Upload
dangtu
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
21
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Grand, Middle dan Applied Theory
Teori diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat makro, meso
dan mikro (Neuman, 2002). Teori tingkat makro memberikan penjelasan pada
ruang, waktu dan jumlah secara agregat, teori tingkat meso menghubungkan teori
tingkat makro dan mikro sedangkan teori mikro memberikan penjelasan pada
ruang, waktu dan jumlah yang lebih terbatas.
Penelitian ini menggunakan terminologi grand, middle dan applied theory
untuk menggantikan teori makro, meso dan mikro. Rangkaian grand, middle dan
applied theory yang digunakan dalam penelitian ini adalah microfinance, Islamic
Microfinance, intermediasi LKMS (Intermediasi Finansial, sosial dan spiritual),
Modal Sosial Islam dan keberlanjutan LKMS.
Isu utama penelitian ini adalah keberlanjutan layanan LKMS bagi orang
miskin, sehingga grand theory yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
Microfinance (Microcredit Summit, 1997 dan Ledgerwood, 2000) yang diyakini
menjadi salah satu instrumen keuangan penting mengurangi tingkat kemiskinan
global dengan menyediakan layanan finansial dan non-finansial yang layak dan
memberdayakan bagi orang miskin.
Middle Theory penelitian ini adalah Islamic Microfinance (Ahmed, 2002;
Karim., et. al, 2008; Khan, 2008; Masyita & Ahmed 2012) yang merupakan
22
penggabungan dari dua sektor yang tumbuh cepat yaitu keuangan mikro
(microfinance) dan keuangan Islam (Islamic Finance). Islamic microfinance
memiliki mekanisme dan fitur-fitur keuangan yang mampu menjawab
kekhawatiran dan kritikan para ahli LKM atas tersingkirnya orang paling miskin
dari layanan LKM serta kecenderungan LKM menjadi semakin komersial
sehingga meninggalkan spirit awalnya untuk mengurangi kemiskinan global.
Islamic microfinance juga menggunakan pendekatan yang lebih mengakomodir
fitrah manusia yaitu pendekatan holistik (holistic approach) dimana filosofi dan
semua aktivitasnya tidak hanya diarahkan untuk mencapai tujuan duniawi semata
(materialis/finansial dan sosial) sebagaimana misi microfinance selama ini, tapi
tujuan yang berorientasi pada keseimbangan hidup (falah) yaitu tujuan duniawi
dan tujuan akhirat (spiritual) yang selama ini umumnya diabaikan oleh
microfinance.
Selanjutnya Intermediasi Finansial, Intermediasi Sosial dan Intermediasi
Spiritual serta Modal Sosial Islam menjadi applied theory dalam penelitian ini
karena menjadi aktivitas yang dapat diimplementasikan oleh LKMS untuk
bergerak mencapai keberlanjutan layanan LKMS bagi orang miskin.
Rangkaian Grand, Midle dan Applied theory disajikan pada Gambar 2.1.
2.1.2. Keuangan Mikro
Keuangan Mikro menjadi konsensus universal sebagai instrumen yang dianggap
efektif untuk menanggulangi kemiskinan di dunia melalui penyediaan akses
keuangan kepada orang miskin (Microcredit Summit, 1997 dan Ledgerwood,
2000). Untuk itu, LKM memiliki dua misi yang disebut double bottom line atau
23
dual mission (Brau & Woller, 2004; Ledgerwood, 2000; Markowski, 2002) yaitu
Intermediasi Finansial (financial intermediation) dan Intermediasi Sosial (social
intermediation). Sehubungan dengan kedua misinya, maka keberlanjutan LKM
diukur melalui melalui financial sustainability dan outreach (CGAP, 1997).
Sumber : Pengembangan Konsep Teoritis
Gambar 2.1 Grand Theory, Middle Range Theory dan Applied Theory
Keuangan Mikro Syariah
(Ahmed, 2002; Karim et. al, 2008;
Khan, 2008; Masyita & Ahmed 2012)
Keuangan Mikro (Ledgerwood, 2000; Micro Credit
Summit, 1997)
Grand Theory
Middle Range
Theory
Intermediasi LKM/LKMS Brau dan Woller, (2004);
Ledgerwood, (2000);
Markowski (2002)
Intermediasi Finansial Ledgerwood (2000);
Obaidullah (2008); Rahman,
(2007);
Intermediasi Sosial Hasyemi dan Roosenberg,
(2008) ; Ledgerwood (2000)
Intermediasi Spiritual
Masyita et.al (2014) Mardhatilla & Rulindo (2008) Waspodo, (2008) Wediawati & Setiawati, (2016)
Modal Sosial Islam Chapra, (2008); Farooqi (2006); Khaleequzzaman, (2007); Malik, (2014) Rofiq & Asyhabuddin, (2005)
Kinerja LKM Kuppusamy, Saleh dan Samudharam, 2010) Navajas (2000); Quayes, (2012); Roosenberg (2009);
Keberlanjutan LKMS Kuppusamy, Saleh dan Samudharam, 2010); Navajas (2000); Quayes, (2012); Roosenberg (2009);
Applied Theory
24
Keuangan mikro dalam perkembangannya, pada tahun 1990-an mengalami
perpecahan ideologi (microfinance schism) yang memunculkan perbedaan
pemikiran dan menimbulkan perdebatan diantara para pendukungnya, yaitu antara
kelompok institutionalist (first camp), kelompok welfarist (second camp) dan
kelompok ketiga (third camp) (Bahnot dan Bapat, 2015; Fernando, 2004;
Murdoch, 2000; Robinson, 2001). Perpecahan ideologi ini terjadi sehubungan
dengan munculnya gejala semakin tersingkirnya orang paling miskin (extrem
poor) dari layanan LKM yang dibuktikan oleh sejumlah kajian empiris
(Armendariz & Szafarz, 2011; Copestake, 2007; Cinca & Nieto, 2014; Hermes,
Lensink, & Meesters, 2011; Mersland & Strøm, 2010)
Perdebatan diantara ketiga kelompok ini terkait pada tiga hal, yaitu : target
layanan, format kelembagaan dan dampak LKM terhadap pengurangan
kemiskinan. Perdebatan pertama mengenai target layanan terkait apakah golongan
termiskin (poorest) yang tidak punya penghasilan rutin dan usaha juga masuk
sebagai target layanan LKM selain economically active poor. Kelompok Welfarist
sangat menekankan pentingnya jangkauan pelayanan kepada orang miskin
(outreach) sehingga untuk mengentaskan kemiskinan maka the poorest mesti
mendapatkan layanan keuangan mikro. Kelompok Welfarist beranggapan bahwa
kecilnya permintaan terhadap pelayanan keuangan mikro bukan karena tidak ada
permintaan, tapi lebih disebabkan karena ketidaksesuaian antara bentuk layanan
yang tersedia dengan karakteristik golongan termiskin (Kalpana, 2005). Sehingga
bentuk layanan LKM lah yang harus disesuaikan dengan kebutuhan golongan
termiskin ini (Kalpana 2005; Matin. et al, 2002). Kelompok welfarist memberikan
25
penekanan pada perubahan paradigma keuangan mikro dari fokus pada aspek
promosi atau dukungan terhadap usaha ekonomi ke arah layanan keuangan mikro
yang bersifat perlindungan melalui program tabungan, pinjaman darurat, atau
asuransi mikro.
Sebaliknya kelompok institutionalis beranggapan bahwa target layananan
LKM adalah orang miskin yang mempunyai kegiatan produktif (economically
active poor) dan bukan the poorest (Segrado, 2005). Pandangan ini didasarkan
pada kondisi the poorest, yang umumnya tidak mempunyai pekerjaan dan
pendapatan tetap. Jika diberi pinjaman golongan ini hanya akan terjebak dalam
jebakan hutang (debt trap) (Fruman dan Goldberg, 1997; Segrado, 2005). Bagi
kelompok institutionalist, The poorest lebih membutuhkan subsidi langsung
berupa bantuan pangan, sarana kesehatan, pendidikan dan bukan kredit mikro
Selain itu, mahalnya biaya untuk menjangkau golongan termiskin tidak sebanding
dengan besarnya jumlah kredit dan tabungan mereka sehingga tidak akan mampu
menjamin perkembangan dan keberlanjutan LKM (Robinson, 2001).
Kelompok ketiga (third camp) berpandangan bahwa the poorest dapat
dijangkau oleh layanan LKM secara berkelanjutan. Kelompok ini
mempertimbangkan bahwa hambatan utama untuk menjangkau orang paling
miskin adalah kekurangan dukungan dari komunitas donor dan ketidak-layakan
dana untuk memperluas operasional kredit LKM sehingga untuk menghapus
hambatan tersebut, dilakukan model-model inovasi untuk menghantarkan layanan
keuangan bagi orang miskin secara berkelanjutan (Fernando, 2004).
26
Perdebatan kedua diantara kelompok pemikiran adalah pada format
kelembagaan LKM, apakah berorientasi sosial (mission drive) atau profit (profit
driven). Perdebatan ini terjadi sehubungan dengan adanya pergeseran misi
(mission drift) dimana LKM menjauh dari misi semula untuk pengentasan
kemiskinan dan lebih mengejar tujuan keuangan. (Armendariz & Szafarz, 2011;
Copestake, 2007; Cinca & Nieto, 2014; Epstein & Yuthas, 2011). Hal ini
membuat LKM pada tingkat yang paling ekstrem tidak memberikan sama sekali
pinjaman kepada orang-orang miskin, atau ketika LKM berbasis individual
bertumbuh menjadi besar, LKM tersebut berfokus melayani klien kaya.
Sejumlah studi empiris tentang mission drift berhasil membuktikan adanya
kesenjangan (trade-off) antara outreach dan financial sustainability sebagaimana
disajikan pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Studi Empiris terkait Trade-off LKM
Peneliti dan tahun Data dan Periode Hasil Penelitian
Olivares-Polanco,
(2005)
28 LKM di Amerika Latin,
1999-2001
Mengkonfirmasi adanya trade-off
Makame and Murinde,
(2006)
33 LKM di Negara Afrika
Timur
Bukti kuat terjadi trade-off antara
outreach dengan sustainability
Qayyum and Ahmad,
(2006)
19 LKM di negara Asia
selatan
Trade-off antara efisiensi dan
outreach
Cull et al, (2007) 124 LKM di 49 negara di
dunia
Ada bukti trade-off antara efisiensi
dengan outreach
Hermes, Lensink, dan
Meesters, (2011)
435 LKM (Afrika, Asia
Pasifik Timur, EECA,
Amerika latin, Karibia dan
Asia Selatan, 1997-2007
Outreach berhubungan negatif
dengan efisiensi LKM
Sumber : Survei Literatur
Namun sejumlah penelitian (Adhikary dan Papachristou, 2014; Louis,
Seret, dan Baesens, 2013; Mersland dan Strøm, 2010) membantah temuan ini dan
mendukung pemikiran third camp, bahwa LKM tetap dapat melayani orang
27
miskin dan tetap dapat mencapai keberlanjutan keuangan pada saat bersamaan.
Cinca & Nieto (2014) secara empiris menunjukkan bahwa hal tersebut bisa
dicapai melalui penerapan suku bunga rendah dengan strategi perputaran yang
tinggi (high turnover strategy) dan bukan strategi berbasis margin (margin-based
strategy). Penerapan bisnis berbasis perputaran (turnover-based business)
dilakukan dengan melayani sebanyak mungkin klien, mengurangi biaya
operasional serta meningkatkan efisiensi dan penerapan teknologi.
Manos dan Yaron (2009) mengakomodir research gap dengan
menyimpulkan bahwa trade-off mungkin ada dalam jangka pendek, namun dalam
jangka panjang outreach dan financial sustainability bisa ditingkatkan sebagai
hasil dari skala ekonomis dan inovasi. Demikian pula (Epstein dan Yuthas, 2011)
menyatakan bahwa trade-off merupakan keniscayaan sebagai hasil dari realitas
ekonomi, sehinggga LKM semakin komersial. Namun pemahaman mengenai hal
ini dapat membantu LKM kembali ke misi awalnya
Perdebatan ketiga diantara kelompok pemikiran terkait dampak nyata
LKM dalam penanggulangan kemiskinan (El-Komi dan Croson, 2013). Salah
satu perdebatan panjang terjadi antara dua kelompok ilmuwan yaitu (1999; 2011a;
2011b; 2014a; 2014b) dan Pitt dan Khandker (1998; 2012) versus Roodman dan .
urdoch (2009; 2011; 2014) yang menemukan hasil yang berbeda pada basis data
yang sama.
Sejumlah studi juga menemukan dampak yang berbeda sehingga semakin
mempertajam perdebatan ini. LKM berdampak positif terhadap peningkatan
kualitas hidup (Fernando, 2004), pendapatan rumah tangga (UNICEF, 1997;
28
Wright, 2000), pengeluaran perkapita, dan kekayaan rumah tangga (Khandker dan
Shahid, 2001) serta pendidikan anak dan kemajuan bisnis (Rokhman, 2013).
Namun beberapa studi (Hulme, 2000; Navajas et al, 2000; Zeller et al, 2006)
menunjukkan sebaliknya, bahwa LKM belum mampu secara utuh menjangkau
golongan termiskin, bahkan Van Rooyen, Stewart dan de Wet, (2012)
menemukan dampak negatif LKM terhadap kehidupan orang miskin.
Gambar 2.1 Theory Gap dan Research Gap Keuangan Mikro
29
29
2.1.3. Keuangan Mikro Syariah
Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) merupakan salah satu
instrumen keuangan penting dalam dunia Islam untuk pengentasan kemiskinan
(Ahmed, 2002; Masyita, 2005). Hal ini dapat dilihat dari definisi/konsep yang
dikembangkan oleh para ahli keuangan mikro syariah, dimana golongan paling
miskin (the poorest) atau dalam Ajaran Islam disebut sebagai fakir miskin
menjadi salah satu basis layanan utama LKMS.
Tabel 2.2 Definisi LKMS Menurut Para Ahli
Nama Penulis Definisi / Konsep Basis Layanan
(Abdul Rahim
Rahman, 2007)
Tujuan utama keuangan mikro adalah
mengurangi kemiskinan dan
memberdayakan masyarakat miskin
sejalan dengan prinsip Islam tentang
keadilan
Orang miskin
(the poor)
(Wilson, 2007)
Penyediaan jasa keuangan bagi mereka
yang sangat miskin untuk memiliki akses
ke bank
Orang sangat miskin
(the poorest)
(Obaidullah & Khan,
2008)
Penyediaan jasa keuangan kepada orang-
orang miskin dan golongan ekonomi
berpenghasilan rendah yang dikecualikan
(exclude) dari sistem keuangan formal.
Orang miskin dan
berpenghasilan
rendah (Poor People
Low Income People)
(Ascarya, 2012) Salah satu pendekatan Islam untuk
memberantas kemiskinan, sehingga target
utama adalah orang miskin dan paling
miskin (financial exclusion)
Miskin dan paling
miskin
(The poor and the
poorest )
Sumber : Survei Literatur
LKMS mengintegrasikan prinsip sosial Islam yang peduli dengan
golongan termiskin dengan kekuatan keuangan mikro menyediakan askes dan
layanan keuangan bagi golongan tersebut. Sebagai LKM yang berlandaskan pada
prinsip syariah, maka LKMS memiliki tujuan syariah (maqasid syariah) yaitu
mencapai keseimbangan antara aspek material (duniawi) dengan aspek spiritual
(akhirat) sebagaimana perintah Alquran (Usmani, 2002). Penekanan pada satu
aspek saja tidak sesuai dengan perintah keadilan dalam Alquran (Q.S Al-Baqarah
30
30
[2]: 201; Q.S. An-nisa [4]: 29). Proses pencapaian keseimbangan tersebut
senantiasa harus berjalan dalam kerangka syariah (Ayub, 2007).
