Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Otonomi Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
daerah, mengartikan otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”.Sedangkat menurut Kaloh (2007:13) mengartikan “otonomi daerah
sebagai suatu instrumen politik dan instrumen administrasi/manajemen yang
digunakan untuk mengoptimalkan sumber daya lokal sehingga dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemajuan masyarakat di daerah, terutama
menghadapi tantangan global, mendorong pemberdayaan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat,
dan mengembangkan demokrasi”. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan,
bahwa otonomi daerah merupakan suatu perluasaan kekuasaan dalam
menenentukan aturan sendiri dalam memenuhi kebutuhan daerah sesuai dengan
potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh daerah berdasarkan peraturan
perundang-undangan.Berdasarkan ulasan di atas mengenai otonomi daerah
dapat diketahui bahwa pada saat ini pemerintah daerah memiliki keleluasaan
dalam mengelola kekayaan dan sumberdaya yang dimilikinya, adanya otonomi
daerah diharapkan sangat berperan dalam meningkatkan serta mengalokasikan
sumber-sumber pendapatan daerah. Berlakunya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dapat menjadi
landasan dasar bagi pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pendapatan asli
daerah mereka guna meningkatkan perokonomian.
15
2.1.2 Tinjauan Umum Tentang Pajak
2.1.2.1 Pengertian Pajak
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam Mardiasmo (2009),
pengertian pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-
undang bersifat memaksa dengan tiada mendapat jasa imbal balik langsung
yang dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum. Defenisi tersebut kemudian disempurnakan, menjadi pajak adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai
pengluaran rutin dan “surpus”-nya digunakan untuk public saving yang
merupakan sumber utama untuk membiayai public investment. Sedangkan
menurut Waluyo (2011) “pajak merupakan iuran kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang dan wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan
dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung ditunjuk, dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung
dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”.
Sedangkan menurut Mardiasmo (2009), pajak adalah iuran rakyat kepada
negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Mardiasmo (2009) juga
mengungkapkan terdapat empat unsur pajak yaitu sebagai berikut:
1. Iuran wajib dari rakyat kepada negara, dimana negara merupakan
badan yang berhak untuk memungut pajak berupa uang bukan
barang.
2. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang serta aturan
pelaksanaanya.
16
3. Tanpa jasa timbal bailk atau kontraprestasi dari negara yang secara
langsung dapat ditunjuk.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga, yaitu pengeluaran yang
bermanfaat bagi masyarakat luas.
Dari beberapa definisi tentang pajak tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pajak adalah iuran wajib kepada negara yang berdasarkan pada
kedaulatan Undang-Undang yang bersifat memaksa tanpa memperoleh timbal
balik secara langsung.
2.1.2.2 Fungsi Pajak
Pajak merupakan sumber pendapatan yang paling ptotensial untuk
meningkatkan pembangunan daerah. Hal ini dikarenakan semakin kuatnya
kedudukan daerah yang bersifat otonom sebagimana telah ditetapkan dalam
pasal 18 UUD 1945 dan amandemennya.Menurut Resmi (2012) fungsi pajak
yaitu sebagai sumber keuangan negara (budgetair) dan fungsi pengatur
(regularend) yang akan dijelaskan sebagia berikut:
a. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan), pajak merupakan salah satu
sumber pendapatan pemerintah yang digunakan sebagai membiayai
penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah akan memaksimalkan potensi
penerimaan pajak untuk meningkatkan pendapatan negara.
b. Fungsi Regulated (Pengatur), pajak merupakan instrumen pemerintah
dalam mengambil kebijakan terkait dengan bidang sosial dan ekonomi
serta mencapai tujuan-tujuan tertentu dibidang keuangan.
2.1.2.3 Pengelompokan Pajak
Menurut Mardiasmo (2009), pajak dibagi dalam tiga klasifikasi. Tiga
klasifikasi tersebut yaitu:
1. Pajak Berdasarkan Golongan dibagi menjadi dua, meliputi:
17
a. Pajak Langsung, adalah pajak yang dibebankan kepada wajib pajak
itu sendiri tanpa boleh dilimpahkan kepada oranglain.
b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain sesuai dengan ketentuan perpajakan.
2. Pajak Berdasarkan Sifat menjadi dua, meliputi:
a. Pajak Subjektif, adalah pajak yang dasar pengenakannya
disesuaikan dengan kodisi wajib pajak.
b. Pajak Objektif, adalah pajak yang dasar pengenakannya tidak
memperhatikan kondisi wajib pajak tetapi melihat objek pajak dapat
berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang menimbulkan
kewajiban untuk membayar.
