Upload
trinhmien
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Pada Bab II tentang kajian teori ini, berturut-turut akan dibahas mengenai
hakikat matematika, belajar, pengukuran hasil belajar, pendekatan Matematika
realistik, karakteristik pendekatan matematika realistik, keunggulan dan
kelemahan pendekatak Matematika realistik, langkah-langkah pendekatakan
Matematika realistik, penerapan pendekatan Matematika realistik dalam
pembelajaran berdasarkan standar proses, kajian hasil penelitian yang relevan,
kerangka berpikir dan hipotesis tindakan
2.1.1 Hakikat Matematika
Menurut Subarinah (2006: 1) Istilah Matematika berasal dari bahasa
yunani, mathein atau manthenein yang berarti mempelajari. Kata Matematika
diduga erat hubungannya dengan kata Sansekerta, medha atau widya yang artinya
kepandaian, ketahuan atau intelegensia. Matematika itu terorganisasikan dari
unsur-unsur yang tidak didefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma dan
dalil-dalil yang dibuktikan kebenarannya, sehingga Matematika disebut ilmu
deduktif. Sedangkan menurut Nurhadi (2004: 203) “belajar matematika berarti
belajar ilmu pasti. Belajar ilmu pasti berarti belajar bernalar. Jadi, belajar
matematika berhubungan dengan penalaran”.
Menurut Jhonson dan Rising dalam Subarinah (2006: 1) matematika
merupakan pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian logika,
pengetahuan struktur yang terorganisasi memuat: sifat-sifat, tori-teori dibuat
secara deduktif berdasarkan unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau
teori yang telah dibuktikan kebenarannya. Sedangkan menurut Antonius (2006: 1)
“matematika merupakan ilmu dasar yang sudah menjadi ilmu-ilmu yang lain”.
Oleh karena itu penguasan terhadap matematika mutlak diperlukan dan konsep
matematika harus dipahami dengan betul dan benar sejak dini. Hal ini karena
konsep-konsep dalam matematika merupakan suatu rangkaian sebab akibat. Suat
8
konsep disusun berdasarkan konsep-konsep sebelumnya, dan akan menjadi dasar
bagi konsep-konsep selanjutnya, sehingga pemahaman yang salah terhadap suatu
konsep akan berakibat pada kesalahfahaman terhadap konsep-konsep selanjutnya.
Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang
abstrak dan pola hubungan yang ada didalamnya. Ini berarti bahwa belajar
matematika pada hakekatnya adalah belajar konsep, struktur konsep dan mencari
hubungan antar konsep dan strukturnya. Ciri khas matematika yang deduktif
aksiomatis ini harus diketahui oleh guru sehingga mereka dapat membelajarkan
matematika dengan tepat, mulai dari konsep-konsep sederhana sampai yang
kompleks (Subarinah (2006: 1). Menurut Rey dalam Subarinah (2006: 3)
“matematika adalah telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola
berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat”. Selanjutnya menurut Kline
dalam Subarinah (2006: 1) mengatakan bahwa “Matematika bukan pengetahuan
tersendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi beradanya karena
untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial,
ekonomi dan alam”. Menurut Soedjadi (2000: 5) matematika memiliki objek
tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif.
Menurut Suherman (2003: 16 17) Matematika merupakan ilmu tentang
logika mengenal bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan
satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi kedalam tiga
bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri matematika adalah sebagai telaah
tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu
bahasa, dan suatu alat. Selanjutnya menurut Bruner (Pitajeng, 2006: 29) belajar
matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur matematika yang
terdapat didalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara
konsep-konsep dan struktur-struktur matematika.
Pendapat ahli di atas tentang Matematika dapat di simpulkan bahwa
Matematika suatu ilmu pasti yang belajar mengenai simbol, fakta-fakta
kuantitatif, sesuatu yang abstrak, ruang dan bentuk dimana yang fungsi
prakteknya untuk mengekspersikan hubungan keruangan, fungsi teoritisnya
memudahkan berfikir, menemukan jawaban masalah yang dihadapi manusia,
9
pengetahuan tentang bentuk dan ukuran serta memikirkan dalam diri manusia
melihat dan mengunakan hubungan-hubungan.
