Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Belajar dan Pembelajaran
Belajar dan suatu perubahan yang relative permanen dalam suatu
kecenderungan tingkah laku sebagai hasil dari praktek atau latihan.Hal senada
diungkapkan pula oleh Skinner dalam bukunya Dimyati dan Mudjiono.Skinner
berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku pada saat orang belajar, maka
responya menjadi baik. Sebaliknya bila ia tidak belajar maka responnya menurun
(Mudjiono, 2002:9). Dengan demikian, belajar merupakan perubahan perilaku
individu atau seseorang yang disebabkan oleh latihan yang berkesinambungan.
Berdasarkan kutipan di atas, pengertian belajar adalah adanya suatu perubahan
dalam diri individu atau seseorang baik berupa pengetahuan, sikap dan
keterampilan serta nilai yang diperoleh melalui interaksi, pengalaman dan latihan
secara kontinu dan terus menerus dengan lingkungan sekitar menuju kearah yang
lebih baik. Pada umumnya, definisi belajar adalah perubahan tingkah laku,
perubahan yang didasari dan tibul akibat praktek, pengalaman, latihan bukan
secara kebetulan. Pengertian belajar lebih mengarah kepada hasil sedangkan
pengertian pembelajaan lebih mengarah kepada prosesnya.
2.2 Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Wahyana (Trianto, 2010: 136) menjelaskan bahwa IPA merupakan suatu
kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik dan dalam penggunaannya
secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangannya tidak hanya
ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi oleh adanya metode ilmiah dan sikap
ilmiah. Berdasarkan definisi IPA menurut para ahli di atas, maka yang dimaksud
dengan IPA dalam penelitian ini adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi dan
isinya baik makhluk hidup maupun benda mati.
Bundu (2006: 11) menyebutkan bahwa pada hakikatnya IPA dapat
dipandang dari segi proses, produk dan pengembangan sikap. Adapun
penjabaran masing-masing aspek adalah sebagai berikut.
6
1) IPA sebagai Proses
Pengertian IPA sebagai proses disini adalah proses mendapatkan IPA.
Proses IPA tidak lain adalah metode ilmiah. Untuk anak usia SD, metode
ilmiah dikembangkan secara bertahap dan berkesinambungan, dengan
harapan bahwa pada akhirnya akan berbentuk suatu paduan yang lebih utuh
sehingga anak SD dapat melakukan penelitian sedarhana. Adapun tahapan
pengembangannya disesuaikan dengan tahapan dari suatu proses penelitian
eksperimen yang meliputi: (1) observasi, (2) klasifikasi, (3) interpretasi, (4)
prediksi, (5) hipotesis, (6) mengendalikan variabel, (7) merencanakan dan
melaksanakan penelitian, (8) inferensi, (9) aplikasi, dan (10) komunikasi.
2) IPA Sebagai Produk
IPA sebagai produk merupakan akumulasi hasil upaya para perintis IPA
terdahulu dan biasanya telah tersusun secara lengkap dan sistematis dalam
bentuk buku teks. Dalam pembelajaran IPA seorang guru dituntut untuk
dapat mengajak siswa memanfaatkan alam sekitar sebagai sumber belajar.
Pengertian IPA sebagai produk menurut Maslichah Asy’ari (2006: 9)
merupakan kumpulan pengetahuan yang tersusun dalam bentuk fakta,
konsep, prinsip, hukum dan teori. Fakta terkait pengertian hakikat IPA
tersebut merupakan pernyataan-pernyataan tentang benda-benda yang ada
atau peristiwa-peristiwa yang betul-betul terjadi dan sudah dikonfirmasi
secara obyektif (Iskandar, 2001: 3). Patta Bundu (2006: 11) menjelaskan
konsep dalam hakikat IPA sebagai suatu ide yang menyatukan fakta-fakta
sains yang berhubungan dan menyatakan prinsip sebagai generalisasi
tentang hubungan diantara konsep-konsep sains. Selanjutnya Iskandar
(2001: 3) menambahkan bahwa hukum dalam IPA adalah prinsip-prinsip
yang sudah diterima meskipun bersifat tentatif teteapi mempunyai daya uji
yang kuat sehingga dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama. Teori
merupakan generasi mengenai berbagai prinsip yang menjelaskan dan
meramalkan fenomena alam (Maslichah Asya’ari: 12).