Tabel 2.3 Perbedaan antara LKM dan LKMS
Kategori LKM LKMS
Liabilitas
(Sumber pendanaan)
Dana eksternal/Donor
Tabungan klien
Dana eksternal, Tabungan klien,
dana karitas Islam
Asset
(Model pembiayaan)
Hutang (sistem bunga) Instrumen keuangan Islam (bagi
hasil)
Pembiayaan bagi orang
miskin
Satu kategori yaitu
Economically active poor
Dua kategori :
1. The poorest
2. Economically active poor
Target pemberdayaan Orang miskin dan perempuan Orang miskin & keluarga miskin
Penyelesaian Masalah
(default)
Tekanan kelompok Jaminan kelompok/pasangan,
etika Islam
Insentif Karyawan Uang (moneter) Moneter dan Agama
Program pengembangan
sosial
Perilaku, etika dan
pengembangan sosial sekuler
(Non-Islami)
Agama (termasuk perilaku, etika
dan sosial)
Sumber : Ahmed (2002); Obaidullah (2008)
Sistem Syariah menjadi pembeda fundamental antara LKM dan LKMS
tidak hanya pada praktek bisnisnya saja tetapi juga pada nilai-nilai Islam yang
melandasi keseluruhan strategi dan tujuannya. Nilai nilai Islam ini tidak hanya
diwujudkan untuk mencapai kehalalan dalam semua transaksi (Sharia
compliance), akan tetapi lebih luas dari pada itu, yakni peran serta LKMS dalam
masyarakat sebagai manifestasi dari nilai-nilai Islam dan komitmen terhadap isu
ketimpangan distribusi pendapatan, pengentasan kemiskinan dan keadilan sosial
(Antonio dan Nugraha, 2012).
a. Sumber pendanaan
Sumber dana LKM yang berasal dari donor (multilateral ataupun nasional)
terbatas dan dapat terhenti sewaktu-waktu donor menarik dananya, sedangkan
sumber dana LKMS yang berasal dari dana karitas Islam berupa zakat, infaq,
31
31
sedekah dan wakaf (ziswaf) dari masyarakat muslim tak terbatas dan
berkelanjutan sebagai implementasi dari ajaran Islam untuk mendistribusikan
kekayaan kepada orang miskin sesuai perintah Allah dalam QS Attaubah ayat 10.
b. Model pembiayaan
Model penyaluran dana LKM menganut sistem bunga yang diharamkan,
sementara LKMS menganut sistem bagi hasil yang mempertimbangkan tingkat
return dan risk sehinggga lebih adil mengingat kondisi masa depan yang penuh
ketidak-pastian (uncertainty).
c. Pembiayaan bagi orang miskin
Baik LKM maupun LKMS secara normatif berpihak terhadap orang
miskin. Namun kecenderungan menunjukkan bahwa LKM lebih berfokus pada
orang miskin yang memiliki kegiatan produktif (economically active poor),
sementara orang paling miskin (the poorest) dilayani melalui program hibah
(Robinson, 2001). LKMS dapat mengakomodir keduanya melalui akad komersial
(tijaroh) bagi economically active poor dan akad sosial (tabarru)bagi golongan
termiskin melalui dana ZIS dan pinjaman kebajikan (qard-hasan) (Kaleem dan
Ahmed, 2009; Kauffman dan Riggins, 2012; Ismail, 2013).
d. Target Pemberdayaan
Target pemberdayaan LKM adalah perempuan karena didasari kenyataan
bahwa perempuan paling banyak terpapar kemiskinan. Namun hal ini sering
menjadi pemicu konflik rumah tangga karena perempuan terjebak masuk
perangkap hutang yang tak dipakainya karena para suami membujuk wanita
untuk menggunakan pinjaman yang diperoleh untuk keperluan lain, atau saat
32
32
perempuan berdaya dengan pinjaman yang diperolehnya, mereka berubah menjadi
“kepala keluarga”. Sebaliknya, target pemberdayaan LKMS adalah keluarga
(bukan perempuan semata). Pelibatan pasangan (suami) dalam kontrak bersama
membagi beban tanggung jawab dan menghindari timbulnya konflik keluarga.
e. Penyelesaian masalah
LKM menggunakan tekanan kelompok untuk mengatasi default,
sementara LKMS memiliki pendekatan berbeda. Semangat persaudaraan dan
saling membantu diciptakan oleh ajaran Islam sehingga jalan musyawarah
(tasamuh) dipakai untuk penyelesaian tunggakan. Selanjutnya, doktrin Islam tidak
membayar kembali utang sebagai dosa juga memotivasi para anggota untuk
membayar iuran mereka.
f. Insentif karyawan
LKM berorientasi profit, sehingga motivasi pekerjanya adalah imbalan
moneter. Sementara LKMS mempekerjakan orang orang yang mempunyai
pemahaman bahwa pekerjaan sebagai bagian dari ibadah mereka kepada Tuhan.
Sehingga mencari nafkah selaras dengan aktivitas ibadah membantu orang
miskin.
g. Program pengembangan sosial
Program pengembangan sosial di LKM diarahkan untuk pengembangan
kualitas hidup orang miskin yang sifatnya lebih keduniawian (sekuler) seperti
peningkatan keahlian, peningkatan pendapataan dan aset, meningkatnya
pengeluaran rumah tangga dan lain lain. Sementara program pengembangan sosial
LKMS diarahkan untuk mengembangkan kualitas hidup orang miskin melalui
33
33
keseimbangan aspek duniawi dan aspek religius/spiritual (falah), yaitu mengejar
hasil sesuai dengan ajaran Islam sehingga terbentuk perilaku luhur seperti
pengusaha yang jujur, mengedepankan persaudaraan, adil dan selalu ingin
menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Perbedaan LKM dengan LKMS yang telah diuraikan menunjukkan bahwa
LKMS memiliki perbedaan dan keunggulan baik dalam fitur Intermediasi
Finansial maupun dalam fitur Intermediasi Sosialnya. LKMS dapat menjangkau
golongan termiskin (depth outreach) dalam layanannya dan tetap mencapai
financial sustainability. Dengan demikian, LKMS menjadi salah satu model LKM
yang mendukung pemikiran Third camp, yaitu LKM yang mengakomodir orang
miskin seluas-luasnya dengan layanan keuangan mikro yang layak dan
memberdayakan tidak hanya dari aspek finansial dan sosial namun juga dari aspek
spiritual.
Sejumlah studi membuktikan bahwa LKMS memberikan dampak positif
dalam hal pengentasan kemiskian, peningkatan pendapatan rumah tangga
(Hadisumarto dan Ismail, 2010), pendidikan anak, dan perkembangan bisnis
(Rokhman, 2013), peningkatan penjualan, pengeluaran bisnis, laba bersih,
pengeluaran rumah tangga dan pekerjaan dan pengembangan volume produk
(Riwajanti, 2014) serta menciptakan kesempatan kerja (Mohamed & Ahmed,
2015). Namun, berbagai studi empiris menunjukkan bahwa LKMS dengan segala
keunggulan yang dimilikinya belum mampu menunjukkan kinerja optimal bila
dibandingkan dengan LKM, baik dari sisi outreach maupun financial
sustainability (Abdelkader dan Salem, 2013; Masyita, 2012).
34
34
Manajemen LKMS dalam pelaksanaannya harus menjaga pelaksanaan
prinsip dan praktek syariah secara benar. Karena kepatuhan terhadap syariah
inilah yang menjadi faktor pembeda antara LKM dengan LKMS. Lembaga
keuangan mikro syariah tidak hanya harus sesuai dengan syariat di semua produk,
proses dan kegiatan mereka, tetapi mereka juga harus dianggap demikian oleh
klien mereka (Obaidullah, 2008; Obaidullah dan Khan 2008). Untuk tujuan
holistik pengentasan kemiskinan dan efektivitas pembiayaan diperlukan program
terpadu tidak hanya melalui penyediaan pembiayaan dalam sistem berbasis bebas
bunga, tetapi juga penyediaan layanan lainnya yaitu pengembangan spiritual
(spiritual development) terutama melalui internalisasi nilai-nilai moral Islam
dalam kesadaran seorang pengusaha (klien LKMS) (Hadisumarto & Ismail,
2010); Masyita et.al 2014; (Adnan & Ajija, 2015). Pendekatan spiritual ini
(spiritual approach) mesti dilaksanakan secara simultan dengan pendekatan lain
seperti pendekatan finansial (financial approach) dan pendekatan sosial (social
approach) (Sanrego dan Antonio, 2013), juga dengan pendekatan manajerial dan
teknologi (Masyita et al., 2014)
Aspek spiritual penting untuk menjaga pelaksanaan LKMS secara benar
sehingga tidak sekedar hanya teori kosong semata, dan ini dapat dilakukan
melalui pendidikan spiritual/syariah (Waspodo, 2008; Ascarya, 2012; Wediawati
dan Setiawati, 2016), Praktek keagaamaan (Astha dan De Selva, 2013), pelatihan
spiritual/syariah (Mardhatillah dan Rulindo, 2008; Masyita., et al, 2014;
Riwajanti, 2014; Wediawati dan Setiawati, 2016), keteladanan syariah
35
35
(Wediawati dan Setiawati, 2016) serta ketaatan syariah (Obaidullah dan Khan,
2008; Obaidullah, 2008; Wediawati dan Setiawati, 2016)
Gambar 2.2 Pemetaan Literatur Keuangan Mikro Syariah
2.1.4. Tantangan Keuangan Mikro Syariah di Indonesia
Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Indonesia dalam
perkembangannya menghadapi berbagai tantangan dari berbagai aspek
sebagaimana dirangkum pada Tabel 2.4.
36
36
Tabel 2.4 Tantangan LKMS di Indonesia
Aspek Jenis tantangan Sumber
Regulasi dan
Kelambagaan
Aturan LKMS belum terintegrasi dalam sistem
keuangan formal /Arsitektur Perbankan Indonesia
(API)
Absindo Jawa Barat, (2014)
Peran Lembaga APEX belum optimal dalam hal
koordinasi maupun pengawasan
Seibel dan Agung, (2005)
Absindo Jawa Barat (2014)
1) SOP kelembagaan belum standar.
2) Belum ada lembaga pelatihan untuk
mengakomodir kegiatan pengembangan
sumber daya Insani LKMS
3) Belum ada lembaga penilai kesehatan BMT
Absindo Jawa Barat, (2014);
Sharia Economic Outlook
(2014); (Sakti, 2013)
Perubahan Aturan LKMS dari Koperasi Jasa
Keuangan Syariah (KJKS) (Kepmenkop UKM
RI No 91/Kep/M.KUKM/IX/2004) menjadi
Koperasi Simpan Pinjam pembiayaan syariah
(KSPPS) sesuai dengan Peraturan Menteri No 16
/Per/M.KUKM/IX/2015
Kepmenkop No 91/
Kep/M.KUKM/IX/2004
Permen No 16
/Per/M.KUKM/IX/2015
Persaingan 1) Persaingan dengan Perbankan syariah yang
juga memasuki sektor pembiayaan bagi UKM
(KUR); 2) Rentenir; 3) LKM konvensional Lain
Ketua BMT Baitul
Muttaqin, (indepth
interview, Nov 2016)
Masyarakat 1) Literasi Keuangan syariah masih rendah
2) Stigma negatif LKMS sama LKM
OJK (2013); Antonio dan
Nugraha, (2012)
Tekhnologi LKMS belum dapat mengakomodir
Perkembangan tekhnologi dan menerapkan
tekhnologi informasi dalam kegiatan
operasionalnya
Ketua BMT Rabbani
(Wawancara mendalam,,
November, 2016)
Sumber daya
Insani /
Manajerial
Kapasitas SDI LKMS dalam aspek manajerial
Keterbatasan SDI yang profesional, memahami
ekonomi syariah dan memiliki spirit berjihad
Absindo Jawa Barat, 2014
Ketua BMT Rabbani,
(Wawancara mendalam,,
November, 2016)
Keuangan Keterbatasan akses terhadap sumber dana pihak
ketiga, tingginya pembiayaan bermasalah
Absindo Jawa Barat, 2014
Sharia Economic Outlook
(2014)
Sosial Social performance masih rendah, sehubungan
dengan adanya social performance task force
(sptf) suatu upaya untuk membuat layanan
keuangan aman dan lebih bernilai bagi klien.
Website resmi social
performance task force
(http://sptf.info/about-
us/what-we-do)
Spiritual Aspek spiritual belum terintegrasi dalam
Aktivitas LKMS
Ketua KSPPS Silih Aping,
(Wawancara
mendalam,Nov, 2016)
Hasil FGD (2016)
Sumber : Survei literatur dan wawancara mendalam (2016)
37
37
LKMS hanya akan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
rakyat miskin manakala pelayanan keuangaan mikro yang diberikannya dapat
berlanjut (Navajas et al, 2000; Ahlin dan Jiang, 2008).
Untuk mencapai keberlanjutan, LKMS harus dapat menghadapi berbagai
Tantangan dengan memupuk kapasitas internal dengan melalui optimalisasi peran
lembaga APEX, pengembangan sumber daya insani (SDI) dan dukungan dari
berbagai pihak terutama perbankan syariah (dalam hal sistem dan permodalan),
OJK (regulasi), MUI dan IKADI (dukungan pendakwah) untuk meningkatkan
literasi keuangan syariah masyarakat Indonesia terkait stigma negatif yang
melekat pada LKMS.
2.1.5. Variabel Penelitian
2.1.5.1 Intermediasi Finansial
Intermediasi Finansial (IF) merupakan salah satu misi utama LKM.
Konsep Intermediasi Finansial dari para ahli LKM disajikan pada Tabel 2.5
38
38
Tabel 2.5 Ringkasan Konsep Intermediasi Finansial
Peneliti/
Tahun
Konsep Dimensi
Tb Pin As Tr Js Pm
(Ledgerwood,
2000)
Aktivitas keuangan mikro untuk mentransfer
modal atau kas dari pihak yang mempunyai
dana berlebih kepada pihak kekurangan pada
waktu bersamaan berupa penyediaan produk
dan jasa keuangan seperti tabungan,
pembiayaan, asuransi dan transfer keuangan
bagi masyarakat miskin
√ √ √ √
(Robinson,
2001)
Penyediaan pinjaman, tabungan dan Jasa
layanan keuangan dasar lainnya kepada orang
miskin dan kelompok berpenghasilan rendah
√ √ √
(Christen,
Timothy R.
Lyman, dan
Rosenberg,
2003)
Penyediaan layanan perbankan kepada
masyarakat berpenghasilan rendah khususnya
orang miskin dan orang sangat miskin.
Layanan juga termasuk tabungan dan layanan
transfer
√ √ √
(ADB, 2004) Layanan keuangan yang meliputi tabungan,
pinjaman, layanan pembayaran, transfer
keuangan dan asuransi bagi masyarakat
miskin dan rumah tangga berpenghasilan
rendah serta usaha mereka
√ √ √ √ √
(Obaidullah,
2008)
Penyediaan produk dan jasa seperti kredit
mikro (micro-credit), tabungan mikro (micro-
savings), penyertaan modal mikro (micro-
equity), layanan transfer keuangan (micro-
transfers) dan asuransi (micro-insurance
dengan cara yang berkelanjutan kepada orang
miskin, orang yang terpinggirkan dan / atau
masyarakat berpenghasilan rendah yang
dikecualikan dari sistem keuangan formal.
√ √ √ √ √
(Kaleem dan
Ahmed, 2009)
Penyediaan jasa keuangan seperti tabungan,
pinjaman, jasa pembayaran, dan sebagainya
untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan
kurang mampu seperti pengrajin, petani,
pemilik dan pengusaha kecil
√ √ √
(Abdul
Rahman,
2007)
Aktivitas penyediaan produk dan jasa
keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah
meliputi skema tabungan (dana titipan
(wadiah) dan kerja sama (deposito
mudarabah), skema pembiayaan melalui
mudarabah/musharakah dan skema jual beli
(murabaha), transfer keuangan melalui zakat
infaq sedekah (ZIS) serta asuransi mikro
melalui konsep takaful.
√ √ √ √
Penelitian ini
√ √ √ √ √
Sumber: Survey literatur (data diolah, 2016)
Keterangan:
Tab = Tabungan Mikro; Pin = Pinjaman/Pembiayaan; AsM = Asuransi Mikro; Tr = Transfer
Keuangan; JP = Jasa Pembayaran; Pm = penyertaan modal Mikro
39
39
Berdasarkan konsep Intermediasi Finansial yang disajikan pada Tabel 2.5.
maka konstruk Intermediasi Finansial yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan konsep Ledgerwood (2000), Obaidullah (2008) dan Abdul Rahman
(2007) karena sesuai dengan tujuan LKMS dan tujuan penelitian ini yaitu
keberlanjutan LKMS melalui pemberdayaan orang miskin berlandaskan Syariah
Islam. Sehingga konstruk Intermediasi Finansial dalam penelitian ini adalah
aktivitas layanan keuangan mikro berbasis syariah yang ditujukan bagi orang
miskin, berpenghasilan rendah dan kelompok produktif meliputi aktivitas
tabungan mikro, pembiayaan mikro, dan layanan keuangan lainnya seperti
layanan pembayaran, transfer keuangan serta asuransi mikro dengan cara yang
layak, memberdayakan dan berkelanjutan.
Dimensi penyertaan modal mikro (micro-equity) dari Obaidullah (2008),
direduksi dari konstruk karena sudah termasuk ke dalam dimensi pembiayaan
mikro. Penyertaan modal mikro merupakan bagian dari dimensi pembiayaan
LKMS, yaitu dana yang disalurkan kepada klien/anggota dalam bentuk
pembiayaan dengan akad kerja sama (syirkah) baik akad mudharabah maupun
musharaka.
2.1.5.2. Intermediasi Sosial
Intermediasi Sosial merupakan fungsi utama LKM selain Intermediasi
Finansial. Fungsi ini memungkinkan LKM melayani the poorest dengan desain
layanan yang disesuaikan dengan karakteristik kehidupan masyarakat miskin.