2.1.2 Belajar
Belajar merupakan serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam
interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan
psikomotor (Djamarah, 2005: 13). Menurut Sukmana (2002: 56), “belajar
didefinisikan sebagai usaha sadar yang dilakukan individu atau manusia untuk
memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan dalam
interaksinya dengan lingkungan. Perubahan tingkah laku hasilnya bersifat positif”.
Selanjutnya menurut Winkel (2004: 59) “belajar merupakan suatu aktivitas
mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi dengan lingkungan, yang
menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan
dan nilai-nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara konstan dan berbekas”.
Menurut Brownell (Pitajeng, 2006: 122) “belajar merupakan suatu proses
yang bermakna, dan belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan
pengertian”. Sedangkan menurut Thorndike dalam (Pitajeng: 2006: 39) “belajar
akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti
dengan rasa senang atau kepuasan”.
Berdasarkan pengertian belajar di atas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa belajar adalah peroses perubahan tingkah laku secara aktif dan membangun
pemahaman terhadap informasi atau pengalaman disekitar individu (siswa) yang
dapat dilakukan sendiri atau bersama orang lain.
2.1.3 Hasil Belajar
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009: 40-41), hasil belajar merupakan
hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru.Dari sisi
siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila
dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut
terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari
10
sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesikannya bahan. Menurut
Woordworth dalam Dimyati dan Mudjiono (2009), “hasil belajar merupakan
perubahan tingkah laku sebagai akibat dari proses belajar”. Hasil belajar tersebut
terjadi terutama berkat evaluasi guru dan mengatakan bahwa hasil belajar adalah
kemampuan aktual yang diukur secara langsung.
Menurut Hamalik (2006: 3) hasil belajar adalah bila seseorang telah
belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari
tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Pendapat beberapa para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
adalah perubahan kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajarnya dari hal yang tidak tahu menjadi tahu. Hasil
belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai
suatu tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami
belajar dengan diiringi oleh perubahan tingkah laku.
Menurut peneliti hasil belajar yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari
mata pelajaran yang berupa data angka (hasil tes) maupun proses belajar. Hasil
belajar diperoleh pada kegiatan akhir yang diisi dengan pemberian evaluasi
terhadap siswa dan dilakukan di dalam kelas. Pengambilan hasil belajar
digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan belajar dan menunjukkan kompetensi
siswa melalui pengadaan tes bagi siswa.
2.1.4 Pengukuran Hasil Belajar
Menurut Sudjana (Supratiknya 2012: 1), penilaian hasil belajar adalah
kegiatan untuk melihat sejauh mana tujuan pengajaran telah dicapai atau dikuasai
oleh murid dalam bentuk hasil belajar yang bisa mereka tunjukan setelah
menjalani kegiatan belajar mengajar. Menurutnya ada tiga istilah yang merujuk
pada aktivitas-aktivitas utama dalam kegiatan penilaian/pengukuran kelas, yaitu
(1) asesmen, (2) pengukuran dan (3) evaluasi. prosedur teknik yang dimaksud
adalah teknik tes dan teknik nontes.
11
Menurut Chatterji dalam Supratiknya (2012 : 4), aktivitas terakhir dalam
rangkaian kegiatan penilaian kelas adalah evaluasi, yaitu “a procces that comes
after measurement is completed. It involves making a value judgmentor
interpretation of the resulting data in a decision making context”. Maksudnya,
evaluasi merupakan proses sesudah pengumpulan data atau informasi baik dengan
teknik pengukuran (tes atau skala) maupun dengan teknik asesmen lain selesai
dilakukan bahkan sesudah data atau informasi tersebut selesai diolah.
Pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pengukuran hasil belajar
adalah suatu pengukuran berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah
dilaksanakan dengan menggunakan istilah tiga aktivitas, yaitu: (1) asesmen, (2)
pengukuran, (3) evaluasi serta pengumpulan data atau informasinya dengan teknik
pengukuran tes dan skala.
