Upload
vantuyen
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
33
BAB II
HAKIKAT KONSEP TINDAK PEMERINTAHAN
A. Doktrin Tindakan Negara (Act Of State Doctrine)
Doktrin Tindakan Negara berawal di Inggris pada awal 1674 dan
tumbuh dalam yurisprudensi Amerika Serikat pada akhir abad kedelapan
belas dan awal abad kesembilan belas. Doktrin Tindakan Negara menyatakan
bahwa:
"the Judicial Branch will not examine the validity of a taking of property within its own territory by a foreign sovereign government ... in the absence of a treaty or other
unambiguous agreement regarding controlling legal principles, even if the complaint alleges that the taking
violates customary international law.3435
Doktrin tindakan negara dalam dalam perkembangannya hadir sebagai
pedoman untuk peradilan Amerika dari tindakan pemerintah asing yang
terlibat dalam proses pengadilan dalam negeri. Dalam kasus Underhill v.
Hernandez, penggugat, warga Amerika Serikat tinggal dan bekerja di
Venezuela ketika Revolusi Venezuela terjadi. Dia ditahan selama beberapa
34
Clifford Michael Greene, A New Approach to the Act of State Doctrine: Turning
Exceptions into the Rule, Cornell International Law Journal, Volume 8 May, 1975, h. 274.
34
waktu oleh pemerintah Revolusioner sebelum diizinkan kembali ke Amerika
Serikat. Dia kemudian mengajukan gugatan ganti rugi terhadap
penahanannya. Terhadap hal ini Chief Justice Fuller menyatakan bahwa:
"setiap negara berdaulat harus menghormati kemerdekaan
negara berdaulat lainnya dan pengadilan suatu negara tidak dapat mengadili suatu tindakan pemerintah negara
lain yang dilakukan di dalam wilayahnya sendiri.”36
Pernyataan klasik ini dapat juga dikatakan sebagai suatu “rule of
decision” dalam hukum internasional. Pengertian doktrin tindakan negara
tidak saja mencakup pelaksanaan kedaulatan oleh kekuasaan eksekutif atau
administratif dari suatu negara merdeka, atau oleh aparat-aparatnya atau
pejabat-pejabatnya yang sah, akan tetapi termasuk juga produk legislatif dan
administratif seperti undang-undang, dekrit atau perintah.37
Kasus berikutnya hadir pada tahun 1812, Justice Marshall dalam kasus
The Schooner Exchange v. M'Faddon menyatakan konsep dari doktrin
tindakan negara, meskipun tidak menyebutkan secara khusus. Kasus The
Schooner Exchange ini bermula dari dua gugatan warga negara Amerika
Serikat bernama Jhon McFaddon dan William Greetham yang mengklaim
sebagai pemilik asli dari kapal The Schonner Exchange. Kapal ini disita atas
36
http://mckinneylaw.iu.edu/iiclr/pdf/vol2p311.pdf, d ikunjungi pada tanggal 29 Juni
2016 pukul 21.00. 37
F. A. Mann, The Sacrosantity of Foreign Act of State, 1943 dalam Yudha Bhakt i
Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara Di Forum Pengadilan Asing, Alumni,
Bandung, 1999, h. 181.
35
perintah Napoleon, yang kemudian menjadi Kaisar Perancis. Penyitaan ini
dilakukan tanpa melalui proses hukum yang adil dan jelas didalam
pengadilan perancis. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan yang
berlawanan dengan hukum internasional. Kapal ini kemudian dijadikan
sebagai kapal perang dan diganti namanya menjadi Balou. Ketika kapal ini
berlabu dan menepi di pelabuhan Philadelphia, kedua warga negara Amerika
Serikat ini mengajukan permohonan penyitaan kapal atas dasar Napoleon
telah mengambil kapal secara melawan hukum. Permohonan ini diajukan ke
District Court of the United States for the District Court of Pennsylvania. Di
dalam petitumnya, mereka memita supaya The Schooner Exchange
dikembalikan kepemilikannya kepada mereka.38
Pengadilan tingkat pertama menyatakan bahwa mereka tidak memiliki
yuridiksi untuk memeriksa perkara. The Circuit Court kemudian
membatalkan putusan the District Court of Pennsylvania dan memerintahkan
the District Court of Pennsylvania untuk memeriksa perkara dan
mempertimbangkannya di dalam putusan. Kemudian pada tahap berikutnya
The United States Supreme Court kemudian membatalkan putusan dari
pengadilan banding dan menegaskan putusan pengadilan tingkat pertama.39
Adapun dalam putusannya, Justice Marshall dari Supreme Court of United
38
The Schooner "Exchange" v. M'Faddon, The American Journal of International
Law, http://www.jstor.org/stable/pdf/2186227.pdf?_=1468175715385, dikunjungi pada
tanggal 11 juli 2016 pukul 05.09. 39
Ibid.
36
States menyatakan beberapa hal yang menarik dan salah satunya yaitu
Pengadilan Amerika Serikat tidak berhak untuk memeriksa perkara The
Schooner Exchange dimana Perancis sebagai negara berdaulat diposisikan
sebagai tergugat. Di dalam putusannya, Justice Marshall berpendapat bahwa :
“the jurisdiction of nation within its own territory is
necessarily exclusive and absolute. It is susceptible of no limitation not imposed by itself. Any restriction upon it, deriving validity from an external source, would imply a
diminution of its sovereignty to the extent of the restriction, and an investment of that sovereignty to the same extent in
that power which could impose such restriction. All exceptions, therefore, to the full and complete power of a nation within its own territories, must be traced up to the
consent of the nation itself. They can flow from no other legitimate source. This consent may be express or
implied.40
Pendapat diatas menyimpulkan bahwa suatu negara tidak memiliki
yuridiksi untuk mengadili negara lain atas dasar kedaulatan yang dimilikinya.
Secara umum, dasar pengadilan Amerika Serikat menyatakan ia tidak berhak
untuk memeriksa kasus The Schooner Exchange menurut Justice Marshall
adalah kedaulatan dan persamaan derajat dan hak setiap negara dan
kewajiban negara untuk menjaga kedaulatannya.
Keputusan pengadilan terhadap kasus tersebut menunjukan bahwa
doktrin tindakan negara berkaitan kedudukan negara yang dipandang sejajar
dan didasarkan pada pandangan bahwa hukum internasional diberlakukan
40
https://supreme.justia.com/cases/federal/us/11/116/case.html, d ikunjungi pada
tanggal 11 juli 2016 pada pukul 05.31.
37
terbatas pada kemampuan negara untuk melaksanakan yuridiksinya atas
negara lain.41 Tindakan negara terhadap kasus ini didasarkan pada
penghormatan terhadap kedaulatan negara lain.
Sama halnya dengan kasus Ricaud v. American Metal Co, penggugat,
pembeli dari pemilik asli sebelum pengambil-alihan tersebut, menggugat
untuk memulihkan hak miliknya. Pengadilan menjelaskan bahwa, “the act of
state doctrine "does not deprive the courts of jurisdiction once acquired over
a case”. Jika pemerintah asing mengambil tindakan dalam menyita hak
miliknya, tindakan tersebut atau hasil dari tindakan tersebut harus disetujui
oleh pengadilan Amerika Serikat. Pengadilan berpendapat bahwa “to accept
a ruling authority and to decide accordingly is not a surrender or
abandonment of jurisdiction but is an exercise of it.” Terhadap hal tersebut
tindakan negara dapat dirasionalisasikan sebagai :
A judicially accepted limitation on the normative adjudicative
processes of the courts, springing from the thoroughly sound principle that on occasion individual litigants may have to
forgo decision on the merits of their claims because the involvement of the courts in such a decision might frustrate the conduct of the Nation's foreign policy.42
Dasar pemikiran dari doktrin tersebut didasarkan pada keprihatinan
peradilan bahwa menerapkan prinsip-prinsip hukum kebiasaan untuk menilai
41
http://actsofstatelaws.uslegal.com/the-act-of-state-doctrine-article/, dikunjungi
pada tanggal 29 Juni 2016 pukul 21.50. 42
Ronald Mok, Expropriation Claims in United States Courts: The Act of State
Doctrine, the Sovereign Immunity Doctrine, and the Foreign Sovereign Immunities Act - A
Road Map for the Expropriated Victim, Pace International Law Review Volume 8 Article 5,
1996, h. 202-203.