Intermediasi Sosial berbeda dari jenis pelayanan kesejahteraan sosial lainnya
karena menawarkan mekanisme yang memungkinkan penerima (orang miskin)
40
40
dapat menjadi klien LKM yang kemudian siap mengakses layanan
keuangan formal (Dusuki, 2008). Intermediasi Finansial mempersiapkan orang
miskin membina hubungan bisnis jangka panjang melalui pembentukan kelompok
dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan terkait (literasi keuangan, ide
bisnis, manajemen usaha, akumulasi aset) (Kamukama dan Natamba, 2013b).
Intermediasi Sosial mampu menciptakan sikap baru (new attitudes), persepsi diri
(self-perception), sistem dan lembaga baru, yang pada gilirannya
mempromosikan kemandirian dan kepercayaan diri klien (Goldberg, 1998)
Salah satu pengalaman terbaik (best practices) penerapan Intermediasi
Sosial kepada the poorest adalah graduation model dari Hashemi dan Rosenberg
(2006) serta Hashemi dan Umaira (2011) melalui 10 pilot project pada tahun 2006
dan terus direplikasi hingga saat ini ke berbagai negara. Tahapan graduation
model dapat dilihat pada gambar berikut:
Sumber : (Hashemi dan Rosenberg, 2006)
Gambar 2.3 Tahapan Graduation Model LKM
Model ini menggabungkan lifelihood protection berupa bantuan dana
untuk kehidupan sehari-hari (survival) bersamaan dengan pemberian pekerjaan
41
41
yang menghasilkan dengan lifelihood promotion program berupa pelatihan yang
relevan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat miskin
serta penyediaan lapangan pekerjaan.
Inovasi berikutnya adalah model terintegrasi (integrated approcah)
Ledgerwood (2008) dimana LKM mengintegrasikan dual mission dengan layanan
layanan sosial lainnya.
Gambar 2.4 Integrated Approach
Sejumlah peneliti Islam mengajukan inovasi Intermediasi Sosial di LKMS
berdasarkan best practices kegiatan pengentasan kemiskinan. Obaidullah (2008)
mengajukan dual approach, yaitu penggunaan dana filantropi terintegrasi dengan
produk/jasa keuangan mikro. Kaleem dan Ahmad (2009) menyebut model ini
sebagai LKM berbasis karitas (charity based MFI). Model ini mengintegrasikan
wakaf tunai (cash waqf) (Masyita, 2012); zakat (Khaleequzzaman, 2007);
maupun kombinasi keduanya yaitu zakat dan waqaf (Hassan, 2010; Abdul
Rahman & Dean, 2013; Masyita, 2006) kedalam aktivitas LKMS.
Sumber: Ledgerwood (2008)
42
42
Tabel 2.6 Konsep Intermediasi Sosial
Peneliti/
Tahun
Konsep Dimensi KP Pm KM PLK PG TI KD KK
Bennet dan
Goldberg,
Hunte
(1996)
Proses investasi pengembangan sumber daya
manusia bertujuan meningkatkan kepercayaan
diri (self confidence) kelompok masyarakat
miskin, sebagai persiapan bagi mereka untuk
menggunakan Intermediasi Finansial formal.
√
Goldberg
(1998)
Proses membangun sumber daya manusia dan
modal institusional sehingga dapat
meningkatkan kemandirian (self reliance)
kelompok marjinal dan untuk mempersiapkan
(empowerment) mereka terlibat dalam
Intermediasi Finansial formal.
√ √
Nelson,
(1999)
Orang miskin membutuhkan "Intermediasi
Sosial" untuk mengembangkan kepercayaan
diri (self-confidence) dan meningkatkan
keterampilan manajemen (management skils)
√ √
Ledgerwood
(2000)
Intermediasi Sosial seperti pembentukan
kelompok, pengembangan kepercayaan diri,
pelatihan literasi dan kemampuan manajemen
keuangan di antara anggota kelompok
√ √ √ √
(Hashemi
dan
Rosenberg,
2006)
Proses meningkatkan kemampuan masyarakat
miskin sehingga siap menggunakan layanan
keuangan formal melalui : 1) penciptaan
ketahanan terhadap kerentanan (JPS) 2)
penciptaan akumulasi aset dan pengalaman
(pelatihan, tabungan dan pinjaman mikro)
√ √ √
Dusuki,
(2008)
Aktivitas pembentukan kapasitas masyarakat
miskin berupa pengetahuan, bakat, rasa
percaya diri dan teknologi informasi
√ √ √
Kalyango,
(2009)
Intermediasi Sosial meliputi pemberdayaan
ikatan sosial, pembangunan kepercayaan diri
(confidence building) dan pengetahuan literasi
keuangan serta kemampuan manajemen
(management capabilities enhancement)
diantara anggota kelompok LKM.
√ √ √ √
Penelitian
ini
√ √ √ √ √ √ √ √
Sumber : Survey Literatur (Data Diolah, 2016)
Keterangan: KP = kepercayaan diri; Pm = Pemberdayaan; KM = Keahlian Manajemen; PLK =
Pengetahuan/Literasi Keuangan; PG = Pembentukan Grup; TI = Tekhnologi Informasi; KD =
Kemandirian; KK = Ketahanan Kerentanan.
43
43
Konstruk Intermediasi Sosial dalam penelitian ini didasarkan pada konsep
para ahli yang disajikan pada Tabel 2.6 yaitu segala aktivitas yang ditujukan
untuk mempersiapkan orang miskin melalui aktivitas penyebaran pengetahuan,
peningkatan kepercayaan diri, dan pemberdayaan secara terencana dan sistematis
sehingga siap mengakses layanan keuangan mikro formal. Konstruk Intermediasi
Sosial ini dapat mengakomodir segala aktivitas yang dibutuhkan bagi orang
miskin untuk meningkatkan kapasitas mereka sehingga akhirnya siap
memanfaatkan transaksi keuangan di LKM formal.
Dimensi ketahanan terhadap kerentanan (KK) dari Hasyemi dan
Rosenberg (2006) direduksi karena merupakan indikator dari variabel lain dalam
penelitian ini yaitu Modal Sosial Islam. Dimensi KK direduksi dari Intermediasi
Sosial karena pemberian bantuan langsung ke orang miskin tanpa disertai
pemberian pengetahuan terlebih dahulu merupakan kegiatan yang tidak
memberdayakan dan dapat menimbulkan kerusakan moral (moral hazard).
2.1.5.3. Intermediasi Spiritual
Sebagai lembaga keuangan (financial institution) sekaligus lembaga
dakwah (religious institution), LKMS menjalankan dual mission (Intermediasi
Finansial dan sosial) dan juga mengemban misi spiritual yang merupakan
manifestasi dari nilai-nilai Islam yang melandasi keseluruhan strategi dan
tujuannya. Melalui misi ini LKMS memastikan bahwa segala aktivitas
dipraktekkan secara benar (kaffah) sesuai dengan prinsip Syariah (Wediawati &
Setiawati, 2016). Namun demikian, berdasarkan kajian literatur yang dilakukan,
konsep Intermediasi Spiritual masih sangat terbatas sejalan dengan penelitian
44
44
yang juga masih terbatas. Kajian empiris yang membahas aspek spiritual dalam
LKMS masih sangat sulit ditemukan. Hal ini antara lain disebabkan oleh: 1)
Muslim Schollar mendiskusikan spiritualitas lebih sebagai ritual atau aktivitas
berbasis ibadah, 2) kebanyakan literatur menggunakan bahasa selain Inggris
seperti Arab, Indonesia, Malaysia atau Persia (Mardhatillah dan Rulindo, 2008).
Beberapa studi yang berhasil ditemukan mengungkap peran agama
(religion) ataupun keimanan (faith) dalam LKM (Allen, 2006; Hoda dan Gupta,
2015; Khan dan Phillips, 2012). Namun studi ini hanya membahas agama (faith)
sebagai aspek tunggal. Hadisumarto dan Ismail (2010), Mardhatillah dan Rulindo
(2008) dan Masyita (2014) dalam penelitiannya merekomendasikan pentingnya
pengembangan aspek spiritual di LKMS sebagai upaya untuk meningkatkan
efektivitas pembiayaan LKMS. Untuk itu, Sanrego (2013) menyarankan
pendekatan holistik dimana intermediasi spiritual dilaksanakan bersamaan dengan
intermediasi finansial dan sosial.
Salah satu studi yang mengeksplorasi dan membangun konstruk
Intermediasi Spiritual adalah studi kualitatif Wediawati dan Setiawati (2016).
studi ini dilakukan terhadap 12 LKMS/BMT di dua kota yaitu Kota Jambi dan
Kota Kendari dan mengungkap bahwa LKMS telah melaksanakan Intermediasi
Spiritual, namun belum terencana dan belum sistematis serta belum menjadi
bagian utuh dari misi LKM sebagaimana dual mission.
Pengembangan spiritual meliputi diseminasi prinsip-prinsip syariah sesuai
dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad S.A.W. (Beekun dan Badawi,
2005), yaitu prinsip yang mengutamakan: 1) taawun : prinsip kemitraan; 2)
45
45
maslahah : prinsip kemanfaatan; 3) Adl dan Ridho : prinsip keadilan; 4) tawazun
: prinsip keseimbangan; dan 5) rahmatan lilalamin : prinsip keuniversalan. Juga
mendiseminasikan larangan Syariah: 1) riba : penambahan pendapatan secara
tidak sah; 2) maisir : transaksi yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan; 3)
gharar : transaksi yang objeknya tidak jelas; 4) haram : transaksi yang objeknya
dilarang, 5) Zalim : transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lain dan
6) Ikhtikar : praktek penimbunan (Ahmed, 2002, Obaidullah, 2008). Prinsip-
prinsip ini mencegah kehancuran struktural lembaga keuangan mikro karena
menekankan pada faktor-faktor etika, moral dan sosial untuk mempromosikan
kesetaraan dan keadilan untuk kemakmuran masyarakat (Alhuda CIBE, 2013).
Pengembangan spiritual lainnya adalah mendiseminasikan sifat-sifat
keteladanan Nabi Muhammad S.A.W serta etika bisnis Islam untuk dapat
dipahami dan dipraktekkan baik oleh pengurus maupun oleh anggota/klien LKMS
dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam bertransaksi (muamalah). Sifat sifat
keteladanan (nubuwah) tersebut adalah: 1) kejujuran (sidiq), 2) dapat dipercaya
(amanah), 3) komunikatif (tabligh), 4) serta profesional (fathonah).
Beberapa penelitian menyarankan bahwa kebutuhan untuk mendidik
masyarakat muslim tentang prinsip dan praktek keuangan Islam merupakan
langkah untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat
tentang literasi keuangan Syariah (Waspodo, 2008), terutama tentang istilah-
istilah Islam yang banyak digunakan oleh produk LKMS (Riwajanti, 2014). Hal
ini dapat dilakukan melalui internalisasi nilai-nilai moral Islam dalam kesadaran
seorang pengusaha muslim (Hadisumarto dan Ismail, 2010).
46
46
Lebih lanjut menurut Obaidullah dan Khan (2008) bahwa kegiatan
pendidikan dan pelatihan LKMS merupakan kebutuhan mendesak dan menjadi
tantangan besar bagi sektor keuangan mikro Syariah karena kurangnya tenaga
kerja terlatih dan menjadi kendala utama untuk pertumbuhan, ekspansi dan
konsolidasi LKMS
Studi eksperimen yang dilakukan oleh Masyita et. al (2014) terhadap 162
orang klien dari 13 lembaga keuangan Islam membuktikan bahwa spiritual
treatment bersama dengan managerial dan technology treatments memberikan
hasil yang signifikan terhadap perubahan perilaku dan kinerja bisnis klien.
Demikian pula studi yang dilakukan oleh Mardhatilah dan Rulindo (2008)
terhadap pengusaha Muslim di Malaysia menemukan bahwa pelatihan spiritual
(ESQ training) berhubungan positif dengan kinerja bisnis. Studi Hadisumarto dan
Ismail (2010) juga menungkap bahwa spiritual development di LKMS dapat
meningkatkan efektivitas pembiayaan LKMS, menghilangkan stigma negatif
LKMS di masyarakat dan meningkatkan akses masyarakat ke LKMS.
Istilah spiritual digunakan dalam studi ini agar jenis intermediasi ini dapat
dipergunakan secara universal pada berbagai LKM berbasis keimanan (faith
based microfinance) seperti LKM agama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu maupun
Budha. Dalam studi ini, istilah spiritual lebih berorientasi pada agama Islam
sesuai dengan objek penelitian ini.
Berdasarkan Tabel 2.7. maka konstruk Intermediasi Spiritual yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah penggabungan konsep Masyita et al
(2014), Obaidullah dan Khan (2008); Waspodo (2008) dan Wediawati dan
47
47
Setiawati (2016) yaitu segala aktivitas yang dilakukan oleh LKMS untuk
meningkatkan nilai dan makna kehidupan klien LKM menuju kesadaran dan
komitmen untuk memenuhi kewajiban mereka kepada Allah dan manusia yaitu
melalui kegiatan keteladanan syariah (exampelary of sharia), ketaatan syariah
(sharia compliance), pendidikan syariah (spiritual education) dan pelatihan
syariah (spiritual training).
Konsep keempat peneliti digunakan dalam penelitian ini, karena
mengakomodir konsep dakwah (tarbiyah) dalam ajaran Islam yaitu dakwah
personal melalui keteladanan syariah (perkataan dan perbuatan Islami) dan
dakwah organisasi yang meliputi pendidikan, pelatihan dan ketaatan syariah.
Dengan demikian, dimensi Intermediasi Spiritual adalah:
1. Keteladanan Syariah
Keteladanan Syariah merupakan aktivitas yang dilakukan oleh semua
individu/stakeholders LKMS dalam dua aktivitas utama yaitu berupa
keteladanan dalam hal perkataan yang baik (thoyyibah) serta keteladanan
perilaku (Wediawati dan Setiawati, 2016). Aqidah Islam yang tertanam di
dalam jiwa seorang muslim, akan mewarnai ucapan dan tingkah laku yang
Islami dan menjadi pembentuk kepribadian Islam. Kepribadian Islam adalah
unsur utama kekuatan personal Islam.
2. Ketaatan Syariah
Ketaatan Syariah merupakan aktivitas LKMS yang dilaksanakan sesuai dengan
prinsip Syariah (shariah compliance). Aktivitas ketaatan ini akan terpenuhi
manakala LKMS memiliki:
48
48
Tabel 2.7 Penelitian Pengembangan Spiritual di LKM/LKMS
Peneliti/
Tahun
Konsep Dimensi
PdR PlR KpS KtS
Waspodo,
(2008)
Pendidikan mengenai prinsip dan praktek
keuangan Syariah merupakan langkah untuk
meningkatkan pengetahuan muslim sehingga taat
pada ajaran dan prinsip Islam
√
Hadisumarto.
W and Ismail.
A. G, (2010);
Adnan dan
Ajija, (2015)
Pengembangan spiritual melalui internalisasi
nilai-nilai moral Islam dalam kesadaran seorang
pengusaha muslim
√
Ascarya (2012) Pendidikan agama sebagaimana layanan
pendidikan, kesehatan, pemberdayaan,
perencanaan keuangan dan layanan sosial lainnya
sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
Usaha mikro
√
Riwajanti
(2014)
Pelatihan agama untuk lebih intens
mensosialisasikan produk LKMS ke masyarakat
luas, mendidik pelanggan untuk meningkatkan
pemahaman pada istilah Islam yang digunakan
LKMS
√
Mardhatillah
dan Rulindo,
(2008)
Pelatihan spiritual menggunakan spiritualitas
Islam untuk meningkatkan kemampuan,
kepemimpinan dan kinerja hidup mereka melalui
Emotional Spiritual Quotient (ESQ) yaitu Ihsan,
Iman dan Islam
√
Obaidullah,
(2008);
Obaidullah dan
Khan (2008)
Manajemen LKMS dalam pelaksanaannya harus
menjaga LKMS harus sesuai dengan syariat di
semua produk, proses dan kegiatan mereka
sehingga dianggap demikian oleh klien
√
Masyita et al
(2014)
Spiritual treatment merupakan upaya untuk
meningkatkan nilai dan makna kehidupan klien
LKM menuju kesadaran atas kompetensi dan
komitmen untuk memenuhi kewajiban mereka
kepada Allah dan manusia
√ √
Wediawati dan
Setiawati,
(2016)
Intermediasi Spiritual adalah aktivitas untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
masyarakat mengenai prinsip dan praktek
keuangan Syariah melalui keteladanan,
kepatuhan, pendidikan dan pelatihan Syariah
√ √ √ √
Penelitian ini √ √ √ √
Sumber : survei Literatur (Data diolah, 2016)
Keterangan: PdR = Pendidikan religi; PlR = Pelatihan religi; KpS = Kepatuhan Syariah; KtS =
Keteladanan Syariah
49
49
1. Pengelola yang memahami konsep Syariah dan konsep transaksi yang
sesuai dengan hukum Islam (fiqh muamalah).
2. Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi sesuai dengan tugas dan
tanggung-jawabnya sesuai dengan ketentuan (fatwa) Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
3. Audit Syariah secara berkala sebagai mekanisme kontrol atas
ketidaksesuaian aktivitas/pelanggaran yang dilakukan LKMS terhadap
prinsip Syariah sehingga dapat segera diluruskan.
4. Aktivitas operasional LKMS sesuai dengan Pedoman Akad Syariah.
(Obaidullah, 2008; Obaidullah & Khan, 2008; Wediawati dan Setiawati,
2016; Pedoman Akad Syariah (PAS) BMT)
3. Pendidikan Syariah
Pendidikan Syariah merupakan aktivitas LKMS untuk menyebarkan
pengetahuan mengenai hukum Islam baik ibadah maupun muamalah kepada
stakeholder LKMS. Target penyebaran pengetahuan dibagi dua klasifikasi
untuk memudahkan LKMS merancang materi pendidikan syariah, yaitu: a)
pendidikan spiritual eksternal kepada masyarakat umum (pemerintah,
masyarakat dan swasta); b) Pendidikan spiritual internal untuk meningkatkan
dan menjaga aspek ruhiyah yaitu kepada anggota/klien dan kepada pengurus
(Ascarya, 2012, Waspodo, 2008; Wediawati dan Setiawati, 2016)
4. Pelatihan Syariah
Pelatihan Syariah merupakan aktivitas yang dilakukan oleh LKMS untuk
meningkatkan keterampilan stakeholders dalam mengimplementasikan konsep
50
50
Syariah yang didasarkan pada Iman, Islam dan Ihsan dalam dua aktivitas utama
yaitu aktivitas ibadah dan muamalah (Mardhatillah dan Rulindo, 2008;
Wediawati & Setiawati 2016). Kedua hal ini merupakan kesatuan yang tidak
terpisahkan. Karena praktek seorang muslim bermuamalah sangat ditentukan
oleh kualitas ketakwaannya (ibadah). Ibadah yang khusyu‟ menghasilkan
pribadi yang taat dalam bermuamalah.
Gambar 2.5 Pemetaan Literatur Intermediasi Spiritual
51
51
2.1.5.4 Modal Sosial Islam
Konsep/definisi tentang Modal Sosial Islam (Islamic social capital) belum
baku sejalan dengan terbatasnya kajian baik konseptual maupun empiris. Oleh
karena itu, untuk membangun konstruk Modal Sosial Islam, dilakukan
penelusuran mulai dari munculnya konsep modal sosial pertama kali hingga
perkembangannya saat ini dan kemudian memeriksa penelitian konseptual
maupun empiris yang mengkaji modal sosial berdasar nilai-nilai Islam.
Istilah modal sosial pertama kali digunakan oleh Lyda J. Hanifan pada tahun
1916 namun istilah ini sempat menghilang selama setengah abad, sebelum
muncul kembali pada tahun 1950 oleh tim sosiolog Kanada Seeley, Sim dan
Loosely (1956), Jane Jacobs (1961), dan ekonom Glenn Loury (1977). Meski
menggunakan istilah Modal sosial, namun tak satu pun dari para penulis ini yang
mengutip karya Hanifan,
Formulasi konsep modal sosial mulai dibangun melalui penelitian Pierre
Bourdieu, seorang sosiolog Perancis (1983; 1986). Namun karena tulisan
Bourdieu yaitu Le Capital Social: Notes Provisoires diterbitkan dalam publikasi
berbahasa perancis, sehingga tidak banyak ilmuwan sosial (khususnya sosiologi
dan ekonomi) yang menaruh perhatian. Konsep Modal sosial mulai mengemuka
menjadi topik penting yang mempertemukan antar disiplin ilmu (sosiologi,
antropologi, ekonomi) setelah James Coleman (1988) mempublikasikan artikelnya
dalam Jurnal American Journal of Sociology yang berjudul Social Capital in the
Creation of Human Capital (1988).
52
52
Berbeda dengan modal ekonomi (economic capital) dan modal manusia
(human capital) yang lebih dahulu populer, modal sosial baru eksis bila ia
berinteraksi dengan struktur sosial. Sifat ini jelas berbeda dengan dua modal
sebelumnya, yakni modal ekonomi dan manusia. Dengan modal ekonomi yang
dimiliki, seseorang/perusahaan bisa melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus
terpengaruh dengan struktur sosial, demikian pula halnya dengan modal manusia.
Dengan demikian, modal sosial dapat produktif mencapai tujuan hanya jika
keberadaannya eksis.
Topik modal sosial semakin meluas melalui karya Robert Putnam (1993,
1996) dengan pendekatan kemasyarakatan (society’s perspective) melalui tesis
provokatif mengenai kemerosotan modal sosial di Amerika Serikat di akhir abad
kedua puluh dan melalui penelitian panjang Fukuyama (1992; 1995; 1999; 2001;
2002). Meski masih ambigu karena belum ada kesepakatan di antara para ekonom
mengenai dimensi modal sosial, namun konsep modal sosial sudah banyak
diterapkan untuk menjelaskan berbagai fenomena sosial baik pada aspek makro
seperti kinerja perekonomian (Annen, 2003; Nahapiet & Ghoshal, 1998),
kesejahteraan dan kemiskinan (Grootaert, 1999) dan konteks bernegara
(Fukuyama, 1995; 2001) serta pada aspek mikro seperti kinerja organisasi
(Felicio, Couto dan Caiado, 2004) dan efisiensi serta efektivitas LKM (Dowla,
2006; Kamukama dan Natamba, 2013, Pradesh, 2012 dan Van Bastelaer 2000).
Diantara sekian banyak konsep modal sosial, konsep Putnam (1993) banyak
menginspirasi kajian modal sosial saat ini, meskipun mendapat banyak kritik,
diantaranya: 1) Putnam mengabaikan muatan modal sosial (tujuan dan ideologi)
53
53
(Haris, 2001), sehingga modal sosial itu bisa positif dan sebaliknya bisa negatif;
2) Putnam meminggirkan konteks relasi yang ada dalam masyarakat sehingga
dapat menyebabkan ketimpangan relasi. Ketimpangan dapat terjadi jika asosiasi-
asosiasi lokal didominasi oleh kelompok elit lokal untuk menguatkan kepentingan
mereka. Maka, modal sosial bisa tampak mekar, tapi muatannya sedang
mengkerut; 3) instrumen Putnam tidak memperhatikan variasi dari intensitas
kontak yang dimiliki anggota terhadap asosiasi yang lain. Fukuyama (1995) dan
Scrivens & Smith (2013) membuktikan bahwa intensitas hubungan anggota
dengan asosiasi di luar kelompoknya dapat menjadi variabel yang kuat
mempengaruhi modal sosial dalam masyarakat; 4) pandangan Putnam bahwa
sebuah masyarakat keagamaan tidak bisa menjadi masyarakat sipil, atau dengan
kata lain bahwa agama tidak mungkin menjadi modal sosial.
Candland, (2000) dan Furbey et al., (2006) membuktikan sebaliknya,
bahwa agama (faith/religious) bisa menjadi sumber modal sosial bahkan modal
sosial itu sendiri. Studi Candland terhadap empat organisasi keagamaan di Asia
yaitu Nahdlatul Ulama di Indonesia, Jamaati Islami di Pakistan, Lanka Jathika
Sarvodaya Shramadana Sangamaya di Srilanka) dan Santi Asok di Thailand
menemukan bahwa komunitas beriman tidak perlu berulang kali harus
berinteraksi secara langsung untuk dapat membangun rasa saling percaya satu
sama lain. Studi Furbey et al. menguatkan temuan Candland bahwa ajaran tiga
agama monotheis Ibrahim (Yahudi, Kristen dan Islam) selain mengikat
pemeluknya dalam satu ideologi untuk menyembah satu Tuhan (bonding), juga
54
54
membangun hubungan ke pemeluk agama lainnya (bridging dan linking social
caital) sebagaimana klasifikasi modal sosial Woolcock (1998).
Tabel 2.8 Ringkasan Penelitian Modal Sosial
Peneliti/Institusi Konsep/definisi Dimensi
Bourdieu, (1986)
Bourdieu dan
Wacquant (1992)
dalam Susen dan
Turner (2013)
Jumlah sumber daya baik aktual ataupun
virtual (tersirat) yang berkembang pada
seorang individu/kelompok karena
kemampuan untuk memiliki suatu jaringan
yang dapat bertahan lama dalam hubungan
yang telah diinstitusikan berdasarkan
pengetahuan dan pengenalan timbal balik
Sumber daya aktual dan
virtual
Jaringan (networks)
Hubungan
(relationship)
Timbal balik
(reciprocity)
Coleman, (1990) Modal sosial melekat pada struktur
hubungan antar dan diantara orang
Struktur Hubungan
(structure of relation)
Putnam (1993) Fitur organisasi sosial, seperti
kepercayaan, norma, dan jaringan yang
dapat meningkatkan efisiensi masyarakat
dengan memfasilitasi tindakan
terkoordinasi"
Kepercayaan (Trust)
Norma
Jaringan
Tindakan terkoordinir
Tujuan bersama
Fukuyama (1995;
2001)
Seperangkat nilai-nilai resmi atau norma
menyebar di antara anggota kelompok
yang memungkinkan kerja sama
berdasarkan kejujuran membuat saling
percaya di akhir.
Nilai informal (informal
values)
Norma (norm):
Kerjasama
Nahapiet dan
Ghoshal (1998)
Modal sosial organisasional merupakan
sekumpulan sumber daya yang ada dan
sumber daya potensial yang dihasilkan
dari jaringan relasional yang dimiliki
individu ataupun unit sosial, sebagai dasar
kepercayaan dan kerja sama antar anggota
organisasi yang mengarahkan kepada
hubungan sosial yang baik dan perbaikan
kinerja organisasi.
Dimensi Struktural
Ikatan jaringan
dan organisasi
Sepadan
Dimensi Relasional
Kepercayaan,
norma, kewajiban
Dimensi Kognitif
Kode dan bahasa
dan narasi bersama
(World Bank, 1998)
dalam (Razmi,
Salimifar, &
Bazzazan, 2013)
Lembaga, hubungan, pandangan dan nilai-
nilai dalam masyarakat tertentu yang
mengatur tindakan dan reaksi antara
orang-orang dan memiliki peran dalam
pembangunan ekonomi dan sosial.
Institution
Relationships
Views
Values
Norms
(Cohen dan Prusak ,
2001)
Modal hubungan aktif dalam masyarakat,
yang terikat oleh kepercayaan, saling-
pengertian dan nilai nilai bersama yang
mengikat anggota kelompok untuk
membuat kemungkinan kerja sama secara
efisien dan efektif.
Trust
Mutual-Understanding
Shared Value
Cooperation
Sumber : Survei Literatur
55
55
Berdasarkan Tabel 2.8. dapat dijelaskan bahwa modal sosial dibentuk oleh
dimensi kognitif berupa nilai-nilai yang dipahami dan dianut bersama, dimensi
relasional berupa relasi antar individu serta dimensi struktural berupa jaringan dan
institusi yang terbentuk sebagai akibat adanya relasi antar individu.
Tabel 2.9 Penelitian terkait Nilai Moral dalam Ajaran Islam
Peneliti/Institusi Konsep / Definisi Dimensi
(Rofik &
Asyhabuddin,
2005)
Nilai-nilai Dasar Islam yang mampu
menggerakkan kaum muslim untuk
berjuang bersama menyelesaikan
problem mereka dan memenuhi
kebutuhan mereka.
Sistem keyakinan normatif
yang sama (ummah
wahidah
Persaudaraan) (ukhuwah)
Tolong menolong
(ta’awun)
Berbuat kebaikan (Ihsan)
Kepemimpinan
(Farooqi, 2006)
Modal Sosial Islam ditandai oleh nilai-
nilai moral dalam produksi dan jaringan
yang menawarkan kesempatan untuk
interaksi yang inovatif antara
seperangkat agen hingga ke etika Islam.
Nilai Nilai Moral Islam
Interaksi inovatif
Etika Islam
(Khaleequzzaman,
2007)
Modal sosial yang didasarkan nilai-nilai
Islam yang dibangun di atas perintah
Syariah untuk melayani populasi Muslim
secara efektif dan menjamin
keberlanjutan program keuangan mikro
yang didukung oleh keunggulan dalam
kualitas dan komitmen staf LKM dan
klien mereka.
Prinsip kesatuan
Hubungan/relasi
Motivasi program (fardu al
kafayah, falah, adl, Ihsan,
dan ta'awun).
Berbagi risiko (kafalah,
takaful)
Bantuan fakir miskin (ZIS)
Ibn Khaldun
dalam Dusuki,
2008
Solidaritas sosial (Asabiyah) yang
selaras dengan persaudaraan
(brotherhood) dan saling kerja sama
(ta`awun) dalam Islam. Asabiyah
mengikat kelompok dan mendorong
saling bekerjasama untuk mencapai
tujuan bersama
Bahasa
Norma
Kepercayaan,
Budaya
Kode perilaku
Solidaritas
Timbal balik
Chapra (2008) Solidaritas sosial dan persaudaraan untuk
mencapai falah (kesejahteraan dalam
kehidupan didunia dan di akhirat)
sebagai salah satu cara untuk mencapai
tujuan akhir ajaran Islam, yang
merupakan Rahmatan lil Alamin
Solidaritas sosial
Persaudaraan
(brotherhood)
(Malik, 2014a;
2014b)
Modal sosial Islahi/Ihsani adalah
hubungan horizontal antar individu
dalam konsep ukhuwah (solidaritas
universal) ditentukan oleh hubungan
vertikal antara individu dan Tuhan
(ketauhidan) untuk mencapai
keseimbangan tujuan (falah)
Norma wahidah/Tauhid
Kepercayaan (Amanah)
Solidaritas (Ukhuwah)
- Takaaful
- Tafaahum
- Islah
- Tarbiyah
Sumber : Survei Literatur, 2016
56
56
Konsep Modal Sosial Islam sebagaimana disajikan pada Tabel 2.9 secara
garis besar dapat diklasifikasikan dalam dimensi yang sama dengan modal sosial
(konvensional), namun demikian, terdapat tiga perbedaan fundamental, pertama
dalam filosofi ideologi dimana Modal Sosial Islam didasarkan pada nilai
ketauhidan (Unity of God) dan norma-norma Islam lainnya yang mengandung
nilai-nilai mulia sebagai perekat pertama umat Islam, dan bahwa segala hal
ditujukan sebagai pengabdian pada Allah SWT semata (ibadah). Sementara modal
sosial (konvensional) didasarkan pada norma-norma yang tumbuh dalam satu
kelompok. Norma ini bisa baik bisa pula sebaliknya. Perbedaan kedua, Modal
Sosial Islam bersifat universal karena berdasarkan aqidah dan syariat Islam.
Modal sosial (konvensional) bersifat temporer (terbatas pada waktu dan tempat),
yaitu ikatan selain ikatan aqidah misalnya ikatan keturunan (orang tua-anak),
perkawinan, nasionalisme, kesukuan, kebangsaan, atau kepentingan pribadi.
Perbedaan ketiga pada tujuan yang ingin dicapai, dimana Modal Sosial
Islam menekankan pada keseimbangan tujuan (falah), bahwa tindakan bersama
dalam modal sosial Islam tidak hanya ditujukan untuk mencapai tujuan duniawi
semata (profit/kesejahteraan) namun pada saat bersamaan juga berorientasi pada
tujuan akhirat yaitu keberkahan dan Ridho Allah SWT. Sementara modal sosial
berorientasi pada tindakan bersama untuk mencapai tujuan atau kepentingan
kelompok.
Penelitian-penelitian terdahulu sebagaimana diringkas pada Tabel 2.9
merujuk modal sosial Islam kepada pada konsepsi Islam Ukhuwah Islamiyah yang
menyatakan bahwa setiap muslim dengan muslim lainnya pada hakikatnya
57
57
bersaudara sebagaimana dinyatakan dalam ayat Al-Qur‟an maupun hadits
Rasulullah SAW, diantaranya:
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara. Karena itu,
damaikanlah kedua saudara kalian, dan bertakwalah kalian kepada Allah
supaya kalian mendapatkan rahmat.” (QS Al-Hujurat :10).
“Sesungguhnya Mu‟min yang satu dengan Mu‟min yang lainnya bagaikan
sebuah bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan.” (Muttafaq
Alaih).
Kata “ukhuwah” atau turunannya kerap sekali digandengkan dengan kata
Iman, Islam, takwa atau orang beriman. Hal ini mengindikasikan bahwa ukhuwah
merupakan salah satu parameter utama keimanan dan keIslaman seseorang.