3. Pajak Berdasarkan Lembaga Pemungutannyayang memungut pajak dibegi
menjadi dua, yaitu:
a. Pajak Pusat atau Negara, adalah pajak yang dipungut oleh
pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan pusat.
b. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
meliputi pajak propinsi dan pajak kabupaten/kota yang digunakan
untuk membiayai kebutuhan rumah tangga daerah masing-masing.
2.1.2.4 Syarat Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak harus dilakukan secara proporsional, sehingga tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan dalam pemungutannya. Dalam
pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagi berikut Mardiasmo
(2009):
1. Syarat Keadilan, pemungutan pajak harus bersifat adil sesuai dengan
undang-undang yang ditetapkan pemerintah, selain itu pemungutan pajak
harus memperhatikan hak dan kewajiban wajib pajak dalam mengajukan
keberatan dan penundaan dalam pembayaran.
18
2. Syarat Yuridis, dalam pemungutan pajak harus sesuai dengan undang-
undang yang berlaku.
3. Syarat Ekonomis, dalam pemungutan pajak perlu dilakukan dengan baik
dan benar sehingga nantinya tidak mengganggu jalannya perekonomian.
4. Syarat Finansial, dalam pemungutan pajak harus meminimalkan biaya
pemungutan agar hasil pemungutan lebih efektiv dan efisien.
5. Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana.
2.1.2.5 Dasar Pemungutan Pajak
Dalam pemungutan pajak, terdapata dasar pemungutan pajak yang
merupakan bentuk operasional pengukuran objek pajak atau stetsel. Menurut
Resmi (2012) terdapat beberapa dasar pemungutan pajak yaitu:
a. Stetsel Nyata (Riil Stetsel), stetsel ini menyatakan bahwa pengenaan
pajak didasarkan pada objek yang sesungguhnya terjadi. Misalnya
untuk PPh maka objeknya adalah pengasilan.
b. Stetsel Anggapan (Fictieve Stetsel), stetsel ini menyatakan bahwa
pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
Undang-Undang. Contoh: penghasilan suatu tahun dianggap sama
dengan penghasilan tahun sebelumnya sehingga pajak yang terutang
pada suatu tahun juga dianggap sama dengan pajak yang terutang
tahun sebelumnya.
c. Stetsel Campuran, stetsel ini menyatakan bahwa pengenaan
pajakdidasarkan pada kombinasi anatar Stetsel Nyata dan Stetsel
Anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan
suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak dihitung
berdasarkan keadaan yang sesungguhnya.
19
Menurut Prakoso (2005) dalam pemungutan pajak terdapat dasar
pemungutan pajak yang merupakan pengakuan atau pengukuran keadaan objek
pajak (stetsel). Ada beberapa dasar pemungutan pajak meliputi :
a. Stetsel Nyata (Riil Stetsel), pemungutan pajak dilaksanakan pada
akhir tahun ketika objek pajak telah diketahui keadaaan
sesungguhnya. Keunggulan pemungutan ini lebih realistis
berdasarkan objek yang riil, sedangkan untuk kelemahannya
pembayaran pajak atau pemunggutan pajak baru bisa dilakukan
setelah akhir periode.
b. Stetsel Anggapan (Fictieve Stetsel), pemunggutan pajak didasarkan
pada keadaan yang diatur oleh ketentuan atau peraturan perundang-
undangan dimana keadaan adanya anggapan atau asiumsi dari
keadaan objek pajak yang telah ditentukan oleh aturan. Misalnya
keadaan objek pajak pada tahun sekarang diasumsikan sama
dengan keadaan objek tahun sebelumnya. Keunggulan pada stetsel
ini pembayaran pajak dapat dilakukan selama tahun berjalan
sedangkan kelemahan pada stetsel ini pembayaran pajak tidak
berdasarkan pada keadaan objek pajak yang sebenarnya.
c. Stetsel Campuran, stetsel ini digunakan untuk mengatasi kelemahan
dari stetsel nyata dan stetsel anggpan. Pemunggutan pajak pada
stetsel ini dilakukan dengan dua cara yaitu pada awal tahun dan akhir
tahun. Pada awal tahun, pemungutan pajak berdasar pada keadaan
objek pajak di tahun lalu dan di akhir tahun pemungutan pajak
berasar pada keadaan objek pajak yang sebenarnya. Apabila pajak
yang dibayarkan pada awal tahun lebih besar dari hitungan pajak di
akhir tahun, maka kelebihan pembayaran pajak dapat diminta
kembali (direstitusi) dan jika pajak awal tahun kurang dari
20
perhitungan pajak di akhir tahun maka wajib pajak harus melunasi
kekurangan pembayaran pajak.
