Upload
vandieu
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Miskonsepsi
a. Pengertian Miskonsepsi
Miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep
yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang
diterima para pakar dalam bidang matematika (Suparno, 2013: 4).
Novak & Gowin (Eka, 2014: ix) menyatakan bahwa miskonsepsi
merupakan suatu interpretasi mengenai konsep-konsep dalam suatu
pernyataan yang tidak dapat diterima. Miskonsepsi merupakan
penjelasan yang salah dan suatu gagasan yang tidak sesuai dengan
pengertian ilmiah yang diterima para ahli. Miskonsepsi dapat
merupakan pengertian yang tidak akurat tentang konsep, penguasaan
konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah tentang
penerapan konsep, pemaknaan konsep yang berbeda, kekacauan
konsep yang berbeda dan hubungan hirarki konsep-konsep yang tidak
benar.
Pengertian miskonsepsi juga dikemukakan oleh beberapa ahli
dalam buku Suparno (2013: 4-5) sebagai berikut:
8
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
9
1) Novak (1984)
Novak mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi
konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima.
2) Brown (1989: 1992)
Brown menjelaskan miskonsepsi sebagai suatu pandangan yang
nait dan mendefinisikannya sebagai suatu gagasan yang tidak
sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima.
3) Feldsine (1987)
Feldsine menemukan miskonsepsi sebagai suatu kesalahan dan
hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep.
4) Fowler (1987)
Fowler memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak
akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, kekacauan
konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hirarkis konsep-konsep
yang tidak benar.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
miskonsepsi adalah kesalahan konsep yang tidak sesuai dengan
pengertian ilmiah. Miskonsepsi dapat diartikan sebagai suatu
interpertasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat
diterima atau gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah.
Miskonsepsi adalah pengertian yang tidak akurat akan konsep,
penggunaan konsep yang salah, kekacauan konsep-konsep yang
berbeda dan hubungan hirarki konsep-konsep yang tidak benar.
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
10
b. Penyebab Miskonsepsi
Suparno (2013: 29) mengemukakan bahwa penyebab
miskonsepsi secara garis besar ada lima kelompok yaitu: siswa, guru,
buku teks, konteks, dan metode mengajar.
1) Siswa
Miskonsepsi yang berasal dari siswa dapat dikelompokkan dalam
beberapa hal, antara lain:
a) Prakonsepsi atau Konsep Awal Siswa
Siswa sudah mempunyai konsep awal atau prakonsepsi tentang
suatu bahan sebelum siswa mengikuti pelajaran formal di
bawah bimbingan guru (Suparno, 2013: 34). Konsep awal ini
sering mengandung miskonsepsi.
b) Pemikiran Asosiatif Siswa
Asosiasi siswa terhadap istilah-istilah sehari-hari kadang-kadang
juga membuat miskonsepsi. Marshall dan Glimour (1990) dalam
Suparno (2013: 36) menyatakan bahwa pengertian yang berbeda
dari kata-kata antara siswa dan guru juga dapat menyebabkan
miskonsepsi. Kata dan istilah yang digunakan oleh guru dalam
proses pembelajaran diasosiasikan lain oleh siswa, karena dalam
kehidupan mereka, kata dan istilah itu mempunyai arti yang
lain.
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
11
c) Pemikiran Humanistik
Gilbert, Watts, dan Osborne (1982) dalam Suparno (2013: 36)
menyatakan bahwa siswa sering memandang semua benda dari
pandangan manusiawi. Benda-benda dan situasi dipikirkan
dalam term pengalaman orang dan secara manusiawi.
d) Reasoning yang Tidak Lengkap atau Salah
Comins (1993) dalam Suparno (2013: 36) menjelaskan bahwa
reasoning atau penalaran siswa yang tidak lengkap atau salah
dapat menyebabkan miskonsepsi. Alasan yang tidak lengkap
dapat disebabkan karena informasi yang diperoleh atau data
yang didapatkan tidak lengkap sehingga siswa menarik
kesimpulan secara salah dan ini menyebabkan timbulnya
miskonsepsi siswa.
e) Intuisi yang Salah
Instuisi adalah suatu perasaan dalam diri seseorang yang secara
spontan mengungkapkan sikap atau gagasannya tentang sesuatu
sebelum secara obyektif dan rasional diteliti (Suparno, 2013:
38). Intuisi yang salah dan perasaan siswa dapat menyebabkan
miskonsepsi.
f) Tahap Perkembangan Kognitif Siswa
Siswa yang masih dalam tahap operasional konkret apabila
mempelajari bahan yang abstrak akan sulit menangkap dan
sering salah mengerti tentang konsep bahan tersebut.
