Upload
ledan
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi Hipertensi pada Anak dan Remaja
Definisi hipertensi pada anak dan remaja ditetapkan berdasarkan
distribusi normal tekanan darah (TD) pada anak sehat berdasarkan umur, jenis
kelamin, dan tinggi badan. Berdasarkan The Fourth Report on The Diagnosis,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure in Children and Adolescent,
tekanan darah normal didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (TDS) dan
tekanan darah diastolik (TDD) kurang dari persentil ke-90 berdasarkan jenis
kelamin, umur, dan persentil tinggi badan. Hipertensi didefinisikan sebagai rata-
rata TDS dan atau TDD lebih dari sama dengan persentil ke-95 berdasarkan jenis
kelamin, umur, dan tinggi badan pada tiga atau lebih kesempatan pengukuran.
Rata-rata TDS dan atau TDD yang kurang dari persentil ke 95 tetapi lebih dari
sama dengan persentil ke-90 disebut tekanan darah high normal atau disebut juga
prehipertensi (Falkner, dkk., 2005). Berdasarkan kesepakatan The Seventh Report
of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure, pada dewasa tekanan darah lebih besar atau
sama dengan 120/80 mmHg disebut prehipertensi, di mana pada kondisi ini
seseorang akan memiliki risiko besar untuk menderita hipertensi (Chobanian,
dkk., 2004). Sesuai dengan definisi prehiperensi pada dewasa tersebut, pada anak
(terutama pada remaja) dengan tekanan darah rata-rata 120/80 mmHg atau lebih
7
tetapi kurang dari persentil ke-95 berdasarkan jenis kelamin, umur, dan tingginya
dimasukkan ke dalam klasifikasi prehipertensi (Falkner, dkk., 2005).
Suatu keadaan di mana seorang anak memiliki tekanan darah lebih
dari sama dengan persentil ke-95 ketika dilakukan pengukuran di klinik atau
tempat praktek dokter, tetapi anak tersebut memiliki rerata tekanan darah kurang
dari persentil ke-90 di luar pemeriksaan di klinik atau praktek dokter disebut
sebagai white-coat hypertension (Falkner, dkk., 2005).
2.2 Prevalensi Hipertensi pada Anak
Sampai saat ini prevalensi hipertensi pada anak di seluruh dunia
belum diketahui secara pasti. Hal ini disebabkan oleh perbedaan definisi dari
hipertensi itu sendiri pada masing-masing wilayah misalnya, di United States of
America hipertensi pada anak didefinisikan sebagai rerata tekanan darah ≥
persentil ke-95, sedangkan di United Kingdom definisi hipertensi pada anak
adalah rerata tekanan darah > persentil ke-98, negara-negara yang lain mungkin
memiliki definisi hipertensi sendiri atau mengadaptasi dari standar United States
of America atau United Kingdom (Falkner, 2010; Falkner, dkk., 2010).
Berdasarkan definisi hipertensi, yaitu tekanan darah ≥ persentil ke 95
maka diperkirakan prevalensi hipertensi pada anak sebesar 3 sampai dengan 5%
(Falkner, 2010; Falkner, dkk., 2010). Penelitian tentang hipertensi pada anak di
Indonesia termasuk di Bali sangat sedikit dipublikasikan. Berdasarkan hasil
Riskesdas 2007 didapatkan prevalensi hipertensi pada usia 15-17 tahun di
Indonesia sebesar 8,4% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008a) dan
prevalensi hipertensi di Bali pada usia 15-24 tahun berdasarkan pengukuran
8
tekanan darah adalah sebesar 13% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2008b). Sedangkan untuk data prevalensi hipertensi di bawah umur 15 tahun baik
di Indonesia maupun di Provinsi Bali belum tersedia. Berdasarkan beberapa
penelitian yang dilakukan di berbagai negara di dunia didapatkan prevalensi
hipertensi pada anak dengan rentangan yang sangat bervariasi, seperti yang
tampak pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Prevalensi hipertensi pada anak berdasarkan hasil dari beberapa
penelitian di seluruh dunia
Negara/
Daerah
Tahun
Publikasi
Jumlah
Sampel
Usia
(tahun)
Prevalensi Hipertensi
(TD ≥ persentil ke-95)
USA,
Fort Worth-
Texas
2006 1066 8-13 20,6%
(Urrutia-Rojas, dkk., 2006)
USA,
Houston-
Texas
2004 5102 10,3-19,4 Skrining I 19,4 %, skrining II
9,5%, skrining III 4,5%
(Sorof, dkk., 2004)
USA,
Oklahoma
2009 1829 5-17 13,8%
(Moore, dkk., 2009)
Italy,
Foggia
2006 1563 3-16 Skrining I 35,1%, skrining II
33,8 %, skrining III 23,9%
(pada laki-laki)
Skrining I 41 %, skrining II
40,2 %, skrining III 31,2 %
(pada perempuan)
(Fuiano, dkk., 2006)
Sudan,
Khartoum
2010 304 6-12 4,9%
(Salman, dkk., 2010)
Mexico,
Sabinas
Hidalgo
2009 329 6-12 4,9%
(Aregullin-Eligio dan Alcorta-
Garza, 2009)
9
India,
Kerala
2007 20263 5-16 10,1% pada berat badan
normal, 17,34% pada
overweight, dan 18,32% pada
obesitas.