2.1.5 Pendekatan Matematika Realistik
Menurut Gravameijer (Tarigan, 2006: 3) mengemukakan bahwa
Pendekatan Matematika Realistik pertama kali dikembangkan di Belanda pada
tahun 1970-an. Gagasan itu pada awalnya merupakan reaksi penolakan kalangan
pendidik matematika dan matematikawan Belanda terhadap gerakan Matematika
Modern yang melanda sebagian besar dunia saat itu. Mulai tahun 1990-an
Pendekatan Matematika Realistik merupakan pendekatan dalam pendidikan
matematika, diadaptasi di beberapa sekolah di Amerika Serikat. Pendekatan ini
muncul dengan nama kurikulum Mathematics in Contecx. Sedangkan untuk
Indonesia sendiri Pendekatan Matematika Realistik ini diperkenalkan pada tahun
2001 di beberapa Perguruan Tinggi secara kolaboratif melalui Proyek Pendidikan
Matematika Realistik di tingkat SD.
Pendekatan matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan
realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses
pembelajaran matematika, sehingga mencapai tujuan pendidikan matematka
secara lebih baik. Zulkardi (2001: 6) mendefinisikan pendekatan matematika
realistik (PMR) adalah “ teori pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang
nyata (real) bagi siswa, menekankan keterampilan proses, berdiskusi, dan
12
berkolaborasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri
dan menggunakan matematika untuk menyelesaikan masalah baik individual
maupun kelompok”.
Menurut Gravemeijer dalam Tarigan (2006: 3-4) masalah konteks nyata
merupakan bagian inti dan dijadikan strating point dalam pembelajaran
matematika. Konstruksi pengetahuan matematika oleh siswa dengan
memperhatikan konteks ini berlangsung dalam proses yang feudhenthal
dinamakan reinvensi terbimbing (guided reinvention). Pendekatan matematika
realistik merupakan pendekatan yang orientasinya menuju kepada penalaran siswa
yang bersifat realistik sesuai dengan tuntutan kurikulum berbasis kompetensi yang
ditunjukan kepada pengembangan pola pikir praktis, logis, kritis dan jujur dengan
berorientasi pada penalaran matematika dalam menyelesaikan masalah.
Menurut Suherman (2003: 129) pendekatan matematika realistik
merupakan pendekatan yang menuntun siswa dari keadaan yang sangat konkrit
(melalui proses matematisasi horizontal, matematika dalam tingkat ini adalah
matematika informal). Biasanya mereka (para siswa) dibimbing oleh masalah-
masalah kontekstual.
Menurut Niss (Suherman, 2003: 126) pengembangan pembelajaran
matematika dengan pendekatan matematika realistik merupakan salah satu usaha
meningkatkan kemampuan siswa memahami matematika. Usaha-usaha ini
dilakukan sehubungan dengan adanya perbedaan antara materi yang dicita-citakan
oleh kurikulum tertulis dengan materi yang diajarkan, serta perbedaan antara
materi yang diajarkan dengan materi yang dipelajari siswa. Jadi, pendekatan
matematika realistik diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan
guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep
sendiri. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari.
2.1.6 Karakteristik Pendekatan Matematika Realistik
Menurut Treffers (Wijaya, 2011: 21-23) terdapat lima karakteristik
Pendekatan Matematika Realistik sebagai pedoman dalam merancang
pembelajaran matematika. Kelima karakteristik itu adalah sebagai berikut:
13
a. Penggunaan konteks digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan. Melalui penggunaan konteks, siswa dilibatkan secara aktif untuk melakukan kegiatan eksplorasi permasalahan. Hasil eksplorasi siswa tidak hanya bertujuan untuk menemukan jawaban akhir dari permasalahan yang diberikan, tetapi juga diarahkan untuk mengembangkan berbagai strategi penyelesaian masalah yang bisa digunakan.
b. Penggunaan model untuk matematisasi progresif sebagai jembatan (brigje) dari pengetahuan dan matematika tingkat konkrit menuju matematika tingkat formal. Dunia abstrak dan nyata harus dijembatani oleh model. Model harus sesuai dengan tingkat abstraksi yang harus dipelajari siswa. Di sini model dapat berupa keadaan atau situasi nyata dalam kehidupan siswa, seperti cerita-cerita lokal atau serta jam yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Model dapat berupa alat peraga yang dibuat dari bahan-bahan yang juga ada di sekitar siswa.
c. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa. Siswa dapat menggunakan strategi, bahasa, atau simbol mereka sendiri dalam proses mematematikakan dunia mereka. Artinya, siswa memiliki kebebasan untuk mengekspresikan hasil kerja mereka dalam menyelesaikan masalah nyata yang diberikan oleh guru.
d. Proses pembelajaran harus interaktif. Interaksi baik antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan siswa merupakan elemen yang penting dalam pembelajaran matematika. Disini siswa dapat berdiskusi dan bekerja sama dengan siswa lain, bertanya dan menanggapi pertanyaan, serta mengevaluasi pekerjaan mereka.
e. Keterkaitan. Hubungan di antara bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain, dan dengan masalah dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan yang saling kait mengait dalam penyelesaian masalah.
Berdasarkan pendapat Treffers di atas maka dapat disimpulkan bahwa
karakteristik pembelajaran matematika realistik adalah (1) menyajikan masalah
kontekstual, (2) siswa bebas memilih strategi, bahasa atau simbol untuk
menyelesaikan masalah kontekstual yang diberikan, (3) adanya pembelajaran
yang interaktif antara guru dan siswa atau siswa dengan teman sebayanya, dan (4)
ada hubungan matematika dengan pelajaran lain yang merupakan masalah nyata
dalam anak (siswa).
14
2.1.7 Keunggulan dan Kelemahan Pendekatan Matematika Realistik
Menurut Suwarsono (2001:5) dalam terdapat beberapa keunggulan dari
Pembelajaran Matematika Realistik ( PMR) antara lain:
a) Pendekatan PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan di dunia nyata) dan tentang kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
b) Pendekatan PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstnuksikan dan dikembangkan sendiri oleh siswa dan oleh setiap orang 'biasa' yang lain, tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
c) PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara menyelesaikan suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak usah harus sama antara orang yang satu dengan yang lain. Setiap orang bisa menernukan atau menggunakan caranya sendiri, asalkan orang itu bersungguh- sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian soal atau masalah tersebut.
d) PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalarn mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama, dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani sendiri proses itu, dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep dan materi-materi matematika yang lain, dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi. Selain keunggulan-keunggulan yang telah diuraikan di atas, menurut penulis masih lagi terdapat keunggulan PMR antara lain: PMR menjadikan siswa aktif dan kreaktif, siswa berani mengungkapkan pendapatnya, siswa lebih berani bertanya, dan suasana kelas lebih nampak hidup.
Suwarsono (2001:8) dalam implementasi PMR di lapangan juga akan timbul
kelemahan- kelemahannya antara lain :
a) Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah untuk dipraktekkan, misalnya mengenai siswa, guru, dan peranan soal kontekstual. Di dalam PMR siswa tidak lagi dipandang sebagai pihak yang mempelajari segala sesuatu yang sudah"jadi"tetapi dipandang sebagai pihak yang aktif mengkstruksi konsep-konsep matematika. Guru tidak lagi sebagai pengajar, tetapi lebih sebagai pendamping bagi siswa. Di samping itu peranan soal kontektual tidak
15
sekedar dipandang sebagai wadah untuk menerangkan aplikasi dari matematika, tetapi justru digunakan sebagai titik tolak untukmengkonstruksi konsep-konsep matematika itu sendiri.
b) Pencarian soal-soal kontektual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa disesuaikan dengan bermacam- macam cara.
c) Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal juga merupakan hal yang tidak mudah dilakukan oleh guru.
d) Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, melalui soal-soal kontekstual proses matematisasi horizontal maupun vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu.
Kelebihan dan kelemahan dari pembelajaran Matematika Realistik
menurut Suwarsono di atas dapat dibuat kesimpulan bahwa kekurangan-kekurang
yang ada masih dapat diatasi atau diminimalkan dengan menggunakan waktu
khusus dalam membelajarkannya. Penggunaan waktu yang lama dalam
pembelajaran dapat diatasi dengan menyediakan lembar kegiatan siswa (LKS)
terlebih dahulu. Sedangkan pembentukan kelompok dan penataan ruang kelas
sesuai kelompok yang ada dapat dilakukan sebelum kegiatan pembelajaran
dilaksanakan. Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran tidak ada waktu
yang terbuang untuk pembentukan kelompok dan penataan ruang kelas.
