Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan tentang teori yang digunakan untuk mengkaji
kecerdasan emosi pada tokoh utama. Pada bab ini diuraikan tentang (1) pengantar,
(2) unsur pembangun novel, (3) psikologi karya sastra, (4) emosi, dan (5) kerangka
berpikir.
2.1 Pengantar
Keberadaan sastra tidak asing lagi bagi manusia. Sastra dapat memengaruhi
individu karena sastra bagian dari kehidupan (Ariesandi, 2017: 106). Karya sastra
merupakan keadaan kehidupan masyarakat dan mengandung makna tertentu yang
disampaikan kepada pembaca. Novel merupakan karya tulis pengarang yang hadir
di masyarakat. Karya sastra membuat pembaca untuk menghayati dan mampu
menangkap fenomena kehidupan tokoh dalam cerita (Setiawan, 2015: 1).
Untuk dapat melakukan penelitian dengan baik dan saksama serta sejalan
dengan tujuan penelitian, maka diperlukan teori-teori. Kajian pustaka dalam
penelitian ini digunakan sebagai landasan berpikir yang dapat mengarahkan
pelaksanaan penelitian. Kajian pustaka disusun berdasarkan teori yang relevan
dengan penelitian. Teori tersebut untuk membantu memecahkan persoalan
penelitian ini agar arahan penelitian menjadi jelas dan permasalahan yang ada dapat
diselesaikan dengan baik.
2.2 Unsur Pembangun Novel
Novel menjadi bagian dari genre karya sastra yang bagus untuk dinikmati
oleh pembaca, tepat untuk dilakukan penelitian oleh para peneliti, dan cocok bagi
dunia kritikus hal itu tidak dapat dilepaskan dari unsur pembangun novel yang
menjadikan cerita di dalam novel menjadi hidup dan memiliki pesan yang
bermakna. Purnamasari, dkk, (2017: 142) menjelaskan bahwa novel merupakan
karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusian yang lebih mendalam
dan disajiakan dengan halus. Novel sebagai salah satu bentuk karya kehidupan dan
mampu memberi renungan terhadap manusia. Novel memberikan pengetahuan,
pengalaman, dan mengigatkan kita terhadap sejarah atau peristiwa masa lalu
(Salfia, 2015: 1).
Menurut Karyono (2008: 6) bahwa novel memiliki peran dalam
memperbaiki perilaku dan kesadaran terhadap kehidupan. Unsur pembangun novel
yang dimaksudkan yaitu unsur instrik dan unsur ekstrinsik. Novel memiliki unsur
pembangun. Unsur pembangun yaitu unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur
instrinsik adalah unsur pembangun dari dalam novel seperti tema, tokoh,
penokohan, alur, dan latar. Sedangkan, unsur ekstrinsik yaitu suatu unsur
pembangun novel yang lebih berfokus kepada unsur di luar novel seperti lebih
difokuskan pada sisi pengarang novel. Hal ini diperkuat oleh Nurna (2015: 3)
bahwa novel dibangun oleh beberapa unsur. Unsur itu ada unsur dalam dan ada
unsur luar atau biasa dikenal dengan istilah intrinsik dan ekstrinsik. Kedua unsur
inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra dan sering disebut
para kritikus sastra untuk dikaji serta membicarakan novel atau karya sastra pada
umumnya.
12
Novel dibangun berdasarkan dua unsur yakni intrinsik dan ekstrinsik. Unsur
intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam yang
termasuk struktur (tema, alur, latar atau seting, dan penokohan), serta unsur
kebahasaan (kosa kata, frase, klausa, dan kalimat). Sebaliknya unsur ekstrinsik
adalah unsur yang membangun karya sastra dari luar seperti faktor ekonomi, sosial,
pendidikan, agama, kebudayaan, politik, dan tata nilai dalam masyarakat. Unsur-
unsur yang membangun novel, baik intrinsik maupun ekstrinsik pada dasarnya
mengandung nilai-nilai hiburan dan pendidikan yang dapat diambil manfaatnya
untuk kepentingan pendidikan. Hal-hal tersebut dapat dijadikan pembentuk watak
atau perilaku siswa dalam kehidupan sehari-hari. Tidak semua novel layak
dijadikan bahan ajar untuk jenjang usia atau jenjang sekolah tertentu karena novel
diciptakan pada dasarnya bukan untuk kepentingan tertentu saja (Hermawan, 2015:
147).
Pondasi dalam karya sastra, yaitu unsur ekstrinsik dan unsur instrinsik.
Unsur instrinsik adalah unsur karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri (Niode,
2015: 2). Cerita di dalam novel sampai kepada pembaca bergantung bagaimana
pengarang membangun unsur pembangun novel. Sedangkan unsur ekstrinsik yaitu
berdasarkan pada sisi pengarang novel. Agar lebih jelas di bawah ini ulasan yang
detail terkait unsur intrinsik sebagai berikut.
2.2.1 Unsur Intrinsik
Unsur intrisnsik adalah unsur pembangun karya sastra yang berasal dari
dalam. Lauma (2017: 4) unsur-unsur intrinsik adalah unsur yang membangun dari
dalam karya sastra sehingga membentuk struktur. Intrinsik itu seperti, tema, alur,
latar, dan gaya bahasa. Unsur intrinsik bagaikan bangunan rumah yang menguatkan
13
dari dalam pondasi sehingga menjadi sebuah rumah yang kokoh dan indah. Maka
ketika diterapkan di dalam novel unsur intrinsik sebagai pondasi yang memiliki
fungsi untuk menguatkan dan menjadikan novel menjadi hidup serta indah untuk
dijadikan sebagai bahan bacaan pembaca.
Pendapat yang sama diungkapkan oleh Lestari, dkk, (2016: 186) unsur
intrinsik adalah salah satu unsur yang membangun karya sastra. Unsur intrinsik
adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur inilah yang
dapat membuat karya sastra sebagai karya sastra. Unsur intrinsik secara faktual
akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel
adalah unsur secara langsung dalam membangun novel. Kepaduan unsur intrinsik
inilah yang membuat sebuah novel berwujud (Nurgiyantoro, 1995: 23). Penelitian
ini mengungkapkan beberapa unsur intrinsik demi fokusnya permasalahan. Unsur
intrinsi novel sebagai berikut.
2.2.1.1 Tokoh
Fanani (2008: 285) menjelaskan tokoh merupakan figur yang dikenai dan
sekaligus mengenai tindakan psikologis. Sementara itu, tokoh juga sebagai
eksekutor dalam sastra dengan jutaan rasa akan dihadirkan lewat tokoh. Apa yang
dialami manusia, dirasakan, diinternalisasi, dan dihayati sepenuh hati merupakan
peta jiwa. Peta jiwa dapat terang dan buram berkaitan dengan suasana yang
membangun. Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam karya sastra dibangun untuk
melakukan sebuah objek. Tokoh di dalam karya sastra sebagai wakil kejiwaan
sastrawan. Sastrawan terkadang memberikan pesan dan kemarahannya melalui
tokoh yang dimunculkan dalam karya sastra. Tokoh dalam karya sastra merupakan
karangan pengarang, hanya pengaranglah yang mengenal mereka. Maka tokoh-
14
tokoh itu perlu digambarkan ciri secara lahir, sifat dan batinnya dengan maksud
agar watak dapat dikenal oleh pembaca (Waslam, 2017: 104).
Tokoh-tokoh yang dihadirkan memiliki watak yang berbeda-beda, sehingga
permasalahan yang dimunculkan seorang pengarang menjadi kompleks (Yoanita,
2011: 770). Tokoh di dalam novel berinteraksi satu sama lain sehingga tokoh sangat
kuat untuk menghidupkan cerita. Novel tidak akan hidup kalau pengarang tidak
menghadirkan tokoh di hasil karyanya karena kehadiran tokoh juga menentukan
berhasilnya sebuah cerita. Tokoh dimunculkan di dalam alur cerita tidak
sembarangan karena ada pertimbangan yang matang dan berdasarkan kebutuhan
novel itu sendiri. Imajinasi pengarang mulai dimainkan untuk mempertimbangkan
tokoh yang seperti apa yang cocok untuk dilibatkan dihasil karya sastranya.
Menurut Aminuddin (2013: 79-80) bahwa peristiwa karya fiksi seperti
kehidupan sehari-hari yang selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu.