38
tindakan neraga asing yang berdaulat dapat mengganggu pelaksanakan
hubungan luar negeri dengan Pemerintah (eksekutif). Maksudnya yaitu jika
pengadilan berhubungan dengan negara asing yang berdaulat dalam suatu hal
dan pemerintah melakukan hubungan luar negeri yang bertentangan dengan
apa yang diputuskan pengadilan, maka tidak akan ada kesatuan dalam
melakukan urusan luar negeri. Hal ini berasal dari konsep pemisahan
kekuasaan (the separation of powers) yang melekat dalam sistem federal.43
Dalam perkembangannya pernyataan klasik doktrin tindakan negara
dalam perkara Underhill v. Hernandez yang menyatakan :
“every sovereign state is bound to respect the independence
of every other sovereign state, and the court of one country will not sit in judgement on the acts of the government of another done within its own territory”.
Terbukti mendapatkan penerapan yang luas dalam perkara-perkara
selanjutnya. Dalam perkara Banco Nacional de Cuba v. Sabbationo pada
tahun 1964, Mahkamah Agung Amerika Serikat berpendapat bahwa seorang
warga negara Amerika Serikat yang gulanya telah di sita di Cuba tidak dapat
memilikinya kembali dari seorang warga negara Amerika Serikat lainnya
yang telah memiliki gula tersebut di Amerika Serikat. Dalam perkara ini
timbul kontroversi yuridis terhadap tindakan nasionalisasi gula Amerika
Serikat oleh Pemerintah Cuba yang dinilai sebagai pembalasan atas politik
Amerika Serikat terhadap pemerintah Castro. Banco Nacional de Cuba,
43
Ibid.
39
sebagai organ pemerintah Cuba, melakukan gugatan di Pengadilan Distrik
Federal New York untuk mendapatkan kembali hasil penjualan gula yang
telah disita sebagai bagian dari politik pengambilalihannya.44
Dalam perkara ini Mahkamah Agung melalui Hakim Harlan yang
mewakili kelompok mayoritas anggota dewan hakim Mahkamah
berpendapat, bahwa pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat tidak dapat
menguji keabsahan pengambil-alihan harta kekayaan oleh suatu pemerintah
berdaulat yang diakui di dalam wilayahnya sendiri, sekalipun apabila
pengambilalihan tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum
internasional. 45
Hakim Harlan menggambarkan bahwa doktrin tindakan negara
merupakan “a principle of decision binding on federal and state courts alike
but compelled by neither international nor constitutional”. Pendapat dalam
Sabbatino beranjak dari diktum terdahulu sehingga doktrin tersebut
ditegakkan atas dasar penghormatan terhadap kedaulatan negara asing atau
pertimbangan kesopanan dalam hubungan luar negeri. Hakim Harlan
menetapkan juga, bahwa pelaksanaan hubungan luar negeri tunduk pada
kekuasaan eksekutif dan Kongres dan setiap perkara atau adanya kontroversi
yang menyinggung hubungan luar negeri berada di luar tanggung jawab
yudisial. Hakim Harlan mencatat bahwa doktrin tindakan negara memiliki
44
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Op. Cit., h. 201. 45
Ibid., h . 202.
40
tiang konstitusional (constitutional underpinning) berdasarkan pada
pembagian fungsi antara cabang-cabang yudisial dan politik pemerintah
mengenai masalah-masalah yang menyangkut urusan luar negeri. Harlan
melanjutkan telaahnya atas justifikasi politik bagi doktrin tindakan negara
dengan menekankan sumber yang lebih besar dari eksekutif di dalam
persengketaan dan menggambarkan bahwa intervensi yudisial dapat
mempersulit pihak eksekutif.46
Terhadap Doktrin Tindakan Negara, terdapat tiga poin utama yang
dapat dipahami untuk membenarkan penerapan Doktrin Tindakan Negara
doktrin yaitu “the international law”, “territorial choice of law” theories
dan “separation of powers” theory.”47 The International Law ingin
menyatakan bahwa terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan Tindakan
Negara, pengadilan melihat bahwa diperlukan “the universal comity of
nations” dan “the establish rules of international law”. Menurut pengadilan,
bantuan untuk kesalahan yang dilakukan di luar negeri harus dicari baik
melalui pengadilan di negara bersangkutan atau melalui jalur diplomatik.
Kemudian yang dimaksud dengan “territorial choice of law” bahwa pada
awal kehadiran kasus-kasus yang berkaitan dengan tindakan negara, doktrin
tindakan negara dimanfaatkan sebagai aspek dari “territorial choice of law”.
Prinsip mengemukakan bahwa keabsahan suatu tindakan akan ditentukan
46
Ibid., h . 204-205. 47
http://actsofstatelaws.uslegal.com/the-act-of-state-doctrine-article/.
41
oleh wilayah hukum dimana tindakan berlangsung. Dengan demikian,
tindakan yang berdaulat, atau tindakan negara, dilakukan dalam wilayah
kedaulatan sendiri, adalah sah secara hukum dan yang terakhir yaitu
“separation of powers” theory" . Doktrin tindakan negara didasarkan
pemisahan kekuasaan dan mencerminkan penghormatan terhadap cabang-
cabang kekuasaan negara dalam melaksanakan fungsinya.48
Hal menarik selanjutnya ialah dalam perkembangannya hadir
pengecualian terhadap doktrin tindakan negara. Sejak Sabbatino sejumlah
perkara lainnya yang berkenaan dengan tindakan negara yang sifatnya
semakin rumit telah banyak diajukan kehadapan pengadilan. Pengadilan
telah membatasi doktrin tindakan negara ini dengan meletakkan persyaratan
adanya bukti tindakan publik (public act) dan dengan menentukan situs harta
yang disita itu tidak berada di luar wilayah negara asing. Lebih jauh
pengadilan telah mempertimbangkan tiga kekecualian umum terhadap
doktrin tindakan negara, yaitu :
1. Doktrin Bernstein akan memaksakan penghormatan yudisial terhadap keputusan Departemen Luar Negeri
tentang kepatuhan pengujian atas keabsahan pengambilalihan oleh pihak asing.
2. Akan mengecualikan seluruh tindakan komersial dari doktrin tindakan negara (purely commercial operation).
3. Akan membuat doktrin tindakan negara tidak dapat
diberlakukan terhadap “set-off” perolehan kembali yang timbul dari gugatan yang dilakukan pemerintah
48
http://actsofstatelaws.uslegal.com/the-act-of-state-doctrine-article/.
42
berdaulat asing di pengadilan-pengadilan Amerika Serikat.
Lahirnya pengecualian ini menyentuh inti dari doktrin tindakan negara
dan sebagian besar menggambarkan ketidakpuasan yudisial terhadap
implikasi dari perkara Sabbatino.49 Terkhususnya untuk “purely commercial
operation” yang berasal dari perkara Alfred Dunhill of London, Inc v. Cuba,.