Dalam Ajaran Islam, selain konsep persaudaraan sesama Islam (Ukhuwah
Islamiyah), dimana seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena
memeluk agama Islam, juga terdapat terdapat konsep persaudaraan sebangsa
(ukhuwah wathaniyah) dan konsep persaudaran sesama manusia (ukhuwah
basyariyah). Konsep ukhuwah ini sebagaimana konsep Qawmi ('umat-Ku'), yang
melibatkan hubungan persaudaraan antara muslim dengan orang lain dengan rasa
hormat, terlepas dari keyakinan mereka sehingga menjembatani (bridging) dan
menghubungkan (lingking) umat Islam dengan umat lainnya.
Modal Sosial Islam berimplikasi bagi LKMS dalam hal keseimbangan
tujuan sebagaimana dinyatakan Chapra (2008) bahwa persaudaraan merupakan
persyaratan untuk mencapai tujuan akhir dari semua ajaran Islam yaitu
kesejahteraan dalam kehidupan dunia dan akhirat (falah.)
Berdasarkan Tabel 2.9 dapat dibangun konstruk Modal Sosial Islam
sebagai Ikatan persaudaraan yang didasari oleh akidah Islam, Iman dan takwa
58
58
(Ukhuwah Islamiyah) yang merekatkan Umat Islam dalam satu kesatuan untuk
bergerak mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan finansial, kesejahteraan
sosial (pemerataan) dan kesejahteraan spiritual/keberkahan (ziyadah) bagi institusi
dan anggota melalui norma-norma Islam, amanah, ta’awun dan jaringan.
Dimensi dari konstruk Modal Sosial Islam yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah :
1. Norma-norma Islam
Nilai-nilai Islam yang menjadi aturan dan pedoman bagi LKMS dan seluruh
stakeholder dalam berucap dan bertingkah laku untuk mencapai tujuan bersama
yaitu kesejahteraan duniawi dan akhirat (falah). Setiap transaksi didasarkan saling
ikhlas dan ditujukan semata-mata untuk mencapai Ridho Allah SWT. Norma-
norma Islam yang dominan dibangun dan diterapkan di LKMS adalah:
a. Norma ketauhidan (norma wahidah)
Norma ini bersumber dari Al-Qur‟an
“Dan Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia,
Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang (QS Al-Baqarah [2]: 163)
b. Norma Kejujuran (sidiq)
Kejujuran dalam segala hal termasuk saat bertransasksi di LKMS sesuai
dengan perintah Allah dalam Al-Quran:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah
kamu bersama orang-orang yang benar”(QS At-Taubah [9]: 119)
Serta sesuai dengan Hadist Rasulullah SAW:
“Jika engkau miliki empat hal, engkau tidak akan rugi dalam urusan dunia:
menjaga amanah, jujur dalam berkata, berakhlak baik, dan menjaga harga diri
dalam (usaha, bekerja) mencari makan.” (HR Ahmad)
59
59
c. Norma menepati janji
Menepati janji sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur‟an:
“ Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan
janjinya (QS Al Mu‟minun [23]; 8)
“Wahai orang yang beriman, penuhilah janji-janji.. (QS Al-Ma‟idah [5]; 1)
Serta sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:
“Siapa saja yang berhutang sedang ia sengaja untuk tidak membayar,
maka ia akan bertemu dengan Allah SWT sebagai pencuri” (HR. Ibnu
Hayat dan Baihaqi)
“Akan diampuni orang syahid semua dosanya, kecuali hutangnya” (HR.
Muslim)
2. Tolong menolong (ta’awun)
Perilaku saling menolong diantara sesama (anggota dan LKMS) tanpa
mengharapkan imbalan seketika dan tanpa batas waktu tertentu dalam nuansa
itsar (semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain) yang
didasari oleh ketakwaan. Tolong menolong ini didasarkan oleh:
a. Al-Qur‟an
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
(Q.S. al-Maidah [5] : 2)
b. Hadist Rasulullah SAW:
"Barang siapa yang melapangkan kesulitan dunia seorang mu'min, maka Allah
akan melapangkan baginya kesulitan hari akhirat. Barang siapa yang menutupi
aib seorang mu'min maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat. Dan
Allah senantiasa menolong seorang hamba, selama hamba tersebut menolong
saudaranya” (HR. Muslim dan Turmudzi).
60
60
Berdasarkan penelitian Wediawati dan Setiawati (2016) bentuk-bentuk
ta’awun di LKMS dibagi ke dalam empat aktivitas yaitu :
a. Taawun-Musibah yaitu tolong menolong antar pengurus dengan anggota pada
saat terjadi musibah (sakit/kematian/bencana dan lain lain )
b. Taawun-ZIS yaitu penyaluran zakat, infak dan sedekah kepada delapan pihak
(ashnaf) sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur‟an (QS At-taubah [9] : 60)
terutama kepada fakir miskin (dhuafa)
c. Taawun-Qard Hasan yaitu penyaluran pinjaman kebajikan (benevolent loan)
atas dasar tolong menolong (taawun) kepada fakir miskin/orang yang
membutuhkan dan dikembalikan sesuai dengan besarnya pinjaman yang
diberikan dengan mempertimbangkan kemampuan peminjam.
d. Taawun-Sosial yaitu aktivitas penyisihan dana sosial dari laba bersih LKMS
setiap tahunnya yang dilakukan oleh LKMS untuk aktivitas sosial.
3. Kepercayaan (Amanah)
Kepercayaan adalah keyakinan seorang muslim terhadap saudara muslim
lainnya yang didasari oleh perasaan bahwa apapun yang diamanahkan akan
dilakukan sebagaimana yang diharapkan karena akan dimintai pertanggung-
jawaban oleh Allah kelak di hari akhir. Keyakinan ini menimbulkan perasaan
aman (perceived safety) ketika berinteraksi dengan sesama muslim. Kepercayaan
ini didasari oleh:
1) Al-Qur‟an
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan
kepadamu, sedangkan kamu mengetahui”. (QS al-Anfal [8]: 27).
61
61
2) Al-Hadist
“Tidak ada iman bagi yang tidak amanah (tidak jujur dan tak bisa
dipercaya), dan tidak ada dien (agama) bagi yang tidak menepati janji”. (HR
Baihaqi).
Bentuk kepercayaan yang dibangun dan dikembangkan oleh LKMS adalah:
a. Amanah-kolateral adalah kolateral sosial sebagai pengganti jaminan
pembiayaan bagi orang miskin
b. Amanah -wadiah adalah kepercayaan dalam bentuk menerima titipan dana dari
anggota (wadiah)
c. Amanah-syirkah adalah kepercayaan untuk bekerja sama dengan anggota (akad
syirkah) baik dalam bentuk akad mudharabah maupun akad musharakah
d. Amanah-wakalah adalah kepercayaan mewakilkan pembelian produk kepada
anggota pada akad murabaha (wakalah)
5. Jaringan (Networking)
Jaringan adalah relasi yang terbentuk antara LKMS dengan LKMS lainnya
melalui asosiasi/perkumpulan yang relevan, dengan pemerintah/swasta/institusi
penyedia tehnical assistance (LSM/IPTA) dan lembaga keuangan syariah baik
Bank Umum Syariah/Bank perkreditan syariah (BUS/BPRS) atas dasar Islam,
Iman dan Taqwa.
Relasi yang terbentuk antara LKMS dengan para pihak tersebut
merupakan relasi kemitraan yaitu untuk mencapai tujuan dengan cara sharing
resource, sehingga jaringan memiliki kedekatan dengan pengertian ukhuwah yang
artinya persaudaraan sebagai lawan dari khushuwah atau permusuhan dan juga
makna membangun silaturahmi sebagaimana ayat Al-Qur‟an berikut ini :
62
62
''bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) silaturahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An-Nisa [4] : 1)
”Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap
Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat [49] ; 10)
Dan sebagaimana Al-Hadist:
“Barangsiapa ingin dilapangkan baginya rezekinya dan dipanjangkan
untuknya umurnya hendaknya ia melakukan silaturahim.” (Muttafaq „Alaih).
Berikut pemetaan literatur untuk membangun konstruk Modal Sosial Islam
dalam penelitian ini:
Gambar 2.6 Pemetaan Literatur Modal Sosial Islam
63
63
2.1.5.5. Keberlanjutan Lembaga Keuangan Mikro Syariah
Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya bahwa pertentangan antara
kelompok welfarist dan kaum institutionists berlanjut hingga ke penilaian kinerja.
Kaum welfarist cenderung menekankan pengentasan kemiskinan dengan
menempatkan bobot yang relatif lebih besar pada kedalaman jangkauan (depth
outreach) bukannya pada luasnya jangkauan (breadth outreach) dan mengukur
keberhasilan kelembagaan sesuai dengan metrik sosial (Brau dan Woller, 2004).
Sebaliknya, kaum institutionists menekankan keberlanjutan institusi melalui
keberlanjutan keuangan (financial sustainability), karena LKM berkelanjutan
membantu memperluas jangkauan kepada orang miskin (Gakhar & Meetu, 2013).
Meski berbeda pada siapa target dan bagaimana cara mencapai tujuan,
pada akhirnya kedua kelompok pemikiran sepakat memaksimalkan dampak sosial
LKM (Louis, Seret, dan Baesens, 2013) dan penyediaan layanan keuangan mikro
kepada orang miskin harus dilakukan secara berkelanjutan (CGAP, 2004; Navajas
et. al, 2000).
Dampak positif LKM hanya dapat dipertahankan jika LKM mencapai
tingkat kinerja keuangan yang tinggi pada satu sisi, dan pada sisi lain menjangkau
orang miskin seluas-luasnya. Ini berarti bahwa manfaat dari LKM hanya dapat
terwujud jika orang miskin terus menjadi klien LKM (Ahlin dan Jiang, 2008).
Dengan kata lain, kinerja keuangan maupun kinerja sosial merupakan dua tujuan
yang mesti dicapai secara bersamaan (Rosenberg, 2006).
Hollis dan Sweetman (1998) dalam Bahnot dan Bapat (2015), menyoroti
pentingnya peningkatan keberlanjutan LKM ini sebagai konsekuensi dari
64
64
meningkatnya ketergantungan pada subsidi pemerintah/investor yang tidak
menjamin skala ekonomi LKM dalam jangka panjang. Keberlanjutan layanan
keuangan mikro telah didefinisikan secara umum sebagai suatu hal yang
permanen (Navajas et al., 2000). Rhyne (1998) dalam Robinson (2001 hal.22)
menyatakan bahwa keberlanjutan bukanlah tujuan itu sendiri melainkan sarana
akhir untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
Keberlanjutan didefinisikan sebagai kemampuan LKM untuk menjalankan
kredit mikro dan aktivitas operasi lainnya sebagai lembaga keuangan yang layak
(Cull et al, 2007; Navajas et al, 2000). Dapat pula diartikan sebagai kemampuan
LKM untuk beroperasi dalam jangka panjang sehingga memberikan dampak besar
pada orang miskin (Quayes, 2012). Dengan demikian, konstruk keberlanjutan
LKMS pada penelitian ini adalah kemampuan LKMS untuk beroperasi pada
jangka panjang sehingga memberi dampak perubahan pada kehidupan orang
miskin yang diukur dengan kinerja keuangan (financial sustainability) dan kinerja
sosial (outreach).
2.1.5.5.1. Kinerja Finansial
Sejumlah penelitian empiris yang menggunakan ukuran kinerja finansial
(financial sustainability) disajikan pada Tabel 2.10 berikut:
Tabel 2.10 Penelitian Empiris tentang Kinerja Keuangan
No Peneliti/
Tahun/ Judul
Variabel Metode
1 (Rosenberg,
2009)
Loan repayment/portfolio quality (Portofolio at
Risk), Financial sustainability (profitability):
ROA & ROE
Efficiency:
Operating expense ratio (OER)
Cost per client (or loan)
Data Envelopment
Analysis (DEA)
(Pendekatan
Produksi)
65
65
Penggunaan Rasio keuangan (ROA,ROE sebagai proksi kinerja LKM
Penelitian menggunakan pendekatan Intermediasi
2 Mersland and
Strøm (2010)
Financial efficiency
Average loan
Average profit
Average cost
Portofolio at Risk (PAR) 30 days
MFI age Assets
Panel data estimation
with instrumen
(Pendekatan
Produksi)
Perbedaan: penelitian Mersland and Strøm (2010) menggunakan pendekatan produksi
sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan Intermediasi
3 Kuppusamy,
Saleh and
Samudharam,
(2010)
Islamic Financial Ratios:
Islamic Investment Ratio
Islamic Income Ratio
Profit Sharing Ratio
Conventional Ratios:
ROA, ROE, Profit Margin Ratio
Rasio Keuangan
Persamaan: penggunaan Rasio keuangan (ROA,ROE dan Profit sharing ratio) sebagai
proksi kinerja keuangan
Perbedaan: penelitian Kuppusamy, Saleh and Samudharam, (2010) hanya menggunakan
raasio keuangan sementara penelitian ini juga menggunakan kinerja sosial sebagai proksi
dari keberlanjutan LKM
3 Quayes (2012)
Financial efficiency
Operational sustainability
Gross loan 65ogistik65o Total equity
Debt to equity ratio
Total expense ratio
Financially self-sufficient
OLS, logistik
regression,
Persamaan: penggunaan Rasio keuangan (ROA,ROE dan Profit sharing ratio sebagai proksi
kinerja keuangan
Perbedaan: penelitian Quayes (2012) menggunakan alat analisis OLS dan logistik
regression sedangkan penelitian ini menggunakan alat analisis Partial Least Square (PLS)
4 Sanfeliu,
Royo, &
Clemente,
(2013)
PTA : Portfolio to assets
ROE : Return on equity
FEA : Financial expense/total assets
PEA : Personnel expense/ total assets
PR90: Portfolio risk>90 days (value of loans
outstanding*/gross loan portfolio)
LL : Loan loss rate ((write-offs – value of
loans recovered)/average gross loan
portfolio)
RC: Risk coverage (impairment loss/average
assets)
Multi
criterion Metho-
dology
(Pendekatan
Produksi)
Persamaan: penggunaan Rasio keuangan (ROE) sebagai proksi kinerja keuangan
Perbedaan: penelitian Sanfeliu, Royo, & Clemente, (2013) menggunakan pendekatan
produksi sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan Intermediasi
5 Abdelkader
dan Salem,
(2013)
Total aset
Amount employee
Operating Expense
Financial Revenue
Non-parametric DEA
(Pendekatan
Produksi)
66
66
Perbedaan: penelitian Abdelkader dan Salem, (2013) menggunakan pendekatan produksi
sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan Intermediasi
6 Wijesiri, M.,
Viganò, L., &
Meoli, M.
(2015).
Financial Efficiency
Total assets
Financial revenue
Data Envelopment
Analysis
(pendekatan
Produksi)
Perbedaan: penelitian Wijesiri, M., Viganò, L., &
Meoli, M. (2015) menggunakan pendekatan produksi sedangkan penelitian ini
menggunakan pendekatan Intermediasi
7 Ashraf,
Hassan, dan
Hippler,
(2014)
Financial Performance (Y)
ROA, ROE
The real yield on gross portfolio [RYLD]
Operational self-sufficiency [OSS]).
