25
14 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah, mengartikan otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang- undangan”.Sedangkat menurut Kaloh (2007:13) mengartikan “otonomi daerah sebagai suatu instrumen politik dan instrumen administrasi/manajemen yang digunakan untuk mengoptimalkan sumber daya lokal sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemajuan masyarakat di daerah, terutama menghadapi tantangan global, mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, dan mengembangkan demokrasi”. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan, bahwa otonomi daerah merupakan suatu perluasaan kekuasaan dalam menenentukan aturan sendiri dalam memenuhi kebutuhan daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.Berdasarkan ulasan di atas mengenai otonomi daerah dapat diketahui bahwa pada saat ini pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam mengelola kekayaan dan sumberdaya yang dimilikinya, adanya otonomi daerah diharapkan sangat berperan dalam meningkatkan serta mengalokasikan sumber-sumber pendapatan daerah. Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dapat menjadi landasan dasar bagi pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah mereka guna meningkatkan perokonomian.

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Otonomi Daerah

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

daerah, mengartikan otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan”.Sedangkat menurut Kaloh (2007:13) mengartikan “otonomi daerah

sebagai suatu instrumen politik dan instrumen administrasi/manajemen yang

digunakan untuk mengoptimalkan sumber daya lokal sehingga dapat

dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemajuan masyarakat di daerah, terutama

menghadapi tantangan global, mendorong pemberdayaan masyarakat,

menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat,

dan mengembangkan demokrasi”. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan,

bahwa otonomi daerah merupakan suatu perluasaan kekuasaan dalam

menenentukan aturan sendiri dalam memenuhi kebutuhan daerah sesuai dengan

potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh daerah berdasarkan peraturan

perundang-undangan.Berdasarkan ulasan di atas mengenai otonomi daerah

dapat diketahui bahwa pada saat ini pemerintah daerah memiliki keleluasaan

dalam mengelola kekayaan dan sumberdaya yang dimilikinya, adanya otonomi

daerah diharapkan sangat berperan dalam meningkatkan serta mengalokasikan

sumber-sumber pendapatan daerah. Berlakunya Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dapat menjadi

landasan dasar bagi pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pendapatan asli

daerah mereka guna meningkatkan perokonomian.

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

15

2.1.2 Tinjauan Umum Tentang Pajak

2.1.2.1 Pengertian Pajak

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam Mardiasmo (2009),

pengertian pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-

undang bersifat memaksa dengan tiada mendapat jasa imbal balik langsung

yang dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran

umum. Defenisi tersebut kemudian disempurnakan, menjadi pajak adalah

peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai

pengluaran rutin dan “surpus”-nya digunakan untuk public saving yang

merupakan sumber utama untuk membiayai public investment. Sedangkan

menurut Waluyo (2011) “pajak merupakan iuran kepada negara (yang dapat

dipaksakan) yang terutang dan wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan

dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung ditunjuk, dan yang

gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung

dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”.

Sedangkan menurut Mardiasmo (2009), pajak adalah iuran rakyat kepada

negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada

mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang

digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Mardiasmo (2009) juga

mengungkapkan terdapat empat unsur pajak yaitu sebagai berikut:

1. Iuran wajib dari rakyat kepada negara, dimana negara merupakan

badan yang berhak untuk memungut pajak berupa uang bukan

barang.

2. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang serta aturan

pelaksanaanya.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

16

3. Tanpa jasa timbal bailk atau kontraprestasi dari negara yang secara

langsung dapat ditunjuk.

4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga, yaitu pengeluaran yang

bermanfaat bagi masyarakat luas.

Dari beberapa definisi tentang pajak tersebut, dapat ditarik kesimpulan

bahwa pajak adalah iuran wajib kepada negara yang berdasarkan pada

kedaulatan Undang-Undang yang bersifat memaksa tanpa memperoleh timbal

balik secara langsung.

2.1.2.2 Fungsi Pajak

Pajak merupakan sumber pendapatan yang paling ptotensial untuk

meningkatkan pembangunan daerah. Hal ini dikarenakan semakin kuatnya

kedudukan daerah yang bersifat otonom sebagimana telah ditetapkan dalam

pasal 18 UUD 1945 dan amandemennya.Menurut Resmi (2012) fungsi pajak

yaitu sebagai sumber keuangan negara (budgetair) dan fungsi pengatur

(regularend) yang akan dijelaskan sebagia berikut:

a. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan), pajak merupakan salah satu

sumber pendapatan pemerintah yang digunakan sebagai membiayai

penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah akan memaksimalkan potensi

penerimaan pajak untuk meningkatkan pendapatan negara.

b. Fungsi Regulated (Pengatur), pajak merupakan instrumen pemerintah

dalam mengambil kebijakan terkait dengan bidang sosial dan ekonomi

serta mencapai tujuan-tujuan tertentu dibidang keuangan.