Tokoh merupakan pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi. Tokoh
yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau
tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena
pemunculannya hanya sebagai pelengkap, pembantu, dan pendukung pelaku utama
disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu. Tokoh hadir di dalam cerita dengan
membawakan peran masing-masing. Tarigan (1986: 138) bahwa suatu cerita tidak
hanya membahas tentang urutan kejadian saja. Tetapi, kejadian tersebeut
berhubungan dengan orang-orang tertentu atau pada kelompok orang. Setiap cerita
yang pendek ada tokoh utama. Pada prinsipnya struktur cerita bergantung pada
penentuan tokoh utama. Tokoh tambahan diperlukan sebagai pelangkap tokoh
utama.
15
Setiana (2017: 215) sifat tokoh dapat dilihat melalui pikiran, percakapan
tokoh, dan pandangan tokoh terhadap sesuatu. Sifat yang ada dalam diri tokoh
digunakan untuk membedakan antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Forster
(dalam Turaeni, 2015: 239) menambahkan untuk membedakan tokoh berwatak
datar atau pipih dan tokoh berwatak bulat yaitu tokoh yang memiliki watak datar
hanya ditonjolkan pada satu sisi wataknya saja, sedangkan tokoh yang memiliki
watak bulat diapat dilihat dari berbagai sisi wataknya.Tokoh berwatak bulat
diungkap sisi baik maupun sisi buruknya, jadi ia tidak selalu tampil dengan watak
yang baik atau selalu buruk saja. Tokoh berwatak datar hanya ditonjolkan salah satu
sisi wataknya saja sehingga ia tampak sebagai tokoh yang berwatak baik atau
berwatak buruk.
Kusumaningrum (2012: 2) bahwa mutu cerita didasarkan pada kecerdasan
pengarang dalam menghidupkan karakter tokoh. Jika karakter tokoh tidak kuat,
maka seluruh cerita menjadi tidak kuat. Setiap tokoh mempunyai karakter sendiri
dan mengemban suatu perwatakan tertentu yang diberi bentuk dan isi oleh
pengarang. Tokoh di dalam cerita novel memiliki fungsi yang penting untuk
menentukan keberhasilan cerita. Karena cerita akan mengalir sampai akhir cerita
dengan kehadiran tokoh. Tokoh memiliki peranan yang digunakan pengarang untuk
menyampaikan amanat dan nilai-nilai kehidupan kepada pembaca.
16
2.2.1.2 Tema
Tema merupakan adalah pokok pikiran atau dasar cerita yang akan dipilih
dan dituangkan pengarang dalam membuat novel atau karya sastra. Tema bagian
utama yang harus dipikirkan lebih awal dan utama sebelum pengarang membuat
karya. Pengarang harus memilih dan menggunakan tema berbobot agar karya sastra
yang dihasilkan berkualitas tinggi dan memiliki nilai seni yang bermutu. Tarigan
(1986: 125) bahwa fiksi harus mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Penulis
melukiskan watak para tokoh dalam karyanya dengan dasar tertentu. Suatu cerita
yang tidak mempunyai tema tentu tidak ada gunanya dan artinya. Walaupun,
misalnya pengarang tidak menjelaskan apa tema ceritanya secara eksplisit, hal itu
harus dapat dirasakan dan disimpulkan oleh para pembaca setelah selesai
membacanya.
Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang
bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi
tertentu. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat
menjiwai seluruh bagian cerita itu. Dengan demikian, untuk menemukan tema
sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya
berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara
pasti, ia bukanlah makna yang disembunyikan. Walau belum tentu juga ditentukan
secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak secara sengaja
disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun,
tema merupakan makna keseluruhan cerita yang tersembunyi di dalam cerita
(Nurgiyantoro, 1995: 68). Tema merupakan pondasi dasar sebelum menulis novel.
Tema dapat menghadirkan semua peristiswa yang ada di dalam cerita novel dan
17
penyampaian pesan. Tema yang dipilih harus yang berbobot agar menentukan ke
arah kualitas hasil karya sastra yang dihasilkan.
2.2.1.3 Alur
Alur merupakan tahapan cerita yang ditulis pengarang melalui rentetan
suatu peristiwa yang saling jalin-menjalin sehingga menjadi suatu kesatuan cerita
yang utuh. Alur cerita yang akan membawa pembaca larut secara emosional ke
dalam cerita. Di situlah kepandaian seorang pengarang untuk melibatkan emosi
pembaca terhadap cerita yang ingin dibangun. Alur bagi pengarang dijadikan
sebagai pedoman untuk mengembangkan cerita dari tahap eksposisi samapai
dengan tahapan penyelesain. Alur bagi pembaca dijadikan sebagai pemahaman
keseleruhan cerita yang dibaca.
Loban, dkk, (dalam Aminuddin, 2013: 84-85) bahwa gerak tahapan alur
cerita diibaratkan seperti hanya gelombang. Gelombang itu berawal dari (1)
eksposisi, (2) komplikasi atau intrik-intrik awal yang akan berkembang menjadi
konflik, (3) klimaks, (4) revelasi atau penyingkatan tabir suatu problema, dan (5)
denouement atau penyelesaian yanng membahagiakan, yang dibedakan dengan
catastrophe, yakni penyelesaian yang menyedihkan dan solution, yakni
penyelesaian yang masih bersifat terbuka karena pembaca sendirilah yang
dipersilahkan menyelesaikan lewat daya imajinasinya.
Sumardjo (dalam Pratama, 2017: 107) bahwa kejadian yang ada di dalam
cerita merupakan cerita yang di dalamnya mengalami perkembangan konflik.
Kejadian akan mengalami perkembangkan jika terdapat suatu konflik. Cerita tidak
akan ada jika konflik tidak dimunculkan oleh pengarang. Kerangka plot dimulai
dari pengenalan, timbulnya konflik, klimaks, dan penyelesaian. Tahapan alur
18
dipilih pengarang dengan tujuan ingin membuat pembaca terlibat secara emosi di
dalam karya sastra yang ditulisnya.
Plot adalah cerita yang berisi urutan suatu kejadian, setiap kejadian selalu
dihubungkan dengan sebab akibat, sehingga mengakibatkan peristiwa satu
disebabkan oleh peristwa lain atau peristiwa satu menyebabkan peristiwa lain
(Ismawati dalam Agustyaningrum, dkk, 2016: 107). Alur merupakan jalinan
kejadian yang saling berkaitan sehingga diselesaikan dengan penyelesaian di akhir
cerita. Penyelesaian biasanya diselesaikan oleh pengarang dan pembaca sendiri
yang menyelesaikan. Pemilihan alur ditentukan oleh pengarang dengan gaya kreatif
apakah memilih alur yang runtut atau tidak runtut untuk menarik perhatian
pembaca.
2.3 Psikologi Karya Sastra
Hubungan antara karya sastra dan psikologi yaitu karya sastra dipandang
sebagai gejala psikologi yang akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui
tokoh-tokoh di dalam prosa atau drama. Sementara itu, kejiwaan akan disampaikan
melalaui pemilihan kata dan larik di dalam puisi (Suprapto, dkk, 2014: 2-3). Unsur-
unsur kejiwaan tokoh fiksional dalam karya sastra dianalisis untuk mengetahui
aspek psikologi watak yang timbul dalam karya sastra tersebut (Nasution, dkk,
2014: 77).
Karya sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan psikologis
adalah karya sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin
manusia karena hakikat kehidupan manusia itu adalah perjuangan menghadapi
kekalutan batinnya sendiri. Kejujuran, kecintaan, kemunafikan, dan lain-lain berada
di dalam batin masing-masing yang kadang-kadang terlihat gejalanya dari luar dan
19
kadang-kadang tidak. Oleh sebab itu, kajian tentang perwatakan para tokoh harus
menukik ke dalam segi kejiwaan (Semi, 1990: 78).
Menurut Puspita (2017: 26) bahwa tingkah laku manusia inilah yang juga
digambarkan dalam karya sastra oleh pengarangnya. Tingkah laku tokoh ini pulalah
yang membawa pesan yang akan disampaikan pengarang dalam karyanya.
Hubungan inilah yang menyebabkan adanya kajian psikologi dalam karya sastra.
Dengan memfokuskan pada karya sastra, terutama fakta cerita dalam sebuah fiksi
atau drama, psikologi karya sastra mengkaji tipe dan hukum-hukum psikologi yang
diterapkan pada karya sastra. Untuk melakukan kajian ini, ada dua cara yang dapat
dilakukan. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi, kemudian diadakan
analisis terhadap karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah
karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi
yang dianggap relevan untuk melakukan analisis karya sastra (Ratna dalam
Wiyatmi, 2011: 44).
Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional yaitu sama-sama
berguna sebagai sarana mempelajari aspek kejiwaan manusia. Bedanya, gejala
kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah gejala kejiwaan manusia yang
imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia nyata. Meskipun sifat-sifat
manusia dalam karya sastra bersifat imajiner tetapi di dalam menggambarkan
karakter dan jiwanya, pengarang menjadikan manusia yang hidup di alam nyata
sebagai model di dalam penciptaanya. Oleh karena itu, dalam sastra ilmu psikologi
digunakan sebagai salah satu pendekatan untuk meneladani atau mengkaji tokoh-
tokohnya. Maka, dalam menganalisis tokoh dan karakter tokoh harus seorang
20
pengkaji harus menggunakan teori psikologi yang relevan dengan analisis yang
dilakukan tersebut (Wulandari, 2013: 12).
Karya-karya sastra memungkinkan ditelaah melalui pendektan psikologi
karena karya sastra menampilkan watak para tokoh, walaupun imajinatif sehingga
dapat menampilkan berbagai problem psikologis (Minderop, 2013: 55). Psikologi
karya sastra relevan dengan gejala kejiwaan yang dialami oleh tokoh utama di
dalam novel Gunung Ungaran. Berdasarkan pemikiran di atas, maka penelitian
psikologi karya sastra perlu dilakukan untuk mengkaji kecerdasan emosi tokoh
utama dalam novel Gunung Ungaran karya Nh. Dini.
2.4 Emosi
Emosi adalah salah satu potensi yang dimiliki manusia sejak lahir dan akan
berkembang sesuai dengan lingkungannya. Manusia adalah mahluk ciptaan Allah
SWT yang memiliki perasaan, akal, dan emosi yang digunakan untuk bertindak di
kehidupan bersosial. Manusia jika ingin dikatakan manusia harus memiliki yang
namanya emosi, karena emosi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Emosi
merupakan reaksi yang mengandung kegiatan sehingga dapat terjadinya suatu
perubahan perilaku karena emosi pada dasarnya merupakan dorongan untuk
bertindak (HM, 2016: 1-2).
Sikap dan perasaan/emosi seseorang telah ada dan berkembang semenjak ia
bergaul dengan lingkungannya. Timbulnya sikap dan perasaan/emosi itu (positif
atau negatif) merupakan produk pengamatan dari pengalaman individu secara unik
dengan benda-benda pisik lingkungannya, dengan orang tua dan saudara-saudara,
serta pergaulan sosial yang lebih luas. Sebagai suatu produk dari lingkungan
21
(lingkungan internal dan eksternal) yang juga berkembang, maka sudah tentu sikap
dan perasaan/emosi itu juga berkembang (Mappiare, 1982:58).
Yuwono dan Bagus (2005: 253) menjelaskan bahwa pengalaman dan
perilaku tidak dapat dilepaskan dari emosi karena emosi merupakan bagian yang
melekat di diri kita sebagai manusia. Penokohan di dalam cerita merupakan bentuk
emosi tokoh yang dibangun pengarang. Sehingga, pembaca sastra turut merasakan
emosi tokoh yang dibangun oleh alur cerita pengarang. Kemampuan tokoh-tokoh
di dalam cerita dalam menjaga, mengelola, dan mengungkapkan emosinya
merupakan bagian dari ekspresi emosi. Sehingga pembaca dapat memilah dan
memahami bahkan menerapkan pengetahuan emosi melalui perilaku tokoh tersebut
untuk kehidupan yang lebih baik. Emosi bagian yang sering dilakukan manusia
berulang-ulang di dalam perjalan hidup manusia. Emosi sebagai bagian peluapan
sesuatu yang terjadi pada diri manusia dengan cara marah, sedih, kecewa, senang,
takut, tertawa, terkejut, bahagia, dan lain-lain.
Gitosaroso (2012: 185) hidup tanpa emosi seperti makanan yang tidak
diberikan garam, tidak ada rasa sama halnya kosong dang tidak berkesan. Emosi
bukan hanya bermanfaat sebagai penyedap rasa kehidupan, melainkan juga
memberi nuansa keindahan yang mempesona. Sungguh tidak menyenangkan hidup
tanpa emosi. Jauh lebih baik kalau hidup ini diisi dengan berbagai variasi arti,
termasuk dengan emosi yang terkendali, emosi yang diarahkan sebagi energi
positif. Emosi yang terkendali mengandung berbagai misteri kekuatan dan
keindahan, menjadi energi yang dapat mendorong menusia menuju tingkat hidup
berkualitas yang jauh lebih baik dan terus tumbuh dari hari ke hari. Emosi berperan
penting karena emosi adalah penyambung hidup bagi kesadaran diri dan
22
kelangsungan diri yang secara mendalam menghubungkan kita dengan diri kita
sendiri dan orang lain serta dengan alam dan kosmos (Andriani, 2014: 461).
Pentingnya emosi yaitu tubuh kita dapat berkomunikasi dengan kita dan
dapat berkomunikasi dengan orang lain sehingga dapat mengatakan kepada kita apa
yang sedang kita butuhkan. Ketika kita dapat berkomunikasi dengan baik maka,
semakin baik pula perasaan kita. Emosi membantu kita dalam menetapkan batas-
batas kemampuan atau kompetensi yang kita miliki, emosi juga memiliki potensi
untuk menyatukan dan mengakrabkan yang berfungsi sebagai pedoman etika dan
moral, emosi juga diperlukan dalam mengambil keputusan secara tepat (Dann,
2002: 25). Emosi memiliki keterkatikan dengan fokus permasalahan pada
penelitian ini yaitu tentang kecerdasan emosi pada tokoh utama. Di bawah ini akan
menjelaskan tentang macam-macam emosi pada manusia sebagai berikut.
2.4.1 Macam-macam Emosi
Manusia dalam kehidupan bersosial tidak dapat dilepaskan dari emosi.
Setiap perbuatan yang dilakukan merupakan dampak dari emosi yang sedang
dirasakan. Emosi berperan penting dalam kehidupan manusia. Emosi dapat
memengaruhi cara penyesuaian pribadi dan sosial sesorang (Hurlock dalam
Simanungkalit, 2014: 313). Emosi yang sering dilakukan manusia secara sadar
maupun tidak sadar dapat dikelompokkan oleh para ahli. Emosi yang ada di dalam
diri manusia ada berbagai macam seperti marah, takut, sedih, dan sebagainya.
Macam-macam emosi menurut Mashar (dalam Nadhiroh, 2015: 55) dibagi menjadi
emosi primer, sekunder, positif, dan negatif. Macam-macam emosi dilengkapi oleh
Mahmud (dalam Sobur, 2003: 410) bahwa macam-macam emosi berdasarkan
23
tingkah laku emosional dibagi menjadi yaitu marah, takut, cinta dan depresi. Lebih
detailnya sebagai berikut.
1) Emosi Primer
Emosi Primer terdiri dari enam macam emosi, yaitu kegembiraan
(happiness/joy), ketertarikan (surprise/interest), marah, sedih (sadness/ distress),
jijik, dan takut (Mashar dalam Nadhiroh, 2015: 55). Hal tersebut sejalan dengan
Aliah (dalam Wigati, 2013: 202) emosi primer adalah emosi dasar yang ada secara
biologis dan terbentuk sejak awal kelahiran. Macam-macam emosi primer terdiri
dari rasa gembira, sedih, marah, dan takut. Emosi manusia dapat dilakukan ketika
manusiam mengalami suatu reksi terhadap dirinya sehingga memancing emosi
untuk dimunculkan.
Kesedihan berhubungan erat dengan perasaan kehilangan terhadap sesuatu
yang penting atau bernilai dalam kehidupan manusia. Intensitas kesedihan
tergantung pada nilai, biasanya kesedihan yang teramat sangat bila kehilangan
orang yang dicintai. Kesedihan yang sifatnya mendalam dapat juga disebabkan
karena kehilangan barang berharga yang dapat mengakibatka kekecewaan atau
penyelesan (Minderop, 2013: 43).
2) Emosi Sekunder
Adapun emosi sekunder merupakan gabungan dari berbagai bentuk emosi
primer dan dipengaruhi oleh kondisi budaya di mana individu tersebut tinggal,
contohnya rasa malu, bangga, cemas, dan berbagai kondisi emosi lainnya (Mashar
dalam Nadhiroh, 2015: 55). Sedangkan emosi sekunder merupakan emosi yang
lebih kompleks dibandingkan emosi primer. Emosi sekunder adalah emosi yang
mengandung kesadaran diri atau evaluasi diri, sehingga pertumbuhannya
24
tergantung pada perkembangan kognitif seseorang. Berbagai emosi sekunder sudah
ada di dalam al-Qur’an antara lain: malu, iri hati, dengki, sombong, angkuh,
bangga, kagum, dan lain-lain (Aliah dalam Wigati, 2013: 202).