Control Variabel
Age MFI, Asset MFI
Regresion Analysis
Persamaan: penggunaan Rasio keuangan (ROA, ROE) sebagai proksi kinerja LKM
Perbedaan: penelitian Ashraf, Hassan, dan Hippler, (2014) menggunakan alat analisis
regresi sedangkan penelitian ini menggunakan alat analisis Partial Least Square (PLS)
8 Rahman dan
Mazlan (2014)
Overall Financial Performance (CGAP, 2003)
ROA, ROE
Operational Self-Sufficiency
Multiple regression
analysis
Persamaan: penggunaan Rasio keuangan (ROA, ROE) sebagai proksi kinerja LKM
Perbedaan: penelitian Rahman dan Mazlan (2014) alat analisis regresi sedangkan penelitian
ini menggunakan alat analisis Partial Least Square (PLS)
9 Piot-lepetit
dan
Nzongang,
(2014)
Financial Performance
Sustainability/profitability
ROE & ROA
Financial self-sufficiency ratio
Data Envelopment
Analysis
(Pendekatan
Produksi) Financial management
Yield on gross loan community
Funding expense ratio
Portfolio quality
Provision expense ratio
Write-off ratio
Efficiency/productivity
Operational self-sufficiency
Operating expenses ratio
Cost per client
Persamaan: penggunaan ROA dan ROE sebagai proksi kinerja finansial LKM
Perbedaan : penelitian Piot-lepetit dan Nzongang (2014) menggunakan pendekatan produksi
sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan intermediasi Bahnot &
Bapat (2015) Operational self-sufficiency,
(OSS) ratio
Gross loan portfolio (GLP)
Portfolio at risk (PAR)
Return on assets (ROA)
Debt to equity ratio (D_E)
Deposits (DP)
Multiple
Linear
Regression
Analysis
Bahnot & Bapat
(2015)
Persamaan: penggunaan ROA sebagai proksi kinerja finansial LKM
Perbedaan: penelitian Bahnot & Bapat (2015) menggunakan alat analisis multiple regresi,
sedangkan penelitian ini menggunakan alat analisis Partial least square (PLS)
Sumber : Survei literatur
67
67
Berdasarkan Tabel 2.10 dapat dilihat bahwa penelitian-penelitian
sebelumnya, umumnya menggunakan pendekatan produksi yang berfokus pada
output LKM, sementara penelitian ini menggunakan pendekatan intermediasi
yang fokus pada input (aktivitas intermediasi) dan jarang digunakan dalam
penelitian-penelitian sebelumnya.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, maka kinerja finansial dalam
penelitian ini merujuk pada kemampuan LKMS menghasilkan keuntungan atas
aset dan ekuitas yang dipergunakan. Sehingga ukuran yang dipergunakan adalah
conventional ratios menggunakan ROA dan ROE (Rosenberg, 2009). Karena
LKMS merupakan lembaga berbasis syariah, maka kinerja lembaga keuangan
syariah juga diakomodir menggunakan Islamic financial ratio menggunakan
profit sharing ratio (PSR) (Kuppusamy, Saleh dan Samudharam, 2010)
Tabel 2.11 Pengukuran Kinerja Keuangan LKMS
Proksi Rumus Penilaian hasil pengukuran
ROA
Semakin besar ROA, semakin
baik kinerja finansial
ROE
Semakin besar ROE, semakin
baik kinerja finansial
PSR
Semakin besar PSR, semakin baik
kinerja finansial
2.1.5.5.2. Kinerja Sosial
Kinerja sosial LKM adalah interpretasi yang efektif dari pelaksanaan misi
sosial LKM yaitu melayani orang miskin secara berkelanjutan. Ukuran kinerja ini
merupakan konsep multidimensi sebagaimana dinyatakan Meyer (2002), karena
tidak hanya berfokus pada penyediaan layanan keuangan kepada orang miskin,
68
68
namun juga pada dampaknya terhadap kualitas kehidupan orang miskin dan
perempuan yang cenderung dikecualikan dari layanan keuangan formal (financial
exclusion).
Ukuran kinerja sosial memastikan bahwa segala hambatan bagi orang
miskin untuk terlibat dalam LKM seperti ketiadaan jaminan, budaya patriaki yang
menghambat wanita dalam berpartisipasi serta masalah kedalaman kemiskinan
(depth of poverty) dimana kelompok termiskin dari yang miskin (the poorest)
berada pada barisan terbelakang sebagaimana long tail theory (Cinca & Nieto,
2014) dapat diantisipasi dan diatasi oleh LKM.
Untuk membangun konstruk kinerja sosial yang relevan dengan penelitian
ini, maka dirangkum pengukuran kinerja sosial yang selama ini dikembangkan
oleh berbagai ahli LKM pada Tabel 2.12.
Tabel 2.12 Pengukuran Kinerja Sosial LKM
Nama/Institusi Konsep Dimensi
Navajas, S., et al.,
2000.
.
Membangun framework teoritis nilai sosial
LKM dalam hal 5 ukuran yaitu yaitu
kedalaman jangkauan, nilai bagi pengguna,
biaya bagi pengguna Keluasan jangkauan,
panjangnya jangkauan dan ruang lingkup
output
Depth of outreach
worth to users
cost to users
breadth of outreach
length of outreach
scope of its output
CERISE Tool
(Zeller 2003).
Instrumen CERISE menilai kinerja sosial
lembaga dengan mengevaluasi niat dan
tindakan mereka
Outreach to the poor
Adaptation of products and
services for target clients
Improvement in social and
political capital
Corporate Social Respondibility
FINCA’s Client
Assessment Tool
(2003)
FINCA‟s10 Client Assessment Tool
(FCAT) adalah alat yang komprehensif
yang mencakup informasi demografi,
informasi kredit, pengeluaran rumah
tangga, akumulasi aset, metrik sosial metrik
bisnis, kepuasan klien dan pertanyaan
wawancara keluar.
Demografic information
Loan Information
Household expenditure
Asset accumulation
Social metrics (health, housing,
and education)
Business metrics, and client
satisfaction
Exit interview questions.
69
69
Social
Performance
Assesment (SPA)
Tool
(Woller 2006)
Instrumen SPA merupakan scorecard
dengan seperangkat indikator dengan enam
dimensi outreach:
Breadth of outreach
Depth of outreach
Length of outreach assesses
Scope of outreach
Cost of outreach
Worth of outreach to clients and
the community
SOCIAL ACCION
Tool
Mengevaluasi keberhasilan LKM dalam
memenuhi misi sosialnya dan kontribusinya
terhadap tujuan sosial. Alat ini menawarkan
penilaian sosial yang komprehensif
Outreach
Client service
Information Transparency
Association with the Community
Labor climate.
M-CRIL‟s Social
Rating
Instrumen untuk menilai LKM mencapai
misi sosialnya mencakup sistem organisasi
dan hasil, indikator level klien.
Achievement of Social Goals
Outreach (depth and breadth)
Financial services variety,
appropriateness, and trans-
parency ;Outcomes and impact
Sumber : Diadopsi dari Hashemi dan Rosenberg (2006) dan Navajas et. al. (2000)
Hampir semua penelitian empiris yang mengkaji kinerja LKM/LKMS
menggunakan ukuran kinerja sosial sebagaimana disajikan pada Tabel 2.13.
Tabel 2.13 Penelitian Empiris Kinerja Sosial LKM
Peneliti dan
tahun
Variabel Penelitian Pendekatan/Alat
Analisis
Bahnot & Bapat,
(2015)
Outreach factors
Breadth of outreach (Number of active
Borrower/NAB)
Depth of outreach (the average loan size per
borrower/APLB)
Multiple regresion
analysis
Persamaan : penggunaan NAB sebagai Proksi kinerja sosial LKM
Perbedaan : penelitian Bahnot dan Bapat (2015) menggunakan alat analisis multiple regresion
analysis sementara penelitian ini mengunakan PLS
Rosenberg/CGAP
(2009) Breadth Outreach (The number of clients or
accounts that are active at a given point in
time/NAB)
Depth Outreach (Average Loan per borrower)
Data Envelopment
Analysis
(Pendekatan produksi)
Penggunaan breadth dan depth outreach sebagai proksi kinerja Sosial LKM
Penelitian Rosenberg (2009) menggunakan pendekatan produksi sementara penelitian ini
menggunakan pendekatan Intermediasi
Sanfeliu et al.,
(2013)
O : Offices (number of branches)
P : Personnel (number of employees)
CPB : Cost per Borrower (operating
expense/average number of active
borrowers)
LPLO: Loans per loan officer (number of loans
outstanding/number of loan officers)
Multicriterion
Methodology
70
70
PA : Personnel allocation Ratio (Loan
officers/Personnel
Penggunaan Cost per Borrower sebagai proksi kinerja Sosial LKM
Penelitian sanfeliu et. al (2013) menggunakan multicriterion methodology, sementara
penelitian ini menggunakan pendekatan Intermediasi menggunakan pendekatan Intermediasi
Mersland &
Strøm (2010)
Breadth outreach
Number of borrowers& Women borrowers
Depth outreach (Average loan per borrower)
Panel data estimation
(Pendekatan Produksi)
Persamaan: Penggunaan breadth outreach (number of borrower) dan depth outreach sebagai
proksi kinerja Sosial LKM
Perbedaan: Penelitian Mersland & Strom menggunakan pendekatan produksi sementara
penelitian ini menggunakan pendekatan Intermediasi
Hermes, Lensink,
dan
Meesters, (2011)
Outreach
Average loan balance per borrower (APLB)
% loans below US$300
% woman borrowers
Average savings balance per saver (US$)
% clients in bottom half of the population
Mean
Stochastic Frontier
Analysis (SFA)
(Battese and Coelli
(1995)
(Pendekatan Produksi)
Persamaan: penggunaan APLB sebagai proksi kinerja Sosial LKM
Perbedaan: penelitian Hermes, Lensink, dan Meesters, (2011) menggunakan SFA
(pendekatan produksi) sementara penelitian ini menggunakan Intermediasi
Quayes (2012):
Breadth outreach
Number of borrowers & Women borrowers
Cost of outreach (Cost per borrower (CPB)
Depth outreach
(Average loan per borrower) (ALPB)
Length outreach (Years in operation (LYO)
OLS, logistic
regression,
Persamaan : penggunaan NAB, CPB dan APLB sebagai proksi kinerja Sosial LKM
Perbedaan : penelitian quayes (2012) menggunakan alat analisis OLS, Logistic regression,
sementara penelitian ini menggunakan Partial Least Square (PLS)
Abdelkader &
Salem (2013)
Social performance :
Number of active borrowers (NAB)
Number of female borrowers
Non-parametric DEA
(Pendekatan Produksi)
Persamaan: penggunaan NAB sebagai proksi kinerja Sosial LKM
Perbedaan: Penelitian Abdel Kader & Salem (2013) menggunakan pendekatan produksi
sementara penelitian ini menggunakan pendekatan Intermediasi
Piot-lepetit dan
Nzongang,
(2014)
Social Performance (Outreach)
Worth of outreach
Length of outreach
Breadth of outreach
Depth of outreach
Cost of Outreach
A multi-DEA approach
(Pendekatan produksi)
Persamaan: penggunaan breadth dan depth outreach sebagai proksi kinerja Sosial LKM
Perbedaan: Penelitian Piot-lepetit dan Nzongang (2014) menggunakan pendekatan produksi
sementara penelitian ini menggunakan pendekatan Intermediasi
71
71
Wijesiri, M.,
Viganò, L., dan
Meoli, M. (2015).
Social efficiency (outreach)
Number of credit officers
Total number of female borrowers
Cost per borrower (CPB)
Data Envelopment
Analysis/DEA
(Pendekatan produksi)
Persamaan: penggunaan CPB sebagai proksi kinerja Sosial LKM
Perbedaan: Penelitian Wijesiri, M., Viganò, L., dan
Meoli, M. (2015) menggunakan pendekatan produksi sementara penelitian ini menggunakan
pendekatan Intermediasi
Ashraf, Hassan,
& Hippler (2014)
Outreach Measures (X)
the number of depositors, (NOD)
the number of deposit accounts (NDA)
the number of active borrowers (NAB)
Regresion Analysis
Persamaan: penggunaan NAB sebagai proksi kinerja Sosial LKM
Perbedaan: penelitian Ashraf, Hassan, & Hippler (2014) menggunakan alat analisis regresi
sementara penelitian ini menggunakan Partial Least Square (PLS)
Sumber : Survei literatur
Tabel 2.13. memperlihatkan bahwa sebagian peneliti menggunakan ukuran
Navajas (2000) maupun SPA tool secara utuh (Piot-lepetit dan Nzongang, 2014),
sementara peneliti lainnya seperti Abdelkader dan Salem, (2013); Bahnot dan
Bapat (2015); Hermes, Lensink, dan Meesters (2011); Quayes (2012), Wijesiri,
M., Viganò, L., dan Meoli, M. (2015) menggunakan sebagian dari dimensi yang
telah dikembangkan.
Berdasarkan pengukuran kinerja dan penelitian empiris yang telah
disajikan pada Tabel 2.12 dan 2.13. maka konstruk kinerja sosial penelitian ini
didasarkan pada kinerja sosial Navajas (2000) dan pengukuran empiris Quayes
(2012) yang lebih cocok dipergunakan untuk lembaga keuangan yang fokus
memberdayakan orang miskin dan sesuai dengan tujuan penelitian yaitu
keberlanjutan pelayanan LKMS terhadap orang miskin dengan menggunakan dua
dimensi pengukuran yaitu :
72
72
1) Kuantitas kredit mikro yaitu luasnya jangkauan pelayanan LKM kepada
orang miskin (breadth outreach) dengan proksi rata-rata jumlah klien aktif
(number of active borrower/NAB).
2) Kualitas kredit mikro yaitu kedalaman jangkauan LKM (depth outreach)
kepada orang paling miskin dengan proksi rata-rata jumlah pembiayaan per
peminjam (average loan size per borrower/ALPB). Semakin kecil jumlah
pembiayaan berarti semakin jauh jangkauan LKMS melayani orang miskin.
Namun, mempertimbangkan efektivitas kegunaan pembiayaan (loan) maka
diberikan batasan jumlah pembiayaan yang dianggap layak bagi orang miskin
untuk menjalankan usahanya. Sehingga konsep yang dipergunakan adalah
semakin besar jumlah pembiayaan (pada jumlah tertentu) yang diberikan
maka semakin baik kinerja sosial.
3) Biaya jangkauan (cost of outreach) yaitu biaya yang dikenakan kepada klien
dengan ukuran rata-rata biaya penjangkauan per peminjam (cost per
borrower/ CPB).
4) Rentang kendali jangkauan (scope of outreach) yaitu jumlah peminjam yang
dilayani oleh staf LKM dengan ukuran jumlah staf LKM yang melayani
aktivitas Intermediasi Finansial (number loan Officer/NLO)
5) Lama/panjang jangkauan (length of outreach) yaitu lamanya suatu LKM
beroperasi dengan ukuran length of years operation (LYO).
Ukuran tingkat keaktifan perempuan (women borrower) dari quayes
(2012) dieliminir karena menyesuaikan dengan konsep LKMS yang menghindari
73
73
terjadi moral hazard dalam keluarga, sehingga pemberdayaan lebih difokuskan ke
rumah tangga miskin daripada perempuan miskin.
Ukuran kinerja sosial yang dipergunakan dalam penelitian ini disajikan
pada Tabel 2.14.
Tabel 2.14 Pengukuran Kinerja Sosial LKMS \
Proksi Rumus Penilaian Hasil Pengukuran
NAB
Semakin besar NAB, semakin luas
jangkauan LKMS (kinerja sosial
naik)
NLO Number Loan Officer Semakin tinggi rentang kendali staf
LKM semakin naik kinerja sosial
ALPB
Semakin besar jumlah pembiayaan
yang diberikan, semakin baik
pemberdayaan kepada orang
miskin, semakin naik kinerja sosial
CPB
Semakin kecil CPB artinya
semakin murah biaya layanan
kredit mikro maka akan semakin
jauh jangkauan layanan kepada
orang miskin
LOY Length Years operation Semakin lama beroperasi semakin
jauh jangkauan layanan LKM
2.2 Posisi Penelitian (State of The Art)
Berdasarkan kajian terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang
dilakukan untuk membangun konstruk penelitian ini, maka dapat dinyatakan
bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian penelitian sebelumnya baik dari
variabel penelitian, metode, unit analisis, model penelitian serta pendekatannya.
Secara spesifik posisi penelitian dibandingkan dengan penelitian terdahulu
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kebaruan dalam hal variabel penelitian (intermediasi spiritual). Penelitian ini
memperdalam konsep intermediasi spiritual Wediawati dan Setiawati (2016)
74
74
yang belum pernah dibahas/ digunakan dalam penelitian-penelitian
sebelumnya. Dengan demikian, penelitian ini, dengan adanya intermediasi
spiritual, memperbaiki konsep misi LKMS yang dipergunakan selama ini yaitu
dari dual mission (misi finansial dan sosial) yang mangabaikan aspek spiritual
menjadi triple mission (misi finansial, sosial dan spiritual) yang lebih
mencerminkan jati diri LKMS sebagai lembaga keuangan maupun sebagai
lembaga dakwah.
Tabel 2.15 Posisi Penelitian dan Pengembangan Konsep Intermediasi LKM
Konsep Awal Pengembangan Konsep
Literature
review
1) Double bottom line
(Ledgerwood, 2000; hal. 1)
(Brau dan Woller; 2004)
2) Dual mission
(Markowski, 2002.
hal.117)
3) Minimalis Approach
(ledgewoord, 2008)
Holisctic Approach didasarkan pada
pemikiran dan rekomendasi:
Kajian Konseptul :
1) Sharia compliance (Obaidullah, 2008;
Obaidullah dan Khan 2008)
2) Religious Education (Waspodo, (2008)
dan Ascarya, (2012))
3) Religious training (Riwajanti, (2014))
4) Spiritual approach (Sanrego, 2013)
5) Spiritual Development
(Hadisumarto & Ismail, 2010; Adnan &
Ajija, 2015)
Kajian Empiris
6) Spiritual Training (Mardhatillah dan
Rulindo, (2008)
7) Spiritual Treatment (Masyita dkk, 2014)
8) Spiritual Intermediation (Wediawati
dan Setiawati, (2016)
Posisi
Penelitian Ini
Penelitian empiris pertama yang menggunakan konstruk Intermediasi
Spiritual dalam model penelitian sehingga memperbaiki konsep dual
mission LKMS menjadi triple mission LKMS.