(Raj, dkk., 2007)
Greece 2007 606 7-15 Hipertensi sistolik (laki-laki:
12,3%, wanita: 15,1%)
Hipertensi diastolik: laki-laki:
13,3%, wanita: 15,1%)
(Papandreou, dkk., 2007)
Iran,
Tehran
2011 425 7-11 24,2%
(Mohkam, dkk., 2011)
Iran,
Alvand City
2007 840 7-12 Hipertensi sistolik (laki-laki:
6.4%, wanita : 5.9%)
Hipertensi diastolik: laki-laki:
4,3%, wanita: 2,5%)
Hipertensi sistolik dan
diastolik: laki-laki: 6.15%,
wanita: 3.4%
(Mahyar, dkk., 2007)
Italy 2006 3923 6-11 Laki-laki: 10%, wanita: 14%
(Barba, dkk., 2006)
Switzerland,
Canton of
Vaud
2007 5207 10.1–14.9 Skrining I 11,4%, skrining II
3,8%, skrining III 2,2%
(Chiolero, dkk., 2007a)
Iraq,
Baghdad
2006 1427 6-12 1,7%
(Subhi, 2006)
India,
Shimla
2010 1085 11-17 5,9%
(Sharma, dkk., 2010)
Republic of
Seychelles
2007 15612 5–16 Laki-laki:9,1%, wanita:10,1%
(Chiolero, dkk., 2007b)
Asia Selatan 2005 5641 5–14 Laki-laki:15,8%, wanita:8.7%
(Jafar, dkk., 2005)
10
2.3 Diagnosis Hipertensi pada Anak dan Remaja
Dalam menegakkan diagnosis hipertensi pada anak tetap harus
mengacu pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Namun, yang terpenting dari semua proses itu adalah pemeriksaan tekanan darah.
Pada anak dengan hipertensi ringan-sedang umumnya tidak
menimbulkan gejala. Gejala biasanya berasal dari penyakit yang mendasari
hipertensi seperti glomerulonefritis akut, lupus eritematosus, sindrom Henoch
Schonlein. Gejala hipertensi berat atau krisis hipertensi dapat berupa sakit kepala,
kejang, muntah, nyeri perut, anoreksia, gelisah, keringat berlebihan, rasa
berdebar-debar, perdarahan hidung, dan sebagainya (Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
Anak FK Unud/RSUP Sanglah, 2011). Pada pemeriksaan fisik anak dengan
hipertensi perlu dilakukan pengukuran tekanan darah pada keempat ekstremitas
untuk mencari kemungkinan koartasio aorta. Pada pemeriksaan fisik dapat pula
ditemukan kesadaran yang menurun sampai koma, denyut jantung meningkat,
bunyi murmur dan bruit, tanda gagal jantung dan tanda ensefalopati hipertensi.
Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan kelainan retina berupa perdarahan
eksudat, udem papil optikus atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina.
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mencari penyakit primer yang
mendasari hipertensi. Pemeriksaan ini dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pemeriksaan
tahap pertama untuk evaluasi diagnostik ke arah penyebab hipertensi sekunder,
meliputi pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum, asam urat, uji fungsi ginjal,
lemak darah, urinalisis, kultur, ultrasonografi (USG). Pemeriksaan tahap kedua
dilakukan apabila pada pemerikaan tahap pertama didapatkan kelainan dan jenis
11
pemeriksaan yang dilakukan sesuai dengan kelainan yang didapatkan,
pemeriksaan tahap kedua ini meliputi ekokardiografi, sidik nuklir, USG dopler
pada arteri ginjal, T3,T4,TSH serum, katekolamin urin, aldosteron plasma,
aktivitas renin plasma,dan arteriografi ginjal (Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK Unud/RSUP Sanglah, 2011).
Sesuai dengan definisi hipertensi pada anak dan remaja berdasarkan
The Fourth Report on The Diagnosis, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure in Children and Adolescent, diagnosis hipertensi pada anak dan remaja
dibuat berdasarkan rata-rata pengukuran tekanan darah pada tiga kali atau lebih
kesempatan. Rerata tekanan darah ini kemudian dibandingkan dengan tabel yang
sudah disusun berdasarkan usia, jenis kelamin, dan persentil tinggi badan
(Falkner, dkk., 2005).
Pada hipertensi anak dan remaja juga ditetapkan stadium dari
hipertensi, hal ini penting untuk penanganan dan evaluasi dari hipertensi tersebut.
Hipertensi stadium 1 adalah rerata tekanan darah pada persentil ke-95 sampai
dengan 5 mmHg di atas persentil ke-99, Hipertensi stadium 2 adalah rerata
tekanan darah lebih dari 5 mmHg di atas persentil ke-99. Jika seorang anak
didignosis dengan hipertensi stadium 1 maka diberikan waktu untuk evaluasi
sebelum diberikan pengobatan kecuali jika dengan gejala. Pada hipertensi stadium
2 evaluasi dan pengobatan farmakologi harus dilakukan lebih cepat. Pasien
dengan hipertensi stadium 2 disertai dengan gejala membutuhkan penanganan
yang segera (Falkner, dkk., 2005).
12
2.4 Cara Mengukur Tekanan Darah
Teknik pengukuran tekanan darah yang direkomendasikan menurut
The Fourth Report on The Diagnosis, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure in Children and Adolescent adalah dengan cara auskultasi oleh karena
tabel tekanan darah yang ada dibuat berdasarkan pengukuran dengan teknik
auskultasi (Falkner, dkk., 2005; Luma dan Spiotta, 2006).
Sebaiknya anak yang akan diukur tekanan darahnya harus terbebas
dari obat maupun makanan yang mempengaruhi tekanan darah, telah duduk
dengan tenang selama 5 menit dengan posisi punggung yang ditopang (bersandar),
kaki menyentuh lantai, tangan kanan ditopang (berada di atas meja) sehingga
cubital fossa berada sejajar dengan jantung (Falkner, dkk., 2005).
Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan menggunakan
sphygmomanometer standar, yaitu sphygmomanometer air raksa dan stetoskop.
