawahan ketika diberikan kewenangan
dalam penyusunan anggaran cenderung akan melebihkan target anggaran biaya
dan merendahkan target anggaran pendapatan agar lebih mudah dicapai
(Yuhertiana, 2005). Pemanfaatan kesempatan dalam penyusunan anggaran akan
menimbulkan kemungkinan adanya penambahan dana diluar rencana anggaran
awal atau tetap sesuai rencana anggaran awal namun terjadi penurunan kinerja
pelaksana anggaran ( Miyati, 2014).
2.11 Ketidakpastian lingkungan
Ketidakpastian lingkungan merupakan kondisi lingkungan yang yang tidak
pasti yang membuat individu melakukan budgetary slack. Hal ini disebabkan
karena adanya keterbatasan informasi yang didapatkan untuk memprediksi masa
depan. Lingkungan organisasi bergerak sangat cepat dan dinamis (Darlis,2000).
Ketidakpastian lingkungan adalah situasi seseorang yang terkendala untuk
memprediksi situasi di sekitar sehingga mencoba untuk melakukan sesuatu
untuk menghadapi ketidakpastian lingkungan tersebut (Luthans,1998). Pada
34
kondisi ketidakpastian tinggi, maka individu sulit memprediksi kegagalan dan
keberhasilan dari keputusan yang dibuatnya (Fisher,1996).
2.12 Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian terdahulu yang telah menguji pengaruh
partisipasi anggaran terhadap budgetary slack menyatakan hasil yang tidak
konsisten, antara lain Ahmad, et al (2003), Yuen (2004), Stede (2001), Elmassri
(2011), Parra, et al (2005), Steven (2002), Miyati (2014), Falikhatun (2007),
Suhendro (2006), Little, et al (2002), Grediani (2010), Latifah (2010), bahwa
partisipasi anggaran yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya budgetary slack.
Berbeda dengan temuan tersebut, penelitian Hardiwinoto (2010), Baiman (1982),
Schift dan Lewin (1970), Onsi (1973), Camman (1976), Dunk (1993), Ardanari
(2014), Supanto (2010), menyatakan bahwa partisipasi anggaran yang tinggi
dapat menurunkan terjadinya budgetary slack.
Maskun (2008) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh
partisipasi pengangggaran terhadap budgetary slack dengan faktor etika, budaya
birokrasi, tekanan sosial dan kapasitas individu sebagai mediasi. Penelitian
dilakukan pada Badan Koordinator Wilayah II Jawa Timur. Penelitian ini adalah
penenlitian explanatory dan hasil penelitian menunjukan etika berpengaruh
positif dan signifikan terhadap budgetary slack diantara budget eksekutif, budaya
birokrasi berpengaruh negatif dan signifikan pada budgetary slack diantara
budget eksekutif. Tekanan sosial berpengaruh positif dan signifikan pada
budgetary slack diantara budget eksekutif, kapasitas individu tidak berpengaruh
35
pada budgetary slack diantara budget eksekutif. Miyati (2014) melakukan
penelitian untuk memberi bukti empiris pengaruh pastisipasi penganggaran pada
budgetary slack dengan pertimbangan etika sebagai pemoderasi. Penelitian ini
adalah penelitian deskriftif dengan metode pengumpulan data berupa kuesioner.
Penelitian dilakukan pada SKPD kabupaten Kulon Progo. Hasil penelitian
menunjukan partisipasi penganggaran berpengaruh positif signifikan pada
budgetary slack dan pertimbangan etika berpengaruh negatif pada budgetary
slack.
Sandrya (2013) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh
partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack dengan asimetri informasi,
komitmen organisasi, budaya organisasi dan kapasitas individu sebagai
pemoderasi. Penelitian dilakukan pada SKPD Kabupaten Badung dengan metode
purposive sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa partisipasi
penganggaran berpengaruh positif pada budgetary slack, asimetri memperkuat
pengaruh patisipasi penganggaran pada budgetary slack, komitmen organisasi
dan budaya organisasi maemperlemah pengaruh partisipasi penganggaran pada
budgetary slack, kapasitas individu tidak memoderasi pengaruh partisipasi
penganggaran pada budgetary slack.
Utami (2012) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh interaksi
budaya organisasi dan group cohesiveness dalam hubungan partisipasi
penganggaran pada budgetary slack. Penelitian dilakukan pada kantor regional
Darmasraya. Hasil penelitian menunjukan partisipasi penganggaran berpengaruh
positif dan signifikan pada budgetary slack, budaya organisasi tidak berpengaruh
36
pada budgetary slack, group cohesiveness tidak mempengaruhi hubungan
partisipasi penganggaran pada budgetary slack. Stiawan (2013) meneliti tentang
pengaruh kapasitas individu, komitmen organisasi, ketidakpastian lingkungan
pada kinerja manajerial. Hasil penelitian menunjukan hasil bahwa kapasitas
individu, komitmen organisasi, ketidakpastian lingkungan secara simultan
berpengaruh pada kinerja manajerial. Kartika (2010) melakukan penelitian untuk
mengetahui pengaruh komitmen organisasi dan ketidakpastian lingkungan pada
hubungan partisipasi penganggran terhadap budgetary slack. Penelitian dilakukan
pada RSU semarang dengan 83 responden dengan metode pengumpulan data
berupa kuesioner. Hasil menunjukan ketidakpastian lingkungan tinggi dikaitkan
dengan budgetary slack rendah.