2.1.2.6 Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Prakoso (2005) dalam pemungutan pajak terdapat sistem
pemungutan pajak, dimana sistem ini berisi tentang kewenangan dan cara
penetapan besaran pungutan pajak. Sistem tersebut meliputi:
1. Official Assessment System, suatu sistem dimana pemerintah
memiliki hak dan kewenangan dalam menghitung besaran pajak dan
menerbitkan SPT, sedangkan wajib pajak berada dalam posisi pasif
yang hanya menerima SPT dan membayar besaran pajak yang telah
ditentukan.
2. Self Assessment System, suatu sistem yang mana wajib pajak
memiliki hak dan kewenangan dalam menghitung besaran pajak yang
terutang.
3. With Holding System, suatu sistem yang mana dalam perhitungan
besaran pajak dilimpahkan kepada pihak ketiga, selain itu pihak
ketiga diberikan kepercayaan dalam memungut dan memotong pajak
terutang.
2.1.2.7 Teori Pendukung Pemungutan Pajak
Dalam pelaksanaan pemungutan pajak terdapat beberapa teori yang
mendukung negara untuk melakukan pemungutan pajak kepada rakyatnya yaitu:
a. Teori Asuransi,
Teori ini menyatakan bahwa negara bertugas untuk melindungu
orang dari segala kepentingan, meliputi keselamatan dan keamanan jiwa
dan juga harta bendanya. Seperti halnya dalam perjanjian asuransi
21
(pertanggungan) untuk melindungu orang dan kepentingan tersebut
diperlukan pembayaran premi. Dalam hubungan negara dengan rakyatnya,
pajak inilah yang dianggap sebagai premi tersebut yang sewaktu-waktu
harus dibayar oleh masing-masing individu.
b. Teori Gaya Pikul
Teori ini menyatakan bahwa dasar keadilan pemungutan terletak
pada jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya, yaitu
perlindungan atas jiwa dan harta bendanya, untuk kepentingan tersebut
diperlukannya biaya-biaya yang harus dipikul oleh segenap orang yang
menikmati perlindungan itu, yaitu dalam bentuk pajak.
c. Teori Kepentingan
Teori ini pada awalnya hanya memperhatikan pembagian beban
pajak yang harus dipungut oleh seluruh penduduk. Pembagian beban ini
harus didasarkan atas kepentingan masing-masing orang dalam tugas
pemerintah, termasuk perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta
bendanya. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh negara dibebankab kepada mereka.
d. Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Bakti)
Teori ini mendasarkan pada paham Organische Staatsleer yang
mengajarkan bahwa karena sifat suatu negara maka timbullah hak mutlak
untuk memungut pajak. Melihat sejarah terbentuknya suatu negara, maka
teori bakti ini bisa dikatakan sebagai adanya perjanjian dalam masyarakat
(tiap-tiap individu) untuk membentuk negara dan menyerahkan sebagian
kekuasaannya kepada negara untuk memimpin masyarakat. Karena
adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada negara, maka
22
pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara merupakan bakti dari
masyarakat kepada negara, karena negaralah yang bertugas
menyelenggarakan kepentingan masyarakatnya. Dalam pemahaman yang
sederhana teori bakti, mengenai :
• Hukum pajak terletak dalam hubungan rakyat dan negara.
• Negara menyelenggarakan kepentingan umum untuk rakyatnya,
karena ada hubungan maka negara memungut pajak terhadap
rakyatnya.
• Rakyat membayar pajak karena merasa berbakti kepada negara.
e. Teori Asas Gaya Beli
Teori ini menyatakan fungsi pemungutan pajak disamakan dengan
pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat
untuk rumah tangga negara, dan kemudian menyalurkan kembali ke
masyarakat denegan maksut untuk memlihara hidup masyarakat dan untuk
membawanya kearah tertentu. (Resmi, 2011)
2.1.3 Pajak Daerah
1.1.3.1 Pengertian Pajak Daerah
Pada Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, menyatakan bahwa “pajak adalah kontribusi wajib kepada
daerah yang terutang oleh orang atau pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, imbalan tidak diberikan secara langsung tetapi
digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan kesejahteraan publik”.