Stetoskop diletakkan di atas arteri brachial, proksimal dan medial dari cubital
fossa (sekitar 2 cm di atas cubital fossa), dan di bawah cuff bladder. Lengan
kanan lebih direkomendasikan untuk pengukuran yang berulang karena lebih
konsisten saat dibandingan dengan standar tabel dan menghindari kemungkinan
hasil pengukuran yang tidak konsisten (lebih rendah) pada pengukuran di lengan
kiri karena ada kemungkinan coarctation of the aorta (Falkner, dkk., 2005; Luma
dan Spiotta, 2006).
Pemeriksaan tekanan darah yang benar pada anak memerlukan
ukuran cuff bladder yang sesuai dengan ukuran lengan atas anak. Sesuai dengan
kesepakatan bahwa lebar cuff bladder paling tidak menutupi 40% dari lingkar
13
lengan atas pada bagian tengah antara olecranon dan acromion (Gambar 2.1) dan
panjang cuff bladder harus menutupi 80-100% dari lingkar lengan atas (Gambar
2.2), sehingga kurang lebih perbandingan antara lebar dan panjangnya adalah 1:2
(Falkner, dkk., 2005; Luma dan Spiotta, 2006). Ukuran cuff bladder ini sangatlah
penting karena akan mempengaruhi hasil dari tekanan darah anak. Jika ukurannya
terlalu besar, hasil pemeriksaan tekanan darah akan lebih rendah. Jika ukurannya
terlalu kecil, hasil pengukuran tekanan darah akan lebih tinggi (Falkner, dkk.,
2005; Luma dan Spiotta, 2006; Supartha, dkk., 2009). Berbagai ukuran cuff
bladder (manset) yang tersedia di pasaran tampak pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Ukuran cuff bladder (manset) yang tersedia di pasaran (Bagian/SMF
Ilmu Kesehatan Anak FK Unud/RSUP Sanglah, 2011)
Nama Manset Lebar (cm) Panjang (cm)
Neonatus 2,5-4,0 5,0-9,0
Bayi 4,0-6,0 11,5-18,0
Anak 7,5-9,0 17,0-19,0
Dewasa 11,5-13,0 22,0-26,0
Lengan besar 14,0-15,0 30,5-33,0
Paha 18,0-19,0 36,0-38,0
Setelah cuff bladder dipasang pada lengan kanan atas kemudian cuff
bladder dipompa sampai denyut nadi arteri radialis tidak teraba kemudian terus
dipompa sampai tekanan naik 20-30 mmHg lagi. Stetoskop diletakkan di atas
denyut arteri brachial kemudian cuff blader dikosongkan perlahan-lahan dengan
kecepatan 2-3 mmHg perdetik. Pada saat penurunan air raksa ini akan terdengar
bunyi-bunyi korotkoff. Tekanan darah sistolik ditetapkan pada saat bunyi korotkoff
14
I yaitu bunyi yang pertama kali terdengar berupa bunyi detak yang perlahan,
sedangkan tekanan darah diastolik ditetapkan pada saat korotkoff V atau pada saat
bunyi korotkoff menghilang. Pada beberapa anak bunyi korotkoff dapat terdengar
sampai 0 mmHg, jika hal ini terjadi maka bunyi korotkoff IV yaitu bunyi yang
tiba-tiba melemah ditetapkan sebagai tekanan darah diastolik (Supartha, dkk.,
2009; Falkner, dkk., 2005).
Gambar 2.1 Pengukuran lingkar lengan atas dilakukan pada pertengahan antara
olecranon dan acromion (Luma dan Spiotta, 2006)
Gambar 2.2 Perkiraan ukuran dari cuff bladder sesuai dengan lingkar lengan atas
(Luma dan Spiotta, 2006)
Acromion
Olecranon
Pengukuran lingkar lengan atas
pada bagian tengah
Lebar cuff bladder
(sekitar 40% dari
lingkar lengan atas)
Panjang cuff bladder ( 80 s.d.
100% dari lingkar lengan atas)
15
Setelah dilakukan pengukuran tekanan darah maka dilakukan
pengukuran tinggi badan. Penetapan persentil tinggi badan dilakukan dengan
menggunakan kurva dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC),
kemudian hasil rerata TDS dan TDD dibandingkan dengan angka tekanan darah
yang sudah ada dalam tabel berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tinggi badan.
Tekanan darah dikatakan normal jika berada di bawah persentil ke-90. Pada saat
pemeriksaan jika ditemukan tekanan darah baik TDS maupun TDD lebih dari
sama dengan persentil ke-90, harus dilakukan pengukuran tekanan darah ulang
pada saat pemeriksaan tersebut untuk mencari adanya peningkatan tekanan darah.
Jika hasil rerata pengukuran tekanan darah pada saat pemeriksaan tersebut berada
pada persentil ke-90 atau lebih tetapi di bawah persentil ke-95 maka disebut
prehipertensi. Demikian juga jika didapatkan rerata tekanan darah 120/80 mmHg
atau lebih dan hasil ini di bawah persentil ke-95 juga disebut prehipertensi, hal ini
biasanya terjadi pada anak berumur 12 sampai dengan 16 tahun. Jika hasil
pengukuran rerata tekanan darah (baik sistolik maupun diastolik) pada saat
pemeriksaan berada pada persentil ke-95 atau lebih, kemungkinan anak tersebut
menderita hipertensi, sehingga pemeriksaan ulang harus dilakukan pada paling
tidak dua kali kesempatan pengukuran lagi untuk menegakkan diagnosis
hipertensi. Berikut adalah cara penggunaan tabel tekanan darah untuk anak dan
remaja (Falkner, dkk., 2005; Supartha, dkk., 2009).
1. Pertama kali diukur tinggi badan anak, kemudian digunakan kurva
standar CDC (lihat pada lampiran) untuk menentukan persentil dari
tinggi badan anak tersebut berdasarkan usia dan jenis kelamin.
