Upload
trinhque
View
229
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Tuna (Thunnus sp.)
Tuna (Thunnus sp.) merupakan jenis ikan laut pelagis yang termasuk
dalam keluarga Scombroidae. Tubuh ikan ini seperti cerutu, mempunyai sirip
punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang.
Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip
dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak
ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hipural. Tubuh ikan
tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian
atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning
cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Ditjen Perikanan,1983). Tuna terdiri dari
5 spesies yaitu Albacore (Thunnus alalunga), Yellowfin Tuna (Thunnus
albacores), Tuna Sirip Biru/Southtern Bluefin Tuna (Thunnus macoyii), Big eye
Tuna (Thunnus obesus), Longtail Tuna (Thunnus tongkol) (Saanin, 1984). Gambar
jenis-jenis ikan tuna disajikan pada Gambar 1.
Kalsifikasi ikan tuna (Thunnus sp.) menurut Saanin (1984) adalah sebagai
berikut :
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata Thunnus
Class : Teleostei
Sub Class : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Sub ordo : Scombroidae
Genus : Thunnus
Species : Thunnus alalunga (Albacore)
Thunnus albacores (Yellowfin Tuna)
Thunnus macoyii (Southtern Bluefin Tuna)
Thunnus obesus (Big eye Tuna)
Thunnus tonggol (Longtail Tuna).
7
Gambar 1. Jenis-Jenis Ikan Tuna (Thunnus sp.) (Sumber : www.damandiri.or.id )
8
Ikan tuna hidup pada habitat berupa perairan dengan suhu 100
– 400
C,
pada kedalaman 0 - 400 m di bawah permukaan laut. Faktor yang berpengaruh
terhadap pola penyebaran ikan tuna antara lain suhu, arus, salinitas perairan dan
tempat memijah. Ikan tuna termasuk ke dalam ikan buas, karnivor, predator dan
dapat mencapai panjang 50 - 150 cm (Alfindo, 2009). Tuna memiliki kebiasaan
bergerombol kecil dan biasanya tertangkap bersama-sama ikan cakalang. Cara
penangkapannya dengan memakai peralatan seperti tuna longline, purse seine,
pole and line dan trolling.
Pergerakan (migrasi) kelompok ikan tuna di wilayah perairan Indonesia
mencakup wilayah perairan pantai, teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Pada wilayah perairan ZEE Indonesia, migrasi ikan tuna merupakan bagian dari
jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan
perbatasan perairan antara samudera Hindia dan samudera Pasifik (Alfindo,
2009). Jumlah tangkapan tuna di beberapa titik penangkapan hasil laut Indonesia
cukup banyak, hal ini dikarenakan perairan Indonesia yang merupakan lintasan
jalur migrasi tuna. Jumlah hasil tangkapan tuna di perairan Indonesia disajikan
pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Produksi Beberapa Jenis Ikan Tuna Tahun 2004-2010 di Indonesia
(ton)
Tahun
Jenis-jenis Tuna
Albacora Madidihang Sirip Biru Mata
Besar
Longtail
2004 29.135 94.904 665 52.292 107.438
2005 33.790 110.163 1.831 37.360 93.119
2006 20.293 94.406 747 43.958 94.981
2007 34.335 103.655 1.079 52.489 117.941
2008 36.538 102.765 891 53.979 95.229
2009 25.621 114.163 641 62.844 95.299
2010 30.134 130.422 474 52.766 89.281
Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2011)
9
Tuna memiliki kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah.
Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 gr/100 gr daging. Lemak antara
0,2 - 2,7 gr/100 gr daging. Ikan tuna juga mengandung mineral kalsium, fosfor,
besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin, riboflavin dan
niasin) (Departemen of Health Education and Walfare 1972 dalam Maghfiroh,
2000). Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Nilai Gizi Beberapa Jenis Ikan Tuna (Thunnus sp.) per-
100 gr Daging.
Komposisi
Jenis Ikan Tuna
Satuan Bluefin Skipjack Yellowfin
Energi
Protein
Lemak
Abu
Kalsium
Fosfor
Besi
Sodium
Retinol
Thiamin
Riboflavin
Niasin
121,0
22,6
2,7
1,2
8,0
190,0
2,7
90,0
10,0
0,1
0,06
10,0
131,0
26,2
2,1
1,3
8,0
220,0
4,0
52,0
10,0
0,03
0,15
18,0
105,0
24,1
0,1
1,2
9,0
220,0
1,1
78,0
5,0
0,1
0,1
12,0
g
g
g
mg
mg
mg
mg
mg
mg
mg
mg
mg
Sumber : (Departement of Health, Education and Walfare (1972) dalam
Maghfiroh, 2000)
2.2 Mutu dan Kualitas Ikan
Menurut Feigenbaum (1991) dalam Lesmana (2011) bahwa mutu adalah
suatu produk atau jasa yang memenuhi syarat atau keinginan pelanggan, dimana
pelanggan dapat menggunakan atau menikmati produk atau jasa tersebut dengan
sangat puas dan ia menjadi pelanggan tetap, sedangkan kualitas merupakan
keseluruhan karakteristik produk dan jasa yang meliputi pemasaran, teknik,
perancangan dan pelayanan yang cepat, dimana produk dan jasa tersebut dalam
pemakaianya akan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan.
Penentuan produk yang baik dan layak dalam pangan, mutu dan kualitas
selalu diperhatikan, sehingga untuk menentukan mutu dan kualitas harus mengacu
10
kepada standar yang sudah disepakati secara bersama. Untuk mengetahui mutu
dan kualitas pada hasil perikanan dapat dilihat dari tingkat kesegarannya,
pengamatan seperti ini sering disebut pengamatan organoleptik. Ciri-ciri ikan
yang segar pada umumnya disajikan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Ciri-ciri Ikan Segar
Karaktersitik
Organoleptik
Deskripsi
Mata
Insang
Kulit
Sisik
Bau
Kondisi
cemerlang, kornea bening, pipih hitam, dan mata cembung
warna merah sampai tua cemerlang
cemerlang, belum pudar, warna asli kontras
melekat kuat, mengkilap dengan warna khusus
segar dan berbau laut/garam, tidak berbau pesing
bebas dari parasit apapun tanpa kerusakan pada badan ikan.