Pembelajaran matematika realistik memang memerlukan kemampuan khusus
guru, namun hal in dapat diatasi dengan menggunakan latihan terlebih dahulu.
2.1.8 Langkah-Langkah Pendekatan Matematika Realistik
Menurut Nyimas Aisyah, dkk (2007: 70), secara umum langkah-langkah
pembelajaran matematika realistik dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Persiapan : Selain menyiapkan masalah kontekstual, guru harus benar-benar memahami masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akan ditempuh siswa dalam menyelesaikannya.
b. Pembukaan : Pada bagian ini siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang akan dipakai dan diperkenalkan kepada masalah dari dunia nyata. Kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri
16
c. Proses pembelajaran: Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan pengalamannya, dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok. Kemudian setiap siswa atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya didepan siswa atau kelompok lain dan siswa atau kelompok lain memberi tanggapan sambil mengarahkan siswa untuk mendapatkan strategi terbaik serta menemukan aturan atau prinsip yang bersifat lebih umum.
d. Penutup : Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui diskusi kelas, siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran siswa harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal.
Adapun hal yang dapat ditarik kesimpulan dari langkah-langkah
pembelajaran matematika realistik dari pendapat Nyimas Aisyah di atas menurut
peneliti adalah 1) Guru memberikan siswa masalah kontekstual; 2) Guru
merespon secara positif jawaban siswa. Siswa diberi kesempatan untuk
memikirkan strategi siswa yang paling efektif; 3) Guru mengarahkan siswa pada
beberapa masalah kontekstual dan selanjutnya mengerjakan masalah dengan
menggunakan pengalaman mereka; 4) Guru mendekati siswa sambil memberikan
bantuan seperlunya; 5) Guru mengenalkan istilah konsep; dan 6) Guru
memberikan tugas yaitu mengerjakan soal atau membuat masalah cerita serta
jawabannya sesuai dengan matematika formal.
2.1.9 Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik dalam PBM
Berdasarkan Standar Proses.
Menurut Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, standar proses
pendidikan dapat diartikan “sebagai suatu bentuk teknis yang merupakan acuan
atau kriteria yang dibuat secara terencana atau didesain dalam pelaksanaan
pembelajaran” . Masih mengacu pada Permendiknas tersebut, hal-hal yang diatur
dalam standar proses terdiri dari perencanaan proses pembelajaran yang meliputi
menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata
pelajaran, standar kompentensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator
pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, alokasi waktu,
metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar dan sumber
17
belajar; pelaksanaan proses pembelajaran dimana hal-hal yang harus diperhatikan
antara lain rombongan (peserta) belajar maksimal, beban kerja minimal guru,
buku pelajaran, dan pengelolaan kelas; penilaian hasil pembelajaran tujuannya
digunakan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik, digunakan
untuk menyusun laporan kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki proses
pembelajaran. Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik dan terprogram
dengan menggunakan tes dalam bentuk tes tertulis maupun tes lisan, dan nontes
dalam bentuk pengamatan kerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa
tugas, proyek dan/atau produk, portofolio dan penilaian diri. Penilaian hasil
pembelajaran menggunakan Standar Penilaian Pendidikan dan Panduan Penilaian
Kelompok Mata Pelajaran; serta pengawasan proses pembelajaran yang dilakukan
dengan cara pemantauan, supervisi, evaluasi dan pelaporan.
Permendiknas RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
mengamanatkan bahwa proses pembelajaran sebaiknya dilakukan melalui proses
eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Jika ditinjau dari sudut pandang Pendekatan
Matematika Realistik (PMR), ketiga macam proses tersebut merupakan
karakteristik dari Pendekatan Matematika Realistik. Oleh karena itu, bisa
dikatakan bahwa penerapan Pendekatan Matematika Realistik untuk pembelajaran
sejalan dengan kurikulum. Kegiatan eksplorasi merupakan fokus dari karakteristik
pendekatan matematika realistik yang pertama, yaitu penggunaan konteks. Dalam
pendekatan matematika realistik, konteks yang digunakan di awal pembelajaran
ditunjukan untuk titik awal pembangunan konsep matematika dan untuk
memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi strategi
penyelesaian masalah. Selain bermanfaat untuk mendukung kegiatan eksplorasi,
penggunaan konteks diawal pembelajaran juga akan meningkatkan minat dan
motivasi dalam belajar. Pembelajaran matematika yang langsung dimulai pada
tahap matematika formal seringkali menimbulkan kecemasan matematis bagi
siswa.