16
2. Diukur tekanan darah anak, kemudian ditentukan tekanan darah
sistolik dan diastoliknya.
3. Digunakan tabel tekanan darah (lihat pada lampiran) yang sesuai
berdasarkan jenis kelaminnya.
4. Pada tabel tekanan darah, akan ditemukan kolom secara berturut-turut
sebagai berikut: kolom umur anak pada sisi paling kiri, kemudian
diikuti dengan kolom persentil tekanan darah, kolom tekanan darah
sistolik berdasarkan persentil tinggi badan, dan kolom tekanan darah
diastolik berdasarkan persentil tinggi badan pada kolom yang paling
kanan.
5. Dipilih kolom usia yang sesuai dengan usia anak. Dikuti baris dari
kolom umur anak yang sesuai secara horisontal sampai menemukan
perpotongan dengan kolom tekanan darah sistolik dan diastolik
berdasarkan persentil tinggi badan yang sesuai berdaraskan
pengukuran kurva CDC, kemudian akan ditemukan persentil tekanan
darah ke-50, ke-90, ke-95, dan ke-99 secara vertikal pada masing-
masing persimpangan antara kolom umur dan kolom tekanan darah
sistolik dan diastolik berdasarkan persentil umur yang sesuai.
6. Dibandingkan hasil pengukuran tekanan darah pada anak dengan
persentil tekanan darah yang didapatkan dalam tabel (persentil tekanan
darah tersebut sudah berdasarkan jenis kelamin, usia, dan persentil
tinggi badan anak):
a. Tekanan darah kurang dari persentil ke-90 disebut normal.
17
b. Tekanan darah lebih dari sama dengan persentil ke-90 dan
kurang dari persentil ke-95, disebut prehipertensi. Pada remaja,
tekanan darah lebih dari sama dengan 120/80 mmHg tetapi
kurang dari persentil ke-95 disebut juga prehipertensi.
c. Tekanan darah lebih dari persentil ke-95 kemungkinan
hipertensi.
7. Jika pada pengukuran pertama tekanan darah lebih dari sama dengan
persentil ke-90, pengukuran tekanan darah harus diulang dua kali lagi
pada kesempatan yang sama, dan rerata tekanan darah dari tiga kali
pengukuran tersebut yang dipergunakan untuk perbandingan dengan
tabel tekanan darah.
8. Jika rerata tekanan darah didapatkan lebih dari sama dengan persentil
ke-95, tekanan darah harus diklasifikasikan dalam stadium. Stadium 1
(tekanan darah lebih dari sama dengan persentil ke-95 sampai dengan
5 mmHg di atas persentil ke-99), pengukuran tekanan darah harus
diulang pada dua kali kesempatan yang berbeda, dan jika setelah
diulang didapatkan diagnosis hipertensi, harus segera dilakukan
evaluasi. Jika termasuk dalam stadium 2 (tekanan darah lebih dari 5
mmHg di atas persentil ke-99), harus segera dilakukan evaluasi dan
terapi. Jika pasien dengan gejala, harus segera diberikan terapi.
2.5 Patofisiologi Hipertensi
Sampai saat ini masih banyak yang belum diketahui mengenai
patofisiologi dari hipertensi. Pada sebagian kasus hipertensi memang ditemukan
18
penyakit dasar yang menyebabkan terjadinya hipertensi tersebut di mana yang
terbanyak adalah kelainan/penyakit ginjal. Namun, pada sebagian kasus tidak
dapat diidentifikasi suatu penyebab dasar dari hipertensi dan diperkirakan
hipertensi ini disebabkan oleh interaksi berbagai faktor dan berbagai mekanisme,
pada kasus seperti ini disebut dengan hipertensi esensial (Beevers, dkk., 2001).
Tekanan darah diatur oleh keseimbangan antara curah jantung
dengan tahanan perifer pembuluh darah (Gambar 2.3) di mana beberapa faktor
dan mekanisme berperanan dalam proses ini, di antaranya adalah sistem renin-
angiotensin, sistem saraf otonom, disfungsi endotelial, zat-zat vasoaktif, resistensi
insulin, genetis, dan pengaruh intrauterine (masa kehamilan). Kelainan dalam
faktor dan mekanisme ini akan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah
(Beevers, dkk., 2001).
Tahanan perifer ditentukan oleh arteri kecil (arterioles) yang
dindingnya mengandung otot polos yang dapat berkontraksi. Kontraksi yang
berkepanjangan dari otot polos yang kemungkinan diperantarai oleh angiotensin
akan mengakibatkan perubahan tebal dari dinding pembuluh darah sehingga dapat
mengakibatkan peningkatan tahanan perifer yang irreversible. Diperkirakan pada
hipertensi dini peningkatan tekanan darah tidak disebabkan oleh peningkatan
tahanan perifer, melainkan oleh peningkatan curah jantung yang dapat disebabkan
oleh peningkatan aktivitas simpatis yang akan meningkatkan kontraktilitas
jantung dan peningkatan volume darah yang mengakibatkan peningkatan preload
jantung (Beevers, dkk., 2001; Sudoyo, dkk., 2006).