3) Emosi Berdasarkan Efek yang Ditimbulkan
Emosi dari segi efek yang ditimbulkannya, emosi dibagi menjadi emosi
positif dan emosi negatif. Emosi positif adalah emosi yang selalu diidamkan oleh
semua orang, seperti bahagia, senang, puas dan sejenisnya. Sebaliknya, emosi
negatif adalah emosi yang tidak diharapkan terjadi pada diri seseorang. Namun,
yang terakhir ini ternyata lebih banyak melilit kehidupan manusia, dan kebanyakan
dipicu oleh konflik dan stres. Sejalan dengan bertambahnya kematangan emosi
seseorang maka akan berkuranglah emosi negatif (Mashar dalam Nadhiroh, 2015:
55).
Bentuk-bentuk emosi positif seperti rasa sayang, suka, dan cinta akan
berkembang jadi lebih baik. Perkembangan bentuk emosi yang positif tersebut
memungkinkan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan
menerima dan membagikan kasih sayang untuk diri sendiri maupun orang lain.
Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran
tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Solusinya yaitu
dengan berbagi masalah ke teman sebaya (Hurlock dalam Susilowati, 2013: 105).
Emosi manusia dikelompokkan oleh para ahli untuk dapat melihat ke arah
mana bentuk emosi yang dialami manusia. Emosi yang baik jika diterapkan di
kehidupan sehari-hari maka akan berdampak kepada suasana hati yang bagus dan
kesehatan tubuh yang tetap prima. Meskipun keadaan yang tenang itu dianggap
sebagai keadaan yang normal, namun dalam kehidupan modern keadaan emosional
25
itu lebih mewarnai sifat seseorang. Pada zaman sekarang, emosi perlu difahami
karena dampak yang luar biasa terhadap perilaku, kepribadiaan, dan kesehatan
(Mahmud, 1990: 163).
4) Emosi Berdasarkan Aktivitas Tingkah Laku Emosional
Emosi berdasarkan aktivitas tingkah laku emosional dapat dibagi menjadi
empat macam yaitu (1) marah, yaitu orang bergerak menentang sumber frustrasi;
(2) takut, yaitu orang bergerak meninggalkan sumber frustrasi; (3) cinta, yaitu orang
bergerak menuju sumber kesenangan; (4) depresi, yaitu orang menghentikan
respons-respons terbukanya dan mengalihkan emosi ke dalam diri sendiri (Mahmud
dalam Sobur, 2003: 410).
Emosi berdasarkan tingkah laku emosional yaitu tingkah laku yang dilakukan
setiap hari ketika manusia beraktivitas dengan melibatkan emosi terhadap sesuatu
yang terjadi pada dirinya. Misalnya, emosi marah ketika manusia tidak sengaja
menghilangkan benda kesayangannya maka yang terjadi manusia tersebut akan
marah terhadap dirinya sendiri.
2.4.2 Jenis Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi adalah kemampuan individu dalam menggunakan aspek
kecerdasan atau kognitif dalam mengelola emosi yang tercermin dalam
kemampuannya untuk mengenali, memahami, menghargai, mengekpresikan,
menggunakan dan mengendalikan emosi diri; mengenali, memahami, menghargai,
emosi orang lain. Kemampuan ini selanjutnya akan berpengaruh pada kemampuan
lainnya, yaitu penyesuaian diri, ketekunan, motivasi, kerja sama, dan kemampuan
bersosialisai (Ghufron, 2016: 145). Sementara itu Shofa dan Ika (2015: 152)
mendefinisikan kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang mengelola
26
emosi dalam kaitannya dengan orang lain atau rangsangan dari luar. Kecerdasan
emosi mencakup pengendalian diri terutama berkaitan dengan relasi, berempati
kepada orang lain, mengelola rasa gembira dan sedih, semangat dan ketekunan,
serta kemampuan untuk memotivasi diri.
Kecerdasan emosi menentukan potensi individu untuk mempelajari
keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsur yaitu kesadaran diri,
motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan
dengan orang lain. Kecakapan emosi adalah kecakapan hasil belajar yang
didasarkan pada kecerdasan emosi sehingga menghasilkan kinerja yang optimal.
Inti kecakapan dari kecakapan ini yaitu empati, yang kemampuan membaca
perasaan orang lain; dan keterampilan sosial, yang berarti mampu mengelola
perasaan orang lain dengan baik (Hidayati, dkk, 2008: 93).
Kecerdasan emosi (EQ) merupakan formulasi baru dari "soft skills”
tradisional (seperti leadership, sensitivity dan social skills) di mana kecerdasan
emosi adalah sejumlah kemampuan dan keterampilan yang berkaitan dengan
pembinaan hubungan sosial dengan lingkungan yang merujuk pada kemampuan
mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri,
dan kemampuan mengelola emosi dengan baik dan dalam hubungan dengan orang
lain serta beradaptasi menghadapi lingkungan sekitar dan penyesuaian secara cepat
agar lebih berhasil dalam mengatasi tuntutan lingkungan. Seseorang yang memiliki
IQ lebih tinggi dibandingkan dengan kecerdasan emosionalnya maka seseorang
tersebut menjadi orang yang keras kepala, anti sosial, mudah frustrasi, tidak mudah
percaya kepada orang lain, tidak peduli dengan keadaan sekitar, dan lebih mudah
putus asa bila mengalami tekanan. Tetapi, orang yang memiliki IQ rata-rata namun
27
kecerdasan emosi lebih tinggi maka dampak yang diakibatkan berkebalikan dengan
kasus di atas. Di samping itu, bukti–bukti mutakhir neurologis menunjukkan bahwa
emosi merupakan bahan bakar yang sangat diperlukan bagi kekuatan penalaran otak
(Yuliantini, 2013: 58-59).
Kecerdasan emosi merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita
sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan dalam
hubungan orang lain. Kecerdasan emosi mencakup kemampuan yang berbeda-
beda, tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik, yaitu kemampuan-
kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ (Fauziah, 2005: 76).
Kecerdasan emosional yang baik akan membuat seseorang mampu membuat
keputusan yang tegas dan tepat walaupun dalam keadaan tertekan. Kecerdasan
emosional juga membuat seseorang dapat menunjukkan integritasnya. Orang yang
memiliki kecerdasan emosi yang baik memiliki kemampuan berpikir yang baik,
bertindak sesuai dengan etika, memiliki prinsip, dan semangat untuk berprestasi
(Setyaningrum, 2016: 212).
Kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang berasal dari dalam
diri individu dianggap penting, karena kepribadian seseorang dipengaruhi oleh
emosi-emosi yang dialaminya selama manusia tumbuh dan berkembang. Seseorang
yang tidak mampu mengontrol dan mengembangkan emosinya ia akan menemui
kesulitan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya baik masalah yang
berhubungan dengan pembelajaran, pekerjaan, maupun hal-hal lainnya. Kecerdasan
Emosional (EQ) dan bentuk kecerdasan lainnya sebenarnya saling melengkapi dan
saling menyempurnakan. Emosi dapat membangun kreatifitas, kolaborasi, inisiatif,
28
dan transformasi sedangkan penalaran logis berfungsi mengatasi dorongan-
dorongan yang keliru serta menyelaraskan tujuan (Nurdiansyah, 2016: 172).
EQ terkait dengan kemampuan membaca lingkungan sosial dan menatanya
kembali. Juga terkait dengan kemampuan memahami secara spontan apa yang
diinginkan dan dibutuhkan orang lain, demikian juga kelebihan dan kekurangan
kemampuan membaca mereka, kemampuan untuk menjadi orang yang
menyenangkan sehingga kehadirannya didambakan orang lain. Adapun pusat-
pusat emosi berada di bagian otak lebih dalam yang secara evolusi berkembang
lebih duluan. Kerja otak pada bagian inilah yang mempengaruhi EQ. Namun
demikian aktivitas pusat-pusat emosi tersebut tetap selaras dengan aktivitas kerja
pusat-pusat intelektual. EQ sangat berperan penting dalam keberhasilan hidup. EQ
merupakan penggerak yang dapat menimbulkan aspek-aspek energi, kekuatan,
daya tahan, dan stamina (Daud, 2012: 247).