Hasil kegiatan eksplorasi selanjutnya dikembangkan menuju penemuan
dan pengembangan konsep melalui proses elaborasi. Begitu juga dalam
Pendekatan Matematika Realistik, penerjemahan konteks situasi melalui
18
matematika horisontal dielaborasi menjadi penemuan matematika formal dari
konteks situasi melalui matematisasi yang bergerak dari prosedur informal ke
bentuk formal. Proses terakhir dari rangkaian untuk membangun argumen untuk
menguatkan hasil proses eksplorasi dan elaborasi. Melalui proses konfirmasi,
gagasan siswa tidak hanya dikomunikasikan ke siswa lain tetapi juga dapat
dikembangkan berdasarkan tanggapan dari siswa lain. Karakter interaktivitas dari
Pendekatan Matematika Realistik memberikan ruang bagi siswa untuk saling
berkomunikasi dalam mengembangkan strategi dan membangun konsep
matematika.
Berdasarkan pada hal yang telah dipaparkan, dikembangkan maka salah
satu contoh penerapan dalam pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran
matematika realistik pada mata pelajaran matematika pada siswa kelas 4 SD,
Standar Kompentensi: menentukan sifat-sifat operasi hitung, faktor kelipatan
bilangan bulat dan pecahan serta menggunakannya dalam pemecahan masalah dan
Kompentensi Dasarnya adalah mengenal dan menggunakan pecahan dalam
pemecahan masalah. Mata pelajaran matematika kelas 4 pada semester II pada
pokok bahasan pecahan dan operasinya, indikator pencapaian: Melakukan operasi
hitung penjumlahan dan pengurangan pecahan berpenyebut tidak sama serta
penjumlahan dan pengurangan pecahan yang berpenyebut sama dan tidak sama
Materi pecahan merupakan materi yang ada pada kurikulum untuk kelas 4
SD/MI. Kompetensi dasar yang akan dikembangkan dalam pembelajaran pecahan
di kelas 4 SD adalah mengenal dan menggunakan pecahan dalam pemecahan
masalah.. Dari kompetensi dasar tersebut ditargetkan akan terlihat indikator pada
siswa dimana siswa mampu menyatakan beberapa bagian dari keseluruhan ke
bentuk pecahan, menyajikan nilai pecahan secara visual atau melalui gambar,
menjumlahkan dan mengurangkan pecahan baik dalam bentuk soal cerita maupun
soal formal.
Pembelajaran pecahan dengan PMRI menekankan siswa agar dapat
memahami konsep pecahan melalui pendekatan realistik, sehingga siswa tidak
memandang suatu pecahan hanya sebatas bilangan semata. Siswa mengetahui
bahwa pecahan merupakan bagian dari keseluruhan suatu kesatuan utuh. Kegiatan
19
pembelajaran melibatkan siswa aktif untuk menemukan dan mengkontruksi
konsep yang menjadi tujuan pembelajaran. Aktivitas nyata dilakukan langsung
oleh siswa dengan bimbingan dari guru.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, siswa kelas 4 berada pada tahap
operasi konkrit, sehingga anak mempunyai struktur kognitif yang memungkinkan
anak bisa berpikir untuk berbuat. Kehadiran model (benda) yang sudah dikenal
siswa akan membantu siswa lebih memahami konsep dari pembelajaran
matematika. Siswa dibimbing untuk membangun sendiri konsep pecahan sebagai
suatu pengalaman belajar.
Adapun implementasi pendekatan PMRI dalam proses pembelajaran
matematika pada materi penjumlahan dan pengurangan pecahan adalah sebagai
berikut.
1) Guru memberikan soal masalah kontekstual (nyata) yang berhubungan
dengan pokok bahasan pecahan. Misalnya ibu mempunyai 1 buah apel yang
akan dibagikan kepada 4 orang anaknya. Berapa bagiankah yang akan
didapat setiap anaknya? Bagaimanakah caranya ibu membagi 1 buah apel
untuk 4 orang anaknya tersebut?