7
3) IPA Sebagai Pengembangan Sikap
Menurut Wynne Harlen (Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis,
1992: 7) setidak-tidaknya ada Sembilan aspek sikap ilmiah yang dapat
dikembangkan pada anak usia Sekolah dasar, yaitu:
a. Sikap ingin tahu (curiousity)
Sikap ingin tahu sebagai bagian sikap ilmiah di sini maksudnya adalah
suatu sikap yang selalu ingin mendapatkan jawaban yang benar dari
objek yang diamatinya. Kata benar di sini artinya rasional atau masuk
akal dan objektif atau sesuai dengan kenyataan.
b. Sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru (originality)
Sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru bertitik tolak dari kesadaran
bahwa jawaban yang telah mereka peroleh dari rasa ingin tahu itu
tidaklah bersifat mutlak, tetapi masih bersifat sementara atau tentatif. Hal
ini disebabkan keterbatasan kemampuan berpikir maupun keterbatasan
pengamatan pancaindera manusia untuk menetapkan suatu kebenaran.
Jadi, jawaban benar yang mereka peroleh itu sebatas pada suatu “tembok
ketidaktahuan”. Sikap anak usia Sekolah Dasar seperti itu dapat dipupuk
dengan cara mengajaknya melakukan pengamatan langsung pada objek-
objek yang terdapat di lingkungan sekolah.
c. Sikap kerja sama (cooperation)
Yang dimaksud kerjasama disini adalah untuk memperoleh pengetahuan
yang lebih banyak. Seorang yang bersikap cooperative ini menyadari
bahwa pengetahuan yang dimiliki orang lain mungkin lebih banyak dan
lebih sempurna daripada apa yang ia miliki. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan pengetahuannya ia merasa membutuhkan kerjasama
dengan orang lain. Kerjasama ini dapat juga bersifat berkesinambungan.
Anak usia Sekolah Dasar perlu dipupuk sikapnya untuk dapat
bekerjasama satu dengan yang lain kerjasama itu dapat dalam bentuk
kerja kelompok, pengumpulan data maupun diskusi untuk menarik suatu
kesimpulan hasil observasi.
8
d. Sikap tidak putus asa (perseverance)
Tugas guru untuk memberikan motivasi bagi anak didik yang mengalami
kegagalan dalam upaya menggali ilmu dalam bidang IPA agar tidak
putus asa.
e. Sikap tidak berprasangka (open-mindedness)
IPA mengajarkan kita untuk menetapkan kebenaran berdasarkan dua
kriteria, yaitu rasionalitas dan objektivitas. Munculnya faktor objektivitas
dalam menetapkan kebenaran menjadikan orang tidak lagi purba sangka.
Sikap tidak purba sangka dapat dikembangkan secara dini kepada anak
usia SD dengan jalan melakukan observasi dan eksperimen dalam
mencari kebenaran ilmu.
f. Sikap mawas diri (self criticism)
Objektivitas tidak hanya ditunjukkan di luar dirinya tetapi juga terhadap
dirinya sendiri. Itulah sikap mawas diri untuk menjunjung tinggi
kebenaran. Anak usia SD harus dikembangkan sikapnya untuk jujur pada
dirinya sendiri, menjunjung tinggi kebenaran dan berani melakukan
koreksi pada dirinya sendiri.
g. Sikap bertanggungjawab (responsibility)
Sikap bertanggungjawab harus dikembangkan sejak usia SD misalnya
dengan membuat dan melaporkan hasil pengamatan, hasil eksperimen
ataupun hasil kerjanya yang lain kepada teman sejawat, guru atau orang
lain, dengan sejujur-jujurnya.
h. Sikap berpikir bebas ( independence in thinking)
Tugas guru untuk dapat mengembangkan pikiran bebas dari siswa (dan
bukan sebaliknya untuk mendiktekan pendapatnya agar sesuai dengan
buku teks). Jadi, mencatat atau merekam hasil pengamatan sesuai dengan
apa adanya dan membuat kesimpulan dengan hasil kerja mereka sendiri
merupakan saat-saat yang penting bagi anak dalam mengembangkan
sikap berpikir bebas.