Selanjutnya Mardiasmo (2009) menjelaskan tentang pajak daerah merupakan
iuran wajib dari masyarakat kepada pemerintah daerah tanpa adanya imbalan
23
secara langsung dan bersifat memaksa yang nantinya digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
1.1.3.2 Jenis Pajak Daerah
Pajak daerah diklasifikasikan menurut wilayah kekuasaan pihak
pemungutannya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disebutkan bahwa jenis pajak sebagai
berikut:
1. Pajak Provinsi
Pajak Provinsi adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah
daerah tingkat provinsi. Pajak Provinsi yang ada di Indonesia dan
berlaku sampai saat ini, terdiri atas:
a. Pajak kendaraan bermotor
b. Pajak balik nama kendaraan bermotor
c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
d. Pajak air permukaan, dan
e. Pajak rokok.
2. Pajak Kabupaten/Kota
Pajak Kabupaten/Kota adalah pajak daerah yang dipungut oleh
pemerintah daerah tingkat Kabupaten/Kota. Pajak Kabupaten/Kota
terdiri dari:
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penrangan Jalan
f. Pajak Minral Bukan Logam dan Batuan
24
g. Pajak Parkir
h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2)
k. Bea Perolehan Hak Ata Tanah dan Bangunan.
Daerah dilarang memungut pajak selain yang telah disebutkan di atas.
Apabila terdapat jenis pajak yang potensinya kurang memadai maka pemerintah
daerah dapat tidak memungut jenis pajak tersebut. Untuk daerah yang tidak
terbagi menjadi daerah otonom atau setingkat dengan provinsi, contohnya DKI
Jakarta maka jenis pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari pajak
untuk gabungan dari pajak daerah provinsi dan pajak untuk Kabupaten/Kota.
2.1.3.3 Perhitungan Pajak Dearah
Besarnya pokok pajak daerah dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak
dengan dasar pengenakan pajak. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah ditentukan tarif pajak
yang dapat diterapka oleh pemerintah daerah untuk masing-masing jenis pajak.
Pajak daerah yang diatur adalah tarif paling tinggi, sebagaimana dijelaskan
sebagai berikut:
1. Pajak Kendaraan Bermotor maksimal sebesar 10%
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor maksimal sebesar 20%
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor maksimal sebesar 10%
4. Pajak Air Permukaan maksimal sebesar 10%
5. Pajak Rokok maksimal sebesar 10%
6. Pajak Hotel maksimal sebesar 10%
7. Pajak Restoran maksimal sebesar 10%
8. Pajak Hiburan maksimal sebesar 35%
25
9. Pajak Reklame maksimal sebesar 25%
10. Pajak Penerangan Jalan maksimal sebesar 10%
11. Pajak Parkir maksimal sebesar 30%
12. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan maksimal sebesar 25%
13. Pajak Air Tanah maksimal sebesar 20%
14. Pajak Sarang Burung Walet maksimal sebesar 10%
15. Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan maksimal sebesar 0,3%
16. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) maksimal sebesar
5%.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa tarif pajak daerah memberikan tarif
maksimal yang tidak bisa dilebihkan oleh daerah. Tarif maksimal yang diterapkan
oleh pemerintah sebesar 35%. Tetapi hal ini tidak merata berlaku pada setiap
masing-masing jenis pajak daerahnya. Masing-masing jenis pajak daerah
memiliki batas maksimal masing-masing.
2.1.4 Pajak hotel
2.1.4.1 Pengertian Pajak Hotel
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, menyatakan bahwa pajak
hotel ialah pajak yang diterima dari adanya pelayanan yang telah disediakan oleh
hotel. Sedangkan menurut Siahaan (2005), pajak hotel ialah suatu pungutan
yang disebabkan adanya pelayanan hotel. Selanjutnya menurut Kurniawan
(2006) “hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk
menginap/istirahat, memperoleh pelayanan, dan atau fasilitas lainnya dengan
dipungut bayaran.
Pengenaan pajak hotel disetiap daerah berbeda di setiap daerah satu
dengan yang lain. Hal ini dikarenakan oleh adanya kewenangan pemerintah
26
daerah untuk memungut atau tidaknya suatu jenis pajak. Agar suatu pajak hotel
dapat dipungut maka pemerintah harus mengeluarkan peraturan daerah tentang
pajak hotel. Selanjutnya peraturan daerah tersebut digunakan sebagai landasan
hukum dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan pajak hotel di
daerah yang bersangkutan (Siahaan, 2005).
