Upload
nguyenmien
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup
belajar. Sedangkan belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu,
perubahan tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman (KBBI,
1996: 14, dalam Puji Purnomo, 2008: 137).
Pembelajaran merupakan aktualisasi kurikulum yang menuntut aktivitas,
kreativitas, dan kearifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan kegiatan peserta
didik sesuai rencana yang telah diprogramkan, secara efektif dan menyenangkan
(E.Mulyasa, 2006: 189). Dalam hal ini, menunjukkan bahwa aktivitas, kreatifitas, dan
kearifan guru merupakan patokan dalam mencapai tujuan yang telah diprogramkan
dalam perencanaan. Pasal 1 Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional menyebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar yang
saling bersinergi dan berinteraksi tanpa mengabaikan salah satu dari elemen tersebut.
Menurut Gagne (dalam E. Mulyasa, 2006: 191) aspek psikologis menujuk
pada kenyataan bahwa proses belajar itu sendiri mengandung variasi, seperti belajar
keterampilan motorik, belajar konsep, belajar sikap, dan seterusnya. Dengan
demikian guru diharapkan mampu menciptakan pelajaran sesuai dengan
perkembangan mental yang dimiliki oleh siswanya. Secara didaktis, guru mengatur
pelajaran peserta didik. Dalam hal ini, guru harus menentukan dengan tepat jenis
belajar manakah yang paling berperan dalam proses pembelajaran tertentu, dengan
mengingat kompetensi dasar yang harus dicapai.
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses dan upaya yang
direncanakan secara tersusun dengan tujuan yang telah diprogramkan agar siswa
8
dapat mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Dengan demikian tidak lepas
daripada tanggungjawab untuk mempersiapkan siswanya agar dapat hidup dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu berubah.
2.1.2 Hakikat Pembelajaran IPA
2.1.2.1 Pengertian IPA
Secara umum, IPA adalah pengetahuan tentang gejala alam yang dapat
didefinisikan sebagai: cara berpikir untuk memahami alam semesta, cara melakukan
investigasi, dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari penyelidikan (Direktorat
Ketenagaan 2006, dalam Wardani, dkk, 2009: 8.15). Sebagai suatu cara berpikir, IPA
merupakan aktivitas manusia yang ditandai dengan proses berpikir yang
menggambarkan keingintahuan untuk memahami fenomena alam. Sebagai cara
melakukan investigasi, IPA merupakan gambaran pendekatan-pendekatan yang
digunakan dalam menyusun pengetahuan, yang dikenal dengan metode ilmiah
(scientific method). Akhirnya, sebagai ilmu pengetahuan, IPA merupakan hasil
kreativitas para ilmuwan secara berabad-abad dalam bentuk penemuan yang
dikumpulkan dan disusun secara sistematis.
Memperhatikan karakteristik peserta didik SD, mata pelajaran IPA di SD
bersifat terpadu dari disiplin ilmu fisika, biologi, dan kimia. Selain itu, pembelajaran
IPA di SD hendaknya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
memperoleh pengalaman langsung (hands on experiences) dalam menemukan dan
mengembangkan konsep-konsep IPA (Wardani, dkk, 2009: 8.15).
Istilah Ilmu Pengetahuan Alam atau IPA dikenal juga dengan istilah sains.
Kata sains ini berasal dari bahasa Latin yaitu scienta yang berarti “saya tahu”. Dalam
bahasa Inggris, kata sains berasal dari kata science yang berarti “pengetahuan”.
Science kemudian berkembang menjadi social science yang dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan natural science yang dalam
bahasa Indonesia dikenal dengan ilmu pengetahuan alam (IPA). Dalam kamus Fowler
9
(1951), natural science didefinisikan sebagai; systematic and formulated knowledge
dealing with material phenomena and based mainly on observation and induction
yang diartikan bahwa ilmu pengetahuan alam didefinisikan sebagai pengetahuan yang
sistematis dan disusun dengan menghubungkan gejala-gejala alam yang bersifat
kebendaan dan didasarkan pada hasil pengamatan dan induksi. Sumber lain
menyatakan bahwa natural science didefinisikan sebagai piece of theoretical
knowladge atau sejenis pengetahuan teoritis.
IPA merupakan cabang pengetahuan yang berawal dari fenomena alam. IPA
didefinisikan sebagai sekumpulan pengetahuan tentang objek dan fenomena alam
yang diperoleh dari hasil pemikiran dan penyelidikan ilmuwan yang dilakukan
dengan keterampilan bereksperimen dengan menggunakan metode ilmiah. Definisi
ini memberi pengertian bahwa IPA merupakan cabang pengetahuan yang dibangun
berdasarkan pengamatan dan klasifikasi data, dan biasanya disusun dan diverifikasi
dalam hukum-hukum yang bersifat kuantitatif, yang melibatkan aplikasi penalaran
matematis dan analisis data terhadap gejala-gejala alam. Dengan demikian, pada
hakikatnya IPA merupakan ilmu pengetahuan tentang gejala alam yang dituangkan
berupa fakta, konsep, prinsip dan hukum yang teruji kebenaranya dan melalui suatu
rangkaian kegiatan dalam metode ilmiah .
IPA adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena alam dan segala sesuatu
yang ada di alam. IPA mempunyai beberapa pengertian berdasarkan cara pandang
ilmuwan berkaitan mulai dari pengertian IPA itu sendiri, cara berfikir IPA , cara
penyelidikann IPA sampai objek kajian IPA. Adapun pengertian IPA menurut
Trowbridge and Bybee (1990) sains atau IPA merupakan representasi dari hubungan
dinamis yang mencakup tiga faktor utama yaitu the extant body of scientific
knowledge, the values of science and the method and procecces of science” yang
artinya sains merupakan produk dan proses, serta mengandung nilai-nilai. IPA adalah
hasil interpretasi tentang dunia kealaman. IPA sebagai proses/metode penyelidikan
meliputi cara berpikir, sikap dan langkah-langkah kegiatan scientis untuk
10
memperoleh produk-produk IPA, misalnya observasi, pengukuran, merumuskan,
menguji hipotesa, mengumpulkan data, bereksperimen dan prediksi.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefenisikan sebagai kumpulan pengetahuan
yang tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum KTSP
(Depdiknas, 2006) bahwa IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang
sesuatu secara sistematis, sehingga bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan
yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses
penemuan. Selain itu IPA juga merupakan ilmu yang bersifat empirik dan membahas
tentang fakta serta gejala alam. Fakta dan gejala alam tersebut menjadikan
pembelajaran IPA tidak hanya verbal tetapi juga faktual. Hal ini menunjukkan bahwa,
hakikat IPA sebagai proses diperlukan untuk menciptakan pembelajaran IPA yang
empirik dan faktual.
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa hakikat IPA
adalah kumpulan pengetahuan yang beroriantasi pada fakta, konsep, prinsip, serta
proses produktif dari pengalaman untuk menemukan sesuatu di lingkungan yang
berkaitan dengan alam dan manusia melalui sikap dan keterampilan ilmiah.
