Upload
hadang
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS KERJA
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian ini akan melihat beberapa hasil penelitian terdahulu yang
dianggap relevan dengan topik kajian menyangkut perencanaan, pengembangan,
dan kebijakan pariwisata, yang penulis pilih untuk menambah pemahaman dan
perbandingan serta referensi. Pembahasan yang berkaitan dengan topik
kepariwisataan yang dihubungkan dengan administrasi publik dan dipelajari
penulis untuk penelitian ini adalah :
Acep Hidayat, (2003) disertasi Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran berjudul: Implementasi Kebijakan Pariwisata Dalam Perspektif
General Agreement on Trade in Services (GATS) Suatu Studi di Kota Bandung.
Penelitian ini melihat bahwa pembangunan pariwisata di masa lalu terlalu
berpihak kepada sebagian kecil stakeholder pariwisata, konglomerasi, dan
pemodal besar. Sejalan dengan era reformasi dan otonomi daerah, stakeholder
pariwisata khususnya masyarakat sekitar objek dan daya tarik wisata pariwisata
belum merasakan dampak pembangunan pariwisata saat ini berpihak pada
mereka. Dengan demikian masalah penelitian ini adalah bahwa sebagian besar
aspirasi stakeholder pariwisata belum terwujud sedangkan penerapan perdagangan
dan sudah dimulai secara bertahap, yang berarti bahwa persaingan bisnis
pariwisata dengan nomenklatur Tourism and Travel Related Services menjadi
19
lebih berat.
Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Data diperoleh dari informan, yang dimulai dengan informan awal, dan data yang
tidak bisa diberikan oleh informan awal terus dikejar melalui informan kedua dan
bergulir seterusnya sampai data yang diperlukan mencukupi. Perolehan data
dilakukan melalui wawancara informal dan tidak terstruktur dengan
menggunakan pedoman wawancara sebagai pegangan. Untuk data yang
memerlukan cross check, dilakukan triangulasi sumber data dari perajin sepatu
Cibaduyut, pengusaha restoran , dan pejabat pariwisata di tingkat provinsi.
Penelitian ini menyoroti sebagian stakeholders dari kalangan pengusaha,
asosiasi profesi pariwisata, dan masyarakat sekitar objek dan daya tarik wisata,
yang merupakan pihak yang diperintah sebagai konsumer “implementasi
kebijakan pariwisata”. Outcome dari hal itu akan bergantung pada keberdayaan
konsumer merupakan hal baru yang memperkaya teori kebijakan publik
khususnya dan kaibernologi pada umumnya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa, implementasi kebijakan pariwisata
belum mampu mewujudkan aspirasi stakeholders pariwisata karena sebagian
yang terkena dampak (pihak yang diperintah) tidak dilibatkan dalam pembuatan
berbagai program bersama, pembuatan peraturan daerah, dan belum berjalannya
pembinaan serta tidak jelasnya program pengembangan pariwisata. Pemahaman
tentang GATS, khususnya Tourism and Travel Related Services (TTRS) masih
lemah dan belum sama di kalangan stakeholder pariwisata. Hal itu bisa menjadi
salah satu penghambat dalam mencapai tujuan pembangunan pariwisata.
20
Apabila dikaitkan dengan penelitian yang akan dilakukan maka penelitian
ini sama-sama melihat kebijakan di bidang kepariwisataan dan implementasinya
di daerah. Perbedaannya terletak pada penggunaan pendekatan teori dimana Acep
Hidayat menggunakan teori Edward III, sedangkan peneliti akan melihatnya
dengan pendekatan teori dari bagaimana koordinasi antar sektor melalui
organisasi atau instansi pemerintah di tingkat provinsi. Perbedaan lainnya adalah
kajian kebijakan yang dilakukan adalah hanya pada aspek GAT saja, sementara
peneliti akan melihatnya dari konsep kebijakan pembangunan pariwisatanya.
Hermana (2006) melakukan penelitian dengan judul: “Pengaruh
Perencanaan stratejik kepariwisataan sebagai salah satu determinan manajemen
publik terhadap pengembangan kepariwisataan Provinsi Banten”. Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran ini mengkaji mengenai
penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan Indonesia yang dituntut untuk
mampu mengadaptasi diri terhadap perkembangan lingkungan, baik pada skala
nasional, regional, dan internasional yang menyangkut bidang politik, ekonomi,
dan sosial budaya, hankam maupun iptek. Untuk itu keberhasilan pembangunan
kepariwisataan Indonesia ditentukan tiga hal, yaitu: keberhasilan dalam
pemasaran, keberhasilan dalam pengembangan produk, serta keberhasilan dalam
menciptakan sumber daya manusia pariwisata yang berkualitas.
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan kuantitatif
di provinsi Banten dengan obyek penelitian yaitu aparatur Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata melalui analisis jalur. Hasil penelitian terdapat nilai epsilon 31,7546%
hal ini menunjukkan masih banyak faktor lain di luar perencanaan stratejik yang
21
berpengaruh terhadap pengembangan kepariwisataan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perencanaan stratejik kepariwisataan
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengembangan kepariwisataan di
Provinsi Banten, meskipun masih belum optimal. Demikian pula faktor harapan
utama kepentingan pihak dalam dan harapan utama kepentingan pihak luar
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengembangan kepaiwisataan.
Sedangkan faktor pangkalan data dan koordinasi memberikan pengaruh yang
tidak signifikan terhadap pengembangan kepariwisataan, hal ini diartikan sebagai
tantangan bagi pengambil kebijakan guna perbaikan dikemudian hari. Selanjutnya
sebagai temuan baru tentunya harus disadari karena menyangkut berbagai hal,
seperti: sumber daya manusia yang menguasai bidang kepariwisataan masih
sangat jarang sehingga daya dukungnya menjadi lemah, aspek lain yaitu
penggunaan teknologi yang masih kurang hal ini harus menjadi bahan
pertimbangan pengambil kebijakan, meskipun memerlukan biaya yang sangat
mahal, dan mungkin juga karena lingkungan kerja masih baru, karena Provinsi
Banten sebagai provinsi yang masih muda di Indonesia. Perencanaan stratejik
dalam pengembangan kepariwisataan dicapai dengan mengindentifikasi dan
merumuskan berbagai kepentingan untuk mengembangkan kepariwisataan.
Jika Hermana menggali bagaimana sisi perencanaan dalam mencoba
menghasilkan sebuah kebijakan pariwisata yang lebih baik, maka peneliti juga
akan mencoba melihat tidak saja dari sisi perencanaan saja namun juga bagaimana
perencanaan yang ada dilaksanakan dalam bentuk interaksi yang terjadi antar
sektor dalam mendukung pembangunan pariwisata.
22
Iyus Wiyadi (2006) Disertasi pascasarjana Universitas Padjadjaran
berjudul : Strategi Public Relations Dalam Membentuk Persepsi, Sikap dan
Preferensi Wisatawan Mancanegara Serta Pengaruhnya Terhadap Pemosisian
Industri Pariwisata Nasional. Penelitian bertujuan mengetahui (1) pengaruh
strategi public relations industri pariwisata nasional untuk masing-masing
terhadap persepsi, sikap dan preferensi wisatawan mancanegara terhadap produk
pariwisata di indonesia; (2) pengaruh persepsi, sikap dan preferensi terhadap
pemosisian industri pariwisata nasional; (3) prospek industri pariwisata nasional.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan cross
sectional, dengan menggunakan metode analisis structural equation model
(SEM). Adapun ynag menjadi unit analisis adalah wisatawan yang berasal dari 11
negara tourist genarating countries yang berkunjung ke -5 wilayah tujuan wisata
utama di Indonesia yaitu : Sumatera Utara, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, Bali
dan Sulawesi Selatan. Sedangkan unit observasi dilakukan terhadap wisatawan
mancanegara dengan sampel 210 wisatawan (Amerika Serikat, Jerman, Inggris,
Belanda, Perancis, Jepang, Rep. Korea, Australia, Malaysia, Singapura dan
Taiwan).
Hasil penelitian menunjukan: (1) pengaruh strategi public relations untuk
masing-masing variabelnya terhadap, persepsi, sikap dan preferensi atas produk
wisata nasional adalah signifikan.; (2) secara parsial pengaruh persepsi, sikap dan
preferensi atas produk wisataterhadap pemosisian industri pariwisata nasional
adalah sebesar 50,39%, 10,50%, dan 9,34%. Sedangkan secara simultan pengaruh
persepsi, sikap dan preferensi atas produk pariwisata nasional sebesar 70,17% dan
23
29,83% dipengaruhi oleh faktor lain; (3) prospek industri pariwisata nasional
menghadapi peluang yang cukup besar, yaitu dengan adanya kecenderungan
peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mulai tahun 2006 sampai dengan 2009.
Kecenderungan ini akan semakin meningkat jika disertai dengan penerapan
upaya-upaya komunikasi, khususnya strategi public relations yang dirumuskan
secara sistimatis dan terpadu. Dengan demikian diharapkan dapat memulihkan
impresi atau citra wisatawan mancanegara terhadap industri pariwisata nasional
sebagai penyedia produk atau objek wisata yang berbasis atraksi atau daya tarik
alam, warisan budaya leluhur atau nenek moyang , event, serta atraksi komersial.
Dikaitkan dengan penelitian yang akan dilakukan maka, apa yang telah
diteliti oleh Iyus Wiryadi lebih melihat hanya pada aspek pemasaran pariwisata
yang merupakan salah satu dimensi dari pembangunan pariwisata yang akan
menjadi kajian peneliti.
2.1.2. Konsep Kerjasama dan Koordinasi
Secara teoritik istilah kerjasama telah cukup lama dikenal dan
dikonsepsikan sebagai suatu sumber dari efisiensi dan kualitas pelayanan.
Menurut Warsono (2009:113) “ Sifat kerjasama seringkali ditafsirkan sebagai
bersifat sukarela, tetapi bukan semaunya, karena kerjasama memiliki tujuan dan
target tertentu yang harus dicapai oleh para pihak yang bekerjasama”.
Kerjasama juga telah dikenal sebagai cara yang tepat untuk mengambil
manfaat dari ekonomi skala (econonic scales). Dalam literatur disebutkan bahwa
kerjasama memiliki derajat yang berbeda. Mulai dari koordinasi dan kooperasi,
sampai kepada derajat yang paling tinggi yaitu collaboration atau kolaborasi
24
(Warsono, 2009: 113, dan Shergold, 2008:20). Karena itu menurut Keban
(2007:26)
Para ahli pada dasarnya menyetujui bahwa perbedaan di antara istilah
kerjasama tadi terletak pada kedalaman interaksi, integrasi, komitmen dan
kompleksitas. Secara umum dalam bahasa Indonesia ketiga jenis hal tadi
masih sering dipergunakan secara bergantian, dan belum memperlihatkan
kedalamannya, dimana cooperation terletak pada tingkatan terendah dan
collaboration pada tingkatan yang paling tinggi. Dan secara umum di
Indonesia masih dikenal istilah kerjasama dari pada kolaborasi .
Kerjasama dibutuhkan karena adanya keterbatasan masing-masing
organisasi atau instansi yang secara formal memang sudah diatur sesuai dengan
ketentuan yang ada sebagai bagian dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang
melekat pada suatu organisasi. Akan tetapi beberapa persoalan yang berkembang
dalam suatu wilayah atau daerah terkadang memerlukan kerjasama antar
organisasi karena adanya lintas kepentingan apakah dalam bentuk lokasi suatu
kawasan atau masyarakat yang menjadi lokus dan fokus dari organisasi
pemerintah.
2.1.2.1. Pengertian Kerjasama
Pada hakikatnya kerjasama dapat dimaknai sebagai adanya dua pihak atau
lebih yang berinteraksi secara dinamis untuk mencapai suatu tujuan bersama.
Dalam pengertian ini maka terkandung tiga unsur pokok yang melekat pada suatu
kerangka kerjasama, yaitu unsur dua pihak atau lebih, unsur interaksi, dan unsur
tujuan bersama. apabila satu dari ketiga unsur dimaksud tidak termuat dalam
objek yang dikaji maka dapat dianggap bahwa objek tersebut tidak terdapat
kerjasama (Ramses dan Bowo, 2007).
25
Selanjutnya oleh Ramses dan Bowo (2007) dijelaskan pula bahwa unsur
dua pihak atau lebih, selalu menggambarkan dua himpunan dari kepentingan-
kepentingan yang satu sama lain saling mempengaruhi, sehingga interaksi untuk
mewujudkan tujuan bersama penting untuk dilakukan. Jika hubungan atau
interaksi itu tidak ditujukan pada terpenuhinya kepentingan masing-masing
pihak, maka hubungan itu bukanlah hubungan kerjasama. Suatu interaksi
meskipun bersifat dinamis tidak selalu berarti kerjasama. Suatu interaksi yang
ditujukan untuk memenuhi kepentingan salah satu pihak, dan pada saat yang
bersamaan merugikan pihak-pihak lain, juga bukan suatu kerjasama. Kerjasama
selalu menempatkan posisi yang seimbang, serasi, dan selaras.
Rendal dan Yablonsky (2006 dalam Warsono, 2008:112-115) juga
mengemukakan bahwa kerjasama hanya dapat berhasil apabila:
1. Dimulai dengan membangun suatu dasar yang kuat untuk bekerjasama.
Hal ini dapat diwujudkan dengan:
(1) bersikap inclusif. Kerjasama biasanya diinisiasi oleh beberapa orang
kunci atau kelompok. Namun adalah sangat penting melibatkan semua
pihak yang berkepentingan (stakeholders) atau pemangku kepentingan.
Keterlibatan ini akan mendorong semangat untuk berkomitmen
mensukseskan kerjasama tersebut karena pihak yang terlibat merasa turut
mengikuti rencana kerja tersebut. Sebaliknya sikap eksklusif yaitu hanya
melibatkan orang atau kelompok tertentu saja akan mendatangkan
resistensi karena ada rasa saling curiga dan tidak saling percaya. Kata
pendeknya, program kerjasama akan menjadi baik dan sukses apabila
diikutsertakan atau dilibatkan sejak awal. (2) libatkan elite yang
dipilih rakyat (elected officals). Perlu diperhatikan untuk melibatkan wakil
rakyat atau pejabat yang dipilih rakyat sejak awal karena posisi mereka
sangat menentukan. Mereka dapat mempengaruhi keputusan khususnya
keputusan tentang pembiayaan atau anggaran kerja sama. Program kerja
sama dapat dibatalkan oleh mereka, bila mereka tidak dilibatkan sejak
awal. (3) libatkan pegawai pelaksana. Pegawai yang diberi wewenang dan
tanggung jawab untuk menanganinya harus dilibatkan sejak awal karena
merekalah yang akan menangani dan menjaga kelangsungan kerjsama itu.
Sikap, kepentingan dan bahkan persepsi mereka tentang kerjasama harus
diperhatikan dan dijaga dukungannya.