2. Kebaruan dalam hal variabel penelitian (Modal Sosial Islam). Penelitian ini
membangun konstruk Modal Sosial Islam yang belum pernah dibahas/
digunakan dalam penelitian empiris sebelumnya dan menggunakannya dalam
model penelitian sebagai variabel intervening.
75
75
Tabel 2.16 Posisi Penelitian dan Pengembangan Konsep Modal Sosial Islam
Konsep Awal Pengembangan Konsep
Literature
review
Konsep Modal sosial
1) Fitur organisasi sosial (Putnam,
1993)
2) Bonding, lingking, bridging
social capital (Woolcock. 1998)
3) Organizational Social capital
(Nahapiet & Ghoshal, 1998)
Modal Sosial Islam, dikembangkan dari
pemikiran:
Kajian konseptual:
1) Ashobiyah : (brotherhood and
taawun) Ibn Khaldun dalam Dusuki,
2008
2) Islamic Moral Values
Rofik dan Asyhabuddin, (2005)
Khaleequzzaman, (2007)
3) Islamic Social Capital
(Farooqi, 2006)
4) Solidaritas sosial dan brotherhood
(Chapra, 2008)
5) Ihsani social capital (Malik, 2014)
Kajian Empiris
6) Faith based social capital
(Candland, 2000); (Furbey et al.,
2006)
Posisi
Penelitian Ini
Penelitian empiris pertama yang membangun konstruk modal sosial Islam dan
menggunakan sebagai variabel intervening dalam model penelitian. Modal
Sosial Islam lebih sesuai untuk dikembangkan dan dikuatkan oleh lembaga
keuangan mikro berbasis syariah yang menjadi objek penelitian ini.
3. Kebaruan dalam hal model penelitian. Berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya yang menggunakan pendekatan produksi sebagaimana disajikan
pada Tabel 2.12 dan Tabel 2.13. Penelitian ini menggunakan aktivitas
intermediasi yang komprehensif meliputi intermediasi finansial. sosial dan
spiritual serta modal sosial Islam untuk memprediksi keberlanjutan LKMS
dimana variabel ini belum pernah dipergunakan dalam model penelitian
sebelumnya. Penelitian sebelumnya umumnya membahas dual mission
(finansial dan sosial) atau aspek spiritual sebagai aspek tunggal untuk
memprediksi keberlanjutan LKMS. Akomodasi aspek spiritual bersama dengan
aspek finansial dan sosial dalam model penelitian lebih mencerminkan jatidiri
76
76
LKMS sehingga tak hanya sebagai lembaga keuangan berbasis syariah namun
juga sebagai lembaga dakwah.
4.
Tabel 2.17 Posisi Penelitian dan Pengembangan Model Penelitian
Konsep Awal Pengembangan Konsep
Literature
review
1) Integrated Approach (Ledgerwood,
1999)
2) Islamic Charity Based Model
(Hassan, 2010; Kaleem dan Ahmad,
2009; Khaleequzzaman 2007; Masyita,
2012; Rahman dan Dean, (2013)
3) Modal Sosial Islam memediasi
hubungan antara Intermediasi Sosial
sebagai variabel bebas dan akses
keuangan LKM sebagai variabel terikat
(Kamukama & Natamba, 2013a) dan
2013b)
4) Holistic Approach (Sanrego & Antonio,
2013)
5) Spiritual Development (Hadisumarto &
Ismal, 2010)
Pendekatan holistik (Holistic
Approach)
Modal Sosial Islam memediasi
hubungan antara intermediasi
LKMS (keuangan, sosial dan
spiritual) sebagai variabel bebas
dengan keberlanjutan LKMS
sebagai variabel terikat
Posisi
Penelitian
Ini
Penelitian ini memperluas penelitian (Kamukama dan Natamba, 2013a dan
2013b) dengan menambah dua variabel bebas yaitu Intermediasi Finansial
dan spiritual.
Penelitian ini mengembangkan konsep Holistic Approach (Sanrego &
antonio, 2013) dengan memasukkan Modal Sosial Islam sebagai variabel
intervening kedalam model penelitian
Penelitian ini memperdalam Spiritual Development (Hadisumarto & Ismail,
2010) dengan menambah dimensi keteladanan syariah dan pelatihan syariah.
5. Penelitian empiris pertama yang menggunakan objek penelitian Koperasi
Syariah/BMT berbasis Masjid, sesuai dengan variabel penelitian yang
menggunakan Modal Sosial Islam. Kopsyah/BMT berbasis mesjid ini
diinisiasi dan difasilitasi oleh MUI Kota Bandung sejak tahun 2007. Dasar
pendirian adalah kejamaahan umat di sekitar mesjid (bonding social capital)
untuk mencapai tujuan menjaga aqidah umat dari masalah riba (memerangi
rentenir) serta memakmurkan jemaah mesjid dengan menggerakkan potensi
dana filantropi Islam (kas mesjid) menjadi sumber dana produktif.
77
77
Tabel 2.18 Posisi Penelitian terhadap Penelitian Terdahulu
dengan Objek LKM/LKMS
Objek Penelitian Perbedaan Objek
Penelitian
Literature
review
1) BMT, BTM, BPRS di Indonesia
(Seibel, 2005)
2) LKMS BMT di Jawa tengah
(Hadisumarto. W and Ismail. A. G,
(2010); Rokhman, (2013); Minako
Sakai (2010))
3) BMT, BPRS, BRI dan BPR (Masyita
dan Ahmed (2011); Masyita (2012))
4) Program Ikhtiar, Bogor
(Sanrego dan Antonio, 2013)
5) BMT di Jawa Timur
(Riwajanti, (2014); (Adnan dan Ajija,
2015)), BMT di Cirebon (Subaki,
Baehaqie, dan Zamzany, 2011)
Koperasi syariah/BMT
berbasis Mesjid (Mesjid
based Microfinance) yang
dinisiasi dan difasilitasi
pembentukannya oleh
Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Kota Bandung
Posisi
Penelitian
Ini
Penelitian pertama yang menggunakan objek penelitian Koperasi
syariah/BMT berbasis mesjid yang belum pernah dikaji oleh penelitian
sebelumnya.
Hal-hal yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa penelitian ini
belum pernah dilakukan sebelumnya dan berbeda dengan penelitian sebelumnya,
sehingga penulis menyatakan bahwa penelitian ini memiliki nilai orisinalitas yang
tinggi.
2.3. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran menjelaskan hubungan masing-masing variabel
penelitian berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu.
2.3.1. Hubungan antara Intermediasi Finansial dengan Modal Sosial Islam
Studi yang mengkaji hubungan antara Intermediasi Finansial dengan Modal
Sosial Islam masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena studi yang
menggunakan pendekatan intermediasi sangat sedikit dibanding pendekatan
produksi, selain juga karena perhatian para ahli LKM dominan lebih terfokus
78
78
kepada modal fisik (aset dan kelembagaan) dan modal manusia (human capital)
daripada modal sosial (social capital). Sehingga untuk mengungkap hubungan
diantara keduanya, maka penelusuran dilakukan terhadap studi yang melibatkan
modal sosial sebagai isu penelitian baik di LKM maupun di LKMS.
Studi kualitatif Kanak & Iiguni (2007) menemukan bahwa program-
program keuangan mikro dapat membentuk modal sosial dan efektifitasnya
sebagian besar tergantung pada strategi pembangunan modal sosial yang
direncanakan dengan baik dan pelaksanaan aktualnya di tingkat akar rumput. Hal
ini sejalan dengan studi kualitatif Sanyal (2015) terhadap 400 orang perempuan
dari 59 orang klien LKM di Bengal Barat, India yang menemukan bahwa
Interaksi yang sering di antara para peminjam perempuan dalam kelompok
keuangan mikro mengubah kualitas hubungan di antara perempuan dan
mendorong tindakan partisipasi dan tindakan bersama untuk mengatasi persoalan
bersama yang muncul seperti membantu perempuan yang mengalami kekerasan
dalam rumah tangga, kampanye anti minuman keras dan tindakan bersama untuk
mengadakan barang-barang kebutuhan rumah tangga.
Program kredit menumbuhkan empati, menanamkan kepercayaan dan kepedulian
diantara para peminjamnya, dimana sebelumnya perasaan ini tidak muncul meski
mereka tinggal dalam lokasi yang berdekatan (Sanyal, 2015).
Segala aktivitas Intermediasi Finansial yang dilakukan oleh LKMS berupa
tabungan, pembiayaan, layanan pembayaran, transfer keuangan dan asuransi
mikro kepada orang miskin akan membangun kedekatan hubungan (social ties)
sebagai akibat dari intensitas transaksi yang dilakukan. Pada fitur pembiayaan,
79
79
semakin mudah persyaratan, semakin kecil jumlah pinjaman yang diperkenankan
oleh LKMS serta semakin cepat pencairan dana pinjaman, maka akan semakin
memungkinkan bagi orang miskin untuk menjadi klien LKM dan pinjaman
tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan keuangannya. Demikian
pula dengan fitur asuransi mikro, akan sangat membantu klien dalam memitigasi
risiko pembiayaan mereka.
Semakin layak dan berkualitas Intermediasi Finansial yang dilakukan oleh
LKMS kepada orang miskin, maka akan semakin terbangun hubungan imbal balik
(reciprocity/ta’awun), kepercayaan (trust/amanah) dan koneksitas jaringan
(Networks/sliaturhim) yang merupakan proksi dari Modal Sosial Islam antara
LKMS dengan klien/anggotanya.
Berdasarkan penelitian konseptual, empiris dan argumentasi yang telah
diuraikan, maka dapat dibuat proposisi penelitian ini:
Proposisi 1: Semakin baik pelaksanaan Intermediasi Finansial maka
semakin kuat Modal Sosial Islam di LKMS
Proposisi ini disajikan secara skematis melalui diagram model konseptual
sebagaimana Gambar 2.7:
Sumber : Pengembangan Konsep Teoritis
Gambar 2.7 Hubungan Intermediasi Finansial dengan Modal Sosial Islam
Intermediasi
Finansial
Modal Sosial
Islam
80
80
2.3.2. Hubungan antara Intermediasi Sosial dengan Modal Sosial Islam
Salah satu perkembangan paling penting dalam menggali hubungan antara
Intermediasi Sosial dengan peningkatan akses layanan keuangan mikro terhadap
orang miskin adalah munculnya modal sosial sebagai komponen penting untuk
meningkatkan akses keuangan bagi orang miskin (Kamukama dan Natamba,
2013). Meskipun sepengetahuan penulis kajian teoritis maupun empiris mengenai
Intermediasi Sosial dikaitkan dengan Modal Sosial Islam dalam LKM/LKMS,
masih sangat sulit ditemukan.
Bennet (1997) menyatakan bahwa aktivitas Intermediasi Sosial akan menciptakan
modal sosial sebagai dukungan untuk kesinambungan Intermediasi Finansial bagi
orang miskin, kelompok atau individu yang tidak beruntung. Hal ini sejalan
dengan observasi yang dilakukan oleh Tang (1998) dan Collier (1998) dan juga
sejalan dengan penelitian empiris Kamukama dan Natamba, (2013a dan 2013b)
terhadap 78 LKM di Uganda yang membuktikan bahwa modal sosial merupakan
variabel mediator antara Intermediasi Sosial dengan akses ke LKM.
Dusuki (2008) mengamati bahwa Interaksi antara LKM dengan orang miskin
calon anggota/klien LKM melalui berbagai aktivitas Intermediasi Sosial
menciptakan sistem pendukung yang membangun kedekatan hubungan, ikatan
sosial dan kepercayaan masyarakat miskin terhadap LKM sebagaimana
dinyatakan oleh Morgan and Hunt (1994) bahwa kepercayaan akan muncul
manakala satu pihak merasa nyaman di dalam suatu hubungan yang dilandasi
kejujuran dan integritas dan ini menjadi dasar fundamental bagi hubungan bisnis
jangka panjang.
81
81
Woolcock (1998) mencatat bahwa Grameen bank berhasil membangun
kepercayaan klien dan reputasi sebagai bank yang peduli kepada orang miskin dan
kesejahteraan mereka melalui upaya-upaya yang konstan dan teratur dari waktu ke
waktu dengan terlebih dahulu menunjukkan kepedulian dan kepercayaan kepada
kliennya. Bahkan Yunus (1999) menyatakan bahwa kehidupan bankir muda
pedesaan lebih menuntut dan intens daripada seorang dokter ruang gawat darurat.
Bornstein (1996) melaporkan bahwa bangunan kepercayaan terjadi selama
bencana alam seperti banjir dan badai yang merupakan kejadian biasa di
Bangladesh. Staf Grameen Bank membantu menyelamatkan dengan datang
memakai kano untuk membawakan klien makanan dan air yang diperlukan,
sementara klien terdampar selama beberapa hari di atap rumah. Intermediasi
Sosial pada gilirannya akan meningkatkan partisipasi kelompok (proksi modal
sosial) dan meningkatkan akses ke LKM (Kalyango, 2009).
Berdasarkan kajian teoritis dan penelitian empiris yang telah diuraikan,
maka dapat dibuat proposisi penelitian ini :
Proposisi 2 : Semakin baik pelaksanaan Intermediasi Sosial maka semakin
kuat terbangun Modal Sosial Islam di LKMS.
Proposisi ini disajikan secara skematis melalui diagram model konseptual:
Sumber : Pengembangan Konsep Teoritis
Gambar 2.8 Hubungan Intermediasi Sosial dengan Modal Sosial
Intermediasi
Sosial
Modal Sosial
Islam
82
82
2.3.3. Hubungan antara Intermediasi Spiritual dengan Modal Sosial Islam
Sepengetahuan penulis, studi konseptual ataupun empiris yang mengkaji
hubungan Intermediasi Spiritual dengan Modal Sosial Islam masih sangat
terbatas. Oleh karena itu, untuk mengungkap hubungan ini, terlebih dahulu
ditelusuri dari konsepsi Islam baik dari Alqur‟an maupun Al-hadist untuk
kemudian ditelusuri secara empiris.
Dalam ajaran Islam, Intermediasi Spiritual merupakan langkah awal
membangun Modal Sosial Islam (Ukhuwah Islamiyah), dimana Ukhuwah
Islamiyah merupakan dasar lahirnya rasa persamaan atas dasar ideologi (aqidah)
untuk bergerak bersama mencapai tujuan syariah yaitu kesejahteraan dan
keberkahan dunia dan akhirat (maqasid syariah). Tahapan terbentuknya Modal
Sosial Islam menurut Al-Banna (2000) digambarkan sebagai berikut:
Sumber : Diadopsi dari Al-Banna (2000); Halim Mahmud (2000)
Gambar 2.9 Tahapan Ukhuwah Islamiyah
Tingkatan paling dasar dari Ukhuwah Islamiyah adalah ta’aruf, yaitu
saling mengenal sesama manusia sebagai wujud nyata ketaatan kepada perintah
Allah SWT sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat [49]; 13)
Ta’aruf
Saling Mengenal
Tafahum
Saling Memahami
Ta’awun
Saling Menolong
Takaful
Saling
Menanggung
Intermediasi
Spiritual
Ukhuwah Islamiyah
Modal Sosial Islam
83
83
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal”.
Dalam konteks organisasi, ta’aruf ini adalah aktivitas saling mengenal
antara LKMS dengan stakeholder terutama klien/anggota yang menjadi basis
layanan LKMS. Perkenalan meliputi perkenalan secara fisik (jasadiyah) yaitu
mengenai kelembagaan, struktur organisasi dan sumber daya insani LKMS,
perkenalan pemikiran (fikriyah) yaitu mengenai filosofi, konsep dan aturan
(manhaj) LKMS serta perkenalan kejiwaan (nafsiyah) yaitu mengenai aspek
ruhiyah LKMS meliputi konsep ideologi (ibadah) dan muamalah.
Intermediasi Spiritual (ta’aruf) merupakan aktivitas untuk mengenalkan
LKMS kepada masyarakat umum. Setelah perkenalan, masyarakat yang mau
memahami akan berinteraksi/ dengan LKMS. Sebaliknya LKMS menyediakan
layanan finansial dan non finasial (bagi masyarakat) sebagai bentuk pemahaman
terhadap kebutuhan masyarakat. Pada tahap ini sudah tumbuh kondisi saling
memahami (tafahum). Kondisi saling memahami lebih lanjut akan menciptakan
upaya saling mempercayai (amanah) dan tolong menolong dalam ketakwaan
(ta’awun) sebagaimana firman Allah SWT dalam (QS Al-Maidah [5]; 2)
“...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya”.
Sebagaimana ta’aruf, aktivitas ta’awun juga dibagi menjadi tiga tahapan
yaitu ta’awun hati diwujudkan dalam bentuk empati dan saling mendoakan,
84
84
ta’awun fikri diwujudkan dengan memberi saran dan sumbangan pemikiran;
ta’awun amali dalam bentuk bantuan dan pertolongan secara materi, dan lain
sebagainya.