Kecerdasan emoisional (EQ) dianggap lebih penting dibanding kecerdasan
kognitif dalam menentukan keberhasilan kerja seseorang. Kecerdasan emosi
dibatasi sebagai kemampuan untuk mengamati, memahami, dan memadukan emosi
dengan pikiran untuk menentukan pertumbuhan pribadi. Orang yang memiliki
kecerdasan emosi tinggi akan lebih terhidar dari tekanan kerja (Adawiyah, 2013:
101). Salovy (dalam Goleman, 2003: 57) membagi kecerdasan emosional menjadi
lima wilayah utama 1) mengenali emosi diri, 2) mengelola emosi, 3) memotivasi
diri, 4) mengenali emosi orang lain, dan 5) membina hubungan sosial. Berikut lebih
lanjut penjelasan masing-masing wilayah utama kecerdasan emosi di atas sebagai
berikut.
29
1) Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional.
Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting
bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan dalam memahami
perasaan sendiri akan berdampak kepada kekuasaan perasaan. Untuk mencermat
perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan
(Salovy dalam Goleman, 2003: 58). Kesadaran diri adalah waspada, baik terhadap
suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati. Orang-orang yang peka akan
susana hati mereka akan mandiri dan yakin akan batas-batas yang akan mereka
bangun, kesehatan jiwanya bagus, dan cenderung berpendapat positif akan
kehidupan (Mayer dalam HM, 2016: 11).
Mengenali emosi diri seperti kesadaran emosi, penilaian diri secara teliti,
dan percaya diri. Kesadaran diri adalah mengenali emosi diri sendiri dan efeknya.
Penilaian diri secara teliti adalah mengetahui kemampuan yang dimiliki. Sedangkan
percaya diri merupakan yakin terhadap dirinya sendiri (Goleman, 2001: 42).
Kemampuan dalam mengenali emosi diri meliputi yaitu, perbaikan dalam
mengenali dan merasakan emosinya sendiri, lebih mampu memahami penyebab
perasaan yang timbul, dan mengenali perbedaan perasaan dengan tindakan
(Goleman, 2003: 404).
2) Mengelola emosi
Mengelola emosi yaitu menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap
dengan tepat adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri (Salovy dalam
Goleman, 2003: 58). Mengelola emosi dapat dibagi menjadi lima yaitu kendali diri,
sifat dapat dipercaya, kewaspadaan, adaptibilitas, dan inovasi. Kendali diri yaitu
30
mengelola emosi-emosi dan desakan hati yang merusak. Sifat dapat dipercaya
adalah memelihara norma kejujuran dan itegritas. Sedangkan untuk kewaspadaan
adalah bertanggungjawab atas kinerja pribadi. Adaptibilitas yaitu keluwesan dalam
menghadapi perubahan. Sedangkan inovasi yaitu mudah menerima dan terbuka
terhadap gagasan, pendekatan, dan informasi-informasi baru (Goleman, 2001: 42).
Menurut Tice (dalam Goleman, 2003: 97) mengamati bahwa ada saja aka
manusia dalam upaya menyingkirkan kesedihan. Kesedihan yang yang ditimbulkan
oleh suatu kehilangan mempunyai akibat-akibat tertentu yang berbeda-beda,
menutup minat terhadap hiburan dan kesenangan, mengarahkan perhatian pada apa
apa yang telah hilang, dan menghimpun energi untuk usaha yang baru untuk
sementara waktu. Kesedihan memaksa untuk beristirahat dari kesibukan duniawi
dan membuat perhatian kita agar tertuju pada kehilangan tersebut, merenungkan
hikmanya, dan akhirnya membuat putusan penyesuaian psikologi serta menyusun
rencana baru yang memungkinkan hidup terus berjalan.
Kontrol diri atau disebut juga dengan pengendalian diri adalah kecakapan
individu untuk mengelola perilaku sesuai dengan hasil dan tujuan tertentu seperti
yang diinginkan (Nurhaini, 2018: 216). Kemampuan dalam mengelola emosi
meliputi yaitu, toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah;
berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas; lebih
mampu mengungkapkan amarah dengan tepat tanpa berkelahi; berkurangnya
larangan masuk sementara dan skorsing; berkurangnya perilaku agresif atau
merusak diri sendiri; perasaan lebih positif tentang diri sendiri, sekolah, dan
keluarga; lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa; dan berkurangnya kesepian
dan kecemasan dalam pergaulan (Goleman, 2003: 404).
31
3) Memotivasi Diri Sendiri
Memotivasi diri sendiri merupakan menata emosi sebagai alat untuk
mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi
perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk
berkreasi. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih
produktif dan efektif dalam hal apa pun yang mereka kerjakan (Salovy dalam
Goleman, 2003: 58). Seseorang akan memiliki motivasi yang kuat jika mereka
cakap mengelola emosinya dengan baik (Asy’ari, dkk, 2014: 85). Kemampuan
memotivasi diri ada empat hal yaitu, lebih bertanggung jawab, lebih mampu
memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan menaruh perhatian, lebih
menguasai diri, dan nilai pada tes-tes prestasi meningkat (Goleman, 2003: 404).
Clelland (dalam Suranto, 2015: 12) mengemukakan bahwa individu
mempunyai cadangan energi potensial, bagaimana energi ini dilepaskan dan
dikembangkan tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi individu dan
situasi serta peluang yang tersedia. Memotivasi diri sendiri kecakapan tersebut
terdiri dari dorongan prestasi, komitmen, inisiatif, dan optimisme. Dorongan
prestasi yaitu dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar
keberhasilan. Komitmen yaitu menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau
perusahaan. Sedangkan inisiatif yaitu kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.
Terakhir optimisme yaitu kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada
halangan dan kegagalan (Goleman, 2001: 42).
32
4) Mengenali Emosi Orang Lain
Mengenali emosi orang lain merupakan empati yang bergantung pada
kesadaran diri emosional, merupakan keterampilan bergaul. Orang yang empatik
lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang
mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Orang yang
empatik lebih menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang
mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain (Salovy
dalam Goleman, 2003: 58-59).
Empati adalah mengenali perasaan orang lain dan memahami pengalaman
emosional orang lain tanpa berpartisipasi di dalamnya. Empati adalah sebuah sikap
bagaimana individu memahami perasaan orang lain tanpa mengalaminya sendiri
(Kenn dalam Silfiasari dan Susanti 2017: 129). Salamah (2009: 8) kemampuan
berempati merupakan kemampuan mempersatukan diri dengan rekan kerja dan
perasaannya. Richards (2010: 90) menjelaskan empati merupakan sebuah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan fenomena kemampuan seseorang untuk
menempatkan diri pada posisi orang lain dan yakin bahwa orang lain telah berbagi
perasaan dan emosi mereka.
Taufik (dalam Andromeda, 2014: 4) empati merupakan suatu aktivitas
untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa
yang dipikirkan dan dirasakan oleh yang bersangkutan terhadap kondisi yang
sedang dialami orang lain tanpa yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya.
Kemampuan empati atau mengenali emosi orang lain meliputi, lebih menerima
sudut pandang orang lain, memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan
orang lain, dan lebih baik dalam mendengarkan orang lain (Goleman, 2003: 404).
33
Kemampuan empati dalam kecerdasan emosi dapat dibagi menjadi lima
yaitu memahami orang lain, orientasi pelayanan, mengembangkan orang lain,
mengatasi keragaman, dan kesadaran politisi. Memahami orang lain yaitu
mengindra perasaan dan perpektif orang lain, dan menunjukkan minat aktif
terhadap kepentingan mereka. Orientasi pelayanan yaitu mengantisipasi,
mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan. Mengembangkan orang
lain yaitu merasakan kebutuhan perkembangan orang lain dan berusaha
menumbuhkan kemampuan mereka. Sedangkan pengertian mengatasi keragamaan
adalah menumbuhkan peluang melalui pergaulan dengan bermacam-macam orang.
Kesadaran politisi merupakan mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok
dan hubungannya dengan kekuasan (Goleman, 2001: 43).
5) Membina Hubungan Sosial
Membina hubangan sosial yaitu orang-orang yang terampil dalam
kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cukup lancar,
peka membaca reaksi dan perasaan mereka, mampu mempin dan mengorganisir,
dan pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia.