2.1.2.2 Pembelajaran IPA di Sekolah
Pembelajaran IPA di sekolah adalah pembelajaran IPA yang diajarkan di
sekolah, mulai dari Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Bahan ajar IPA di
sekolah terdiri atas bagian-bagian IPA yang dipilih guna menumbuhkembangkan
kemampuan-kemampuan, keterampilan-keterampilan, serta sikap produktif dan
ilmiah yang berpatokan pada IPTEK. Ruang lingkup bahan kajian IPA di SD secara
umum meliputi dua aspek yaitu kerja ilmiah dan pemahaman konsep. Lingkup kerja
ilmiah meliputi kegiatan penyelidikan, berkomunikasi ilmiah, pengembangan
kreativitas, pemecahan masalah, sikap, dan nilai ilmiah. Lingkup pemahaman konsep
dalam Kurikulum KTSP relatif sama jika dibandingkan dengan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) yang sebelumnya digunakan. Secara terperinci lingkup materi
11
yang terdapat dalam Kurikulum KTSP adalah: (1) makhluk hidup dan proses
kehidupannya, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan,
serta kesehatan; (2) benda atau materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi cair,
padat dan gas; (3) energi dan perubahaannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet,
listrik, cahaya, dan pesawat sederhana; (4) bumi dan alam semesta meliputi tanah,
bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya. Dengan demikian, dalam
pelaksanaan pembelajaran IPA kedua aspek tersebut saling berhubungan. Aspek kerja
ilmiah diperlukan untuk memperoleh pemahaman atau penemuan konsep IPA.
Untuk mengenal apa IPA itu, kita juga dapat menjelaskan melalui segi
fungsinya. Dari berbagai pustaka dapat dirangkum bahwa fungsi IPA itu ada lima,
yaitu untuk:
1. Membangun pola berpikir
Kita simak dari fakta sejarah, bagaimana IPA terbangun dari pola berpikir
manusia yang berkembang dari zaman ke zaman. Di sisi lain, IPA itu sendiri juga
dapat membangun pola berpikir manusia dengan ciri-ciri khusus.
2. Menjelaskan adanya hubungan antara berbagai gejala alam
Dalam menjelaskan sesuatu, IPA mempunyai ciri-ciri yang khusus, yaitu :
1) Analitis, artinya lengkap mendeskripsikan semua bagian dari objek.
2) Penelitiannya, serta hubungan antara satu bagian dengan bagian lainnya.
3) Logis, artinya dapat diterima oleh akal.
4) Sistematis, artinya disusun secara logis dan sistematis sehingga tampak jelas
tata urutan serta hubungan satu dengan yang lain dan jelas pula bahwa tidak
ada kebenaran ilmu pengetahuan yang bertumpang tindih dalam arti
berlawanan satu dengan yang lain.
5) Kausatif, maksudnya IPA menjelaskan mengapa segala gejala alam itu terjadi.
6) Kuantitatif, yang meliputi tiga arti:
a. Kesimpulan yang diuji kebenarannya melalui statistika,
12
b. Penjelasannya disertai dengan angka-angka dengan besaran hasil pengukuran
atau dengan rumusan-rumusan matematika,
c. Kuantitatif dalam artiannya yang tak langsung menyatakan kecermatan
pengukuran.
Menurut Carl Hempel ada dua tujuan IPA dalam menjelaskan berbagai gejala
alam ini, yaitu:
1. Untuk hal yang bersifat praktis, maksudnya untuk kepentingan kesejahteraan
umat manusia.
2. Untuk memenuhi hasrat ingin tahu.
3. Meramalkan
Peramalan dari IPA ini adalah peramalan yang didasarkan atas
adanya konsistensi atau keteraturan dari gejala-gejala alam. Kunci pokok dari
sesuatu yang dapat digunakan untuk meramalkan itu adalah adanya keteraturan
yang konsisten.
4. Menguasai atau mengontrol alam guna kesejahteraan manusia
Dengan IPA orang bisa mengolah sumber daya alam. Orang juga dapat
mendirikan industri-industri untuk menghasilkan barang-barang bagi kesejahteraan
manusia. Dengan IPA orang dapat mempermudah hubungan komunikasi maupun
transportasi. Dengan IPA orang dapat mencegah atau menghindari malapetaka
akibat gejala alam.
5. Melestarikan berbagai gejala alam
Suatu gejala alam mungkin sekali tak terulang kejadiannya sehingga IPA
dalam hal ini selaku kumpulan pengetahuan yang logis dan sistematis secara tak
langsung merekam gejala-gejala alam, misalnya kehadiran komet, pergeseran
benua, perubahan flora dan fauna.
Sedangkan maanfaat IPA sendiri adalah untuk mengembangkan sikap
ilmiah antara lain:
1. Sikap ingin tahu (curiousity)
13
2. Sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru (originality)
3. Sikap kerja sama (cooperation)
4. Sikap tidak putus asa ( perseverance)
5. Sikap terbuka untuk menerima (open-mindedness)
6. Sikap mawas diri (self critism)
7. Sikap bertanggung jawab (responsibility)
8. Sikap berpikir bebas (independence in thinking)
9. Sikap kedisiplinan diri (self discipline)
Secara khusus fungsi dan tujuan IPA berdasarkan kurikulum berbasis
kompetensi (Depdiknas, 2003: 2) adalah sebagai berikut.
1. Menanamkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mengembangkan keterampilan,sikap dan nilai ilmiah
3. Mempersiapkan siswa menjadi warga negara
4. Menguasai konsep sains untuk bekal hidup dimasyarakat dan melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
E. Mulyasa (2004: 112) menyebutkan ruang lingkup bahan kajian IPA untuk
SD/ MI meliputi aspek-aspek berikut:
a. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan
interaksinya dengan lingkungan serta kesehatan.
b. Benda atau materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi cair, padat dan gas.
c. Energi dan perubahannya meliputi gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya
dan pesawat sederhana.
d. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya dan benda-benda langit
lainnya.
e. Sains, Lingkungan, Teknologi, Masyarakat merupakan penerapan konsep sains
dan saling keterkaitannya dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat melalui
pembuatan suatu karya teknologi sederhana.
14
2.1.3 Belajar
2.1.3.1 Pengertian belajar
Gagne (Suprijono 2013: 2) menyatakan belajar adalah perubahan disposisi
atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Perubahan disposisi
tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara
alamiah. Belajar merupakan proses dalam diri individu yang berinteraksi dengan
lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam perilakunya. Belajar adalah
aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan
yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, dan
sikap (Winkel, dalam Purwanto 2013: 38-39). Perubahan itu diperoleh melalui usaha
(bukan karena kematangan), menetap dalam waktu yang relatif lama dan merupakan
hasil pengalaman.
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa belajar adalah
suatu pengalaman yang direncanakan, dilakukan, dan dievaluasi kelebihan dan
kekurangannya dalam suatu lingkungan tertentu yang menjadi tempat pembentukan
diri untuk menjadi seseorang yang diinginkan atau yang diinginkan orang lain.
2.1.3.2 Prinsip-prinsip belajar
Prinsip belajar merupakan ketentuan atau hukum yang harus dijadikan
pegangan dalam pelaksanaan pembelajaran. Sebagai suatu hukum, prinsip belajar
akan sangat menentukan proses dan hasil belajar. Prinsip belajar menyangkut
motivasi, perhatian, aktivitas, umpan balik, dan perbedaan individual. Motivasi
berfungsi sebagai motor penggerak aktivitas. Bila motornya tidak ada, maka aktivitas
tidak akan terjadi. Bila motornya lemah, maka aktivitas yang terjadi lemah. Perhatian
memiliki kaitan yang erat sekali dengan motivasi, bahkan tidak dapat dipisahkan.
