Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
29
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Ada beberapa alasan yang menyebabkan kajian pustaka itu dipandang
penting dilakukan dalam suatu penelitian. Beberapa alasan itu, antara lain
bahwa kajian pustaka merupakan salah satu langkah dalam melakukan
penelitian untuk mendapatkan bahan-bahan pembanding atau sumber rujukan
yang valid dalam melakukan penelitian. Ada dua macam pustaka yang
digunakan dalam kajian pustaka, yaitu pustaka hasil penelitian dan pustaka
konseptual. Pustaka hasil penelitian dipandang sebagai pustaka yang paling
valid sehingga dalam suatu penelitian sedapat mungkin diupayakan agar
didapatkan hasil penelitian terbaru terkait dengan penelitian yang akan
dilaksanakan. Kajian pustaka hasil penelitian terbaru, baik yang dilakukan
oleh orang lain maupun diri sendiri, dianggap penting diacu atau dirujuk
karena hasil penelitian terbaru itu dipercaya memuat data-data mutahir. Itulah
antara lain alasan menjadikan hasil penelitian orang lain atau hasil penelitian
sendiri yang terbaru dan relevan dengan penelitian yang akan dilaksanakan
layak dirujuk.
Kajian pustaka juga dipandang penting dilakukan untuk menghindari
terjadinya pengulangan topik bahasan penelitian yang sama, baik dilakukan
oleh peneliti yang sama maupun peneliti yang lainnya. Kajian pustaka juga
dipandang penting karena dalam kajian tersebut sekaligus akan ditemukan
30
persamaan dan perbedaan antara penelitian yang sedang dilakukan dan
penelitian sebelumnya. Dari hasil kajian pustaka yang dilakukan, maka hasil
penelitian terdahulu yang relevan dapat dipakai sebagai acuan dan
pembanding dalam menganalisis data pada penelitian yang sedang dilakukan.
Terkait dengan penelitian tentang “Pemertahanan Agama Hindu di Desa Adat
Kuta” dikaji beberapa pustaka sebagaimana uraian di bawah ini.
Rawat (2010) dalam disertasi berjudul “Bali Arts Festival as a Tourist
Attracion: Retrospect and Prospect”, Department of Philosophy, Burdwan
University, West Bengal, India, ia menyimpulkan ada sebelas point simpulan
yang berkaitan dengan Pesta Kesenian Bali dalam hubungannya dengan
Pulau Bali sebagai tempat tujuan wisata utama wilayah di Indonesia. Di
antara sebelas simpulan tersebut ada tiga poin penting simpulan Rawat yang
terkait dengan penelitian ini, yaitu poin 3, 4, dan 5, yaitu sebagai berikut.
The Bali Arts Festival offers all sorts of products (e.g. arts parades
and customary, arts performance, arts competitions, arts exhibitions
and cultural discussion), each entire to a particular regencies and
municipality in Bali. This diversity in unity provides the necessary
ingredient to spice the uniqueness of the Bali Arts Festival locally,
both national and international.
Bali Arts Festival is a unique element of Indonesia especially the
Island of Bali tourism product, the originality and the variety of
different arts form provides a special experience for the tourists and a
powerful promotional tool for both national and international
marketing.
Since the photos and films presenting Bali Arts Festival, objects and
scenes of traditional events play an important role in the visual
representation of Indonesia especially the Island of Bali, tourist
develop their expectations accordingly before their trip. Therefore,
the animated and inanimate forms of Bali Arts Festival remain the
significant elements of the tourist supply because Bali develops
cultural tourism (Rawat, 2010:322).
31
Penelitian Rawat (2010) berbeda dengan penelitian ini. Rawat
memfokuskan penelitian pada Pesta Kesenian Bali yang memiliki daya tarik
dan pengaruh sangat signifikan terhadap bisnis pariwisata, sedangkan
penelitian ini terfokus pada upaya pemertahan agama Hindu dari pengaruh
globalisasi yang diakibatkan oleh dunia pariwisata Bali. Persamaan penelitian
Rawat dengan penelitian ini adalah sama-sama terkait dengan aktivitas serta
efek positif dan negatifnya. Rawat hanya melihat aspek positif Pesta
Kesenian Bali sebagai alat untuk menggaet para wisatawan sebanyak
mungkin datang ke Bali, sedangkan penelitian ini mengkaji efek positif dan
negatif dunia pariwisata dalam hubungannya dengan pemertahanan agama
Hindu.