Latifah (2010) melakukan penelitian tentang adakah perilaku
opportunistik dalam agensi teori sektor publik. Prinsipal harus mengeluarkan
biaya (costs) untuk memonitor kinerja agen dan menentukan struktur insentif dan
monitoring yang efisien. Hasil penelitian menunjukan adanya asimetri informasi
di antara agen dan prinsipal menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya
perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran. Ahmad, et al (2003)
yang melakukan penelitian pada 162 perusahan di Malaysia tentang kegunaan
penganggaran pada perusahaan dengan responden para manager perusahaan dan
hasil dari penelitian ini adalah penganggaran partisipatif berpengaruh pada
budgetary slack.
Yuen (2004) melakukan penelitian pada 108 hotel di Macau dengan
responden manager hotel. Penelitian ini membandingkan hubungan antara
37
karakteristik goal dan kemungkinan penciptaan slack anggaran oleh manager.
Hasil dari penelitian anggaran partisipatif berpengaruh positif pada budgetary
slack, komunikasi dan sistem reward dapat menghasilkan kejelasan tujuan
perusahaan dan membantu memecahkan masalah anggaran. Stede (2001)
meneliti dua faktor situasi penting dalam perusahaaan yaitu diversifikasi
perusahaan dan strategi unit bisnis. Penelitian dilakukan pada 37 firms dan 153
unit bisnis. Hasil penelitian menunjukan bahwa diversifikasi perusahaan
berhubungan positif dengan budgetary slack dalam unit bisnis sehingga
angggaran yang ketat dan insentif yang tinggi efektif mengurangi penciptaan
budgetary slack. Elmassri (2011) melakukan penelitian dalam bentuk studi kasus
tentang proses pengaturan budget dan pencipataan budgetary slack pada
perusahaan minyak. Studi ini menemukan bahwa slack diciptakan oleh manager
dalam hierarki organisasi namun tidak selalu dalam konteks negatif.
Parra, et al (2005) meneliti tentang bagaimana perusahaan memasukan
lebih banyak slack pada proses permintaan bisnis. Penelitian dilakukan pada
perusahaan manufaktur selama 24 bulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa
budgetary slack tidak hanya dibangun pada proses penganggaran namun juga
pada sistem penganggaran dibawah asumsi akuntansi.
Steven (2002) melakukan penelitian untuk mengetahui efek budgetary
slack pada dua control perilaku oportunistik yaitu reputasi dan etika. Hasil
penelitian menunjukan anggaran partisipatif berpengaruh positif pada budgetary
slack, etika berpengaruh negatif pada budgetary slack, reputasi sebagai kontrol di
mediasi secara sosial sedangkan etika adalah kontrol iternal dari perilaku
38
opportunistik. Falikhatun (2007) melakukan penelitian pada middle management
level di RSUD se-Jawa Tengah. Hasil dari penelitian menunjukan anggaran
partisipatif berpengaruh positif signifikan pada budgetary slack, asimetri
informasi dan group cohesiveness memoderasi pengaruh anggaran partisipatif
pada budgetary slack, budaya organisasi tidak memoderasi pengaruh anggaran
partisipatif pada budgetary slack.
Suhendro (2006) meneliti hubungan partisipasi anggaran pada budgetary
slack di pemerintahan daerah se-provinsi Lampung. Hasil penelitian menunjukan
anggaran partisipatif berpengaruh positif dan signifikan pada budgetary slack.
Tekanan sosial berpengaruh signifikan secara marginal terhadap hubungan
anggaran partisipatif dengan budgetary slack. Little, et al (2002) melakukan
penelitian pada 149 manager di 96 perusahaan manufaktur. Hasil menunjukan
perilaku positif manager pada prosedur formal anggaran dan prosedur keadilan
anggaran, anggaran partisipatif berpengaruh positif signifikan pada prestaasi
kerja, jika prosedur keadilan tinggi maka perilaku organisasi positif dan
mengurangi budgetary slack.