Dakan perkara ini dinyatakan bahwa “Act of state doctrine memberikan
perlindungan terhadap perbuatan-perbuatan yang termasuk “Political Act
atau Governmental Act, tetapi untuk purely commercial operation tidak
diberikan perlindungan.50
B. Perbedaan Publik dan Privat
Secara umum terdapat perbedaan prinsipil antara hukum publik dan
privat. Hukum publik berhubungan terutama dengan sektor publik dan
hubungan antara warga negara dan birokrasi, sedangkan hukum privat
berkaitan dengan hubungan antara warga negara.51 Holland mendefinisikan
hukum publik sebagai “...hukum yang mengatur hak-hak di mana salah satu
subyek terkaitnya adalah publik (masyarakat umum); dimana negara,
49
Yudha Bhakti Adhiwisastra, Op. Cit., h. 221. 50
Sudargo Gautama, Soal-Soal Aktual Hukum Perdata Internasional, Alumni,
Bandung, 1981, h. 189. 51
Peter Cane, Administrative Law – Fifth Edition, Oxford University Press, New
York, 2011, h. 4.
43
langsung atau tidak langsung, adalah salah satu pihaknya. Di sini kekuasaan
yang mendefinisikan dan melindungi hak itu pun dengan sendirinya
merupakan satu pihak yang berkepentingan terhadap atau di pengaruhi oleh
hak tersebut.” Jika salah satu dari kedua subyek itu bukan negara maka di
sana terhadap hukum privat.52 Terdapat tiga hal penting untuk menelaah
lebih dalam tentang konsep Publik dan Privat. Pertama, berdasarkan
perspektif sejarah hukum. Kedua, berdasarkan perspektif karakter praktis
(fungsional), dan ketiga, berdasarkan perspektif tradisi/keluarga hukum. 53
1. Hukum Publik dan Hukum Privat Dari Perspektif Se jarah Hukum
Berdasarkan perspektif sejarah hukum dapat diketahui bahwa
perbedaan hukum publik dan privat terkait dengan masyarakat pada
umumnya ketika mereka memutuskan untuk mengatur atau diatur kegiatan
ekonomi mereka. Pada abad pertengahan, tidak ada hukum publik. Hukum
Inggris misalnya, Raja dianggap sebagai bangsawan feodal dan tanah milik
raja dikelola oleh orang-orang yang memiliki hubungan pribadi dengannya.
Kemudian hukum publik muncul dan membuat kategorisasi dimana tanah
tersebut disebut tanah publik. Setelah itu, hukum publik dikembangkan dan
52
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusa Media, Bandung,
2013, h. 289. 53
Richo Andi Wibowo, Good Governance as a Conceptual Framework to Address
the Discussion of Public Private Distinction in Public Procurement , This paper is presented
at the 6th Public Procurement Research Student Conference, School of Law, University of
Nottingham, the United Kingdom, on 28-29 April 2014, h. 2-5.
44
memperoleh posisi dominan dan berpengaruh dengan masyarakat umum.54
Sedangkan kecenderungan hukum swasta muncul karena kondisi sosial
negara. Perlu dicatat bahwa antara abad ke lima belas sampai abad ke tujuh
belas, parlemen dan raja-raja berjuang untuk menguasai negara. Para
bangsawan berusaha untuk menegaskan kembali hak prerogatif feodal dan
menjual monopoli untuk meningkatkan pendapatan. Parlemen, yang terdiri
dari pemilik tanah dan pedagang kaya, bersama-sama dengan pengadilan
keberatan gagasan itu. Akibatnya, Raja tidak dapat mempertegas kembali
hak feodal dan kemampuannya untuk melakukan monopoli juga dibatasi.
Situasi ini dikembangkan kebebasan hak milik (hak pribadi). Salah satu
konsekuensi dari ini adalah bahwa, the common law system sangat
tergantung pada hukum privat.55
2. Hukum Publik dan Hukum Privat Dari Perspektif Karakter Praktis
Bagian ini bergantung pada penjelasan Barnett ketika
mengklasifikasikan empat pengertian dari perbedaan hukum publik dan
hukum swasta berdasarkan pada pendekatan praktis (fungsional). Pertama,
klasifikasi antara publik dan privat didasarkan pada lingkup dampak bahaya
dari kondisi yang tidak diinginkan. Jika tindakan menyebabkan kerugian
masyarakat atau melanggar standar umum kesusilaan, maka dapat diatur oleh
54
Ibid. h. 3. 55
Ibid. h. 6.
45
hukum publik. Sebaliknya, cidera kontrak dianggap sebagai private harm,
dan termasuk dalam hukum privat. Namun, mengenai hal-hal tertentu,
pencurian misalnya; meskipun menyebabkan private harm (kerugian
pribadi), tindakan ini melanggar standar umum perilaku yang baik. Oleh
karena itu, dianggap sebagai kejahatan dan termasuk dalam hukum publik.
Kedua, klasifikasi antara hukum publik dan privat didasarkan pada
yang memiliki alasan yang kuat untuk menuntut pelanggaran dari suatu
tindakan tertentu. Dalam hukum publik, penuntut biasanya dilakukan oleh
lembaga- lembaga pemerintah sedangkan dalam hukum privat, penggugat
tersebut dilakukan oleh individu (atau wakil-wakil mereka) yang dirugikan.
Ketiga, klasifikasi antara publik-swasta didasarkan pada rezim hukum yang
berlaku. Jika peraturan tersebut dimaksudkan untuk mengatur tindakan
internal pemerintah, dan yang mendefinisikan hubungan atau tugas dengan
perorangan, maka dikategorikan sebagai hukum publik. Jika peraturan
tersebut mendefinisikan hak dan kewajiban antara individu- individu swasta
atau kelompok maka termasuk ke dalam hukum privat. Keempat, klasifikasi
antara publik dan privat didasarkan pada penerapan dan penegakan
peraturan. Jika penerapan peraturan ini terbatas pada lembaga publik, maka
termasuk hukum publik. Sebaliknya, itu jatuh ke dalam hukum privat.56
56
Barnett, RE, Foreword: Four Senses of the Public Law – Private Law Distinction,
Harvard Journal of Law and Public Policy 1986, h. 267-276.
46
Selain itu terdapat juga perbedaan klasifikasi antara hukum publik dan
privat yang didasarkan pada kedudukan yuridis para pihak. Dalam Hukum
Publik, Kedudukan yuridis pelaku hukum publik (public actor) dimana salah
satu pihak memiliki kedudukan yang lebih tinggi (penguasa) dari yang lain
dimana hubungan hukum yang dibangun bersifat vertikal. Berbeda dengan
hukum privat, dimana kedudukan yuridis pelaku hukum privat (private
actor) adalah sederajat diantara para pihak, dimana kedudukan yuridis yang
dibangun bersifat horizontal.57
3. Hukum Publik dan Hukum Privat dari Perspektif Tradisi Hukum
Berdasarkan tradisi hukum, perdebatan antara hukum publik dan
swasta dapat dilihat dari perbedaan antara legal traditions of civil and
common law. Negara-negara civil law lebih memilih untuk menggunakan
hukum publik sementara negara-negara common law lebih memilih untuk
menggunakan hukum privat. Terminologi tradisi hukum, oleh beberapa
sarjana disebut sebagai legal families.58
Civil legal system (Hukum publik) didasarkan hukum Romawi. Salah
satu referensi utama dalam hukum publik adalah hukum Perancis. Hukum
57
Hans Kelsen, Op. Cit., h. 291. 58
Orucu, E, What is a Mixed Legal System: Exclusion or Expansion?, Electronic
Journal of Comparative Law. Vol. 12, 2008, di dalam iRicho Andi Wibowo, Good
Governance as a Conceptual Framework to Address the Discussion of Public Private
Distinction in Public Procurement, This paper is presented at the 6th Public Procurement
Research Student Conference, School of Law, University of Nottingham, the United
Kingdom, on 28-29 April 2014, h. 4.