19
Gambar 2.3 Skema antara curah jantung, arteri, dan arteriol dalam keseimbangan
tekanan darah (Beevers, dkk., 2001)
Sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) merupakan suatu sistem
hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperanan dalam naiknya
tekanan darah serta pengaturan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit. Renin
dihasilkan oleh sel-sel jukstaglomerulus di ginjal, sekresi renin ini oleh ginjal
dipengaruhi oleh mekanisme intrarenal (reseptor vaskular dan makula densa),
mekanisme simpatoadrenergik, dan mekanisme humoral. Renin akan merubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I, kemudian angiotensin I oleh pengaruh
angiotensin converting enzyme (ACE) yang dihasilkan oleh paru, hati, dan ginjal
diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II ini akan menyebabkan stimulasi
simpatik, vasokontriksi, dan retensi garam dan air yang berperanan dalam
peningkatan tekanan darah. Selain itu, angiotensin II juga memberikan pengaruh
trofic effect yang dapat mengakibatkan vascular hypertrophy (Beevers, dkk.,
2001; Sudoyo, dkk., 2006) seperti yang tampak pada Gambar 2.4. Selain sistem
renin-angitensin yang dihasilkan oleh ginjal, terdapat pula sistem renin
angiotensin yang bersifat lokal yang juga berperan penting dalam pengaturan
tekanan darah terutama dalam pengaturan aliran darah regional
angiotensin lokal ini terdapat di ginjal, jantung, dan percabangan arteri
dkk., 2001).
Gambar 2.4 Sistem
Aktivitas dari saraf
tekanan darah. Peningkatan dari aktivitas saraf simpatis akan dapat
mengakibatkan konstriksi dari pembuluh darah termasuk arteri kecil (
dan mengakibatkan peningkatan kontraktili
peningkatan tekanan darah.
terutama dalam pengaturan aliran darah regional, sistem
angiotensin lokal ini terdapat di ginjal, jantung, dan percabangan arteri
Gambar 2.4 Sistem renin-angiotensin-aldosteron (Sudoyo, dkk., 2006)
itas dari saraf otonom berperanan penting dalam pengaturan
tekanan darah. Peningkatan dari aktivitas saraf simpatis akan dapat
triksi dari pembuluh darah termasuk arteri kecil (
dan mengakibatkan peningkatan kontraktilitas jantung yang akan berperan
peningkatan tekanan darah. Selain itu, stimulasi saraf simpatis ini juga dapat
20
sistem renin-
angiotensin lokal ini terdapat di ginjal, jantung, dan percabangan arteri (Beevers,
(Sudoyo, dkk., 2006)
om berperanan penting dalam pengaturan
tekanan darah. Peningkatan dari aktivitas saraf simpatis akan dapat
triksi dari pembuluh darah termasuk arteri kecil (arterioles)
erperan dalam
saraf simpatis ini juga dapat
21
merangsang sistem renin-angiotensin yang akan meningkatkan tekanan darah.
Peningkatan stimulasi saraf simpatis ini didapatkan pada keadaan stres dan
olahraga fisik yang berlebih, serta pada obesitas (Beevers, dkk., 2001; Sudoyo,
dkk., 2006; Kotchen, 2010).
Beberapa zat vasoaktif dan mekanisme yang mengatur transpor
natrium dan tonus pembuluh darah berperan dalam pengaturan tekanan darah. Sel
endotelial pada dinding pembuluh darah berperan dalam regulasi kardiovaskuler
dengan memproduksi zat-zat vasoaktif termasuk zat vasodilator, yaitu nitric oxide
dan zat vasokonstriktor yang kuat, yaitu peptide endothelin yang akan
meningkatkatkan tekanan darah dan juga mengaktifkan sistem renin-angiotensin
lokal. Bradykinin adalah vasodilator kuat yang akan dilemahkan fungsinya oleh
angiotensin converting enzyme (ACE), atrial natriuretic peptide adalah hormon
yang dihasilkan oleh atrium yang merupakan respon dari peningkatan volume
darah yang akan mengakibatkan peningkatan pengeluaran natrium dan air di
ginjal sebagai diuretik natural. Kelainan pada sistem/zat ini dapat mengakibatkan
terjadinya hipertensi. Transpor natrium melewati otot polos dinding pembuluh
darah juga berperan dalam pengaturan tekanan darah melalui hubungannya
dengan transpor kalsium. Quabain merupakan steroid-like substance yang
berinteraksi dengan transpor natrium dan kalsium sel yang dapat mengakibatkan
vasokonstriksi dan peningkatan tekanan darah (Beevers, dkk., 2001).
Mekanisme resistensi insulin dalam peningkatan tekanan darah dan
kerusakan vaskuler masih banyak diperdebatkan. Beberapa mekanisme yang
diperkirakan dalam peningkatan tekanan darah pada resistensi insulin atau
22
hiperinsulinemia adalah efek antinatriuretic dari insulin, peningkatan sistem saraf
simpatis, peningkatan respon dari zat-zat vasokonstriktor, perubahan transpor
kation pada membran pembuluh darah, kerusakan sistem vasodilator endotelium,
dan efek stimulasi pertumbuhan otot polos pembuluh darah oleh insulin (Kotchen,
2010).
Genetik juga berperan terhadap timbulnya hipertensi. Sampai saat ini
beberapa gen dan faktor genetik secara terpisah sudah dapat diidentifikasi dalam
pengaturan tekanan darah, diperkirakan timbulnya hipertensi esensial disebabkan
oleh gabungan dari beberapa gen sehingga sangat sulit diidentifikasi secara akurat
kontribusi dari masing-masing gen dalam timbulnya hipertensi. Walaupun
demikian, hipertensi diperkirakan dua kali lebih banyak pada orang dengan
riwayat hipertensi pada salah satu ataupun kedua orang tuanya, dan dari hasil
penelitian epidemiologi diperkirakan faktor genetik berperan dalam 30% variasi
tekanan darah dalam berbagai populasi. Peningkatan angiotensinogen dalam darah
juga pernah dilaporkan pada anak dengan riwayat hipertensi pada orang tuanya
(Beevers, dkk., 2001).
Keadaan intrauterine (selama masa kehamilan) juga diperkirakan
memiliki pengaruh terhadap kejadian hipertensi. Beberapa penelitian
mendapatkan anak yang dilahirkan dengan berat badan lahir rendah, intrauterine
growth restriction (IUGR), dan kelahiran prematur lebih besar risikonya untuk
terjadinya peningkatan tekanan darah pada masa anak/remaja dan menjadi
hipertensi pada masa dewasa (Beevers, dkk., 2001). Permasalahan intrauterine ini
berkaitan maturasi dari organ-organ termasuk organ kardiovaskuler dan ginjal.