Kemampuan-kemampuan antarpribadi dibangun atas kecerdasan emosioanal lain-
lainnya. Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan ketrampilan
mengelola emosi orang lain (Goleman, 2003: 167). Pendapat tersebut diperkuat
oleh Ahmad (2014: 21) bahwa manusia adalah makhluk individu dan makhluk
sosial. Dalam hubungannya dengan manusia makhluk sosial terkandung suatu
maksud bahwa manusia bagaimanapun juga tidak dapat terlepas dari individu yang
lain. Secara kodrati, manusia akan selalu hidup bersama. Hidup bersama antar
manusia akan berlangsung dalam berbagai bentuk komunikasi dan situasi yang
34
mempengaruhinya. Komunikasi merupakan proses penyampian ide, pikiran,
pendapat, dan berita ke suatu tempat tujuan serta menimbulkan reaksi umpan balik.
Keterampilan sosial ini meliputi pengaruh, komunikasi, kepemimpinan,
katalisator perubahan, manajemen konflik, pengikat jaringan, kolaborasi dan
kooperasi, serta kemampuan tim. Pengaruh yaitu memiliki taktik untuk melakukan
persuasi. Komunikasi merupakan mengirimkan pesan yang jelas dan meyakinkan.
Kepemimpinan adalah membangkitkan inspirasi dan memandu kelompok dan
orang lain. Katalisator perubahan merupakan memulai dna mengelola perubahan.
Manajemen konflik adalah negosiasi dan pemecahan silang pendapat. Pengikat
jaring adalah menumbuhkan hubungan sebagai alat. Kolaborasi dan kooperasi yaitu
kerja sama dengan orang lain demi tujuan bersama. sedangkan kemampuan tim
yaitu menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama
(Goleman, 2001: 43).
Kemampuan membina hubungan sosial ada sepuluh yaitu, meningkatkan
kemampuan menganalisis dan memahami hubungan; lebih baik dalam
menyelesaikan pertikaian dan merundingkan persengketaan; lebih baik dalam
menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan; lebih tegas dan terampil
dalam berkomunikasi; lebih populer dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat
dengan teman sebaya; lebih dibutuhkan oleh teman sebaya; lebih menaruh
perhatian dan bertenggang rasa; lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras
dalam kelompok; lebih suka berbagi rasa, bekerja sama, dan suka menolong; dan
lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain (Goleman, 2003: 405).
35
2.4.3 Faktor Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Hal ini sesuai dengan pemikiran Tarmizi, dkk, (2012: 42) faktor
yang mempengaruhi kecerdasan emosi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu internal
dan eksternal sebagai berikut.
1) Faktor Internal
Faktor internal adalah apa yang ada dalam diri individu yang mempengaruhi
kecerdasan emosinya. Faktor internal ini memiliki dua sumber yaitu segi jasmani
dan segi psikologis. Segi jasmani adalah faktor fisik dan kesehatan individu, apabila
fisik dan kesehatan seseorang dapat terganggu, dapat dimungkinkan mempengaruhi
kecerdasan emosinya. Segi psikologis mencakup yaitu di dalamnya pengalaman,
perasaan, kemampuan berpikir, dan motivasi (Tarmizi, dkk, 2012: 42).
Faktor internal merupakan faktor yang memiliki peranan penting dalam
memengaruhi kecerdasan emosi manusia. Faktor internal yang dimaksudkan yaitu
dari diri sendiri. Dalam diri manusia memiliki kopetensi untuk meningkatkan dan
mengembangkan kecerdasan emosi yang maksimal. Tetapi, manusia ketika dalam
dirinya tidak ada niatan untuk membentuk dan mengembangan kecerdasan emosi
yang dimilikinya maka kecerdasan emosi yang dimilikinya akan rendah. Diri
sendiri berfungsi sebagai penggerak untuk mengembangkan segala potensi yang
ada di dalam dirinya sendiri.
Kecerdasan emosi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal berasal
dari dalam diri sendiri yang berasal dari segi jasmani dan psikologis. Jasmani dan
psikologis yang sehat maka, kecerdasan emosi yang dimilikinya dapat terbentu
dengan baik. Tetapi, ketika jasmani dan psikologis mengalami gangguan maka
36
dapat mempengaruhi kecerdasan emosi. Jasmani dan psikologis harus sama-sama
dalam keadaan baik agar dapat menghasilkan kecerdasan emosi yang maksimal.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah stimulus dan lingkungan di mana kecerdasan emosi
berlangsung. Faktor eksternal meliputi yaitu 1) cara stimulus itu sendiri, kejenuhan
stimulus merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang
dalam memperlakukan kecerdasan emosi tanpa distorsi, 2) lingkungan atau situasi
khusunya yang melatarbelakangi proses kecerdasan emosi (Tarmizi, dkk, 2012:
42).
Faktor ekternal merupakan faktor yang memengaruhi kecerdasan emosi yang
dimiliki manusia yang berasal dari luar dirinya. Faktor ekternal juga memiliki
dampak yang luar biasa dalam memengaruhi kecerdasan emosi manusia. Faktor
intenal tidak dapat dilepaskan dari dalam diri manusia dan mengikuti di manapun
manusia berada. Faktor ekternal dalam memengaruhi kecerdasan emosi seperti
stimulus, lingkungan, kinerja otak, teman sebaya, orang tua, sekolah, agama, dan
temperamen.
Faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi menurut Prayitno (dalam
Ghufron, 2016: 147) yaitu kondisi nerologis dan mekanisme kerja otak, jenis
kelamin, temperamen, pola asuh orang tua, usia, teman sebaya, agama, dan
sekolah. Secara rinci dapat dijelaskan berikut ini.
a) Faktor Kondisi Neorologis dan Mekanisme Kerja Otak
Bahwa wilayah prefontal otak mengatur reaksi emosi individu sejak awal.
Proyeksi terbesar informasi pengindraan berasal dari talamus kemudian menuju ke
otak dan pusat-pusatnya untuk diterima dan diberi makna tentang hal-hal yang
37
diserap. Di dalam neokortek serangkaian tahapan sirkuit mendata dan menganalisis
informasi tersebut, memahaminya dan mengatur suatu reaksi melalui lobus
frontalis. Apabila dalam proses ini dibutuhkan respon emosional, lobus frontalis
akan memerintahkannya.
Lobus frontal akan bekerja sama dengan amignala dan sirkuit-sirkuit lain
dalam otak emosional, tetapi apabila terjadi pembajakan emosi, urutan mekanisme
tersebut tidak berlaku lagi. Pembajakan emosi suatu keadaan di mana ledakan
emosi menguasai rasio, pada awalnya dipicu oleh amigdala dan kemudian diikuti
oleh kegagalan pengaktifan proses neo kartalis, yang lazimnya menjaga
keseimbangan respon emosional. Hal ini akan membuat orang yang bersangkutan
tidak dapat berpikir jernih dan tidak dapat mengmbil keputusan, sehingga akan
meninmbulkan tingkah laku maladaptif (Prayitno dalam Ghufron, 2016: 147).
Kondisi neorologis dan kinerja otak manusia secara urut mengatur
terjadinya emosi yang ditimbulkan. Amigdala pada kinerja otak manusia memiliki
peran yang sangat penting. Apabila amigdala dipisahkan dari bagian otak yang
lainnya maka, manusia tidak dapat merasakan apa yang sedang ia rasakan dan
kehilangan tentang memahami perasaan orang lain. Amigdala berfungsi sebagai
tempat ingatan emosional. Manusia tanpa adanya otak maka manusia tidak dapat
memiliki kecerdasan emosi yang baik. Bagian-bagian otak merekam secara cepat
dan langsung terhadap peristiwa yang dialami manusia sehingga dapat
mengeluarkan emosi yang ditimbulkan.
38
b) Faktor Jenis Kelamin
Anak perempuan lebih terampil dalam menggunakan bahasa bahasa
dibandingkan laki-laki, maka mereka lebih berpengalaman dalam mengutarakan
perasaannya dan lebih cakap dalam memanfaatkan kata-kata untuk menjelajahi dan
menggantikan reaksi emosional, seperti perkelahian fisik. Sebaliknya, anak laki-
laki yang kemampuan ferbalisasi yang perasaannya ditumpukan sebagian besar
tampak kurang peka dalam mengenali emosi dirinya dan emosi orang lain (Prayitno
dalam Ghufron, 2016: 147).
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kecerdasan emosional (Golmen dalam Jati dan Nono, 2013: 112). Jenis kelamin
antara laki-laki dan perempuan berbeda. Intensitas emosi perempuan lebih peka dan
tinggi dibandingkan dengan laki-laki karena perempuan lebih menggunakan
perasaan dalam bersikap dibandingkan laki-laki. Perempuan lebih cakap dalam
mengekspresikan emosi yang sedang dirasakan. Tetapi, laki-laki ketika apa yang
dirasakan laki-laki lebih pintar tidak menampakkan emosinya. Kepekaan
perempuan terhadap keadaan emosi orang lain itu sangat tajam biasanya perempuan
merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain.