2.1.4.2 Dasar Hukum
Pemungutan pajak hotel yang ada di Indonesia saat ini memiliki landasan
hukum yang kuat dan jelas. Sudah seharusnya masyarakat dan pihak yang
terkait dalam melakukan pemungutan pajak hotel harus memenuhi aturan yang
berlaku. Dalam pelaksanaan pemungutan pajak hotel, Dinas Pendapatan Daerah
Kota Batu berpedoman pada:
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
4. Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah
5. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 170 Tahun 1997 Tentang
Pedoman Tata Cara Pemungutan Pajak
6. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Sistem
dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan
Penerimaan pendapatan Lain-Lain
7. Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 5 Tahun 2010
27
2.1.4.3 Objek Pajak Hotel
Objek pajak hotel merupakan bagian penting dalam hukum pajak materiil
karena wajib pajak tidak dapat dikenakan pajak apabila tidak memiliki,
menguasai, atau menikmati suatu objek yang tergolong sebagai objek kena
pajak sebagi syarat-syarat objektif dalam pengenaan pajak. Objek yang dapat
dikenakan pajak dalam masyarakat sangat beragam bergantung pada kebijakan
pembuat undang-undang. Peraturan Daerah Kota Batu No 5 Tahun 2010
menyebutkan yang menjadi objek pajak hotel adalahpelayanan yang disediakan
oleh hotel dengan pembayaran termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan
hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas
olahraga dan hotel.Jasa penunjang yang dimaksud adalah fasilitas telepeon,
fiximile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, setrika, transportasi, dan
fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel. Sedangkan yang
dikecualikan dari objek pajak meliputi1) jasa tempat tinggal asrama yang
diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, 2) jasa sewa
apartemen, kondominium, dan sejenisnya, 3) jasa tempat tinggal pusat
pendidikan atau kegiatan keagamaan, 4) jasa tempat tinggal di rumah sakit,
asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang
sejenis, dan5) jasa biro perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel yang
dapat dimanfaatkan oleh umum.
2.1.4.4 Subjek dan Wajib Pajak Hotel
Berdasarkan Perda Kota Batu Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Pajak Hotel
bahwa subjek “pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pembayaran atas pelayanan hotel”. Singkatnya yang menjadi subjek pajak hotel
adalah konsumen yang menikmati dan membayar jasa yang diberikan oleh
pengusaha/badan penyelenggara hotel. Pajak hotel yang terutang dipungut di
wilayah daerah tempat dimana hotel berlokasi.
28
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, “wajib pajak hotel adalah pribadi atau badan yang
mengusahakan hotel”. Secara sederhana, yang menjadi wajib pajak adalah
pengusaha tempat-tempat hotel baik itu orang pribadi maupun badan dalam
bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya
melakukan usaha dibidang penyelenggara hotel
2.1.4.5 Dasar Pengenaan, Tarif Pajak Hotel dan Perhitungan Pajak Hotel
Menurut Siahaan (2005), dasar pengenakan pajak hotel ialah jumlah
pembayaran yang diterima oleh hotel. Sedangkan tarif hotel sudah ditetapkan
dalam peraturan daerah Kabupaten/Kota yaitu paling tinggi 10%. Setiap darah
diberikan kewenangan untuk menetapkan tarif pajak yanng disesuaikan dengan
potensi yang dimiliki masing-masing daerah. Namun, tarif pengenaannya pajak
hotel tidak diperbolehkan lebih dari 10%.
Berdasarkan dasar pengenaan dan tarif pajak yang telah dijelaskan di atas,
maka esarnya pokok pajak terutang dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
= Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran yang diterima hotel
2.1.4.6 Perhitungan Potensi Pajak Hotel
Potensi adalah suatu kemampuan yang sudah ada namun belum
dimanfaatkan atau belum dioptimalkan. Sehingga, agar potensi yang ada bisa
diperoleh dengan optimal maka perlu adanya upaya-upaya tertentu untuk
dilakukan. Hal ini dikarenakan sifat potensi yang tersembunyi, oleh karena itu
perlu diteliti besarnya potensi yang ada. Setiap daerah dengan daerah yang lain
memiliki potensi pendapatan yang berbeda-beda, hal tersebut dikarenakan
29
adanya perbedaan faktor demografi, sosiologi, ekonomi, budaya, geomorfologi,
dan lingkungan. namun, yang sering menjadi masalah ialah suatu potensi tidak
dapat diolah atau belum dimanfaatkan secara optimal dikarenakan keterbatasan
sumberdaya manusia, permodalan, dan peraturan perundang-undangan yang
membatasi hal tersebut. Suatu daerah dapat digolongkan menjadi empat jika
dilihat dari kepemilikan potensi dan juga kemampuan potesi yang dimiliki,
keempat kategori tersebut yaitu, memiliki potensi dan kemampuan mengelola
tinggi, memiliki potensi yang tinggi tetapi kemampuan mengelolanya rendah,
memiliki potensi yang rendah tetapi mempunyai kemampuan mengelola yang
tinggi, dan memiliki potensi yang rendah dan kemampuan mengelola rendah.