2.1.2.3 Pengelompokan Pajak

Menurut Mardiasmo (2009), pajak dibagi dalam tiga klasifikasi. Tiga

klasifikasi tersebut yaitu:

1. Pajak Berdasarkan Golongan dibagi menjadi dua, meliputi:

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

17

a. Pajak Langsung, adalah pajak yang dibebankan kepada wajib pajak

itu sendiri tanpa boleh dilimpahkan kepada oranglain.

b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang dapat dibebankan atau

dilimpahkan kepada orang lain sesuai dengan ketentuan perpajakan.

2. Pajak Berdasarkan Sifat menjadi dua, meliputi:

a. Pajak Subjektif, adalah pajak yang dasar pengenakannya

disesuaikan dengan kodisi wajib pajak.

b. Pajak Objektif, adalah pajak yang dasar pengenakannya tidak

memperhatikan kondisi wajib pajak tetapi melihat objek pajak dapat

berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang menimbulkan

kewajiban untuk membayar.

3. Pajak Berdasarkan Lembaga Pemungutannyayang memungut pajak dibegi

menjadi dua, yaitu:

a. Pajak Pusat atau Negara, adalah pajak yang dipungut oleh

pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan pusat.

b. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah

meliputi pajak propinsi dan pajak kabupaten/kota yang digunakan

untuk membiayai kebutuhan rumah tangga daerah masing-masing.

2.1.2.4 Syarat Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak harus dilakukan secara proporsional, sehingga tidak

menimbulkan hambatan atau perlawanan dalam pemungutannya. Dalam

pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagi berikut Mardiasmo

(2009):

1. Syarat Keadilan, pemungutan pajak harus bersifat adil sesuai dengan

undang-undang yang ditetapkan pemerintah, selain itu pemungutan pajak

harus memperhatikan hak dan kewajiban wajib pajak dalam mengajukan

keberatan dan penundaan dalam pembayaran.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

18

2. Syarat Yuridis, dalam pemungutan pajak harus sesuai dengan undang-

undang yang berlaku.

3. Syarat Ekonomis, dalam pemungutan pajak perlu dilakukan dengan baik

dan benar sehingga nantinya tidak mengganggu jalannya perekonomian.

4. Syarat Finansial, dalam pemungutan pajak harus meminimalkan biaya

pemungutan agar hasil pemungutan lebih efektiv dan efisien.

5. Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana.

2.1.2.5 Dasar Pemungutan Pajak

Dalam pemungutan pajak, terdapata dasar pemungutan pajak yang

merupakan bentuk operasional pengukuran objek pajak atau stetsel. Menurut

Resmi (2012) terdapat beberapa dasar pemungutan pajak yaitu:

a. Stetsel Nyata (Riil Stetsel), stetsel ini menyatakan bahwa pengenaan

pajak didasarkan pada objek yang sesungguhnya terjadi. Misalnya

untuk PPh maka objeknya adalah pengasilan.

b. Stetsel Anggapan (Fictieve Stetsel), stetsel ini menyatakan bahwa

pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh

Undang-Undang. Contoh: penghasilan suatu tahun dianggap sama

dengan penghasilan tahun sebelumnya sehingga pajak yang terutang

pada suatu tahun juga dianggap sama dengan pajak yang terutang

tahun sebelumnya.

c. Stetsel Campuran, stetsel ini menyatakan bahwa pengenaan

pajakdidasarkan pada kombinasi anatar Stetsel Nyata dan Stetsel

Anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan

suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak dihitung

berdasarkan keadaan yang sesungguhnya.

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

19

Menurut Prakoso (2005) dalam pemungutan pajak terdapat dasar

pemungutan pajak yang merupakan pengakuan atau pengukuran keadaan objek

pajak (stetsel). Ada beberapa dasar pemungutan pajak meliputi :

a. Stetsel Nyata (Riil Stetsel), pemungutan pajak dilaksanakan pada

akhir tahun ketika objek pajak telah diketahui keadaaan

sesungguhnya. Keunggulan pemungutan ini lebih realistis

berdasarkan objek yang riil, sedangkan untuk kelemahannya

pembayaran pajak atau pemunggutan pajak baru bisa dilakukan

setelah akhir periode.

b. Stetsel Anggapan (Fictieve Stetsel), pemunggutan pajak didasarkan

pada keadaan yang diatur oleh ketentuan atau peraturan perundang-

undangan dimana keadaan adanya anggapan atau asiumsi dari

keadaan objek pajak yang telah ditentukan oleh aturan. Misalnya

keadaan objek pajak pada tahun sekarang diasumsikan sama

dengan keadaan objek tahun sebelumnya. Keunggulan pada stetsel

ini pembayaran pajak dapat dilakukan selama tahun berjalan

sedangkan kelemahan pada stetsel ini pembayaran pajak tidak

berdasarkan pada keadaan objek pajak yang sebenarnya.