Perhatian adalah pemusatan energi psikis (pikiran dan perasaan) terhadap suatu
objek. Makin terpusat pada pelajaran, proses belajar makin baik, dan hasilnya akan
makin baik.
15
Belajar itu sendiri adalah aktivitas, yaitu aktivitas mental dan emosional. Bila
ada siswa duduk di kelas pada saat pelajaran berlangsung, akan tetapi mental
emosionalnya tidak terlihat aktif di dalam situasi pembelajaran itu, pada hakikatnya
siswa tersebut tidak ikut belajar. Konfusius (Melvin.L.Silberman, 2011: 23)
menyatakan, “Yang saya dengar, saya lupa. Yang saya lihat, saya ingat. Yang saya
kerjakan, saya pahami.”, tiga pernyataan sederhana ini berbicara banyak tentang
perlunya belajar aktif. Melvin.L.Silberman (2011: 23) memodifikasi pernyataan
Konfusius tersebut dan memperluas kata-kata bijaknya menjadi sebuah paham belajar
aktif, yaitu: Yang saya dengar, saya lupa. Yang saya dengar dan lihat, saya sedikit
ingat. Yang saya dengar, lihat, dan pertanyakan atau diskusikan dengan orang lain,
saya mulai pahami. Dari yang saya dengar, lihat, bahas, dan terapkan, saya dapatkan
pengetahuan dan keterampilan. Yang saya ajarkan kepada orang lain, saya kuasai.
Dengan pendapat tersebut guru harus berusaha meningkatkan kadar aktivitas belajar
siswa agar apa yang diharapkan dapat tercapai. Memang, mendengarkan penjelasan
guru sudah termasuk aktivitas namun barangkali kadarnya perlu ditingkatkan dengan
menggunakan metode-metode yang lain.
Umpan balik dalam proses belajar dilakukan karena siswa perlu dengan
segera mengetahui apakah yang dilakukan sudah benar atau belum. Bila ternyata
masih salah, pada bagian mana ia masih salah dan mengapa salah serta bagamana
seharusnya ia melakukan kegiatan tersebut. Untuk itu siswa perlu sekali memperoleh
umpan balik dengan segera, supaya ia tidak terlanjur berbuat kesalahan yang dapat
menimbulkan kegagalan belajar.
Belajar tidak dapat diwakilkan kepada orang lain. Tidak belajar berarti tidak
memperoleh kemampuan. Belajar dalam proses mental dan emosional terjadi secara
individual. Masing-masing siswa memiliki kadar aktivitas yang beragam. Siswa
belajar sebagai pribadi sendiri, yang memiliki perbedaan dengan siswa yang lain.
Perbedaan itu ada dalam pengalaman, minat, bakat, kebiasaan belajar, kecepatan, tipe
belajar, dan sebagainya. Di dalam menggunakan metode mengajar, guru perlu
16
menggunakan metode yang bervariasi karena tipe belajar masing-masing siswa
berbeda. Karena itu dalam kegiatan belajar mengajar, menurut Roestiyah, N.K.
(dalam Daryanto 2011: 156), guru harus memiliki strategi agar anak didik dapat
belajar secara efektif dan efisien, tepat pada tujuan yang diharapkan. Salah satu
langkah untuk memiliki strategi itu adalah harus menguasai teknik-teknik penyajian
atau biasanya disebut metode mengajar.
2.1.3.3 Pembelajaran Aktif
Pembelajaran aktif adalah suatu istilah yang memayungi beberapa model
pembelajaran yang memfokuskan tanggung jawab proses pembelajaran pada pelajar.
Bonwell dan Eison (Sunarto, 2012: 18) mempopulerkan pendekatan ini ke dalam
pembelajaran. Istilah active learning ini sudah dikenal pada tahun 1980-an.
Kemudian pada tahun 1990-an association for the study of higher education (ASHE)
memberikan laporan yang lebih lengkap tentang active learning. Dalam laporannya
tersebut mereka telah mendiskusikan berbagai metode pembelajaran untuk
memperkenalkan active learning.
Berikut pandangan dari para ahli mengenai kegiatan siswa dan lingkungan
belajar active learning yang dipaparkan oleh Missouri department of elementary and
secondary education Missouri department of elementary and secondary education
(Sunarto, 2012: 18) sebagai berikut.
1. Silberman,M (Sunarto, 2012: 19) mengggambarkan saat belajar aktif, para
siswa melakukan banyak kegiatan. Mereka menggunakan otak untuk
mempelajari ide-ide, memecahkan permasalahan, dan menerapkan apa yang
mereka belajar. Belajar aktif adalah mempelajari dengan cepat, penuh
semangat, dan keterlibatan secara pribadi untuk mempelajari sesuatu dengan
baik, harus mendengar, melihat, menjawab pertanyaan, dan
mendiskusikannya dengan orang lain. Semua itu diperlukan oleh siswa untuk
melakukan kegiatan-menggambarkannya sendiri, mencontohkan, mencoba
17
keterampilan, dan melaksanakan tugas sesuai dengan pengetahuan yang telah
mereka miliki.
2. Glasgow (Sunarto, 2012: 19) siswa aktif adalah siswa yang bekerja keras
untuk mengambil tanggung jawab lebih besar dalam proses belajarnya sendiri.
Mereka mengambil suatu peran yang lebih dinamis dalam memutuskan apa
dan bagaimana mereka harus mengetahui, apa yang harus mereka lakukan,
dan bagaimana mereka akan melakukan itu. Peran mereka kemudian akan
semakin luas untuk self/ management, dan memotivasi diri untuk menjadi
suatu kekuatan yang lebih besar yang dimiliki siswa.
3. Model dan Michael (Sunarto, 2012: 19) menggambarkan suatu lingkungan
belajar aktif adalah lingkungan belajar dimana para siswa secara individu
didukung untuk terlibat aktif dalam proses membangun model mentalnya
sendiri dari informasi yang mereka peroleh.
4. UC Davis TAC Handbook (Sunarto, 2012: 19), active learning adalah suatu
pendekatan pembelajaran yang melibatkan siswa untuk menjadi guru bagi
mereka sendiri. Active learning adalah suatu pendekatan bukan metode.
Menurut Joel Wein (Sunarto, 2012: 19-20) mendefinisikan active learning
adalah nama suatu pendekatan untuk mendidik para siswa dengan memberikan peran
yang lebih aktif di dalam proses pembelajaran. Unsur umum di dalam pendekatan ini
adalah bahwa guru dipindahkan peran kedudukannya dari yang paling berperan depan
suatu kelas dan mempresentasikan materi pelajaran; menjadi para siswalah yang
berada pada posisi pengajaran diri mereka sendiri, dan guru diubah menjadi seorang
pelatih dan penolong di dalam proses situ.
Akhirnya pada tahun 2004 sebagimana dikatakan oleh Mayer (Sunarto, 2012:
20) strategi seperti “active learning” sudah berkembang luas hampir pada semua
kelompok teori yang mengenalkan tentang pembelajaran yang mana siswa dapat
menemukan sendiri. Bruner (Sunarto, 2012: 20) menjelaskan bahwa asalkan siswa
18
sudah terlibat dalam proses pembelajaran, kemudian dapat mengingat kembali
informasi yang telah diberikan sebelumnya, itu sudah dikatakan siswa aktif. Tetapi
penjelasan itu ditentang oleh Mayer (Sunarto, 2012: 20); Kairschner, Sweller, and
Clark, 2006 (Sunarto, 2012: 20) yang pada intinya mengatakan bahwa aktif
menjelaskan bahwa siswa aktif tidak hanya sekedar hadir di kelas, menghafalkan dan
akhirnya mengerjakan soal-soal di akhir pelajaran. Siswa harus terlibat aktif baik
secara fisik maupun mental. Siswa semestinya juga aktif melakukan praktik dalam
proses pembelajaran.