9
i. Sikap kedisiplinan diri (self discipline)
Menurut Morse dan Wingo (Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis,
1992: 8) kedisiplinan diri dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang
untuk dapat menngontrol ataupun mengatur dirinya menuju kepada
tingkah laku yang dikehendaki dan dapat diterima oleh masyarakat. Salah
satu bentuk pengembangan kedisiplinan diri adalah pengorganisasian
kelas termasuk adanya regu-regu kebersihan dan sebagainya yang dapat
diatur sendiri oleh siswa.
Mencermati penjelasan di atas, maka pembelajaran IPA sejatinya
membelajarkan peserta didik supaya memiliki pengetahuan ilmiah dengan
diimbangi sikap ilmiah. Untuk membelajarkan IPA di sekolah maka di dalam
Permendiknas No. 22 tahun 2006 dijelaskan ruang lingkup mata pelajaran IPA
yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
a. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan
dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.
b. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas.
c. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,
cahaya dan pesawat sederhana.
d. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda
langit lainnya.
Sedangkan tujuan pembalajaran IPA menurut Permendiknas No. 22
tahun 2006, ada tujuh tujuan mata pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam),
yaitu:
a. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkaan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-nya.
b. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
c. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi dan masyarakat
10
d. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan
e. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara,
menjaga dan melestarikan lingkungan alam
f. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
g. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai
dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
2.3 Hasil Belajar
Menurut Djamarah dan Zain (2006) hasil belajar adalah apa yang
diperoleh siswa setelah dilakukan aktifitas belajar. Ada juga menurut
Mulyasa (2008) hasil belajar merupakan prestasi belajar siswa secara keseluruhan
yang menjadi indikator kompetensi dan derajat perubahan prilaku yang
bersangkutan. Kompetensi yang harus dikuasai siswa perlu dinyatakan sedemikian
rupa agar dapat dinilai sebagai wujud hasil belajar siswa yang mengacu pada
pengalaman langsung. Sedangkan menurut Hamalik (2008) hasil belajar adalah
sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang dapat di amati
dan diukur bentuk pengetahuan, sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat
di artikan sebagai terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik
sebelumnya yang tidak tahu menjadi tahu. Menurut Sudjana, (2010: 22) hasil
belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman
belajarnya. Sedangkan menurut Nasution (2011: 176) hasil belajar adalah nyata
dari apa yang dapat dilakukannya dan yang tidak dapat dilakukannya sebelumnya.
Maka terjadi perubahan kelakuan yang dapat kita amati dan dapat dibuktikannya
dalam perbuatan.
Beberapa pendapat tersebut di atas menunjukkan bahwa hasil belajar
adalah salah satu hasil ujian dalam proses pengajaran yang dilakukan secara
formal. Tingkat keberhasilan siswa dalam menguasai pelajaran di sekolah
dinyatakan dengan symbol angka atau huruf dalam raport dan diperoleh dari hasil
tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.Pengukuran hasil belajar siswa di
11
ukur dari waktu ke waktu dan merupakan gabungan dari aspek sikap, pengetahuan
dan keterampilan.
2.4 Model Teams Games Tournament
Model TGT cocok digunakan dalam pembelajaran IPA karena
memungkinkan terjadinya interaksi antara siswa dalam proses pembelajaran
dengan saling berdiskusi menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan dalam kelompok
masing-masing. Hal ini sesuai dengan prinsip pembelajaran IPA bahwa seiring
perkembangan IPA yang begitu pesat serta diperlukannya IPA dan pola pikirnya
dalam berbagai bidang, maka guru perlu secara sengaja merancang pembelajaran
yang memungkinkan untuk membelajarkan nilai-nilai edukatif dalam IPA secara
aktif kepada siswa. Perencanaan pembelajaran yang demikian menurut Soedjadi
(1999: 66) disebut perencanaan pembelajaran by-design. Guru secara sengaja
mendesain pembelajaran IPA yang memungkinkan di dalamnya terdapat aktivitas-
aktivitas yang dapat mendukung tumbuh kembangnya kepribadian siswa.