Menurut Golaman (2003: 60-61) pria yang memiliki kecerdasan emosi
yang tinggi secara sosial mantap, mudah bergaul dan jenaka, tidak mudah takut atau
gelisah. Mereka berkemampuan besar melibatkan diri dengan orang-orang atau
permasalahan, memikul tanggung jawab, simpatik, dan hangat dalam hubungan-
hubungan mereka. Sebaliknya, kaum wanita yang cerdas secara emosional
cenderung bersikap tegas dan mengungkapkan perasaannya secara langsung, dan
memandang dirinya secara positif. Jadi, diketahui bahwa jenis kelamin antara
39
perempuan dan laki-laki itu memengaruhi kecerdasan emosi manusia dan peranan
yang paling tinggi terhadap kecerdasan emosi lebih dominan perempuan.
c) Faktor Temperamen
Setiap manusia memiliki sifat bawaan yang disebut temperamen. Setiap
manusia mempunyai perbedaan dalam jaringan sirkuit emosi yang menyebabkan
perbedaan hal seberapa mudahnya emosi dipicu, berapa lama berlangsungnya dan
seberapa intensinya. Perbedaan ini menentukan apakah seseorang bersifat pemarah,
penakut, periang, pemberani atau pemurung (Prayitno dalam Ghufron, 2016: 147).
Temperamen merupakan sifat batin yang memengaruhi perbuatan, pikiran, dan
perasaan manusia. Temperamen setiap manusia berbeda-beda. Temperamen
manusia akibat dari emosi dengan mudah naik turun tanpa dapat dikontrol.
Temperamen akan menentukan sifat manusia. Temperamen dapat memengaruhi
kecerdasan emosi. Temperamen sebagai gambaran emosi yang diluapkan.
d) Faktor Pola Asuh Orang Tua
Keluarga terutama orang tua berperan penting dalam perkembangan
kecerdasan emosi anak (Prayitno dalam Ghufron, 2016: 147-148). Orang tua
memiliki peranan penting dalam membentuk kecerdasan emosi anak. Orang tua
sebagai sekolah pertama dalam menerapkan dan meningkatkan kecerdasan emosi
anak. Ketika, orang tua salah memberikan contoh dan salah memperkenalkan
kecerdasan emosi ke anak maka dampak yang diterima anak sangat fatal yaitu dapat
berdampak kepada kondisi kesehatan dan psikologis anak.
Orang tua tempat paling utama dan pertama dalam mempelajari emosi yang
diperolehnya seperti menanggapi dan merasakan perasaan diri sendiri. Anak
memiliki banyak waktu di rumah maka anak juga memiliki banyak kesempatan
40
untuk menerapkan dan mengembangkan kecerdasan emosi yang dimilikinya.
Melalui, pantauan dan bantuan anak dapat secara bebas mengembangkan potensi
kecerdasan emosi yang dimilikinya secara bebas. Orang tua mengikuti secara detail
proses perkembangan kecerdasan anak-anaknya. Maka, orang tua harus memiliki
kemampuan secara pengetahuan dan memiliki kecerdasan emosi yang baik agar
dapat dijadikan sebagai panutan anak dalam proses mengembangkan potensi
kecerdasan emosi yang dimilikinya. Yuliantini (2013: 59) memperkuat pernyataan
tersebut menyatakan bahwa orang tua adalah seseorang yang pertama kali harus
memberi tauladan dan contoh yang baik. Contoh yang baik dari orang tua
didapatkan anak semanjak lahir.
e) Faktor Usia
Efek usia dan jenis kelamin terhadap intensitas emosi dapat ditarik
kesimpulan bahwa orang yang lebih muda menunjukkan tingkat rata-rata yang lebih
tinggi pada perasaan positif dan negatif. Pada masa remaja akhir individu akan lebih
cerdas dalam membuat keputusan terlebih dulu mencari informasi yang benar
kemudian mengkajinya, sadar akan akan bahaya yang akan terjadi, memikirkan
akibat yang akan terjadi, dan memecahkan masalah dengan sikap hati-hati (Prayitno
dalam Ghufron, 2016: 148).
Pada, usia 11-16 tahun kecerdasan emosional penting sekali untuk
menghadapi pengaruh negatif yang banyak menimpa anak rentang usia tersebut
(Jati dan Nono, 2013: 111). Pada usia fase remaja dimana fase seorang remaja
sedang terjadi pergolakan emosi. Setiap fase usia memiliki tingkatan kecerdasan
emosi yang berbeda. Ketika sudah memasuki fase remaja maka perlu ditangani
secara khusus agar dapat mengontrol emosi yang dimilikinya.
41
f) Faktor Teman Sebaya
Ketika anak sudah menginjak remaja maka, individu tersebut mulai
melepaskan diri dari keluarga dan mulai bermain dengan teman sebaya. Hal
tersebut maka remaja dapat menemukan identitas diri sebagai pribadi dewasa yang
berbeda dengan identitas anak-anak. Peran sosial anak ketika dengan teman sebaya
yaitu belajar memahami keinginan dan adapatasi dengan apa yang diinginkan
teman, belajar mengekspresikan perhatian, mengemukakan keinginan dan
perasaan, belajar meminta maaf, dan belajar bersikap peduli terhadap teman
(Prayitno dalam Ghufron, 2016: 148).
Teman sebaya berpengaruh dalam proses pembentukan kecerdasan emosi
anak karena anak berineteraksi dan bermain menghabiskan waktu di luar bersama
dengan teman sebaya. Teman sebaya sangat memiliki dampak atau pengaruh positif
maupun negatif terhadap perkembangan anak. Ketika sudah beralih dari mana anak-
anak berkembang menjadi remaja di situlah mulai menemukan identitas atau jati
dirinya. Melalui teman sebayanya maka, dapat belajar bagaimana mengelola
emosinya, komunikasi, empati terhadap teman sebanya, kerja sama, motivasi untuk
menjadi lebih baik dari itu semua merupakan bagian dari bentuk kecerdasan emosi.
g) Faktor Sekolah
Kegiatan yang ada di sekolah merupakan sebagai sarana pendidikan emosi
dan sosial, peserta didik belajar untuk saling bekerja bersama, berpendapat,
mengembangkan pendirian, menghargai orang lain, menyelesaikan permasalahan ,
dan bernegoisasi tanpa menimbulkan perpecahan. Pendidik juga dapat
memengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak. Pendidik menjadi teladan
peserta didik melalui peserta didik mengamati guru ketika menerangkan, cara
42
memperlakukan murid, dan cara menyelesaikan konflik di antara peserta didik
(Prayitno dalam Ghufron, 2016: 148).
Sekolah memiliki peranan penting dalam membentuk kecerdasan emosi
setelah peran orang tua di rumah. Di sekolah seoarang anak diajarkan untuk
mengembangkan kecerdasan emosi seperti merasakan apa yang sedang dirasakan
teman sebayanya ketika teman sebayanya mendapatkan kesusahan. Di sekolah anak
secara bebas dapat mengembangkan kecrdasan emosi yang dimilikinya. Di sekolah,
terutama peran guru sebagai peran yang paling aktif untuk mengembangkan
kecerdasan emosi anak didiknya secara maksimal melalui cara mengajar, tingkah
laku, cara memperlakukan siswa, meluapkan emosi ketika di dalam kelas, membina
hubungan dengan warga sekolah, dan sebagainya.
h) Faktor Agama
Agama adalah memiliki pengaruh secara otomatis terhadap perilaku
individu baik secara pikiran, perasaan, dan bertindak atau bersikap. Agama sebagai
daya kontrol, mengendalikan diri, dan daya dorong yang kuat (Prayitno dalam
Ghufron, 2016: 148). Agama merupakan sebagai kendali dan daya kontrol untuk
meningkatkan kecerdasan emosi. Agama ternyata memiliki peranan dalam
membentuk kecerdasan emosi manusia. Manusia harus memiliki agama yang kuat
agar dapat mengontrol emosi ketika berinterkasi dengan sesamanya. Penanaman
pendidikan agama dilakukan dimulai dari lahir karena agama sebagai pondasi yang
dapat membawa pembentukan kecerdasan emosi yang sempurna.