Sumber : Ilyas (1993) dalam Syarifuddin (2006)
Dalam menentukan tingkat kesegaran ikan, dapat diketahui berdasarkan
score sheet ikan segar. Karakteristik organoleptik ikan segar secara umum dapat
digunakan untuk mengetahui masih segar atau tidaknya ikan tersebut. Tabel score
sheet ikan segar secara umum disajikan pada Tabel 4.
11
Tabel 4. Score Sheet Ikan Segar
No. Kriteria Deskripsi
1 Kenampakan
dan lendir
- Cemerlang spesifik jenis, sisik kuat, lendir tipis
jernih/transparan.
- Cemerlang, sisik kuat, lendir tipis, agak transparan.
- Agak cemerlang, sisik agak kuat, lendir agak kental.
- Agak kusam, sisik agak mudah lepas, lendir putih susu,
kental tidak merata.
- Kusam, sisik mudah lepas, lendir kekuningan, kental, bau
busuk.
2
Mata
- Cembung, kornea transparan, pupil hitam cemerlang.
- Agak cembung, kornea agak berkabut, pupil hitam, agak
cemerlang.
- Datar, kornea berkabut, pupil keabu-abuan.
- Agak cekung, kornea keruh, pupil putih keabu-abuan.
- Cekung, kornea putih susu, pupil keputihan, tenggelam.
3 Insang - Merah cemerlang, filamen teratur, bau segar, tidak
berlendir.
- Merah muda agak cemerlang, ujung filamen memucat,
susunan agak jarang, bau agak segar, lendir tipis.
- Merah kecoklatan, ujung filamen pucat, susunan jarang,
belum tercium bau yang berbeda, agak berlendir.
- Kecoklatan pucat agak kusam, filamen putih pucat, susunan
jarang tidak teratur, bau agak busuk, lendir agak tebal.
- Coklat pucat kehijauan, ujung filamen putih dan menciut,
bau busuk dan lendir tebal.
4 Aroma - Segar, spesifik jenis.
- Segar, bau spesifik mulai menghilang
- Agak segar, netral, dan belum tercium bau
- Tidak segar, sudah tercium bau yang berbeda
- Bau busuk.
5 Tekstur - Elastis, kompak, dan padat
- Agak elastis, kompak dan agak padat
- Agak elastis, agak kompak, dan agak padat
- Tidak elastis, tidak kompak dan agak lembek
- Tidak elastis, lembek/lunak.
Sumber : Evi Liviawaty, Otong Suhara, dan Eddy Afrianto (2013)
12
Untuk mengetahui mutu dan kualitas, tuna juga memiliki ciri-ciri yang
mudah diamati secara langsung, sehingga pemilihan tuna yang bermutu baik
untuk penjualan/pembelian ataupun ekspor-impor dapat lebih dimudahkan. Pada
umumnya ciri-ciri tuna segar yang baik disajikan pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Ciri-ciri Tuna Segar
No. Parameter Ciri-ciri
1. Bau Bau yang masih khas ikan laut, tidak berbau busuk.
2. Warna Warna daging tuna masih cerah (sesuai jenis tuna),
kulit masih mengkilap.
3. Tekstur Tekstur daging masih kenyal/kompak/keras atau tidak
lembek.
4. Kondisi Fisik Kondisi fisik tubuh ikan tuna dari ekor hingga kepala
harus baik atau tidak rusak. Sumber : Hasil Pengamatan di PT. Graha Insan Sejahtera
Tuna memiliki ranking/grade untuk memudahkan penilaian tuna yang
berkualitas. Penentuan ranking/grade yaitu dilihat dari warna daging tuna yang
diambil dengan alat tertentu. Kualitas mutu ikan tuna dibedakan menjadi empat
kategori, yaitu grade/kualitas A, B, C, dan D. Kegiatan sortasi dilakukan oleh
seorang pemeriksa (checker) dengan menggunakan alat coring tube yaitu
semacam alat yang berbentuk batang, tajam dan terbuat dari besi. Pengambilan
sampel dilakukan pada kedua sisi ikan (bagian belakang sirip atau ekor kanan dan
kiri) dengan cara menusukan coring tube ke tubuh ikan, sehingga didapatkan
potongan daging ikan tuna. Perbedaan klasifikasi mutu daging ikan tuna disajikan
pada Tabel 6.
13
Tabel 6. Ranking/Grade Ikan Tuna
Mutu Grade Warna Daging Ciri-ciri
I
Warna daging untuk tuna jenis yellowfin
adalah merah, seperti darah segar atau buah
semangka,
Warna daging tuna jenis bigeye, dagingnya
berwarna merah seperti bunga mawar yang
berwarna merah tua,
warna daging seperti pelangi atau ya ke tidak
ada.
Mata bersih, terang, dan menonjol
Kulit normal, warna bersih, dan cerah
Untuk jenis tuna yellowfin tekstur daging
keras, kenyal dan elastis,
Jenis tuna bigeye tekstur dagingnya lembut
kenyal, dan elastis
Kondisi ikan (penampakannya) bagus atau
utuh.
II
Daging tuna berwarna merah, terdapat warna
pelangi (ya ke) pada daging tuna,
otot daging agak elastis, jaringan daging tidak
pecah
Mata bersih, terang dan menonjol
Kulit normal, bersih, sedikit lendir
Tidak ada kerusakan fisik (utuh).
III
Daging tuna kurang merah, terdapat warna
pelangi pada daging tuna (ya ke)
Kulit normal dan berlendir
Otot daging kurang elastis
Kondisi ikan tidak utuh atau cacat, biasanya
pada bagian punggung/dada.
IV
Warna daging agak kurang merah dan
cenderung berwarna coklat dan pudar
Otot daging kurang elastis, lemak sedikit dan
ada warna pelangi pada daging tuna (ya ke)
Teksturnya lunak, jaringan daging pecah
Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan
(seperti: daging ikan yang sudah sobek, mata
ikan hilang dan kulit terkelupas).
Sumber : Fadly, 2009
14
Ikan tuna yang memiliki kualitas mutu A dan B akan langsung di ekspor
dalam bentuk utuh dan segar/fresh (tidak dibekukan terlebih dahulu), sedangkan
ikan dengan kualitas mutu C dan D akan diolah terlebih dahulu sebelum diekspor.
Produk olahan tuna kualitas C dan D berupa produk beku dalam bentuk utuh
disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen loin), steak (frozen steak),
tuna saku dan produk tuna kaleng (canned tuna). Negara tujuan ekspor produk
fresh tuna adalah Jepang dan Uni Eropa, sedangkan untuk produk olahan tuna
adalah Amerika Serikat.