c. Stetsel Campuran, stetsel ini digunakan untuk mengatasi kelemahan

dari stetsel nyata dan stetsel anggpan. Pemunggutan pajak pada

stetsel ini dilakukan dengan dua cara yaitu pada awal tahun dan akhir

tahun. Pada awal tahun, pemungutan pajak berdasar pada keadaan

objek pajak di tahun lalu dan di akhir tahun pemungutan pajak

berasar pada keadaan objek pajak yang sebenarnya. Apabila pajak

yang dibayarkan pada awal tahun lebih besar dari hitungan pajak di

akhir tahun, maka kelebihan pembayaran pajak dapat diminta

kembali (direstitusi) dan jika pajak awal tahun kurang dari

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

20

perhitungan pajak di akhir tahun maka wajib pajak harus melunasi

kekurangan pembayaran pajak.

2.1.2.6 Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Prakoso (2005) dalam pemungutan pajak terdapat sistem

pemungutan pajak, dimana sistem ini berisi tentang kewenangan dan cara

penetapan besaran pungutan pajak. Sistem tersebut meliputi:

1. Official Assessment System, suatu sistem dimana pemerintah

memiliki hak dan kewenangan dalam menghitung besaran pajak dan

menerbitkan SPT, sedangkan wajib pajak berada dalam posisi pasif

yang hanya menerima SPT dan membayar besaran pajak yang telah

ditentukan.

2. Self Assessment System, suatu sistem yang mana wajib pajak

memiliki hak dan kewenangan dalam menghitung besaran pajak yang

terutang.

3. With Holding System, suatu sistem yang mana dalam perhitungan

besaran pajak dilimpahkan kepada pihak ketiga, selain itu pihak

ketiga diberikan kepercayaan dalam memungut dan memotong pajak

terutang.

2.1.2.7 Teori Pendukung Pemungutan Pajak

Dalam pelaksanaan pemungutan pajak terdapat beberapa teori yang

mendukung negara untuk melakukan pemungutan pajak kepada rakyatnya yaitu:

a. Teori Asuransi,

Teori ini menyatakan bahwa negara bertugas untuk melindungu

orang dari segala kepentingan, meliputi keselamatan dan keamanan jiwa

dan juga harta bendanya. Seperti halnya dalam perjanjian asuransi

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

21

(pertanggungan) untuk melindungu orang dan kepentingan tersebut

diperlukan pembayaran premi. Dalam hubungan negara dengan rakyatnya,

pajak inilah yang dianggap sebagai premi tersebut yang sewaktu-waktu

harus dibayar oleh masing-masing individu.

b. Teori Gaya Pikul

Teori ini menyatakan bahwa dasar keadilan pemungutan terletak

pada jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya, yaitu

perlindungan atas jiwa dan harta bendanya, untuk kepentingan tersebut

diperlukannya biaya-biaya yang harus dipikul oleh segenap orang yang

menikmati perlindungan itu, yaitu dalam bentuk pajak.

c. Teori Kepentingan

Teori ini pada awalnya hanya memperhatikan pembagian beban

pajak yang harus dipungut oleh seluruh penduduk. Pembagian beban ini

harus didasarkan atas kepentingan masing-masing orang dalam tugas

pemerintah, termasuk perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta

bendanya. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika biaya-biaya yang

dikeluarkan oleh negara dibebankab kepada mereka.

d. Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Bakti)

Teori ini mendasarkan pada paham Organische Staatsleer yang

mengajarkan bahwa karena sifat suatu negara maka timbullah hak mutlak

untuk memungut pajak. Melihat sejarah terbentuknya suatu negara, maka

teori bakti ini bisa dikatakan sebagai adanya perjanjian dalam masyarakat

(tiap-tiap individu) untuk membentuk negara dan menyerahkan sebagian

kekuasaannya kepada negara untuk memimpin masyarakat. Karena

adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada negara, maka

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

22

pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara merupakan bakti dari

masyarakat kepada negara, karena negaralah yang bertugas

menyelenggarakan kepentingan masyarakatnya. Dalam pemahaman yang

sederhana teori bakti, mengenai :

• Hukum pajak terletak dalam hubungan rakyat dan negara.

• Negara menyelenggarakan kepentingan umum untuk rakyatnya,

karena ada hubungan maka negara memungut pajak terhadap

rakyatnya.