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
12
Perkembangan kognitif siswa yang tidak sesuai dengan bahan
yang digeluti dapat menjadi penyebab miskonsepsi siswa
(Suparno, 2013: 39).
g) Kemampuan Siswa
Kemampuan siswa juga mempengaruhi miskonsepsi siswa.
Siswa yang intelegensi matematis-logisnya kurang tinggi akan
mengalami kesulitan dalam mengangkap konsep terutama
konsep yang abstrak (Suparno, 2013: 40).
h) Minat Belajar Siswa
Siswa yang berminat cenderung mempunyai miskonsepsi lebih
rendah daripada siswa yang tidak berminat. Siswa yang tidak
berminat apabila salah dalam menangkap suatu bahan maka
tidak berminat juga untuk mencari mana yang benar dan
mengubah konsep yang salah sehingga kesalahan untuk bahan-
bahan yang dibangun berdasarkan miskonsepsi akan semakin
menumpuk.
2) Guru
Guru yang tidak menguasai bahan atau mengerti bahan secara tidak
benar akan menyebabkan siswa mendapatkan miskonsepsi karena
guru yang tidak memahami konsep akan meneruskan salah
pengertian tersebut kepada siswa (Suparno, 2013: 42). Guru yang
dengan cepat lari pada rumusan matematika dan bukan pada konsep
serta guru yang memberikan penjelasan dengan sangat sederhana
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
13
untuk membantu siswa lebih mudah menangkap bahan yang
disajikan terkadang menjelaskan tidak lengkap atau menghilangkan
sebagian unsur yang penting sehingga siswa salah menangkap
konsep (Suparno, 2013: 44). Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Maghsoudi (2015) yang menyatakan bahwa:
“Mathematics which is taught without using proper
backgrounds and connection to the real time stops delivering
common sense to real mathematics from learning. This can
cause various misconceptions in understanding concepts in
mathematics.”
Artikel di atas menjelaskan bahwa penyajian materi matematika
oleh guru yang tidak dikaitkan dengan latar belakang siswa yang
tepat dan kehidupan nyata siswa merupakan penyebab terjadinya
kesalahpahaman siswa mengenai konsep-konsep (miskonsepsi)
dalam matematika. Selain itu, guru yang tidak memberikan materi
matematika secara konkret dengan tidak menggunakan benda-
benda nyata kepada siswa juga menjadi penyebab miskonsepsi.
Zuya dan Kwalat (2015) menambahkan:
“As it is an indication that the teachers themselves do not
possess the knowledge required to solve the problems in
question. Their failure to identify the knowledge the student
lacked in solving the problems in this study was not
unconnected with their inability to suggest ways of helping
the student. This is a case of “you cannot give what you do
not have”.
Artikel di atas menjelaskan tentang kegagalan sebagian besar guru
dalam mengidentifikasi atau mencari tahu miskonsepsi yang terjadi
pada siswa. Guru-guru tersebut gagal dikarenakan mereka tidak
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
14
memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk memecahkan
miskonsepsi sehingga mereka tidak dapat membantu siswa
memecahkan masalahnya. Dengan demikian, seorang guru tidak
dapat membantu menyelesaikan miskonsepsi siswa jika guru
tersebut juga tidak memiliki pengetahuan tentang miskonsepsi.
3) Buku Teks
Buku teks dapat menyebarkan miskonsepsi yang disebabkan bahasa
yang sulit atau penjelasan yang tidak benar sehingga miskonsepsi
tetap diteruskan (Suparno, 2013: 44).
4) Konteks
Konteks juga dapat menjadi penyebab miskonsepsi. Menurut
Suparno (2013: 47-49), konteks tersebut antara lain pengalaman
siswa, bahasa sehari-hari, teman lain, keyakinan dan ajaran agama.
5) Metode mengajar
Metode yang digunakan guru dapat memunculkan miskonsepsi
sehingga guru perlu kritis dengan metode yang akan digunakan dan
tidak membatasi diri dengan satu metode saja. Beberapa contoh
metode mengajar antara lain: metode ceramah, metode praktikum,
metode demonstrasi dan metode diskusi.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
penyebab miskonsepsi dapat berasal dari siswa yang disebabkan
prakonsepsi, pemikiran asosiatif, pemikiran humanistik, reasoning
yang salah, intuisi yang salah, tahap perkembangan kognitif siswa,
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
15
kemampuan siswa dan minat belajar siswa. Penyebab miskonsepsi
selanjutnya berasal dari guru yang tidak menguasai bahan atau
mengerti bahan namun tidak benar sehingga penjelasan dalam buku
teks yang salah atau bahasa yang sulit dipahami akan diteruskan oleh
guru kepada siswa yang menyebabkan miskonsepsi pada siswa.