2.3. Standar Nasional Indonesia (SNI)
Standar Nasional Indonesia adalah satu-satunya standar yang berlaku
secara nasional di Indonesia. SNI dirumuskan oleh panitia teknis dan ditetapkan
oleh Badan Standardisasi Nasional. Agar SNI dapat diterima secara luas antara
para pengusaha atau stakeholder, maka SNI dirumuskan dengan memenuhi WTO
Code of good practice (Strategi BSN 2006-2009), yaitu:
- Openess (keterbukaan) yaitu terbuka bagi agar semua stakeholder yang
berkepentingan dapat berpartisipasi dalam pengembangan SNI;
- Transparency (transparansi) yaitu transparan agar semua stakeholder yang
berkepentingan dapat mengikuti perkembangan SNI mulai dari tahap
pemrograman dan perumusan sampai ke tahap penetapannya, dan dapat dengan
mudah memperoleh semua informsi yang berkaitan dengan pengembangan
SNI;
- Consensus and impartiality (konsensus dan tidak memihak) yaitu tidak
memihak dan konsensus agar semua stakeholder dapat menyalurkan
kepentingannya dan diperlakukan secara adil;
- Effectiveness and relevance yaitu efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi
perdagangan karena memperhatikan kebutuhan pasar dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Coherence yaitu koheren dengan pengembangan standar internasional agar
perkembangan pasar negara kita tidak terisolasi dari perkembangan pasar
global dan memperlancar perdagangan internasional; dan
15
- Development dimension (berdimensi pembangunan) yaitu berdimensi
pembangunan agar memperhatikan kepentingan publik dan kepentingan
nasional dalam meningkatkan daya saing perekonomian nasional.
2.4 Konsep HACCP
2.4.1 Pengertian HACCP
HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) adalah suatu sistem
dengan pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi dan mengakses bahaya-
bahaya dan risiko-risiko yang berkaitan dengan pembuatan, distribusi dan
penggunaan produk pangan. Sistem ini bertanggung jawab untuk menentukan
aspek-aspek kritis dalam memperoleh keamanan makanan selama proses di
pabrik. HACCP memberikan kesempatan pada pabrik makanan untuk
meningkatkan efisiensi pengontrolan dengan menciptakan kedisiplinan
pendekatan sistematik terhadap prosedur untuk keamanan pangan (Indarwati,
2001). Sistem HACCP ini dikembangkan atas dasar identifikasi titik pengendalian
kritis (Critical control point) dalam tahap pengolahan dimana kegagalan dapat
menyebabkan risiko. Dengan kata lain dalam sistem manajemen mutu tersebut
terdapat tahapan dalam suatu proses, dimana jika tidak dikontrol sebagaimana
mestinya akan mengakibatkan bahaya resiko ketidaknyamanan, ketidaklayakan
atau penipuan ekonomis dari produk yang dihasilkan, dengan kata lain merupakan
setiap tahapan dalam suatu proses dimana faktor Biologis, Kimia dan Fisik dapat
dikontrol/dikendalikan, proses ini dinamakan Titik kendali Kritis ( Critical
Control Point/CCP).
Dari segi teknik, HACCP menggunakan pendekatan yang rasional,
menyeluruh, berkelanjutan dan sistematis dalam menjamin bahwa produk yang
dihasilkan aman untuk dikonsumsi. HACCP disebut rasional karena
pendekatannya didasarkan pada sejarah penyebab penyakit dan kerusakan pangan
yang memfokuskan perhatian terhadap operasi kegiatan kritis yang memerlukan
pengendalian (control) yang memadai. HACCP bersifat berkelanjutan, karena jika
ditemukan masalah, dengan segera dapat dilakukan tindakan koreksi untuk
memperbaikinya. Konsep ini bersifat sistematis, karena konsep ini merupakan
16
perencanaan yang teliti mencakup tahap demi tahap operasi, prosedur dan sarana
pengendalian masalah. Menurut Wiryanti dan Witjaksono (2001) dalam
Mahendra (2005), alasan utama pembuatan dan penerapan sistem HACCP dalam
industri pangan adalah:
a. Meningkatnya tuntutan konsumen atas keamanan pangan (food safety)
b. Pengujian akhir/End Product Inspection (EPI) sudah tidak mampu memenuhi
tuntutan konsumen
c. Adanya pendekatan baru yang berdasarkan pada pengukuran pencegahan
(Preventive) measures, dalan proses inspeksi (In Process Inspection/IPI) dan
semakin dominannya peranan perusahaan/swasta dalam pengontrol peraturan
(self regulatory quality control).
Penerapan HACCP didapatkan beberapa keuntungan yaitu (Sofiah dan
Sukarminah, 2011) :
1. Efektif mengoptimalkan keamanan produk yang mendukung terhadap
peningkatan kepercayaan diri, kepercayaan konsumen dan daya saing produk.
2. Biaya lebih efektif sehingga resiko produksi dan penjualan produk tidak aman,
juga mengatasi beberapa keterbatasan pemeriksaan gambar (snapshot) dan
pengujian akhir.
3. Memenuhi peraturan perundangan yang ada, baik secara nasional maupun
internasional.
2.4.2 Tahapan dan Prinsip Pembentukan Sistem HACCP
Sistem HACCP yang diterapkan pada industri dan diakui dunia, salah
satunya mengacu pada pedoman Codex Alimentarius Comission dalam
“Guidelines for Application of The Hazard Analysis Critical Control Point
System” yang terdiri dari 12 tahapan. Tahapan dalam HACCP terdiri dari dua
bagian yaitu tahapan awal pembentukan HACCP yang terdiri dari 5 bagian dan
tahapan pokok yang juga disebut dengan prinsip sistem HACCP. Terdapat 7
prinsip dalam HACCP yang merupakan prinsip dasar. Tahap-tahap dalam
pembuatan sistem HACCP disajikan pada Gambar 2.