• Rakyat membayar pajak karena merasa berbakti kepada negara.

e. Teori Asas Gaya Beli

Teori ini menyatakan fungsi pemungutan pajak disamakan dengan

pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat

untuk rumah tangga negara, dan kemudian menyalurkan kembali ke

masyarakat denegan maksut untuk memlihara hidup masyarakat dan untuk

membawanya kearah tertentu. (Resmi, 2011)

2.1.3 Pajak Daerah

1.1.3.1 Pengertian Pajak Daerah

Pada Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah, menyatakan bahwa “pajak adalah kontribusi wajib kepada

daerah yang terutang oleh orang atau pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan Undang-Undang, imbalan tidak diberikan secara langsung tetapi

digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan kesejahteraan publik”.

Selanjutnya Mardiasmo (2009) menjelaskan tentang pajak daerah merupakan

iuran wajib dari masyarakat kepada pemerintah daerah tanpa adanya imbalan

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

23

secara langsung dan bersifat memaksa yang nantinya digunakan untuk

membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

1.1.3.2 Jenis Pajak Daerah

Pajak daerah diklasifikasikan menurut wilayah kekuasaan pihak

pemungutannya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disebutkan bahwa jenis pajak sebagai

berikut:

1. Pajak Provinsi

Pajak Provinsi adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah

daerah tingkat provinsi. Pajak Provinsi yang ada di Indonesia dan

berlaku sampai saat ini, terdiri atas:

a. Pajak kendaraan bermotor

b. Pajak balik nama kendaraan bermotor

c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor

d. Pajak air permukaan, dan

e. Pajak rokok.

2. Pajak Kabupaten/Kota

Pajak Kabupaten/Kota adalah pajak daerah yang dipungut oleh

pemerintah daerah tingkat Kabupaten/Kota. Pajak Kabupaten/Kota

terdiri dari:

a. Pajak Hotel

b. Pajak Restoran

c. Pajak Hiburan

d. Pajak Reklame

e. Pajak Penrangan Jalan

f. Pajak Minral Bukan Logam dan Batuan

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

24

g. Pajak Parkir

h. Pajak Air Tanah

i. Pajak Sarang Burung Walet

j. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2)

k. Bea Perolehan Hak Ata Tanah dan Bangunan.

Daerah dilarang memungut pajak selain yang telah disebutkan di atas.

Apabila terdapat jenis pajak yang potensinya kurang memadai maka pemerintah

daerah dapat tidak memungut jenis pajak tersebut. Untuk daerah yang tidak

terbagi menjadi daerah otonom atau setingkat dengan provinsi, contohnya DKI

Jakarta maka jenis pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari pajak

untuk gabungan dari pajak daerah provinsi dan pajak untuk Kabupaten/Kota.

2.1.3.3 Perhitungan Pajak Dearah

Besarnya pokok pajak daerah dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak

dengan dasar pengenakan pajak. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah ditentukan tarif pajak

yang dapat diterapka oleh pemerintah daerah untuk masing-masing jenis pajak.

Pajak daerah yang diatur adalah tarif paling tinggi, sebagaimana dijelaskan

sebagai berikut:

1. Pajak Kendaraan Bermotor maksimal sebesar 10%

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor maksimal sebesar 20%

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor maksimal sebesar 10%

4. Pajak Air Permukaan maksimal sebesar 10%

5. Pajak Rokok maksimal sebesar 10%

6. Pajak Hotel maksimal sebesar 10%

7. Pajak Restoran maksimal sebesar 10%

8. Pajak Hiburan maksimal sebesar 35%

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

25

9. Pajak Reklame maksimal sebesar 25%

10. Pajak Penerangan Jalan maksimal sebesar 10%

11. Pajak Parkir maksimal sebesar 30%

12. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan maksimal sebesar 25%

13. Pajak Air Tanah maksimal sebesar 20%

14. Pajak Sarang Burung Walet maksimal sebesar 10%

15. Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan maksimal sebesar 0,3%

16. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) maksimal sebesar

5%.

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa tarif pajak daerah memberikan tarif

maksimal yang tidak bisa dilebihkan oleh daerah. Tarif maksimal yang diterapkan

oleh pemerintah sebesar 35%. Tetapi hal ini tidak merata berlaku pada setiap

masing-masing jenis pajak daerahnya. Masing-masing jenis pajak daerah

memiliki batas maksimal masing-masing.

2.1.4 Pajak hotel

2.1.4.1 Pengertian Pajak Hotel

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, menyatakan bahwa pajak

hotel ialah pajak yang diterima dari adanya pelayanan yang telah disediakan oleh

hotel. Sedangkan menurut Siahaan (2005), pajak hotel ialah suatu pungutan

yang disebabkan adanya pelayanan hotel. Selanjutnya menurut Kurniawan

(2006) “hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk

menginap/istirahat, memperoleh pelayanan, dan atau fasilitas lainnya dengan

dipungut bayaran.