Steve Parson (Slavin, 2010: 167) menyatakan bahwa model pembelajaran
kooperatif tipe TGT yang mempunyai ciri khas games dan tournament ini
menciptakan warna yang positif di dalam kelas karena kesenangan para siswa
terhadap permainan tersebut. Model ini dapat membuat peserta didik tidak merasa
bosan sehingga dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari hasil belajarnya.
Menurut Slavin (2010: 166) model pembelajaran kooperatif tipe Teams
games tournament (TGT) memiliki langkah-langkah (sintaks) sebagai berikut.
1) Presentasi kelas (class precentation).
Dalam presentasi kelas guru memperkenalkan materi pembelajaran yang
diberikan secara langsung atau mendiskusikan dalam kelas. Guru dalam hal ini
berperan sebagai fasilitator. Pembelajaran mengacu pada apa yang disampaikan
oleh guru agar nantinya dapat membantu siswa dalam mengikuti game dan
turnamen.
2) Kelompok (teams).
Kelompok terdiri dari empat sampai lima orang yang heterogen misalnya
berdasar kemampuan akademik dan jenis kelamin, jika memungkinkan suku, ras,
12
atau kelas sosial. Tujuan utama pembentukan kelompok adalah untuk meyakinkan
siswa bahwa semua anggota kelompok belajar dan semua anggota mempersiapkan
diri untuk mengikuti game dan turnamen dengan sebaik-baiknya. Diharapkan tiap
anggota kelompok melakukan hal yang terbaik bagi kelompoknya dan adanya
usaha kelompok melakukan untuk membantu anggota kelompoknya sehingga
dapat meningkatkan kemampuan akademik dan menumbuhkan pentingnya
kerjasama diantara siswa dan meningkatkan percaya diri.
3) Permainan (game).
Permainan (game) dibuat dengan isi pertanyaan-pertanyaan untuk mengetes
siswa yang didapat dari presentasi kelas dan latihan kelompok. Game dimainkan
dengan meja yang berisi tiga siswa yang mewakili tiga kelompok yang berbeda.
Siswa mengambil kartu bernomor dan berusaha untuk menjawab pertanyaan
sesuai dengan nomor. Aturannya membolehkan pemain untuk menantang jawaban
yang lain.
4) Pertandingan (tournament).
Biasanya turnamen diselenggarakan akhir minggu, setelah guru membuat
presentasi kelas dan kelompok-kelompok mempraktikkan tugas-tugasnya. Untuk
turnamen pertama guru mengelompokkan siswa dengan kemampuan serupa yang
mewakili tiap timnya. Kompetisi ini merupakan sistem penilaian kemampuan
yang mewakili tiap timnya. Kompetisi ini merupakan penilaian sistem penilaian
kemampuan perorangan dalam STAD. Kompetisi ini juga memungkinkan bagi
siswa dari semua level di penampilan sebelumnya untuk memaksimalkan nilai
kelompok mereka menjadi terbaik.
Adapun alur penempatan peserta turnamen menurut Slavin (2010: 168) dapat
dilihat pada Gambar 2.1.
13
Gambar 2.1 Alur Penempatan Peserta Turnamen
Slavin (2010) menyatakan bahwa dalam pengimplementasian model
pembelajaran TGT, yang harus diperhatikan yaitu:
1) Pembelajaran terpusat pada siswa
2) Proses pembelajaran dengan suasana berkompetisi
3) Pembelajaran bersifat aktif (siswa berlomba untuk dapat menyelesaikan
persoalan)
4) Pembelajaran diterapkan dengan mengelompokkan siswa menjadi tim-tim
5) Dalam kompetisi diterapkan sistem point
6) Dalam kompetisi disesuaikan dengan kemampuan siswa atau dikenal
kesetaraan dalam kinerja akademik
7) Kemajuan kelompok dapak diikuti oleh seluruh kelas melalui jurnal kelas
yang diterbitkan secara mingguan
8) Dalam pemberian bimbingan guru mengacu pada jurnal
9) Adanya sistem penghargaan bagi siswa yang memperoleh point banyak.