26
2. Senantiasa menjaga semangat kerjasama (maintain a cooperative spirit).
Hal ini dapat diwujudkan dengan sikap yang selalu provokativ, fleksibel,
dan sabar, serta selalu berfikir dalam konteks regional yang luas dan tidak
sempit pada daerahnya sendiri. Semangat kerjasama ini harus diturunkan
dari generasi kegenerasi agar kepentingan bersama tingkat regional tetap
dibela dan terrpelihara.
3. Bekerja dengan hati-hati (prosceed with care) karena melibatkan berbagai
pihak dari daerah lain dalam suatu kerjasama maka setiap langkah
kegiatan yang diambil harus dengan hati-hati seperti melakukan studi atau
penelitian lapangan, memilih program yang realistis, memberi perintah
sampai secara rinci, menjaga hubungan yang tidak sehat seperti memupuk
hubungan tidak formal secara berlebihan sehingga membuat kerjasama
menjadi tidak terkontrol dan tidak efektif.
4. Alokasikan biaya secara adil (allocated costs fairly) kerjasama itu sendiri
memang bebas biaya, tetapi program kerjasama membawa implikasi biaya,
bahkan tidak sedikit. Tetapi karna dipikul bersama, maka mestinya biaya
yang dikeluarkan jauh lebih murah ketimbang ditanggung sendiri-sendiri
oleh masing-masing daerah. Kalau hal ini tidak terjadi, rasa keadilan mulai
terusik, dan resistansi terhadap kerjsama akan muncul. Prinsip win-win
solution harus dipegang dipegang teguh untuk menyelenggarakan
kerjasama ini. Masing-masing daerah harus mengambil manfaat dengan
mengorbankan daerah yang lain. Tentu resiko harus ditanggung bersama
apabila terjadi kegagalan.
5. Tangani persoalan yang dihadapi secara serius. Memang program
kerjasama bersifat sukarela tetapi tidak berarti tidak perlu serius
menangani program tersebut. Banyak pembelajaran yang dapat dipetik
dari program tersebut. Karena itu harus dirumuskan bidang-bidang
tanggung jawab setiap pihak secara jelas agar masing-masing tidak merasa
terusik tanggung jawabnya dan secara serius menangani persoalan yang
dihadapi dalam program kerjasama.
Dengan demikian kerjasama bukanlah sesuatu yang mudah atau datang
begitu saja dan dapat bekerja secara otomatis dengan sendirinya. Kerjasama
merupakan upaya yang dilakukan oleh beberapa aktor untuk melakukan
penyesuaian dan perubahan, agar bisa memperoleh hasil yang optimal. Apa yang
penting dalam kerjasama adalah perlunya tindakan bersama yang dilakukan secara
sadar untuk mencapai tujuan yang sama.
Pratikno (2007:94) menyatakan terdapat beberapa hal yang perlu
27
diperhatikan dalam melakukan kerjasama agar dapat dilakukan secara efektif.
Guna menjamin berlangsungnya suatu kerjasama maka:
1. Harus ada hasil yang lebih besar yang hanya bisa diperoleh melalui
kerjasama.
2. Masing-masing pihak harus belajar memiliki visi dan tujuan yang
sama.
3. harus ada pihak yang rela menjadi inisiator kerjasama.
4. Harus tersedia jaringan yang menghubungkan pihak-pihak yang
memiliki sumber daya.
5. Harus terdapat pengaturan yang fair mengenai kontribusi masing-
masing pihak.
Kerjasama hanya akan berhasil apabila hasil yang diharapkan oleh para
pihak atau yang disebut oleh Pratikno (2007:92) sebagai expected gain dari
kerjasama. Harapan yang akan diperoleh tersebut selayaknya lebih berharga dari
pada hasil yang diperoleh jika para pihak bekerja secara sendirian. Namun yang
harus diperhatikan adalah expected gains merupakan sesuatu yang relatif.
Expected gains tersebut akan sangat tergantung pada paradigma berfikir yang
dianut atau visi yang dimiliki oleh para pihak yang melakukan kerjasama. Oleh
karena itu jika pihak-pihak yang bekerjasama telah memiliki visi yang sama
tentang kerjasama, maka gains yang mereka harapkan akan diperoleh juga akan
sama, atau paling tidak selaras. Dengan demikian secara rasional pun akan mudah
untuk mengajak bekerjasama. Di sini kepentingan masing-masing pihak perlu
mendapatkan perhatian lebih karena kepentingan inilah yang akan menjadi dasar
yang menuntun kerjasama dilakukan dengan tanpa adanya tekanan.
Kerjasama juga akan lebih mudah dilakukan jika para pelaku kerjasama
memiliki pemahaman dan visi yang sama tentang tujuan mereka dalam jangka
panjang. Pemahaman mengenai tujuan jangka panjang ini menjadi bagian yang
28
cukup penting karena tidak jarang pihak-pihak yang bekerjasama kemudian lebih
terpikat dalam kepentingan-kepentingan sesaat atau kepentingan-kepentingan
jangka pendek yang kemudian mengganggu jalannya kerjasama dalam jangka
panjang. Dengan demikian menurut Pratikno (2007:92):
perlu pula dilakukan semacam pemetaan mengenai apa yang akan dicapai
dalam jangka panjang, siapa saja yang terlibat dan manfaat apa yang
diperoleh para pihak, serta bagaimana pelaksanaan kerjasama yang akan
dilakukan. Melalui kesepakatan akan apa yang menjadi hak dan kewajiban
para pihak maka akan dapat digambarkan manfaat yang diperoleh serta
kontribusi apa yang mesti disumbangkan oleh masing-masing pihak yang
bekerjasama.
Dalam kerjasama juga seringkali dibutuhkan adanya satu pihak yang
mengajukan inisiatif untuk bekerjasama. Apabila usulan kerjasama dimaksud
ditanggapi oleh para pihak yang dianggap terkait kepentingannya dalam
kerjasama maka barulah terjadi suatu proses negosiasi dalam mewujudkan
kerjasama. Keberadaan inisiator kerjasama ini menurut Pratikno (2007:93) cukup
penting karena tidak jarang keberhasilan atau kegagalan dari suatu kerjasama
ditentukan oleh keberhasilan atau performa inisiator.
Hal lainnya yang diperlukan dalam menjamin keberhasilan kerjasama
ialah adanya jaringan yang menghubungkan para pihak yang menjalin kerjasama.
Karena masing-masing pihak memiliki kemampuan dan sumberdaya yang tidak
selalu sama maka diperlukan sebuah jaringan yang mampu merangkai berbagai
kepentingan yang ada di dalamnya untuk menjadikannya sebagai modal dalam
bekerjasama.
Terakhir, kebutuhan yang juga terdapat dalam kerjasama agar dapat
berlangsung baik adalah adanya mekanisme pengawasan dan penyelesaian
29
sengketa yang disepakati di antara pihak-pihak sebagai bagian dari upaya
mencegah gagalnya jalinan kerjsama apabila terdapat hal-hal yang terjadi serta
kurang sesuai dengan apa yang diharapkan semula.
2.1.2.2. Pengertian Koordinasi
Koordinasi merupakan salah satu hal penting dalam administrasi dan
manajemen dalam upaya untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Kerjasama
antar individu dalam organisasi yang merupakan salah satu persyaratan dalam
menjalankan roda organisasi akan dapat berjalan dengan baik apabila terjadi suatu
koordinasi yang efektif. Dengan demikian koordinasi merupakan salah satu hal
yang ikut menentukan keberhasilan suatu organisasi.
Istilah koordinasi menurut Westra (1983:54) dalam Rosyadi, 2009:23) jika
dilihat dari segi etimologi merupakan serapan dari bahasa asing yang terdiri dari
kata “cum” yang berarti berbeda-beda, dan kata “ordinate’ yang berarti
penyusunan atau penempatan sesuatu pada yang seharusnya atau semestinya.
Dengan mengutip Westra, Rosyadi (2009:23) menjelaskan bahwa adanya
koordinasi adalah karena adanya unit-unit kerja yang masing-masing menjalankan
tugas, fungsi dan tanggungjawab yang merupakan konsekuensi dari adanya
penerapan prinsip spesialisasi di dalam suatu organisasi. Adanya perbedaan-
perbedaan bidang tugas atau pekerjaan tersebut membutuhkan koordinasi agar
masing-masing dapat melaksanakan tugas yang telah ada dengan satu tujuan
bersama.
Apabila pekerjaan yang cukup kompleks dalam suatu organisasi dilakukan
30
tanpa adanya koordinasi, maka masing-masing bidang, unit,dan tugas tertentu
akan berjalan ke arah yang tidak bertemu pada suatu tujuan yang sama. Sebagai
sebuah perumpamaan maka dapat pula dikatakan bahwa adanya koordinasi bisa
diibaratkan dengan jari-jari payung yang mempertemukan masing-masing ujung
jari-jari payung pada suatu titik yang sama.
Koordinasi juga diartikan sebagai “is the unification, integration,
synchronization of the effort of group member so as to provide unity of action in
the persuit of common goals”1. Menurut definisi dari aspek ini maka koordinasi
dapat dipandang sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan karena merupakan inti
dari manajemen dan akan selalu ada serta melekat pada setiap unsur manajemen
mulai dari perencanaan, pengorganisasisan, staffing, pengarahan, sampai kepada
pengawasan. Demikian pula apa yang dikemukakan oleh Siagian (1976:111) yang
menganggap bahwa koordinasi adalah kata atau istilah lain dari integrasi dan
sinkronisasi. Karena itu apabila seluruh aktifitas organisasi sudah diintegrasikan
dan disinkronisasikan, maka itulah yang dikatakan sebagai koordinasi. Sinkronisai
menurut Syafrudin (1993:78) adalah “Penyesuaian dari segala arah dan kegiatan
dengan rencana induk, sehingga ruang waktu dan urusan pekerjaan dapat
diselaraskan secara serasi dan berdaya guna dan berhasil guna”.
Stoner dan Wankel (1986: 263) menyatakan bahwa koordinasi “ is the
process of integrating the objectives and activities of the separate units
(departement of functional are as) of an organization in order to achieve
organizational goals efficiently”.
1 www.managementstudyguide diunduh 08/09/2012
31
Menurut Alexander (1995:4) kemungkinan ahli yang pertama mendalami
tentang koordinasi adalah Charles Lindblom yang mendifinisikan koordinasi
sebagai hubungan yang sistimatik di antara keputusan-keputusan.
“Coordinated decisions, according to this view, are ones where either
mutual adjusmant between actors or a more deliberate interaction
produced positives outcomes to the participants and avoided negative
consequences”.
Dapat ditafsirkan bahwa Keputusan-keputusan untuk berkoordinasi
menurut pandangan ini adalah salah satu upaya saling menyesuaikan antar pelaku
atau interaksi yang lebih leluasa untuk menghasilkan sesuatu yang positif kepada
semua pihak dan menghindari akibat-akibat yang negatif.
Koordinasi merupakan penyelarasan secara teratur atau penyusunan
kembali kegiatan-kegiatan yang saling bergantung dari individu-individu untuk
mencapai tujuan bersama. Mengkoordinasikan adalah mengupayakan pengeluaran
seimbang dengan sumber keuangan, perlengkapan dan alat-alat dengan kebutuhan
produksi dan seterusnya. Secara singkat koordinasi dapat dikatakan sebagai
(Widiatmoko:2012:18) : menyesuaikan hal-hal dan tindakan-tindakan
perbandingannya yang tepat dan menyesuaikan antara alat dengan tujuan.
Selanjutnya Ndraha mengartikan koordinasi sebagai (2011:290); “kegiatan
yang dilakukan oleh berbagai pihak yang sederajat (equal in rank or order, of the
same rank or order, not subordinat) untuk saling memberi informasi dan mengatur
bersama (menyepakati) hal tertentu, sehingga di satu sisi proses pelaksanaan tugas
dan keberhasilan pihak yang satu tidak mengganggu proses pelaksanaan tugas dan
keberhasilan pihak lain, sementara di sisi lain langsung, atau tidak langsung
32
mendukung pihak lain”.
Sugandha (1991:26) menyatakan bahwa secara teoritis koordinasi dapat
digolongkan ke dalam beberapa jenis sesuai dengan ruang lingkup dan arah
jalur-jalurnya, yang terbagai dalam:
a. Menurut lingkupnya terdiri dari :
1) Koordinasi intern yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit di
dalam suatu organisasi.
2) Koordinasi ekstern yaitu koordinasi antar pejabat dari berbagai
organisasi atau antar organisasi.
b. Menurut arahnya :
1) Koordinasi horizontal yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit
yang mempunyai hirarki yang sama dalam suatu organisasi antar
organisasi yang setingkat.
2) Koordinasi vertikal yaitu koordinasi antara pejabat-pejabat dan
unit-unit tingkat bawah oleh pejabat atasannya atau unit tingkat
atasnya langsung, juga cabang-cabang dari suatu organisasi oleh
organisasi induknya.
3) Koordinasi diagonal yaitu koordinasi antar pejabat atau unit yang
berbeda fungsi dan berbeda tingkatan hirarkinya.
4) Koordinasi fungsional adalah koordinasi antar pejabat, antar unit
atau antar organisasi yang didasarkan atas kesamaan fungsi atau
karena koordinatornya mempunyai fungsi tertentu.
c. Menurut Peraturan Pemerintah RI. No. 6 Tahun 1888.
1) Koordinasi fungsional, antar dua atau lebih instansi yang
mempunyai program yang berkaitan erat.
2) Koordinasi instansional terhadap beberapa instansi yang menangani
satu urusan tertentu yang bersangkutan.
3) Koordinasi teritorial terhadap dua atau lebih wilayah dengan
program tertentu.
Menurut Tosi dan Carroll (1982;499) terdapat dua jenis koordinasi yaitu
koordiansi vertikal dan koordinasi horizontal. Kedua macam koordinasi ini
diperlukan dalam organisasi. Koordinasi vertikal menunjukan pengembangan
hubungan-hubungan yang efektif dan disatupadukan di antara kegiatan-kegiatan
pada tingkat-tingkat organisasi yang berlainan. Sedangkan koordinasi horizontal
adalah pengembangan hubungan-hubungan yang lancar di antara individu-
33
individu atau kelompok-kelompok pada tingkat yang sama.
Agar koordinsi berlangsung secara efektif menurut Stoner dan Freeman
(1994:503) kuncinya adalah terletak pada komunikasi. Semakin besar
ketidakpastian akan tugas-tugas yang harus dikomunikasikan, akan semakin besar
pula kebutuhan akan informasi. Karena itu maka koordinasi dapat pula pada
derajat tertentu dipandang sebagai tugas pengolahan informasi yang sangat
penting. Pendekatan koordinasi yang efektif menurut Stoner dan Freeman
(1994:503) adalah: Penggunaan teknik – teknik dasar manajemen; peningkatan
potensi koordinasi; pengurangan kebutuhan akan koordinasi.
Penggunaan teknik-teknik dasar manajemen merupakan rantai komando
organisasi yang menspesifikasikan hubungan antara para anggotanya serta unit-
unitnya, karenanya memudahkan arus informasi dan kerja di antara unit-unit.