Tidak optimalnya nutrisi selama kehamilan dapat mengakibatkan perubahan pada
sistem metabolisme dan kardi
Terganggunya perkembangan ginjal fetus selama masa kehamilan yang
mengakibatkan pengurangan jumlah nephron dalam ginjal merupakan proses
penting dalam terjadinya hipertensi pada anak yang lahir dengan IUGR
dkk., 2010; Keijzer-Veen, dkk., 2010
pada pengendalian tekanan darah dapat dilihat pada G
Gambar 2.5 Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah
(Sudoyo, dkk., 2006)
Tidak optimalnya nutrisi selama kehamilan dapat mengakibatkan perubahan pada
sistem metabolisme dan kardiovaskular atau fungsi dan struktur ginjal.
Terganggunya perkembangan ginjal fetus selama masa kehamilan yang
mengakibatkan pengurangan jumlah nephron dalam ginjal merupakan proses
penting dalam terjadinya hipertensi pada anak yang lahir dengan IUGR
Veen, dkk., 2010). Peranan faktor-faktor yang berpengaruh
kanan darah dapat dilihat pada Gambar 2.5.
faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah
23
Tidak optimalnya nutrisi selama kehamilan dapat mengakibatkan perubahan pada
ovaskular atau fungsi dan struktur ginjal.
Terganggunya perkembangan ginjal fetus selama masa kehamilan yang
mengakibatkan pengurangan jumlah nephron dalam ginjal merupakan proses
penting dalam terjadinya hipertensi pada anak yang lahir dengan IUGR (Chan,
faktor yang berpengaruh
faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah
24
2.6 Faktor Risiko Hipertensi pada Anak
Pada anak, hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang disebabkan oleh
adanya penyakit yang mendasari, lebih sering ditemukan daripada orang dewasa.
Hipertensi sekunder pada anak biasanya lebih banyak ditemukan pada usia yang
masih sangat muda dan biasanya terjadi peningkatan yang tinggi dari tekanan
darah (Falkner, dkk., 2005; Falkner, dkk., 2010; Luma dan Spiotta, 2006). Oleh
karena itu, setiap anak dengan hipertensi apalagi dengan umur yang sangat muda,
menderita hipertensi stadium 2, ataupun hipertensi dengan gejala penyerta harus
dilakukan evaluasi lebih mendalam terhadap kemungkinan suatu penyakit yang
mendasari hipertensi tersebut dan memerlukan penanganan yang lebih cepat
(Falkner, dkk., 2005).
Hipertensi sekunder pada anak sering didasari oleh penyakit pada
ginjal. Kelainan pada ginjal yang dapat menyebabkan hipertensi di antaranya
adalah pada penyakit glomerulus akut dan kronis, pada penyakit renovaskular,
pada gagal ginjal kronis (Sudoyo, dkk., 2006). Renal parenchymal disease
ditemukan pada sekitar 75% kasus hipertensi sekunder pada anak, renovaskular
disease ditemukan pada 10% kasus, dan penyebab yang lebih jarang seperti
kelainan endokrin, penyakit cardiovascular (seperti coarctation of the aorta),
sindrom Liddle, dan glucocorticoid remedial hypertension juga ditemukan pada
hipertensi sekunder pada anak (Falkner, dkk., 2010).
Hipertensi primer atau dikenal dengan hipertensi esensial, yaitu
hipertensi yang tidak didasari suatu penyakit tertentu, lebih jarang ditemukan pada
anak dibandingkan dengan pada dewasa, walaupun demikian kejadian hipertensi
25
primer pada anak ini cenderung meningkat (Falkner, dkk., 2005; Falkner, dkk.,
2010; Luma dan Spiotta, 2006). Hipertensi primer atau hipertensi esensial ini
merupakan penyakit yang bersifat multifaktorial yang timbul karena adanya
interaksi dari faktor dan mekanisme tertentu.
Hipertensi primer pada anak biasanya dikaitkan dengan hipertensi
stadium 1 dan sering berhubungan dengan faktor risiko terjadinya hipertensi
seperti overweight/obesitas, ras, stres, riwayat hipertensi pada keluarga (genetis),
dan gaya hidup yang berisiko (Falkner, dkk., 2005; Falkner, dkk., 2010; Luma dan
Spiotta, 2006). Gaya hidup berisiko ini adalah aktivitas yang lebih banyak diam
(menonton televisi, bermain videogames, komputer), makanan cepat saji yang
berkalori tinggi, makanan yang banyak mengandung lemak dan garam, minuman
ringan dengan pemanis, serta ditambah lagi dengan berkurangnya konsumsi buah
dan sayur (Falkner, dkk., 2010). Selain faktor-faktor risiko tersebut di atas
terdapat pula faktor-faktor lain yang mempengaruhi kenaikan tekanan darah yaitu,
sistem saraf simpatis (tonus simpatis dan variasi diurnal). Keseimbangan antara
modulator vasodilatasi dan vasokontriksi juga berperan di mana endotel pembuluh
darah berperan utama. Remodeling dari endotel, otot polos, dan interstisium
pembuluh darah juga memberikan kontribusi dalam peningkatan tekanan darah.
Faktor yang lain adalah pengaruh sistem otokrin lokal yang berperanan pada
sistem renin-angiotensin-aldosteron lokal (Sudoyo, dkk., 2006).