Memperhatikan langkah-langkah di atas diharapkan model pembelajaran
kooperatif tipe TGT (Teams Games Tournament) dapat menjadi salah satu model
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan
mudah, menyenangkan, dan dapat mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan
yang diharapkan. Sehingga hasil belajar peserta didik dapat meningkat.
14
2.5 Media Pembelajaran
2.5.1 Pengertian Media Pembelajaran
Media pembelajaran adalah paduan antara bahan dan alat atau perpaduan
antara software dan hardware (Sadiman, dkk, 1996). Menurut Gerlach & Ely
(Arsyad, 2002), mengatakan bahwa media secara garis besar merupakan manusia,
materi, atau kejadian yang membangun kondisi, yang menyebabkan siswa mampu
memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Jadi menurut pengertian ini,
guru, teman sebaya, buku teks, lingkungan sekolah dan luar sekolah, bagi seorang
siswa merupakan media. Dengan demikian
Media dapat dibagai dalam dua kategori, yaitu alat bantu pembelajaran
(instructional aids) dan media pembelajaran (instructional media). Alat bantu
pembelajaran atau alat untuk membantu guru (pendidik) dalam memperjelas
materi (pesan) yang akan disampaikan. Oleh karena itu alat bantu embelajaran
disebut juga alat bantu mengajar (teaching aids). Misalnya OHP/OHT, film
bingkai (slide) foto, peta, poster, grafik, flip chart, model benda sebenarnya dan
sampai kepada lingkungan belajar yang dimanfaatkan untuk memperjelas materi
pembelajaran.
2.5.2 Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran
Levie & Lentsz (1982) yang dikutip Sanaky (2009), mengemukakan empat
fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu: Fungsi Atensi, Fungsi
Afektif, Fungsi Kognitif, Fungsi Kompensatoris.Fungsi atensi media visual
merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk
berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang
ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran. Seringkali pada awal pelajaran
peserta didik tidak tertarik dengan materi pelajaran atau mata kuliah yang tidak
disenangi oleh mereka sehingga mereka tidak memperhatikan. Media visual yang
diproyeksikan dapat menenangkan dan mengarahkan perhatian mereka kepada
mata kuliah yang akan mereka terima. Dengan demikian, kemungkinan untuk
memperoleh dan mengingat isi materi saat pembelajaran semakin besar.
Fungsi afektif media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan peserta
didik ketika belajar atau membaca teks yang bergambar. Gambar atau lambang
15
visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa. Misalnya informasi yang
menyangkut masalah sosial atau ras. Fungsi kognitif media visual terlihat dari
lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami
dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.
Fungsi kompensatoris media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian
bahwa media visual yang memberikan konteks untuk memahami teks membantu
siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks
dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain, media pembelajaran berfungsi
untuk mengakomodasikan siswa yang lemah dan lambat menerima dan
memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal.
Sudjana dan Rivai (2002), mengemukakan manfaat media pembelajaran dalam
proses belajar siswa yaitu:
1) Pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat
menumbuhkan motivasi belajar.
2) Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami
oleh siswa sehingga memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan
pembelajaran.
3) Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal
melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru
tidak kehabisan tenaga, apalagi bila guru mengajar pada setiap jam pelajaran.
4) Siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya
mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati,
melakukan mendemonstrasikan, memamerkan, dll.