47
publik memiliki karakteristik bahwa aturan mendasar ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan. Karakteristik lain dari hukum publik yaitu
memberikan banyak kekuasaan kepada pemerintah, tapi pada saat yang sama
juga mengikat tangannya, sehingga pemerintah dapat menjadi "good giant”.
Hukum Perancis mewujudkan perbedaan yang tajam antara hukum publik
dan privat, sebagian besar karena perancis memiliki dua pasang pengadilan59
yaitu administrative court yang menangani masalah-masalah hukum publik
dan Ordinary court yang menangani masalah privat.
Common law system (hukum privat) berkembang pada hukum Inggris.
Hal ini tidak dicirikan dengan menciptakan peraturan hukum. Hal ini
dikembangkan oleh kasus per kasus di pengadilan, dan berakibat negara
yang menganut common law system tidak memiliki aturan hukum yang
tersistematisasi. Selain itu dalam hukum Inggris, perbedaan antara hukum
publik dan privat kurang memiliki perbedaan yang jelas jika dibandingkan
dengan hukum di perancis. Hal ini dikarenakan ‘ordinary’ courts memiliki
59
Dalam sistem peradilan di Perancis mengenal “duality jurisdiction”, yaitu ada dua
organisasi kekuasaan kehakiman, dengan sistem peradilan administrasi yang terpisah dari
struktur peradilan umum. Set iap lingkungan peradilan memiliki yurisdiksi dan
kompetensinya sendiri. Untuk lingkungan peradilan umum d i Perancis berpuncak pada cour
de cassation (Mahkamah Agung), dan untuk lingkungan peradilan administrasi di perancis
berpuncak pada Conseil d’Etat. Apabila terjad i sengketa yuridiksi atau kompetensi
mengadili antara dua lingkup peradilan tersebut di Perancis ada badan peradilan yang diberi
kewenangan memeriksa dan memutus. Badan peradilan tersebut dinamakan “Tribunal des
Conflits”. Lebih lanjut lihat https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/1084/laporan -tim-
studi-banding-ke-perancis.
48
yuridiksi untuk menangani perselisihan dari semua jenis baik antara warga
negara dengan warga negara atau warga negara dengan pemerintah.60
Sistem hukum Inggris pelaksanaan sangat bergantung pada hukum
privat. hukum Inggris menganggap kebebasan sebagai tidak adanya
pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah tidak memiliki hak istimewa setiap
saat melakukan tugas-tugas administrasi, karena pemerintah dianggap
sebagai sama sebagai manusia biasa. Dengan kata lain, tidak ada hierarki
dalam hubungan antara pemerintah dan warga negara. Ide ini telah
diwujudkan dalam sistem Inggris, dan tampak tetap demikian. Hal tersebut
sangat dipengaruhi oleh pendapat Dicey, karena ia telah mengatakan, "the
English know nothing about administrative law and wish to know nothing”.61
C. Acta Jure Imperii dan Acta Jure Gestionis
Memahami Konsep Acta Jure Imperii dan Acta Jure Gestionis tidak
terlepaskan dari kehadiran Imunitas Negara (sovereign imunity) sebagai
pintu masuk untuk memahami Acta Jure Imperii dan Acta Jure Gestionis.
Secara faktual aturan-aturan tentang imunitas negara pada dasarnya
berasal dari praktek pengadilan berbagai negara sejak abad ke-19.
Pengadilan-pengadilan telah memelopori dalam pembentukan aturan-aturan
60
Peter Cane, Op.Cit., h 3. 61
Richo Andi Wibowo, Op. Cit., h. 5.
49
tentang imunitas negara ini sehingga pendapat-pendapat yang doktrinal dan
konvensi-konvensi internasional yang berkenaan dengan imunitas negara
secara praktis telah tumbuh bersamaan. Yang dimaksud dengan imunitas
negara di sini adalah imunitas suatu negara terhadap yuridiks i dan eksekusi
pengadilan nasional negara lain. Pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat
merupakan yang pertama merumuskan doktrin imunitas negara. Keputusan
Hakim Marshall dalam perkara The Schooner Exchange v. Mc. Faddon pada
tahun 1812 mendapat perhatian para pakar Hukum Internasional dan
mendapatkan analisis karena pendekatannya yang menyeluruh mengenai
doktrin imunitas ini.62
Dalam perkara tersebut salah satu pernyataan Justice Marshall terkait
dengan imunitas suatu negara menyatakan bahwa berdasarkan imunitas
absolut (absolute immunity) yang dinikmatinya, suatu negara selayaknya
dapat mempertahankan eksekusi properti atau aset yang dimilikinya apabila
perintah eksekutor didasarkan pada putusan pengadilan asing. Hal ini
menyimpulkan bahwa pada zamannya, doktrin imunitas absolut yang
dinikmati negara juga diperluas hingga ke kapal yang digunakan untuk
berperang dan kepentingan publiknya. Atas dasar itu, Pengadilan Amerika
Serikat tidak berwenang untuk mengadili obyek sengketa berupa kapal
perang yang dimiliki oleh suatu negara.
62
Lihat Sub Bab Konsep Tindak Negara (Act Of State).
50
Selain itu dikatakan juga bahwa Imunitas absolut yang dimiliki oleh
negara juga diperluas hingga kepala negaranya. Hal ini juga didasarkan pada
pemikiran bahwa personalitas raja adalah sama dengan personalitas negara
dan tidak ada yuridiksi manapun yang berhak untuk mengadilinya. Imunitas
kepala negara didapatkan dari imunitas absolut negaranya. Hal ini yang
membuat pengadilan asing tidak memiliki yuridiksi untuk memeriksa
seorang kepada negara. Tanpa adanya suatu kehendak yang dinyatakan,
seorang kepala negara tidak dapat diajukan sebagai tergugat di hadapan
pengadilan negara asing. Putusan terhadap kasus ini mengawali lahirnya
imunitas negara yang absolut. Imunitas tersebut dianggap absolut karena
tidak bisa dikesampingkan kecuali dengan kesediaan negara yang
bersangkutan.
Secara umum imunitas negara dapat dipahami bahwa setiap negara
berdaulat, yuridiksi negara lain tidak bisa diperlakukan kepadanya atau
dengan kata lain secara khusus pengadilan suatu negara tertentu tidak dapat
mengadili negara lain. Hal tersebut dikarenakan menurut hukum
internasional setiap negara mempunyai kedaulatan dan persamaan
kedudukan. Hal tersebut juga berkaitan dengan prinsip dalam hukum
internasional yang mengatakan “par in parem non hebat yurisdictionem”,
yang artinya bahwa setiap negara memiliki kedudukan yang sama dan
51
sejajar, tidak ada suatu negara yang melaksanakan yuridiksinya terhadap
negara lain tanpa dengan persetujuan negara lain tersebut.