Konteks siswa yang berupa pengalaman serta metode mengajar yang
tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan
gagasannya juga menjadi penyebab miskonsepsi.
c. Teknik-Teknik Mendeteksi Miskonsepsi
Miskonsepsi yang terjadi pada siswa dapat ditangani apabila
diketahui miskonsepsi apa saja yang dimiliki dan darimana asal
miskonsepsi tersebut. Cara mengidentifikasi dan mendeteksi
miskonsepsi diperlukan agar dapat mengetahui miskonsepsi siswa.
Beberapa alat deteksi yang sering digunakan para peneliti dan guru
antara lain:
1) Peta Konsep (Concept Map)
Feldsine (1987) dan Fowler (1987) dalam Suparno (2013: 122)
mendefinisikan peta konsep sebagai alat yang baik untuk
mengidentifikasi, baik kerangka alternatif atau miskonsepsi siswa.
Miskonsepsi siswa dapat diidentifikasi dengan melihat apakah
hubungan antara konsep-konsep itu benar atau salah. Novak dan
Gowin, (1984) dalam Suparno (2013: 121) menyatakan bahwa
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
16
biasanya miskonsepsi dapat dilihat dalam proporsi yang salah dan
tidak adanya hubungan yang lengkap antar konsep.
2) Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka
Amir, dkk, (1987) dalam Suparno (2013: 123) berpendapat bahwa
penggunaan tes pilihan ganda (multiple choice) dengan pertanyaan
terbuka mengharuskan siswa untuk menjawab dan menulis
mengapa siswa mempunyai jawaban seperti itu. Jawaban-jawaban
yang salah dalam pilihan ganda ini dapat dijadikan bahan tes
berikutnya.
3) Tes Esai Tertulis
Guru dapat mempersiapkan suatu tes esai yang memuat beberapa
konsep yang akan diajarkan atau yang sudah diajarkan sehingga
dapat diketahui miskonsepsi yang dibawa oleh siswa dan dalam
bidang apa (Suparno, 2013: 126).
4) Wawancara Diagnosis
Guru memilih beberapa konsep yang diperkirakan sulit dimengerti
siswa atau beberapa konsep pokok dari bahan yang akan diajarkan,
kemudian siswa diajak untuk mengekspresikan gagasan mereka
mengenai konsep-konsep tersebut (Suparno, 2013: 126).
5) Diskusi dalam Kelas
Siswa diminta mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep
yang sudah diajarkan atau yang hendak diajarkan di dalam kelas
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
17
sehingga dapat dideteksi juga apakah gagasan mereka itu tepat atau
tidak (Suparno, 2013: 127).
6) Praktikum dengan Tanyajawab
Praktikum disertai dengan tanyajawab antara guru dengan siswa
yang melakukan praktikum dapat digunakan untuk mendeteksi
apakah siswa mempunyai miskonsepsi tentang konsep pada
praktikum itu atau tidak (Suparno, 2013: 128).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa seorang
guru dapat mendeteksi miskonsepsi yang terjadi pada siswa. Alat yang
digunakan untuk mndeteksi miskonsepsi antara lain: peta konsep, tes
pilihan ganda dengan jawaban terbuka, tes essai tertulis, wawancara
diagnosis, diskusi dalam kelas, dan praktikum dengan tanyajawab.
Penggunaan alat pendeteksi tersebut bertujuan untuk mengetahui
miskonsepsi yang dimiliki siswa beserta sumbernya.
2. Matematika
a. Pengertian Matematika
Nasution (1982: 12) menjelaskan bahwa istilah matematika
berasal dari kata Yunani, mathein atau mathenein yang berarti
mempelajari. Kata ini memiliki hubungan yang erat dengan bahasa
sansekerta, medha atau widya yang memiliki arti kepandaian,
ketahuan atau intelegensia. Matematika dalam bahasa Belanda,
disebut dengan kata wiskunde yang berarti ilmu tentang belajar.
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
18
Ruseffendi (Titikusumawati, 2014: 4) juga menjelaskan bahwa
kata matematika berasal dari bahasa Latin mathematika, awalnya
diambil dari bahasa Yunani mathematike yang artinya mempelajari.
Mathematika berasal dari kata mathema yang berarti pengetahuan atau
ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula
dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein
yang artinya belajar (berpikir). Berdasarkan kedua pendapat di atas,
dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang
diperoleh melalui belajar dan berpikir (bernalar). Matematika
terbentuk karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan
penalaran.