2.5.3 Macam-Macam Media Pembelajaran
Media pembelajaran banyak sekali jenis dan macamnya. Menurut Anderson
(1998) beberapa media yang paling akrab dan hampir semua sekolah
memanfaatkan adalah media cetak (buku) dan papan tulis. Selain itu, banyak juga
sekolah yang telah memanfaatkan jenis media lain seperti gambar, model,
overhead projektor (OHP) dan obyek obyek nyata. Sedangkan media lain seperti
kaset audio, video, VCD, slide (film bingkai), serta program pembelajaran
komputer masih jarang digunakan meskipun sebenarnya sudah tidak asing lagi
16
bagi sebagian besar guru. Meskipun demikian, sebagai seorang guru alangkah
baiknya Anda mengenal beberapa jenis media pembelajaran tersebut. Hal ini
dimaksudkan agar mendorong kita untuk mengadakan dan memanfaatkan media
tersebut dalam kegiatan pembelajaran di kelas.
2.5.4 Kriteria Memilih Media Pembelajaran
Memilih media hendaknya tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan
didasarkan atas kriteria tertentu. Kesalahan pada saat pemilihan, baik pemilihan
jenis media maupun pemilihan topik yang dimediakan, akan membawa akibat
panjang yang tidak kita inginkan di kemudian hari. Banyak pertanyaan yang harus
kita jawab sebelum kita menentukan pilihan media tertentu. Ibrahim (1982)
mengemukakan bahwa secara umum kriteria yang harus dipertimbangkan dalam
pemilihan media pembelajaran diuraikan sebagai berikut:
1) Tujuan
Tujuan pembelajaran (standar kompetensi dan kompetensi dasar) yang
hendak dicapai. Apakah tujuan itu masuk ranah kognitif, afektif, psikomotor, atau
kombinasinya. Jenis rangsangan indera apa yang ditekankan: apakah penglihatan,
pendengaran, atau kombinasinya. Jika visual, apakah perlu gerakan atau cukup
visual diam. Jawaban atas pertanyaan itu akan mengarahkan pada jenis media
tertentu, apakah media realia, audio, visual diam, visual gerak, audio visual gerak
dan seterusnya.
2) Sasaran didik
Siapa sasaran didik yang akan menggunakan media. Bagaimana
karakteristik mereka, berapa jumlahnya, bagaimana latar belakang sosialnya,
bagaimana motivasi dan minat belajarnya Dengan demikian, media harus sesuai
benar dengan kondisi mereka.
3) Karakteristik media yang bersangkutan
Bagaimana karakteristik media tersebut. Apa kelebihan dan kelemahannya,
sesuaikah media yang akan dipilih itu dengan tujuan yang akan dicapai. Pemilihan
media diikuti dengan pemahaman setiap kriteria media tersebut, karena kegiatan
memilih pada dasamya adalah kegiatan membandingkan satu sama lain, mana
yang lebih baik dan lebih sesuai dibanding yang lain. Oleh karena itu, sebelum
17
menentukan jenis media tertentu, perlu memahami dengan baik bagaimana
karaktristik media tersebut.
4) Waktu
Yang dimaksud waktu di sini adalah berapa lama waktu yang diperlukan
untuk mengadakan atau membuat media yang akan kita pilih, serta berapa lama
waktu yang tersedia/yang dimiliki. Pertanyaan lain adalah, berapa lama waktu
yang diperlukan untuk menyajikan media tersebut dan berapa lama alokasi waktu
yang tersedia dalam proses pembelajaran.
5) Biaya
Faktor biaya juga merupakan pertanyaan penentu dalam memilih media.
Bukankah penggunaan media pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pembelajaran. Oleh sebab itu, faktor biaya menjadi
kriteria yang harus dipertimbangkan. Media yang mahal belum tentu lebih efektif
untuk mencapai tujuan belajar dibandingkan media sederhana dan murah.
6) Ketersediaan
Kemudahan dalam memperoleh media juga menjadi pertimbangan kita.
Adakah media yang dibutuhkan itu diperoleh dengan mudah, misalnya di sekolah
atau di pasaran. Media dapat dibuat sendiri, jika hendak membuat sendiri maka
perlu memperhatikan beberapa hal berikut: kemampuan, waktu tenaga dan sarana
untuk membuatnya.