Menambah potensi koordinasi adalah kondisi yang jika organisasi semakin
besar kesalingtergantungannya semakin besar atau fungsi dan ukurannya semakin
luas, maka dibutuhkan informasi yang lebih besar bagi organisasi untuk mencapai
sasarannya. Karena itu potensi koordinasi harus ditingkatkan, melalui dua cara:
1) Sistim informasi vertikal.
Pengiriman data ke atas dan ke bawah jenjang organisasi. Komunikasi
dapat terjadi di luar atau di dalam saluran komando yang ada. Sistim
Informasi Manajemen (SIM) untuk tiap bagian seperti pemasaran,
keuangan, produksi dan juga data base yang mengumpulkan
informasi dari banyak bagian , untuk meningkatkan informasi yang
tersedia bagi perencanaan, koordinasi dan pengendalian.
34
2) Sistim informasi lateral.
Hubungan lateral mengabaikan hubungan komando yang ada,
kemungkinan pertukaran informasi dan keputusan-keputusan diambil
pada jenjang dimana informasi yang dibutuhkan benar-benar ada.
Hubungan seperti ini dalam contoh yang sederhana seperti kontak
langsung di antara individu yang harus menghadapi situasi atau
permasalahan yang sama.
Mengurangi kebutuhan koordinasi adalah, jika metode koordinasi tidak
efektif, maka dapat digunakan metode pengurangan kebutuhan koordinasi yang
ketat. Jay Gilbraith (dalam Freeman, 1994:503) mengemukakan dua cara untuk
mengurangi kebutuhan koordiansi, yaitu penciptaan sumber daya tambahan, dan
penciptaan unit-unit mandiri.
Menurut Winardi (1990:397) apabila dicermati dengan seksama maka:
Koordinasi dapat juga dikatakan sebagai aktifitas-aktifitas individu dan
kelompok dikaitkan satu sama lain untuk kerangka pencapaian tujuan
bersama. Di dalamnya terdapat komunikasi antara komponen-komponen
organisatoris dan memungkinkan mereka memahami aktifitas-aktiitas
mereka satu sama lain, dan membantu mereka untuk bekerjasama dengan
baik dalam arus kerja yang umum.
Diungkapkan pula oleh Winardi (1990: 397) bahwa dalam konteks
koordinasi terdapat dua dimensi yang harus dilaksanakan, yaitu koordinasi
vertikal dan horizontal. Koordinasi vertikal bersifat mengkoordinasi aktifitas-
aktifitas para individu dan kelompok ke atas dan ke bawah pada hirarki otoritas.
Terdapat empat elemen yang melekat pada koordinasi vertikal yaitu: (1) Rantai
komando (chain of command); (2) Rentang pengawasan ( span of control); (3)
35
Pendelegasian (delegation); (4) Sentralisasi-desentralisasi ( centralization –
decentralization).
Koordinasi horizontal merupakan proses mengkoordinasikan aktifitas-
aktifitas para individu dan kelompok melintas melalui organisasi yang
bersangkutan yang bekerja pada atau dekat dengan tingkat yang sama dalam
hirarki yang ada. Bentuk koordinasi horizontal ini adalah departementasi matriks.
Alat yang digunakan untuk membantu koordinasi horizontal yang efektif adalah
melalui pembentukan hubungan lateral yang efektif, termasuk di dalamnya
pembentukan tim-tim fungsional silang, satuan tugas (task force) dan personal
penghubung (liaison personal).
Pendekatan yang dipergunakan dalam mempelajari koordinasi juga dapat
dilihat dengan memahami gejala koordinasi. Menurut Ndraha (2011:290) terdapat
dua pendekatan terhadap koordinasi:
Pertama, pendekatan politik, normatif atau birokratik. Pendekatan ini
yang dianut oleh pemerintah Indonesia sampai sekarang. Menurut
pendekatan politik, koordinator ditetapkan terlebih dahulu atau ditetapkan
bersama-sama dengan unit-unit kerja lain. Kegiatan koordinator itulah
yang disebut koordinasi. Kata kuncinya adalah koordinator
mengkoordinasikan. Kedua, pendekatan manajemen atau empirik.
Menurut pendekatan ini koordinasi merupakan pendekatan kebutuhan
setiap orang atau institusi. Koordinasi dulu baru koordinator. Kebutuhan
akan koordinasi mendorong setiap orang atau kelompok untuk
berkoordinasi satu dengan yang lain. Kata kuncinya adalah berkoordinasi.
Dalam hal ini setiap pihak dapat berkoordinasi satu dengan yang lain
dengan atau tanpa (melalui) koordinator. Jadi koordinasi bisa terjadi tanpa
koordinator. Kuncinya adalah kemauan (will) dan tekad untuk senantiasa
mengutamakan kepentingan keseluruhan ketimbang kepentingan
kelompok atau bagian. McFarland, seraya mengutip Alvin Brown,
menyebut gejala ini sebagai “Self coordination”.
Merujuk pada pendekatan pertama maka koordinator yang melakukan
tugas pengkoordinasian adalah dalam upaya untuk mencapai koordinasi.
36
Koordinator menurut Alexander (1995:65) adalah :
“ an individual whose formal function is to coordinate the activities of
organizational units or an interorganizational system with respec to given
task, issue, objective, program or project”.
Menurut Alexander (1995:65), Mintzberg menyamakan tugas-tugas
koordinator sebagai “integrating manager”. Dengan mengutip pendapat Sayles
(1976:10), Mintzberg (1979:165) menyatakan bahawa tugas Intregrating
Manager adalah : “ to integrate the activites of organizational units whose major
goals and loyalties are not normally consistent with the goals of the overall
system”.
Dengan demikian maka tugas yang seharusnya dimainkan oleh seorang
koordinator dalam menjalankan fungsinya yaitu melakukan pengkoordinasian.
Jika mengacu pada strategi koordinasi berdasarkan dimensi waktu yang meliputi
koordinasi antisipatif dan koordinasi adaptif ( Alexander, 1995:36) maka tugas
pengkoordinasian tersebut dilakukan melalui kegiatan-kegiatan antara lain:
pengkoordinasian perencanaan; pengkoordinasian pelaksanaan; dan
pengkoordinasian pengendalian.
Berdasarkan pada aturan yang ada berupa Undang-undang (Nomor 25
tahun 2004) tentang Sistem Perencanaan Pembangunan dan Peraturan Pemerintah
Tentang tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
(Nomor 39 Tahun 2006), maka yang bertugas sebagai koordinator dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi perencanaan dalam suatu daerah adalah Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan daerah atau Bappeda, seperti yang dinyatakan
dalam (pasal 1 ayat 16). Sedangkan Kepala Satuan Perangkat daerah (SKPD)
37
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi tertentu di daerah
(pasal 1 ayat 17).
Dengan demikian maka koordinator untuk setiap pelaksanaan tahapan
pembangunan di daerah berbeda-beda. Untuk tahapan perencanaan di tingkat
daerah (provinsi) yang menjadi koordinator adalah Kepala Bappeda, sedangkan
dalam menjalankan pelaksanaan di bidang kepariwisataan adalah kepala SKPD
atau kepala Badan/ Dinas terkait, dalam hal ini kepala Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata. Sedangkan di bidang pengendalian yang menjadi koordinator di
tingkat daerah berupa sinkronisasi dan keterkaitan antar sektor pembangunan
adalah Kepala Bappeda, sedangkan yang khusus di bidang kepariwisataan adalah
kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Apabila mengacu pada Undang-undang Kepariwisataan (Nomor 10 tahun
2009) maka terdapat pengaturan khusus mengenai koordinasi ini dalam satu bab
yaitu (Bab IX). Dalam (pasal 33) dinyatakan bahwa:
(1) Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan kepariwisataan
Pemerintah melakukan koordinasi strategis lintas sektor pada tataran
kebijakan, program, dan kegiatan kepariwisataan.
(2) Koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. bidang pelayanan kepabeanan, keimigrasian, dan karantina;
b. bidang keamanan dan ketertiban;
c. bidang prasarana umum yang mencakupi jalan, air bersih, listrik,
telekomunikasi, dan kesehatan lingkungan;
d. bidang transportasi darat, laut, dan udara; dan
e. bidang promosi pariwisata dan kerja sama luar negeri.
Sedangkan dalam (pasal 34) dinyatakan bahwa:
Koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) dipimpin oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Jika mengacu pada bunyi pasal 33 dan 34, dimana ketentuan
38
pelaksanaan kedua pasal tersebut masih menunggu Peraturan Presiden sesuai
dengan bunyi pada (pasal 35) maka dapat dianalogikan bahwa untuk tingkat
daerah dalam hal koordinasi strategis lintas sektor di tingkat provinsi dipimpin
oleh Gubernur atau Wakil Gubernur.
2.1.2.3. Koordinasi Antar Organisasi
Hubungan kerjasama dan koordinasi yang tercipta antar organisasi yang
terjadi berkembang sejalan dengan perubahan yang terus terjadi yang disesuaikan
dengan kondisi dan perkembangan zaman seperti yang digambarkan Limerick dan
Cunnington.
Menurut Limerick dan Cunnington (1993 dalam Keban , 2004:119) di
dalam teori organisasi terdapat beberapa pola atau “blueprint” yang berkembang
yang dimulai dari paradigma klasik (first blueprint), paradigma human (second
blueprint), paradigma sistem (third blueprint) dan paradigma kolaborasi (forth
blueprint).
Pada blueprint pertama dirancang suatu organisasi yang berorientasi pada
efisiensi tinggi dengan mengajukan sistim otoritas dan kendali yang sangat
hirarkis dengan rentang yang sangat sempit (Limerick dan Cunnington (1993,
dalam Keban, 2004:119-122).
Dalam aliran ini prinsip-prinsip spesialisasi, sentralisasi, dan formalitas
sangat ditekankan. Namun demikian aliran yang dimotori oleh nama-nama
seperti Adam smith, Hendry Fayol, L. Gullick dan kawan-kawan ini
dikritik karena memperlakukan anggota organisasi bukan sebagai manusia
(kurang manusiawi) tetapi sebagai mesin. Organisasi hanya dilihat dalam
proses mekanistik dimana kreativitas, inisiatif dan partisipasi anggota
organisasi tidak dihargai sama sekali. Manajer yang dibutuhkan disini
adalah manajer yang dianggap tahu segalanya, tegas dan berani
39
menerapkan sanksi termasuk ancaman dan bersifat otoriter.
Blue print kedua menurut Limerick dan Cunnington (1993) dalam
Keban (2004:124-126), teori organisasi mengalami pergeseran pandangan
tentang manusia, dimana manusia telah dilihat sebagai mahluk sosial yang
dapat membentuk sendiri kelompok-kelompok informal sesuai dengan
keinginannya, dan ingin bekerja pada kondisi kerja yang menyenangkan.
Dengan begitu peranan kelompok informal, kebutuhan sosial, dan kondisi
lingkungan kerja menjadi faktor penting dalam bekerja, bahkan lebih
penting dari manajeman itu sendiri. Aliran ini dikembangkan oleh E Mayo,
dan Rensis Likert. Sedangkan manajer yang dibutuhkan disini adalah
manajer yang bersifat demokratis dan supportif.
Blue print ketiga dalam perkembangan teori organisasi dimana,
organisasi lebih dilihat sebagai suatu sistem yang didalamnya diasumsikan
terdapat unsur-unsur yang (1) saling ketergantungan (interdependency)
dengan lingkungan yaitu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan;
(2) keterbukaan (openess), yang memberi reaksi kepada segala sesuatu
yang datang dari lingkungan; (3) keseluruhan (holisme) dimana organisasi
menjadi bagian dari keseluruhan lingkungan; (4) sifat rasionalis dan
objektif dan; (5) kelompok kerja yang kohesif. Aliran ini menekankan
persoalan dan pendekatan pada adanya dua sistim organisasi, yaitu
mechanistic system dan organic system. Pendekatan pertama lebih melihat
struktur organisasi yang formal dan cenderung hirarkis, kendali yang
sangat terpusat dan penekanan berlebihan pada spesialisasi karena ingin
efisien. Disini organisasi dilihat sebagai sesuatu yang tertutup terhadap
lingkungannya (closed system). Sedangkan pada pendekatan yang kedua
yaitu bersifat organis lebih menitik beratkan pada orang dan bukan tugas,
mencoba mengurangi peranan hirarki, memiliki struktur kelompok yang
lebih fleksibel, dan selalu mengutamakan nilai dan norma yang disetujui
bersama, serta menekankan kontrol diri dan saling menyesuaikan diri.
Teori ini dikembangkan dengan “contingency” dimana organisasi terdiri
atas subsistem-subsistem yang bersifat mekanik atau organik tergantung
kepada lingkungan yang dihadapi dan mempengaruhinya. Pendukung
aliran ini adalah Johnson, Kast, Rosenweig, Lawrence dan Lorch.
Blue print keempat atau paradigma baru mencoba mengarahkan
perhatiannya kepada realitas dan kebutuhan pada akhir dekade abad
keduapuluh. Melalui karya K.E.Weick dan J.D.Orton di tahun 1990an
tentang “loosely coupled organizations” dimana organisasi-organisasi
hendaknya membentuk di dalamnya pasangan-pasangan unit kerja (loose
coupling within organization) dan membentuk pasangan kerja dengan
organisasi lain (loose coupling between organizations) yang responsif
antara satu dengan yang lain, dan saling kolaboratif. Dengan demikian
losse coupling baik di dalam maupun antara organisasi merupakan pusat
perhatian utama paradigma ini. Tema sentral yang dikembangkan disini
adalah pembenahan hubungan di dalam organisasi dan pengembangan
network dengan organisasi lain. Di samping itu di dalam paradigma ini
suatu organisasi dituntut memiliki individu-individu yang kolaboratif.
40
Mereka bekerjasama dengan orang atau pihak lain berdasarkan atas prinsip
kebebasan atau kemerdekaan. Mereka ingin berfungsi sebagai mitra pihak-
pihak lain. Dengan demikian dalam bingkai baru tersebut ditekankan sifat
saling tergantung yang “self managed” dan “voluntary” (bersifat sukarela).
Selanjutnya terdapat lima alasan penting mengapa pengaturan kerjasama
antar organisasi atau interorganizational networking menjadi berkembang dengan
pesat bahkan sudah mencapai kepada konsep kerjasama tertinggi yaitu kolaborasi
sebagaimana yang dijelaskan oleh O’Toole (dalam Agranoff dan McGuire,
(2003:24).
First, policies dealing with ambitious or complex issues are likely to
require such structures of execution. This is a problem change thesis,
which assert that the types of problems or issues society seeks to adress
collectively are increasingly wicked, or “problems with no solution, only
temporary and inferfect resulutions”....For most of the problems that
emerged in the first part of the twentieth century, a bureaucratic
organization was ideal – the problem was easily defined, goal were clear,
and objectives were measurable. The metaphor of the wicked problem
stands in contrast to traditional bureaucratic policymaking and
implementation. For wicked problems, agreement is forged by jointly
steering courses of action and delivering policy outputs that are consistent
with the multyplicity of societal interests. Other more conventional modes
of organizing, like collaboration, have emerged to do just that.