Beberapa penelitian yang mencari hubungan antara overweight dan
obesitas dengan hipertensi pada anak hampir semua menunjukkan hasil yang
bermakna. Mekanisme peningkatan tekanan darah pada obesitas di antaranya
26
adalah dengan peningkatan stimulasi dari sistem saraf simpatis, melalui
mekanisme renal dan adrenal di mana pada obesitas terjadi retensi natrium dalam
ginjal dan terganggunya tekanan natriuresis yang akan mengakibatkan
peningkatan volume darah. Obesitas juga akan mengaktifkan sistem renin-
angiotensin yang berasal dari ginjal yang akan meningkatkan tekanan darah.
Selain itu obesitas juga dapat mengakibatkan disfungsi/kerusakan fungsi vasoaktif
dari sel endotelial, di mana terjadi penurunan nitric oxide yang merupakan
vasodilator dan peningkatan endhotelin yang merupakan vasokontriktor.
Peningkatan kadar leptin yang merupakan salah satu adipocyte-derived substances
juga berperan dalam peningkatan tekanan darah melaui peningkatan stimulasi
saraf simpatis, di mana leptin mengaktivasi saraf simpatis secara sentral melalui
efeknya pada hypothalamus dan secara perifer lokal. Selain itu pada obesitas juga
terjadi resistensi insulin dan atau hiperinsulinemia yang dapat meningkatkan
tekanan darah melalui beberapa mekanisme di antaranya adalah efek
antinatriuretik dari insulin, peningkatan sistem saraf simpatis, peningkatan respon
dari zat-zat vasokonstriktor, perubahan transpor kation pada membran pembuluh
darah, kerusakan sistem vasodilator endotelium, dan efek stimulasi pertumbuhan
otot polos pembuluh darah oleh insulin (Kotchen, 2010; Kotsis, dkk., 2010).
Mekanisme patogenesis bagaimana obesitas menyebabkan hipertensi secara
skematis dapat dilihat pada Gambar 2.6.
27
Gambar 2.6 Mekanisme patogenesis obesitas menyebabkan hipertensi. PAI-1:
plasminogen activator inhibitor-1, Tx-A2: thromboxane A2, IL-6: interleukin-6,
IL-1b: interleukin-1b, TNFa: tumor necrosis factor-a, CRP: C-reactive protein,
ROS: reactive oxygen species, FFAs: free-fatty acids, VCAM-1: vascular cell
adhesion molecule-1, ICAM-1: inter-cellular adhesion molecule-1, NO: nitric
oxide, ET-1: endothelin-1, RAS: renin–angiotensin system, SNS: sympathetic
nervous system, AgRP: agouti-related peptide, NPY: neuropeptide Y, POMC:
proopiomelanocortin, ARC: arcuate nucleus, a-MSH: a-melanocytestimulating
Hormone, MC3R: melanocortin 3 receptor, MC4R: melanocortin 4 receptor
(Kotsis, dkk., 2010)
Pengaruh genetik dalam timbulnya hipertensi juga banyak diteliti.
Diperkirakan timbulnya hipertensi esensial disebabkan oleh gabungan dari
beberapa gen, dan sangat sulit diidentifikasi secara akurat kontribusi dari masing-
28
masing gen dalam timbulnya hipertensi, diperkirakan kejadian hipertensi dua kali
lebih banyak pada orang dengan riwayat hipertensi pada salah satu ataupun kedua
orang tuanya (Beevers, dkk., 2001). Beberapa mutasi gen yang spesifik juga dapat
mengakibatkan hipertensi. Menurut Beevers, dkk. (2001) beberapa contoh mutasi
genetik yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Liddle's syndrome, kelainan yang berhubungan dengan hipertensi
adalah rendahnya kadar plasma renin dan aldosterone, serta
hipokalaemia.
2. Glucocorticoid-remediable aldosteronism, kelainan seperti Conn's
syndrome, di mana terjadi perpaduan pada pembentukan gen pada
bagian gen 11β-hydroxylase dan gen the aldosterone synthase. Defek
ini akan mengakibatkan hyperaldosteronism, yang berespon dengan
dexamethasone dan memiliki insiden stroke yang tinggi.
3. Congenital adrenal hyperplasia oleh karena 11 β-hydroxylase
deficiency, kelainan yang berhubungan dengan 10 mutasi yang berbeda
dari gen CYP11B1 .
4. Syndrome of apparent mineralocorticoid excess, timbul dari mutasi
pada gen yang mengkode enzim ginjal 11 β-hydroxysteroid
dehydrogenase, di mana enzim yang rusak akan menyebabkan kadar
cortisol normal mengaktivasi reseptor mineralocorticoid.
5. Congenital adrenal hyperplasia oleh karena 17 α-hydroxylase
deficiency, kelainan dengan hyporeninaemia, hypoaldosteronism, tidak
adanya karakteristik seksual sekunder, dan hypokalaemia.
29
6. Gordon's syndrome (pseudo-hypoaldosteronism): familial hipertensi
dengan hyperkalaemia, kemungkinan berkaitan dengan lengan
panjang kromosom 17.
7. Sporadic case reports of familial inheritance of phaeochromocytoma
(multiple endocrine neoplasia, MEN-II syndrome), Cushing's
syndrome, Conn's syndrome, renal artery stenosis oleh karena
fibromuscular dysplasia.
8. Gen angiotensinogen kemungkinan berkaitan dengan hipertensi
9. Gen angiotensin converting enzyme kemungkinan berkaitan dengan
hipertrofi ventrikel kiri atau nephropathy hipertensi.
10. Gen α-Adducin kemungkinan berkaitan dengan dengan salt sensitive
hypertension.