Pengenaan pajak hotel disetiap daerah berbeda di setiap daerah satu

dengan yang lain. Hal ini dikarenakan oleh adanya kewenangan pemerintah

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

26

daerah untuk memungut atau tidaknya suatu jenis pajak. Agar suatu pajak hotel

dapat dipungut maka pemerintah harus mengeluarkan peraturan daerah tentang

pajak hotel. Selanjutnya peraturan daerah tersebut digunakan sebagai landasan

hukum dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan pajak hotel di

daerah yang bersangkutan (Siahaan, 2005).

2.1.4.2 Dasar Hukum

Pemungutan pajak hotel yang ada di Indonesia saat ini memiliki landasan

hukum yang kuat dan jelas. Sudah seharusnya masyarakat dan pihak yang

terkait dalam melakukan pemungutan pajak hotel harus memenuhi aturan yang

berlaku. Dalam pelaksanaan pemungutan pajak hotel, Dinas Pendapatan Daerah

Kota Batu berpedoman pada:

1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah.

2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

4. Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah

5. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 170 Tahun 1997 Tentang

Pedoman Tata Cara Pemungutan Pajak

6. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Sistem

dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan

Penerimaan pendapatan Lain-Lain

7. Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 5 Tahun 2010

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

27

2.1.4.3 Objek Pajak Hotel

Objek pajak hotel merupakan bagian penting dalam hukum pajak materiil

karena wajib pajak tidak dapat dikenakan pajak apabila tidak memiliki,

menguasai, atau menikmati suatu objek yang tergolong sebagai objek kena

pajak sebagi syarat-syarat objektif dalam pengenaan pajak. Objek yang dapat

dikenakan pajak dalam masyarakat sangat beragam bergantung pada kebijakan

pembuat undang-undang. Peraturan Daerah Kota Batu No 5 Tahun 2010

menyebutkan yang menjadi objek pajak hotel adalahpelayanan yang disediakan

oleh hotel dengan pembayaran termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan

hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas

olahraga dan hotel.Jasa penunjang yang dimaksud adalah fasilitas telepeon,

fiximile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, setrika, transportasi, dan

fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel. Sedangkan yang

dikecualikan dari objek pajak meliputi1) jasa tempat tinggal asrama yang

diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, 2) jasa sewa

apartemen, kondominium, dan sejenisnya, 3) jasa tempat tinggal pusat

pendidikan atau kegiatan keagamaan, 4) jasa tempat tinggal di rumah sakit,

asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang

sejenis, dan5) jasa biro perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel yang

dapat dimanfaatkan oleh umum.

2.1.4.4 Subjek dan Wajib Pajak Hotel

Berdasarkan Perda Kota Batu Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Pajak Hotel

bahwa subjek “pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan

pembayaran atas pelayanan hotel”. Singkatnya yang menjadi subjek pajak hotel

adalah konsumen yang menikmati dan membayar jasa yang diberikan oleh

pengusaha/badan penyelenggara hotel. Pajak hotel yang terutang dipungut di

wilayah daerah tempat dimana hotel berlokasi.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

28

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah, “wajib pajak hotel adalah pribadi atau badan yang

mengusahakan hotel”. Secara sederhana, yang menjadi wajib pajak adalah

pengusaha tempat-tempat hotel baik itu orang pribadi maupun badan dalam

bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya

melakukan usaha dibidang penyelenggara hotel

2.1.4.5 Dasar Pengenaan, Tarif Pajak Hotel dan Perhitungan Pajak Hotel

Menurut Siahaan (2005), dasar pengenakan pajak hotel ialah jumlah

pembayaran yang diterima oleh hotel. Sedangkan tarif hotel sudah ditetapkan

dalam peraturan daerah Kabupaten/Kota yaitu paling tinggi 10%. Setiap darah

diberikan kewenangan untuk menetapkan tarif pajak yanng disesuaikan dengan

potensi yang dimiliki masing-masing daerah. Namun, tarif pengenaannya pajak

hotel tidak diperbolehkan lebih dari 10%.