Definisi matematika dikemukakan oleh beberapa ahli yang
terangkum dalam buku Titikusumawati (2014: 35) sebagai berikut:
1) Russefendi (1988: 23)
Matematika terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak
didefinisikan. Definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil di
mana dalil-dalil setelah dibuktikan kebenarannya berlaku secara
umum, karena itulah matematika sering disebut ilmu deduktif.
2) James dan James (1976)
Matematika adalah ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan,
besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan antara satu dengan
lainnya. Matematika terbagi dalam tiga bagian besar yaitu aljabar,
analisis dan geometri.
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
19
3) Johnson dan Rising dalam Russefendi (1972)
Matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan,
pembuktian yang logis, matematika itu adalah bahasa yang
menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan
akurat representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa
bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi. Matematika
adalah pengetahuan struktur yang terorganisasi, sifat-sifat dalam
teori-teori dibuat secara deduktif berdasarkan kepada unsur yang
tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah dibuktikan
kebenarannya adalah ilmu tentang keteraturan pola atau ide, dan
matematika itu adalah suatu seni, keindahannya terdapat pada
keterurutan dan keharmonisannya.
4) Reys-dkk (1984)
Matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu
jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat.
5) Kline (1973)
Matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat
sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu
terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan
menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.
Selain pendapat di atas, Soedjadi (2000: 11) memberikan enam
definisi atau pengertian tentang matematika, yaitu: (1) matematika
adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
20
sistematik, (2) matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan
kalkulasi, (3) matematika adalah pengetahuan tentang penalaran yang
logik dan berhubungan dengan bilangan-bilangan, (4) matematika
adalah pengetahuan fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang
dan bentuk, (5) matematika adalah pengetahuan tentang struktur-
struktur yang logik, dan (6) matematika adalah pengetahuan tentang
aturan-aturan yang ketat. Sumardyono (2004: 28) juga mendefinisikan
matematika sebagai struktur yang terorganisasi, matematika sebagai
alat (tool), matematika sebagai pola pikir deduktif, matematika sebagai
cara bernalar (the way of thinking), matematika sebagai bahasa
artifisial dan matematika sebagai seni yang kreatif.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dapat
disimpulkan bahwa matematika adalah cabang ilmu pengetahuan
tentang bilangan, kalkulasi, fakta-fakta kuantitatif, masalah tentang
ruang dan bentuk yang diperoleh melalui penalaran. Matematika
merupakan struktur yang terorganisasi, digunakan sebagai alat, berpola
pikir deduktif, diperoleh dengan cara bernalar, merupakan bahasa
artifisial dan seni yang kreatif. Matematika merupakan ilmu
pengetahuan yang diperoleh melalui proses berpikir dan bernalar.
b. Karakteristik Matematika
Matematika mempunyai beberapa karakteristik umum.
Karakteristik umum matematika menurut Soedjadi (2000: 13-19)
adalah sebagai berikut:
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
21
1) Memiliki Objek Kajian yang Abstrak
Objek kajian matematika ada empat, yaitu: fakta, konsep, operasi
atau relasi, dan prinsip.
a) Fakta
Fakta (abstrak) berupa konvensi-konvensi yang diungkap
dengan simbol tertentu. Simbol “3” secara umum sudah
dipahami sebagai simbol untuk bilangan “tiga”, sebaliknya jika
seseorang mengucapkan kata “tiga” dapat disimbolkan dengan
“3”.
b) Konsep
Konsep adalah ide abstrak yang digunakan untuk
menggolongkan atau mengklasifikasikan sekumpulan objek
apakah objek tertentu merupakan contoh konsep atau bukan.
“Segitiga” adalah nama suatu konsep abstrak. Benda dapat
digolongkan sebagai contoh segitiga atau bukan dengan
menggunakan konsep tersebut.
c) Operasi atau Relasi
Operasi adalah pengerjaan hitung, pengerjaan aljabar, dan
pengerjaan matematika yang lain. Contoh dari operasi yaitu
“penjumlahan”, “perkalian”, “gabungan” dan “irisan”.
d) Prinsip
Prinsip adalah objek matematika yang kompleks dan dapat
terdiri atas beberapa fakta, beberapa konsep yang dikaitkan
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
22
oleh suatu relasi ataupun operasi. Prinsip adalah hubungan
diantara berbagai objek dasar matematika. Prinsip dapat berupa
“aksioma”, “teorema”, dan “sifat”.
2) Bertumpu pada Kesepakatan
Kesepakatan merupakan hal penting dalam matematika dan
keseharian. Kesepakatan yang mendasar adalah aksioma dan
konsep primitif. Aksioma diperlukan untuk menghindari berputar-
putar dalam pembuktian, sedangkan konsep primitif diperlukan
untuk menghindari berputar-putar dalam pendefinisian. Fathani
(2009: 66) juga mengatakan bahwa simbol-simbol dan istilah-
istilah dalam matematika merupakan kesepakatan atau konvensi
yang penting. Simbol dan istilah yang telah disepakati dalam
matematika memudahkan pembahasan selanjutnya dilakukan dan
dikomunikasikan.