Hal demikian menunjukan bahwa konsep imunitas negara memiliki
konotasi, bahwa suatu negara tidak dapat ditundukan terhadap yuridiksi
pengadilan asing (immunity from foreign jurisdiction) dan kekayaannya yang
dirada di wilayah negara lain tidak merupakan subyek penyitaan atau
eksekusi (immunity from execution). Imunitas dari yuridiksi asing berarti
suatu negara yang berdaulat tidak tunduk ke dalam yuridiksi negara lain atau
kebal terhadap yuridiksi negara asing. Sementara, yang dimaksud dengan
kekebalan dari eksekusi pengadilan negara asing terutama berkenaan dengan
hak milik dari negara yang berdaulat yang terletak di luar batas-batas
wilayah negaranya.
Bukti keberadaan imunitas absolut negara tersebut kemudian
diindikasikan lebih lanjut oleh preseden-preseden berikutnya. Mahkamah
Kasasi Perancis (Cour de cassation), sebagai contoh menolak untuk
menangani sebuah gugatan antara sebuah perusahaan Perancis melawan
Negara Spanyol dengan alasan serupa.63
Namun demikian perkembangan selanjutnya menunjukan bahwa teori
imunitas absolut (absolute immunity) mengalami pergeseran kepada imunitas
terbatas (restrictive immunity). Perubahan dari imunitas absolut menjadi
63
Gouvernement Espagnol v. Casaux Sirey, Mahkamah Kasasi Perancis (1849).
52
imunitas terbatas tidak terjadi dalam kurun waktu yang singkat. Pengadilan
Belgia adalah yang pertama yang mengadopsi Tindakan privat sebagai
pengecualian terhadap imunitas absolut, pada tahun 1857. Selanjutnya
Pengadilan Italia mulai mengikuti hal yang sama di tahun 1880-an dan
disusul oleh Swiss, Perancis, Austria, Mesir, Yunani, Peru dan Denmark.
Pada tahun 1933, E.W. Allen menyimpulkan bahwa “growing number of
courts are restricting the immunity to instances in which the state has acted
in its official capacity as a sovereign political entity”. Tetapi butuh dua
puluh tahun tahun kemudian hingga Jack B. Tate, yang bertindak selaku
Penasehat Hukum Departemen Luar Negeri Amerika Serikat,
mengumumkan bahwa Departemen tidak akan mendukung lagi imunitas
absolut bagi negara-negara asing di AS, tetapi mengadopsi pembedaan antara
Tindakan publik dan tindakan privat sebagai gantinya 64. Dan kemudian dari
tahun 1857 - 1952 ruang lingkup dan batas-batas imunitas negara berubah
secara bertahap dan perlahan- lahan.65 Dalam teori imunitas terbatas
dijelaskan, bahwa negara hanya dapat menuntut imunitas kedaulatannya
64
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengirim Nota res mi kepada
Departemen Kehakiman Amerika Serikat (Letter oa Acting Legal Adviser, Jack B. Tate to
Department of Justice, 19 May 1952) yang berbunyi: “A study of the law of sovereign
immunity reveals the existence of two conflicting concepts of sovereign immunity, each
widely held and firmly established. According to the classical or absolute theory of
sovereign immunity, a sovereign can not, without his consent, be made a respondent in the
Court of another sovereign. According to the newer or restrictive theory of sovereign
immunity, the immunity of the sovereign is recognized with regard to sovereign of publics
acts (iure imperri) of a state, but not with respect to private act (iure gestiones). 65
Jasper Finke, “Sovereign Immunity: Rule, Comity or Something Else”, The
European Journal of International Law vol. 21 No. 4, 2011, h. 858-859. Dapat diunduh pada
situs http://www.ejil.org/pdfs/21/4/2112.pdf.
53
apabila ia bertindak sebagai suatu negara atau sebagai suatu kesatuan politik
berdaulat yang melahirkan suatu tindakan publik berupa tindakan berdaulat
pula.
Selain itu perkembangan teori imunitas dimulai setelah Perang Dunia
Kedua di mana negara mulai mengubah kecenderungannya untuk
melaksanakan fungsi sebagai regulator semata dalam kegiatan ekonomi.
Pada tahun 1920-an publik menuntut negara untuk terlibat lebih aktif di
dalam kegiatan perdagangan. Maka dari itu, negara mulai membentuk badan-
badan usaha yang dimiliki oleh negara dan juga melakukan perdagangan itu
sendiri melalui agen-agen negara. Selain itu, banyak dilakukan nasionalisasi
perusahaan yang bergerak dalam industri vital dan pembangunan pabrik-
pabrik besar. Dan akhirnya negara juga aktif sebagai aktor dalam
perdagangan internasional.66
Dengan adanya fakta bahwa negara menjadi aktif di dalam kegiatan
perdagangan maka negara juga harus diposisikan sebagai pihak dalam suatu
perjanjian perdata yang menuntut adanya kesetaraan hak dan kewajiban.
Akan menjadi tidak adil apabila negara yang berkontrak dengan subyek
hukum privat lainnya juga memiliki imunitas di hadapan pengadilan suatu
66
Sompong Sucharitkul, State Immunity and Trading in International Law.
Frederick A. Preger Inc. Publisher, New York, 1959, h. 17.
54
negara maka dari itu muncullah pembatasan imunitas negara dalam hal
tertentu.67
Pengadopsian prinsip imunitas yang terbatas ini membuat pengadilan
suatu negara asing dapat memberlakukan yuridiksinya kepada negara terkait
tindakan-tindakan yang memiliki unsur perdata. Perkembangan ini akhirnya
juga menggeser prinsip imunitas absolut. Tindakan negara dibagi menjadi
dua kategori, yaitu apakah tindakan tersebut merupakan tindakan publik
(acta jure imperii) atau tindakan privat (acta jure gestionis). Oleh karena itu
negara menikmati kekebalan selama mereka bertindak dalam kapasitas resmi
mereka, tetapi harus tunduk pada yurisdiksi negara lain jika mereka
bertindak sebagai orang pribadi (privat).68
Hal tersebut mengakibatkan rangkaian kodifikasi-kodifikasi imunitas
terbatas (restrictive immunity) dalam hukum nasional di berbagai negara.
Amerika Serikat, Inggris, Singapura, Pakistan, Afrika Selatan, Kanada,
Australia dan Argentina. dengan Foreign States Immunities Act tahun
1985.69
67
Ibid., h . 19. 68
Jasper Finke, Op. Cit., h. 858. 69
Amerika Serikat dengan Foreign Sovereign Immunies Act 1976, Inggris dengan
State Immunity Act 1978, Singapura dengan State Immunity Act 1979, Pakistan dengan
State Immunity Ordinance 1981, Afika Selatan dengan Foreign States Immunity Act 1981,
Kanada dengan State Immunity Act 1982, Australia dengan Foreign Sovereign Immunities
Act 1985, Argentina dengan Immunidad Jurisdiccional de los Estados Extranjeros ante los
Tibunalos Argentinos 1995.
55
Dalam konsep imunitas terbatas ini tindak negara dibedakan menjadi
dua macam, yaitu Acta Jure Imperii dan Acta Jure Gestionis. Acta Jure
Imperii adalah tindakan resmi suatu negara (beserta perwakilannya)
di bidang publik dalam kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulat.