Berdasarkan dasar pengenaan dan tarif pajak yang telah dijelaskan di atas,

maka esarnya pokok pajak terutang dapat dihitung dengan rumus sebagai

berikut:

= Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran yang diterima hotel

2.1.4.6 Perhitungan Potensi Pajak Hotel

Potensi adalah suatu kemampuan yang sudah ada namun belum

dimanfaatkan atau belum dioptimalkan. Sehingga, agar potensi yang ada bisa

diperoleh dengan optimal maka perlu adanya upaya-upaya tertentu untuk

dilakukan. Hal ini dikarenakan sifat potensi yang tersembunyi, oleh karena itu

perlu diteliti besarnya potensi yang ada. Setiap daerah dengan daerah yang lain

memiliki potensi pendapatan yang berbeda-beda, hal tersebut dikarenakan

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

29

adanya perbedaan faktor demografi, sosiologi, ekonomi, budaya, geomorfologi,

dan lingkungan. namun, yang sering menjadi masalah ialah suatu potensi tidak

dapat diolah atau belum dimanfaatkan secara optimal dikarenakan keterbatasan

sumberdaya manusia, permodalan, dan peraturan perundang-undangan yang

membatasi hal tersebut. Suatu daerah dapat digolongkan menjadi empat jika

dilihat dari kepemilikan potensi dan juga kemampuan potesi yang dimiliki,

keempat kategori tersebut yaitu, memiliki potensi dan kemampuan mengelola

tinggi, memiliki potensi yang tinggi tetapi kemampuan mengelolanya rendah,

memiliki potensi yang rendah tetapi mempunyai kemampuan mengelola yang

tinggi, dan memiliki potensi yang rendah dan kemampuan mengelola rendah.

Perhitungan potensi pendapatan berbasis mikro dapat dilakukan degan

cara menghitung potensi pendapatan untuk masing-masing objek pendapatan

(Mahmudi, 2010). Pada umumnya, perhitungan potensi suatu penerimaan pajak

dihitung dengan mengalikan tarif suatu pajak dengan basis pajak. Tarif pajak

disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penentuan basis

pajak perlu dilakukan secara objektif karena akan mempengaruhi besarnya

potensi pendapatan.

Berikut ini merupakan cara perhitungan potensi pajak hotel. Menurut Harun

(2003) perhitungan tarif rata-rata kamar dapat dirumuskan sebagai berikut:

( ) ( ) ( )

Keterangan:

X1 = Jumlah kelas kamar suite

X2 = Jumlah kelas kamar deluxe

X3 = Jumlah kelas kamar standart

Y1 = Tarif kamar suite

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

30

Y2 = Tarif kamar deluxe

Y3 = Tarif kamar standart

Z = Total jumlah kamar

Sedangkan, perhitungan untuk rata-rata tingkat hunian, dapat dirumuskan

sebagai berikut:

Pemungutan pajak hotel dapat dilakukan dengan official assesment yakni

berdasarkan penetapan kepala daerah melalui penerbitan surat ketetapan pajak

daerah. Menurut Mahmudi (2010) untuk menghitung potensi pajak hotel

menggunakan rumus sebagai berikut:

( )

Keterangan:

PPH = Potensi Pajak Hotel

JK = Jumlah Kamar

TK = Tarif Kamar Rata-Rata

JH = Jumlah Hari

TH = Tingkat Hunian

10% = tarif pajak hotel

2.1.5 Hubungan Jumlah Wisatwan Terhadap Pajak Hotel

Menuruut Yoeti (2008) kunjungan wisatwan mancanegara atau nusantara

merupakan sumber penerimaan bagi daerah atau negara, baik dalam bentuk

devisa atau penerimaan pajak dan retribusi lainnya, disamping dapat

meningkatkan kesempatan kerja. Wisatawan yang tiba disuatu negara asing,

baik secara individu maupun kelompok, apapun tujuan perjalanannya akan

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

31

membelanjakan uangnya selama menetap di daerah tujuan untuk membayar

jasa-jasa atau barang wisata dan membeli jasa-jasa atau barang yang tidak

berkaitan dengan wisata. Semakin banyak jumlah wisatawan dan semakin lama

wisatawan tinggal di suatu daerah tujuan wisata, maka semakin banyak pula

uang yang dibelanjakan di daerah tujuan wisata tersebut, paling sedikit untuk

keperluan makan, minum, dan penginapan selama tinggal di daerah tersebut

(Salah, 2003).

Berbagai macam kebutuhan wisatwan selama perjalanan wisatanya akan

menimbulkan gejala konsumtif untuk produk-produk yang ada d daerah tujuan

wisatwa. Dengan adanya kegiatan konsumtif baik dari wisatawan mancanegara

maupun wisatawan nusantara akan mangakibatkan pendapatan pajak

meningkat. Perkembangan jumlah wisatwan akan berpengaruh terhadap

penerimaan pajak hotel, karena hotel merupakan salah satu temat yang paling

dicari oleh wisatawan untuk menginap di daerah tujuan wisata. Dengan adanya

perilaku konsumtif dari wisatawan khususnya penggunaan jasa hotel maka

semakin tinggi wisatwan akan berpengaruh terhadap penerimaan pajak hotel.