7) Konteks penggunaan
Konteks penggunaan maksudnya adalah dalam kondisi dan strategi
bagaimana media tersebut akan digunakan. Misalnya: apakah untuk belajar
individual, kelompok kecil, kelompok besar atau masal. Dalam hal ini diperlukan
perencanaan strategi pembelajaran secara keseluruhan yang akan digunakan
dalam proses pembelajaran, sehingga tergambar kapan dan bagaimana konteks
penggunaaan media tersebut dalam pembelajaran.
8) Mutu Teknis
Kriteria ini terutama untuk memilih/membeli media siap pakai yang telah
ada, misalnya program audio, video, grafis atau media cetak lain.
18
2.5.5 Video Pembelajaran
Menurut Cheppy Riyana (2007) media video pembelajaran merupakan
sebuah media yang menyajikan audio dan visual yang dapat berisi pesan-pesan
pembelajaran baik berisi konsep, prinsip, prosedur, teori aplikasi pengetahuan
untuk membantu pemahaman terhadap materi pembelajaran. Sedangkan menurut
Sungkono (Fiskha 2012: 22) video merupakan bahan atau materi pembelajaran
yang dikemas melalui pita video yang dapat dilihat melalui video player yang
dihubungkan ke monitor. Dengan demikian video dapat dilihat secara bersama
dan mampu menyampaikan pesan dengan memanfaatkan efek gerak dan suara.
Dalam pembelajaran tentu proses mempengaruhi hasil akhir, oleh karena itu perlu
dirancang proses pembelajaran yang menarik sehingga siswa mampu belajar dan
memahami materi ajar dengan baik. Terkait dengan pembelajaran yang aktif dan
menarik, media pembelajaran dengan video dapat menunjang terciptanya proses
pembelajaran yang menarik. Seperti yang dikemukakan oleh pendapat ahli di atas,
maka pembelajaran dengan media video dapat digunakan dalam proses
pembelajaran. Ada banyak kelebihan dari penggunaan video dalam proses
pembelajaran. Sebagaimana diungkapkan oleh Nugent (Smaldino, 2008: 310)
bahwa video merupakan media yang cocok yang dapat dipasangkan dengan
semua pembelajaran. Cheppy (Fiskha, 2012) mengemukakan tujuan dari
digunakannya video pembelajaran dalam proses pembelajaran antara lain sebaga
berikut.
1) Memperjelas penyempaian pesan sehingga mengurangi kegiatan ceramah yang
didominasi oleh guru. Penggunaan video pembelajaran memudahkan siswa
dalam memahami materi karena materi dikemas secara menarik berupa audio
dan visual.
2) Mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indra peserta didik maupun
instruktur. Penggunaan video pembelajaran memudahkan guru untuk
menjelaskan materi, karena tidak harus membawa alat peraga yang sulit
diperoleh untuk menjelaskan sebuah meteri, selain itu penggunaan video juga
menghemat waktu, serta siswa tidak harus pergi ke lokasi yang jauh untuk
memperoleh informasi.
19
3) Dapat digunakan secara tepat dan bervariasi. Video pembelajaran bersifat
fleksibel, guru dapat merancang dan menggunakan video pembelajaran dengan
bervariasi sesuai kreativitas guru.
2.6 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian ini juga didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh beberapa
peneliti yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT untuk
memecahkan masalah pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Penelitian tersebut
antara lain penelitian yang dilakukan oleh Korayanti (2013) yang berjudul
Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe teams games tournament (TGT)
untuk meningkatkan prestasi belajar ilmu pengetahuan sosial (IPS) siswa kelas
IV SD Negeri Mancasan Gamping Sleman Yogyakarta pada materi Sumber
Daya Alam dan Pemanfaatannya dalam Kegiatan Ekonomi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada siklus yang pertama, sebanyak 63,33% siswa berhasil
memperoleh nilai rata-rata 60,37. Adapun pada siklus yang kedua 80% siswa
memperoleh nilai dengan rata-rata 69,90. Dapat disimpulkan bahwa penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat
meningkatkan kemampuan siswa kelas 4 Sekolah Dasar Negeri 01 Macanan
dalam meningkatkan prestasi belajar IPS. Keunggulan dari penelitian ini yaitu
terciptanya kerjasama diantara siswa yang lain atau anggota kelompok yang lain,
sedangkan kelemahannya yaitu masih belum bisa sepenuhnya mengaktifkan
siswa.