3) Berpola Pikir Deduktif
Pola pikir secara deduktif dapat dikatakan pemikiran yang
berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan
kepada hal yang bersifat khusus. Pola pikir deduktif ini dapat
terwujud dalam bentuk yang amat sederhana, tetapi juga dapat
terwujud dalam bentuk yang tidak sederhana. Seorang siswa yang
telah memahami konsep “persegi”, maka ketika dia melihat
lukisan, dia dapat menggolongkan pigura yang berbentuk persegi
dan bukan.
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
23
4) Memiliki Simbol yang Kosong dari Arti
Matematika menggunakan banyak simbol. Simbol tersebut dapat
berupa huruf maupun bukan huruf. Rangkaian simbol matematika
dapat membentuk suatu model matematika misalnya persamaan
dan pertidaksamaan.
5) Memperhatikan Semesta Pembicaraan
Matematika memerlukan kejelasan dari ruang lingkup apa suatu
model digunakan. Simbol-simbol diartikan bilangan apabila
lingkup pembicaraannya adalah bilangan. Lingkup pembicaraan
itulah yang disebut dengan semesta pembicaraan.
6) Konsisten dalam Sistemnya
Matematika mempunyai berbagai macam sistem. Sistem-sistem
dalam matematika ada yang berkaitan dan ada yang dapat
dipandang lepas satu sama lain. Sistem geometri merupakan sistem
yang berkaitan dan didalamnya terdapat sistem geometri netral,
sistem geometri insidensi, sistem geometri Euclid, sistem geometri
lobachewski dan lain-lain.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik
umum matematika yang pertama yaitu memiliki objek kajian yang
abstrak berupa fakta, konsep, operasi dan prinsip. Karakteristik umum
matematika yang kedua adalah bertumpu pada kesepakatan untuk
menghindari berputar-putar pada pembuktian dan pendefinisian.
Karakteristik umum matematika selanjutnya adalah berpola pikir
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
24
deduktif, memiliki simbol yang kosong dari arti, memperhatikan
semesta pembicaraan dan konsisten dalam sistemnya.
Matematika sekolah sedikit berbeda dengan matematika
sebagai ilmu. Sumardyono (2004: 43-47) menjelaskan perbedaan
antara matematika sebagai ilmu dan matematika sekolah sebagai
berikut:
1) Penyajian
Penyajian matematika tidak harus diawali dengan teorema maupun
definisi, tetapi harus disesuaikan dengan perkembangan intelektual
siswa.
2) Pola Pikir
Pembelajaran matematika sekolah dapat menggunakan pola pikir
deduktif maupun pola pikir induktif. Hal ini harus disesuaikan
dengan topik bahasan dan tingkat intelektual siswa sehingga di
sekolah dasar biasanya menggunakan pendekatan induktif lebih
dulu karena hal ini lebih memungkinkan siswa menangkap
pengertian yang dimaksud.
3) Semesta Pembicaraan
Matematika yang disajikan dalam jenjang pendidikan juga
menyesuaikan dalam kekomplekan semestanya. Semakin
meningkat tahap perkembangan intelektual siswa, maka semesta
semesta matematikanya semakin diperluas.
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
25
4) Tingkat Keabstrakan
Tingkat keabstrakan matematika juga harus menyesuaikan
perkembangan intelektual siswa. Semakin tinggi jenjang
pendidikan, tingkat keabstrakan semakin diperjelas.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
matematika di sekolah berbeda dengan matematika sebagai ilmu.
Perbedaan tersebut antara lain pada penyajian, pola pikir, semesta
pembicaraan dan tingkat keabstrakan. Matematika di sekolah diberikan
dengan menyesuaikan perkembangan intelektual siswa.
c. Mata Pelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua
peserta didik mulai dari sekolah dasar tentu memiliki tujuan antara lain
untuk membekali peserta didik atau siswa dengan kemampuan berpikir
logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan
bekerjasama (Ibrahim dan Suparni, 2012: 35). BSNP (2006: 148)
menyatakan bahwa matematika bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut:
1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara
luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan
manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun
bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
26
3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh.
4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat
dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet, dan percaya diri
dalam pemecahan masalah.
Mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI
menurut BSNP (2006: 148) meliputi beberapa aspek yaitu:
1) Bilangan
2) Geometri dan pengukuran
3) Pengolahan data.
Ibrahim dan Suparni (2012: 37) mengemukakan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) di Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah
Ibtidaiyah (MI) adalah sebagai berikut.
