Upload
trinhnhi
View
366
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kain Tenun
Kain tenun dibentuk dengan cara menganyamkan atau menyilangkan dua
kelompok benang yang saling tegak lurus sehingga membentuk kain tenun
dengan konstruksi tertentu. Prinsip pembuatan kain tenun, adalah menyilangkan
benang pakan pada celah deretan benang lusi yang disusun memanjang dari
gulungan benang yang dipersiapkan sebelumnya. Proses pembuatan kain yang
dibentuk oleh silangan atau anyaman benang lusi dan pakan disebut menenun.
Benang lusi (warp) : benang yang membujur membentuk panjang kain endek.
Benang pakan (weft) : benang yang melintang membentuk lebar kain. Menurut
Syahbana, dan Dimyati (2011) kain tenun dalam cara pembuatannya dikenal tiga
cara silang utama, yaitu :
1. silang polos (Plain weave) dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2.
Gambar 2.1 Jenis Tenunan Polos
Benang Lusi
Benang Pakan
14
Gambar 2.2 Kain Tenun Polos
2. silang kepar (twill weave),
Dalam proses penyilangannya, apabila pada baris pertama penyilangan
biasa maka, pada baris kedua benang pakan loncat tiga benang dari baris awal
pada penyilangan pertama. Karena perbedaan loncatan dengan baris sebelumnya
maka akan nampak seperti garis yang menyilang ke kiri atau ke kanan seperti
yang di tunjukkan pada Gambar 2.3. Contoh kain dari jenis silang kepar ialah :
jean, denim, gobardine.
Gambar 2.3 Jenis Tenunan Silang Kepar
15
3. silang satin (saten weave)
Contoh produk tekstil jenis silang satin adalah satin, damast, dan lain-lain
seperti digambarkan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Silang Satin
2.1.1 Proses Pembuatan Kain Tenun Endek
Pada prinsipnya kain tenun terjadi karena adanya persilangan antara dua
benang yang terjalin saling tegak lurus satu sama lain. Proses pembuatan kain
dilakukan dengan dua proses yaitu proses persiapan tenunan dan proses
penenunan seperti Gambar 2.5.
Proses persiapan tenunan yang dilakukan antara lain:
I. Proses yang dilakukan pada benang lusi.
a) Proses Pengkelosan
Kelos (memintal) gunanya untuk memudahkan dalam menata benang. Pada
proses ini benang dipintal menjadi gulungan-gulungan kecil. Dari satu pak
benang dengan berat lima kilogram, akan menjadi 30 buah kon benang yang
sudah tergulung.
16
Gambar 2.5 Proses Pembuatan Kain Tenun Endek
b) Proses pencelupan warna
Proses pewarnaan adalah proses pemberian warna secara merata pada bahan
tekstil dengan cara dicelup.
c) Proses Penghanian (proses merapatkan benang)
adalah mengatur dan menggulung benang lusi pada boom (merupakan alat
untuk menggulung benang lusi pada alat tenun) lusi atau boom tenun dengan
sistem penggulungan sejajar. Tujuan proses penghanian adalah agar proses
selanjutnya dapat berjalan dengan lancar. Oleh karena itu seluruh benang yang
digulung harus sama panjang dan lebarnya (pada umumnya adalah 3600 helai
benang).
d) Proses Pencucukan
Pencucukan adalah proses pemasukan benang lusi yang dilakukan secara dua
tahap, yaitu proses pencucukan pada mata gun (kawat yang mempunyai
lubang di tengahnya pada alat tenun) dan proses pencucukan pada sisir tenun.
I. Persiapan Lusi
a. Pengkelosan
b. Pencelupan
c. Penghanian
d. Pencucukan
II. Persiapan Pakan
a. Pengkelosan
b. Pemidangan (Mempen)
c. Pengikatan (motif)
d. Pewarnaan (Pencelupan)
e. Nyantri (Pencoletan)
f. Pengginciran
g. Pemaletan
III. Penenunan/Penyetelan
17
II. Proses yang dilakukan pada benang pakan.
a) Proses Pengkelosan
Penggulungan benang ke dalam kon pada Gambar 2.6, menyiapkan benang
satu pak (lima kg), menghasilkan 30 kon buah benang.
Gambar 2.6 Proses Pengkelosan
b) Pemidangan
Benang yang sudah dikelos dimasukan ke dalam rak benang, kemudian ditata
ke dalam penamplik untuk menghitung jumlah putaran atau tumpukkan
dengan tujuan untuk menentukan besar kecilnya motif yang kita inginkan
(yang biasa dipakai di Bali putaran atau tumpukan dua dan lima), disajikan
pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Proses Midang
Benang kon
18
c) Pengikatan
Proses pengikatan menggunakan tali rapia sesuai dengan motif yang telah di
tentukan atau menyesuaikan dengan pesanan (Gambar 2.8). Prof A.R Hein
pada tahun 1880 memperkenalkan istilah ikat dalam menenun, yang dalam
bahasa Belanda, disebut ikatten. Dalam bahasa Inggris, kata ikat berarti hasil
selesai dari kain tenun yang dibuat dengan teknik ikat dan to ikat untuk arti
proses dari tekniknya (Gardutroso, 2009). Kain tenun endek dihasilkan,
karena adanya proses ikat dan pemberian motif pada benang pakan. Teknik
ikat atau endek berarti mengikat bagian-bagian benang dengan tujuan agar
ketika dicelup tidak terkena warna celupan sementara bagian lain dibiarkan
agar terwarnai saat dicelupkan. Hasil yang diperoleh adanya perbedaaan warna
yang membentuk motif kain tenun endek tersebut.
Gambar 2.8 Proses Pengikatan
d) Pewarnaan dasar (Pencelupan).
Proses pencelupan untuk warna dasar atau disesuaikan dengan persyaratan
pelanggan. Benang yang akan dicelup direbus terlebih dahulu selama 30 menit
agar penyerapan warna merata disajikan pada Gambar 2.9.
Pengikatan
benang
pakan
19
Gambar 2.9 Proses Perwarnaan Dasar (Pencelupan)
(Anonim, 2010b)
e) Pencoletan
Apabila benang yang sudah di celup dasar sudah kering, lalu ikatan dibuka
terlebih dahulu, kemudian dilakukan pencoletan atau pengisian warna
disajikan pada Gambar 2.10. Setelah semua terisi warna lalu dijemur sampai
kering. Sesudah kering, disiapkan baskom dan air bersih sebanyak dua liter,
dimasukkan pixanol 150 gr, diaduk sampai larut. Dimasukkan benang hasil
coletan yang sudah kering ke dalam baskom. Rendam selama lima menit
sambil diaduk, diangkat benang tersebut dan dicuci dengan air bersih kembali,
jemur sampai kering.
Gambar 2.10 Proses Pencoletan (nyantri)
Aktivitas
pencoletan
Aktivitas
pencelupan
20
f) Pengginciran
Benang yang sudah kering tadi ditata dengan cara menggulung ke dalam alat
pengginciran, tujuannya untuk mempermudah dalam tahap pemaletan.
Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Proses Pengginciran
g) Pemaletan
Proses pemaletan adalah menggulung benang pakan yang sudah selesai
digincir ke dalam palet agar memudahkan memasukkan benang ke dalam
sekoci. Proses pengginciran dan pemaletan dapat dilakukan pada alat yang
sama, yang membedakan hanya pada tempat benangnya (Gambar 2.12).
21
Gambar 2.12. Proses Pemaletan (Wulandari, 2007)
III. Proses yang dilakukan saat penenunan
Kain tenun disusun dari benang lusi dan benang pakan yang membuat
silangan-silangan tertentu yang membentuk sudut 900
satu sama lainnya dapat
dilihat pada Gambar 2.13 dan Gambar 2.14. Agar proses penenunan dapat
dilaksanakan dengan baik, perlu diketahui gerakan-gerakan pokok yang terjadi
pada proses tersebut. Sesuai dengan urutan kerjanya, maka gerakan-gerakan
tersebut antara lain.
1. Pembukaan mulut lusi yaitu membuka benang-benang lusi sehingga
membentuk celah yang disebut mulut lusi.
2. Peluncuran pakan yaitu pemasukan atau peluncuran benang pakan
menembus mulut lusi sehingga benang lusi dengan pakan saling menyilang
membentuk anyaman.
3. Pengetekan yaitu merapatkan benang pakan yang baru diluncurkan kepada
benang sebelumnya yang telah menganyam dengan benang lusi.
22
4. Penggulungan kain yaitu menggulung kain sedikit demi sedikit sesuai
dengan anyaman yang telah terjadi.
5. Penguluran lusi yaitu mengulur benang lusi dari gulungannya sedikit demi
sedikit sesuai dengan kebutuhan proses pembentukan mulut lusi dan
penyilangan benang berikutnya.
Gambar 2.13 Kontruksi Alat Tenun Sederhana
Sumber : Subagiyo, 2008
Gambar 2.14 Proses Menenun
(Anonim, 2010b)
Proses
penenunan
Suri Kisi gun
Kain Tenunan
Penggulung kain
Benang
pakan Anak torak
Kisi
gun Penggulung
ani
Benang
lusi
23
2.1.2 Peluang Endek sebagai Industri Berbasis Budaya
Tenun ikat Bali atau endek merupakan produk budaya yang awalnya jenis
kain tersebut hanya digunakan para orang tua dan kalangan bangsawan, tetapi kini
sudah hampir sebagian besar masyarakat Bali bisa mengenakannya, baik untuk
upacara besar maupun sembahyang ke Pura. Endek yang dihasilkan dari industri
endek di Bali rata-rata masih menggunakan motif dan desain tradisional, yang
beberapa diantaranya hanya digunakan pada saat upacara adat. Kain-kain, yang
disebut wastra dalam adat Bali, berperan sangat penting dalam upacara-upacara
adat. Warisan budaya ini menyebabkan beberapa jenis kain dianggap sakral dan
berhubungan erat dengan upacara-upacara keagamaan (Sukawati, 2009). Kain
endek pun beberapa diantaranya memiliki ragam hias yang dihubungkan dengan
upacara sakral atau hanya boleh digunakan oleh orang tertentu. Hal ini
menyebabkan, endek sebagai budaya yang harus dilestarikan namun tidak boleh
diperlakukan sembarangan, karena dapat merusak nilai dari budaya yang harusnya
dijaga.