Selain itu, kejadian hipertensi pada anak juga sering dikaitkan
dengan jenis kelamin, di mana dari beberapa penelitian mendapatkan prevalensi
hipertensi lebih tinggi pada laki-laki dan sebagian lagi mendapatkan hasil yang
sebaliknya. Sedangkan beberapa penelitian mengenai hubungan antara ras/etnik
dan wilayah tempat tinggal dengan kejadian hipertensi pada anak juga
mendapatkan hasil yang berbeda, sebagian penelitian tidak mendapatkan
perbedaan dan sebagian penelitian mendapatkan adanya perbedaan yang
bermakna. Beberapa penelitian tentang hipertensi pada anak dan faktor risikonya
dapat dilihat pada Tabel 2.3.
30
Tabel 2.3 Hipertensi pada anak dan berbagai faktor risiko berdasarkan hasil dari
beberapa penelitian di seluruh dunia
Negara/
Daerah
Sampel
(Usia dalam
tahun)
Hubungan berbagai faktor risiko dengan hipertensi
pada anak (TD ≥ persentil ke-95)
USA,
Fort Worth-
Texas
1066
(8-13)
overweight/obesitas (IMT ≥ persentil ke-85):
Adjusted OR 3,05 (IK 95%: 2,11–4,41, p<0,001).
jenis kelamin: Adjusted OR laki-laki=1, perempuan
1,3 (IK 95%: 0,93-1,81, p=0,120).
Etnis: Adjusted OR Caucasian 1, African American
1,31 (IK 95%:0,74–2,33, p=0,355), Hispanic 0,77
(IK 95%: 0,48–1,26, p=0.297).
(Urrutia-Rojas, dkk., 2006).
USA,
Houston-
Texas
5102
(10,3-
19,4)
Skrining III:
Overweight (IMT ≥ persentil ke-95): Adjusted RR
3,26 (IK 95%: 2,51–4,26).
jenis kelamin: Adjusted RR perempuan=1, laki-laki
1,50 (IK 95%: 1,15-1,95).
Etnis: Adjusted OR Asian 1, African American
1,11 (IK 95%: 0,77–1,61), Hispanic 1,1,2 (IK 95%:
0,82–1,53).
(Sorof, dkk., 2004).
Sudan,
Khartoum
304
(6-12)
Overweight (persentil ke-85 s.d. 95): adjusted RR
2,23 (IK 95%: 0,22–22,86), obesitas (> persentil
ke-95): adjusted RR 14,69 (IK 95%:2,45–88,2).
Jenis kelamin: hipertensi pada laki-laki 10,3%,
perempuan 3,4%.
Riwayat hipertensi pada keluarga: hipertensi pada
riwayat keluarga (+) 9,4%, hipertensi pada riwayat
keluarga (-) 3,7%.
(Salman, dkk., 2010).
Mexico,
Sabinas
Hidalgo
329
(6-12)
overweight/obesitas (IMT ≥ persentil ke-85):
Adjusted OR 7,43 (IK 95%: 1,75–31,5, p<0,001).
jenis kelamin: Adjusted OR laki-laki=1, perempuan
1,84 (IK 95%: 0,54-6,28, p=0,314).
(Aregullin-Eligio dan Alcorta-Garza, 2009).
31
Iran,
Alvand City
840
(7-12)
jenis kelamin: hipertensi sistolik pada 6,4% laki-
laki dan 5,9% perempuan, hipertensi diastolik pada
4,3% laki-laki dan 2,5% perempuan.
(Mahyar, dkk., 2007).
Italy 3923
(6-11)
overweight: RR=2,33 (IK 95%: 1.76-3.08),
obesitas: RR=3,69 (IK 95%: 2,78-4,90).
(Barba, dkk., 2006).
Switzerland,
Canton of
Vaud
5207
(10.1–
14.9)
BB normal (IMT < persentil ke-85): adjusted OR 1,
Overweight (IMT pada persentil ke-85-94):
adjusted OR 2,7 (IK 95%: 1,5-5,0, p=0.001),
obesitas (IMT ≥ persentil ke-95): 16,2 (IK 95%:
9,1–28,9, p<0.001).
Tidak ada riwayat hipertensi pada orang tua adjusted
OR 1, Riwayat pada ayah: adjusted OR 2,4 (IK
95%: 1,4–4,2, p-=0.001), Riwayat pada ibu: adjusted
OR 1,7 (IK 95%: 0,9-3,4, p=0.13), riwayat pada
ayah dan ibu: adjusted OR 2,3 (IK 95%: 0,8-7,1,
p=0.14).
(Chiolero,dkk., 2007a).
Iraq,
Baghdad
1427
(6-12)
Hipertensi lebih tinggi pada 1,8 kali pada anak
obesitas (4,7%) dibandingkan anak tidak obesitas
(2,6%) (p<0,05).
Jenis kelamin: prevalensi hipertensi 0,8% pada laki-
laki dan 0,9% pada perempuan (perbedaan tidak
bermakna).
(Subhi, 2006).
India,
Shimla
1085
(11-17)
Kejadian peningkatan tekanan darah berbeda
bermakna antara anak dengan IMT tinggi
(overweight and obesitas) dibandingakan dengan
IMT normal (46,5% vs 17%, P<0.001)
Kejadian hipertensi lebih tinggi pada daerah
perkotaan (7%) dibandingkan dengan pedesaan
(4,3%).
(Sharma, dkk., 2010).
Republic of
Seychelles
15612
(5–16)
TDS dan TDD berhubungan bermakna dengan
IMT. Pada berat badan normal, overweight ,dan
obesitas proporsi hipertensi sebesar 7,5%, 16,9%,
32
dan 25,2% (pada laki-laki), dan 7,5%, 16,1%, dan
33,2% (pada perempuan)
Jenis kelamin: prevalensi hipertensi 9,1% pada
laki-laki dan 10,1% pada perempuan.
(Chiolero, dkk., 2007b).
Asia Selatan 5641
(5–14)
Jenis kelamin : hipertensi pada laki-laki (15,8%)
lebih besar dari wanita (8.7%).
(Jafar, dkk., 2005).