17
Gambar 2. Peta Alir Tahap Aplikasi HACCP (Sumber : Thaheer, 2005)
Penentuan Titik Kendali Kritis
Menetapkan Batas Kritis untuk setiap TKK
Pemantauan Batas Kritis untuk setiap
TKK
Menetapkan Prosedur Pencatatan
Menetapkan Prosedur Verifikasi
Menetapkan Tindakan Koreksi
Pembentukan Tim HACCP
Mendeskripsikan Produk
Identifikasi Konsumen yang Dituju
Identifikasi Bahaya Potensial
Verifikasi Diagram Alir
Penyusunan Diagram Alir proses produksi
18
Menurut Thaheer (2005), penjelasan dari tahapan dan prinsip pembuatan
sistem HACCP adalah sebagai berikut :
1) Pembentukan Tim HACCP
Pembentukan tim HACCP merupakan langkah awal dalam penyusunan
rencana HACCP yang melibatkan semua komponen dalam industri yang terlibat
dalam menghasilkan produk yang baik. Tim ini dibentuk sesuai kebutuhan dari
perusahaan yang disesuaikan dengan kegiatan produksi yang dilakukan. Tim
HACCP sebaiknya terdiri dari perwakilan seluruh departemen yang ada di dalam
perusahaan serta berasal dari disiplin ilmu yang berbeda, dan memiliki keahlian
spesifik dari bidang ilmu yang bersangkutan, misalnya ahli mikrobiologi, ahli
mesin/engineer, ahli kimia, dan lain sebagainya sehingga dapat melakukan diskusi
dalam mengambil keputusan.
2) Deskripsi Produk
Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menyusun deskripsi atau
uraian dari produk pangan yang akan disusun rencana HACCP-nya. Deskripsi
produk yang dilakukan berupa keterangan lengkap mengenai produk, termasuk
jenis produk, komposisi, formulasi, proses pengolahan, daya simpan, cara
distribusi, serta keterangan lain yang berkaitan dengan produk. Semua informasi
tersebut diperlukan Tim HACCP untuk melakukan evaluasi secara luas dan
komprehensif.
3) Identifikasi Konsumen yang Dituju
Setiap produk yang akan dikendalikan melalui penerapan sistem HACCP
terlebih dahulu harus ditentukan rencana penggunaannya atau ditentukan sasaran
konsumennya. Tim HACCP menuliskan kelompok konsumen yang mungkin
berpengaruh pada keamanan produk. Tujuan penggunaan produk harus didasarkan
pada pengguna akhir produk tersebut. Konsumen ini dapat berasal dari orang
umum atau kelompok masyarakat khusus, misalnya kelompok balita atau bayi,
kelompok remaja, atau kelompok orang tua. Pada kasus khusus harus
dipertimbangkan kelompok populasi pada masyarakat beresiko tinggi.
19
4) Penyusunan Diagram Alir Proses
Penyusunan diagram alir proses pembuatan produk dilakukan dengan
mencatat seluruh proses sejak diterimanya bahan baku sampai dengan
dihasilkannya produk jadi untuk disimpan. Pada beberapa jenis produk, terkadang
disusun diagram alir proses sampai dengan cara pendistribusian produk tersebut.
Hal tersebut tentu saja akan memperbesar pekerjaan pelaksanaan HACCP, akan
tetapi pada produk-produk yang mungkin mengalami penurunan mutu (abuse)
akibat suhu dan sebagainya selama distribusi, maka tindakan pencegahan ini
menjadi amat penting. Diagram alir proses disusun dengan tujuan untuk
menggambarkan keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses ini selain
bermanfaat untuk membantu tim HACCP dalam melaksanakan kerjanya, dapat
juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau lembaga lainnya yang ingin
mengerti proses dan verifikasinya.
5) Verifikasi Diagram Alir
Agar diagram alir proses yang dibuat lebih lengkap dan sesuai dengan
pelaksanaan di lapangan, maka tim HACCP harus meninjau operasinya untuk
menguji dan membuktikan ketepatan serta kesempurnaan diagram alir proses
tersebut. Bila ternyata diagram alir proses tersebut tidak tepat atau kurang
sempurna, maka harus dilakukan modifikasi. Diagram alir proses yang telah
dibuat dan diverifikasi harus didokumentasikan.
6) Identifikasi Bahaya Potensial
Setelah lima tahap pendahuluan terpenuhi, tim HACCP melakukan analisa
bahaya dan mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara pencegahan untuk
mengendalikannya. Identifikasi bahaya potensial merupakan prinsip awal/satu
dalam sistem HACCP. Analisa bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap
bahan baku, komposisi, setiap tahapan proses produksi, penyimpanan produk, dan
distribusi, hingga tahap penggunaan oleh konsumen. Tujuan analisis bahaya
adalah untuk mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi dalam
suatu proses pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen.
20
Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi bahaya, penetapan
tindakan pencegahan (preventive measure), dan penentuan kategori resiko atau
signifikansi suatu bahaya. Dengan demikian, perlu dipersiapkan daftar bahan
mentah dan bahan tambahan (ingredient) yang digunakan dalam proses, diagram
alir proses yang telah diverifikasi, serta deskripsi dan penggunaan produk yang
mencakup kelompok konsumen beserta cara konsumsinya, cara penyimpanan, dan
lain sebagainya.
7) Penentuan Titik Kendali Kritis
Penentuan titik kendali kritis (TKK) merupakan prinsip kedua dalam
sistem HACCP. Titik Kendali Kritis (Critical Control Point/CCP) atau
didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau prosedur dimana pengendalian
dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan dapat dicegah, dihilangkan atau
diturunkan sampai ke batas yang dapat diterima. Pada setiap bahaya yang telah
diidentifikasi dalam proses sebelumnya, maka dapat ditentukan satu atau beberapa
CCP dimana suatu bahaya dapat dikendalikan.
Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan
diuji dengan menggunakan CCP decision tree untuk menentukan CCP. Decision
tree ini berisi urutan pertanyaan mengenai bahaya yang mungkin muncul dalam
suatu langkah proses, dan dapat juga diaplikasikan pada bahan baku untuk
mengidentifikasi bahan baku yang sensitif terhadap bahaya atau untuk
menghindari kontaminasi silang. Suatu CCP dapat digunakan untuk
mengendalikan satu atau beberapa bahaya, misalnya suatu CCP secara bersama-
sama dapat dikendalikan untuk mengurangi bahaya fisik dan mikrobiologi.