2.1.3 Upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan industri endek
Dalam usaha menembus pasar dunia, diperlukan upaya-upaya untuk
menjadikan industri endek sebagai industri berbasis budaya lokal, tapi mampu
masuk pasar internasional. Beberapa upaya telah dilakukan oleh pihak-pihak
terkait, namun masih ada beberapa upaya yang belum dijangkau oleh pelaku
industri endek ataupun pemerintah. Peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan
sangat diperlukan dalam mewujudkan tujuan endek menuju fashion dunia.
Kemudahan perizinan untuk ekspor akan mendorong pelaku industri endek untuk
24
mengekspor endek ke negara-negara yang potensial. Peraturan pemerintah di
bidang perlindungan hak cipta juga diharapkan mendukung berjalannya industri
kreatif berbasis budaya, khususnya endek (Iswari, 2009).
2.2 Midang
Midang atau Mempen (Khusus di Bali) adalah salah satu bagian yang
dilakukan pada proses kedua dari tahapan persiapan menenun. Aktivitas midang
adalah aktivitas dimana perajin kain endek pada proses midang mengatur benang
pakan yang sudah dikelos (30 kon) diletakkan berjajar dalam rak benang, benang
pakan dari rak benang tersebut dikumpulkan atau dipusatkan menjadi satu di
tangan perajin yang tujuannya adalah terkumpulnya 30 benang tersebut dalam
satu titik pusat penggerak. Benang pakan tersebut ditata ke dalam bingkai
penamplik (pemidangan). Proses midang memiliki tiga kombinasi dalam
pengerjaannya. Kombinasi tersebut terdiri atas Bulihan, Sawa dan Ais. Ais
bertujuan untuk menentukan besar kecilnya motif yang diinginkan, misalnya
jumlah putaran atau tumpukan (yang biasa dipakai di Bali putaran atau tumpukan
dua dan lima ). Bulihan tersebut menentukan banyaknya kelompok Ais. Sawa
merupakan banyaknya benang kon yang digunakan umumnya 30 sampai 35
benang kon.
Penataan pada bingkai penamplik diatur sesuai dengan rumus {standar
yang biasa digunakan adalah dua aktivitas tumpukan x lima pengulangan
(repetisi) gambar motif x 60 bulihan (ikatan benang) x 30 kon benang} sebagai
penentu bentuk dari gambar motif, besar kecilnya gambaran motif, dan panjang
lebarnya kain endek. Proses ini paling rumit, lama, dan berulang-ulang
25
membutuhkan keahlian khusus serta ketelitian dan ketepatan. Untuk
menghasilkan lebar kain satu meter dibutuhkan 3000 helai benang. Ketiga
kombinasi di atas menentukan tingkat kerumitan desain motif, karena masing-
masing desain motif ini memiliki rumus yang berbeda seperti rumus Sawa = 30,
Ais = dua x lima , Bulihan = 60, akan menghasilkan enam meter panjang kain
dari 18.000 helai benang.
Proses midang mempergunakan alat konvensional, alat konvensional
adalah alat di dalam pembuatan sudah disepakati dalam ukuran, bentuk, dan
bahan yang dipergunakan pada alat pemidangan dan penggunaannya masih
manual di mana tangan perajin memutar bingkai untuk menata benang pakan.
alat tenun bukan mesin (ATBM) ini terdiri atas (1) rak benang, digunakan untuk
menempatkan benang kelos, terbuat dari kayu, konstruksi vertikal, tinggi satu
setengah meter, lebar satu meter, benang-benang kon berjejer sebanyak ± 30
gulung disesuaikan dengan kebutuhan desain motif; (2) bingkai penamplik
terbuat dari kayu persegi empat dengan ukuran 85 cm x 107 cm yang bisa dilepas
jika proses midang sudah selesai dikerjakan. Kedua alat konvensional tersebut
terhubung dengan jarak dua meter. Rata-rata perajin melakukan aktivitas di
tempat yang setengah terbuka (bale Bali), dimana posisi perajin berada di antara
kedua alat tersebut dengan sikap kerja berdiri selama tujuh jam, dimulai dari
pukul 09.00 Wita sampai pukul 17.00 Wita seperti pada Gambar 2.15 .
26
Gambar 2.15 Perajin Bekerja Dengan Alat Pemidangan Konvensional
Permasalahan dalam penelitian ini, diidentifikasikan berdasarkan delapan
aspek ergonomi yaitu status nutrisi (gizi), pemanfaatan tenaga otot, sikap tubuh,
kondisi lingkungan, waktu, sosial dan budaya, kondisi informasi dan interaksi
antara manusia dengan mesin (Manuaba, 2003c). Penerapan ergonomi dilakukan
dengan pendekatan sistemik, holistik, interdisipliner, partisipatori (SHIP)
(Manuaba, 2005a; Manuaba 2009). Di samping itu teknologi yang digunakan
dalam intervensi ergonomi adalah pemanfaatan teknologi secara terpadu dengan
mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan (Manuaba,
2006).
Perbaikan melalui pendekatan satu aspek dapat menimbulkan masalah
baru pada aspek lain yang belum diperbaiki. Oleh karena itu diperlukan adanya
perbaikan dengan menggunakan penerapan teknologi tepat guna (TTG) dan
pendekatan SHIP dalam analisis masalah ergonomi. Pendekatan yang dihasilkan
merupakan suatu proses intervensi ergonomi secara menyeluruh dari berbagai
aspek sehingga menghasilkan intervensi terbaik dengan dampak seminimal
mungkin (Manuaba, 2003b).
27
2.3 Kinerja
Kinerja merupakan fungsi dari kemampuan dan motivasi kerja. Penilaian
kinerja dapat dilakukan dengan mengacu kepada suatu sistem yang terstruktur
yang digunakan untuk mengukur dan menilai sifat-sifat yang terkait dengan
pekerjaan, perilaku pekerja dan hasil kerja (Sudiajeng, 2008). Dari sudut
pandang ergonomi, penilaian kinerja dapat dilakukan dengan mencermati kondisi
keseimbangan antara tuntutan tugas, kemampuan dan keterbatasan serta
penampilan pekerja. Tuntutan tugas dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan
(task), lingkungan (enviromental) dan organisasi (organization) di mana
pekerjaan itu dilakukan. Karakteristik pekerjaan dapat dikaji melalui indikator
beban tugas dan stasiun kerja (sikap kerja, pengerahan tenaga otot dan interaksi
manusia-mesin). Lingkungan kerja dapat dikaji melalui indikator kondisi
mikroklimat, kebisingan, getaran, penerangan, debu dalam udara dan bahan-
bahan berbahaya lainnya. Organisasi dapat dikaji melalui indikator pengaturan
gizi kerja, waktu kerja, pembagian tugas, standar acuan kerja (SOP), kondisi
informasi dan kondisi sosial budaya (Sudiajeng, 2008).
Agar kinerja seseorang maksimal, maka harus diusahakan adanya
keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas dengan keterbatasan dan
kemampuan seseorang sehingga tercapai kondisi kerja yang sehat, aman, nyaman,
efisien dan produktif yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan kualitas
penampilan atau kinerja dan keuntungan perusahaan (Grandjean, 2000 ;
Manuaba, 2000).
28
Sebagaimana lazimnya yang terjadi di industri acapkali posisi dan tata
cara kerja pekerja tidak dirancang dengan baik, sehingga akan membawa kinerja
operasional menjadi tidak optimal, dan disisi lain kondisi kerja tersebut akan
mempercepat kelelahan dan menimbulkan banyak keluhan, rasa sakit maupun
cedera pada anggota tubuh operator pada jangka pendek maupun panjang
(Wignjosoebroto dkk. 2011).
Kinerja pada proses midang dapat dilihat dari: jumlah hasil penamplik
yang dapat diselesaikan per satuan waktu atau berapa waktu per jam yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan satu buah bingkai penamplik dan dampak yang
dirasakan oleh perajin selama periode penelitian. Peningkatan kinerja pada proses
midang ini diukur dengan indikator peningkatan produktivitas, penghasilan dan
dampak yang dirasakan adanya penurunan terhadap kelelahan dan keluhan pada
perajin kain endek pada proses midang.
2.3.1 Kelelahan
Kata kelelahan (fatigue) menunjukkan keadaan yang berbeda–beda, tetapi
semuanya berakibat kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh.
Kelelahan akibat kerja seringkali diartikan sebagai proses menurunnya efisiensi,
performansi kerja dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk
terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan (Wignjosoebroto dkk., 2003a).
Terdapat dua jenis kelelahan, yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan
otot merupakan tremor pada otot atau perasaan nyeri yang terdapat pada otot.
Kelelahan umum ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja.
Kelelahan umum disebabkan oleh karena monotomi, intensitas dan lamanya kerja
29
mental dan fisik, keadaan lingkungan, kelelahan mental seperti tanggung jawab,
kekhawatiran dan konflik serta penyakit-penyakit. Pengaruh-pengaruh ini seperti
berkumpul di dalam tubuh dan mengakibatkan perasaan lelah. Kelelahan mudah
dihilangkan dengan istirahat. Tetapi, jika dipaksakan terus, kelelahan akan
bertambah dan sangat mengganggu. Secara umum, kelelahan biasanya ditandai
oleh perasaan letih/lesu dan kesulitan untuk berkonsentrasi.