Kontribusi penting penelitian Rawat terhadap penelitian ini adalah
bahwa Bali benar-benar sebagai tempat yang lazim disebut dengan sebutan
kampung global atau kampung tourist yang didatangi dan ditempati oleh
berbagai suku bangsa dari seluruh dunia. Situasi dan kondisi seperti ini akan
mendatangkan berbagai pengaruh, baik pengaruh positif maupun pengaruh
negatif. Pengaruh positif yaitu adanya peningkatan pendapatan daerah yang
berdampak pada kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan pihak yang
berbisnis di bidang pariwisata. Sebaliknya, pengaruh negatif adalah
terjadinya perubahan cara hidup atau pola hidup atau juga gaya hidup yang
seakan-akan semakin meninggalkan nilai-nilai budaya dan religiusitas.
Dalam hal tersebut penerapan ajaran agama Hindu sebagai napas pariwisata
32
Bali akan mendapat tantangan luar biasa dari hari ke hari dalam jangka
panjang.
Ardika dkk. (2003) dalam laporan penelitian yang berjudul “Dampak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya Tragedi Peledakan Bom terhadap Masayarakat
Kuta dan Sekitarnya” menguraikan bahwa keberadaan sekaa-sekaa, aktivitas
kesenian, dan keagamaan setelah tragedi bom 12 Oktober 2002 tetap
terlaksana seperti sediakala. Ardika dkk. tidak mengungkap keterkaitan
sekaa-sekaa dan aktivitas kesenian sebagai strategi dan upaya pemertahanan
agama Hindu di Kuta walaupun diperoleh gambaran dan informasi bahwa
kegiatan sekaa-sekaa dan kesenian yang tumbuh dibina oleh Desa Adat Kuta.
Sementara penelitian ini mengasumsikan bahwa pembinaan sekaa-sekaa oleh
desa adat merupakan salah satu upaya tak langsung dari strategi
pemertahanan agama Hindu dan tradisi keagamaan di Desa Adat Kuta
mengingat kehidupan sekaa-sekaa tersebut dinapasi oleh agama Hindu.
Penelitian (tesis) Prameswari (2005) pada Program Magister Kajian
Pariwisata Universitas Udayana dengan judul “Faktor-Faktor Pendorong dan
Penarik Wisatawan Memilih Bali sebagai Daerah Tujuan Wisata”
menemukan bahwa budaya masyarakat yang unik merupakan faktor dominan
yang mendorong dan menarik wisatawan memilih Bali sebagai daerah tujuan
wisata. Dapat menyaksikan keunikan budaya dan mengikuti tradisi seperti
ritual keagamaan masyarakat lokal menjadi kebanggaan tersendiri bagi
wisatawan karena hal tersebut berkaitan dengan citra diri, status, dan
pengembangan pribadi ketika mereka kembali ke negaranya setelah berlibur
33
di Bali. Mereka akan dikagumi oleh masyarakat lingkungannya jika bisa
bercerita banyak tentang berbagai hal yang dilihat dan dilakukan selama
berwisata di Bali. Prameswari tidak meneliti lebih jauh tentang bagaimana
strategi krama Desa Adat Kuta melestarikan modal budaya itu menjadi daya
tarik wisata. Dengan demikian, relevansi hasil penelitiannya dengan
penelitian ini adalah hanya memberikan penegasan tentang modal budaya
menjadi daya tarik wisata,
Hasil penelitian MacRae (1997) berjudul “Economy, Ritual and
History in Balinese Tourist Town”. Hasil penelitian yang dilakukan di
kawasan wisata Ubud menunjukkan bahwa berkat berkembangnya
perekonomian masyarakat sebagai dampak positif pariwisata aktivitas
keberagamaan atau ritual di Ubud tampak semakin meriah. Tempat suci ( the
niskala landscape), seperti pura, merajan/sanggah menjadi semakin terawat
dan bangunannya sangat bagus.
MacRae menyatakan “pariwisata dapat mendorong budaya mengalami
revitalisasi, konservasi, dan komodifikasi di samping sebagai sumber
(resource) untuk kepentingan pasar industri pariwisata itu sendiri dengan
memberikan kontribusi yang memadai”. Hal itu menunjukkan bahwa ada
korelasi antara pariwisata dan keberagamaan umat Hindu di Ubud. Hasil
penelitian tersebut dan pendapat MacRae tentang perkembangan pariwisata di
Bali memberikan inspirasi kepada peneliti untuk mendalami makna dan
dampak pemertahanan agama Hindu, baik bagi pembangunan maupun
perkembangan Desa Adat Kuta.