8) Menetapkan Batas Kritis untuk Setiap Titik Kritis
Menetapkan batas kritis untuk setiap titik kritis merupakan prinsip ketiga
dalam sistem HACCP. Penetapan batas kritis/Critical limit (CL) adalah suatu
kriteria yang harus dipenuhi untuk setiap tindakan pencegahan yang ditujukan
untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai batas aman. Batas ini akan
memisahkan antara yang diterima dan yang ditolak, berupa kisaran toleransi pada
21
setiap CCP. Batas kritis ditetapkan untuk menjamin bahwa CCP dapat
dikendalikan dengan baik. Penetapan batas kritis haruslah dapat diidentifikasi,
artinya memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut digunakan dan harus dapat
divalidasi artinya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan serta dapat diukur.
Penentuan batas kritis ini biasanya dilakukan berdasarkan studi literatur, regulasi
pemerintah, para ahli di bidang mikrobiologi maupun kimia, Codex dan lain
sebagainya.
Secara umum batas kritis dapat digolongkan ke dalam batas fisik (suhu,
waktu), batas kimia (pH, kadar garam). Penggunaan batas mikrobiologi (jumlah
mikroba dan sebagainya) sebaiknya dihindari karena memerlukan waktu untuk
mengukurnya, kecuali jika terdapat uji cepat untuk pengukuran tersebut.
9) Pemantauan Batas Kritis
Pemantauan batas kritis merupakan prinsip keempat dalam sistem
HACCP. Kegiatan pemantauan (monitoring) adalah pengujian dan pengamatan
terencana dan terjadwal terhadap efektifitas proses mengendalikan CCP (Critical
Control Limit) dan CL (Critical Limit) untuk menjamin bahwa CL tersebut
menjamin keamanan produk. CCP dan CL dipantau oleh personel yang terampil
serta dengan frekuensi yang ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan,
misalnya kepraktisan. Pemantauan dapat berupa pengamatan yang direkam dalam
suatu pengontrol/penanda (checklist) atau pun merupakan suatu pengukuran yang
direkam ke dalam suatu lembar data (datasheet). Pada tahap ini, tim HACCP
perlu memperhatikan mengenai cara pemantauan, waktu dan frekuensi, serta hal
apa saja yang perlu dipantau dan orang yang melakukan pemantauan.
10) Penetapan Tindakan Koreksi
Penetapan tindakan koreksi merupakan prinsip kelima dalam sistem
HACCP. Tindakan koreksi dilakukan apabila terjadi penyimpangan terhadap
batas kritis suatu CCP. Tindakan koreksi yang dilakukan jika terjadi
penyimpangan, sangat tergantung pada tingkat risiko produk pangan. Pada produk
pangan berisiko tinggi misalnya, tindakan koreksi dapat berupa penghentian
22
proses produksi sebelum semua penyimpangan dikoreksi/diperbaiki, atau produk
ditahan/tidak dipasarkan dan diuji keamanannya. Penerapan sistem dinyatakan
gagal apabila tindakan koreksi tidak dilakukan. Bahkan meskipun dilakukan
apabila tidak berhasil masuk ke akar masalah maka tidak akan mampu
membangun sistem dengan baik.
11) Menetapkan Prosedur Verifikasi
Menetapkan prosedur verifikasi merupakan prinsip keenam dalam sistem
HACCP. Verifikasi adalah metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk
menentukan bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang
ditetapkan. Dengan verifikasi maka diharapkan bahwa kesesuaian program
HACCP dapat diperiksa dan efektifitas pelaksanaan HACCP dapat dijamin.
Beberapa kegiatan verifikasi misalnya:
- Penetapan jadwal inspeksi verifikasi yang tepat
- Pemeriksaan kembali rencana HACCP
- Pemeriksaan catatan CCP
- Pemeriksaan catatan penyimpangan dan disposisi inspeksi visual terhadap
kegiatan untuk mengamati jika CCP tidak terkendalikan
- Pengambilan contoh secara acak
- Catatan tertulis mengenai inspeksi verifikasi yang menentukan kesesuaian
dengan rencana HACCP, atau penyimpangan dari rencana dan tindakan koreksi
yang dilakukan.
Verifikasi harus dilakukan secara rutin dan tidak terduga untuk menjamin
bahwa CCP yang ditetapkan masih dapat dikendalikan. Verifikasi juga dilakukan
jika ada informasi baru mengenai keamanan pangan atau jika terjadi keracunan
makanan oleh produk tersebut.
12) Menetapkan Prosedur Pencatatan
Menetapkan prosedur pencatatan merupakan prinsip ketujuh/prinsip akhir
dalam sistem HACCP. Dokumentasi program HACCP meliputi pendataan tertulis
seluruh program HACCP sehingga program tersebut dapat diperiksa ulang dan
23
dipertahankan selama periode waktu tertentu. Dokumentasi mencakup semua
catatan mengenai CCP (Critical Control Point), CL (Critical Limit), rekaman
pemantauan CL, tindakan koreksi yang dilakukan terhadap penyimpangan, catatan
tentang verifikasi dan sebagainya. Oleh karena itu dokumen ini dapat ditunjukkan
kepada inspektur pengawas makanan jika dilakukan audit eksternal dan dapat juga
digunakan oleh operator.
2.5 GMP (Good Manufacturing Practices) dan SSOP (Sanitation Standard
Operating Procedure)
Sistem HACCP merupakan suatu sistem yang tidak dapat berdiri sendiri,
melainkan sistem ini dibangun melalui penerapan persyaratan dasar berupa
prosedur operasi standar untuk sanitasi/Sanitation Standard Operating Procedure
(SSOP) dan cara produksi yang baik/Good Manufacturing Practices (GMP).
Kedua persyaratan dasar ini akan memudahkan implementasi penerapan sistem
HACCP yang efektif dan efisien. Menurut Thaheer (2005), dengan penerapan
GMP dan SSOP yang baik, tidak ditemukan terlalu banyak titik kendali kritis
dalam sistem HACCP karena sudah dikendalikan oleh penerapan GMP dan SSOP
yang baik. Perbedaan GMP dan SSOP adalah GMP secara luas berfokus dan
berakibat pada banyak aspek, baik aspek operasi pelaksanaan tugas yang terjadi di
dalam pabriknya sendiri maupun operasi personal. SSOP merupakan prosedur
atau tata cara yang digunakan oleh industri untuk membantu mencapai tujuan atau
sasaran keseluruhan yang diharapkan GMP dalam memproduksi makanan yang
bermutu tinggi dan aman.