Second, ...limitations established on the reach of direct governmental
intervention encourage rather than dampen network based solutions. In a
sense, collaborative structures may be required to achieve result in
particular problem areas when public preference is simultaneously for
more government involvement. When the public demands action on certain
public issues, multiple players are drawn together to fulfill that demand
because it only be done through collaboration. Third, political imperatives
elicit networking beyond what might be necessitated by policy objectives;
administrators often must balance technical needs for clear and
concentrative program authority with political demands for inclutions and
broader influence.
Fourth, as information has accumulated regarding secondorder
program effects, efforts have been made to institutionalize the connections,
such as through interorganizational task forces and planning bodies. Fifth,
layers of mandates, including crosscutting regulations and crossover
sanctions, provide additional pressure for managing networks.
41
Kelima hal tersebut dapat dimaknai sebagai :Pertama, berkembangnya
permasalahan yang dihadapi oleh organisasi yang semula sederhana menjadi
semakin kompleks dan akan kesulitan jika diselesaikan dengan pendekatan
birokratis seperti yang selama ini dilakukan. Jika di paruh pertama abad ke-20
organisasi birokrasi sangat ideal digunakan untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan yang lebih mudah didefinisikan, tujuan yang jelas dan ukuran capaian
yang terukur, maka saat ini mengalami perkembangan yang lebih rumit dan sulit
yang sering digambarkan dengan problem yang tidak ada jalan keluarnya. Dalam
kondisi seperti ini maka pendekatan non konvensional dalam organisasi seperti
kerjasama dan kolaborasi menjadi salah satu cara untuk melaksanakannya. Kedua,
keterbatasan keberadaan pemerintah dalam menangani secara langsung persoalan
yang ada. Melalui keberadaan struktur yang bersifat kolaborasi maka tindakan-
tindakan pemerintah akan lebih dirasakan walaupun keterlibatannya secara
langsung lebih sedikit. Ketika permintaan-permintaan masyarakat dalam
menangani isu-isu publik berkembang, maka akan ada lebih banyak pihak yang
dapat dilibatkan dan itu hanya mungkin dilakukan melalui kolaborasi. Ketiga,
desakan politik menimbulkan jaringan di samping apa yang seharusnya
dipaksakan oleh tujuan kebijakan: administrator seringkali harus mengimbangi
kebutuhan-kebutuhan teknis untuk berkonsentrasi dan menyelesaikan program
dengan permintaan-permintaan politis yang lebih besar dan berpengaruh.
Keempat, adanya informasi yang terkait dengan capaian program dimana
diperkirakan akan melibatkan lebih banyak pihak sehingga menyebabkan
perlunya pelembagaan hubungan-hubungan tersebut, seperti pembentukan
42
kelompok kerja atau lembaga-lembaga perencanaan. Kelima, tingkatan-tingkatan
mandat termasuk peraturan-peraturan yang saling bertentangan atau sanksi yang
saling berseberangan menyebabkan timbulnya tekanan baru bagi jaringan yang
sedang dibangun.
Di samping kelima hal tersebut ditambahkan pula oleh Agranoff dan
McGuire (2003:25) dalam konteks kerjasama yang menitikberatkan pada
kolaborasi adalah berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai faktor utama dalam
produksi sosial ekonomi, ketika tanah, tenaga kerja dan modal menjadi faktor
kedua. Ilmu pengetahuan yang berkembang menjadi semakin terspesialisasi
sangat menantang bagi perkembangan organisasi. Perkembangan tersebut
menjadikan perlunya cara-cara pandang yang baru dalam organisasi guna
memecahkan masalah, mengidentifakasi masalah serta melakukan strategi
pemasaran yang meletakan peran sumberdaya manusia menjadi semakin penting.
Dalam hubungan ini maka pekerja-pekerja dalam suatu organisasi memerlukan
jaringan interorganisasi yang sering terhubung dengan jaringan global yang akan
memberikan tantangan utama untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang
semakin produktif ke dalam tugas sehari-hari.
Menurut Agranoff dan McGuire (2003:25), kebutuhan untuk melakukan
kerjasama juga dimungkinkan tercipta, karena adanya ketergantungan dari para
pelaku yang melaksanakan kerjasama disebabkan adanya perbedaan bentuk, dan
tingkatan teknologi yang dimiliki atau dikuasai serta sumberdaya yang diperlukan
untuk menyelesaikan pekerjaan. Ketergantungan tersebut kemudian mendorong
berbagai pihak untuk melakukan intensitas komunikasi di antara organisasi, yang
43
kemudian membentuk kerjasama dan kegiatan dalam kebersamaan itu. Semakin
tinggi ketergantungan berbagai pihak, baik secara vertikal dan horizontal, maka
akan semakin tinggi pula kebutuhan untuk melakukan koordinasi dan kolaborasi.
Di dalam kepustakaan kebijakan dan manajemen publik sudah dikenal
pula adanya istilah policy network dan intergorvernmental management (Agranoff
(1996) dan Hale (2003), dalam Keban, 2007: 27). Istilah tersebut dipergunakan
dalam rangka merujuk kepada gambaran betapa jaringan kebijakan publik dan
manajemen publik sangat diperlukan pada tingkat pemerintahan daerah untuk
menangani berbagai masalah yang tidak dapat ditangani sendiri oleh organisasi-
organisasi yang ada.
Networking merupakan format kelembagaan jejaring yang terdiri dari
beberapa unit organisasi yang menjalin hubungan dengan pola yang relatif
fleksibel. Robert Agranoff (2003) dalam Warsono, (2009:115) membagi beberapa
jenis intergorvernmental networks sesuai dengan derajat networksnya: (1)
information networks, yaitu jenis jaringan kerjasama yang paling ringan
derajatnya. Pada jenis ini beberapa daerah/organisasi dapat membuat forum yang
berfungsi sebagai pertukaran kebijakan dan program, teknologi dan solusi atas
masalah-masalah bersama; (2) development network, yakni kaitan antar
daerah/organisasi terlibat lebih kuat, karena selain pertukaran informasi juga
dibarengi dengan pendidikan dan pelayanan yang secara langsung dapat
meningkatkan kapasitas informasi daerah/organisasi untuk mengatasi masalah
masing-masing; (3) outreach network, adanya penyusunan program dan strategi
untuk masing-masing daerah/organisasi yang diadopsi dan dilaksanakan oleh
44
daerah/organisasi lainnya, serta; (4) action network, yang merupakan bentuk dari
intergorvenrmental yang paling solid. Dalam bentuk seperti ini daerah/organisasi
yang menjadi anggota secara bersama-sama menyusun program aksi bersama
sesuai proposal dan kemampuan masing-masing.
Upaya untuk secara terus menerus meningkatkan outcome dan kinerja
organisasi dalam melaksanakan tugasnya antara lain dengan mengembangkan
pola hubungan antar organisasi baik secara internal maupun eksternal. Shergold
(2008:20) menggambarkan bahwa pola hubungan antar organisasi mengalami
peningkatan mulai dari koordinasi sampai kepada kolaborasi. “Certainly, the
coordinating mechanisms are changing- so are the modes of achieving outcomes.
At the risk of gross simplification. I disern move from command through
coordination and cooperation to collaboration”.
Hal dimaksud dapat dilihat pada tabel 2.1. berikut:
Tabel 2.1. Proses Transformasi
Komando Proses Sentralisasi Pengendalian-dengan kejelasan alur
Kewenangan Hirarkis
Koordinasi Proses pengambilan keputusan kolektif- diterapkan
pada peran serta kelembagaan
Kerjasama Proses berbagi pemikiran dan sumberdaya – tujuan
saling menguntungkan
Kolaborasi Proses berbagi penciptaan – penghubung antara
kelembagaan yang mandiri
Sumber : Shergold (2008;20)
Dalam kaitannya dengan pembangunan pariwisata di Kepulauan Bangka
45
Belitung yang melibatkan berbagai organisasi, baik publik (dinas/instansi),
organisasi swasta, maupun organisasi masyarakat diperlukan koordinasi yang
baik guna mengelola hubungan-hubungan dari berbagai sektor dan stakeholder
terkait. Hubungan koordinasi antar organisasi yang terlibat dalam pembangunan
pariwisata ini menentukan keberhasilan pengembangan pariwisata karena
banyaknya kepentingan lintas sektor dan organisasi yang perlu diarahkan ke
dalam satu tujuan yang sama. Karena itu tanpa adanya koordinasi akan sulit
mewujudkan sinergitas dalam upaya pembangunan pariwisata.
Kalau dicermati lebih dalam maka dapat dikatakan bahwa koordinasi pada
prinsipnya merupakan upaya dalam menyatupadukan kewenangan dan
kemampuan yang ada untuk melakukan keselarasan tindakan dalam mencapai
tujuan bersama. Koordinasi seperti ini sangat diperlukan dalam sebuah organisasi
karena biasanya organisasi berjalan sendiri-sendiri dan kurang menyesuaikan
gerak langkahnya dengan bagian-bagian lain dari organisasi atau organisasi yang
lain sebagai konsekuensi dari adanya pembagian tugas dalam suatu organisasi
dalam mencapai tujuannya.
Mekanisme koordinasi menghendaki semua fihak yang terlibat dalam
posisi memiliki kepentingan yang sama, jika masih ada bagian yang menganggap
atau merasakan koordinasi merupakan suatu keterpaksaan karena kuatnya tuntutan
tugas dan pekerjaan atau mendasarinya pada perintah belaka, maka pelaksanaan
koordinasi yang muncul hanya akan bersifat formal saja. Dengan kondisi ini maka
koordinasi yang tercipta hanyalah koordinasi pola hubungan atasan bawahan atau
yang lebih dikenal dengan koordinasi vertikal. Koordinasi seperti ini akan
46
mengalami kesulitan untuk dikembangkan dalam pola pembangunan pariwisata
yang lebih menuntut hubungan antar sektor yang bersifat lebih horizontal
karenanya lebih memerlukan munculnya koordinasi bukanlah sebagai kewajiban
namun sebagai kebutuhan organisasi untuk mencapai tujuannya. Guna lebih
melihat gambaran koordinasi horizontal ini maka penelitian mencoba melihat
hubungan antar organisasi di tingkat pemerintah provinsi Kepulauan Bangka
Belitung.
Salah satu teori yang dikembangkan dalam kaitannya dengan hubungan
antar organisasi ini adalah jaringan multi sektor (multisectoral network ) yang
dikemukakan oleh Ebers (1997) dalam Herranz, (2010:11-16). Konsep ini
dikembangkan Ebers bagi kerangka kerja formasi jaringan organisasi yang
didasarkannya pada studi lapangan di bidang ekonomi, sosiologi, studi organisasi,
sistem informasi dan strategi bisnis. Menurut Ebers, yang mengidentifikasi tiga
proses penting dalam memahami pengembangan jaringan, yaitu: pertukaran
sumber daya (resource exchange), harapan bersama (mutual expectation), dan
proses informasi (information process). Menurut konsep Ebers, pengembangan
jaringan terjadi melalui tiga proses tadi dalam kaitan dengan hubungan kerja
jaringan antar organisasi. Dia mencoba mengkonseptualkan elemen-elemen dari
pendekatan strategis dalam koordinasi jaringan. Tiga hal yang menjadi karakter
proses inter-organizational dari formasi jaringan tersebut adalah : aliran
sumberdaya, aliran informasi, dan aliran harapan bersama. Ebers menyatakan
bahwa pertukaran sumber daya dan informasi merupakan konsep yang
dipergunakan dalam teori organisasi (seperti ketergantungan sumberdaya) untuk
47
menganalisa dan melakukan klasifikasi masalah dalam koordinasi dan mencari
jalan keluarnya.
Ketergantungan sumberdaya melalui jaringan ternyata memberikan
keuntungan yang kompetitif bagi perusahaan karena mereka mendapatkan akses
bagi kemampuan dan sumberdaya yang diinginkan yang akan menambah
kepemilikan mereka; dengan cara ini perusahaan dapat mengembangkan
kemampuan, memperoleh pasar, mengelola resiko, atau meningkatkan skala
ekonominya. Intermediasi informasional melalui jaringan akan dapat mengurangi
biaya-biaya komunikasi, ketidakpastian, dan membantu koordinasi bagi anggota-
anggota jaringan. Ebers juga menyatakan bahwa harapan bersama adalah sesuatu
yang khas dalam dimensi yang ketiga ini karena hubungan antar manusia yang
saling mengharapkan seperti adanya peluang, kepercayaan dan keadilan adalah
hal yang menjanjikan dalam literatur jaringan inter-organizational. Aliran-aliran
harapan bersama ini mempengaruhi para pelaku untuk melihat adanya peluang
dalam resiko kerjasama dan membentuk jaringan kerjasama antar organisasi.
Ebers juga menambahkan ada dua faktor kepemerintahan (governance) yang
membedakan pembuatan tingkat kelembagaan dalam hubungannya dengan
bentuk jaringan yaitu: distribusi hak-hak kepemilikan (distribution of property
rights) dan mekanisme-mekanisme koordinasi (coordination mechanisms).
Guna mengembangkan lebih lanjut konsep yang dikemukakan oleh Ebers,
Herranz (2008) dalam Herranz, (2010:16), mengkombinasikannya dengan
kerangka kerja bagi strategi koordinasi untuk jaringan multisektor.
Konsep Herranz diambil dari argumentasinya tentang perbedaan antara
48
pemerintah, organisasi nir laba, dan organisasi swasta yang juga sebenarnya
merupakan representasi dari tiga mekanisme dasar koordinasi organisasi yaitu:
hirarki (birokrasi), klan (keluarga) dan pasar (bisnis). Menurutnya batas-batas
antar sektor itu semakin kabur terutama dalam jaringan publik yang multisektor.
Wujud nyata dari mekanisme koordinasi menurut Herranz ( 2010:20)
adalah merupakan proses strategi koordinasi birokrasi, kewirausahaan,
dan kemasyarakatan dalam jaringan-jaringan multisektor yang terdiri dari
organisasi-organisasi publik, non profit, dan organisasi swasta. Karena itu
menurutnya, pendekatan strategi jaringan koordinasi berada pada
sepanjang garis mulai dari kutub manajerial aktif ke pasif. Apabila di
bagian awalnya, orientasi birokratisnya sangat kuat dalam proses
hubungan-hubungan antar organisasi, maka selanjutnya akan tercipta suatu
strategi orientasi kewirausahaan. Sedangkan di bagian akhir akan tercipta
orientasi strategi kekeluargaan yang menekankan perhatian pada rasa
saling percaya yang mendasari proses hubungan-hubungan antar
organisasi.
Teori mengenai efektivitas koordinasi antar organisasi dikembangkan oleh
Alter dan Hage (1993) dalam Alexander, (1995:40), yang melakukan kajian
terhadap 15 jaringan lokal dalam organisasi-organisasi yang melayani masyarakat.
Mereka mengevaluasi efektivitas jaringan-jaringan, serta menghubungkannya
dengan berbagai strategi koordinasi adminstrasi dan integrasi tugas-tugas.