2.1.6 Hubungan Sektor Pariwisata Terhadap Pajak Hotel

Pengaruh sektor pariwisata terhadap pajak hotel ialah berjalan melalui

pegaruh sektor pariwisata terhadap PDRB. PDRB merupakan salah satu faktor

penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu wilayah tertentu dalam suatu

periode tertentu. Apabila nilai PDRB mengalami peningkatan maka akan

membawa pengaruh positif pada kenaikan penerimaan daerah. Semakin tinggi

pendapatan seseorang maka akan semakin tinggi pula kemampuan sesorang

untuk membayar berbagai pungutan yang ditetapkan pemerintah, sehingga

semakin tinggi pula kemampuan masyarakat daerah tersebut untuk membayar

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

32

pajak daerah yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan

pengeluaran pembangunan pemerintah (Davey dalam Prakoso, 2005).

PDRB adalah salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan

masyarakat di suatu wilayah tertentu. Mengingat pajak reklame merupakan salah

satu dari pajak daerah, maka semakin tinggi PDRB akan semakin tinggi

penerimaan pajak daerah pada umumnya dan pajak hotel pada khususnya

(Arsyad, 2010). Menurut teori Peacok dan Wiserman (dalam Widiana, 2015)

perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat

walaupun tarif pajak tidak bertambah. Meningkatnya penerimaan pajak

menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh sebab itu

dalam keadaan normal, meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan

pemerintah semakin besar begitu juga dengan pengeluaran pemerintah yang

semakin besar pula. Melihat pernyataan tersebut dapat dijelaskan ketika terjadi

perkembangan perekonomian di suatu daerah akan menyebabkan menerimaan

pajak yang akan meningkat dengan otomatis PAD juga akan meningkat yang

berdampak pada peningkatan pengeluaran pemerintah. Sehingga meningkatnya

PDRB akan mengakibatkan peningkatan dalam penerimaan pajak daerah dan

pengeluaran daerah.

2.1.7 Hubungan Jumlah Penduduk Terhadap Pajak Hotel

Menurut Ruslan (1983), penduduk ialah sejumlah makhluk sejenis yang

mendiami suatu tempat atau wilayah tertentu. Menurut Siahaan (2005) penduduk

merupakan salah satu faktor yang signifikan berpengaruh terhadap jumlah

penerimaan pajak hotel. Penduduk mempunyai peran yang sangat penting dalam

pembangunan ekonomi, selain itu keberadaan penduduk terlibat secara

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

33

langsung dalam kegiatan dan usaha dibidang ekonomi. Sementara disisi lain

penduduk juga merupakan sasaran obyek pajak.

Sebagai salah satu sasaran obyek pajak, perkembangan penduduk akan

mempengaruhi jumlah penerimaan pajak, terutama pajak daerah. Dengan

bertambahnya jumlah penduduk maka akan mempengaruhi luas obyek jumlah

pajak sehingga akan meningkatkan penerimaan pajak hotel. Menurut Arianto

(2014), dengan meningkatnya jumlah penduduk maka semakin banyak

penduduk yang menikmati jasa pelayanan yang diberikan pemerintah maupun

pihak swasta yang menjadi sumber pendapatan daerah salah satunya pelayanan

hotel. Sehingga penduduk akan mengeluarkan sebagian penghasilannya untuk

membayar jasa pelayanan atas hotel dan akan semakin meningkat pajak hotel

yang diterima oleh pemerintah.

2.2 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan tema yang diangkat oleh penulis tentang Analisis Potensi Dan

Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Hotel (Studi Kasus Kota Batu

Tahun 2008-2015), maka terdapat beberapa penelitian yang menjadi acuan

penulis, yaitu:

Tabel 2.1: Penelitian Terdahulu

NAMA TUJUAN

METODE PENELITIAN

dan VARIABEL

HASIL

Hervia Nanda Alista (2016)

“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Realisasi Jumlah Penerimaan Pajak Hotel (Studi Pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Tulungagung”

Mengetahui pengaruh jumlah wisatawan, tingkat inflasi dan PDRB pada penerimaan pajak hotel di Kabupaten Tulungagung periode 2006-

Metode Deskriptif Kuantitatif dan Regresi Linier Berganda

Variabel:

Jumlah wisatawan

Secara simultan jumlah wisatwan, laju inflasi dan produk domestik regional bruto (PDRB) berpengaruh signifikan terhadap variabel

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

34

NAMA TUJUAN

METODE PENELITIAN

dan VARIABEL

HASIL

2013 Laju Inflasi PDRB

penerimaan pajak. secara parsial jumlah wisatawan dan laju inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak hotel.

Qorina Novitri (2014)

“Determinan Penerimaan Daerah dari Sektor Pariwisata di Kabupaten/Kota Provinsi Jambi”

Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan daerah dari sektor pariwisata di Provinsi Jambi

Metode Analisis Regresi data panel

Variabel:

PDRB sektor pariwisata

Kamar hotel Rata-rata

ama menginap

Restoran dan rumah makan

Jumlah wisatawan

PDRB sektor pariwisata, kamar hotel, rata-rata lama menginap, restoran dan rumah makan, dan jumlah wisatawan secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan daerah dari sektor pariwisata.