2.5.1 GMP (Good Manufacturing Practices)
GMP (Good Manufacturing Practices) atau cara produksi yang baik
merupakan suatu pedoman bagi industri pangan, bagaimana cara berproduksi
pangan yang baik. GMP merupakan prasyarat utama sebelum suatu industri
pangan dapat memperoleh sertifikat sistem HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point) (Susiwi, 2009). Dalam penerapan GMP, terdapat beberapa bagian
yang sangat penting untuk diperhatikan, seperti :
24
a. Sanitasi dan Higiene
Sanitasi pangan ditujukan untuk mencapai kebersihan yang prima dalam
tempat produksi, persiapan penyimpanan, penyajian makanan, dan air sanitasi.
Hal-hal tersebut merupakan aspek yang sangat esensial dalam setiap cara
penanganan pangan. Program sanitasi dijalankan bukan untuk mengatasi masalah
kotornya lingkungan atau kotornya pemrosesan bahan, tetapi untuk
menghilangkan kontaminan dari makanan dan mesin pengolahan, serta mencegah
terjadinya kontaminasi silang. Program higienis dan sanitasi yang efektif
merupakan kunci untuk pengontrolan pertumbuhan mikroba pada produk dan
industri pengolahan makanan.
b. Prinsip Dasar Sanitasi
Prinsip dasar sanitasi meliputi dua hal, yaitu membersihkan dan sanitasi.
Membersihkan yaitu menghilangkan mikroba yang berasal dari sisa makanan dan
tanah yang mungkin menjadi media yang baik bagi pertumbuhan mikroba.
Sanitasi merupakan langkah menggunakan zat kimia dan atau metode fisika untuk
menghilangkan sebagian besar mikroba yang tertinggal pada permukaan alat dan
mesin pengolah makanan.
c. Sumber Kontaminasi
Beberapa hal yang memungkinkan untuk menjadi sumber kontaminasi
pada industri pangan adalah :
1) Bahan baku mentah
Proses pembersihan dan pencucian untuk menghilangkan tanah dan untuk
mengurangi jumlah mikroba pada bahan mentah. Penghilangan tanah amat
penting karena tanah mengandung berbagai jenis mikroba khususnya dalam
bentuk spora.
2) Peralatan/mesin yang berkontak langsung dengan makanan
Alat ini harus dibersihkan secara berkala dan efektif dengan interval waktu
agak sering, guna menghilangkan sisa makanan dan tanah yang memungkinkan
sumber pertumbuhan mikroba.
25
3) Peralatan untuk sterilisasi
Harus diusahakan dipelihara agar berada di atas suhu 750 – 76
0 C agar bakteri
thermofilik dapat dibunuh dan dihambat pertumbuhannya.
4) Air untuk pengolahan makanan
Air yang digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan air minum.
5) Peralatan/mesin yang menangani produk akhir (post process handling
equipment)
Pembersihan peralatan ini harus kering dan bersih untuk menjaga agar tidak
terjadi rekontaminasi.
d. Persyaratan GMP
GMP mempersyaratkan agar dilakukan pembersihan dan sanitasi dengan
frekuensi yang memadai terhadap seluruh permukaan mesin pengolah pangan
baik yang berkontak langsung dengan makanan maupun yang tidak. Mikroba
membutuhkan air untuk pertumbuhannya. Oleh karena itu persyaratan GMP
mengharuskan setiap permukaan yang bersinggungan dengan makanan dan berada
dalam kondisi basah harus dikeringkan dan disanitasi. Peraturan GMP juga
mempersyaratkan penggunaan zat kimia yang cukup dalam dosis yang dianggap
aman.
e. Tahap-Tahap Higienis dan Sanitasi
Prosedur untuk melaksanakan kehigienisan dan sanitasi harus disesuaikan
dengan jenis dan tipe mesin/alat pengolah makanan. Standar yang digunakan
adalah :
1) Pre rinse atau langkah awal, yaitu : menghilangkan tanah dan sisa makanan
dengan mengerok, membilas dengan air, menyedot kotoran dan sebagainya.
2) Pembersihan : menghilangkan tanah dengan cara mekanis atau mencuci dengan
lebih efektif.
3) Pembilasan: membilas tanah dengan pembersih seperti sabun/deterjen dari
permukaan.
4) Pengecekan visual: memastikan dengan indera mata bahwa permukaan alat
bersih.
5) Penggunaan disinfektan : untuk membunuh mikroba.
26
6) Pembersihan akhir : bila diperlukan untuk membilas cairan disinfektan yang
padat
7) Drain dry atau pembilasan kering : disinfektan atau final rinse dikeringkan
dari alat-alat tanpa diseka/dilap. Cegah jangan sampai terjadi genangan air
karena genangan air merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan mikroba.
2.5.2 SSOP (Sanitation Standard Operating Procedure)
Prosedur operasional standar untuk sanitasi adalah pedoman atau acuan
untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian
kinerja instasi pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administrasif
dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit
kerja yang bersangkutan. Tujuan SOP adalah menciptakan komitment mengenai
apa yang dikerjakan oleh satuan unit kerja instansi pemerintahan untuk
mewujudkan good governance.
SSOP yang biasanya diterapkan di suatu perusahaan (Atmoko, 2012)
adalah sebagai berikut :
1. Pemeliharaan Umum, bangunan atau fasilitas fisik pabrik atau tempat
mengolah makanan haru dijaga dengan cara-cara perbaikan, pembersihan, dan
sanitasi yang memadai.
2. Bahan yang digunakan untuk pembersihan atau sanitasi, penyimpanan, dan
penyimpanan bahan toksik atau berbahaya harus dilakukan secara tertib.
3. Pengendalian hama, cara pengendalian hama yang efektif. Penggunaan
insektisida atau rodentisida yang diizinkan dan dilakukan dengan cara yang
sangat hati-hati agar tidak ada kontaminasi ke makanan atau lingkungan.
4. Sanitasi permukaan peralatan yang berkontak langsung dengan makanan harus
dalam keadaan bersih dan secara reguler dibersihkan dan disanitasi.
27
5. Penyimpanan dan penanganan peralatan harus disimpan di lokasi yang bebas
dari rekontaminasi ulang atau kontaminasi silang. Setiap pengolah makanan
harus dilengkapi dengan peralatan sanitasi yang meliputi sumber air, saluran
air, pembuangan sampah, fasilitas toilet, dan fasilitas cuci tangan.