Menurut Alter dan Hage, (1993) koordinasi administratif dipengaruhi oleh
metode-metode impersonal yang terdiri dari: aturan-aturan dan standar prosudur
operasional (standard operating procedures), pemantauan personal dan
komunikasi, atau interaksi kelompok.
Berdasarkan analisis tersebut mereka menyatakan bahwa koordinasi yang
efektif dalam konteks koordinasi antar organisasi adalah: bagaimana hubungan
antara strategi koordinasi yang dipilih dan bentuk jaringan antar organisasi yang
49
terjadi (Alexander, 1995:40).
Secara umum strategi menurut Rangkuti (1997:3) dapat diartikan sebagai
respon secara terus menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman
eksternal, serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi
organisasi. Strategi juga diartikan Quinn (1980) sebagai “is a pattern or plan
that integrates an organization’s major goals, policies and action sequences into a
cohesive whole” (dalam Tribe, 1997:11).
Menurut Alexander (1994:276) “Coordination strategies are processes or
forms of organizational behavior, and often (though not always) they are more
general and abstract than the specific coordination tools many of them apply “.
Strategi koordinasi tersebut menurut Alexander, (1995:36) sebagai “A whole
range of behaviors and relationships, from relatively general and abstract (eg.,
cooperation) to quite concrete and specific (eg., contracting)”. Dengan demikian
maka semua perilaku dan hubungan, dari yang umum dan yang abstrak
(contohnya kerjasama) sampai ke yang kongkrit dan spesifik (kontrak) disebut
sebagai strategi koordinasi antar organisasi atau Interorganizational Organization
Coordination (IOC). Aspek penting dalam strategi koordinasi ini adalah
berdasarkan dimensi waktu menurut Alexander (1995:36) yaitu:
meliputi anticipatory coordination atau koordinasi antisipatif dan
adaptive coordination atau koordinasi adaptif. Koordinasi antisipatif
berarti koordinasi berdasarkan perencanaan. Sedangkan koordinasi adaptif
adalah koordinasi yang didasarkan pada pelaksanaan, pemantauan, umpan
balik dan pengendalian.
Dimensi lainnya yang membedakan dengan kelompok-kelompok lainnya
dalam strategi koordinasi adalah “medium” yang dipergunakan, atau bagaimana
50
strategi mewujudkan keinginan integrasi antar organisasi (Alexander, 1995:36).
Strategi-strategi koordinasi dimaksud adalah (Alexander, 1995:36-37):
Strategi Cultural, merupakan strategi yang pelaksanaannya tergantung
kepada kesesuaian antara tujuan-tujuan dari organisasi dengan pengaturan
organisasi, atau merupakan penyesuaian tindakan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan organisasi. Strategi ini dilakukan dengan menggunakan
pengaruh (influence), hubungan masyarakat (Public Relation), dan
Cooptasi. Contoh strategi ini adalah dengan mengamankan dukungan
koordinasi antar organisasi dengan melakukan pelaksanaan nilai-nilai
profesional yang telah ditetapkan, serta dengan penegasan mengenai
adanya harapan dan norma-norma yang berlengsung di antara anggota
jaringan organisasi. Strategi ini juga dilakukan dengan menciptakan
sebuah kerangka kerja hirarki yang diamanatkan berdasarkan pengakuan
organisasi dari pihak yang berwenang (cooptasi).
Strategi Communicative, adalah tindakan-tindakan yang tergantung
kepada kesadaran bersama dari kepentingan-kepentingan yang saling
tergantung dan kepentingan umum. Contoh dari strategi ini adalah
negosiasi, yaitu membuat daftar dan menyelesaikan permintaan-
permintaan yang bertentangan dari para anggota dalam suatu kegiatan.
Kata kunci dalam strategi ini : pertukaran informasi, negosiasi, net
working.
Strategi Functional, didasarkan pada pertukaran yang bersifat resiprokal
atau hubungan kekuatan antara anggota-anggota dari sistem
anterorganisasi. Contohnya, misalnya pembentukan koalisi antara
organisasi yang kuat dengan yang kurang kuat untuk meningkatkan
kepentingan mereka dalam mengkoordinasikan sistem. Atau sebuah
organisasi inti dapat mencoba mengeluarkan beberapa rivalnya yang
potensial menjadi kuat dari sebuah pengaturan tindakan yang prospektif,
supaya semuanya dapat lebih bisa ditangani. Kata kunci strategi ini adalah:
pembentukan koalisi, inklusi atau eksklusi, reposisioning atau posesioning.
Strategi Cooperative adalah strategi yang melibatkan interaksi sukarela,
ternasuk di dalamnya adalah kolaborasi yang bisa saja disebutkan dalam
berbagai cara. Demikian pula dengan kooptasi yang merupakan sebuah
strategi koordinasi yang populer, ia dapat menggunakan patronasi
(perjajanjian bersama pembelian barang atau jasa, atau kesepakatan
pembelian barang dan jasa), dan keanggotaan pada sebuah badan
konsultan infornal untuk membantu mengeneralisir kerangka pikir yang
mendukung. Kata kunci strategi ini: tawar menawar, pertukaran
sumberdaya, dan patronase
Strategi Control bertujuan untuk mengkoordinasikan perilaku-perilaku
51
orgnisasi dengan membiaskan keputusan-keputusan mereka untuk
menghasilkan tindakan yang kalau tidak dibuat seperti itu maka tidak akan
terjadi. Tentu saja ada wilayah abu-abu antara strategi cooperative dan
control. Wilayah itu tergantung pada pengaruh strategi (beberapa bentuk
persuasi) yang menunjukan ancaman ataupun insentif potensial tetapi tidak
aktual. Strategi-strategi control dapat menimbulkan sanksi berdasarkan
cara menjalankan kekuatan atau ancaman untuk menyembunyikan
sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan secara kritis. Strategi ini
disebut sebagai strategi finansial.
Strategi Structural adalah “posisi struktural”. Termasuk dalam hal ini
mendifinisikan kembali legitimasi kelompok-kelompok yang ditandai
dengan fungsi organisasi, atau perubahan domain organisasi, kepada
permintaan-permintaan baru, atau menciptakan unit baru atau struktur dari
hubungan -hubungan. Strategi struktural lainnya ialah melakukan
reorganisasi dan menggeser level pengendalian. Terakhir, adalah merger
yang dikenal juga sebagai strategi koordinasi dalam menyelesaikan
persoalan yang berlainan.
Strategi koordinasi antar organisasi disebut juga oleh Alter dan Hage
(1993) sebagai metode-metode koordinasi (Alexander, 1995:40). Sedangkan
Alexander sendiri menyatakan bahwa efektivitas koordinasi antar organisasi juga
berkaitan erat dengan karakter struktur jaringan dan tugas-tugas dari struktur
koordinasi antar organisasi yang terdiri dari: pertukaran informasi, koordinasi
operasional, koordinasi manejerial atau koordinasi adminstratif, dan koordinasi
antisipatori.
Alexander (1995:318) Pertukaran informasi merupakan suatu pelaksanaan
koordinasi melalui penyesuaian bersama. Dimana ini adalah tugas utama dari
berbagai struktur-struktur IOC informal yang ada dan dilaksanakan dengan baik.
Sedangkan Koordinasi operasional secara esensial adalah koordinasi
adaptif antara organisasi-organisasi yang terlibat dalam pelaksanaan tugas-tugas
bersama yang belum dilakukan (Alexander, 1995:319-320).
52
Koordinasi manajerial atau administratif merupakan kegiatan-kegiatan
yang diperlihatkan di antara organisasi-organisasi sebagai urutan tertinggi dari
pada koordinasi operasional atau pengintegrasian tugas-tugas (Alexander,
1995:322).
Pure anticipatory coordination refers to coordination by plan: agreeing on
mutual goals and objectives, developing common policies and plans for
their realization, and designing or transforming institutions into the forms
needed to turn projects into reality. Anticipatory coordination, then, occurs
at hte level of policy making, planning, and the institutional design of
prospective lower – level IOC structures. (Alexander, 1995:323).
Selanjutnya dalam mengelola jaringan, seorang manajer jaringan bukanlah
aktor yang sentral atau direktur, melainkan lebih berfungsi sebagai mediator dan
stimulator. Karena itu menurut Pratikno (2008:13) diperlukan strategi-strategi
streering jaringan yang dalam bahasa Kickert, Klijn dan Koppenjam (1999)
dikelompokkan dalam dua jenis yaitu game management yang memfokuskan pada
manajemen relasi antar aktor, dan network structuring yang memfokuskan pada
rekontitusi terhadap struktur dominasi, legitimasi dan signifikansi.
Games management (GM) didefinisikan sebagai “on going, sequential
chain of (strategic) actions between different players (actors), governed by the
player’s perceptions and by existing formal and informal rules, which develop
around issues or decisions in which the actors ae intersted” (Klijn dan Teisman,
1999:101). Tujuan terpenting dari games management ini adalah untuk
menyatukan persepsi para aktor dan menyelesaikan persoalan-persoalan
hubungan organisasional antar pelaku jaringan.
Menurut Pratikno (2008:13-14) dengan mengutip Klijn dan Koppenjam
(2000:141) bahwa strategi-strategi yang dikembangkan dalam games menagement
53
mengasumsikan struktur dan konstelasi dalam jaringan relatif given. Karenanya
para aktor yang memainkan dan mengembangkan strategi permainannya dalam
struktur yang ada yang berupa tata aturan formal dan informal, komposisi pelaku,
dan distribusi sumberdaya yang telah ada.
Network structuring (NS) memfokuskan pada upaya mengubah struktur
jaringan. Asumsi yang dibangun adalah bahwa karakteristik kelembagaan jaringan
akan mempengaruhi dan bahkan menentukan peluang-peluang bagi kerjasama
antar aktor (Klijn dan Koppenjam 2000) dalam Pratikno, 2008:14). Dengan
demikian maka strategi-strategi dalam Nerwork structuring ditujukan untuk
mengubah karekteristik kelembagaan jaringan. Hal ini berbeda dengan GM yang
mengembangkan strategi-strategi dalam level pembangunan interaksi antar aktor,
strategi-strategi dalam NS dimaksudkan untuk membuka ruang dan memfasilitasi
berlangsungnya proses-proses kerjasama untuk berjejaring. Kedua bentuk
tersebut diilustrasikan sebagai berikut.
54
Tabel 2.2. Strategi Manajemen Jaringan dalam Logika Strukturasi
Level /Sarana Persepsi/
Interpretasi
Aktor/Fasilitas Institusi/Norma
Strategi
Game
Management
Convenanting:
Mengekploirasi
persamaan dan
perbedaan per-
sepsi antar aktor,
dan menjajagi
untuk menselaras-
kan tujuan ber-
sama
Selective (de)
Activation:
Memobilisasi ke-
kuatan aktor yang
miskin sumber
daya dan men-
demobilisasi peran
aktor yang men-
dominasi sumber
daya
Arranging:
Membangun,
menjaga, dan me-
ngubah format
relasi jangka
pendek yang bisa
menolong inter-
aksi dalam ke-
lompok
Network
Structuring
Reframing:
Mengubah per-
sepsi para aktor
dalam jaringan
yang akan meng-
kerangkai aktor
dalam menentukan
nilai apa yang
dikedepankan
Network (de)
Activation:
Melibatkan aktor-
aktor baru atau
mengubah posisi
dari aktor yang
ada; memobilisasi
koalisi-koalisi
baru
Reconstitualism:
Mengubah kebi-
jakan aturan dan
sumber daya
dalam jaringan se-
cara fundamental
Sumber: Klijn dan Teisman (1999) dalam Pratikno (2008:14)
Agar koordinasi dapat berlangsung dengan baik dalam organisasi maka
diperlukan adanya mekanisme koordinasi, menurut Mintzberg (1997:3-7)
terdapat lima mekanisme koordinasi yang penerapannya disesuaikan dengan
situasi dan kondisi yang sedang berlangsung dalam organisasi. Kelima mekanisme
koordinasi tersebut adalah:
1. Penyesuaian bersama (mutual adjustment).
Penyesuaian bersama dapat mencapai koordinasi kerja dengan proses
komunikasi informal yang sederhana. Dalam penyesuian bersama,
kontrol pekerjaan terletak di tangan pekerja. Oleh karenanya mutual
adjustment hanya dapat diimplementasikan pada organisasi dengan skala
kegiatan yang kecil dan sederhana. Namun demikian dalam kondisi-
kondisi tertentu, seperti pada situasi organisasi yang kompleks dengan
skala kegiatan yang lebih besar pun, penyesuaian bersama dapat mencapai
koordinasi kerja. Oleh karena itu mekanisme ini cocok digunakan pada
lingkungan dinamis dan kompleks.
55
2. Pengawasan langsung (direct supervision).
Mekanisme pengawasan langsung digunakan pada organisasi besar.
Mekanisme ini mencapai koordinasi dengan cara mengangkat seseorang
untuk bertanggung jawab atas hasil pekerjaan beberapa pekerja,
memberikan perintah dan mengawasi kegiatan mereka. Mekanisme ini
dapat diterapkan pada lingkungan yang sederhana dan dinamis.
3. Standarisasi proses pekerjaan (standardization of work processes).
Standarisasi ini dapat dilakukan apabila isi pekerjaan bersifat spesifik atau
telah diprogram sebelumnya. Dalam kondisi kerja seperti ini, para pekerja
tidak memerlukan pengawasan langsung maupun komunikasi informal,
karena semuanya tergantung dari desain pekerjaan itu sendiri. Standarisasi
proses digunakan pada lingkungan sederhana dan statis.
4. Standarisasi hasil kerja (standardization of work outputs).
Kinerja distandarisasi ketika terdapat hasil kerja. Dengan standarisasi
kinerja, proses diantara pelaksanaan kegiatan sudah ditentukan terlebih
dahulu. Standarisasi hasil digunakan pada lingkungan sederhana dan statis.
5. Standarisasi keterampilan (standardization of worker skills).
Keterampilan dan pengetahuan distandarkan melalui pelatihan sebelum
memasuki organisasi untuk menghasilkan kerja yang baik. Secara umum,
individu diberi pelatihan sebelum dia bergabung dengan sebuah
organisasi.
Pendapat Alter dan Hage secara umum, yang menurut Alexander
(1995:40), ide mengenai adanya hubungan antara strategi koordinasi dengan
bentuk jaringan antar organisasi masih bersifat sugestif, karena hasil penelitian
Alter dan Hage tersebut hanya meliputi jaringan antar organisasi yang spesifik
saja dan pada organisasi-organisasi yang bergerak di sektor yang sama.
Untuk mengatasi kelemahan apa yang dikemukakan oleh Alter dan Hage
tersebut, Alexander (1995:329-333) mengemukakan tentang, adanya enam unsur
karakter jaringan yang harus diperhatikan dalam melihat jaringan koordinasi antar
organisasi, yaitu:
Interdependence: terdapat empat kemungkinan karakter interdependence
(saling ketergantungan) dalam jaringan antar organisasi yaitu: (1) bersifat
sequential; (2) bersifat reciprocal; (3) bersifat pooled (symbiotic and/or
56
commensal); (4) kombinasi dari 2 dan 3 atau 1dan 3.