Bonwell dan Eison (Sunarto, 2012: 20) memberikan beberapa contoh
pembelajaran aktif seperti pembelajaran berpasang-pasangan, berdiskusi, bermain
peran, debat, studi kasus, terlibat aktif dalam kerja kelompok, atau membuat laporan
singkat dan sebagainya. Disarankan agar guru menjadi pemandu sepanjang tahap
awal pembelajaran, kemudian biarkan anak melakukan praktik keterampilan baru
kemudian memberikan informasi-informasi baru yang belum diketahui siswa selama
pembelajaran. Disarankan penggunaan active learning pada saat siswa telah
mengenal materi sebelumnya, dan mereka telah memiliki suatu pemahaman yang
baik menyangkut materi sebelumnya.
Menurut Sunarto (2012: 21) active learning adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan lebih aktif
dalam proses pembelajaran (mencari informasi, mengolah informasi, dan
menyimpulkannya untuk kemudian diterapkan/ dipraktikan) dengan menyediakan
lingkungan belajar yang membuat siswa tidak tertekan dan senang melaksanakan
kegiatan belajar.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa active
learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang memfasilitasi siswa untuk
berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran dalam mencari, mengolah,
menyimpulkan, membagi/ menerapkan informasi dengan suasana yang
19
menyenangkan serta tanpa merasa terpaksa dan dirugikan serta memahami dan dapat
menerapkan apa yang telah mereka alami dari pembelajaran.
2.1.4 Hasil Belajar
Keberhasilan dari kegiatan proses belajar mengajar dapat diketahui dari hasil
belajar. Menurut E. Mulyasa penilaian hasil belajar pada hakikatnya merupakan suatu
kegiatan untuk mengukur perubahan perilaku yang telah terjadi pada diri peserta
didik. Pada umumnya, hasil belajar akan memberikan pengaruh dalam dua bentuk:
(1) peserta didik akan mempunyai perspektif terhadap kekuatan dan kelemahannya
atas perilaku yang diinginkan; (2) mereka mendapatkan bahwa perilaku yang
diinginkan itu telah meningkat baik setahap atau dua tahap sehingga timbul lagi
kesenjangan antara penampilan perilaku yang sekarang dengan perilaku yang
diinginkan. Kesinambungan tersebut merupakan dinamika proses belajar sepanjang
hayat dan pendidikan yang berkesinambungan. Dikatakan demikian karena
kesenjangan itu akan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
jaman, dan hal tersebut perlu dilakukan penilaian secara terus-menerus untuk
mengetahui kebutuhan berikutnya (E. Mulyasa, 2008: 208).
Menurut E. Mulyasa (2006: 210) ada 5 kriteria keberhasilan belajar, yaitu :
1. Sekurang-kurangnya 75% isi dan prinsip-prinsip pembelajaran dapat
dipahami, diterima, dan diterapkan oleh para peserta didik dan guru di kelas.
2. Sekurang-kurangnya 75% peserta didik merasa mendapat kemudahan, senang
dan memiliki kemauan belajar yang tinggi.
3. Para peserta didik berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran.
4. Materi yang dikomunikasikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan
mereka memandang bahwa hal tersebut akan sangat berguna bagi
kehidupannya kelak.
5. Pembelajaran yang dikembangkan dapat menumbuhkan minat belajar para
peserta didik untuk belajar lebih lanjut (Contunuing).
20
Hasil belajar berupa perubahan perilaku atau tingkah laku. Seseorang yang
belajar akan berubah atau bertambah perilakunya, baik yang berupa pengetahuan,
keterampilan motorik, atau penguasaan nilai-nilai (sikap). Perubahan perilaku sebagai
hasil belajar ialah perubahan yang dihasilkan dari pengalaman (interaksi dengan
lingkungan), dimana proses mental dan emosional terjadi.
Menurut Sudjana (2005: 3) Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh sebab itu dalam penilaian hasil belajar, peranan instruksional yang berisi rumusan kemampuan dan tingkah laku yang diinginkan dan dikuasai oleh siswa menjadi unsur penting sebagai dasar dan acuan penilaian.
Hasil belajar merupakan kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley (Sudjana 2005: 22) membagi tiga macam hasil belajar, yakni (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Sedangkan Gagne (Sudjana 2005: 22) membagi lima kategori hasil belajar, yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) keterampilan motoris. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotoris: 1) Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang teridiri dari enam
aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, sistesis, dan
evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek
berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi.
2) Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisani, dan internalisasi.
3) Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan
bertindak. Ada enam ranah psikomotoris, yakni (a) gerakan refleks, (b)
keterampilan gerakan dasar, (c) kemampuan perseptual, (d) keharmonisan atau
21
ketepatan, (e) gerakan keterampilan kompleks, dan (f) gerakan ekspresif dan
interpretatif.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah perubahan perilaku atau tingkah laku yang berupa koqnitif, apektif,
dan psikomotorik yang dihasilkan secara bertahap dan berkesinambungan melalui
pengalaman yang diciptakan oleh orang lain atau diri sendiri dalam lingkup ruang
tertentu.
2.1.5 Metode Tari Bambu Dalam Model Pembelajaran Kooperatif
2.1.5.1 Hakikat Metode Pengajaran
Metode berasal dari dua kata, yaitu meta dan hodos. Meta berarti ‘melalui’
dan hodos berarti ‘jalan’ atau ‘jalan’. Dengan demikian metode dapat diartikan cara
atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Ada juga yang
mengartikan bahwa metode adalah suatu sarana untuk menemukan, menguji, dan
menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin tersebut. Menurut
Sanjaya (Haryono, 2013: 69) metode belajar diartikan sebagai away inachieving
something. Singkatnya metode adalah jalan untuk mencapai tujuan (Hamid Darmadi,
2009: 42). Al-Syaibany (dalam, Hamid Darmadi, 2009: 43) memberikan takrif
metode jika dikaitkan dengan proses belajar mengajar, sebagai berikut: “Metode
mengajar bermakna segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru
dalam rangka kemestian-kemestian matapelajaran yang diajarkan, ciri-ciri
perkembangan murid-muridnya untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan
perubahan yang dikehendaki pada tingkahlaku mereka. Selanjutnya menolong
mereka memperoleh maklumat, pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, sikap, minat
dan nilai-nilai yang diinginkan’. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa metode adalah suatu cara atau jalan yang digunakan untuk mencapai sesuatu
yang ingin dicapai atau dikehendaki melalui proses yang tersusun dan terarah.
22
Berdasarkan pandangan secara umum fungsi metode adalah sebagai pemberi
jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dan ilmu
pendidikan. Sedangkan dalam kontek lain metode merupakan sarana untuk
menemukan, menguji, dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan
disiplin suatu ilmu. Dengan melihat penjelasan diatas kita bisa menyimpulkan bahwa
metode dalam pembelajaran sangatlah penting, karena hal inilah yang membantu
dalam mencapai keberhasilan dalam pembelajaran.