6. Tempat pembuangan harus dilakukan secara tertutup rapat agar tidak
menghasilkan bau busuk yang dapat mengontaminasi udara dan kamar kerja.
2.6 Tuna Steak Beku
Tuna steak beku ialah potongan-potongan kecil daging tuna, yang
biasanya didapatkan dari potongan-potongan kecil dari loin tuna, yang kemudian
ditangani dengan suhu beku. Tuna setak merupakan salah satu bentuk penanganan
daging tuna dari beberapa bentuk penanganan lainnya yang diekspor. Penanganan
bentuk lain seperti loin tuna, tuna saku, slice tuna, ground meat tuna, dan tuna
kubus (cube tuna). Gambar beberapa bentuk penanganan tuna disajikan pada
Lampiran 1.
Proses pembuatan tuna steak beku yaitu penerimaan bahan baku,
pencucian, penyiangan, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan, sortir mutu,
pembungkusan (wrapping), pembekuan, pembentukan steak, penggelasan atau
tanpa penggelasan, penimbangan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan.
Contoh gambar steak tuna disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Steak Tuna
28
Berikut ini ialah penjelasan dari setiap perlakuan penanganan dari tuna
steak beku sesuai dengan SNI : 01-4485.1-2006 (BSN, 2006)
a) Penerimaan Bahan Baku
- Potensi bahaya : kontaminasi bakteri patogen dari alat pengangkut, mutu bahan
baku kurang baik/segar, ukuran dan jenis tidak sesuai.
- Tujuan: mendapatkan bahan baku yang bebas bakteri patogen dan memenuhi
persyaratan mutu, ukuran dan jenis.
- Petunjuk : bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara
organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani
secara hati-hati, cepat, cermat dan higienis dengan suhu pusat produk maksimal
4,4 °C. Pengukuran suhu pusat dilakukan dengan menggunakan alat
termometer batang dengan menancapkan ke bagian tengah daging tuna.
b) Pencucian
- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri dari sumber air dan kemunduran mutu.
- Tujuan: menghilangkan sisa kotoran dan darah yang menempel di tubuh ikan
dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen.
- Petunjuk: ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang
mengalir secara cepat, cermat dan higienis.
c) Pembuatan Loin (Loinning)
- Potensi bahaya : kontaminasi bakteri patogen dari peralatan yang digunakan.
- Tujuan : mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang ditentukan dan
bebas dari kontaminasi bakteri patogen.
- Petunjuk : pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi
empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat,
cermat dan higienis.
d) Pengulitan dan Perapihan (Trimming)
- Potensi bahaya : kontaminasi bakteri patogen dari peralatan yang digunakan,
terdapat tulang, daging merah dan kulit pada daging tuna yang sudah dikuliti.
- Tujuan : mendapatkan loin yang rapi dan bebas dari tulang, daging merah dan
kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri patogen.
29
- Petunjuk : tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga
bersih. Pengulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan higienis
dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C. Pengukuran suhu pusat dilakukan
dengan menggunakan alat termometer batang dengan menancapkan ke bagian
tengah daging tuna.
e) Sortasi Mutu
- Potensi bahaya : kemunduran mutu, kontaminasi bakteri patogen dari
peralatan, terdapat daging merah, tulang, duri dan kulit pada daging tuna yang
saat akan disortasi.
- Tujuan : mendapatkan loin dengan mutu yang baik dan serta bebas dari
kontaminasi bakteri patogen.
- Petunjuk : sortasi dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat
tulang, duri, dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat,
cermat dan higienis.
f) Pembentukan Steak
- Potensi bahaya: bentuk serta ukuran steak yang tidak sesuai, kemunduran mutu
dan kontaminasi bakteri patogen dari peralatan yang digunakan.
- Tujuan: mendapatkan steak tuna dengan ukuran yang telah ditentukan dan
bebas dari kontaminasi bakteri patogen.
- Petunjuk: loin yang sudah rapi dipotong menjadi bentuk steak dengan bentuk
dan ukuran yang sesuai. Pembentukan steak harus dilakukan secara cepat,
cermat dan higienis dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C. Pengukuran
suhu pusat dilakukan dengan menggunakan alat termometer batang dengan
menancapkan ke bagian tengah daging tuna.
g) Pembungkusan (Wrapping)
- Potensi bahaya: pembungkusan kurang sempurna/kurang vacuum dan
kontaminasi bakteri dari pembungkus yang digunakan.
- Tujuan: mendapatkan steak dalam kemasan yang hampa udara/vacuum dan
terhindar dari kontaminasi bakteri.
30
- Petunjuk: steak yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara
individual dan dikemas secara vacuum. Proses pembungkusan harus dilakukan
secara cepat, cermat dan higienis.
h) Pembekuan (Frozen)
- Potensi bahaya: pembekuan yang tidak sempurna (partial freezing) dan
kehilangan cairan (driploss).
- Tujuan: membekukan produk hingga mencapai suhu pusat –18 °C secara cepat
dan tidak mengakibatkan pengeringan terhadap produk.
- Petunjuk: loin yang sudah disusun dalam pan pembekuan, dibekukan dalam
alat.
- pembeku hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal -18 °C dalam waktu
maksimal 4 jam.
- Pengukuran suhu pusat dilakukan dengan menggunakan alat termometer
batang dengan menancapkan ke daging tuna.
i) Penggelasan atau Tanpa Penggelasan
- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri patogen dari peralatan yang digunakan
dan kemunduran mutu.
- Tujuan: melapisi ikan dengan air es agar tidak mudah terjadi pengeringan pada
saat penyimpanan.
- Petunjuk: steak yang telah dibekukan kemudian disemprot dengan air dingin.
Proses penggelasan harus dilakukan secara cepat, cermat dan higienis untuk
mempertahankan suhu pusat ikan maksimal -18 °C.
- Pengukuran suhu pusat dilakukan dengan menggunakan alat termometer
batang dengan menancapkan ke bagian tengah daging tuna.
j) Penimbangan
- Potensi bahaya: kemunduran mutu, kekurangan berat dan kontaminasi bakteri
patogen dari peralatan yang digunakan.
- Tujuan: mendapatkan berat steak yang sesuai dengan ukuran yang telah
ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen.
31
- Petunjuk: steak ditimbang sesuai berat yang ditentukan, dengan menggunakan
timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan harus dilakukan dengan cepat,
cermat dan higienis serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal
-18 °C.
k) Pengepakan
- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri patogen dari peralatan yang digunakan
dan kesalahan label.