34
Sumadi (2010) dalam disertasi dengan judul “Modal Budaya sebagai
Dasar Pengembangan Pariwisata Desa Adat Kuta” melaporkan bahwa ritual--
ritual yang dilakukan di tempat-tempat terbuka sangat menarik bagi para
wisatawan. Penelitian Sumadi hanya mengungkap ketertarikan wisatawan
untuk menyaksikan prosesi ritual itu. Namun, tidak mengungkap faktor faktor
yang menyebabkan krama Desa Adat Kuta tetap melaksanakan ritual-ritual
itu yang merupakan bentuk pelestarian dan upaya pemertahanan agama
Hindu oleh krama Desa Adat Kuta. Sekalipun demikian, penelitian Sumadi
memberikan kontribusi kepada peneliti karena dalam laporan penelitiannya
juga diungkap sistem kerja dan strategi yang diterapkan oleh krama Desa
Adat Kuta untuk melaksanakan ritual agama.
Buku yang ditulis Picard (2006) dengan judul Bali Pariwisata Budaya
dan Budaya Pariwisata menguraikan interaksi orang Bali dengan wisatawan
dalam perkembangan pariwisata. Buku yang diterjemahkan oleh Jean
Couteau dan Warih Wisatsana dari judul aslinya “Bali: Tourisme Culturel et
Culture Touristique” ini dapat membuka wawasan untuk memahami dampak-
dampak konkret dari pelestarian tradisi keagamaan dan budaya terhadap
pengembangan pariwisata. Picard juga mengutip hasil penelitian McKean
(1973) yang menyatakan bahwa dalam perkembangan pariwisata di Bali
terjadi involusi budaya (cultural involution). Istilah cultural involution
dipinjam dari Clifford Geertz, yakni orang Bali ingin menjadi modern
bersamaan dengan melestarikan budayanya. Oleh karena itu, masyarakat Bali
memang membutuhkan uang para wisatawan yang menjadi wahana
35
modernisasi. Pernyataan McKean ini perlu diuji mengingat perubahan terus
terjadi seirama dengan dinamika perkembangan pariwisata global. Dalam
pariwisata budaya, para wisatawan tertarik terhadap manifestasi budaya
setempat, sementara masyarakat bersangkutan yang merupakan pelaku
industri pariwisata, yang sangat memerlukan dukungan wisatawan. Interaksi
antara wisatawan dan orang Bali meliputi interaksi langsung, baik secara
lisan atau melalui kegiatan bisnis maupun melalui presentasi produk budaya
kepada wisatawan asing dan wisatawan domestik dengan imbalan berupa
uang. Kedua belah pihak merasa diuntungkan karena wisatawan mendapatkan
pengalaman estetis yang tidak ternilai harganya, sedangkan orang Bali
sebagai pelaku budaya mendapatkan peningkatan penghasilan. Dengan
menyajikan produk budaya mereka kepada wisatawan, orang Bali dipertajam
jati diri budayanya, diperkuat posisinya, baik dalam tataran nasional
Indonesia maupun dunia. Picard belum mengkaji faktor-faktor yang
menyebabkan orang Bali khususnya krama Desa Adat Kuta selalu berinovasi
dalam kehidupan budaya dan terus berupaya melakukan pemertahanan agama
Hindu, termasuk strategi yang digunakannya. Kontribusinya terhadap
penelitian ini ialah menegaskan bahwa hubungan orang Bali dengan
wisatawan saling ketergantungan.
Putri Noviasih (2009) dalam skripsi berjudul “Resistensi Masyarakat
Hindu di Desa Adat Kuta terhadap Dampak Perkembangan Pariwisata”
mengungkap beberapa aspek resistensi krama Desa Adat Kuta yang
diupayakaan melalui bidang agama, seni budaya, sosial, dan ekonomi. Semua
36
itu dilakukan untuk mengantisipasi dampak negatif kepariwisataan di Kuta
dengan melibatkan lembaga sosial seperti banjar, sekaa teruna, sekaa
pesantian, dan sanggar seni. Di samping itu, juga melalui kerja sama dengan
instansi pemerintah di tingkat kelurahan dan kecamatan. Laporan penelitian
Noviasih tidak mengungkap pemertahanan agama Hindu dan tradisi
keagamaannya di Desa Adat Kuta dikaitkan dengan faktor-faktor penyebab
upaya yang diterapkan oleh krama Desa Adat Kuta. Di pihak lain penelitian
Noviasih juga memberikan kontribusi kepada peneliti karena menyinggung
keterlibatan lembaga banjar, sekaa teruna dan sekaa pesantian dalam
kegiatan sosial keagamaan dan seni budaya demi tetap eksisnya agama Hindu
di Desa Adat Kuta.