2.1.5.2 Pembelajaran Kooperatif (Kooperative Learning)
Menurut Scott Gordon (Lie, 2010: 41), pada dasarnya manusia senang
berkumpul dengan yang sepadan dan membuat jarak dengan yang berbeda. Namun,
pengelompokan dengan orang lain yang sepadan dan serupa ini bisa menghilangkan
kesempatan anggota kelompok untuk memperluas wawasan dan memperkaya diri,
karena dalam kelompok homogeny tidak terdapat banyak perbedaan yang bisa
mengasah proses berpikir, bernegoisasi, beragumentasi, dan berkembang.
Pengelompokan heterogenitas (kemacamragaman) merupakan ciri-ciri yang menonjol
dalam metode pembelajaran kelompok Cooperative Learning. (Lie 2010: 41).
Pembelajaran kooperatif akan memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja
sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang tertrukstur. Melalui pembelajaran
kooperatif pula, seorang siswa akan menjadi sumber belajar bagi temannya yang lain.
Lie (Made Wena, 2012: 188-189) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif
dikembangkan dengan dasar asumsi bahwa proses belajar akan lebih bermakna jika
peserta didik dapat saling mengajari. Walaupun dalam pembelajaran kooperatif siswa
dapat belajar dari dua sumber belajar utama, yaitu pengajar dan teman belajar lain.
Menurut Slavin, dalam pembelajaran kooperatif, para siswa akan duduk
bersama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi
yang disampaikan oleh guru. Jhonson mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif
adalah pengelompokan siswa di dalam kelas dalam suatu kelompok kecil agar siswa
23
dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan
mempelajari satu sama lain. Dalam pembelajaran kooperatif siswa tidak hanya
sebagai objek belajar tetapi sebagai subjek belajar karena mereka dapat berkreasi
secara maksimal dalam proses pembelajaran. Hal ini terjadi karena pembelajaran
kooperatif merupakan model alternative dalam mendekati permasalahan, mampu
mengerjakan tugas besar, meningkatkan keterampilan komunikasi dan social, serta
perolehan kepercayaan diri. Dalam pembelajaran ini siswa saling mendorong dalam
untuk belajar, saling memperkuat upaya-upaya akademik dan menerapkan norma
yang menunjang pencapaian hasil belajar yang tinggi. (Nur, 1996: 4, dalam Puji
Purnomo, dkk, 2008: 137). Dalam pembelajaran kooperatif lebih mengutamakan
sikap social untuk mencapai tujuan pembelajaran yaitu dengan cara bekerjasama.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa,
pembelajaran kooperatif adalah suatu kegitan pembelajaran yang dilakukan dengan
cara berkelompok dan atau teman sebaya yang lebih dari satu secara heterogen untuk
mencapai tujuan pembelajaran dengan cara bergotong royong dan bekerjasama serta
memiliki tanggungjawab yang sama.
2.1.5.3 Model Pembelajaran Kooperatif
Cooperative learning berasal dari cooperative yang artinya mengerjakan
sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lain sebagai satu
kelompok atau satu tim. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu model
pembelajaran yang menuntut siswa untuk bekerjasama dalam mencapai suatu tujuan
pembelajaran.
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran kelompok
yang memiliki aturan-aturan tertentu. Prinsip dasar pembelajaran kooperatif adalah
siswa membentuk kelompok kecil dan saling mengajar sesamanya untuk mencapai
tujuan tertentu tanpa merasa dirugikan satu dengan yang lain. Dalam pembelajaran
kooperatif, siswa pandai mengajar siswa yang kurang pandai tanpa merasa dirugikan.
24
Siswa kurang pandai dapat belajar dalam suasana yang menyenangkan karena banyak
teman yang membantu dan memotivasinya. Siswa yang sebelumnya terbiasa bersikap
pasif setelah menggunakan pembelajaran kooperatif akan terpaksa berpartisipasi
secara aktif agar bisa diterima oleh anggota kelompoknya. (Priyanto, 2007 dalam
Made Wena, 2012: 189).
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar menciptakan
interaksi yang silih asah sehingga sumber belajar bagi siswa bukan hanya guru dan
buku ajar, tetapi juga sesama siswa (Nurhadi dan Senduk, dalam Made Wena, 2012:
189). Menurut Lie (dalam Made Wena, 2012: 189) pembelajaran kooperatif adalah
sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama
dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang tertrukstur, dan dalam sistem ini guru
bertindak sebagai fasilitator. Sedangkan Abdurahman dan Bintoro (dalam Made
Wena, 2012: 189) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran
yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang silih asah, silih
asih, dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam masyarakat
nyata. Menurut Made Wena (2012: 189) pembelajaran kooperatif adalah sistem
pembelajaran yang berusaha memanfaatkan teman sejawat (siswa lain) sebagai
sumber belajar, disamping guru dan sumber belajar yang lain. Sedangkan Ngalimun
menyatakan, bahwa pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan
cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksi konsep,
menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok
kohenif (kompak-partisipatif), tiap kelompok terdiri dari 4-5 orang, siswa heterogen
(kemampuan, gender, karakter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung
jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi (Ngalimun, 2013: 161-162).
Berdasarkan beberapa pengertian dari para ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran berkelompok yang terdiri
dari kemampuan, gender, karakter yang berbeda yang saling bekerjasama dalam
mencapai tujuan pembelajaran dengan ketentuan yang telah ditetapkan dan
25
didampingi oleh guru sebagai fasilitator serta memanfaatkan berbagai sumber belajar
yang ada.
2.1.5.4 Keterampilan-keterampilan kooperatif
Pembelajaran kooperatif akan terlaksana dengan baik jika siswa memiliki
keterampilan-keterampilan kooperatif. Keterampilan-keterampilan kooperatif yang
perlu dimiliki siswa seperti diungkapkan Nur (Puji Purnomo, dkk, 2008: 137-138)
adalah keterampilan kooperatif tingkat awal, tingkat menegah, dan tingkat mahir.
1. Keterampilan kooperatif tingkat awal : (a) menggunakan kesepakatan,
menghargai kontribusi; (b) menggunakan suara pelan; (c) mengambil giliran
dan berbagi tugas; (d) berada dalam kelompok; (e) berada dalam tugas; (f)
mendorong partisipasi; (g) mengundang orang lain untuk berbicara; (h)
menyelesaikan tugas tepat waktu; (i) menyebutkan nama dan memandang
bicara; (j) mengatasi gangguan; (k) menolong tanpa memberi jawaban; dan (l)
menghormati perbedaan individu.
2. Keterampilan kooperatif tingkat menengah ; (a) menunjukkan penghargaan
dan simpati; (b) menggunakan pesan “saya”; (c) menyatakan ketidak-setujuan
dengan cara yang dapat diterima; (d) mendengarkan dengan aktif; (e)
bertanya; (f) membuat ringkasan; (g) menafsirkan; (h) mengatur dan
mengorganisir; (i) memeriksa ketepatan; (j) menerima tanggunjawab; (k)
menggunakan kesabaran; dan (l) menunjukan sikap tetap tenang/
menguketegangan.
3. Keterampilan kooperatif tingkat mahir : (a) mengelaborasi; (b) memeriksa
secara cermat; (c) menanyakan kebenaran; (d) menganjurkan suatu posisi; (e)
menetapkan tujuan; (f) berkomporomi; dan (g) menghadapi masalah khusus.