Size: kondisi dari jaringan antar organisasi adalah kombinasi dari dua
karakter: jumlah anggota organisasi dan jmulah dari anggota organisasi-organsasi.
Ini terdiri dari kombinasi yang dapat menjadi lima macam bentuk besaran
organisasi mulai dari yang terbesar sampai terkecil.
Structure: tingkatan struktur dari jaringan antar organsisi menggambarkan
dua ketergantungan karakter yang ada. Pertama adalah sentralisasi itu sendiri:
bahwa tingkat anggota organisasi-organisasi terkelompok di sekitar pusat atau
lingkungan inti. Hal yang lainnya adalah jaringan-jaringan yang terhubung:
Intensitas dan hubungan antara anggota organisasi. Intensitas hubungan ini
menggambarkan “Isi” dari aliran-aliran melalui jalur-jalur ; termasuk di dalamnya
jaringan kerja (dari pelanggan, kertas kerja yang berhubungan dengan pelayanan,
dan barang-barang atau produk dalam proses atau jaringan produksi), aliran-aliran
komunikasi (perintah-perintah, pemantauan, informasi) dam aliran-aliran
sumberdaya (uang, personil, tenaga ahli). Disini terdapat dua karakter yang
tergabung dan saling melengkapi, yaitu sentralisasi (Centrality) dan
keterhubungan (Connectedness).
Complexity: dalam jaringan antar organisasi kompleksitas juga
berhubungan dengan dua hal. Pertama adalah tingkat heterogenitas: variasi dari
sektor-sektor (seperti produk, teknologi atau tujuannya) dari para anggota
organisasi. Kedua adalah tingkat perbedaan: tingkat kedalaman yang anggota-
anggota organisasi berfungsi khusus, dan tingkatannya mulai dari yang terbatas
sampai kepada yang terluas, fungsi spesifik, atau tersedia dalam pelayanan yang
57
berbeda atau terlihat dalam berbagai tugas-tugas.
Semakin heterogen jaringan maka akan semakin berbeda-beda pula
keanggotaannya. Organisasi-organisasi akan menutup domain yang luas dari
fungsi atau tugas yang lebih mirip dengan yang ditemukan pada jaringan yang
homogen. Tingkatan kompleksitas terlihat dari tingginya heterogenitas dan
perbedaan sampai kepada yang paling rendah
Autonomy: di dalam jaringan antar organisasi autonomy diartikan sebagai
tingkatan yang memisahkan secara khusus dengan lingkungan organisasinya. Hal
ini menggambarkan dua hal. Pertama adalah tingkat keterbukaan jaringan: jumlah
dan intensitas anggota jaringan yang terkait dengan lingkungan organisasinya,
dibandingkan dengan keterkaitan dengan hubungan sesama mereka. Kondisi
tersebut memberikan indikasi pada tingkat apakah jaringan bersifat terbuka atau
tertutup dan bagaimana tingkat perbedaan sistem antar organisasi. Kedua,
ketergantungan: untuk apa tingkatan ketergantungan antar organisasi terhadap
lingkungannya dalam sumberdaya yang terbatas.
Teori pertukaran yang menerapkan validasi, menyarankan adanya dua
karakter yang positif tergabung. Jaringan yang lebih otonom adalah organisasi -
organisasi yang sedikit terhubung dan ketergantungannya dengan lingkungannya,
sedangkan yang sedikit otonominya akan lebih interaktif terhadap lingkungannya
karena mereka sangat membutuhkan sumberdaya yang disediakan oleh
lingkungan.
Mission: tujuan, misi atau tugas adalah merupakan alasan mengapa suatu
organisasi terlibat di dalam jaringan organisasi, ini merupakan suatu variabel
58
penting. Beberapa karakter dapat menggambarkan misi jaringan-jaringan, dari
yang paling utama: yang paling penting, jangka panjang, mendasar, skala besar,
kepada yang rendah : skala kecil, jangka pendek, dengan berfokus pada akibat
yang relatif sempit.
Dimensi pertama mengenai skala tugas: mengindikasikan jangka waktu,
intensivitas, dan isi ( atau skala dan tingkatan akibat) apa yang dilakukan jaringan
antar organisasi untuk memproduksi, membuat atau melakukannya. Hal lainnya
adalah kompleksitas tugas dimana terdapat kombinasi pengembangan teknologi
dan spesialisasi, pengetahuan yang mutakhir, sebagaimana terlihat dalam tingkat
ketidakpastian, tentang tujuan organisasi, misi, dan lingkungan.
Melalui pencermatan terhadap enam karakter jaringan tersebut tadi maka
akan tergambar dengan lebih jelas bagaimana pengembangan jaringan antar
organisasi yang terjadi di dalam hubungan koordinasi antar organisasi yang
terlibat dalam suatu kegiatan.
Sebagaimana telah disampaikan bahwa hal lain yang mempengaruhi
efektifitas koordinasi adalah strategi koordinasi. Karena itu konsep strategi
koordinasi yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan
dimensi waktu (Time Dimension) yang terdiri dari anticipative dan adaptive.”
Anticipative coordination is coordinating by plan, adaptive coordination takes
place in real time, and is based on monitoring, feedback and control” (March and
Simon, 1958:158-169, dalam Alexander, 1994:36). Dengan demikian koordinasi
antisipasi akan dilihat pada bagaimana perencanaan dilakukan, sedangkan
koordinasi adaptif dilakukan dengan melihatnya pada kegiatan pelaksanaan,
59
pemantauan, umpan balik dan pengendalian. Teori tentang efektifitas koordinasi
antar organisasi dalam penelitian ini juga akan melihat dalam struktur tugas IOC
yang bagaimana yang terjadi dalam koordinasi antar organisasi di Bangka
Belitung yang dikaitkan pula dengan strategi manajemen jaringan dalam logika
strukturasi.
2.1.3. Konsep Pariwisata
Dalam Undang-undang (Nomor 10 tahun 2009) tentang Kepariwisataan
dinyatakan bahwa: Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat-tempat tertentu
untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya
tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara (pasal 1 angka 1).
Wisatawan menurut Undang-undang ( Nomor 10 tahun 2009) adalah
orang-orang yang melakukan wisata (pasal 1 angka 2). Jadi menurut pengertian
pada pasal ini dapat ditafsirkan bahwa, semua orang yang melakukan perjalanan
wisata dinamakan wisatawan seperti apa yang dikemukakan Soekadijo (2000:10)
bahwa perjalanan itu bukan untuk menetap dan tidak untuk mencari nafkah
ditempat yang dikunjunginya. Dengan demikian pengertian wisata mengandung
unsur bahwa perjalanan bersifat sementara dan perjalanan itu seluruhnya atau
sebagian bertujuan untuk menikmati daya tarik wisata.
Unsur yang terpenting dalam kegiatan wisata merujuk pendapat Soekadijo
(2000:10) adalah tidak bertujuan mencari nafkah, tetapi apabila di sela-sela
kegiatan mencari nafkah itu juga secara khusus dilakukan kegiatan wisata,
60
bagian dari kegiatan tersebut dapat dianggap sebagai kegiatan wisata.
Pariwisata adalah keseluruhan kegiatan wisata dan didukung berbagai
fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah
dan pemerintah daerah Pasal 1 angka 3).
Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan
pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yangmuncul sebagai
wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan
masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan
pengusaha (pasal 1 angka 4). Dengan demikian maka pariwisata dapat
disimpulkan meliputi berbagai kegiatan yang termasuk dalam (Fandeli:2002:17)
(1) semua kegiatan yang berhubungan dengan wisata, (2) Pengusahaan
daya tarik wisata seperti: kawasan wisata, taman rekreasi, kawasan
peninggalan sejarah, museum, waduk, pagelaran seni budaya, tata
kehidupan masyarakat atau yang bersifat alamiah: keindahan alam, gunung
berapi, danau, pantai, (3) Pengusahaan jasa dan sarana pariwisata yaitu:
usaha jasa pariwisata (biro perjalanan wisata, agen perjalanan wisata,
pramuwisata, konvensi, perjalanan insentif dan pameran, impresariat,
konsultan pariwisata, informasi pariwisata), usaha sarana pariwisata yang
terdiri dari : akomodasi, rumah makan, bar, angkutan wisata.
Kata pariwisata menurut Soekadijo (2000:1), konon pertama kali
dipergunakan oleh mendiang Presiden Soekarno dalam suatu percakapan untuk
padanan kata atau istilah yang di dalam bahasa Inggris tourism. Karenanya perlu
dirujuk beberapa pengertian kata tourism atau pariwisata tersebut digunakan
dalam literatur. Menurut Warpani dan Warpani (2007:5) kata pariwisata baru
populer pada tahun 1958. Sebelumnya digunakan kata turisme yang merupakan
serapan dari bahasa Belanda “tourisme”. Sejak 1958 tersebut kata pariwisata
resmi digunakan sebagai padanan kata tourisme (Bld) atau tourism (Ing).
61
Menurut Elliot (1997:20)
Tourism can be difined in more tahn one way depending upon the basis of
the study, such as geography, sociology, psychology, or economics. For
example, it can be defined as an industry or aseries of industrial sectors
such as hotels, restourants, and transport all loosely grouped together
which provided services for tourist. It can also be defined as an experience
of relaxation and pleasure. For the host communities it can be viewed as
pleasurable and profitable, or as a troublesome nuisance.....
Istilah pariwisata yang dikemukakan oleh Elliot itu dapat dimaknai bahwa
pariwisata bisa didifinisikan ke dalam lebih dari satu cara yang tergantung dari
bidang ilmu yang mendasarinya seperti geografi, sosiologi, psikologi atau
ekonomi. Sebagai contoh menurutnya, istilah pariwisata dapat digunakan sebagai
industri atau serangkaian kegiatan sektor industri seperti perhotelan, usaha
restoran dan transportasi serta usaha lainnya yang berhubungan dengan
penyediaan jasa layanan kepariwisataan. Pariwisata, menurut Elliot dapat pula
diartikan sebagai pengalaman dari para wisatawan yang menikmati pemandangan,
dan pengalaman dalam melakukan liburan atau bersantai. Bagi masyarakat yang
dikunjungi, pariwisata juga dapat diartikan sebagai sebuah keramahtamahan dan
usaha yang mendatangkan keuntungan.
Beberapa ahli juga mengemukakan pengertian pariwisata, antara lain
Spillane (1987 :11) yang mengemukakan bahwa pariwisata adalah perjalanan dari
suatu tempat ke tempat lain, bersifat sementara dilakukan secara perorangan
maupun kelompok, sebagai usaha untuk mencari keseimbangan atau keserasian
dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya juga
alam dan ilmu.
Sementara itu Tonge dan Myott mendifinisikan pariwisata (1993:1)
62
sebagai:
tourism is the temporary short- term movement of people to destinations
outsides the places where they normally live and work, together with their
activities and experiences during these trips which include pleasure,
entertainment, culture, business, conferences, visiting friends and
relations, adventure, challenge and self –development, or combination of
these reasons.
Pada bagian lain Mathieson and Wall (dalam Gunn, 2004:5) mendefinisikan
pariwisata adalah :
“Tourism is the temporary movement of people to destinations outside
their normal places of work and residence, the activities undertaken durin
their stay in those destinations, and the facilities creadted to carter to their
needs”.
Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa pariwisata merupakan
pergerakan penduduk ke suatu daerah tujuan untuk sementara waktu dengan
meninggalkan tempat tinggal dan pekerjaan mereka untuk melakukan aktivitas di
daerah tujuan yang menyediakan fasilitas yang mereka butuhkan. Dari definisi –
definisi ini kemudian dapat dirumuskan bahwa, pariwisata merupakan gabungan
gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, pemerintah dan
swasta, tuan rumah serta masyarakat tuan rumah dalam proses menarik dan
melayani wisatawan sehingga menghasilkan benefit yang saling menguntungkan.
Selanjutnya untuk dapat melihat bagaimana kinerja pembangunan
pariwisata maka diperlukan pemahaman akan apa yang menjadi tujuan dari
pembangunan atau pengembangan pariwisata itu sendiri sehingga terlihat juga
bagaimana pengaruh kegiatan-kegiatan pariwisata yang telah terjadi. Mill dan
Morrison mengusulkan tentang empat tujuan dari pembangunan pariwisata yaitu
(1985:248):
63
Pertama, secara ekonomi, mengoptimalkan sumbangan sektor pariwisata
dalam kegiatan perekonomian kesempatan kerja, peningkatan ekonomi
daerah dan memperkuat neraca pembayaran internasional.
Kedua, bagi konsumen, adalah agar manfaat pariwisata dapat diterima oleh
semua pihak, termasuk wisatawan dan masyarakat setempat.
Ketiga, dari sisi sumber daya alam dan lingkungan, pariwisata hendaklah
dapat melindungi dan melestarikan seni dan budaya, kebiasaan hidup,
sejarah dan situs serta adanya keserasian dengan kebijakan pemerintah
terkait pembangunan secara umum.
Keempat, kegiatan-kegiatan pemerintah, berhubungan dengan bagaimana
menyerasikan peran pemerintah dalam pariwisata terutama dalam
kebutuhan masyarakat, dan mengambil kepeloporan dalam hal
perlindungan lingkungan serta pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana.
Seorang ahli pariwisata lainnya, Gunn (2002:14) menyatakan bahwa selain
melihat dampaknya di bidang ekonomi perlu pula dilihat bidang-bidang lainnya
yang terkena pengaruh dari pembangunan pariwisata. Menurutnya, keseluruhan
aspek pembangunan pariwisata diarahkan untuk pencapaian visi dalam
pengembangan pariwisata yang lebih baik dengan tujuan yang terdiri dari empat
hal yaitu :
(1) meningkatkan kepuasan wisatawan;
(2) mengembangkan ekonomi dan keberhasilan usaha;
(3) penggunaan sumber daya yang berkelanjutan; dan
(4) integrasi masyarakat dan kawasan.
2.1.3.1.1 Jenis Pariwisata
Seorang yang melakukan perjalanan wisata dapat disebabkan oleh
beberapa hal, atau seseorang mengadakan perjalanan wisata karena didorong oleh
berbagai motif yang tercermin dalam berbagai macam jenis pariwisata.
Pengetahuan serta pemahaman terhadap berbagai motif wisatawan ini perlu
dipelajari karena akan sangat berkaitan dengan fasilitas yang perlu diantisipasi
64
dan disiapkan bagi wisatawan serta bagaimana bentuk dan cara program-program
promosinya. Spillane (1987:21) membedakan jenis pariwisata, yaitu:
1. Pariwisata menikmati perjalanan (pleasure tourism).
Bentuk pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang meninggalkan
tempat tinggalnya untuk berlibur, untuk mencari udara segar yang baru,
untuk memenuhi kehendak ingin tahunya, untuk mengendorkan
ketegangan sarafnya, untuk melihat sesuatu yang baru, untuk menikmati
keindahan alam, untuk mengetahui hikayat rakyat setempat, untuk
mendapatkan ketenangan dan kedamaian di daerah luar, untuk menikmati
hiburan di kota-kota besar, atau untuk ikut serta dalam keramaian pusat-
pusat pariwisata.