Kajian terhadap beberapa pustaka hasil penelitian telah dilakukan.
selanjutnya dilakukan kajian pustaka konseptual. Hal itu dipandang penting
karena Bali sebagai daerah dengan berbagai keunikan memiliki tata kelola
wilayah dan tatanan pengorganisasian masyarakatnya berbeda dari daerah
lainnya di Indonesia, terutama tatanan kemasyarakatan umat Hindu yang
diatur oleh dua jenis aturan. Aturan-aturan yang berkaitan dengan
ketatanegaraan umat Hindu tunduk pada peraturan dinas, sedangkan terkait
dengan adat istiadat Bali dan perilaku beragama, umat Hindu tunduk kepada
hukum adat yang dituangkan dalam bentuk awig-awig desa adat atau desa
pakraman.
Diketahui bahwa kehidupan masyarakat Bali dewasa ini sangat
bergantung pada kepariwisataan termasuk industri pariwisata. Sebaliknya,
37
industri pariwisata juga sangat bergantung pada budaya Bali, sebab tidak
akan ada pariwisata di Bali jika tidak ada budaya Bali. Atas dasar itu dalam
kajian pustaka ini dianggap penting juga kajian pustaka terhadap UU RI
Nomor 10, Tahun 2009 yang berkaitan dengan kepariwisataan untuk
mengontrol, menjaga, dan mengendalikan agar industri pariwisata itu tetap
memenuhi ketentuan peraturan yang berlaku dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat Bali.
Dalam UU RI No. 10, Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, khususnya
pada pasal 5 (Dinas Pariwisata Badung, 2013:93) disebutkan sebagai berikut.
“Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip (a) menjunjung
tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari
konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dengan
Tuhan Yang Maha Esa; hubungan antara manusia dengan sesama
manusia; dan hubungan antara manusia dengan lingkungan; (b)
menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan
lokal”.
Selain pasal 5 ayat tersebut juga yang berhubungan dengan pariwisata
di Bali adalah pasal 26 huruf a, yang menguraikan seperti di bawah ini.
“Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban menjaga dan menghormati
norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat setempat. Pada pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan “keunikan” adalah suatu keadaan atau hal yang
memiliki kekhususan/keistimewaan yang menjadi sasaran atau tujuan
kunjungan wisatawan, seperti relief candi, patung, dan rumah adat”.
Selain itu, juga pasal 61 UU No. 3, Tahun 1997 menguraikan sebagai berikut.
(1) Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak
masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara
turun-temurun. (2) Pengakuan hak-hak masyarakat adat, masyarakat
tradisional, dan kearifan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dijadikan acuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yang berkelanjutan.
38
UU RI No. 10, Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, khususnya pasal 5
secara langsung tidak memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian
ini. Namun, secara tidak langsung UU tersebut memberikan arah pada
pembangunan kepariwisataan yang menjamin kelestarian adat dan budaya
Bali yang menjadi napas pariwisata di Bali. Desa Adat Kuta sebagai bagian
dari wilayah Bali, bahkan menjadi jantung pariwisata Bali dewasa ini jika
tidak diatur dengan undang-undang, akan terjadi ketimpangan yang tidak
diharapkan oleh semua pihak.
Selain UU No.10, Tahun 2009, UU No.3, Tahun 1997 tentang
Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-
Kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah (Windia dkk.,
2003:137) penting juga diajukan pada bagian studi pustakan ini. Pada UU
No. 3, Tahun 1997 utamanya pada pasal 8 dinyatakan sebagai berikut.
“Lembaga adat berkedudukan sebagai wadah organisasi
permusyawaratan/ permufakatan kepala adat/ pemangku adat/ tetua
adat dan pemimpin/ pemuka-pemuka adat lainnya yang berada di luar
susunan organisasi pemerintah di Propinsi Dearah Tk. I, Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II, Kecamatan dan atau Desa/ Kelurahan”.
Pada pasal 9 Undang-Undang No. 3 Th. 1997 disebutkan lembaga adat
mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut.
(a) Mewakili masyarakat adat keluar, yakni dalam hal-hal yang
menyangkut dan mempengaruhi adat; (b) mengelola hak-hak adat dan/
atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf
hidup masyarakat ke arah yang lebih baik; (c) menyelesaikan
perselisih-an yang menyangkut perkara-perkara adat.