(Puji Purnomo, 2008: 138).
26
2.1.5.5 Unsur-unsur Dasar Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat
elemen-elemen yang saling terkait. Menurut Nurhadi & Senduk dan Lie (dalam Made
Wena, 2012: 190-191) ada berbagai elemen yang merupakan ketentuan pokok dalam
pembelajaran kooperatif, yaitu (a) saling ketergantungan positif (positive
interdedependence); (b) interaksi tatap muka (face to face interaction); (c)
akuntabilitas individual (individual accountability), dan (d) keterampilan untuk
menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan social yang secara sengaja
diajarkan (use of collarative/ social skill).
2.1.5.5.1 Saling Ketergantungan Positif
Sistem pembelajaran kooperatif, guru dituntut untuk mampu menciptakan
suasana belajar yang mendorong agar siswa saling membutuhkan. Siswa yang satu
membutuhkan siswa yang lain, demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini kebutuhan
antara siswa tentu terkait dengan pembelajaran (bukan kebutuhan yang berada di luar
pembelajaran). Hubungan yang saling membutuhkan antara siswa satu dengan siswa
yang lain inilah yang disebut dengan saling ketergantungan positif. Dalam
pembelajaran kooperatif setiap anggota kelompok sadar bahwa mereka perlu bekerja
sama dalam mencapai tujuan. Suasana saling ketergantungan tersebut dapat
diciptakan melalui berbagai strategi, yaitu sebagai berikut:
1) Saling ketergantungan dalam mencapai tujuan. Dalam hal ini masing-masing
siswa merasa memerlukan temannya dalam usaha mencapai tujuan
pembelajaran.
2) Saling ketergantungan dalam penyelesaian tugas. Dalam hal ini masing-
masing siswa membutuhkan teman dalam menyelesaikan tugas-tugas
pembelajaran. Siswa yang kurang pandai merasa perlu bertanya pada siswa
yang lebih pandai, sebaliknya yang lebih pandai merasa berkewajiban untuk
mengajari temannya yang belum bisa.
27
3) Saling ketergantungan bahan atau sumber belajar. Siswa yang tidak memiliki
sumber belajar (misalnya buku) akan berusaha meminjam pada temannya,
sedangkan yang memiliki sumber belajar merasa berkewajiban untuk
meminjamkan pada temannya.
4) Saling ketergantungan peran. Siswa yang sebelumnya mungkin sering
bertanya (karena belum paham pada suatu masalah) pada temannya, suatu saat
ia akan berusaha mengajari temannya yang mungkin mengalami masalah
(berperan sebagai pengajar), demikian pula siswa yang sebelumnya sering
meminjam bahan ajar (buku) pada temannya, suatu saat ia akan meminjamkan
bahan ajar yang ia miliki pada temannya yang membutuhkan, dan sebagainya.
5) Saling ketergantungan hadiah. Penghargaan/hadiah diberikan kepada
kelompok, karena hasil kerja adalah hasil kerja kelompok; bukan hasil kerja
individual/perseorangan. Sedangkan keberhasilan kelompok dalam mencapai
tujuan pembelajaran bergantung pada keberhasilan setiap anggota/individu
kelompok. Itulah sebabnya setiap anggota kelompok dituntut bertanggung-
jawab, bekerja keras mensukseskan kelompoknya dengan cara berpartisipasi
secara aktif dan konstruktif.
2.1.5.5.2 Interaksi Tatap Muka
Interaksi tatap muka menuntut para siswa dalam kelompok saling bertatap
muka sehingga mereka dapat melakukan dialog, tidak hanya dengan guru, tetapi juga
dengan sesama siswa (Nurhadi & Senduk, dalam Made Wena, 2012: 191). Jadi dalam
hal ini, semua anggota kelompok berinteraksi saling berhadapan, dengan menerapkan
keterampilan bekerja sama untuk menjalin hubungan sesama anggota kelompok.
Dalam hal ini antaranggota kelompok melaksanakan aktivitas-aktivitas dasar seperti
bertanya, menjawab pertanyaan, menunggu dengan sabar teman yang sedang
memberi penjelasan, berkata sopan, meminta bantuan, memberi penjelasan, dan
28
sebagainya. Pada proses pembelajaran yang demikian para siswa dapat saling
menjadi sumber belajar sehingga sumber belajar lebih bervariasi.
2.1.5.5.3 Akuntabilitas Individual
Mengingat pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dalam bentuk
kelompok, maka setiap anggota harus belajar dan menyumbangkan fikiran demi
keberhasilan pekerjaan kelompok. Untuk mencapai tujuan kelompok (hasil belajar
kelompok), setiap siswa (individu) harus bertanggung jawab terhadap penguasaan
materi pembelajaran secara maksimal, karena hasil belajar kelompok didasari atas
rata-rata nilai anggota kelompok. Kondisi belajar yang demikian akan mampu
menumbuhkan tanggung jawab (akuntabilitas) pada masing-masing individu siswa.
Tanpa adanya tanggung jawab individu, keberhasilan kelompok akan sulit dicapai.
2.1.5.5.4 Keterampilan Menjalin Hubungan Antarpribadi
Dalam pembelajaran kooperatif dituntut untuk membimbing siswa agar dapat
berkolaborasi, bekerjasama dan bersosialisasi antaranggota kelompok. Dengan
demikian, dalam pembelajaran kooperatif, keterampilan sosial seperti tenggang rasa,
sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, berani
mempertahankan fikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri, dan berbagai
sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antarpribadi tidak hanya
diasumsikan, tetapi secara sengaja diajarkan oleh guru. Dalam hal ini siswa yang
tidak dapat menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya memperoleh teguran dari
guru tetapi juga teguran sesama siswa. Dengan adanya teguran tersebut siswa secara
perlahan dan pasti akan berusaha menjaga hubungan antarpribadi.
Menurut Lie (dalam Made Wena, 2012: 192) ada tiga hal penting yang perlu
diperhatikan dalam pengelolaan kelas model pembelajaran kooperatif, yaitu (a)
pengelompokan, (b) semangat pembelajaran kooperatif, dan (c) penataan ruang kelas.
Ketiga faktor tersebut harus diperhatikan dan dijadikan pijakan dasar oleh guru dalam
29
menerapkan pembelajaran kooperatif dalam kelas. Tanpa memperhatikan masalah
tersebut, tujuan-tujuan pembelajaran kooperatif sulit tercapai.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar
berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan pengembangan
keterampilan sosial. Utnuk mencapai hasil belajar itu model pembelajaran kooperatif
menuntut kerjasama dan interdependensi peserta didik dalam struktur tugas, struktur
tujuan, dan struktur reword-nya. Struktur tugas berhubungan bagaimana tugas
diorganisir. Struktur tujuan dan reword mengacu pada derajat kerjasama atau
kompetisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan maupun reword. Suprijono Agus
(2009: 61).
Table 2.1
Tahap-Tahap Pembelajaran Kooperatif
Tahap Perilaku Guru Tahap 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang akan dicapai pada materi yang dipelajari dan memotivasi siswa untuk belajar.
Tahap 2 Menyajikan informasi atau materi pelajaran
Menyajikan informasi atau materi pelajaran kepada siswa baik dengan demontrasi atau bahan bacaan.
Tahap 3 Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
Menjelaskan kepada siswa bagamana membentuk kelompok belajar dan bekerjasama dengan kelompok agar terjadi perubahan yang efisien.