Penelitian yang dilakukan oleh Nur (2007) yang berjudul model
pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) sebagai upaya
meningkatkan keaktifan belajar matematika siswa pada pokok bahasan peluang
dan statistika di SMP negeri 4 depok yogyakarta kelas IX C. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa keaktifan belajar matematika siswa setelah dilakukan
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT)
menunjukkan bahwa rata-rata seluruh aspek keaktifan belajar matematika siswa
kelas IX C SMP Negeri 4 Depok Yogyakarta pada pokok bahasan Peluang dan
Statistika mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
20
peningkatan hasil rata-rata persentase lembar observasi keaktifan belajar siswa
untuk tiap siklus, yaitu pada siklus I keaktifan siswa sebesar 61,17% untuk siklus
II sebesar 71,11%. Selain itu hasil dari angket respon siswa terhadap pembelajaran
juga meningkat yaitu sebesar 63% pada siklus I dan sebesar 70,11% pada siklus
II.
2.7 Kerangka Pikir
Berdasarkan kajian teori di atas, dapat diketahui bahwa model pembelajaran
kooperatif tipe TGT dirancang untuk mendukung pembalajaran yang aktif, artinya
siswa ikut terlibat dalam kegiatan belajar mengajar melalui kegiatan game dan
turnamen. Sesuai dengan tujuan dari model pembelajaran kooperatif tipe TGT
yang telah dijelaskan sebelumnya yakni melalui kegiatan game dan tournament,
mengkondisikan siswa memiliki pengalaman belajar yang menyenangkan. Pada
hakikatnya setiap pembelajaran memerlukan suasana belajar yang menyenangkan,
begitu juga pembelajaran IPA. Mencermati karakteristik pembelajaran IPA
tersebut maka model TGT merupakan salah satu model yang membuat suasana
belajar menyenangkan, sehingga siswa menjadi bersemangat dalam belajar.
Kondisi yang demikian akan lebih membuat siswa fokus dalam belajar dan
akhirnya berdampak pada hasil belajar.
Pemahaman akan materi ajar sangat penting untuk ditingkatkan karena
berpengaruh pada hasil belajar yang akan diperoleh siswa dan penentu
keberhasilan siswa dalam mencapai hasil belajar yang baik. Siswa kelas IV SD
Negeri 02 Grobogan pada pra siklus menunjukkan hasil belajar IPA yang masih
rendah. Hal ini terlihat dari rendahnya ketuntasan belajar siswa yang hanya
mencapai 51,85%. Hal ini dipicu dari kurangnya respon dan keseriusan siswa
dalam mengikuti mata pelajaran karena dalam proses pembelajaran siswa lebih
cenderung menjadi pendengar serta menunggu pertanyaan yang diberikan oleh
guru sehingga pembelajaran menjadi kurang menyenangkan.
21
Kerangka Berfikir
Gambar 2.2 Skema Kerangka Berpikir
2.8 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian kerangka berfikir, maka hipotesis tindakan yang
diajukan dalam penelitian ini adalah penggunaan model pembelajaran kooperatif
tipe Teams Games Tournament (TGT) berbantuan media video pembelajaran
diduga dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas 4 SD Negeri 02
Lebak Grobogan.
Hasil belajar IPA
siswa rendah di
bawah KKM ≥ 70
Kegiatan
Awal
Guru
menggunakan
metode ceramah
,tanya jawab
Siklus I : Hasil belajar
IPA siswa meningkat
namun belum mencapai
indikator kinerja
Guru
menggunakan
model TGT
pembelajaran IPA
Tindakan
Siklus II : Hasil belajar
IPA siswa tuntas dan
sudah mencapai
indikator
Melalui model TGT dapat
meningkatkan hasil belajar IPA
pada siswa kelas IV 02 Lebak
Grobogan Semester II tahun
pelajaran 2016/ 2017
Kondisi
Akhir