Perhitungan potensi pendapatan berbasis mikro dapat dilakukan degan
cara menghitung potensi pendapatan untuk masing-masing objek pendapatan
(Mahmudi, 2010). Pada umumnya, perhitungan potensi suatu penerimaan pajak
dihitung dengan mengalikan tarif suatu pajak dengan basis pajak. Tarif pajak
disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penentuan basis
pajak perlu dilakukan secara objektif karena akan mempengaruhi besarnya
potensi pendapatan.
Berikut ini merupakan cara perhitungan potensi pajak hotel. Menurut Harun
(2003) perhitungan tarif rata-rata kamar dapat dirumuskan sebagai berikut:
( ) ( ) ( )
Keterangan:
X1 = Jumlah kelas kamar suite
X2 = Jumlah kelas kamar deluxe
X3 = Jumlah kelas kamar standart
Y1 = Tarif kamar suite
30
Y2 = Tarif kamar deluxe
Y3 = Tarif kamar standart
Z = Total jumlah kamar
Sedangkan, perhitungan untuk rata-rata tingkat hunian, dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Pemungutan pajak hotel dapat dilakukan dengan official assesment yakni
berdasarkan penetapan kepala daerah melalui penerbitan surat ketetapan pajak
daerah. Menurut Mahmudi (2010) untuk menghitung potensi pajak hotel
menggunakan rumus sebagai berikut:
( )
Keterangan:
PPH = Potensi Pajak Hotel
JK = Jumlah Kamar
TK = Tarif Kamar Rata-Rata
JH = Jumlah Hari
TH = Tingkat Hunian
10% = tarif pajak hotel
2.1.5 Hubungan Jumlah Wisatwan Terhadap Pajak Hotel
Menuruut Yoeti (2008) kunjungan wisatwan mancanegara atau nusantara
merupakan sumber penerimaan bagi daerah atau negara, baik dalam bentuk
devisa atau penerimaan pajak dan retribusi lainnya, disamping dapat
meningkatkan kesempatan kerja. Wisatawan yang tiba disuatu negara asing,
baik secara individu maupun kelompok, apapun tujuan perjalanannya akan
31
membelanjakan uangnya selama menetap di daerah tujuan untuk membayar
jasa-jasa atau barang wisata dan membeli jasa-jasa atau barang yang tidak
berkaitan dengan wisata. Semakin banyak jumlah wisatawan dan semakin lama
wisatawan tinggal di suatu daerah tujuan wisata, maka semakin banyak pula
uang yang dibelanjakan di daerah tujuan wisata tersebut, paling sedikit untuk
keperluan makan, minum, dan penginapan selama tinggal di daerah tersebut
(Salah, 2003).
Berbagai macam kebutuhan wisatwan selama perjalanan wisatanya akan
menimbulkan gejala konsumtif untuk produk-produk yang ada d daerah tujuan
wisatwa. Dengan adanya kegiatan konsumtif baik dari wisatawan mancanegara
maupun wisatawan nusantara akan mangakibatkan pendapatan pajak
meningkat. Perkembangan jumlah wisatwan akan berpengaruh terhadap
penerimaan pajak hotel, karena hotel merupakan salah satu temat yang paling
dicari oleh wisatawan untuk menginap di daerah tujuan wisata. Dengan adanya
perilaku konsumtif dari wisatawan khususnya penggunaan jasa hotel maka
semakin tinggi wisatwan akan berpengaruh terhadap penerimaan pajak hotel.
2.1.6 Hubungan Sektor Pariwisata Terhadap Pajak Hotel
Pengaruh sektor pariwisata terhadap pajak hotel ialah berjalan melalui
pegaruh sektor pariwisata terhadap PDRB. PDRB merupakan salah satu faktor
penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu wilayah tertentu dalam suatu
periode tertentu. Apabila nilai PDRB mengalami peningkatan maka akan
membawa pengaruh positif pada kenaikan penerimaan daerah. Semakin tinggi
pendapatan seseorang maka akan semakin tinggi pula kemampuan sesorang
untuk membayar berbagai pungutan yang ditetapkan pemerintah, sehingga
semakin tinggi pula kemampuan masyarakat daerah tersebut untuk membayar
32
pajak daerah yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan pemerintah (Davey dalam Prakoso, 2005).