2. Pariwisata rekreasi (recreation tourism).
Jenis pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang menghendaki
pemanfaatan hari-hari liburnya untuk beristirahat, untuk memulihkan
kembali kesegaran jasmani dan rohaninya, yang ingin menyegarkan
kondisi yang dialami dari keletihan dan kelelahannya.
3. Pariwisata kebudayaan (cultural tourism).
Jenis ini ditandai adanya rangkaian motivasi, seperti keinginan mengetahui
lebih jauh dan belajar di pusat-pusat pengajaran dan riset, untuk
mempelajari adat istiadat, kelembagaan, dan cara hidup rakyat negeri lain,
untuk mengunjungi monumen bersejarah, peninggalan masa lalu atau
sebaliknya. Penemuan-penemuan besar masa kini, pusat-pusat kesenian,
pusat-pusat keagamaan, atau juga untuk ikut serta dalam festival-festival
seni musik, teater rakyat, dan lain-lain.
4. Pariwisata olah raga (sport tourisnm).
Jenis ini dibagi dua kategori: (i) big sport events, yaitu peristiwa-peristiwa
olah raga besar seperti olimpic games, kejuaraan ski dunia, kejuaraan
sepak bola dunia, dan lain-lain yang menarik perhatian. Tidak hanya
atlitnya saja, tetapi juga ribuan penonton dan penggemarnya, (ii) sporting
tourisnm of the practitioners, yaitu dimana peristiwa olah raga bagi
mereka yang ingin berlatih dan mempraktekkan sendiri, seperti pendakian
gunung, berburu, memancing, arung jeram dan lain-lain. Negara/daerah
yang memiliki fasilitas atau tempat olah raga ini tentu dapat menarik
sejumlah penggemarnya.
5. Pariwisata untuk usaha dagang (business tourism).
Menurut beberapa ahli, perjalanan usaha ini adalah bentuk profesional
travel atau perjalanan karena ada kaitannya dengan pekerjaan atau jabatan.
Dalam istilah business tourism tersirat tidak hanya profesional trips yang
dilakukan kaum pengusaha atau industrialis. Tetapi juga mencakup semua
kunjungan ke pameran, kunjungan ke instalasi teknis yang bahkan menarik
orang-orang di luar profesi ini.
6. Pariwisata berkonvensi (convention tourism).
Peranan jenis pariwisata ini makin lama makin penting. Banyak negara
yang menyadari besarnya potensi ekonomi dari jenis pariwisata ini
65
sehingga mereka saling berlomba untuk menyiapkan dan mendirikan
bangunan-bangunan yang dilengkapi dengan fasilitas khusus.
Sementara itu ada pula pengelompokan wisatawan yang dilakukan dengan
berdasarkan kepada perilakunya seperti yang dikemukakan oleh Cohen
Swarbrooke dan Horner (1998:86, dalam Ismayanti, 2010:34-35) yang
mengidentifikasi empat kelompok wisatawan yaitu:
1. Wisatawan massal kelompok atau Organised Mass Tourist, dengan
karakteristik seperti:
a. Hanya mau membeli paket wisata ke daerah tujuan wisata terkenal
atau popular. Mereka memilih destinasi yang sudah berkembang dan
dipromosikan melalui media massa.
b. Memilih bepergian dengan rombongan atau kelompok dan dikelola
oleh pemimpin perjalanan serta didampingi pemandu wisata.
c. Melakukan perjalanan pergi dan pulang melalui jalan atau jalur
yang sama.
d. Memilih jadwal perjalanan yang tetap dan sedapat mungkin tidak
terjadi perubahan acara selama mereka berwisata.
2. Wisatawan Massal Individu atau Individual Mass Tourist, yang
karekteristiknya antara lain:
a. Membeli paket wisata yang memberikan kebebasan berwisata,
misalnya paket terbang-kemudi, yaitu paket wisata yang manakala
wisatawan melakukan perjalanan dengan pesawat komersial dan
mengemudian kendaraan sewaan sendiri.
b. Kreatif merancang paket wisata sesuai dengan selera dan emmbuat
keputusan perjalanan sendiri.
c. Mirip dengan wisatawan massal kelompok, ia cenderung memiliki
daerah tujuan wisata yang sudah dikenal, namun mereka juga masih
mau mencoba mendatangi daerah-daerah tujuan baru selama daerah
itu bukan merupakan daerah asing.
d. Bergantung pada ketersediaan fasilitas dan pelayanan yang
ditawarkan oleh usaha wisata.
e. Masih berada dalam lingkungan gelembung. Hal ini yang membuat
wisatwan dalam kelompok ini memiliki pengalaman wisata yang
terbatas.
3. Penjelajah atau explorer.
Bagi wisatawan dalam kelompok ini, ia akan selalu membuat
perencanaan perjalanan sendiri. Jika kesulitan, ia tidak ragu bertanya
kepada biro perjalanan dan sumber informasi lain. Kelompok ini juga
senang melakukan sosialisasi dengan masyarkat setempat, namun
tetap mengedepankan kenyamanan serta keamanan, walaupun tingkat
pelayanan yang mereka harapkan tidaklah harus mewah dan ekslusif.
66
4. Petualang atau Drifter.
Wisatawan jenis ini selalu mencoba dapat dilingkungan asing dan
baru. Malahan ia akan merasa senang jika dianggap sebagai bagian
dari masyarakat setempat. Wisatawan jenis ini tidak merencanakan
perjalanannya dalam artian tidak memesan kamar hotel, tiket pesawat
terbang, tetapi dengan langsung mendatangi hotel serta bandara guna
mendapatkannya. Bagi kelompok ini akan sangat senang mengunjungi
tempat-tempat yang jauh, serta menyenangi kenikmatan menginap di
rumah penduduk ketimbang di hotel serta makan di warung dari pada
di restoran.
2.1.3.2. Sistem Pariwisata
Pengertian sistem menurut hakekatnya oleh Jordan (1981, dalam Leiper,
1990:21) dinyatakan sebagai :
“We call a thing a system when we wish to express the fact that the thing is
percieved/concieved as consisting of a set of elements, of parts, that are
connected to each other by at least one distinguishing principle”.
Sementara itu Bertanffy (1972, dalam Leiper, 1990:21) mendifinisikan sistem
sebagai : “ A system may be defined as a set of elements standing in interrelation
among themselves and with the environtment”.
Cara berfikir sistem dalam pariwisata dapat diartikan adalah melihat
pariwisata sebagai suatu aktivitas yang kompleks, yang dapat dipandang sebagai
suatu sistem besar, yang mempunyai berbagai komponen, seperti ekonomi,
ekologi, sosial, politik, budaya dan seterusnya. Dengan melihat pariwisata sebagai
sebuah sistem maka analisis tentang berbagai aspek pariwisata tidak dapat
dilepaskan dan memiliki keterhubungan dengan subsistem yang lain seperti
politik, ekonomi, sosial, budaya dan seterusnya, dalam hubungan yang memiliki
saling ketergantungan dan keterhubungan (Pitana dan Diarta, 2009:56-57).
Dengan demikian adanya perubahan pada salah satu sub sistem akan berikibat
67
pada subsistem yang lain sebagaimana yang dinyatakan oleh Mill dan Morrison
(1985:xix) bahwa pariwisata adalah sistem dari berbagai elemen yang tersusun
seperti sarang laba-laba: “ Like spider’s web-touch one part of it and
reverberations will be felt thoughout”. Selanjutnya menurut Mill dan Morrison,
sistem pariwisata terdiri dari empat bagian yaitu: pasar; perjalanan; destinasi; dan
pemasaran.
Menurut Leiper (1990:22-23) elemen-elemen dari sebuah sistem
pariwisata yang sederhana menyangkut sebuah daerah atau negara asal wisatawan,
sebuah daerah atau negara tujuan wisata, dan sebuah tempat transit, serta sebuah
generator yang membalik proses tersebut sebagaimana yang terlihat pada
gambar.2.1. Terlihat ada lima elemen pokok yaitu traveler-genarating region,
departing traveler, transit route region, tourist destination region, dan returning
traveler. Namun demikian inti dari kelima elemen tadi sebenarnya hanya
menyangkut tiga hal pokok saja yaitu elemen wisatawan, tiga elemen georagrafis
(gabungan dari travel generator, transit route, dan tourist destination) dan elemen
industri pariwisata).
Gambar.2.1. Model Sederhana Sistem Pariwisata Leiper
(Pitana, 2009:58)
68
Sistem kepariwisataan dapat pula digambarkan sebagai keterkaitan antara
faktor permintaan dan faktor penawaran (WTO, 1994:5). Faktor permintaan
terdiri dari pasar wisata internasional, pasar wisata dalam negeri, dan masyarakat
pengguna atraksi wisata, pelayanan dan fasilitas. Sedangkan faktor penawaran
terdiri dari atraksi dan dan kegiatan, akomodasi, fasilitas dan pelayanan lainnya,
transportasi, infrastruktur lainnya, elemen-elemen kelembagaan.
FAKTOR PERMINTAAN FAKTOR PENAWARAN
- Pasar pariwisata internasional
- Pasar pariwisata domestik
- Masyarakat pengguna atraksi
pariwisata
- Atraksi dan kegiatan
- Akomodasi
- Fasilitas dan pelayanan pariwisata
- Transportasi
- Infrastruktur
- Elemen kelembagaan
Gambar.2.2. Sistim Pariwisata (WTO, 1994:5)
Menurut WTO , (1994:6) Efektifitas pembangunan, operasionalisasi dan
manajemen pariwisata memerlukan beberapa unsur-unsur kelembagaan seperti:
Struktur organisasi, terutama dinas pariwisata, dan asosiasi sektor
swasta yang terkait seperti asosiasi hotel.
Peraturan dan produk hukum yang terkait dengan kepariwisataan, seperti persyaratan standar dan perizinan bagi hotel dan biro perjalanan
wisata.
Program pendidikan dan pelatihan, dan lembaga pelatihan untuk menyiapkan tenaga-tenaga yang bekerja efektif di bidang pariwisata.
Ketersediaan dana sebagai modal untuk mengembangkan atraksi
wisata, fasilitas layanan dan infrastruktur, serta mekanisme untuk
menarik investasi.
Strategi pemasaran dan program promosi untuk menginformasikan tentang negara atau daerah yang akan dikunjungi , serta fasilitas
informasi dan layanan yang ada di tempat wisata.
Fasilitas perjalanan dan imigrasi , bea cukai, dan fasilitas serta pelayanan di pintu masuk dan pintu keluar wisatawan.
Menurut Inskeep (1991:38-39) dalam kegiatan pariwisata unsur-unsur
69
yang dapat dikembangkan berupa :
(1) Atraksi dan aktivitas wisata yaitu meliputi alam, sosial, budaya dan
kenampakan khusus di suatu wilayah yang dapat menarik wisatawan
untuk berkunjung;
(2) Akomodasi, berupa hotel dan fasilitas akomodasi lainnya
berhubungan dengan pelayanan menginap selama dalam perjalanan;
(3) Fasilitas dan pelayanan lainnya, termasuk di dalamnya agen
perjalanan, biro perjalanan, restoran dan tempat pelayanan makan
lain; toko cinderamata, bank, pusat informasi, salon, fasilitas
kesehatan, keamanan, polisi, dan pemadam kebakaran;
(4) Transportasi merupakan akses masuknya ke suatu negara , region atau
daerah. Transportasi lokal menjadi sistem penghubung antara objek
wisata dengan objek yang lainnya, antar kawasan wisata dan antara
daerah asal dengan daerah tujuan;
(5) Infrastruktur lainnya, pemasok air bersih, listrik, pembuangan limbah,
telepon, radio;
(6) Kelembagaan, diperlukan untuk mengembangkan, mengelola,
memasarkan dan mempromosikan program, aturan-aturan, struktur
organisasi, sistem kontrol dan kebijakan investasi.
Gambar 2.3.
Komponen Inti Pengembangan Pariwisata (Inskeep, 1991:39)
Selain komponen supply factor yang sangat mempengaruhi
pengembangan suatu kawasan wisata, Gunn (2002:59-68), mengemukakan bahwa
70
inti dari sistem kepariwisataan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal.
Perencanaan pariwisata tidak semata-mata hanya terkait pada inti fungsi sistem
pariwisata saja tetapi ada banyak faktor luar yang sangat besar pengaruhnya
terhadap pengembangan pariwisata.
Faktor-faktor luar yang sangat berperan bagi keberhasilan pengembangan
pariwisata adalah : (1) Sumberdaya Alam; (2) Sumber Daya Budaya; (3)
Kewiraswastaan; (4) Pendanaan; (5) Tenaga Kerja; (6) Kompetisi; (7)
Masyarakat; (8) Kebijakan Pemerintah Daerah dan; (9) Organisasi dan
Kepemimpinan.
Gambar 2.4. Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Suatu
Kawasan Wisata, (Gunn, 2002:59)
Menurut Mill (2000:26), Tachjan (2005:127), terdapat empat dimensi
utama pariwisata yaitu: atraksi, fasilitas, transportasi, dan keramahtamahan.
Atraksi menurut Mill, merupakan sumber-sumber alam, budaya, etnisitas,
Organization Leadership
Leadership
Finance Labor Entrepreneurship
Comunity
Comptetition
Function Tourism
System
Cultural resources Resources
Natural Resources Governmental Policy
71
dan hiburan, sedangkan menurut Spillane (1994:64) atraksi merupakan keindahan
alam, iklim atau cuaca, kebudayaan, sejarah, ethnicity-sifat kesukuan, dan
accesibility-kemampuan atau kemudahan berjalan di tempat tertentu. Menurut
Yoeti (2008:102) atraksi wisata berbeda dengan objek wisata. Jika atraksi wisata
merupakan sesuatu yang dapat dilihat atau disaksikan melalui suatu pertunjukan
(shows) yang khusus diselenggarakan untuk para wisatawan. Sedangkan objek
wisata (tourist objects), adalah objek yang wisata dapat dinikmati oleh wisatawan
tanpa membayar. Selain itu atraksi harus dipersiapkan terlebih dahulu untuk
menyaksikannya, sedangkan objek wisata dapat dinikmati tanpa harus
dipersiapkan terlebih dahulu seperti, danau, pantai, gunung, sungai, monumen dan
lain-lain.
Inskeep (1991:77-90) membuat klasifikasi atraksi menjadi beberapa
katagori yaitu:
1. Natural attractions, yang didasari pada kondisi keadaan lingkungan
alam seperti: iklim, seindahan alam, pantai dan kawasan maritim, flora dan
fauna, kondisi lingkungan yang spesial seperti puncak gunung, formasi
geologi, gua, air panas, taman konservasi, dan pariwisata kesehatan.
2. Cultural attractions, didasarkan pada aktifitas manusia seperti: situs
arkeologi, sejarah dan kebudayaan, bentuk-bentuk kebudayaan yang
bersifat khusus, kesenian dan kerajinan tangan, aktifitas ekonomi yang
menarik, kawasan pedesaan yang menarik, museum dan fasilitas
kebudayaan, festival kebudayaan, keramahtamahan.