Imunitas dapat diberikan kepada negara dalam tindakan jure
imperii. Konsep jure imperii ini juga digunakan oleh Mahkamah
Internasional (International Court of Justce) dalam memeriksa kasus
Germany v. Italy.70
Di sisi lain, Acta Jiure gestionis (jure gestionis) adalah tindak negara
untuk tindakan yang sifatnya komersial atau dalam bidang
keperdataan (private acts). Berdasarkan konsep jure gestionis suatu negara
dianggap telah meninggalkan imunitas (waiver of immunity) atau
kedaulatannya sehubungan dengan tindakan negara tersebut di bidang bisnis
(commercial) sehingga dianggap sebagai layaknya perdagangan pada
umumnya.71 Oleh karena itu apabila ada sengketa yang ditimbulkan dari
tindakan tersebut, negara dapat dituntut di badan peradilan umum maupun
70
http://www.hukumonline.com/klin ik/detail/lt4e7051b423af9/apa-itu-prinsip-ijure-
imperii-i, d ikunjungi pada tanggal 15 juli 2016 pukul 18.55 71
Radita Aji, Kedudukan Kontrak Kerja Sama Dalam Bidang Minyak Dan Gas
Bumi Di Indonesia Dikaitkan Dengan Unidroit Principles Of International Commercial
Contract 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum
Dan HAM RI, 2013, h. 181-182.
56
badan arbitrase. Dalam hal ini, imunitas tidak dapat diberikan kepada negara
untuk tindakan (jure gestionis).72
Tindak negara yang dibedakan menjadi dua macam, yaitu Acta Jure
Imperii dan Acta Jure Gestionis inilah yang dalam hukum indonesia
dipahami sebagai Tindak Pemerintahan Dalam Hukum Publik dan Tindak
Pemerintahan Dalam Hukum Privat. Terhadap acta jure imperii dan acta
jure gestionis, terdapat berbagai istilah yang digunakan oleh para ahli seperti
Perbuatan Administrasi,73 Tindakan Hukum Tata Usaha Negara (TUN),74
Tindakan Pemerintah,75 Perbuatan Pemerintah,76 Tindak Pemerintahan,77
bahkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menggunakan istilah
yang berbeda yakni Tindakan Administrasi Pemerintahan. Untuk menengahi
berbagai perbedaan tersebut, penulis menggunakan istilah Tindak
Pemerintahan.
Menurut Van Vollenhoven yang dimaksud dengan Tindak
Pemerintahan (Bestuurshandeling) adalah pemeliharaan kepentingan negara
dan rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa tinggi dan
72
Ibid. 73
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, dalam Irfan
Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah , Alumni,
Bandung, 2004, h. 62. 74
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, h. 146. 75
Ridwan, Hukum..., Op.Cit., h. 109. Lihat juga S.F. Marbun dan Mahfud MD,
Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Liberty, Yogyakarta, 1987, h. 70. 76
S.F. Marbun, Hukum Administrasi Negara I, FH UII Press, Yogyakarta, 2012, h.
149. 77
Ibid.
57
rendahan.78 Pada umumnya Tindak pemerintah terdiri atas tindakan nyata
(feitelijkhandelingen) maupun tindakan hukum (rechtshandelingen).
Tindakan nyata adalah tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya
dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat hukum,79
sedangkan tindakan hukum menurut R.J.H.M Huisman sebagaimana dikutip
oleh Ridwan :
“Een rechtshandeling is gericht op het scheppen van
rechten of plichten”80 (tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk
menciptakan hak dan kewajiban)
Demikian juga pendapat dari H.J. Romeijn :
“Een administratieve rechtshandeling is dan een wilsverklaring in een bijzonder geval uitgaande van een
administratief orgaan, gericht op het in het leven reopen van een rechtsgevolg op het gebeid van administratief recht”81
(tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ administrasi dalam
78
Ibid. 79
C.J.N Versteden, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, h. 55, dalam Ridwan,
Hukum..., Op.Cit., h. 109. Dalam huku m admin istrasi tindakan nyata tidak mendapat
perhatian serius untuk dibahas lebih jauh karena tidak mempunyai akibat hukum sehingga
yang banyak dibahas ialah tindakan hukum. 80
R.J.H.M. Huis man, Algemeen Bestuursrecht, een Inleiding, h. 13, dalam Ridwan,
Hukum... , Op.Cit., h. 110. 81
H.J. Romeijn, Administratiefrecht, h. 89, dalam Ridwan, Hukum..., Op.Cit., h.110.
Istilah Tindakan Hukum ini semula berasal dari ajaran hukum perdata yang kemudian
digunakan dalam Hukum Administrasi Negara sehingga dikenal istilah Tindakan Hukum
Administrasi.
58
keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang administrasi negara)
Telah dijelaskan bahwa dalam menjalankan tugas pemerintahan,
pemerintah sering tampil dengan “dua wajah” yaitu ketika melaksanakan
aktivitasnya dalam bidang hukum publik maupun dalam bidang hukum
privat. Karena pemerintah sering tampil dengan dua wajah, maka dikenal
dikenal ada dua macam tindakan hukum yang dilakukan oleh badan atau
para pejabat pemerintahan yaitu tindakan dalam hukum publik (acta jure
imperii) dan tindakan dalam hukum privat (acta jure gestionis). Di dalam
ABAR, tindakan hukum pemerintahan dijelaskan sebagai berikut :
“De rechtshandelingen door de overheid in haar bestuursfunctie, kunnen worden onderscheiden in privaatrechtelijke en publiekrechtelijke rechtshandelingen.
Onder publiekrechtelijke rechtshandelingen worden hier verstaan de rechtshandelingen die verricht worden op de
grondslag van het publiekrecht; onder privaatrechtelijke rechtshandelingen; rechtshandelingen die verricht worden op grondslag van het privaatrecht”.82
(Tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahannya dapat dibedakan dalam tindakan hukum publik dan tindakan hukum privat.
Tindakan hukum publik berarti tindakan hukum yang dilakukan tersebut didasarkan pada hukum publik,
sedangkan tindakan hukum privat adalah tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan hukum keperdataan).
82
Ridwan, Hukum Administrasi... Op. Cit., h. 144.
59
Selanjutnya tindakan pemerintah dalam hukum publik (juri imperii)
dan tindakan pemerintah dalam hukum privat (jure gestionis) akan diuraikan
sebagai berikut:
1. Tindak Pemerintahan Dalam Hukum Publik
Dari perspektif hukum publik, negara adalah organisasi jabatan, de
staat is ambtenorganisatie. Adapun yang dimaksud jabatan adalah suatu
lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu
lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang een ambt is een
instituut met eigen werkkring waaraan bij de instelling duurzaam en
welomschreven taak en bevoegdheden zijn verleend.83
Di dalam negara itu terdapat berbagai lembaga-lembaga negara dan
pemerintahan, dimana tugas dan wewenangnya dijalankan oleh
pemerintah baik dalam arti luas maupun sempit. Dengan kata lain,
jabatan-jabatan yang dilekati dengan tugas dan wewenang itu dijalankan
oleh wakil (vertegenwoordiger) yaitu pemerintah. Dalam hal ini
pemerintah bertindak untuk dan atas nama jabatan. Pemerintah adalah
pelaku hukum publik. J.B.J.M ten Berge mengatakan sebagai berikut :
“de overheid die optreedt als gezagorganisatie, anders gezegd, de overheid die ‘bindende besluiten’ neemt als bedoeld in artikel 1:3, eerste lid, Awb, doet zulks op basis
van publiekrechtelijke bovoegdheden. Die publiekrechtelijke bevoegdheden zijn in of krachtens
wettelijke voorschriften steeds toebedeeld (attributie) of
83
Ridwan, Diskresi..., Op. Cit., h. 98.
60
overgedragen (delegatie) aan bepaalde ‘personen of colleges’ die deze bevoegdheden op eigen naam en eigen
gezag uitoefenen”.84
(pemerintah yang bertindak sebagai organisasi kekuasaan, yakni pemerintah yang membuat ‘keputusan mengikat’
seperti maksud dalam pasal 1:3, ayat pertama, Awb, melakukan tindakan atas dasar wewenang publik.