43
2.4.4 Dampak Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi memiliki dampak negatif dan positif. Dampak negatif
dari kecerdasan emosi yang diakibatkan dari emosi yang berdampak pada sakit
secara fisik yaitu penyakit kulit, tekanan darah tinggi, asma, dan sakit kepala
(Mahmud, 1990: 178). Manusia yang tidak memiliki kecerdasan emosioanal yang
baik maka dapat dengan mudah terkena penyakit. Misalnya, manusia yang tidak
mampu mengendalikan emosinya seperti cepat marah maka dapat dengan mudah
terkena tekanan darah tinggi. Menurut Rohiat (2008: 52) kecerdasan emosi
memiliki dampak postif terhadap kehidupan manusia yaitu berdampak kepada
kesehatan yang baik, kualitas hidup yang baik, dan kinerja yang optimal. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut.
1) Kecerdasan Emosi Memiliki Dampak terhadap Kesehatan Manusia
Kecerdasan emosi yang baik maka berdampak kepada kesehatan fisik,
perilaku, dan emosi yang baik. Gejala fisik dimiliki oleh seseorang yang
mempunyai kecerdasan emosional yang sangat baik dapat ditandai dengan
punggung tidak bermasalah, berat badan yang normal, tidak pernah sakit kepala
karena tegang, tidak terkena penyakit migraine, flu atau gangguan pernapasan tidak
ada masalah, terhindar dari masalah perut, tidak mengalami keluhan nyeri dada,
sakit dan nyeri yang sulit dijelaskan tidak pernah mengalami, dan terhindar dari
penyakit kronis lainnya. Gejala perilaku seperti menyalahkan atau melecehkan
orang lain, tidak pernah menarik diri dari hubungan dekat, tidak pernah mendapat
gangguan makan, tidak peminum, dan lain sebagainya. Gejala emosi akan
menggambarkan sikap seseorang dengan perangainya (Rohiat, 2008: 52).
44
Peka akan suasana hati mereka ketika mengalaminya dapat dimengerti bila
orang-orang ini memiliki kepintaran tersendiri dalam kehidupan emosional mereka.
Kejernihan pikiran mereka tentang emosi boleh jadi melandasi ciri-ciri kepribadian
yaitu, lebih mandiri dan yakin akan batas-batas yang mereka bangun, kesehatan
jiwanya bagus, dan cenderung berpendapat positf akan kehidupan. Bila suasana
hatinya sedang jelek, mereka tidak risau dan tidak larut ke dalamnya, dan mereka
mampu melepaskan diri dari suasana itu dengan lebih cepat (Goleman, 2003: 65).
Manusia yang mampu mengendalikan kecerdasan emosi maka tidak rentan
terkena penyakit secara fisik dan perilaku. Seperti, ketika manusia pandai dalam
mengontrol emosinya maka mengurangi terjadinya sakit kepala. Ketika manusia
ingin terhindar dari risiko terkena sakit punggung maka harus sering bersosisialisasi
dengan lingkungan sekitar. Lebih baik manusia bersosiasialisasi dengan lingkungan
sekitar dibandingkan berdiam diri di rumah. Bersosialisasi termasuk ke dalam
bagian bentuk kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi yang baik dampak memberikan
dampak postif terhadap kejiwaan yaitu manusia akan berperilaku yang baik sesuai
dengan norma yang berlaku.
2) Kualitas Hidup
Kualitas hidup yaitu keadaan pikiran atau perasaan yang berhubungan
dengan merasakan kepuasaan dalam hidup, merasa kuat, sehat, senang, dan merasa
damai dan sejahtera di dalam hati. Melakukan banyak perubahan dalam hidup untuk
mendapatkan kebahagiaan dan sama sekali tidak mengharapkan mendapat lebih
dari yag diharapkan. EQ membangkitkan penghargaa, kretivitas, dan persahabatan.
Studi menunjukkan, seorang eksekutif atau profesional yang secara teknik memiliki
kecerdasan emosioanl tinggi adalah orang yang mampu mengatasi konflik,
45
kesenjangan yang perlu dijembatani atau diisi, lebih cekatan, dan cepat
dibandingkan orang lain. EQ menyediakan manfaat penting dalam lingkungan
kerja, kelurga, masyarakat, kehidupan percintaan, dan kehidupan spiritual.
Kecerdasan emosi membuat dunia batin diperhatikan (Segeel dalam Rohiat, 2008:
53).
Kecerdasan emosi merupakan kecerdasan vital manusia yang sudah
semestinya terus dilatih, dikelola dan dikembangkan secara intens. Karena
kecerdasan emosi memiliki kesinambungan yang cukup erat dengan kualitas hidup
manusia, di mana kecerdasan emosi berkait erat dengan adanya jiwa yang sehat.
Sehingga dari jiwa yang sehat tersebut manusia sebagai spesies yang rentan
mengalami ketidakbahagiaan akan memiliki peluang jauh lebih besar di dalam
memperoleh hidup bahagia. Orang yang mampu mengembangkan kecerdasan
emosi yang dimilikinya akan memiliki peluang yang lebih baik untuk bisa sukses
dan dipastikan lebih tenang dalam menyelesaikan permasalahan yang tergolong
rumit (Baktio, 2013: 21). Menurut Goleman (dalam HM, 2016: 10) dari hasil
banyak penelitian menyatakan bahwa kecerdasan umum semata-mata hanya dapat
memprediksi kesuksesan hidup seseorang sebanyak 20 % saja, sedangkan 80 %
yang lain adalah apa yang disebutnya Emotional Intelligence. Bila tidak ditunjang
dengan pengelolahan emosi yang sehat tidak akan menghasilakan seseorang yang
sukses hidupnya di masa yang akan datang. Kecerdasan emosi merupakan dasar
untuk membangun relasi sosial yang baik, sehingga seseorang yang memiliki
kecerdasan emosi tinggi, secara sosial memiliki lebih banyak relasi dengan orang
lain dan kualitas relasinya lebih baik (Schutte dalam Farid dalam Muryadi dan
Andik, 2012: 546).
46
3) Kinerja yang Optimal
Kecerdasan emosional yang berdampak pada kinerja optimal yaitu
seseorang akan merasa puas dengan hasil kinerjanya, selalu dilibatkan dalam tim
kerja, berusaha agar mendapatkan hasil yang terbaik, dan tidak mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaan (Rohiat, 2008: 52). Orang yang memiliki
kecerdasan emosi maka, dalam dirinya ia akan merasakan kebahagiaan secara lahir
dan batin, memiliki motivasi yang tinggi, dihargai oleh teman kerjanya, dan
sebagainya. Kalau ingin memiliki kualitas hidup dan kinerja yang baik maka, harus
mampu memiliki kecerdasan emosi yang maksimal.
Kecerdasan emosi memiliki dampak yang sangat luar biasa terhadap
kehidupan manusia. Manusia tidak memiliki kecerdasan emosional yang baik
maka, akan berdampak negatif yang baik maka akan berdampak negatif di dalam
dirinya. Sedangkan manusia mampu mengrontol dan memiliki kecerdasan emosi
yang baik maka, berdampak kepada kesejahteraan hidup yang berkualitas.
47
2.5 Kerangka Berpikir
Kecerdasan emosi adalah kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan
mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi
orang lain, dan membina
hubungan.
Jenis Kecerdasan
Emosi
Kecerdasan Emosi yang Dimiliki Tokoh Utama
Faktor
Kecerdasan Emosi Dampak
Kecerdasan Emosi
1.Mengenali Emosi
Diri.
2. Mengelola
Emosi.
3. Memotivasi Diri
Sendiri.
4. Mengenali
Emosi Orang Lain.
5. Membina
Hubungan.
1. Internal
2. Ekternal
1. Kesehatan
2. Kualitas
Hidup
3. Kinerja
Optimal
Novel Gunung Ungaran Karya Nh. Dini
Permasalahan atau Rumusan Masalah
Jenis kecerdasan emosi
yang dimiliki tokoh
utama, yaitu (1)
mengenali emosi diri
seperti marah, ragu, dan
kecewa, (2) mampu
mengendalikan
emosinya, (3) motivasi
diri yang tinggi, (4)
berempati, dan (5)
membina hubungan
dengan baik.
Faktor penyebab
kecerdasan emosi pada
tokoh utama, yaitu (1)
diri sendiri, (2) faktor
lingkungan, (3) faktor
jenis kelamin, (4)
faktor pola asuh orang
tuanya, (5) faktor usia,
dan (6) faktor teman
sebaya.
Dampak dari
kecerdasan emosi
tokoh utama
berpengaruh
terhadap kesehatan
fisik dan perilaku
yang baik, kualitas
hidup tokoh utama
sejahtera, dan
kinerja yang
optimal.