Tahap 4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Mengamati, mendorong, dan membimbing siswa dalam menyelesaikan tugas.
Tahap 5 Evaluasi
Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.
Tahap 6 Mengumumkan pengakuan atau penghargaan
Memberikan umpan balik terhadap hasil kerja seluruh kelompok dan memberi penghargaan kepada kelompok yang telah menunjukkan hasil kerja kelompok.
30
2.1.6 Metode Pembelajaran Tari Bambu (Bamboo Dancing)
2.1.6.1 Pengertian Pembelajaran Tari Bambu
Metode Tari Bambu dikembangkan oleh Anita Lie (Huda Miftahul 2013: 249-
251). Metode ini merupakan modifikasi dari metode Inside Outside Circle. Di
beberapa kelas, metode IOC sering kali tidak bisa dilaksanakan karena kondisi
penataan ruang kelas yang tidak menunjang. Tidak ada cukup ruang di dalam kelas
untuk membentuk lingkaran dan tidak selalu memungkinkan untuk membawa siswa
keluar dari ruang kelas dan belajar di alam bebas. Kebanyakan ruang kelas di
Indonesia ditata dengan model klasikal/ tradisional. Bahkan, banyak penataan
tradisional yang bersifat permanen, seperti kursi dan meja yang sulit dipindahkan.
Disinilah, Tari Bambu bisa menjadi alternatif untuk masalah tersebut.
Metode ini diberi nama Tari Bambu karena siswa berjajar dan saling
berhadapan dengan model yang mirip seperti dua potong bambu yang digunakan
dalam tari bambu dari Filipina yang juga popular di beberapa daerah di Indonesia.
Kegiatan belajar mengajar dalam metode ini, siswa dapat saling berbagi
informasi pada saat yang bersamaan. Metode ini bisa digunakan dalam beberapa mata
pelajaran, seperti agama, IPS, matematika, dan bahasa. Bahan pelajaran yang paling
cocok digunakan dengan metode ini adalah bahan yang membutuhkan pertukaran
pengalaman, fikiran, dan informasi antarsiswa.
Salah satu keunggulan dari metode ini adalah adanya struktur yang jelas dan
memungkinkan siswa untuk berbagi dengan pasangan yang berbeda dengan singkat
dan teratur. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong
royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan
meningkatkan keterampilan komunikasi. Metode pembelajaran Tari Bambu bisa
digunakan untuk semua tingkatan usia anak didik. Lie, Anita (2010: 67).
31
2.1.6.2 Langkah-langkah Metode Pembelajaran Tari Bambu
Pembelajaran dengan tipe Tari Bambu diawali dengan pengenalan topik oleh
guru. Guru bisa menuliskan topik tersebut di papan tulis atau dapat pula bertanya
jawab apa yang diketahui siswa mengenai topik itu. Kegiatan sumbang saran ini
dimaksudkan untuk mengaktifkan struktur koqnitif yang telah dimiliki siswa agar
lebih siap menghadapi pelajaran yang baru.
Selanjutnya, guru membagi kelas menjadi dua kelompok besar. Aturlah
sedemikian rupa pada tiap-tiap kelompok besar berdiri berjajar dan saling berhadapan
dengan yang lain yang juga dalam posisi berdiri berjajar. Dengan demikian di dalam
tiap-tiap kelompok besar mereka saling berpasang-pasangan. Pasangan ini disebut
pasangan awal. Bagikan tugas kepada tiap pasangan untuk dikerjakan atau dibahas.
Pada kesempatan itu berikan waktu yang cukup kepada mereka agar mendiskusikan
tugas yang diterimanya.
Usai diskusi, setiap orang dari kelompok besar akan yang berdiri akan berjajar
saling berhadapan itu bergeser mengikuti arah jarum jam. Dengan cara ini tiap-tiap
siswa akan mendapat pasangan baru dan berbagi informasi, demikian seterusnya.
Pergeseran searah jarum jam baru terhenti tiap-tiap siswa kembali ke pasangan awal.
Setelah melakukan diskusi, guru memimpin tanya jawab dengan kelompok dan
ditanggapi oleh kelompok yang lain untuk mengetahuai hasil diskusi dari tiap-tiap
kelompok. Guru memfasilitasi terjadinya intersubjektif, dialog interaktif, Tanya
jawab, dan sebagainya. Kegiatan ini dimaksudkan agar pengetahuan yang diperoleh
melalui diskusi di tiap-tiap kelompok besar dapat diobjektifikasi dan menjadi
pengetahuan bersama seluruh kelas.
2.1.6.3 Metode Tari Bambu Dalam Pembelajaran IPA
Tipe Tari Bambu dapat diterapkan dalam pelajaran IPA, adapun penerapan
pada saat proses pembelajaran IPA dengan menggunakan Tari Bambu, yaitu:
32
Tabel 2.2 Penerapan Metode Tari Bambu dalam Pembelajaran IPA
No Tahap Tari Bambu Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1 Menyampaikan tujuan
dan memotivasi siswa Mengenalkan topik pembelajaran kepada siswa
Kegiatan sumbang saran
Membangkitkan minat dan keingintahuan siswa terhadap topik bahasan Sumber Energi dan Kegunaannya.
Mengembangkan minat dan rasa ingin tahu terhadap pokok bahasan Sumber Energi dan Kegunaannya.
Mengkaitkan pokok bahasan Sumber Energi dan Kegunaannya dengan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Berusaha mengingat pengalaman sehari-hari dan menghubungkanya dengan pokok bahasan Sumber Energi dan Kegunaannya.
2 Menyajikan informasi Mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan pokok bahasan Sumber Energi dan Kegunaannya.
Memberikan respon terhadap pertanyaan guru.
3 Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelmpok belajar
Membentuk kelas ke dalam empat kelompok besar dan berdiri berjajar saling berhadapan.
Membentuk kelas ke dalam empat kelompok besar dan berdiri berjajar saling berhadapan.
4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Memfasilitasi siswa dalam diskusi kelompok dan memberikan kesempatan masing-masing kelompok untuk menemukan konsep “Sumber Energi dan Kegunaannya”.
Melakukan diskusi dan bekerja sama dalam kelompok untuk menemukan konsep “Sumber Energi dan Kegunaannya”.
Mengorganisasikan kelompok secara
Usai diskusi, setiap orang dari tiap
33
prosedur kelompok besar yang berdiri berjajar saling berhadapan itu bergeser mengikuti arah jarum jam.
Dengan cara ini tiap-tiap siswa akan mendapat pasangan baru dan berbagi informasi, demikian seterusnya. Pergeseran searah jarum jam baru terhenti ketika tiap-tiap siswa kembali ke pasangan semula.
5 Evaluasi Meminta salah satu perwakilan dari kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas dengan menggunakan kalimat sendiri atau tanyajawab oleh guru yang dilemparkan kepada kelompok.
Mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas dan mencoba memberi penjelasan terhadap konsep “Sumber Energi dan Kegunannya” yang telah ditemukan.
Mengklarifikasikan konsep-konsep siswa yang masih salah dan menjelaskan konsep “Sumber Energi dan Kegunaannya” yang harus dipahami siswa.
Mencermati dan berusaha memahami penjelasan guru.
6 Mengumumkan pengakuan atau penghargaan
Memberikan umpan balik terhadap hasil kerja seluruh kelompok dan memberikan penghargaan kepada kelompok yang telah menunjukkan hasil kerja baik.