1) Memahami konsep bilangan bulat dan pechan, operasi hitung dan
sifat-sifatnya, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah
kehidupan sehari-hari.
2) Memahami bangun datar dan bangun ruang sederhana, unsur-unsur
dan sifat-sifatnya, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah
kehidupan sehari-hari.
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
27
3) Memahami konsep ukuran dan pengukuran berat, panjang, luas,
volume, sudut, waktu, kecepatan, debit, serta mengaplikasikannya
dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.
4) Memahami konsep pengumpulan data, penyajian data dengan
tabel, gambar dan grafik (diagram), mengurutkan data, rentangan
data, rerata hitung, modus, serta menerapkannya dalam pemecahan
masalah kehidupan sehari-hari.
5) Memahami konsep koordinat untuk menentukan letak benda dan
menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-
hari.
6) Memiliki sikap menghargai matematika dan kegunaannya dalam
kehidupan.
7) Memiliki kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika Kelas IV
Semester II di Sekolah Dasar dijelaskan pada tabel 2.2 sebagai berikut.
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
28
Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Komptensi Dasar
Mata Pelajaran Matematika Kelas IV Semester II
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
5. Menjumlahkan dan
mengurangkan
bilangan
bulat.
5.1 Mengurutkan bilangan bulat
5.2 Menjumlahkan bilangan bulat
5.3 Mengurangkan bilangan bulat
5.3 Melakukan operasi hitung campuran
6. Menggunakan
pecahan.
6.1 Menjelaskan arti pecahan dan
urutannya
6.2 Menyederhanakan berbagai bentuk
pecahan
6.3 Menjumlahkan pecahan
6.4 Mengurangkan pecahan
6.5 Menyelesaikan masalah yang
berkaitan dengan pecahan dalam
pemecahan masalah
7. Menggunakan
lambang bilangan
Romawi
7.1 Mengenal lambang bilangan
Romawi
7.2 Menyatakan bilangan cacah sebagai
bilangan Romawi dan sebaliknya
8. Memahami sifat
bangun ruang
sederhana dan
hubungan antar
bangun datar.
8.1 Menentukan sifat-sifat bangun ruang
sederhana
8.2 Menentukan jaring-jaring balok dan
kubus
8.3 Mengidentifikasi benda-benda dan
bangun datar simetris
8.4 Menentukan hasil pencerminan suatu
bangun datar
(BSNP, 2006: 154)
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
29
Matematika berguna bagi ilmu-ilmu lain karena banyak ilmu-
ilmu yang penemuan dan pengembangannya bergantung dari
matematika. Titikusumawati (2014: 34-35) memberikan contoh
kegunaan matematika bagi ilmu-ilmu lain yaitu: (1) Penemuan dan
pengembangan Teori Mendel dalam Biologi melalui konsep
Probabilitas, (2) Perhitungan dengan bilangan imajiner digunakan
untuk memecahkan masalah tentang kelistrikan, (3) Dengan
matematika, Einstein membuat rumus yang dapat digunakan untuk
menaksir jumlah energi yang dapat diperoleh dari ledakan atom, (4)
Dalam ilmu pendidikan dan psikologi, khususnya dalam teori belajar,
selain digunakan statistik juga digunakan persamaan matematis untuk
menyajikan teori atau model dari penelitian, (5) Dalam ilmu
kependudukan, matematika digunakan untuk memprediksi jumlah
penduduk, (6) Dalam seni grafis, konsep transformasi geometrik
digunakan untuk melukis mosaik, (7) Dalam seni musik, barisan
bilangan digunakan untuk merancang alat musik.
Matematika juga digunakan manusia untuk memecahkan
masalahnya dalam kehidupan sehari-hari. Titikusumawati (2014: 35)
memberikan contoh kegunaan matematika untuk pemecahan masalah
dalam kehidupan sehari-hari yaitu: (1) Memecahkan persoalan dunia
nyata, (2) Mengadakan transaksi jual beli, maka manusia memerlukan
proses perhitungan, (3) Matematika yang berkaitan dengan bilangan
dan operasi hitungnya, (4) Menghitung luas daerah, (5) Menghitung
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
30
jarak yang ditempuh dari suatu tempat ke tempat yang lain, (6)
Menghitung laju kecepatan kendaraan membentuk pola pikir menjadi
pola pikir matematis, orang yang mempelajarinya,(7) Kritis, sistimatis
dan logis, (8) Menggunakan perhitungan matematika baik dalam
pertanian, perikanan, perdagangan, dan perindustrian.
d. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Ibrahim dan Suparni (2012: 24) menyatakan bahwa pergeseran
cara pandang matematika akan berpengaruh terhadap cara
penyampaian matematika kepada anak didik atau siswa. Pandangan
pertama menyatakan bahwa matematika sebagai “strict body of
knowledge” meletakkan siswa sebagai objek yang pasif karena yang
diutamakan disini adalah “knowledge of mathematic”. Guru adalah
center yang artinya guru merupakan penggerak utama proses
pembelajaran sehingga orientasinya adalah bagaimana guru mengajar,
bagaimana guru menyampaikan bahan matematika, bagaimana guru
menuliskan uraian, bagaimana guru menilai, bagaimana guru
mengontrol siswa, bagaimana guru mendisiplinkan siswa, dan
bagaimana guru melakukan tindakan terhadap pelanggaran yang
dilakukan. Inilah yang dikenal dengan teacher-centered approach.
Pandangan kedua menyatakan bahwa anak didik atau siswa
adalah center. Anak didik diletakkan sebagai subjek belajar yang
melakukan proses pemahaman matematika. Matematika adalah
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
31
aktivitas kehidupan manusia, Freudenthal mengistilahkannya sebagai
“mathematic as human sense-making and problem solving activity.
Pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar
yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir
siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta
dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru
sebagai upaya meningkatkan penguasa yang baik terhadap materi
matematika (Susanto, 2015: 187). Ibrahim dan Suparni (2012: 30)
berpendapat bahwa paham constructivism menghendaki siswa
sendirilah yang mengkonstruksi pemahaman matematika namun tidak
dilepaskan sendiri melainkan dengan bantuan guru sebagai fasilitator
dan sebagai pembimbing atau sebagai moderator, akhirnya siswa akan
sampai kepada pemahaman matematika yang mandiri dan kuat.
Pembelajaran matematika secara constructive menuntut siswa
memiliki pengetahuan awal untuk selanjutnya dikembangkan yang
mengarah kepada konsep matematika yang sedang dipelajari.
Siswa pada usia (7-8 tahun hingga 12-13 tahun) menurut teori
kognitif Piaget, termasuk pada tahap operasional konkret. Siswa
mampu untuk melakukan aktivitas logis tertentu tetapi hanya dalam
situasi yang konkret sehingga apabila dihadapkan dengan suatu
masalah tanpa adanya bahan konkret, maka ia belum mampu untuk
menyelesaikan masalah tersebut dengan baik (Monks, dkk. 2001: 223).
Berdasarkan perkembangan kognitif ini, maka anak usia sekolah dasar
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
32
mengalami kesulitan dalam memahami materi yang bersifat abstrak
(Susanto, 2015: 184). Adjie dan Maulana (2006: 37) berpendapat
bahwa materi matematika termasuk materi yang abstrak sehingga
hanya orang-orang yang dapat berfikir abstrak saja yang dapat
mempelajari matematika. Siswa sekolah dasar akan mengalami
kesulitan dalam belajar matematika apabila gurunya tidak
menyesuaikan dengan kemampuan berpikir siswa-siswanya.
Aisyah (2008: 1.6-1.7) menjelaskan tiga tahapan model
penyajian dalam teori belajar Bruner dapat sebagai berikut:
1) Model Tahap Enaktif
Pada tahap ini anak belajar sesuatu pengetahuan dimana
pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan
benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata.
2) Model Tahap Ikonik
Pada tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada
pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian
gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan
dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang
dimanipulasinya. Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran
sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu direpresentasikan
(diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imaginery),
gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret
atau situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut.
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
33
3) Model Tahap Simbolis
Pada tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam
bentuk simbol-simbol abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-
simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang
dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal
(misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-
lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak yang lain.
Depdiknas (2009: 1) menjelaskan 4 tahapan aktivitas dalam
rangka penguasaan materi pelajaran matematika di dalam
pembelajaran, antara lain:
1) Penanaman Konsep
Tahap penanaman konsep merupakan tahap pengenalan awal
tentang konsep yang akan dipelajari siswa. Pada tahap ini
pengajaran memerlukan penggunaan benda konkrit sebagai alat
peraga.
2) Pemahaman Konsep
Tahap pemahaman konsep merupakan tahap lanjutan setelah
konsep ditanamkan. Pada tahap ini penggunaan alat peraga mulai
dikurangi dan bentuknya semi konkrit sampai pada akhirnya tidak
diperlukan lagi.
3) Pembinaan Keterampilan
Tahap pembinaan keterampilan merupakan tahap yang tidak boleh
dilupakan dalam rangka membina pengetahuan siap bagi siswa.
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
34
Tahap ini diwarnai dengan latihan-latihan seperti mencongak dan
berlomba. Pada tahap pengajaran ini alat peraga sudah tidak boleh
digunakan lagi.