UU No. 10, Tahun 2009 dan UU No. 3, Tahun 1997 di atas tidak
memiliki persamaan dan perbedaan secara langsung dengan penelitian ini.
39
Namun, memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap penelitian ini, yaitu
kedua UU tersebut memberikan pedoman kepada masyarakat Bali utamanya
umat Hindu untuk melakukan upaya-upaya pemertahanan tradisi, adat dan
budaya Bali agar adat, dan budaya Bali yang bersumber dari agama Hindu
tetap lestari.
Mengingat Desa Adat Kuta menjadi bagian dari wilayah Provinsi Bali,
Desa Adat Kuta harus tunduk pada Peraturan Daerah (Perda) terkait dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009--2029 yang
ditetapkan oleh Gubernur Bali pada 28 Desember 2009. Upaya pemertahanan
masyarakat umat Hindu Desa Ada Kuta yang berbasis pada konsep tri hita
karana mendapat dukungan dari Peraturan Daerah Provinsi Bali ini yang juga
memuat tentang tri hita karana. Sebagaimana dituangkan dalam peraturan
tersebut, yaitu Bab I Bagian Pertama pada pasal 1 ayat (6) dinyatakan bahwa
tri hita karana adalah falsafah hidup masyarakat yang memuat tiga unsur
yang membangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia
dengan Tuhan; manusia dengan manusia; dan hubungan manusia dengan
lingkungan yang menjadi sumber kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan
bagi kehidupan manusia.
Upaya pemertahanan masayarakat Desa Adat Kuta juga sejalan dengan
peraturan di atas utamanya sebagaimana dinyatakan dalam Bab I Bagian
Kedua pasal 2 tentang Asas RT/RW, yaitu bahwa RT/RW didasarkan asas
berikut.
40
(a) tri hita karana, (b) sad kertih, (c) keterpaduan, (d) keserasian,
keselarasan dan keseimbangan, (e) keberlanjutan, (f) keberdayagunaan
dan keberhasilgunaan, (g) keterbukaan (h) kebersamaan dan kemitraan
(i) perlindungan kepentingan umum (j) kepastian hukum dan keadilan,
dan (k) akuntabilitas.
Peraturan Daerah Provinsi Bali sebagaimana uraian di atas tidak
memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Namun, memiliki
kontribusi sangat signifikan terhadap penelitian ini sebab upaya-upaya
pemertahanan tradisi, adat, dan budaya Bali dijamin oleh peraturan, bahkan
diatur sedemikian rupa agar tetap lestari.
2.2 Konsep
Anonimous (2013) menguraikan bahwa konsep adalah konstruksi atau
bangun simbolis yang mempresentasikan beberapa ciri umum. Hal tersebut
terkait dengan ciri objek atau kejadian. Pendapat lain, yaitu Turner (1974)
menguraikan bahwa konsep adalah unsur-unsur abstrak yang menunjukkan
fenomena tentang suatu bidang studi atau bidang kajian tertentu. Hal ini
relevan dengan pandangan Banks (1977:85) yang menyatakan bahwa “a
concept is an abstract word or phrase that is useful for classifying or
categorizing a group of things, ideas, or events”, yang berarti bahwa „konsep
itu merupakan suatu kata atau frasa abstrak yang bermanfaat untuk
mengklasifikasikan atau menggolongkan sejumlah hal, gagasan, atau
peristiwa‟.
Berdasarkan uraian-uraian di atas diketahui bahwa pengertian konsep
merujuk pada suatu abstraksi, penggambaran sesuatu, baik yang konkret
41
maupun abstrak (baik tampak maupun tidak tampak) dapat berbentuk
pengertian atau definisi ataupun gambaran mental, atribut esensial suatu
kategori yang memiliki ciri-ciri esensial yang relatif sama. Ahli lain, yaitu
Koentjaraningrat (1977:1236) menguraikan bahwa konsep merupakan unsur
pokok suatu penelitian. Suatu konsep sesungguhnya adalah definisi secara
singkat dari sekelompok fakta atau gejala. Selanjutnya Koentjaraningrat
mengutip pandangan R. Marton bahwa konsep merupakan definisi dari apa
yang perlu diamati, konsep menentukan variabel-variabel mana yang
diinginkan adanya hubungan empiris.