Menerima umpan balik terhadap hasil kerja seluruh kelompok dan menerima penghargaan untuk kelompok yang telah menunjukkan hasil
34
kerja baik. Memberikan
pertanyaan kepada siswa mengenai proses Sumber Energi dan Kegunaannya, siapa yang menjawab benar dan banyak secara cepat akan mendapatkan hadiah.
Siswa berlomba menjawab pertanyaan dengan cepat dan benar.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Sugiati,
Wahyudi, dan Warsiti (2013) dengan penelitian yang berjudul “ Penerapan Model
Pembelajaran Kooperatif Teknik Tari Bambu Dalam Peningkatkan Pembelajaran IPA
Siswa Kelas III SDN 3 Grenggeng” dari hasil selama kegiatan PTK ini didapatkan
data dari hasil observasi guru dalam mengajar pada siklus I dengan jumlah skor 2,9,
siklus II jumlah skor 3,2, dan pada siklus III jumlah skor 3,6, sedangkan hasil
observasi siswa pada siklus I jumlah skor 2,9, siklus II jumlah skor penilaian 3,2, dan
siklus III jumlah skor penilaian mencapai 3,6. Berdasarkan perolehan hasil belajar
(posttest) pada siklus I ketuntasan hasil belajar IPA siswa sebanyak 85% atau
sebanyak 23 siswa yang tuntas dari jumlah 27 siswa, pada siklus II sebanyak 89%
atau sebanyak 23 siswa, dan pada siklus III ketuntasan hasil belar siswa meningkat
menjadi 93% atau sebanyak 25 siswa. Persentase ketuntasan hasil belajar yang
diperoleh dari ketiga siklus dapat melebihi indicator capaian penelitian yaitu 85%
dari jumlah siswa. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan model
pembelajaran kooperatif teknik tari bambu dapat meningkatkan pembelajaran tentang
gerak benda pada siswa kelas III.
Suheni Dara Yusnita Rambe (2012) dengan judul penelitian “Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Bamboo Dancing Pada Mata Pelajaran IPA Di Kelas IV SD Negeri 118431 Binanga
35
Tolang Tahun Ajaran 2011/2012”. Data yang dikumpulkan dari penelitian ini berupa
pretes diperoleh rata-rata pengetahuan awal siswa tentang materi perubahan
lingkungan sebesar 23,5 dan presentase ketuntasan klasikal 0%. Setelah dilakukan
siklus I selama 2 kali pertemuan, dari hasil postes rata-rata hasil belajar IPA siswa
meningkat menjadi sebesar 66,8 dengan presentase ketuntasan secara klasikal 73,3%
(belum mencapai ketuntasan optimal secara klasikal). Selanjutnya setelah dilakukan
perbaikan pada siklus II selama 2 kali pertemuan, dari hasil postes siklus II rata-rata
hasil belajar siswa pada materi perubahan lingkungan meningkat menjadi sebesar
81,2 dengan presentase ketuntasan secara klasikal 96,7% (secara klasikal telah
mencapai ketuntasan hasil belajar). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
dengan penggunaan model pembelajaran kooperatif melalui bamboo dancing dapat
meningkatkan hasil belajar pokok bahasan perubahan lingkungan pada siswa di kelas
IV SD Negeri 118431 Binanga Tolang Tahun Ajaran 2011/2012.
Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian diatas, diperoleh hasil bahwa
pembelajaran dengan menggunakan Kooperatiif tipe Tari Bambu dapat meningkatkan
hasil belajar siswa. Peningkatan keaktifan dan hasil belajar ini dapat dilihat dari
perubahan angka ketuntasan pada siklus I hingga siklus II. Dengan demikian,
penggunaan model pembelajaran Kooperatif tipe Tari Bambu dapat meningkatkan
keaktifan dan hasil belajar siswa sesuai dengan penelitian-penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya. Namun demikian, masih perlu dibuktikan lagi melalui
penelitian tindakan kelas ini.
2.3 Kerangka Berpikir
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cabang ilmu pengetahuan yang
penting dan semakin dirasakan kegunaannya. Hal penting dalam belajar IPA adalah
untuk melatih diri berpikir dan bertindak secara ilmiah dan rasional. Namun, pada
kenyataannya IPA sering kali dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dan
membosankan serta menakutkan sehingga minat dan hasil belajar yang diperoleh
siswa masih rendah.
36
Untuk memperoleh hasil belajar IPA yang baik diperlukan suatu model dan
metode pembelajaran yang meransang partisipasi aktif dan kooperatif dari siswa.
Dalam hal ini siswa diberi kesempatan untuk berbagi informasi dengan teman sebaya
yang bertujuan agar siswa lebih memahami IPA. Sedangkan guru memberikan
informasi yang dirancang untuk membantu siswa dalam menyelesaikan masalah yang
diberikan dan memberikan tugas serta soal-soal yang harus diselesaikan siswa.
Pembelajaran tersebut dapat diperoleh dengan menerapkan model
pembelajaran kooperatif metode tari bambu. Metode ini dikembangkan oleh Anita
Lie untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar saling berbagi informasi pada
saat yang bersamaan. Metode pembelajaran tari bambu bisa digunakan untuk semua
tingkatan usia peserta didik. Metode pembelajaran ini menghadirkan suasana belajar
IPA yang aktif dan menyenangkan, sehingga diharapkan siswa dapat menerima
pelajaran secara maksimal. Salah satu keunggulan metode ini adalah adanya struktur
yang jelas dan memungkinkan siswa untuk berbagi informasi mengenai apa yang
telah mereka pahami tentang materi yang diajarkan dengan pasangan yang berbeda
dengan singkat dan teratur. Selain itu, siswa bekerja dengan sesam siswa dalam
suasana gotong royong dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi untuk
memahami materi yang dipelajari. Penerapan model pembelajaran kooperatif metode
tari bambu dapat melibatkan siswa dalam proses pembelajaran IPA baik secara fisik
maupun mental. Jika siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktikan dan
mendiskusikan materi pelajaran, maka siswa akan lebih banyak ingat mengenai
pelajaran yang diberikan.
Dari uraian di atas terlihat bahwa ada kaitan antara model pembelajaran
kooperatif tipe tari bambu terhadap hasil belajar IPA, maka melalui model
pembelajaran kooperatif tipe tari bambu diduga dapat berpengaruh terhadap hasil
belajar IPA. Secara grafis pemikiran yang dilakukan oleh peneliti dapat digambarkan
dalam bentuk diagram sebagai berikut.
37
Bagan 2.1
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan teori – teori di atas dapat diambil suatu hipótesis bahwa dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Tari Bambu Dapat meningkatkan
hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA Kelas II SDN Mangunsari 01 Kecamatan
Sidomukti Kota Salatiga pada materi IPA tentang sumber energi dan kegunaannya.
Guru menggunakan metode konvensional
Kondisi awal
Guru menggunakan metode Tari Bambu
Siklus 1 1.Perencanaan 2.Tindakan (menggunakan model TB dan tanpa media pembelajaran) 3.Refleksi
Siklus 2 1.Perencanaan 2.Tindakan(Guru menggunakan metode TB dan media pembelajaran dalam menyampaikan materi) 3.Refleksi
Hasil belajar siswa rendah dikarenakan siswa belum menguasai pembelajaran dengan mudah
Pembelajaran berhasil dan hasil belajar meningkat atau tuntas.
Tindakan
Kondisi akhir