PDRB adalah salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan
masyarakat di suatu wilayah tertentu. Mengingat pajak reklame merupakan salah
satu dari pajak daerah, maka semakin tinggi PDRB akan semakin tinggi
penerimaan pajak daerah pada umumnya dan pajak hotel pada khususnya
(Arsyad, 2010). Menurut teori Peacok dan Wiserman (dalam Widiana, 2015)
perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat
walaupun tarif pajak tidak bertambah. Meningkatnya penerimaan pajak
menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh sebab itu
dalam keadaan normal, meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan
pemerintah semakin besar begitu juga dengan pengeluaran pemerintah yang
semakin besar pula. Melihat pernyataan tersebut dapat dijelaskan ketika terjadi
perkembangan perekonomian di suatu daerah akan menyebabkan menerimaan
pajak yang akan meningkat dengan otomatis PAD juga akan meningkat yang
berdampak pada peningkatan pengeluaran pemerintah. Sehingga meningkatnya
PDRB akan mengakibatkan peningkatan dalam penerimaan pajak daerah dan
pengeluaran daerah.
2.1.7 Hubungan Jumlah Penduduk Terhadap Pajak Hotel
Menurut Ruslan (1983), penduduk ialah sejumlah makhluk sejenis yang
mendiami suatu tempat atau wilayah tertentu. Menurut Siahaan (2005) penduduk
merupakan salah satu faktor yang signifikan berpengaruh terhadap jumlah
penerimaan pajak hotel. Penduduk mempunyai peran yang sangat penting dalam
pembangunan ekonomi, selain itu keberadaan penduduk terlibat secara
33
langsung dalam kegiatan dan usaha dibidang ekonomi. Sementara disisi lain
penduduk juga merupakan sasaran obyek pajak.
Sebagai salah satu sasaran obyek pajak, perkembangan penduduk akan
mempengaruhi jumlah penerimaan pajak, terutama pajak daerah. Dengan
bertambahnya jumlah penduduk maka akan mempengaruhi luas obyek jumlah
pajak sehingga akan meningkatkan penerimaan pajak hotel. Menurut Arianto
(2014), dengan meningkatnya jumlah penduduk maka semakin banyak
penduduk yang menikmati jasa pelayanan yang diberikan pemerintah maupun
pihak swasta yang menjadi sumber pendapatan daerah salah satunya pelayanan
hotel. Sehingga penduduk akan mengeluarkan sebagian penghasilannya untuk
membayar jasa pelayanan atas hotel dan akan semakin meningkat pajak hotel
yang diterima oleh pemerintah.
2.2 Penelitian Terdahulu
Berdasarkan tema yang diangkat oleh penulis tentang Analisis Potensi Dan
Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Hotel (Studi Kasus Kota Batu
Tahun 2008-2015), maka terdapat beberapa penelitian yang menjadi acuan
penulis, yaitu:
Tabel 2.1: Penelitian Terdahulu
NAMA TUJUAN
METODE PENELITIAN
dan VARIABEL
HASIL
Hervia Nanda Alista (2016)
“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Realisasi Jumlah Penerimaan Pajak Hotel (Studi Pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Tulungagung”
Mengetahui pengaruh jumlah wisatawan, tingkat inflasi dan PDRB pada penerimaan pajak hotel di Kabupaten Tulungagung periode 2006-
Metode Deskriptif Kuantitatif dan Regresi Linier Berganda
Variabel:
Jumlah wisatawan
Secara simultan jumlah wisatwan, laju inflasi dan produk domestik regional bruto (PDRB) berpengaruh signifikan terhadap variabel
34
NAMA TUJUAN
METODE PENELITIAN
dan VARIABEL
HASIL
2013 Laju Inflasi PDRB
penerimaan pajak. secara parsial jumlah wisatawan dan laju inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak hotel.
Qorina Novitri (2014)
“Determinan Penerimaan Daerah dari Sektor Pariwisata di Kabupaten/Kota Provinsi Jambi”
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan daerah dari sektor pariwisata di Provinsi Jambi
Metode Analisis Regresi data panel
Variabel:
PDRB sektor pariwisata
Kamar hotel Rata-rata
ama menginap
Restoran dan rumah makan
Jumlah wisatawan
PDRB sektor pariwisata, kamar hotel, rata-rata lama menginap, restoran dan rumah makan, dan jumlah wisatawan secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan daerah dari sektor pariwisata.