4) Penerapan Konsep
Tahap penerapan konsep yaitu penerapan konsep yang sudah
dipelajari ke dalam bentuk soal-soal terapan (cerita) yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari. Tahap ini disebut juga sebagai
pembinaan kemampuan memecahkan masalah.
Pembelajaran matematika memiliki dampak positif yang
berkaitan dengan sikap terpuji atau akhlakul mahmudah. Menurut
Abdussyakir (Fathani, 2009: 99-103), sikap-sikap terpuji tersebut
antara lain:
1) Sikap Teliti, Cermat, dan Hemat
Matematika disebut sebagai ilmu hitung karena matematika
berkaitan dengan masalah hitung menghitung. Seseorang dituntut
untuk bersikap teliti, cermat, hemat, cepat, dan tepat dalam
pengerjaan operasi hitung.
2) Sikap Jujur, Tegas, dan Bertanggungjawab
Matematika juga mengajarkan sikap jujur, tegas dan benar.
Seorang guru yang memerintahkan siswa untuk menghitung 3x4,
maka siswa harus menghitung 3x4 dan apabila ditanya oleh guru,
siswa tersebut harus menjawab dengan jujur apakah bisa
menghitungnya atau tidak. Sikap tegas pada adalah bahwa
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
35
perkalian bilangan bulat 3x4 pasti 12. Kita tegas mengatakan
3x4=12 adalah benar. Kalau bukan 12, kita tegas mengatakan
salah.
3) Sikap Pantang Menyerah dan Percaya Diri
Matematika mengajarkan untuk bersikap pantang menyerah dan
percaya diri. Seseorang tidak boleh menyerah saat mengerjakan
atau menyelesaikan masalah matematika dan saat gagal atau tidak
dapat menjawab, kita dituntut untuk mencari cara lain untuk
menjawab. Siswa harus percaya diri bahwa bisa mengerjakan dan
mencoba terus sampai pada akhirnya dapat menjawabnya.
Sujono (1988) dalam Prihandoko (2005: 15) menyebutkan
nilai-nilai utama yang terkandung dalam matematika adalah nilai
praktis, nilai disiplin dan nilai budaya Matematika dikatakan memiliki
nilai praktis karena matematika merupakan suatu alat yang dapat
langsung dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari.
Nilai disiplin terkandung dalam matematika karena dengan belajar
matematika akan melatih orang berlaku disiplin dalam pola
pemikirannya. Nilai budaya juga terkandung dalam matematika karena
sebenarnya matematika sangat erat kaitannya dengan perkembangan
budaya manusia ditinjau dari latar belakang sejarahnya, sejak awal
peradabannya, manusia telah menggunakan matematika untuk
melakukan perhitungan-perhitungan sederhana seperti menghitung
banyaknya ternak, hari dan sebagainya.
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016
36
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan terkait dengan miskonsepsi matematika di
Sekolah Dasar telah dilakukan, diantaranya penelitian oleh Maghsoudi (2015)
tentang “Identifying Fourth Grade Iranian Students Misconceptions in
Measurement and Geometry Based On Timss 2003, 2007, 2011 Results and
Suggestions to Prevent and Resolve These Misconceptions”. Penelitian
tersebut merupakan penelitian yang mengidentifikasi kesalahpahaman siswa
kelas empat (4) di Negara Iran dalam materi geometri dan pengukuran
berdasarkan Timss 2003, 2007, 2011 dengan pokok bahasan hasil dan saran
untuk mencegah dan menyelesaikan miskonsepsi. Hasil penelitian ini
menyatakan bahwa metode mengajar tradisional meskipun dengan perhatian
yang cermat untuk menyampaikan materi dan menekankan pada pengulangan
dan praktek tetap tidak mampu menghindari atau menghentikan
kesalahpahaman matematika seperti pada siswa.
Penelitian di atas dikatakan relevan karena fokus dalam penelitian ini
sama–sama membahas terkait dengan miskonsepsi matematika di Sekolah
Dasar. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang relevan sebelumnya
yaitu penelitian sebelumnya berfokus pada identifikasi kesalahpahaman siswa
dalam geometri dan pengukuran, sedangkan penelitian ini berfokus pada
penemuan miskonsepsi yang terdapat pada buku pelajaran Matematika Kelas
IV SD dan pada saat pembelajaran Matematika di kelas IV serta mencari tahu
penyebab miskonsepsi dan bagaimana upaya guru untuk menangani
miskonsepsi yang terjadi saat pembelajaran.
Miskonsepsi Pembelajaran Matematika..., Linda Putri Rosmalia, FKIP, UMP, 2016