Pendapat lain, yaitu Maulana (2003:239) menguraikan bahwa konsep
adalah ide umum, pengertian, pemikiran, rancangan, rencana dasar. Lebih
lanjut dikatakan bahwa kata konsep ini sama dengan kata konsepsi yang
berarti pengertian, pendapat, gambaran, angan, pikiran, ide dasar, gagasan
pokok. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa konsep diperlukan untuk
memahami suatu hal, keadaan, ataupun benda.
Dalam konteks penelitian tentang “Pemertahanan Agama Hindu di
Desa Adat Kuta sebagai Representasi Kampung Global” sebagaimana judul
penelitian ini, berikut diuraikan beberapa konsep untuk memahami secara
lebih jelas hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian ini.
2.2.1 Pemertahanan Agama Hindu
Konsep yang terkandung dalam kata-kata “pemertahanan agama
Hindu” akan dijelaskan sedemikian rupa agar dapat dipahami secara utuh.
Hal ini dianggap penting karena pada saat mendefinisikan kata demi kata
42
dibutuhkan banyak sumber yang tidak jarang ditemukan makna satu dengan
yang lainnya berbeda, utamanya tentang definisi kata agama. Kata agama
dalam banyak sumber kerap disamakan dengan dharma. Oleh sebab itu, pada
bagian ini akan ditelusuri kata demi kata agar diperoleh makna yang jelas.
Kata “pemertahanan” berasal dari kata dasar “tahan” sebagai kata
sifat, atau kata keadaan yang berarti dalam keadaan tetap (kedudukan dan
sebagainya) meskipun mengalami berbagai hal; tidak lekas rusak/berubah/
luntur/kalah; betah, dapat menyabarkan (menguasai) diri (Dep. Pendidikan
dan Kebudayaan, 1991:989). Kata dasar tersebut mendapatkan awalan “pe”
dan “me” yang menunjukkan tindakan, upaya sehingga kata “pemertahanan”
mengandung arti upaya atau tindakan agar keadaan tetap tidak berubah, kuat,
tidak luntur, tidak rusak esensinya meskipun mengalami berbagai hal atau
sanggup menderita atau menanggung sesuatu (Budiono, 2005:499). Lebih
lanjut dalam Dep. Pendidikan Nasional (2004:1375) disebutkan bahwa kata
“pemertahanan” berarti proses, cara, perbuatan mempertahankan.
Kata “agama” berarti “sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan
dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang telah bertalian
dengan kepercayaan itu” (Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, 1991:10). Astra
dkk. (1986:11 dan 83) menguraikan dua penulisan kata agama. Pertama,
yakni kata agama yang huruf a-gam-a (huruf a paling depan normal/pendek),
berarti “diam, tidak bergerak” yang maksudnya bahwa ajaran atau hal itu
tetap utuh, tidak berubah, kekal abadi. Kedua, kata āgama (huruf ā paling
depan adalah a dirgha atau a panjang) yang berarti datang mendekat, jalan,
43
tiba, pelajaran, ilmu pengetahuan, ajaran tradisi, yang mengandung makna
bahwa agama itu adalah jalan atau pelajaran untuk datang mendekat pada
tujuan agama, yakni Tuhan.
Punyatmadja (1992) menyamakan pengertian agama dengan dharma
dan menyatakan bahwa istilah agama di Indonesia telah dipakai sejak zaman
purba oleh umat Hindu (Śaiwapaksa) untuk menyatakan kitab sucinya, yang
selanjutnya kata agama dipakai sampai sekarang untuk menyatakan ajaran
kerohanian atau kepercayaan kepada Tuhan. Dinyatakan pula bahwa di India,
istilah dharma lebih populer digunakan untuk menyatakan ajaran kerohanian
(agama) sehingga ajaran kerohanian yang sempurna dan kekal abadi disebut
sanatanadharma. Kata dharma berasal dari bahasa Sanskerta dengan urat
kata “dhr” yang berarti menjunjung, memangku, mengatur, dan menuntun
sehingga dharma berarti sesuatu yang mengatur dan memelihara alam
semesta beserta segala isinya. Dharma juga dapat diartikan “kodrat” yang
mengatur alam, sedangkan untuk mengatur kehidupan manusia, dharma itu
berarti kewajiban, ajaran, atau peraturan-peraturan suci yang menuntun
manusia dalam menjalani kehidupan di dunia untuk mencapai kesempurnaan
berupa jagadhita dan moksa.
Lebih lanjut dalam buku Manawa Dharma Sastra (Pudja dan Rai
Sudharta, 2004:31) diuraikan bahwa sumber dharma atau agama sebagai
berikut.