Grediani (2010) melakukan penelitian untuk mengetahui apakah tekanan
ketaatan dari atasan langsung dan tanggung jawab persepsian mempengaruhi
budgetary slack. Penelitian dilakukan pada 63 mahasiswa program Magister
Sains dan program sarjana jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan desain eksperimen yang
mendapat treatment tekanan ketaatan. Hasil penelitian menunjukan mayoritas
partisipan dengan tekanan ketaatan melanggar penciptaan budgetary slack,
39
partisipan yang membuat slack tidak memegang tanggung jawab mereka
dibanding partisipan yang tidak membuat slack, partisipan yang menciptakan
slack dengan tujuan kedudukan mereka.penelitian mereka menyatakan bahwa
partisipasi anggaran yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya budgetary slack.
Berbeda dengan temuan tersebut, penelitian Hardiwinoto (2010)
melakukan penelitian dengan tujuan menegetahui pengaruh kecenderungan
manager dalam penciptaan slack; persepsi kewajaran dan prosedural distributif
kepercayaan managerial dan komitmen tujuan anggaran sebagai faktor
intervening. Hasil penelitian menunjukan partisipasi penganggaran berdampak
pada persepsi kewajaran dan prosedural distributif kepercayaan managerial,
berdampak signifikan pada komitmen tujuan anggaran dan berpengaruh negatif
pada kecenderungan manager dalam penciptaan budgetary slack. Baiman (1982)
melakukan penelitian tentang pengaruh partisipasi penganggaran pada budgetary
slack. Alat analisis data menggunakan regresi linier sederhana. Hasil dari
penelitian ini adalah penganggaran partisipatif cenderung mengurangi penciptaan
budgetary slack.
Schift dan Lewin (1970) melakukan penelitian pada tiga divisi
independen pada 100 perusahaan. Alat analisis data menggunakan regresi linier
sederhana. Hasil dari penelitian menunjukan penganggaran partisipatif cenderung
mengurangi penciptaan budgetary slack. Onsi (1973) melakukan penelitian pada
107 manager divisi dari 7 perusahaan manufaktur. Teknik analisis data
menggunakan regresi linier sederhana. Hasil dari penlitian ini menunjukan
budgetary slack menurun sejak partisipasi mengarah pada komunikasi positif,
40
anggaran partisipatif berpenggaruh negatif pada budgetary slack, Camman
(1976) melakukan penelitian tentang pengaruh partisipasi penganggaran pada
budgetary slack. Teknik analisis data menggunakan regresi linier sederhana.
Hasil penelitian menunjukan anggaran partsisipatif dapat mengurangi penciptaan
budgetary slack.
Dunk (1993) melakukan penlitian pada 73 manager pada perusahaan
manufaktur,. Teknik analisis data menggunakan analisis regresi linier sederhan.
Hasil penelitian menunjukan anggaran partisipatif, asimetri informasi dan
penekanan anggaran berpengaruh negatif pada budgetary slack. Anggaran
partisipatif berpengaruh negatif pada budgetary slack. Asimetri informasi
berpengaruh positif pada hubungan anggaran partisipatif dan budgetary slack.
Jika budget emphasis tinggi maka budgetary slack akan tinggi dan sebaliknya.
Ardanari (2014) melakukan penelitian dengan tujuan mengenai pengaruh
partisipasi penganggaran, asimetri informasi, dan self esteem pada budgetary
slack dengan dimoderasi oleh budget emphasis. Sampel penelitian adalah 12
hotel berbintang 3 keatas di Bali. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
partisipasi penganggaran dan self esteem berpengaruh negatif terhadap budgetary
slack, sedangkan asimetri informasi berpengaruh positif terhadap budgetary
slack. Selain itu, budget emphasis juga mampu memoderasi hubungan partisipasi
penganggaran, asimetri informasi, dan self esteem terhadap budgetary slack,
dimana budget emphasis memperlemah pengaruh partisipasi penganggaran,
asimetri informasi, dan self esteem terhadap budgetary slack. Supanto (2010)
melakukan penelitian studi kasus pada politeknik Negeri Semarang tentang
41
pengaruh partisipasi penganggaran pada budgetary slack dengan asimetri
informasi, motivasi dan budaya organisasi sebagai pemoderasi. Hasil penelitian
menunjukan anggaran partisipatif berpengaruh negatif dan signifikan pada
budgetary slack, asimetri infomasi memoderasi pengaruh anggaran partsisipatif
pada budgetary slack, motivasi dan budaya organisasi tidak dapat memoderasi
pengaruh partisipasi penganggaran pada budgetary slack. Penelitian mereka
menyatakan bahwa partisipasi anggaran yang tinggi dapat menurunkan terjadinya
budgetary slack.
Berdasarkan hasil penelitian- penelitian terdahulu yang tidak konsisten
sehingga peneliti termotivasi untuk menguji pengaruh partisipasi penganggaran
pada budgetary slack dengan faktor kontijensi yaitu etika, ketidakpastian
lingkungan, opportunistic behaviour dan budaya organisasi sebagai variabel
moderasi pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Jembrana,
Provinsi Bali. Pemilihan Kabupaten Jembrana didasarkan pada data awal yang
diterima.