Satria Adi Nugraha (2012)

“Analisis Pada Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Hotel”

Untuk mengetahui pengaruh jumlah wisatawan, jumlah hotel, tingkat hunian kamar dan laju inflasi terhadap penerimaan pajak hotel

Metode Deskriptif Kuantitatif dan linier regresi berganda

Secara parsial jumlah wisatawan, jumlah hotel, tingkat hunian kamar dan laju inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak hotel.

Aldo Adam (2013)

“Hubungan Jumlah Wisatawan, Jumlah Hotel terhadap

Untuk mengetahui seberapa kuat hubungan jumlah

Metode Deskriptif Kuantitatif dan korelasi

Jumlah wisatawan dan jumlah hotel memiliki hubungan yang

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

35

NAMA TUJUAN

METODE PENELITIAN

dan VARIABEL

HASIL

penerimaan pajak hotel”

wisatawan dan jumlah hotel terhadap penerimaan pajak hotel di Kota Manado.

berganda

Variabel:

Jumlah wisatawan

Jumlah hotel

kuat terhadap penerimaan pajak hotel. secara parsial jumlah hotel sangat berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak hotel di Kota Manado.

Puspita Suci Arianto (2014)

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Hotel Di Kota Surabaya

Mengetahui pengaruh jumlah penduduk, inflasi dan PDRB terhadap penerimaan pajak hotel di Kota Surabaya

Regresi Linier Berganda

Jumlah penduduk dan PDRB berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak hotel di Kota Surabaya. Sedangkan inflasi berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak hotel di Kota Surabaya..

Sumber: Peneliti, diolah.

2.3 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan kerangka teori yang telah dipaparkan di atas, dengan adnya

otonomi dan sdesentralisasi fiskal yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 maka setiap daerah

diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengelola sendirii kekayaan yang

dimiliki dengan harapan pemerintah daerah mampu menggali potensi yang ada

di daerahnya guna meningkatkan pendapatan daerah yang dapat digunakan

untuk membiayai kebutuhan setiap daerah masing-masing. Pajak daerah

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

36

merupakan salah satu sumber potensial penerimaan daerah. Salah satu pajak

daerah yang sangat potensial dalam penerimaannya adalah pajak hotel. Dalam

pelaksanaan pemungutannya maka harus diupayakan memaksimalkan pajak

hotel, salah satunya dengan menghitung besarnya potensi pajak hotel agar

penerimaan pajak yang diperoleh benar-benar menggambarkan potensi yang

sebenarnya.

Dalam penelitian ini mengkaji tentang analisis potensi dan faktor yang

mempengaruhi penerimaan pajak hotel di Kota Batu. Berdasarkan data-data

yang ada terdapat permasalahan yang mengidentifikasikan bahwa pajak hotel

yang ada masih belum digali secara maksimal. Hal ini dapat dilihat dari realisasi

penerimaan pajak hotel yang selalu melebihi target dan memiliki selisih yang

sangat besar, sehingga menimbulkan permasalahan karena penetapan target

umumnya hanya dibuat berdasarkan realisasi penerimaan pajak hotel pada

tahun sebelumnya, dan bukan berdasarkan potensi yang sebenarnya.

Dengan melihat kerangka pikir yang telah dijelaskan sebelumnya, maka

dapat digambarkan kerangka pemikiran dari penelitian ini yaitu:

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

37

Gambar 2.1: Kerangka Pikir

Sumber: peneliti

2.4 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pikir yang telah dijelaskan di atas maka hipotesis

dalam penelitian ini adalah:

1. Diduga jumlah wisatawan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan

pajak hotel di Kota Batu tahun 2008-2015

2. Diduga sektor pariwisata berpengaruh signifikan terhadap penerimaan

pajak hotel di Kota Batu tahun 2008-2015

Otonomi dan Desentralisasi Daerah (Undang-Undang Nomor 32 dan 33 tahun 2004)

Pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola

kekayaan daerah

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pajak Daerah

Pajak Hotel

Jumlah Wisatawan

Sektor Pariwisata

Jumlah Penduduk

Potensi Pajak

Hotel

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/6575/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang

38

3. Diduga jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap penerimaan

pajak hotel di Kota Batu tahun 2008-2015

4. Diduga jumlah wisatawan, pdrb sektor pariwisatadan jumlah penduduk

secara bersama sama berpengaruh signifikan terhadap penerimaan

pajak hotel di Kota Batu tahun 2008-2015.