44
idànim dharma pramànamyàha: wedo ’khilo dharma mulam smrtisìle ca tadwidàm.
àcarascaiwa sàdhùnàm àtmanastusþir ewa ca.(II.6)
Terjemahannya:
Seluruh pustaka suci Weda adalah sumber pertama dari dharma (agama),
kemudian adat istiadat atau tradisi luhur, dan lalu tingkah laku yang terpuji
dari orang-orang budiman yang memahami Weda, juga kebiasaan orang-
orang suci dan akhirnya kepuasan batin (budhi nurani) diri sendiri.
Atas kesaksian sloka kitab suci tersebut dapat dinyatakan bahwa
agama memuat ajaran yang disabdakan oleh Tuhan (Sang Hyang Widhi atau
Brahman). Di samping itu, juga memuat tradisi luhur (sadacara) berupa
kebiasaan hidup orang suci dan tingkah laku terpuji orang-orang budiman
yang ditradisikan oleh umat Hindu menjadi pedoman bagi umat dalam
menjalani kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Di pihak lain Kadjeng (1970:12--13) dalam buku Sarasamuscaya 12,
menguraikan dharma (agama) sebagai berikut.
Yan paramarthanya, yan arthakama sadhyan,
dharma juga lekasakena rumuhun,
niyata katemwaning arthakama mena
tan paramartha wi katemwaning arthakama
dening anasar sakeng dharma (sloka, 12).
Terjemahannya :
Kalau tujuan terpenting, bila artha dan kama hendak dituntut, dharma
jugalah hendaknya dilakukan terlebih dulu, niat untuk mencapai artha
dan kama pasti akan tercapai nantinya. Tidak akan ada artinya artha
dan kama itu bila diperoleh menyimpang dari kebenaran (dharma/
agama)
45
Ikang dharma ngaranya,
hetuning mara ring swarga ika,
kadi gatining parahu,
an hetuning banyaga nentasing tasik (sloka, 14).
Terjemahannya :
Yang disebut dharma, penyebab menuju sampai ke surga itu,
seperti halnya sebuah perahu alat bagi pedagang menyeberangi laut
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa dharma
atau agama merupakan tuntunan hidup yang memuat berbagai ketentuan
ataupun petunjuk yang menjadi pedoman dalam upaya manusia mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia (jagadhita) maupun di
akhirat kelak yang disebut moksa.
Pendit (1996:51, 87) menyatakan bahwa kehidupan manusia tidak
lepas dari suatu keyakinan tentang adanya kebenaran dan kekuatan di atas
dirinya yang diajarkan oleh agama dengan segala ritualnya, yang adakalanya
menganggap keyakinan kelompoknya lebih utama dibandingkan dengan yang
lain. Di dunia ini ada banyak keyakinan atau kepercayaan (agama) yang
dianut umat manusia, seperti Hindu, Islam, Kristen dan Budha. Dunia Barat
menyatakan bahwa Hindu merupakan agama yang berasal dari India yang
sampai sekarang dianut oleh sebagian besar penduduk India. Di samping itu,
juga dianut oleh penduduk di Asia Tenggara, Afrika, Amerika, Eropa, dan
tentunya juga di Nusantara. Sebagai ciri kehidupan umat beragama termasuk
umat Hindu ditandai dengan adanya unsur utama dalam agama tersebut,
seperti (a) keyakinan atau kepercayaan akan ajaran agamanya, (b) sadacara
atau tradisi leluhur dan etika moral, (c) serimonial dan ritual, (d) organisasi
46
dan lembaga spiritual (Parisadha), (e) emosi keagamaan, dan (f) mistik
transedental. Dengan demikian, umat Hindu memiliki tradisi keagamaan
sebagai ekspresi ajaran agama yang meliputi tattwa, susila (etika moral), dan
upacara/ ritual.
Endraswara (2003:162) mempersamakan religi dengan agama dan
menyatakan bahwa religi adalah agama yang berdasarkan wahyu Tuhan.