3. Special Types of attractions, merupakan atraksi yang dikreasi atau
diciptakan khusus, seperti taman hiburan, taman bermain, sirkus, pusat
perbelanjaan, rapat-rapat, konferensi dan konfensi, kegiatan-kegiatan
khusus seperti perlombaan dan pertandingan olahraga, pameran dan
pertunjukan, pagelaran, perjudian kasino, hiburan, rekreasi dan olahraga.
Fasilitas, merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris, facility
yang bermula dari bahasa Latin yaitu facilitas asal kata facilis. Dari kata facilitas
diturunkan ke dalam kata easiness yang berarti kemudahan, sedangkan dari kata
72
facilis diturunkan kata easy yang berarti mudah. Dengan demikian fasilitas dapat
diartikan sebagai mudah atau kemudahan (Tachjan: 2005:128). Dengan demikian
fasilitas adalah merupakan kemudahan-kemudahan atau hal-hal yang dapat
mempermudah, yang dapat dinikmati atau dipergunakan oleh pengunjung atau
wisatawan di suatu destinasi wisata yang dapat (Spillane,1994:69, Mill, 2000:30)
berupa:
1. Sistem pengairan
2. Jaringan komunikasi
3. Fasilitas kesehatan
4. Terminal-terminal angkutan
5. Sumber energi dan listrik
6. Sistem pembuangan limbah dan air
7. Jalan-jalan raya
8. Sistem keamanan
Transportasi, kegiatan pariwisata pada umumnya adalah melakukan
kegiatan di luar rutinitasnya sehari-hari, karenanya melakukan sebuah perjalanan
merupakan bagian yang hampir tidak terpisahkan dari kegiatan pariwisata. Dalam
melakukan perjalanan ke tempat-tempat tersebut diperlukan moda angkutan yang
aman nyaman. Kebutuhan akan adanya transportasi dalam pariwisata tersebut
menyebabkan timbulnya hubungan yang sangat penting antara kedua hal ini
(Tachjan, 2005:131). Peningkatan fasilitas pariwisata merangsang pariwisata itu
sendiri, sementara itu ekspansi pariwisata meningkatkan kebutuhan akan
transportasi yang lebih baik. Dikenal adanya tiga macam transportasi yang lazim
digunakan dalam menunjang kegiatan para wisatawan yaitu transportasi udara,
transportasi laut, dan transportasi darat.
Keramahtamahan, salah satu hal yang penting dalam sebuah destinasi
73
pariwisata adalah keramahtamahan yang dirasakan oleh wisatawan ketika
mengunjungi suatu tempat, mulai dari petugas di tempat –tempat publik, para
karyawan, dan penduduk yang dijumpai selama mereka berwisata. Citra
pengunjung terhadap keramahtamahan penduduk merupakan salah satu faktor
penting dalam pengambilan keputausan untuk kembali berkunjung ke tempat yang
sama (Hoffman dan Low dalam Tachjan, 2005:131). Hal tersebut juga dapat
dilihat dari keramahtamahan masyarakat Bali yang dikagumi oleh para wisatawan
asing, yang menjadi salah satu alasan kenapa orang mengunjungi Bali.
Keramahtamahan masyarakat Bali berdasarkan penelitian diakui oleh 65,11%
wisman (Pitana dan Gayatri, 2005:77).
2.1.3.3. Rencana Induk Pembangunan Pariwisata
Pembangunan pariwisata dalam suatu kawasan biasanya mengalami empat
tahapan (Fandeli, 2001:170). Tahap pertama yang merupakan awal dari
pengembangan ditandai dengan tumbuhnya jumlah wisatawan, tetapi kurang
signifikan. Di tahap kedua, jumlah wisatawan meningkat tajam. Perkembangan
jumlah wisatawan ini kemudian melambat atau boleh dikatakan berhenti pada
tahap ketiga. Pertumbuhan yang melambat ini seirang dengan terjadinya
kerusakan sumberdaya alam alam dan lingkungan hidup. Terjadinya jumlah
wisatawan yang menurun karena mulai terjadinya kejenuhan pasar wisata akibat
ketidakpuasan wisatawan terhadap pelayanan dan kualitas destinasi. Hal ini
bersamaan dengan mulai terjadinya kerusakan sumberdaya alam. Kondisi seperti
ini disebut dengan daya dukung lingkungan pariwisata telah terlampaui. Pada saat
74
ini yang disebut dengan tahap keempat, maka upaya pembinaan pariwisata sangat
diperlukan.
Agar pembangunan pariwisata dilakukan sesuai dengan daya dukung yang
ada termasuk di dalamnya aspek kesiapan masyarakat di destinasi wisata, serta di
sisi yang lain menjadikannya sebagai daerah yang memiliki daya tarik sehingga
menjadi destinasi wisata yang berkualitas, maka perencanaan pengembangan
pariwisata perlu dilakukan dengan dengan lebih seksama.
Di dalam melaksanakan perencanaan pengembangan pariwisata dapat
dilaksanakan secara bertahap mulai dari perencanaan makro ke skala mikro.
Secara berurutan perencanaan yang prosesnya top down planning akan lebih
sempurna bila dikombinasikan dengan perencanaan dari bawah (bottom up
planning).
Pembangunan kepariwisataan di Indonesia seperti yang termuat dalam
Undang-undang tentang Kepariwisataan( Nomor 10 tahun 2009), dilakukan
dengan berdasarkan asas manfaat; kekeluargaan; adil dan merata; keseimbangan;
kemandirian; kelestarian; partisipatif; berkelanjutan; demokratis; kesetaraan dan
kesatuan. Dalam (pasal 6) Undang-undang Kepariwisataan itu dinyatakan bahwa
“Pembangunan kepariwisataan.... diwujudkan melalui pelaksanaan rencana
pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan,
dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata”.
Pembangunan kepariwisataan tersebut dilakukan dengan berdasarkan
rencana induk pembangunan kepariwisataan yang terdiri dari rencana induk
pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk kepariwisataan provinsi
75
dan rencana induk kepariwisataan kabupaten/kota. Rencana induk pembangunan
kepariwisataan nasional dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) maka
rencana induk kepariwisataan provinsi dan kabupaten/kota dengan Peraturan
daerah (Perda).
2.2. Kerangka Pemikiran
Dalam upaya melakukan pengembangan pariwisata pemerintah memiliki
peranan sentral yang antara lain diwujudkan dalam bentuk meningkatkan
bergeraknya sektor dan kegiatan yang dapat mendukung serta menciptakan
suasana yang kondusif bagi berjalannya industri kepariwisataan di suatu daerah
atau kawasan pariwisata.
Langkah awal dalam menuju kondisi tersebut dapat dilakukan dengan
meletakan dasar bagi rencana pengembangan seperti apa yang akan dilakukan
yang biasanya tertuang dalam cetak biru atau master plan rencana kepariwisataan
yang ditetapkan dalam peraturan perundangan mulai dari bentuk undang-undang
sampai kepada Keputusan Kepala Daerah.
Pilihan untuk mendorong berkembangnya kepariwisataan dapat timbul
karena diyakini akan adanya kemanfaatan dari berkembangnya pariwisata. Secara
teoritis maka dapat dilihat bahwa manfaat dan dampak pembangunan pariwisata
yang ditinjau setidaknya dari empat sudut pandang yang meliputi manfaat
ekonomi, manfaat sosial budaya, manfaat dalam berbangsa dan bernegara, serta
manfaat bagi lingkungan (Sedarmayanti, 2005:6-7). Menurutnya dari segi
ekonomi (kesejahteraan) antara lain dapat dilihat dalam penerimaan devisa,
76
kesempatan berusaha, terbukanya lapangan kerja, meningkatnya pendapatan
masyarakat dan pemerintah, serta mendorong pembangunan daerah. Dari segi
sosial budaya manfaat yang didapat adalah pelestarian adat istiadat, meningkatkan
kecerdasan masyarakat, meningkatkan kesehatan dan kesegaran jasmani ataupun
rohani, dan mengurangi konflik sosial. Manfaat dalam berbangsa dan bernegara
antara lain mempererat persatuan dan kesatuan, menumbuhkan rasa memiliki,
keinginan untuk memelihara dan mempertahankan negara yang berujung pada
rasa cinta pada tanah air, serta memelihara hubungan baik internasional dalam hal
pengembangan pariwisata. Sedangkan manfaat bagi lingkungan dimana
wisatawan biasanya mencari kondisi dan tempat yang tenang, bersih dan nyaman
maka pengembangan pariwisata juga dapat menjadi salah satu cara dalam
melestarikan lingkungan.
Sementara itu menurut Yoeti (2008, 77-78) terdapat tiga alasan mengapa
dikembangkannya pariwisata pada suatu daerah baik secara lokal, regional
maupun internasional. Pertama, yang disebutnya sebagai alasan utama sangat erat
kaitannya dengan pembangunan perekonomian daerah atau negara tersebut.
Alasan kedua menurutnya ialah, pengembangan pariwisata lebih banyak bersifat
non ekonomis, seperti memelihara adat istiadat, bangunan-bangunan kuno,
kesenian daerah serta membuat suasana yang nyaman, bersih dan aman. Terakhir
atau yang ketiga, adalah untuk menghilangkan kepicikan berfikir, dan
mengurangi salah pengertian.
Sedangkan menurut Vorlaufer (1996, dalam Damanik, 2010:2) juga ada
tiga alasan utama Kebijakan pembangunan pariwisata dilakukan oleh pemerintah
77
maupun pemerintah daerah antara lain; pertama, karena adanya keyakinan bahwa
pembangunan pariwisata mampu meningkatkan devisa, kesempatan kerja; kedua,
meredistribusi pendapatan, menyeimbangkan pembangunan inter-regional; ketiga,
menciptakan diversifikasi aktivitas ekonomi dan kelembagaan baru.
Berdasarkan berbagai kajian yang dilakukan para ahli dapat disimpulkan
bahwa sumbangan pariwisata yang secara signifikan pada perkembangan ekonomi
suatu negara atau daerah tampak dalam tiga bentuk utama yaitu: perluasan
kesempatan kerja, peningkatan pendapatan (devisa), dan pemerataan
pembangunan antar wilayah. Besaran dampak tersebut bergantung kepada tingkat
perkembangan pariwisata. (de Kadt, 1997; Mathieson dan Wall,1982; Luebben,
1995; Max, 2004: dalam Damanik dkk, 2005:18).
Sektor pariwisata juga terbukti telah memberikan sumbangannya sebagai
katup pengaman di saat krisis terjadi sekaligus memberikan dampak ganda
(multiplier effect) yang cukup besar pada pertumbuhan sektor-sektor lain.
Perkembangan inipun dapat menghidupkan banyak usaha kecil sektor informal
yang terkait dengan kegiatan wisata, antara lain asongan, warung jasa pemandu
wisata dan sebagainya (Ardika dalam Damanik dkk, 2005:36).
Pengaturan yang menyangkut arahan dan kebijakan mengenai
bagaimana melakukan pembangunan pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung termasuk di dalamnya termuat dalam Rencana Induk Perencanaan
Pariwisata Daerah (RIPPDA) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2007-2013
dan Surat Keputusan Gubernur (Nomor: 188.44/299/III/2008, tanggal 28 Mei
2008), tentang Pembentukan Tim Percepatan Persiapan Visit Babel Archi 2010.
78
Untuk menjalankan dan melaksanakan berbagai kebijakan di bidang
kepariwisataan tersebut khususnya menyangkut pariwisata di tingkat daerah
dilakukan dengan pemahaman bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah( Nomor
38 tahun 2007), pemerintah daerah juga mempunyai bagian urusan yang harus
dilaksanakan, baik oleh pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota. Dengan
dasar ini maka di Kepulauan Bangka Belitung telah diambil langkah-langkah
penting dalam mendorong percepatan pembangunan di bidang pariwisata.
Perkembangan pariwisata juga berkaitan erat dengan perkembangan
pembangunan pada umumnya (Sukarsa, 1999:59) bahwa daerah yang berkembang
pariwisatanya juga akan mengembangkan berbagai atraksi, serta berbagai fasilitas
dan layanan yang diadakan untuk merespon kebutuhan pasar. Daerah atau resort
pariwisata juga akan menuju suatu siklus evolusi yang sama dengan siklus hidup
sebuah produk.
Sementara itu di sisi yang lain, keberhasilan dalam menjalankan sebuah
kebijakan publik berupa pembangunan di bidang pariwisata di suatu daerah akan
sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh bagaimana kerjasama dan koordinasi
antar organisasi terkait yang berhubungan dengan sektor pariwisata di daerah.
Penelitian ini akan memfokuskan pada bagaimana hubungan antar
organisasi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dikaitkan konsep koordinasi
organisasi dengan pengembangan pariwisata daerah.
Selanjutnya, gambaran pemikiran yang akan dipergunakan dalam
penelitian ini adalah ; dari aspek hubungan antar organisasi yang ikut menangani
kepariwisataan seperti yang digambarkan dalam Rencana Induk Pengembangan
79
Pariwisata Daerah (RIPPDA) yang akan dilihat dalam dimensi karakter jaringan
dan strategi koordinasi antar organisasi.
Alter dan Hage (1993, dalam Alexander, 1995:40) menyatakan bahwa
koordinasi yang efektif adalah masalah hubungan antara analisis strategi (metode
yang dipilih), dan jenis jaringan antar organisasi yang terlibat. Karena itu maka
penelitian ini melihat koodinasi dalam pembangunan pariwisata di Kepulauan
Bangka Belitung melalui bagaimana aspek strategi koordinasi yang dilakukan
berdasarkan dimensi waktu, serta dalam kondisi atau karakter jaringan antar
organisasi yang bagaimana pula hal tersebut berlangsung. Koordinasi
berdasarkan dimensi waktu terdiri dari Anticipatory Coordination atau koordinasi
antisipatif yaitu koordinasi berdasarkan pada perencanaan, sedangkan Adaptive
Coordination atau koordinasi adaptif adalah didasarkan pada pelaksanaan,
pemantauan, umpan balik, dan pengendalian (Alexander,1995:36, 44 dan 323).
Pendekatan koordinasi berdasarkan dimensi waktu ini juga akan dilihat dengan
strategi manajemen jaringan dalam logika strukturasi seperti yang dikemukakan
Klijn dan Teisman (1999:106 dalam Pratikno, 2008:14).
80
Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian
KOORDINASI PEMBANGUNAN PARIWISATA
ORGANISASI MASYARAKAT
DAERAH PARI-
WISATA UNGGUL
(Sumber: Diolah dari Alexander, 1995:36:40:44:323,
Klijn dan Teisman (1999:106 dalam Pratikno, 2008:14)
KARAKTER JARINGAN
ANTAR ORGANISASI
-Interdepandence -Size
-Structure -Complexity -Autonomy
-Mission ORGANISASI SWASTA
STRATEGI KOORDINASI
(Dimensi Waktu)
- Koordinasi Perencanaan - Koordinasi
Pelaksanaan, Pemantauan,
umpan balik & Pengendalian
SKPD
STRATEGI MANAJEMEN JARINGAN