Salah satu efek yang jelas dari kelelahan adalah berkurangnya
kewaspadaan. Seseorang tidak akan mampu berkonsentrasi terus menerus untuk
kegiatan mental atau fisik. Setelah mengalami ketegangan selama masa tertentu,
akan terjadi gangguan pada persepsi dan kecepatan reaksinya pun menjadi
lambat. Kelelahan yang berlanjut dapat menimbulkan efek psikologi yang
ditandai dengan gejala-gejala berikut : (1) meningkatnya kejengkelan (tidak
toleran, bersikap anti sosial), (2) kecenderungan ke arah depresi (kebingungan
yang tidak bermotif), dan kelemahan umum dalam perjuangan dan malas akan
pekerjaan. Untuk mengatasi gangguan ini perlu dilakukan penyegaran di luar
tekanan (cancel out the stress). Penyegaran terjadi terutama selama waktu tidur
malam, atau pada periode istirahat dan waktu-waktu berhenti kerja.
Sedarmayanti (2009) menyatakan kelelahan yang berlanjut dapat
menyebabkan kelelahan kronis dengan gejala seperti (1) terjadinya penurunan
stabilitas fisik, (2) kebugaran berkurang, (3) gerakan lamban dan cenderung
diam, (4) malas bekerja atau beraktivitas, dan (5) adanya rasa sakit yang semakin
meningkat.
30
Menurut Nurmianto (2003), kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan
menambah tingkat kesalahan kerja. Meningkatnya kesalahan kerja akan
memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri. Pembebanan otot
secara statispun (static muscular loading) jika dipertahankan dalam waktu yang
cukup lama akan mengakibatkan Repetition Strain Injuries (RSI), yaitu nyeri otot,
tulang, tendon, dan lain-lain yang diakibatkan oleh jenis pekerjaan yang bersifat
berulang (repetitive).
Menurut Suma’mur (1982) metode pengukuran kelelahan dapat
diklasifikasikan dalam beberapa kelompok sebagai berikut.
a. Pengukuran kelelahan dengan cara pengukur kualitas dan kuantitas kerja yang
dilakukan. Pada metode ini, kuantitas hasil kerja digambarkan sebagai jumlah
proses kerja (waktu yang digunakan setiap item) atau proses operasi yang
dilakukan setiap unit waktu.
b. Pengukuran kelelahan secara subjektif. Kelelahan subjektif biasanya terjadi
pada akhir jam kerja. 30 items of rating scale yang dikeluarkan oleh Japan
Association of Industrial and Health, merupakan salah satu kuesioner yang
dapat mengukur tingkat kelelahan subjektif .
c. Pengukuran kelelahan secara objektif. Pada metode ini konsentrasi merupakan
salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menguji ketelitian dan
kecepatan menyelesaikan pekerjaan. Bourdon Wiersma Test, merupakan salah
satu alat yang dapat digunakan untuk menguji kecepatan, ketelitian dan
konstansi. Hasil tes akan menunjukan bahwa semakin lelah seseorang maka
31
tingkat kecepatan, ketelitian dan konstansi akan semakin rendah atau
sebaliknya (Sutjana dan Sutajaya, 2000).
Pada umumnya kelelahan yang diakibatkan oleh aktivitas kerja statis
dipandang mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan aktivitas
kerja dinamis. Pada kondisi yang hampir sama, kerja otot statis mempunyai
konsumsi energi yang lebih tinggi, denyut nadi meningkat dan diperlukan waktu
istirahat yang lebih lama. Dalam suasana kerja dengan otot statis kontraksi otot
bersifat isometrik yaitu sementara, tegangan otot bertambah, ukuran panjangnya
praktis tidak berubah. Pada kerja otot statis tidak terjadi perpindahan beban
akibat bekerjanya suatu gaya sehingga aliran darah agak menurun sehingga asam
laktat terakumulasi dan mengakibatkan kelelahan otot lokal. Suma’mur (1982)
menyatakan bahwa kerja otot statis merupakan kerja berat (strenous). Pada kerja
otot statis, dengan pengerahan tenaga 50% dari kekuatan maksimum otot hanya
dapat bekerja selama 1 menit, sedangkan pada pengerahan tenaga < 20% kerja
fisik dapat berlangsung cukup lama. Akan tetapi, pengerahan otot statis sebesar
15−20% akan menyebabkan kelelahan dan nyeri jika pekerjaan berlangsung
sepanjang hari.
Pada kerja dinamis, kontraksi otot bersifat isotonik yaitu ukuran panjang
otot berubah, sementara tegangan tetap. Kontraksi otot yang menghasilkan
perpindahan gerak badan dinamis biasanya bersifat ritmik, sehingga waktu kerja
dapat berlangsung lama. Kontraksi dan relaksi otot yang bergantian maka aliran
darah tidak cepat terganggu, sehingga rasa sakit pada otot yang bersangkutan
tidak cepat timbul.
32
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa kelelahan biasanya
terjadi pada akhir jam kerja yang disebabkan oleh karena beberapa faktor, seperti
monotoni, kerja otot statis, alat dan sarana kerja yang tidak sesuai dengan
antropometri pemakainya, stasiun kerja yang tidak ergonomik, sikap paksa dan
pengaturan waktu kerja-istirahat yang tidak tepat. Sumber kelelahan dapat
disimpulkan dari hasil pengujian tersebut.
Kelelahan yang dialami perajin kain endek pada proses midang dapat
dilihat dari monotonnya pekerjaan yang dilakukan seperti menamplik bingkai
penamplik yang rutin dilakukan setiap proses midang berlangsung. Sikap kerja
statis pada perajin yang berdiri secara terus menerus juga mengakibatkan
kelelahan yang dapat terjadi pada tubuh bagian bawah. Kurangnya istirahat
pendek diantara istirahat makan siang. Untuk mengatasi hal tersebut, maka
dilakukanlah rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis dengan
sikap kerja dinamis yaitu duduk pada saat mengontrol benang dan berdiri saat
adanya benang putus.
2.3.2 Keluhan muskuloskeletal
Musculoskeletal adalah risiko kerja mengenai gangguan otot yang
disebabkan oleh kesalahan postur kerja dalam melakukan suatu aktivitas kerja.
Keluhan sistem muskuloskeletal merupakan masalah besar dalam suatu industri
yang disebabkan oleh: (1) tempat kerja yang tidak memadai, (2) aktivitas yang
bersifat repetitif, (3) desain alat dan peralataan yang tidak sesuai dengan si
pemakai, (4) organisasi kerja yang tidak efisien, (5) jadwal istirahat yang tidak
teratur dan (6) sikap kerja yang tidak alamiah. Keluhan musculoskeletal adalah
33
keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai
dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban
statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan
keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan hingga
kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan musculoskeletal
disorders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskeletal (Grandjean, 2000).
Sikap kerja perajin kain endek pada proses midang adalah berdiri dengan
kondisi tubuh yang asimetris atau tidak alami. Tangan kanan bertugas memegang
benang dengan kondisi diam menyangga benang atau menjaga terkumpulnya
benang menjadi satu, sedangkan tangan kiri bertugas menamplik bingkai
penamplik secara terus menerus sehingga bingkai berputar. Dengan sikap kerja
seperti ini, keluhan yang timbul pada perajin kain endek pada proses midang
adalah kesemutan (kram di jari tangan), pegal di lengan, pegal atau kesemutan
ditelapak kaki dan betis.
Semakin banyak sikap tubuh melawan sikap netral tubuh semakin banyak
otot-otot bekerja. Demikian pula kalau tubuh semakin terforsir dalam suatu posisi
kerja kerja tertentu, akan semakin lama kelompok otot-otot tertentu berkontraksi.
Terlebih lagi kalau hal itu dilakukan secara berulang-ulang, maka akan berakibat
terjadinya kelelahan otot (Astrand dan Rodahl, 1986; Conlan, 1995; Kroemer dan
Grandjean, 2000; Matthes, 2005). Bentuk dari kelelahan otot disertai dengan
sensasi sakit pada otot. Semuanya itu dapat dideteksi berupa adanya keluhan pada
otot-otot. Jenis otot mana yang terpengaruh tergantung kepada beratnya tugas,
dan tingkat monotonnya gerakan.
34
Metode pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode
subjektif dengan kuesioner Nordic Body Map. Prosedur menggunakan mapping
untuk menilai keluhan otot skeletal tersebut dapat dilakukan pada interval selama
keseluruhan jam kerja. Subjek ditanya pada bagian-bagian anggota tubuh yang
mengalami kenyerian maupun sakit atau ketidaknyamanan pada empat skala
Likert. Bagian otot yang dimaksud di sini adalah bagian-bagian tubuh mulai dari
leher sampai kaki. Bagian ini dibagi menjadi 27 bagian yang dapat mewakili
keluhan-keluhan pada otot.
Kelelahan otot sesuai dengan Nordic Body Map dapat dibagi menjadi tiga
bagian yaitu: bagian otot trunkus, bagian otot ekstremitas bagian atas (upper
extrimities) dan bagian otot ekstremitas bagian bawah (lower extrimities).
1. Bagian otot trunkus terdiri dari: leher bagian atas, leher bagian bawah,
punggung, pinggang, bokong, pantat.
2. Bagian otot ekstremitas bagian atas terdiri dari: bahu kiri, bahu kanan, lengan
atas kiri, lengan atas kanan, siku kiri, siku kanan, lengan bawah kiri, lengan
bawah kanan, pergelangan tangan kiri, pergelangan tangan kanan, tangan kiri,
tangan kanan.
3. Bagian otot ekstremitas bagian bawah terdiri dari: paha kiri, paha kanan, lutut
kiri, lutut kanan, betis kiri, betis kanan, pergelangan kaki kiri, pergelangan kaki
kanan, kaki kiri, kaki kanan.