2) Guru mempersiapkan media pembelajaran (buah apel)
3) Beberapa diminta untuk maju kedepan kelas untuk memotong satu buah
apel menjadi empat potong dengan besar yang sama (dilakukan berulang-
ulang kali dalam jumlah potongan yang berbeda-beda)
4) Siswa diminta menjelaskan proses pemotongan satu buah apel menjadi
empat bagian untuk memahami konsep dari pecahan.
5) Guru menugaskan siswa untuk mengerjakan masalah kontekstual yang
berkaitan dengan penjumlahan dan pengurangan pecahan.
6) Siswa ditugaskan maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal yang telah
diberikan sambil memperagakan cara menyelesaikan soal dengan alat
peraga yang telah guru persiapkan (potongan kertas).
7) Guru menjelaskan cara melakukan operasi penjumlahan pecahan dalam
bentuk soal matematika formal dengan media yang telah ada.
20
8) Guru menjelaskan konsep penjumlahan pecahan berpenyebut sama dengan
media yang telah ada.
9) Guru menugaskan siswa untuk membentuk kelompok. Masing-masing
kelompok terdiri dari 5 orang.
10) Guru memberikan LKS masalah kontekstual yang berhubungan dengan
pokok bahasan pecahan yang telah dijelaskan kepada setiap kelompok.
11) Masing-masing kelompok diminta untuk membahas masalah kontekstual
yang berkaitan dengan pecahan dengan caranya sendiri.
12) Guru berkeliling mengamati kerja setiap kelompok.
13) Beberapa perwakilan Siswa dalam kelompok diminta untuk
mempersentasikan atau memperagakan hasil kerja kelompoknya di depan
kelas.
14) Guru memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk menanggapi
hasil kerja temannya.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Adapun hasil penelitian yang relevan yang mendekati judul penelitian ini
adalah:
1) Penelitian Sri Suwarni (2011) yang berjudul Upaya Meningkatkan Minat dan
Hasil Belajar Siswa melalui Pendekatan Matematika Realistik dengan
Menggunakan Kartu Pecahan pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri 3
Sugihan Semester II Tahun Pelajaran 2010/2011. Sri Suwarni memilih
melakukan penelitian pada siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri 3 Sugihan
karena hasil belajar matematika siswa kelas IV masih rendah, siswa kelas IV
SDN 3 Sugihan berjumlah 25 siswa, laki-laki 14 orang dan perempuan 11
orang. Indikator kinerja yang ditentukan oleh Sri Suwarni 80% siswa harus
tuntas dengan KKM 65. Diperoleh hasil belajar siswa pada Pra Siklus 44%
atau sekitar 11 siswa mencapai ≥ KKM 65, Siklus I 60% atau sekitar 15 siswa
mencapai ≥ KKM dan Siklus II 84% atau sekitar 21 siswa mencapai ≥KKM.
Penelitian Sri Suwarni berhasil karena ketuntasan yang diperoleh telah
memenuhi indikator kinerja yang Sri Suwarni harapkan yaitu 80% sedangkan
21
hasil prosentase siswa yang tuntas pada penelitiannya adalah 84%. Melalui
Pendekatan Matematika Realistik dapat Meningkatkan Hasil Belajar
Matematika Siswa Kelas IV di Sekolah Dasar Negeri 3 Sugihan tentang
Pecahan dan Urutannya.