Lebih lanjut, tolong menolong dalam ketakwaan menumbuhkan semangat
mementingkan orang lain lebih dari diri sendiri (saudara sesama muslim) (itsar)
dan ini merupakan tingkatan tertinggi dari ukhuwah Islamiyah. Pada level ini akan
tumbuh rasa saling menanggung (takaful) diantara sesama muslim (anggota
organisasi). Dalam rangka menggapai ridho Allah (mardhatillah) seorang muslim
bersedia berkorban mendahulukan kepentingan orang lain di atas dirinya sendiri
sebagaimana hadist Muhammad SAW :
“Tidak beriman seseorang diantaramu hingga kamu mencintainya seperti
kamu mencintai dirimu sendiri”. (HR. Bukhari-Muslim).
Suatu organisasi yang dapat membangun tahapan-tahapan ukhuwah
Islamiyah akan dapat mencapai kesatuan kesatuan gerak dalam barisan yang rapi,
kokoh dan terstruktur atas asar kesaman ideologi untuk mencapai tujuan yang
sama yaitu tujuan syariah (maqasid syariah) yaitu kesejahteraan dan keberkahan
dunia dan akhirat.
Secara empiris, Sanrego (2013) mengungkap bahwa norma atau ajaran
agama merupakan sumber penting dari menciptakan modal sosial. Demikian pula
Candland, (2000) dan Furbey et al., (2006), menemukan bahwa agama
merupakan sumber modal sosial bahkan modal sosial itu sendiri.
Waspodo (2008) mengungkap bahwa pendidikan syariah (proksi
intermediasi spiritual) dapat mengembangkan bonding social capital (modal
85
85
sosial mengikat) dan bridging social capital (modal sosial menjembatani) diantara
klien dengan LKM dan antar LKM dengan lembaga diluar LKM. Hal ini sejalan
dengan temuan empiris (Dariah, 2012) bahwa program pelatihan bagi anggota,
mendengar keluhan tentang layanan, serta sosialisasi ekonomi Islam dapat
menumbuhkan modal sosial antara anggota dengan LKMS.
Berdasarkan kajian konseptual dan teoritis maka dapat dibuat proposisi
penelitian ini:
Proposisi 3: Semakin baik pelaksanaan Intermediasi Spiritual semakin
kuat terbangun Modal Sosial Islam di LKMS
Proposisi ini disajikan secara skematis melalui diagram model konseptual
sebagaimana Gambar 2.10:
Sumber: Pengembangan Konsep Teoritis
Gambar 2.10 Hubungan Intermediasi Spiritual dengan Modal Sosial Islam
2.3.4. Hubungan Modal Sosial Islam dengan Keberlanjutan LKMS
Studi mengenai Modal Sosial Islam dikaitkan dengan kinerja atau
keberlanjutan LKMS masih sangat sulit ditemukan. Sejak awal kemunculannya,
para ahli keuangan mikro sudah menekankan pentingnya peranan modal sosial
untuk mencapai keberlanjutan LKM. Ledgerwood (1999) mengungkap bahwa
LKM yang berhasil membangun modal sosial dalam bentuk ikatan yang kuat
Intermediasi
Spiritual
Modal Sosial
Islam
86
86
dengan kliennya akan mampu mengambil keuntungan melalui biaya pemasaran
dan biaya operasional yang rendah, sehingga memungkinkan LKM menikmati
skala ekonomi dalam industri. Hal ini diperkuat oleh Van Bastelaer (2000) bahwa
modal sosial berupa hubungan dekat antara peminjam dengan staf LKM menjadi
salah satu penentu utama dari keberhasilan program pemberian kredit di banyak
negara sedang berkembang.
Modal sosial, baik sebagai variabel independen (Akram dan Routray,
2013) maupun sebagai variabel intervening (Kamukama dan Natamba, 2013b)
juga terbukti berpengaruh terhadap tingkat akses masyarakat ke LKM. Modal
sosial juga terbukti dapat menghapus hambatan/kendala bagi orang miskin
(asymetric information, adverse selection, moral hazard dan kurangnya kolateral)
untuk berhubungan dengan LKM sehingga kemudian dapat meningkatkan kinerja
LKM.
Studi Dusuki (2008) membuktikan bahwa modal sosial yang terbangun
dari pinjaman berbasis kelompok terbukti merupakan alat yang efektif sebagai
pengganti aset dalam hal tidak adanya kolateral sehingga mampu mengurangi
biaya transaksi dan menurunkan eksposur terhadap berbagai risiko keuangan
sehubungan dengan pemberian kredit kepada masyarakat miskin pedesaan.
Demikian pula hasil sejumlah penelitian (Dowla, 2006; Rathore, 2015)
mengungkap bahwa modal sosial dalam bentuk group lending model dan Joint
liability (GLM) di Grameen Bank Bangladesh melalui mekanisme seleksi rekan
(peer selection), pemantauan rekan (peer monitoring) dan tekanan teman sebaya
(peer pressure) berfungsi sebagai social collateral dan menjadi pengganti jaminan
87
87
fisik/aset yang tidak dimiliki oleh orang miskin. Mekanisme ini terbukti berhasil
mengatasi kegagalan informasional dan kegagalan pembayaran kredit oleh klien
miskin.
Lebih lanjut, penelitian Feigenberg, Field, dan Pande (2009) di Kalkuta
India menunjukkan bahwa intensitas pertemuan kelompok menjadi mekanisme
yang efektif untuk memantau tindakan satu sama lain (reciprocal). Demikian
pula dengan penelitian empiris Postelnicu dan Hermes (2016) yang menemukan
bahwa keuangan mikro lebih berhasil dalam pencapaian tujuan keuangan dan
tujuan sosial dalam masyarakat yang kondusif dalam mengembangkan modal
sosial.
Penelitian Mirakhor dan Hamid (2009) juga menemukan bahwa modal
sosial menjadi sarana untuk mitigasi risiko. Bahwa kontrak menjadi sulit untuk
dilakukan dalam hal tidak adanya kepercayaan. Kepercayaan bisa memitigasi
biaya monitoring dan biaya akibat munculnya sengketa dan selanjutnya
mempromosikan lancarnya aliran informasi. Modal sosial mengurangi biaya
ketidakpastian dan biaya transkasi (uncertainty and transaction costs) dengan
memfasilitasi kerja sama dan tindakan bersama (cooperation and collective Action
untuk mencapai tujuan bersama.
Studi Wibisana terhadap BPR (1998) menunjukkan Modal Sosial Islam
dalam bentuk penyediaan pinjaman kebajikan (qardhul hasan) berpengaruh
terhadap kinerja keuangan LKM di Indonesia. Demikian pula, Studi kasus Dariah
(2012) di Sumedang Jawa Barat membuktikan bahwa Modal Sosial Islam dalam
bentuk qard hasan dan penyaluran ZIS (proksi dari dimensi ta’awun) bersamaan
88
88
dengan rescheduling dan restructurisasi hutang klien dapat mengatasi masalah
keuangan BMT. Lebih lanjut, studi Khaleequzzaman (2007) mengungkap bahwa
modal sosial yang didasarkan pada nilai-nilai Islam dan dibangun di atas perintah
syariah menjamin keberlanjutan program keuangan mikro melalui komitmen staf
LKM untuk melayani klien mereka.
Berdasarkan kajian teoritas dan empiris yang telah dijelaskan, maka dapat
dibuat proposisi penelitian ini:
Proposisi 4: Semakin kuat terbangun Modal Sosial Islam, semakin tercapai
Keberlanjutan LKMS
Proposisi ini disajikan secara skematis melalui diagram model konseptual:
Gambar 2.11 Hubungan Modal Sosial dengan Keberlanjutan LKMS
2.3.5. Hubungan Antara Intermediasi Finansial/Sosial dengan
Keberlanjutan LKMS
Hubungan aktivitas Intermediasi dengan Keberlanjutan LKMS dapat
diungkap dari teori mission drift dan trade-off LKM, bahwa keberlanjutan LKMS
sangat ditentukan oleh pelaksanaan dual mission LKMS (CGAP, 1997).
Sejumlah penelitian menemukan hubungan positif antara dual mission LKM
dengan keberlanjutan, dimana LKM dapat tetap setia dan fokus pada misi awal
Modal Sosial
Islam
Keberlanjutan
LKMS
89
89
pengentasan kemiskinan untuk mencapai keberlanjutan (Adhikary &
Papachristou, 2014; Louis, Seret, dan Baesens, 2013; Mersland dan Strøm, 2010).
CGAP (1997) menentukan bahwa Keberlanjutan LKM dapat dicapai
manakala LKMS mampu melaksanakan fungsi intermediasinya secara utuh (non-
mission drift).
Berdasarkan kajian teoritis maka dapat dibuat proposisi penelitian ini:
Proposisi 5: Semakin baik Intermediasi Finansial semakin tercapai Keberlanjutan
LKMS
Proposisi 6: Semakin baik Intermediasi Sosial semakin tercapai Keberlanjutan
LKMS
Proposisi ini disajikan secara skematis melalui diagram model konseptual
sebagaimana Gambar 2.12 dan gambar 2.13
Gambar 2.12 Hubungan Intermediasi Finansial dengan Keberlanjutan LKMS
Gambar 2.13 Hubungan Intermediasi Sosial dengan Keberlanjutan LKMS
Intermediasi
Finansial
Keberlanjutan
LKMS
Intermediasi
Sosial
Keberlanjutan
LKMS
90
90
2.3.6. Hubungan Intermediasi Spiritual dengan Keberlanjutan LKMS
Studi yang mengungkap hubungan antara Intermediasi Spiritual dengan
keberlanjutan LKMS masih sangat terbatas. Namun demikian, hubungan ini dapat
ditelusuri melalui sejumlah studi yang mengkaji baik spiritual, keimanan (faith)
ataupun agama (religion) di LKMS.
Khan dan Phillips (2012) menemukan bahwa keimanan memotivasi
peminjam untuk membayar pinjaman sehingga mendorong tingkat pembayaran
(repayment rate) klien. Allen (2006) menemukan bahwa LKM berbasis
keyakinan, bila dibandingkan dengan LKM konvensional, memberikan layanan
keuangan yang lebih baik kepada orang miskin (poorest). Demikian pula
Mersland, D‟Espallier & Supphellen (2013) menemukan bahwa LKM kristen
memberikan biaya pinjaman yang lebih murah (funding cost) sehinggga
mendorong tingkat pengembalian pinjaman yang sama efektifnya dengan LKM
konvensional.
Studi lain yang membuktikan adanya hubungan positif antara perlakuan
spiritual dengan kinerja LKM yang merupakan proksi dari keberlanjutan
LKM/LKMS adalah studi empiris Mardhatilah dan Rulindo (2008) terhadap
pengusaha Muslim di Malaysia yang menemukan efek positif pelatihan spiritual
(ESQ training) terhadap kinerja bisnis peserta training.
Studi empiris lain yang mengeksplorasi peran spiritualitas di
LKMS/LKMS adalah studi eksperimen yang dilakukan oleh Masyita et. al
(2014) terhadap 162 orang klien dari 13 LKM/LKMS di Indonesia. Hasil studi ini
membuktikan bahwa spiritual treatment bersama dengan managerial dan
91
91
technology treatments memberikan hasil yang signifikan terhadap perubahan
perilaku dan kinerja bisnis klien.
Berdasarkan kajian teoritis maka dapat dibuat proposisi penelitian ini:
Proposisi 7 : Semakin baik Intermediasi Spiritual semakin tercapai Keberlanjutan
Gambar 2.14 Hubungan Intermediasi Spiritual dengan Keberlanjutan LKMS
Berdasarkan proposisi-proposisi yang telah dibuat, maka dapat dibangun
paradigma penelitian ini sebagai berikut:
Gambar 2.15 Paradigma Penelitian
2.4. Hipotesis
Berdasarkan paradigma penelitian, maka diajukan beberapa hipotesis
penelitian sebagai dasar mengembangkan model empiris penelitian ini:
Intermediasi
Spiritual
Keberlanjutan
LKMS
2
5
6
7
1
3
4 Intermediasi
Spiritual
Intermediasi
Sosial
Modal Sosial
Islam
Keberlanjutan
LKMS
Intermediasi
Finansial
92
92
1. Intermediasi Finansial berpengaruh positif terhadap Modal Sosial Islam.
2. Intermediasi Sosial berpengaruh positif terhadap Modal Sosial Islam.
3. Intermediasi Spiritual berpengaruh positif terhadap Modal Sosial Islam.
4. Modal Sosial Islam berpengaruh positif terhadap Keberlanjutan LKMS.
5. Intermediasi Finansial berpengaruh positif terhadap Keberlanjutan LKMS
baik secara langsung maupun dimediasi oleh Modal Sosial Islam
6. Intermediasi Sosial berpengaruh positif terhadap Keberlanjutan LKMS baik
secara langsung maupun dimediasi oleh Modal Sosial Islam
7. Intermediasi Spiritual berpengaruh positif terhadap Keberlanjutan LKMS
baik secara langsung maupun dimediasi oleh Modal Sosial Islam
Agar konsistensi antara variabel penelitian, rumusan masalah, tujuan
penelitian dan hipotesis penelitian terbangun, maka keterkaitan antar item
tersebut dirangkum sebagaimana disajikan pada Tabel 2.1
93
93
Tabel 2.19 Keterkaitan antara Variabel Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Hipotesis penelitian
Isu
Penelitian
Rumusan Masalah Tujuan Penelitian
Proposisi -Proposisi Hipotesis Penelitian
Modal Sosial
Islam
Apakah terdapat pengaruh
Intermediasi Finansial,
Intermediasi Sosial,
Intermediasi Spiritual
terhadap Modal Sosial
Islam LKMS di Kota
Bandung?
Menganalisis dan memperoleh
bukti empiris pengaruh Intermediasi
Finansial, Intermediasi Sosial,
Intermediasi Spiritual terhadap
Modal Sosial Islam LKMS di Kota
Bandung?
1 Semakin baik pelaksanaan Intermediasi
Finansial di LKMS maka semakin kuat
terbangun Modal Sosial Islam
H1 Intermediasi Finansial
berpengaruh positif terhadap
Modal Sosial Islam
2 Semakin baik pelaksanaan Intermediasi
Sosial di LKMS maka semakin kuat
terbangun Modal Sosial Islam
H2 Intermediasi Sosial berpengaruh
positif terhadap Modal Sosial
Islam
3 Semakin baik pelaksanaan Intermediasi
Spiritual di LKMS maka semakin kuat
terbangun Modal Sosial Islam
H3 Intermediasi Spiritual
berpengaruh positif terhadap
Modal Sosial Islam
Keberlanjutan
LKMS
Apakah terdapat pengaruh
Modal Sosial Islam
terhadap Keberlanjutan
LKMS
Menguji pengaruh Modal Sosial
Islam terhadap Keberlanjutan
LKMS di Kota Bandung?
4 Semakin kuat terbangun Modal Sosial
Islam, maka akan semakin tercapai
keberlanjutan LKMS
H4 Modal Sosial Islam
berpengaruh positif terhadap
Keberlanjutan LKMS
Keberlanjutan
LKMS
Apakah terdapat pengaruh
Intermediasi Finansial,
sosial dan spiritual
terhadap Keberlanjutan
LKMS dalam melayani
orang miskin di Kota
Bandung?
Menganalisis dan memperoleh
bukti empiris pengaruh Intermediasi
Finansial, sosial dan spiritual
terhadap Keberlanjutan LKMS
dalam melayani orang miskin di
Kota Bandung?
5 Semakin terlaksana Intermediasi
Finansial akan semakin tercapai
keberlanjutan LKMS
H5a Intermediasi Finansial
berpengaruh positif terhadap
Keberlanjutan LKMS
6 Semakin terlaksana Intermediasi Spiritual
akan semakin tercapai keberlanjutan
LKMS
H6a Intermediasi Spiritual
berpengaruh positif terhadap
Keberlanjutan LKMS
7 Semakin terlaksana Intermediasi Sosial
akan semakin tercapai keberlanjutan
LKMS
H7a Intermediasi Sosial
berpengaruh positif terhadap
Keberlanjutan LKMS
Modal sosial
Islam
Apakah Modal Sosial
Islam memediasi
pengaruh antara
Intermediasi Finansial,
Sosial dan Spiritual
terhadap Keberlanjutan
LKMS di Kota Bandung?
Menganalisis dan memperoleh
bukti empiris mediasi
Modal Sosial Islam terhadap
pengaruh antara Intermediasi
Finansial, Intermediasi Sosial dan
Intermediasi Spiritual
LKMS di Kota Bandung?
H5b Modal Sosial Islam memediasi
pengaruh antara :
1. Intermediasi finansial ke
keberlanjutan LKMS
2. Intermediasi Sosial ke
Keberlanjutan LKMS
3. Intermediasi Spiritual ke
Keberlanjutan LKMS
H6b
H7b