Keluhan muskuloskeletal menempati urutan pertama di antara penyakit
akibat kerja lainnya yang dipengaruhi oleh karakteristik individu (umur lebih dari
30 tahun), di mana pekerja yang mengalami gangguan tersebut sebanyak 44,9%
(Bhattacherjee dkk., 2003). Nala (1994) menyatakan bahwa sikap kerja yang
35
tidak alamiah menimbulkan kontraksi otot secara statis (isometrik) pada sejumlah
besar sistem otot tubuh manusia.
2.3.3 Produktivitas
Secara umum, produktivitas diartikan sebagai hubungan antara hasil nyata
maupun fisik dengan masukan yang sebenarnya. Greenberg mengartikan
produktivitas sebagai perbandingan antara totalitas pengeluaran pada waktu
tertentu dibagi totalitas masukan selama periode tersebut (Sedarmayanti, 2009).
Produktivitas mengandung pengertian perbandingan terbalik antara hasil
yang dicapai (output) dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan (input)
per satuan waktu (time). Konsep tersebut tentunya dapat dipakai di dalam
menghitung produktivitas kerja di semua sektor kegiatan. Berdasarkan hal
tersebut, maka formula produktivitas dapat dinyatakan sebagai berikut (Manuaba,
2005c):
)(Pr
timeuInputxwakt
Outputsoduktivita …………………………..(1)
Keterangan :
P = Produktivitas perajin kain endek pada proses midang
O = Output adalah banyaknya bulihan (lilitan benang dari ujung kiri
sampai ujung kanan sisi bingkai midang) dalam sentimeter dikalikan
dengan banyaknya unit atau bingkai yang dihasilkan setiap tujuh
jam kerja
I = Input adalah rerata nadi kerja yang didapat dari selisih rerata denyut
nadi waktu kerja dikurangi rerata denyut nadi istirahat .
36
Waktu = lama proses menyelesaikan satu bingkai penamplik selama tujuh
jam kerja setiap hari kerja.
Selain itu, dapat dikatakan bahwa kinerja sebagai suatu hasil atau output dari
suatu proses pelaksanaan tugas akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja.
Semakin baik kinerja seorang karyawan, berarti karyawan tersebut juga semakin
produktif, atau produktivitas kerjanya semakin meningkat.
Menurut Sedarmayanti, (2009) produktivitas kerja dikatakan meningkat
apabila.
a. Volume atau kuantitas keluaran bertambah besar, tanpa mengubah jumlah
masukan.
b. Volume atau kuantitas keluaran tidak bertambah, akan tetapi masukannya
berkurang.
c. Volume atau kuantitas keluaran bertambah besar sedangkan masukannya
berkurang, dan
d. Jumlah masukan bertambah, asalkan volume atau kuantitas keluaran bertambah
berlipat ganda.
Pengukuran produktivitas secara umum dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu.
1. Produktivitas total : adalah perbandingan antara total keluaran (output)
dengan total masukan (input) per satuan waktu. Dalam penghitungan
produktivitas total, semua faktor masukan (tenaga kerja, kapital, bahan,
energi) terhadap total keluaran harus diperhitungkan.
37
2. Produktivitas parsial: adalah perbandingan dari keluaran dengan satu jenis
masukan atau input per satuan waktu, seperti upah tenaga kerja, kapital,
bahan, energi, beban kerja, dan lain-lain.
Di samping faktor tersebut, faktor alat, cara dan lingkungan kerja sangat
berpengaruh terhadap produktivitas. Untuk mendapatkan produktivitas yang
tinggi, maka faktor tersebut harus betul-betul serasi terhadap kemampuan,
kebolehan dan batasan manusia pekerja .
Salah satu upaya meningkatkan produktivitas dapat dilakukan dengan
pendekatan ergonomi. Tujuannya adalah menempatkan perajin sebagai subjek
yang bekerja secara aman, nyaman, sehat efektif dan efisien. Usaha yang
dilakukan adalah menyerasikan tugas, organisasi dan lingkungan dengan
kapasitas perajin (Manuaba, 2003a). Usaha meningkatkan produktivitas melalui
pendekatan ergonomi telah banyak dilaksanakan pada berbagai industri di Bali
dan Jawa. Aspek ergonomi yang diperbaiki adalah (Sutjana, 2000; Sutajaya,
2000):
1. Status nutrisi yang memadai sebagai sumber energi seorang pekerja untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan.
2. Aplikasi dari tenaga otot secara optimal dan efisien untuk menekan stress
pekerjaan sampai batas minimum.
3. Sikap tubuh yang diterapkan dalam sikap kerja dengan memperhatikan situasi
pembebanan terhadap tubuh dan kesehatan yang dengan jenis pekerjaan dan
ruang lingkup pekerjaan.
38
4. Kondisi lingkungan kerja untuk mencegah beban yang berlebihan terhadap
fisik dan mental.
5. Kondisi yang berkaitan dengan waktu yang terkait dengan pola kerja; waktu
kerja, waktu istirahat dan hari-hari libur.
6. Kondisi sosial untuk meningkatkan kualitas interaksi antar pekerja; teknologi
dan seni dengan pemberian penghargaan (reward) terhadap harga diri dan
kepuasan kerja.
7. Kondisi informasi untuk dapat menunjukkan penampilan (performance) kerja
secara puas dan luas.
8. Interaksi manusia dengan mesin dengan proporsi pembagian tugas pekerjaan
yang tepat antara manusia dengan mesin/alat.
Secara skematik alur pikir tentang faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas kerja dapat diuraikan seperti
Gambar 2.16 berikut.
39
Gambar 2.16 Faktor-Faktor Mempengaruhi Produktivitas Kerja
2.3.3.1 Studi Gerakan
Studi tentang aktivitas gerak ini dilakukan untuk mengetahui atau
menperoleh gerakan-gerakan yang efektif dan tidak efektif saat perajin melakukan
proses bekerja. Gerak dasar untuk melakukan aktivitas kerja manual
dikelompokkan menjadi dua yaitu: (1) gerak efektif terdiri dari gerak yang
berdasarkan pengaruh fisik dan objektivitas; dan (2) gerak yang tidak efektif terdiri
dari gerak yang berdasarkan pada pengaruh mental dan menunggu (Meyer dan
Steward, 2002).
Hal yang sudah pasti terlihat apabila kita mengamati pekerjaan yang
sedang berlangsung adalah gerakan-gerakan yang membentuk kerja tersebut.
Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh seorang pekerja adakalanya pula sudah
tepat atau sudah sesuai dengan gerakan-gerakan yang diperlukan, tetapi
adakalanya pula seorang pekerja melakukan gerakan-gerakan yang tidak perlu
Dipengaruhi faktor: pendidikan, ketrampilan, motivasi,
kedisiplinan, etos kerja, jaminan sosial
Tugas-tugas pekerjaan: alat, bahan, dan teknologi
Organisasi kerja
Lingkungan kerja
Kapasitas pekerja meliputi:
- Karakteristik individu (umur, jenis kelamin,
antropometri, pendidikan, pengalaman, agama,
kesehatan, kebugaran.
- Kemampuan fisiologi (kemampuan dan daya
tahan kasdiovaskuler, otot, panca indra)
- Kemampuan psikologis (mental, adaptasi, stabilitas emosi)
- Kemampuan biomekanik: kemampuan dan daya
tahan sendi dan persendian tendon, tulang.
Beban kerja, ketidaknyamanan kerja, stress akibat kerja, kelelahan objektif dan subjektif,
penyakit akibat kerja (kronis maupun akut), cedera dan kecelakaan akibat kerja
Performasi kerja
Produktivitas kerja
40
atau biasa disebut gerakan-gerakan tidak efektif. Sudah tentu setiap perancang
kerja maupun pelaksana kerja ingin menghindari gerakan-gerakan tidak efektif,
sehingga terlebih dahulu harus dipelajari hal-hal yang berhubungan dengan
gerakan-gerakan kerja serta perancangan sistem kerjanya.
Studi gerakan adalah analisa yang dilakukan terhadap beberapa gerakan
bagian badan pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya. Dengan demikian
diharapkan agar gerakan-gerakan yang tidak efektif dapat dikurangi atau bahkan
dihilangkan sehingga akan diperoleh penghematan dalam waktu kerja. Tujuan
pokok dari studi gerak ini adalah memperbaiki pelaksanaan operasi kerja dengan
cara menghilangkan gerakan-gerakan kerja yang tidak efektif untuk mencapai
tingkat efisiensi kerja yang optimal (Wignjosoebroto, 2003b).
2.3.3.2 Analisis Ekonomi
Umur ekonomis adalah taksiran jumlah periode waktu yang diperkirakan
dapat menerima manfaat aktiva tetap secara ekonomis (Ganjarartha, 2011). Umur
ekonomis adalah depresiasi atau penyusutan dalam akuntansi adalah penyebaran
biaya asal suatu aktiva tetap (bangunan, alat, komputer, dll) selama umur
perkiraannya (Ramadhan, 2011). Umur ekonomis atau umur manfaat adalah
periode waktu atas pemakaian asset dalam kegiatan produktif.
Salah satu sumber daya yang sangat penting dalam memulai suatu usaha
adalah investasi. Investasi sangat penting diperhatikan karena dapat menunjang
peningkatan usaha yang dijalankan. Investasi adalah biaya awal yang dikeluarkan
pada saat awal menjalankan suatu usaha. Adapun salah satu metode
yang
digunakan dalam cost & benefits analysis adalah (Richard, 2003) :
41
1. ROI (Return of Invesment)
Metode pengembalian investasi digunakan untuk mengukur prosentase
manfaat yang dihasilkan oleh suatu proyek dibandingkan dengan biaya yang
dikeluarkannya. Suatu sistem dikatakan layak apabila manfaat yang diperoleh
lebih besar dari investasi (biaya) yang dikeluarkan (Jogiyanto, 2001).