2) Penelitian Miftakhul Janah (2010) yang berjudul Upaya Meningkatkan Minat
dan Hasil Belajar Siswa melalui Pendekatan Matematika Realistik dalam
Menyelesaikan Soal Cerita pada Pokok bahasan Satuan Panjang Siswa Kelas
IV Sekolah Dasar Negeri Gejayan. Adanya hasil belajar matematika siswa
kelas IV Sekolah Dasar Negeri Gejayan masih rendah yang menjadi
penyebab rendahnya hasil belajar siswa kelas IV adalah siswa mengalami
kesulitan dalam rangka memahami pokok bahasan satuan panjang dalam
bentuk soal cerita. Hasil analisis penelitian yang dilakukan oleh Miftakhul
Janah memperlihatkan adanya peningkatan hasil belajar matematika siswa
kelas IV Sekolah Dasar Negeri Gejayan. Pada Pra Siklus jumlah siswa yang
tuntas sebanyak 7 siswa atau sekitar 32% dari 22 siswa kelas IV, Siklus I
54% atau sekitar 12 siswa kelas IV mencapai KKM dan Siklus II 82% atau
sekitar 18 siswa dari 22 siswa kelas IV mencapai KKM. Penelitian Miftakhul
Janah berhasil karena hasil penelitian melebihi indikator kinerja yang
ditentukan oleh Miftakhul Janah yaitu 80% dan KKMnya 58, sedangkan
jumlah siswa yang tuntas diperoleh 82% siswa kelas IV atau sekitar 18 siswa
tuntas. Berdasarkan hasil analisis disimpulkan Pendekatan Matematika
Realistik dapat meningkatkan minat dan hasil belajar matematika siswa kelas
IV dalam menyelesaikan soal cerita.
Dari dua penelitian di atas membuktikan bahwa pembelajaran matematika
realistik dapat membantu proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar
siswa. Mengacu pada penelitian terdahulu, maka peneliti ingin melakukan
penelitian lagi dengan menggunakan cara yang pembelajaran yang sama.
Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan antara penelitian yang
dilakukan kali ini, dengan penelitian-penelitian terdahulu. Perbedaan tersebut
pertama bahwa pada penelitian terdahulu, para peneliti menggunakan variabel
minat sebagai salah satu variabel yang diteliti. Artinya bahwa dengan
22
menggunakan pembelajaran matematika realistik, peneliti menduga dapat
meningkatkan hasil belajar yang berimplikasi pada hasil belajar siswa. Kedua,
subyek penelitian. Pada penelitian terdahulu subyek penelitiannya adalah siswa
sekolah yang berbeda. Penulis berasumsi bahwa perbedaan subyek didik,
merupakan faktor lain yang akan mempengaruhi hasil belajar. Situasi sekolah
yang berbeda, fasilitas yang berbeda, tantangan masyarakat yang berbeda,
demikian juga pola asuh dari orangtua yang berbeda karena budaya yang berbeda
tentu berkontribusi terhadap prestasi belajar siswa juga. Karena itu, dengan
memilih subyek penelitian yaitu siswa kelas IV SDN Blotongan 01 Salatiga,
peneliti bermaksud melihat peningkatan hasil belajar siswa dengan menggunakan
pendekatan pembelajaran matematika. Artinya, jika pendekatan pembelajaran ini
efektif, maka pendekatan ini akan menjadi rujukan bagi sekolah bersangkutan,
maupun sekolah yang berbeda, karena terbukti teruji pada sekolah yang tentu saja
memiliki situasi yang berbeda-beda.
2.3 Kerangka Berpikir
Penelitian-penelitian terdahulu membuktikan bahwa pembelajaran
matematika reaslistik dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa, hal ini
dimungkinkan karena secara teoretis jika guru menerapkan sintaks pembelajaran
melibatkan siswa sejak perencanaan baik dalam menentukan topik maupun cara
mempelajarinya melalui investigasi.
Penelitian ini dilakukan dengan asumsi yang dibangun seperti di atas.
Artinya, peningkatan hasil belajar matematika siswa dapat mungkin terjadi, jika
siswa dikondisikan dengan pembelajaran matematika realistik, dimana siswa
terlibat dalam memecahakan masalah yang ada dengan menggunakan benda-
benda di sekitarnya, baik itu masalah-masalah nyata yang dihadapinya dan
bagaimana menemukan solusi untuk masalah itu. Dengan keterlibatan ini, siswa
lebih mudah memahami materi ataupun konsep matematika yang diajarkan.
Karenanya dapat mendorong terjadinya peningkatan hasil belajar matematika
siswa.
23
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan perumusan masalah, kajian pustaka dan kerangka berpikir di
atas, maka dapat diambil suatu hipotesis bahwa penerapan pendekatan
matematika realistik dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada siswa
kelas 4 SD Negeri Blotongan 01 semester II tahun ajaran 2012/2013.