Wewenang publik itu diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan (atribusi) atau dilimpahkan (delegasi) kepada ‘seseorang atau badan’ yang
melaksanakan wewenang ini atas nama kekuasaan sendiri).
Berkenaan dengan pemerintah sebagai pelaku hukum publik tersebut,
Philipus M. Hadjon mengatakan sebagai berikut:
“Sebagai pelaku hukum publik (public actor) badan atau pejabat tata usaha negara memiliki hak dan wewenang
istimewa untuk menggunakan dan menjalankan kekuasaan publik (public authority, openbaar gezag). Berdasarkan
penggunaan kekuasaan hukum publik dimaksud, badan atau pejabat tata usaha negara dapat secara sepihak menetapkan pelbagai peraturan keputusan
(beschikkingen) yang mengikat warga negara (bersama badan-badan hukum perdata) dan peletak hak dan
kewajiban tertentu dan karena itu menimbulkan akibat hukum bagi mereka itu. Tentu saja, ada kalanya seorang warga atau badan hukum perdata tidak menyenangi dan
enggan menaati suatu peraturan/keputusan yang mengikat padanya, tetapi ia tetap dituntut untuk menghormati dan
menaati ketentuan peraturan/keputusan itu bahkan jika perlu pelaksanaannya dapat dipaksakan melalui campur tangan petugas (aparat) penegak hukum seperti halnya
polisi, jaksa, dan hakim”85
84
Ibid. 85
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2011, h. 166.
61
Dalam perspektif hukum publik, negara adalah organisasi jabatan.
Menurut Bagir Manan, jabatan adalah lingkungan pekerjaan tetap yang
berisi fungsi- fungsi tertentu yang secara keseluruhan mencerminkan
tujuan dan tata kerja suatu organisasi. Negara berisi berbagai jabatan atau
lingkungan kerja tetap dengan berbagai fungsi untuk mencapai tujuan
negara. Sebagai jabatan, ia diserahi kewenangan publik
(publiekbevoegdheid) yang diatur dan tunduk dalam hukum publik.86
Ketika pemerintah melakukan tindakan yang hanya didasarkan pada
wewenang publik (publiek bevoegdheid) dan tanpa menggunakan
instrument hukum keperdataan, tindakan pemerintah itu disebut murni
bersifat publik (puur pliekrechtelijke), misalnya dalam hal pembuatan
peraturan perundang-undangan (regeling) atau keputusan
(beschikking),87 maka hukum publiklah yang berlaku. Jika pemerintah
bertindak tidak dalam kualitas pemerintah, maka hukum privatlah yang
berlaku.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tindak pemerintah dalam
hukum publik (jure imperii) merupakan tindakan-tindakan hukum yang
dilakukan oleh pejabat administrasi dalam menjalankan fungsi
pemerintahan. Tindakan hukum publik ini dilakukan berdasarkan
kewenangan pemerintah yang bersifat hukum publik yang hanya dapat
86
Ridwan, Hukum Administrasi... Op. Cit., h. 70-72. 87
Ridwan, Diskresi..., Op. Cit., h. 99.
62
lahir dari kewenangan yang bersifat hukum publik pula. Kedudukan
pemerintah sebagai pelaku hukum publik yang dilekati hak dan
wewenang untuk menggunakan dan menjalankan perbagai peraturan dan
keputusan serta wewenang diskresi, secara garis besar fungsi dan urusan
pemerintahan itu dapat dikelompokan menjadi fungsi pembuatan
peraturan perundang-undangan beserta penegakannya (regelen en
handhaven), membuat keputusan (beschikken), dan membuat
kebijakan (beleidsregel). Di samping itu juga pemerintah dilekati dengan
kewajiban untuk memberikan pelayanan publik atau melaksanakan
fungsi pelayanan (zorgsfunctie), terutama bagi negara-negara yang
menganut atau dipengaruhi konsep welfare state.88
Sebagai pelaku hukum publik (public actor) yang menjalankan
kekuasaan publik (public authority, openbaar gezag), yang dijelmakan
dalam kualitas penguasa seperti halnya badan-badan tata usaha negara dan
perbagai jabatan yang diserahi wewenang penggunaan kekuasaan publik.
Salah satu bentuk pelayanan publik kepada masyarakat termanifestasikan
dengan kehadiran BUMN sebagai salah satu pilar perekonomian
Indonesia, yang di amanatkan UUD NRI 1945. BUMN yang seluruh atau
sebagian besar modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan,
merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian
88
Ridwan, Diskresi..., Op. Cit., h. 102-103.
63
nasional, disamping usaha swasta dan koperasi. Dalam menjalankan
kegiatan usahanya, BUMN, swasta dan koperasi melaksanakan peran
saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi.
Berkaitan dengan tindakan dalam hukum publik (jure imperii) dari
organ pemerintahan, S.F. Marbun membagi lagi tindakan menurut hukum
publik ke dalam dua bentuk:
Perbuatan Hukum Publik Bersegi Satu (eenzijdige
publiekrechtelijke handeling)
Di kalangan sarjana terjadi perbedaan pendapat mengenai tindakan
menurut hukum publik. Beberapa sarjana hanya mengakui adanya
perbuatan hukum publik yang bersegi satu, artinya hukum publik itu lebih
merupakan kehendak satu pihak saja yaitu pemerintah. Menurut mereka
tidak ada perbuatan hukum publik yang bersegi dua, tidak ada perjanjian,
misalnya, yang diatur oleh hukum publik. Jika pemerintah mengadakan
perjanjian dengan pihak swasta maka perjanjian itu senantiasa
menggunakan hukum privat (perdata). Perbuatan tersebut merupakan
perbuatan hukum bersegi dua karena diadakan oleh kehendak kedua belah
pihak dengan sukarela. Itulah sebabnya tidak ada perjanjian menurut
hukum publik, sebab hubungan hukum yang diatur oleh hukum publik
64
hanya berasal dari satu pihak saja yakni pemerintah dengan cara
menentukan kehendaknya sendiri.89
Perbuatan Hukum Publik Bersegi Dua (tweezijdige
publiekrechtelijke handeling)
Van der Pot, Kranenberg-Vegting, Wiarda dan Donner mengakui
adanya hukum publik yang bersegi dua atau adanya perjanjian menurut
hukum publik. Mereka memberi contoh tentang adanya “kortverband
contract” (perjanjian kerja jangka pendek) yang diadakan seorang swasta
sebagai pekerja dengan pihak pemerintah sebagai pihak pemberi
pekerjaan.
Pada kortverband contract ada persesuaian kehendak antara pekerja
dengan pemberi pekerjaan, dan pembuatan hukum itu diatur oleh hukum
istimewa yaitu peraturan hukum publik sehingga tidak ditemui
pengaturannya di dalam hukum privat (biasa). Dalam kaitan ini bisa
dicontohkan untuk masa waktu tertentu adalah merupakan kortverband
contract yang kemudian dituangkan dalam satu beschikking.90
Berdasarkan konsep tindak pemerintah dalam hukum publik yang
telah dijelaskan, maka hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara
pemerintah, dengan seseorang atau badan hukum perdata tidak berada
89
S.F. Marbun, Op. Cit., h. 150. 90
Ibid., h. 151.