Return of investment dari suatu proyek investasi dapat dihitung dengan
rumus:
Total Laba
ROI = --------------------------- x 100 %
Total Investasi
Pendapatan – (depresiasi + biaya listrik)
ROI = ---------------------------------------------------- x 100% ………… (2)
Total investasi
Kriteria keputusan investasi : untuk penetapan kriteria tersebut, dapat
dibandingkan antara hasil perhitungan ROI dengan tingkat suku bunga (rate of
interest) yang berlaku umum. Jika ROI > r artinya layak investasi (Sukanto,
2004). ROI tidak memberikan indikasi berapa lamanya suatu investasi. Namun
demikian, ROI sering dinyatakan dalam satuan tahunan atau disetahunkan.
2. Break even point
Break Even Point (BEP) dapat diartikan sebagai suatu titik atau keadaan di
mana perusahaan di dalam operasinya tidak memperoleh keuntungan dan tidak
menderita kerugian. Dengan kata lain, pada keadaan itu keuntungan atau kerugian
sama dengan nol. Analisis Break even secara umum dapat memberikan informasi
kepada pimpinan, bagaimana pola hubungan antara volume penjualan, cost/biaya,
42
dan tingkat keuntungan yang akan diperoleh pada level penjualan tertentu. Break
Even Point dapat kita formulasikan secara sederhana sebagai berikut
(Wignjosoebroto, 2003b) :
Total biaya tetap
Titik Impas (unit) = -----------------------------------------------------
Harga jual per unit - Biaya variabel per unit
Total biaya tetap
= -------------------------------------------------------------------- …. (3)
Harga jual per unit – (depresiasi/unit + biaya listrik/unit)
Atau:
Total biaya tetap
Titik Impas (rupiah) = -------------------------------------------------------------- …..(4)
1 - (Harga jual per unit/Biaya variabel per unit)
Jenis biaya berdasarkan titik impas yaitu variabel Cost (biaya variabel)
merupakan jenis biaya yang selalu berubah sesuai dengan perubahan volume
penjualan, di mana perubahannya tercermin dalam biaya variabel total. Dalam
pengertian ini biaya variabel dapat dihitung berdasarkan persentase tertentu dari
penjualan, atau variabel cost per unit dikalikan dengan penjualan dalam unit.
Fixed cost (biaya tetap) merupakan jenis biaya yang selalu tetap dan tidak
terpengaruh oleh volume penjualan melainkan dihubungkan dengan waktu
(function of time) sehingga jenis biaya ini akan konstan selama periode tertentu.
Contoh biaya sewa, depresiasi, bunga. Berproduksi atau tidaknya perusahaan
43
biaya ini tetap dikeluarkan. Harga per unit: adalah harga per unit dari barang yang
akan dijual.
2.4 Ergonomi
Ergonomi berasal dari kata Yunani yaitu ergos yang berarti kerja dan
nomos yang berarti hukum alam. Dengan demikian ergonomi dimaksudkan
sebagai disiplin keilmuan yang mempelajari manusia dalam kaitannya dengan
pekerjaan. Menurut International Standarts Organisation (ISO) dalam Wilson
(2005): Ergonomi menghasilkan dan mengintegrasikan pengetahuan dari human
science untuk menserasikan pekerjaan, sistem, produk, dan lingkungan dengan
kemampuan fisik dan mental dan keterbatasan manusia, demi tercapainya
keamanan, dan kesejahteraan, serta mengoptimalkan efisiensi dan kinerja.
Selanjutnya International Ergonomics Association (IEA) (2000) memberi
definisi, ergonomi atau human factors adalah disiplin ilmu yang berkaitan dengan
interaksi antara manusia dengan elemen-elemen dari sebuah sistem pekerjaan,
yang menerapkan teori, data, dan metode untuk desain agar tercapai
kesejahteraan dan kinerja yang optimal.
Ergonomi mengajarkan bahwa desain dari pada task (peralatan, mesin),
organisasi (sistem, aktivitas) dan lingkungan harus benar-benar didasari atas
kemampuan fungsional dari manusia pemakai sehingga manusia bisa
memanfaatkan semua kesanggupan fungsionalnya secara optimal dan maksimal.
Dalam kondisi seperti itu akan terdapat kondisi kerja dan lingkungan yang sehat,
aman, nyaman, efisien dan produktif. Namun pada kenyataannya, di dalam
pemanfaatan teknologi pada umumnya, dan atau desain task, organisasi dan
44
lingkungan pada khususnya, telah terjadi ketidak seimbangan antara tuntutan
tugas dan kapasitas manusia sebagai pengelola teknologi. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya berbagai dampak sebagai penjabaran daripada stress
yang dihadapi manusia, berupa keluhan dan rasa nyeri, penyakit akibat pekerjaan,
kecelakaan, keracunan, kematian, polusi, dan rusaknya lingkungan. Terjadinya
dampak-dampak negatif karena kurangnya pemanfaatan alih dan pilih teknologi
dengan benar dan betul disatu pihak dan tidak diterapkannya di lain pihak
pendekatan komprehensip dalam setiap permasalahan (Manuaba, 2005b).
Pendekatan ergonomi merupakan salah satu bentuk intervensi yang
bertujuan untuk mendapatkan sistem kerja yang manusiawi, kompetitif, dan
lestari. Menurut Manuaba (2005b) ada delapan kelompok masalah atau aspek
pendekatan ergonomi sebagai berikut.
1. Gizi dan Nutrisi
Manusia memerlukan sejumlah energi untuk mampu mengerjakan satu
pekerjaan tertentu. Jumlah energi yang dikeluarkan harus diimbangi dengan
energi yang masuk. Pekerjaan perajin kain endek pada proses midang termasuk
pekerjaan kategori ringan, diukur dari nadi kerja perajin kain endek pada proses
midang. Walaupun pekerjaan tergolong ringan, perlu disediakan air minum
didekat tempat kerjanya, sehingga perajin tidak perlu lagi pergi ke dapur untuk
minum, sehingga waktu tidak terbuang percuma.
2. Pemanfaatan tenaga otot
Di dalam melakukan pekerjaan, tugas dan pekerjaannya harus benar-benar
mencerminkan tidak adanya paksaan di luar kemampuan, karena itu semua alat
45
yang dipakai harus dirancang sedemikian rupa sehingga gerakan otot tidak
bertentangan gerakan alamiah otot pekerja. Pada proses midang gerakan dan
posisi tangan mengakibatkan otot lengan dan jari-jari tangan menegang,
mengakibatkan kelelahan, keluhan, dan kesemutan. Untuk itu perlu dirancang
bamgun alat pemidangan otomatis yang ergonomis disesuaikan dengan proses
alur kerja, antropometrinya, fisiologis dan psikologisnya.
3. Sikap kerja
Posisi tubuh yang salah atau tidak alamiah apalagi di dalam sikap paksa
jelas akan mengurangi produktivitas. Posisi tubuh perajin kain endek pada proses
midang dalam bekerja berdiri, tubuh perajin sering melakukan pemutaran badan
dengan sikap asimetris (twisting), sikap kerja tersebut diakibatkan oleh alat kerja
yang tidak ergonomis.
4. Kondisi lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap aktivitas bekerja perajin kain
endek pada proses midang. Intensitas suara yang ditimbulkan dari alat rak benang
merupakan beban tambahan yang diterima oleh perajin.
5. Kondisi waktu
Manusia mempunyai jam kerja delapan jam dalam satu hari untuk bisa
produktif. Untuk itu diberikan istirahat sesuai dengan beban kerja yang dihadapi.
Perajin kain endek pada proses midang merupakan kategori beban kerja ringan,
istirahat yang dilakukan untuk makan siang pukul 12.00-13.00 Wita. Tanpa
adanya istirahat tambahan di antara sebelun dan sesudah makan siang. Menurut
Manuaba (2005b), untuk pekerjaan ringan biasanya diberikan istirahat pagi dan
46
sore disamping istirahat makan siang. Untuk itu diberikan istirahat tambahan pada
waktu pagi dan sore hari selama 15 menit.
6. Kondisi informasi
Pemikiran untuk inovasi sudah ada dari pemilik dan perajin untuk
memperbaiki sistem kerja, produksi dan kesalahan yang terjadi selama ini. Namun
solusi pemecahan permasalahan belum diketemukan. Berdasarkan hal tersebut,
maka dibuatkan rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis untuk
memperbaiki sistem kerja lama, tidak lupa dengan mengikut sertakan pemilik dan
perajin untuk berpatisipasi di dalamnya, sehingga komunikasi dua arah bisa
terlaksana.
7. Kondisi sosial
Perkembangan kain endek akhir-akhir ini sudah semakin diminati oleh
masyarakat luas, tetapi alih generasi sudah tidak ada. Hal ini diakibatkan oleh
peralatan yang masih sangat konvensional, sehingga pelaksanaan pekerjaan
midang kurang menarik bagi generasi muda.
8. Interaksi manusia-mesin
Masalah otomasi, alokasi beban antara manusia dan mesin, benar-benar
dilakukan dengan adil dan bijaksana. Dalam rancang bangun alat pemidangan
yang ergonomis, dapat mempermudah perajin untuk melakukan proses midang.
Dengan posisi duduk perajin sudah dapat mengontrol panel kontrol. Sehingga
diharapkan lebih mudah dan mempercepat aktivitas midang.