- Tujuan: melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi
dan penyimpanan serta sesuai dengan label.
- Petunjuk: steak yang telah ditimbang kemudian dikemas dengan plastik dan
dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan higienis.
l) Pengemasan
Bahan kemasan untuk Tuna steak beku haruslah bersih, tidak mencemari
produk yang dikemas, terbuat dari bahan yang baik dan memenuhi persyaratan
bagi produk ikan beku. Untuk teknik pengemasan yaitu produk akhir dikemas
dengan cepat, cermat dan higienis. Pengemasan dilakukan dalam kondisi yang
dapat mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap produk.
m) Syarat Penandaan (Labelling)
Setiap kemasan produk tuna steak beku yang akan diperdagangkan agar
diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, mencantumkan bahasa yang
dipersyaratkan disertai keterangan sekurang-kurangnya sebagai berikut :
- jenis produk;
- berat bersih produk;
- nama dan alamat lengkap unit pengolahan secara lengkap;
- bila ada bahan tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut;
- tanggal, bulan dan tahun produksi;
- tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.
32
n) Penyimpanan
Penyimpanan tuna steak beku dalam gudang beku (cold storage) dengan
suhu dibawah -18 °C dengan fluktuasi suhu maksimal ± 2 °C. Penataan produk
dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi
udara dapat merata dan memudahkan dalam pembongkaran.
2.7 Standar Mutu dan Keamanan Pangan Tuna Steak Beku
Penanganan tuna steak beku memiliki standar pengawasan terhadap hasil
uji organoleptik, mikrobiologi, kimia dan fisik. Standar ini berdasarkan SNI 01-
4485.1-2006, spesifikasi tuna steak beku. Standar ini dimaksudkan agar hasil
penanganan tuna steak beku bebas dari bahaya biologi, kimia maupun fisik yang
dapat merusak kesehatan manusia, sehingga aman untuk dikonsumsi.
Persyaratan mutu dan keamanan pangan tuna steak beku berdasarkan uji
organoleptik, mikrobiologi, kimia dan fisik disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Tuna Steak Beku
Jenis Uji Satuan Persyaratan
a. Organoleptik Angka (1-9) Minimal 7
b. Cemaran Mikroba
- Angka Lempeng
Tunggal (ALT)
- Escherichia coli
- Salmonella
- Vibrio cholerae
Koloni/g
APM/g
Per 25 g
Per 25 g
Maksimal 5,0 x 105
Maksimal < 3
negatif
negatif
c. Cemaran kimia*
- Raksa (Hg)
- Timbal (Pb)
- Histamin
- Cadmium (Cd)
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
maksimal 1
maksimal 0,4
maksimal 100
maksimal 0,1
d. Fisik
- Suhu pusat
0C
maksimal -18
e. Parasit Ekor maksimal 0
Keterangan : tanda ( * ) Bila diperlukan
Sumber : SNI 01-4485.1-2006 Spesifikasi Tuna Steak Beku.
33
2.8 Keadaan Umum Perusahaan Graha Insan Sejahtera
PT. Insan Graha Sejahtera (Gambar 4) berdiri pada tahun 2008, dimana
usaha produksi dilakukan di areal Pelabuhan Nizam Zachman muara baru, Jakarta
Utara. Perusahaan ini menangani jenis-jenis ikan laut, baik pelagis maupun
demersal. Beberapa jenis ikan yang ditangani yaitu, penanganan tuna menjadi loin
dan steak, penanganan cumi-cumi (Loligo pealei), ikan kakap merah (Lutjanus
argentimaculatus), ikan gindara (Lepidocibium plavobrunneum), cakalang
(Katsuwonus pelamis), dan jenis ikan pelagis maupun demersal lainnya. Produk
yang ditangani diekspor ke beberapa Negara Eropa, Amerika, dan beberapa
Negara Asia seperti Jepang, sehingga kualitas dan mutu produk yang ditangani
harus sesuai dengan permintaan pembeli (buyer).
Gambar 4. Gedung PT. Graha Insan Sejahtera (GIS)
PT. Graha Insan Sejahtera, tahun 2013 memiliki karyawan sekitar 85
orang, terdiri atas karyawan tetap, pekerja harian/pekerja borongan dan petugas
keamanan. Rata-rata karyawan di PT. GIS ialah lulusan Sekolah Tinggi Perikanan
(STP) ataupun Sarjana Perikanan dan sisanya tamatan Sekolah Menengah Atas
(SMA). Fasilitas bangunan terdiri atas 3 bagian yaitu area produksi, area
penyimpanan dan area luar penunjang pabrik, fasilitas di PT.GIS disajikan pada
Tabel 8 berikut.
34
Tabel 8. Fasilitas Bangunan dan Penunjang di PT. GIS
Jenis Area Jenis Fasilitas Jumlah Ruangan
(buah) Area Produksi - Ruang Penerimaan Bahan Baku
(Receiving Room)
1
- Ruang Pemotongan (Butchering Area) 1
- Ruang Pencucian (Waste Area) 1
- Ruang Pengulitan dan Perapihan
(Skinning and Trimming Room)
1
- Ruang Pendinginan (Chilling Room) 1
- Ruang Pembersihan dan Pengepakan
(Cleaning & Packing Area)
1
- Ruang CO ( CO Room) 1
Area Penyimpanan - Ruang Penyimpanan Beku dengan Sistem
Air Blast Freezer (ABF)
2
- Ruang Penyimpanan Bahan Kimia 1
Area Penunjang - Laboratorium (Laboratory) 1
- Ruang Inspeksi Produk (Inspect Room) 1
- Ruang Peristirahatan (Rest Area) 1
- Gudang (Warehouse) 1
- Ruang Kantor (Office Room) 7
- Kantin 1
- Ruang Ganti dan Toilet/WC untuk
Karyawan
2
- Toilet/WC Kantor 2
Sumber : PT. Graha Insan Sejahtera
Tata letak dan desain ruangan/area produksi, penyimpanan ataupun
bangunan penunjang lainnya yang terdapat di PT. GIS diatur sesuai dengan
kebutuhan perusahaan untuk memproduksi produk perikanan yang higenis dan
bernilai jual tinggi. Tata letak fasilitas perusahaan yang dimiliki PT. GIS disajikan
pada Lampiran 2.