Satria Adi Nugraha (2012)
“Analisis Pada Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Hotel”
Untuk mengetahui pengaruh jumlah wisatawan, jumlah hotel, tingkat hunian kamar dan laju inflasi terhadap penerimaan pajak hotel
Metode Deskriptif Kuantitatif dan linier regresi berganda
Secara parsial jumlah wisatawan, jumlah hotel, tingkat hunian kamar dan laju inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak hotel.
Aldo Adam (2013)
“Hubungan Jumlah Wisatawan, Jumlah Hotel terhadap
Untuk mengetahui seberapa kuat hubungan jumlah
Metode Deskriptif Kuantitatif dan korelasi
Jumlah wisatawan dan jumlah hotel memiliki hubungan yang
35
NAMA TUJUAN
METODE PENELITIAN
dan VARIABEL
HASIL
penerimaan pajak hotel”
wisatawan dan jumlah hotel terhadap penerimaan pajak hotel di Kota Manado.
berganda
Variabel:
Jumlah wisatawan
Jumlah hotel
kuat terhadap penerimaan pajak hotel. secara parsial jumlah hotel sangat berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak hotel di Kota Manado.
Puspita Suci Arianto (2014)
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Hotel Di Kota Surabaya
Mengetahui pengaruh jumlah penduduk, inflasi dan PDRB terhadap penerimaan pajak hotel di Kota Surabaya
Regresi Linier Berganda
Jumlah penduduk dan PDRB berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak hotel di Kota Surabaya. Sedangkan inflasi berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak hotel di Kota Surabaya..
Sumber: Peneliti, diolah.
2.3 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan kerangka teori yang telah dipaparkan di atas, dengan adnya
otonomi dan sdesentralisasi fiskal yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 maka setiap daerah
diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengelola sendirii kekayaan yang
dimiliki dengan harapan pemerintah daerah mampu menggali potensi yang ada
di daerahnya guna meningkatkan pendapatan daerah yang dapat digunakan
untuk membiayai kebutuhan setiap daerah masing-masing. Pajak daerah
36
merupakan salah satu sumber potensial penerimaan daerah. Salah satu pajak
daerah yang sangat potensial dalam penerimaannya adalah pajak hotel. Dalam
pelaksanaan pemungutannya maka harus diupayakan memaksimalkan pajak
hotel, salah satunya dengan menghitung besarnya potensi pajak hotel agar
penerimaan pajak yang diperoleh benar-benar menggambarkan potensi yang
sebenarnya.
Dalam penelitian ini mengkaji tentang analisis potensi dan faktor yang
mempengaruhi penerimaan pajak hotel di Kota Batu. Berdasarkan data-data
yang ada terdapat permasalahan yang mengidentifikasikan bahwa pajak hotel
yang ada masih belum digali secara maksimal. Hal ini dapat dilihat dari realisasi
penerimaan pajak hotel yang selalu melebihi target dan memiliki selisih yang
sangat besar, sehingga menimbulkan permasalahan karena penetapan target
umumnya hanya dibuat berdasarkan realisasi penerimaan pajak hotel pada
tahun sebelumnya, dan bukan berdasarkan potensi yang sebenarnya.
Dengan melihat kerangka pikir yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
dapat digambarkan kerangka pemikiran dari penelitian ini yaitu:
37
Gambar 2.1: Kerangka Pikir
Sumber: peneliti
2.4 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pikir yang telah dijelaskan di atas maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah:
1. Diduga jumlah wisatawan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan
pajak hotel di Kota Batu tahun 2008-2015
2. Diduga sektor pariwisata berpengaruh signifikan terhadap penerimaan
pajak hotel di Kota Batu tahun 2008-2015
Otonomi dan Desentralisasi Daerah (Undang-Undang Nomor 32 dan 33 tahun 2004)
Pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola
kekayaan daerah
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pajak Daerah
Pajak Hotel
Jumlah Wisatawan
Sektor Pariwisata
Jumlah Penduduk
Potensi Pajak
Hotel
38
3. Diduga jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap penerimaan
pajak hotel di Kota Batu tahun 2008-2015
4. Diduga jumlah wisatawan, pdrb sektor pariwisatadan jumlah penduduk
secara bersama sama berpengaruh signifikan terhadap penerimaan
pajak hotel di Kota Batu tahun 2008-2015.