Dengan menggunakan delapan aspek ergonomi sebagai titik tolak
dilakukannya analisis komprehensip. Demikian juga dalam merancang intervensi
47
sebagai perlakuan dalam upaya pemecahan masalah melalui pendekatan ergonomi
total sangat memungkinkan. Hal ini mengingat pendekatan ergonomi total
merupakan pendekatan konseptual yang muncul dalam upaya memecahkan
permasalahan yang berkaitan dengan kerja atau aktivitas lainnya yang dilakukan
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam penerapan pendekatan
ergomomi total, permasalahan ergonomi yang ditemukan tersebut dianalisis
dengan penerapan teknologi tepat guna (TTG) dan melaksanakan pendekatan
SHIP, peranan dan kontribusi ergonomi menjadi benar-benar bersifat holistik dan
realistis dengan hasil yang benar-benar manusiawi.
2.4.1 Penerapan teknologi tepat guna
Penerapan teknologi dimaksudkan untuk membantu manusia agar lebih
mudah di dalam melakukan aktivitas hidupnya. Namun kenyataannya, seringkali
pengembangan dan penerapan teknologi baru diikuti dengan munculnya
permasalahan baru yang dampak negatifnya justru lebih besar. Untuk menghindari
hal tersebut, maka dalam merancang atau mengembangkan suatu teknologi baru,
hendaknya dipertimbangkan berbagai aspek secara utuh sehingga hasil rancangan
tersebut benar-benar tepat guna, dampak yang ditimbulkannya seminimal
mungkin dan keuntungan yang dapat diperoleh semaksimal mungkin (Manuaba,
2003b ; Manuaba, 2005a ; Manuaba, 2006).
Ada enam kriteria yang perlu diperhitungkan di dalam mengembangkan
atau merancang TTG untuk melakukan perbaikan kondisi kerja yaitu.
48
1. Ekonomi
Penerapan teknologi hendaknya mempertimbangkan semua komponen
biaya, kemampuan keuangan, kondisi, lokasi, cakupan dan trend pasar,
keuntungan bagi semua pihak, kebijakan ekonomi dan tingkat persaingan. Secara
umum penerapan teknologi diupayakan agar murah dan tidak menimbulkan efek
yang memerlukan biaya kompensasi tinggi, pada akhirnya justru mendatangkan
kerugian.
2. Teknis
Teknologi yang diterapkan hendaknya mempertimbangkan aspek hukum
dan perundang-undangan, ketentuan standar, bahan, metode pembuatan,
kemudahan operasional, kemudahan pemeliharaan, umur pakai dan dampaknya
terhadap kelestarian lingkungan.
3. Ergonomis
Penerapan teknologi hendaknya mempertimbangkan kemampuan,
kebolehan dan keterbatasan pengguna di dalam berinteraksi dengan alat atau
tuntutan tugas dan lingkungan kerja sehingga terjadi keseimbangan unsur
ekonomi, sosial budaya dan antropometri dalam upaya meningkatkan efisiensi,
keamanan, kesehatan, kenyamanan dan kepuasan pengguna.
4. Sosial Budaya
Perbaikan kondisi kerja hendaknya memperhatikan sikap pekerja terhadap
organisasi kerja, kebiasaan kerja. Dinamika kelompok, norma, nilai, keinginan
dan kepercayaan dari pekerja dan masyarakat sekitarnya. Kebutuhan pengguna
teknologi dan kesesuaian dengan budaya disertai dengan nilai-nilai estetika
49
hendaknya menjadi perhatian sehingga benar-benar dapat diterima oleh
perusahaan, pekerja, masyarakat dan konsumen.
5. Hemat energi
Pengembangan teknologi hendaknya menghindari pemanfaatan energi
yang berlebihan seperti pemanfaatan daya listrik, air, gas bumi, tanah, sehingga
merusak tatanan ekosistem yang ada. Hal ini sangat penting untuk
dipertimbangkan mengingat ketersediaan sumber daya alam yang semakin
terbatas.
6. Tidak merusak lingkungan
Teknologi yang dikembangkan hendaknya tidak memberikan dampak
negatif kepada lingkungan seperti polusi air, tanah dan udara yang pada akhirnya
dapat menurunkan derajat kesehatan manusia.
2.4.2 Pendekatan SHIP
Pendekatan SHIP (SHIP approach) merupakan pendekatan terpadu yang
meliputi unsur-unsur: sistemik, holistik, interdisipliner, dan partisipatori. Sistemik
dalam hal ini dapat diartikan bahwa semua faktor yang diasumsikan berpengaruh
terhadap perancangan sistem kerja dan diperkirakan dapat menimbulkan masalah,
dengan demikian kaidah-kaidah ergonomi harus diperhitungkan dalam setiap
tahap perancangan.
Dengan menrancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis
dan memperhatikan sikap kerja sehingga cara bekerjanya menjadi lebih baik dan
ergonomis. Sikap kerja berdiri asimetris menjadi sikap kerja duduk dinamis.
Proses kerja akan menjadi lebih mudah, dengan hanya mengontrol panel kontrol,
50
dan berdiri sebentar untuk menyambung benang yang putus. Waktu kerja akan
lebih cepat, sehingga produktivitas akan meningkat.
Pendekatan holistik menekankan pada faktor-faktor yang diperkirakan
berhubungan dengan permasalahan harus dipecahkan secara proaktif dan
menyeluruh. Dalam intervensi ergonomi dapat dilakukan dari cara berpikir dan
bertindak dalam melakukan perbaikan dengan menggunakan teknologi tepat guna.
Dengan pendekatan holistik akan mendapatkan suatu perbaikan kondisi kerja yang
memenuhi kreteria teknologi tepat guna. Pemecahan masalah dengan pendekatan
interdisipliner menekankan proses pemecahan masalah dalam suatu sistem
membutuhkan ahli dari berbagai disiplin ilmu. Misalnya dalam perancangan
sistem kerja dibutuhkan berbagai ahli seperti: ahli ergonomi, ahli teknik, ahli
ekonomi, dan ahli dari displin ilmu yang lainnya. Para ahli membentuk sebuah tim
kerja (team work) untuk merumuskan rancangan sistem kerja baru dari berbagai
segi.
Ahli ergonomi akan melihat permasalahan dari keterkaitan manusia
dengan pekerjaannya. Ahli teknik berperan melakukan seleksi dan menentukan
teknologi yang dipakai dan layak secara teknis. Dengan demikian para ahli
menganalisis dan meyakinkan bahwa rancangan sistem kerja tersebut merupakan
rancangan sistem kerja yang realistis. Sedangkan pendekatan partisipatori
bertujuan untuk meningkatkan performansi perusahaan dengan melibatkan tenaga
kerja lebih awal dengan mempertimbangkan aspek ergonomi.
Adiputra (2000) menyatakan bahwa penerapan ergonomi akan lebih
berhasil jika didasarkan atas penerapan asas partisipatori manajemen, karena
51
pengalaman menunjukkan bahwa perbaikan yang dilakukan secara sepihak tanpa
melibatkan pekerja atau pemakainya akan tidak berkelanjutan. Manuaba (2003d)
menyatakan bahwa ergonomi partisipatori adalah semua yang akan terlibat dalam
pemecahan masalah atau terlaksananya suatu gagasan harus dilibatkan sedini
mungkin.
2.5 Perancangan Produk
Manusia bukan lagi sekedar alat produksi, tetapi justru menjadi asset
utama yang harus diamankan, ditumbuhkembangkan dan dijadikan asset
persaingan utama. Dan untuknya harus direncanakan alat, cara dan lingkungan
kerja yang benar-benar kondusif, di mana tidak saja membuat adanya "job
satisfaction" sementara pekerja tetapi juga mampu untuk membuatnya punya etos
kerja yang tinggi dan bertanggung jawab (Manuaba, 2001).
2.5.1 Perancangan produk secara ergonomi
Sanders dan Mc. Cormick, (1987) menyatakan bahwa salah satu bagian
dari aplikasi ergonomic adalah human error, kecelakaan dan keselamatan kerja.
Pendekatan ini menganut prinsip human centered design atau fit the job to the
man dimana manusia diperlakukan sebagai pusat sistem. Karena manusia sebagai
pusat sistem, maka semua perancangan sistem kerja diarahkan pada perancangan
yang sesuai dengan manusia itu sendiri. Definisi dari ergonomi adalah suatu
aplikasi ilmu pengetahuan yang memperhatikan karakteristik manusia yang perlu
dipertimbangkan dalam perancangan dan penataan sesuatu yang digunakan,
sehingga antara manusia dengan benda yang digunakan tersebut terjadi interaksi
yang lebih nyaman dan efektif. Kegunaan dari penerapan ergonomi adalah untuk:
52
(1) Memperbaiki performasi kerja (menambah kecepatan kerja, keakuratan,
keselamatan kerja dan mengurangi energi kerja yang berlebihan serta mengurangi
kelelahan), (2) Mengurangi waktu yang terbuang sia-sia dan meminimalkan
kerusakan peralatan yang disebabkan “human error”, dan (3) Memperbaiki
kenyamanan manusia dalam kerja.
Berbicara masalah ergonomi sangat erat kaitannya dengan alat, aktivitas,
serta produk-produk yang dihasilkan oleh manusia. Ergonomi melihat
permasalahan interaksi tersebut sebagai suatu sistem dengan pemecahan-
pemecahan masalahnya melalui proses pendekatan sistem pula. Dengan
mengaplikasikan aspek-aspek ergonomi atau human engineering, maka dapat
dirancang sebuah stasiun kerja yang bisa dioperasikan oleh rata-rata manusia.
Disiplin ergonomi, khususnya yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh
manusia (antropometri), telah menganalisis, mengevaluasi dan membakukan
jarak jangkau yang memungkinkan rata-rata manusia untuk melaksanakan
kegiatannya dengan mudah dan gerakan-gerakan yang sederhana.