65
dalam kedudukan yang sejajar. Pemerintah memiliki kedudukan khusus
(de overhead als bijzonder person), sebagai satu-satunya pihak yang
diserahi kewajiban untuk mengatur dan menyelenggarakan kepentingan
umum di mana dalam rangka melaksanakan kewajiban ini, kepada
pemerintah diberikan wewenang membuat peraturan perundang-
undangan, menggunakan paksaan pemerintahan, atau menerapkan sanksi
hukum. kedudukan pemerintah yang tidak dimiliki oleh seorang atau
badan hukum perdata ini menyebabkan hubungan hukum antara
pemerintah dengan seseorang dan badan hukum perdata bersifat
ordinatif.91
2. Tindak Pemerintahan Dalam Hukum Privat
Mencapai tujuan negara seperti yang diamanatkan UUD NRI 1945,
negara dapat melakukan berbagai tindakan hukum melalui wakilnya yakni
pemerintah. Dengan kata lain pemerintah selain bertindak dalam hukum
publik, dapat juga melakukan berbagai tindakan dalam hukum perdata.
Selaku pelaku hukum keperdataan (civil actor) yang melakukan perlbagai
perbuatan hukum keperdataan (privaatrechtelijke handeling), seperti
halnya mengikat perjanjian jual beli, sewa menyewa, pemborongan dan
sebagainya yang dijelmakan dalam kualitas badan hukum (legal person,
91
Ridwan, Hukum Administrasi..., Op. Cit., h. 119-120.
66
rechtspersoon). Perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat
tata usaha negara itu tidak diatur berdasarkan hukum publik, tetapi
didasarkan pada peraturan perundang-undangan hukum perdata
(privaatrecht), sebagaimana lazimnya peraturan perundang-undangan
yang mendasari perbuatan hukum keperdataan yang dilakukan seorang
warga dan badan hukum perdata.92
Hal senada juga dikemukakan oleh C.J.N Versteden yaitu:
“De overhead-en in het bijzonder het bestuur-komt op allerlei wijzen met privaatrecht in aanraking. Soms neemt zij aan het privaatrechtelijke rechtsverkeer deel op
gelijker voet als particulieren, zonder dat haar bijzonder positive als overhead en behartiging vat het algemeen
belang daarbij in het geding. Zo treedt de overhead op als eigenares van groden en gebouwen... We zien de overhead ook geldleningen afsluiten, apparaten en machines kopen.
In deze gevallen is de overhead evenals de particuliere personen aan de regels van het privaatrecht
onderworpen.93
(Pemerintah-dan dalam kedudukannya yang spesifik sebagai pemerintah-menggunakan berbagai ketentuan
hukum privat dalam pergaulannya. Kadang-kadang mereka terlibat dalam lalu lintas pergaulan keperdataan dalam kedudukan yang sama dengan pihak swasta, tanpa
kedudukan spesifiknya sebagai pemerintah dan yang melindungi kepentingan umum dalam hal ini terjadi
sengketa. Dengan demikian, pemerintah dapat bertindak sebagai pemilik tanah dan bangunan.... Kita juga menyaksikan pemerintah meminjam uang, membeli
mesin-mesin dan peralatan. Dalam hal ini pemerintah
92
Ph ilipus M. Hadjon, dkk, Op. Cit., h. 166. 93
Ridwan, Diskresi..., Op. Cit., h. 88.
67
seperti halnya seorang swasta tunduk pada peraturan keperdataan).
Bagi pemerintah, fungsi pelayanan terhadap masyarakat terutama
dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan,
pekerjaan dan sebagainya yang merupakan amanat konstitusi adalah hal
yang fundamental. Diberikannya kewajiban kepada pemerintah untuk
memberikan pelayanan umum (bestuurszorg) itu menyebabkan
pemerintah harus terlibat aktif dalam kehidupan warga negara
(staatsbemoeienis).
Salah satu bentuk tindak pemerintah mewujudkan pelayanan umum
tersebut termanifestasi dalam bentuk BUMN sebagai salah satu pelaku
ekonomi dalam sistem perekonomian nasional dimana BUMN ikut
berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam
rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal menarik
yang patut dicermati dengan kehadiran BUMN ialah tindak pemerintah
sebagai pelaku hukum publik di dalam pergaulan keperdataan dan
terhadap pelaksanaan dan pengelolaannya yang berkaitan erat dengan
hukum publik dan hukum privat.
Dalam hubungan keperdataan yang bertumpu pada asas otonomi dan
kebebasan berkontrak. Hubungan hukum berdasarkan hukum perdata
bersifat sejajar. Pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan
68
hukum pemerintahan, bukan sebagai wakil dari jabatan pemerintahan,
dapat mengadakan hubungan hukum berdasarkan hukum perdata dengan
kedudukan yang sejajar atau tidak berbeda dengan seseorang atau badan
hukum perdata94 dan dapat menjadi pihak dalam sengketa keperdataan
dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan hukum
perdata dalam peradilan umum.95
Berdasarkan pemaparan diatas secara teoritis cara untuk menentukan
apakah tindakan pemerintah itu diatur oleh hukum privat atau hukum publik
adalah dengan melihat kedudukan pemerintah dalam menjalankan tindakan
tersebut. Jika pemerintah bertindak dalam kualitasnya sebagai pemerintah,
maka hanya hukum publiklah yang berlaku, jika pemerintah bertindak tidak
dalam kualitas pemerintah, maka hukum privatlah yang berlaku. Dengan
kata lain, ketika pemerintah terlibat dalam pergaulan keperdataan dan bukan
dalam kedudukannya sebagai pihak yang memelihara kepentingan umum, ia
tidak berbeda dengan pihak swasta, yaitu tunduk pada hukum privat. Cara
lainnya adalah dengan melakukan pembedaan antara overheid sebagai
pemegang kewenangan pemerintah dengan lichaam sebagai badan hukum.
dalam kaitannya dengan daerah, diketahui bahwa daerah adalah badan
hukum publik, yang di satu sisi sebagai overheid dan di sisi lain sebagai
94
Ridwan, Hukum..., Op. Cit., h. 120. 95
Ridwan, Hukum..., Op. Cit., h. 84.
69
lichaam. Sebagai overheid, daerah melaksanakan kewenangan atau tugas-
tugas pemerintahan yang diberikan dan diatur oleh ketentuan hukum publik.
Sebagai lichaam, daerah adalah sebagai wakil dari badan hukum, yang dapat
bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada ketentuan hukum
perdata. Sebagai contoh, ketika kabupaten/kota membeli beberapa mobil bus
baru untuk kepentingan perusahaannya, kabupaten melaksanakan perjanjian
jual beli yang didasarkan pada hukum perdata. Disebutkan juga bahwa “Als
zodanig is de gemente dragster van privaatrechtelijke rechten en plichten,
zin kan deelnemen aan het “gewome” rechtsverkeer. En wanner zij dat doet
neemt zij in beginsel dezelfde positive in als elke andere natuurlijke of
rechtspersoon” (sebagaimana badan hukum privat, kabupaten adalah
pemikul hak dan kewajiban keperdataan. Kabupaten dapat melakukan
berbagai tindakan hukum berdasarkan hukum perdata, ia dapat terlibat dalam
lalu lintas pergaulan hukum “biasa”. Apabila kabupaten melakukan tindakan
tersebut, secara prinsip kedudukannya sama dengan seseorang atau badan
hukum). Berdasarkan contoh dan keterangan tersebut tampak bahwa
pemerintah atau pemerintah daerah sebagai wakil dari negara dapat
melakukan perbuatan atau tindakan hukum publik dan tindakan hukum
keperdataan.96
96
Ridwan, Hukum Administrasi..., Op. Cit., h. 115-117.