Sistem kerja di sini dimaksudkan sistem hubungan manusia-mesin
(teknologi) yang dipertimbangkan sebagai sistem yang terpadu. Dengan kata lain
di sini manusia tidak lagi harus menyesuaikan dirinya dengan mesin yang
dioperasikan melainkan sebaliknya, mesin dirancang dengan terlebih dahulu
memperhatikan kelebihan dan keterbatasan manusia yang mengoperasikannya.
Fokus perhatian dari sebuah kajian ergonomi akan mengarah ke upaya
pencapaian sebuah perancangan desain suatu produk yang memenuhi persyaratan
“fitting the task to the man” (Grandjean, 2000), sehingga setiap rancangan desain
53
harus selalu memikirkan kepentingan manusia, yakni perihal keselamatan,
kesehatan, keamanan maupun kenyamanan. Ada empat aturan sebagai dasar
perancangan desain, yaitu (Ginting, 2009).
1. Memahami bahwa manusia merupakan fokus utama perancangan desain,
sehingga hal-hal yang berhubungan dengan struktur anatomi (fisiologik) tubuh
manusia harus diperhatikan, demikian juga dengan dimensi ukuran tubuh
(antropometri).
2. Menggunakan prinsip-prinsip kinesiologi dalam rancangan desain (studi
mengenai gerakan tubuh manusia dilihat dari aspek biomechanic), tujuannya
untuk menghindarkan manusia melakukan gerakan kerja yang tidak sesuai,
tidak beraturan dan tidak memenuhi persyaratan efektivitas efisiensi gerakan.
3. Pertimbangan mengenai kelebihan maupun kekurangan (keterbatasan) yang
berkaitan dengan kemampuan fisik yang dimiliki oleh manusia di dalam
memberikan respon sebagai kriteria-kriteria yang perlu diperhatikan
pengaruhnya dalam perancangan desain.
4. Mengaplikasikan semua pemahaman yang terkait dengan aspek psikologik
manusia sebagai prinsip-prinsip yang mampu memperbaiki motivasi, attitude,
moral, kepuasan dan etos kerja.
Selain hal-hal tersebut, unsur lain yang juga penting diperhatikan dalam
perancangan adalah hubungan antar lingkungan, manusia, perangkat kerja,
dengan produk fasilitas kerjanya. Satu sama lain saling berinteraksi dan memberi
pengaruh signifikan terhadap peningkatan produktivitas, efisiensi, keselamatan,
kesehatan, kenyamanan maupun ketenangan orang bekerja sehingga
54
menghindarkan diri dari segala bentuk kesalahan manusia (human error) yang
berakibat kecelakaan kerja.
2.5.2 Antropometri
Antropometri adalah satu kumpulan data numerik yang berhubungan
dengan karakteristik fisik tubuh manusia, ukuran dan kekuatan serta penerapan
dari data tersebut untuk penanganan masalah desain (perancangan). Agar
rancangan suatu produk atau fasilitas kerja nantinya sesuai dengan tubuh manusia
yang mengoperasikannya, maka harus diperhatikan prinsip-prinsip dalam aplikasi
data anthropometri. Untuk mencapai kondisi tersebut, maka ada dua faktor
penentu yang harus diperhitungkan dalam proses perancangan yaitu (a) harus
selalu diingat bahwa populasi pekerja akan sangat bervariasi dan berbeda-beda
baik dalam bentuk maupun ukuran tubuh antropometrinya; dan (b) harus
dipahami benar tentang karakteristik dari populasi pemakai produk ataupun
fasilitas kerja seperti pendidikan, kultur, skill, attitude, kemampuan fisik maupun
mental, dan lain-lain. Antropometri akan digunakan secara lebih luas sebagai
pertimbangan ergonomis dalam proses desain produk maupun sistem kerja yang
akan memerlukan interaksi manusia (Wignjosoebroto, 2000a; Wignjosoebroto,
dkk., 2001; 2003a).
Tujuan pendekatan antropometri dalam perancangan alat dan
perlengkapan adalah agar terjadi keserasian antara manusia dengan sistem kerja
(man-machine system), sehingga manusia dapat bekerja secara nyaman dan
efisien. Pemakaian data antropometri supaya peralatan kerja dapat disesuaikan
dengan kemampuan pekerja dan bukan sebaliknya. Desain yang memiliki
55
kompatibilitas tinggi dengan manusia (user) sangat penting untuk mengurangi
timbulnya bahaya akibat kesalahan kerja yang disebabkan oleh kesalahan desain
(Liliadan, dkk., 2007).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran tubuh manusia seperti
umur, jenis kelamin, suku atau etnis (ethnic), dan posisi tubuh (posture), sehingga
seorang perancang stasiun kerja, peralatan kerja, produk, dan lingkungan kerja
harus memperhatikannya. Agar rancangan sesuai dengan aplikasi antropometri
maka ada beberapa prinsip yang harus dilakukan antara lain: (1) dimensi
minimum suatu produk harus ditetapkan, umumnya didasarkan pada nilai
persentil yang terbesar seperti 90, 95, atau 99 persentil. (2) dimensi maksimum
yang harus ditetapkan diambil berdasarkan nilai persentil terendah seperti 1,5
atau 10 persentil. (3) produk yang dapat dioperasikan dalam rentang ukuran
tertentu, sehingga rancangan dapat diubah-ubah ukurannya dan sangat fleksibel
dalam mengoperasikan, rentang nilainya seperti 5 s.d. 95 persentil. (4) produk
dengan ukuran rata-rata yaitu menggunakan nilai 50 persentil (Suhardi, 2008).
2.6 Rancang Bangun Alat Pemidangan Otomatis Yang Ergonomis
Salah satu ciri dari aktivitas desain adalah bahwa selalu dimulai dari akhir
dan berakhir di awal. Salah satu karakteristik manusia adalah mereka selalu
berusaha menciptakan sesuatu baik alat maupun benda lainnya untuk membantu
kehidupan manusia. Perancangan adalah proses menuangkan ide dan gagasan
berdasarkan teori-teori dasar yang mendukung. Proses perancangan dapat
dilakukan dengan cara pemilihan komponen yang akan digunakan, mempelajari
karakteristik dan data fisiknya, membuat rangkaian skematik dengan melihat
56
fungsi-fungsi komponen yang dipelajari, sehingga dapat dibuat atau dibangun alat
yang sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan. Rancang bangun alat
pemidangan otomatis yang ergonomis adalah perancangan alat yang digerakan
oleh beberapa alat-alat elektronik, di mana pada saat meranncang bangun bentuk
dan ukuran alatnya disesuaikan dengan memperhatikan perajin sebagai pengguna
alat pemidangan ini. Alat ini terdiri dari rangkaian transformator, rangkaian
sensor dan sistem dari mikrokontroler. Trafo berfungsi untuk memberikan
tegangan yang dibutuhkan pada masing-masing rangkaian tersebut.
Mikrokontroler sebagai pusat pengaturan pada rangkaian sensor.
Untuk merealisasikan rancang bangun alat pemidangan otomatis yang
ergonomis ini, maka langkah pertama yang dilakukan adalah dengan membuat
blok diagram alat seperti Gambar 2.17.
Gambar 2.17 Proses Kerja Rancang Bangun Alat Pemidangan otomatis
Yang Ergonomis
Perancangan alat disesuaikan dengan ketersediaan alat atau komponen di
pasaran, sehingga pemilik dapat dengan mudah mencari dan membelinya
bilamana terjadi kerusakan. Untuk mewujudkan alat pemidangan tersebut
diperlukan suatu rancangan atau desain. Pada tahap perancangan ini dibagi
Transformator Foto
Sensor Mikrokontroler
Motor DC 5 V
penggerak benang
Proses penumpukan
dan pengulangan
benang
Motor DC
24 V
Dikontrol oleh
sensor
optocoupler
57
menjadi dua tahap perancangan. Tahap pertama adalah perancangan perangkat
keras (hardware). Tahap kedua adalah perancangan perangkat lunak (software).
Spesifikasi alat pemidangan disajikan pada Lampiran 21.
2.6.1 Perangkat keras (hardware)
Perangkat keras (hardware) adalah bagian dari komponen tunggal yang
dipergunakan pada konstruksi alat pemidangan, dan setiap bagian mempunyai
fungsi masing-masing. Dengan pengertian tersebut, maka bagian-bagian dari alat
pemidangan dapat uraikan sebagai berikut:
2.6.1.1 Kontruksi rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis
Kontruksi rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis
disesuaikan dengan ukuran bingkai midang dan ukuran antropometri perajin kain
endek pada proses midang, disajikan pada Gambar 2.18, Gambar 2.19, dan
Gambar 2.20.
Gambar 2.18 Dimensi Alat Pemidangan Tampak Samping
58
Gambar 2.19 Dimensi Alat Pemidangan Tampak Depan
Gambar 2.20 Dimensi Alat Pemidangan Tampak Belakang
2.6.1.2 Transformator
Transformator atau biasa dikenal dengan trafo berasal dari kata
transformatie yang berarti perubahan. Transformator adalah suatu alat listrik yang
dapat memindahkan dan mengubah energi listrik dari satu rangkaian listrik ke
59
rangkaian listrik yang lain, melalui gandeng magnit berdasarkan pada prinsip
elektromagnetik. Secara prinsip transformator difungsikan untuk memindahkan
daya listrik dari suatu rangkaian ke rangkaian lain, secara pisik transformator
merupakan perangkat satis yang terdiri dari dua buah lilitan ( coil ) yang saling
terhubung dengan mengunakan copling elektromagnet. Penggunaan tranformator
yang sangat mendasar meliputi , pengaturan tegangan maupun arus pada sistem
ketenagaan, sebagai penyetara impedansi antara sumber dan beban guna
memdapatkan pengiriman daya yang maximum pada rangkaian elektronik,
dan sebagai isolasi secara listrik (pengaman) (Muchsin, 2003).
Gambar 2.21 Transformator
Frekuensi pada kumparan primer dan kumparan sekunder adalah sama,
f1=f2. Tegangan dan arus pada kumparan primer dan kumparan sekunder dapat
diubah- ubah sesuai dengan yang dikehendaki antara lain:
1. Digunakan untuk pengiriman tenaga listrik
2. Untuk menyesuaikan tegangan
3. Untuk mengadakan pengukuran dari besaran listrik
4. Untuk memisahkan rangkaian yang satu dengan yang lain
5. Untuk memberikan tenaga pada alat tertentu
60
Konstruksi trafo secara umum terdiri dari:
1. Inti yang terbuat dari lembaran-lembaran plat besi lunak atau baja silikon yang
diklem jadi satu.
2. Belitan dibuat dari tembaga yang cara membelitkan pada inti dapat konsentris
maupun spiral.
3. Sistem pendingin pada trafo-trafo dengan daya yang cukup besar.
2.6.1.3 Motor DC
Motor DC merupakan perangkat yang berfungsi merubah besaran listrik
menjadi besaran mekanik. Prinsip kerja motor didasarkan pada gaya
elektromagnetik. Motor DC bekerja bila mendapatkan tegangan searah yang
cukup pada kedua kutubnya. Tegangan ini akan menimbulkan induksi
elektromagnetik yang menyebabkan motor berputar. Secara umum, kecepatan
putaran poros motor DC akan meningkat seiring dengan meningkatnya tegangan
yang diberikan. Dengan demikian, putaran motor DC akan berbalik arah jika
polaritas tegangan yang diberikan juga diubah. Bentuk fisik motor DC pada
Gambar 2.22. Motor DC tidak dapat dikendalikan langsung oleh mikrokontroler,
karena kebutuhan arus yang besar sedangkan keluaran arus dari mikrokontroler
sangat kecil. Driver motor merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk
menggerakkan motor DC.
61
Gambar 2.22 Motor DC
Driver motor adalah sirkuit elektronika yang memungkinkan tegangan
dan arus mengalir ke arah beban atau motor DC secara benar artinya dapat
mengatur arah putaran motor DC sesuai dengan keinginan.
2.6.1.4 Sensor Optocoupler
Optocoupler adalah suatu piranti yang terdiri dari dua bagian yaitu antara
bagian cahaya dengan bagian deteksi sumber cahaya terpisah. Biasanya
optocoupler digunakan sebagai saklar elektrik, yang bekerja secara otomatis.
Optocoupler atau optoisolator merupakan komponen penggandeng (coupling)
antara rangkaian input dengan rangkaian output yang menggunakan media
cahaya (opto) sebagai penghubung. Dengan kata lain, tidak ada bagian yang
konduktif antara kedua rangkaian tersebut. Optocoupler sendiri terdiri dari dua
bagian, yaitu transmitter (pengirim) dan receiver (penerima) (Anonim, 2010c).
1. Transmiter
Merupakan bagian yang terhubung dengan rangkaian input atau rangkaian
kontrol. Pada bagian ini terdapat sebuah LED infra merah (IR LED) yang
berfungsi untuk mengirimkan sinyal kepada receiver. Pada transmitter
dibangun dari sebuah LED infra merah. Jika dibandingkan dengan
menggunakan LED biasa, LED infra merah memiliki ketahanan yang lebih
62
baik terhadap sinyal tampak. Cahaya yang dipancarkan oleh LED infra merah
tidak terlihat oleh mata telanjang.
2. Receiver
Merupakan bagian yang terhubung dengan rangkaian output atau rangkaian
beban, dan berisi komponen penerima cahaya yang dipancarkan oleh
transmitter. Komponen penerima cahaya ini dapat berupa photodioda ataupun
phototransistor. Pada bagian receiver dibangun dengan dasar komponen
phototransistor. Phototransistor merupakan suatu transistor yang peka
terhadap tenaga cahaya. Suatu sumber cahaya menghasilkan energi panas,
begitu pula dengan spektrum infra merah. Karena spekrum infra mempunyai
efek panas yang lebih besar dari cahaya tampak, maka phototransistor lebih
peka untuk menangkap radiasi dari sinar infra merah.
Prinsip kerja dari rangkaian optocoupler pada Gambar 2.23 adalah.
1. Jika S1 terbuka maka LED akan mati, sehingga phototransistor tidak akan
bekerja.
2. Jika S1 tertutup maka LED akan memancarkan cahaya, sehingga
phototransistor akanbekerja.
3. Jika antara phototransistor dan LED terhalang maka phototransistor
tersebut akan off sehingga output dari kolektor akan berlogika high
sebaliknya.
4. Jika antara phototransistor dan LED tidak terhalang maka phototransistor
tersebut akan on sehingga output-nya akan berlogika low.
63
Gambar 2.23 Bentuk dan Rangkaian Optocoupler
Sumber: Anonim 2010c
2.6.1.5 Downloader
Rangkaian downloader merupakan rangkaian penghubung antara
komputer dan mikrokontroler yang berfungsi untuk memasukan listing program
(berupa bit– bit logika) ke dalam mikrokontroler. Listing program yang dikirim
oleh software dari komputer ke dalam mikrokontroler biasanya berbentuk file
*.hex (heksadesimal). Pada umumnya rangkaian downloader terdiri dari kabel
penghubung jenis DB25 atau jenis DB9. Sinkronisasi tegangan antara tegangan
dari komputer dan tegangan mikrokontroler menggunakan sebuah buffer.
2.6.1.6 Mikrokontroler ATMEGA 32A
Mikrokontroler dapat diumpamakan sebagai bentuk skala mini dari
mikrokomputer. Di dalam mikrokontroler terdapat komponen-komponen dasar
dari sebuah mikrokomputer, yaitu memori, CPU, dan instruksi-instruksi yang
terpadu dalam satu keping IC. Program mikrokontroler adalah alat untuk
memasukkan program kedalam memori mikrokontroler, terdiri dari software dan
hardware. Pada mikrokontroler perbandingan RAM dan ROM-nya tidak terlalu
besar, program kontrol disimpan dalam ROM sedangkan RAM digunakan sebagai
64
tempat penyimpanan sementara. Perlengkapan dasar mikrokontroler terdiri atas:
CPU, alamat, data, pengendali, memori, input dan output.
Mikrokontroler adalah piranti elektronik berupa IC (Integrated Circuit)
yang memiliki kemampuan manipulasi data (informasi) berdasarkan suatu urutan
instruksi (program). Dalam sebuah struktur mikrokontroler akan kita temukan
juga komponen-komponen seperti: processor, memory, clock, dll. Salah satu
arsitektur mikrokontroler yang terdapat di pasaran adalah jenis AVR (Advanced
Virtual RISC). Arsitektur mikrokontroler jenis AVR ini pertama kali
dikembangkan pada tahun 1996 oleh dua orang mahasiswa Norwegian Institute of
Technology yaitu Alf-Egil Bogen dan Vegard Wollan. Dalam perkembangannya,
AVR dibagi menjadi beberapa varian yaitu AT90Sxx, ATmega, dan AT86RFxx.
Pada dasarnya yang membedakan masing-masing varian adalah kapasitas memori
dan beberapa fitur tambahan saja.
Pemrograman mikrokontroler AVR dapat menggunakan low level
language (assembly) dan high level language (C, Basic, Pascal, JAVA, dll)
tergantung compiler yang digunakan. Salah satu yang banyak dijumpai di pasaran
adalah AVR tipe ATmega, yang tediri dari beberapa versi, yaitu ATmega8535,
ATmega16, ATmega162, ATmega32, ATmega324P, ATmega644, ATmega644P
dan ATmega128. Mikrokontroler yang digunakan adalah AVR ATmega32
Madhawirawan (2013).
Berikut ini Gambar 2.24 adalah tampilan ATmega32.
65
Gambar 2.24 Modul AVR ATmega32
Fitur-fitur yang dimiliki ATmega32 sebagai berikut:
1. Frekuensi clock maksimum 16 MHz
2. Jalur I/O 32 buah, yang terbagi dalam PortA, PortB, PortC dan PortD
3. Analog to Digital Converter 10 bit sebanyak 8 input, 4 chanel PWM
4. Timer/Counter sebanyak 3 buah
5. CPU 8 bit yang terdiri dari 32 register
6. Watchdog Timer dengan osilator internal
7. SRAM sebesar 2K Byte
8. Memori Flash sebesar 32K Byte dengan kemampuan read while write
9. Interrupt internal maupun eksternal
10. Port komunikasi SPI
11. EEPROM sebesar 512 byte yang dapat diprogram saat operasi
12. Analog Comparator
13. Komunikasi serial standar USART dengan kecepatan maksimal 2,5 Mbps
Konfigurasi pin pada mikrokontroler ATmega32 dapat dilihat pada Gambar 2.25.
66
Gambar 2.25 Konfigurasi Pin ATmega32
Dari gambar tersebut dapat terlihat jumlah pin ATmega32 adalah 40 pin yang
memiliki fungsi yang berbeda-beda yaitu:
1. Vcc merupakan pin yang berfungsi sebagai masukan catu daya.
2. GND merupakan pin ground.
3. Port A(PA0-PA7) merupakan pin input/output dua arah dan pin masukan
ADC.
4. Port B(PB0-PB7) merupakan pin input/output dua arah dan pin fungsi khusus,
2.6.2 Perangkat lunak (soft ware)
Rancangan program ini dibuat kedalam bentuk flowchart disajikan pada
Gambar, guna mempermudah proses pembuataan listing program pada software
Code Vision AVR. Program mikrokontroler yang akan dibuat menggunakan
bahasa C dan beberapa bahasa assembly, kemudian program tersebut disusun
(compile) secara otomatis ke dalam bentuk file *.hex untuk dimasukan ke dalam
IC mikrokontroler.
67
Gambar 2.26 Flow chart Input Program Perintah Pada Mikrokontroler