Dikatakan pula bahwa religi (agama) dalam arti luas meliputi variasi
pemujaan, spiritual, dan sejumlah praktik hidup yang telah bercampur dengan
budaya, seperti magi, nujum, serta penghormatan pada binatang dan benda-
benda tertentu. Lebih lanjut disebutkan bahwa religi yang disamakan dengan
agama menghendaki dan menjunjung tiga kebenaran utama, yaitu percaya
dengan adanya Tuhan, percaya kepada hukum kesusilaan alamiah, dan
percaya pada adanya roh abadi. Atas dasar itu maka bereligi atau beragama
akan menampakkan perilaku hidup susila, penghormatan pada budaya lokal,
termasuk menghormati, baik binatang-binatang tertentu maupun benda-benda
sakral. Sesungguhnya religi tidak sama dengan agama karena agama
bersumber dari sabda suci Tuhan yang terhimpun dalam pustaka suci,
sedangkan religi adalah suatu kepercayaan yang tumbuh dari dalam diri suatu
masyarakat terhadap tatanan dan kekuatan alam secara alamiah ikut
mengendalikan manusia. Dalam praktik keagamaan umat Hindu di Bali
dikenal adanya benda-benda sakral seperti pratima dengan tata cara upacara
dan perilaku umat Hindu dalam merawat pratima itu, baik secara sakala
niskala, lahiriah (materi), maupun batiniah (ritual).
47
Selain pada benda sakral, umat Hindu di Bali juga menyayangi
binatang dan tumbuhan melalui pelaksanaan upacara Tumpek Uye
(pemeliharaan pada binatang), Tumpek Wariga (menyayangi tumbuhan).
Keyakinan dan perilaku umat seperti itu bukan keyakinan yang buta,
melainkan dilandasi tattwa seperti yang dinyatakan melalui mantram puja tri
sandhya bait II yang bermakna bahwa Tuhan dengan sebutan Narayana
adalah semua yang ada ini, baik yang telah ada maupun yang akan ada. Jadi ,
semua ini adalah beliau.
Sumber lain menyatakan bahwa “agama” adalah kepercayaan kepada
Tuhan dengan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan itu. Dengan
demikian, kegiatan sembahyang, ber-yajnya, melakukan kebajikan
(subhakarma) kepada sesama manusia dan alam lingkungan adalah tindakan
beragama (Sindhu dkk., 1990:14).
Adiputra (2003:1) memperkuat keterangan tersebut dan menyatakan
bahwa kata agama berarti datang mendekat, maksudnya datang mendekat
kepada tujuan agama, yakni jagadhita (kesejahteraan dan kebahagaiaan
dunia) dan moksa kebahagiaan abadi di akhirat berupa bersatunya atman
(roh) dengan Tuhan (Sang Hyang Widhi atau Nining Bhatara). Ditegaskan
pula bahwa agama adalah keyakinan kepada Tuhan dengan segala sesuatu
yang bersangkut paut dengan keyakinan itu. Dengan demikian,
mempersembahkan sesaji, bersembahyang, berdoa, melagukan kidung suci,
melaksanakan kebajikan (subhakarma), ber-yajnya, melakukan upacara
panca yajnya termasuk upacara tiwah, upacara haruh, dan lain-lain yang
48
berkaitan dengan Tuhan dan ciptaan-Nya, seperti membangun dan merawat
pura, memelihara sesama dan alam lingkungan, dan sebagainya merupakan
praktik agama.
Selanjutnya Siwananda (2003:12--24) menyatakan bahwa naskah-
naskah suci (Weda) yang menjadi ajaran agama Hindu secara umum terdiri
atas dua kelompok. Pertama Sruti (Catur Weda) meliputi Reg, Sama, Yajur,
dan Atharwa Weda dengan bagian-bagiannya, yakni Mantra Samhita, kitab-
kitab Brahmana, Aranyaka atau Upanisad. Kedua, kitab Smerti meliputi
Upaweda (tambahan Weda), yaitu Ayurweda, Dhanurweda, Gandharwaweda,
Arthasatra, dan Wedangga meliputi siksa (tentang suara, ucapan, tekanan
kata), wyakarana (tata bahasa, gramatika Sanskerta), chanda (tentang irama
dan persajakan), nirukta (philology atau etymology atau asalusul kata atau
kamus), jyotisa (ilmu perbintangan atau astronomi), kalpa (ilmu tentang tata
cara melaksanakan upacara yajnya). Termasuk pula dalam kelompok Smrti,
yakni Purana dan Itihasa (Ramayana dan Mahabharata). Dengan demikian,
perilaku yang berkaitan dengan ajaran yang diajarkan dalam naskah-naskah
suci tersebut merupakan perilaku dan praktik agama Hindu.
Kadjeng (1970:28) menyebutkan bahwa ajaran agama (Dharma)
meliputi Sruti, Smrti, dan tingkah laku sang sista (orang yang berkata jujur,
setia pada kata-katanya, orang yang dapat dipercaya, orang yang menjadi
tempat penyucian diri, orang memberikan ajaran dan nasihat-nasihat).
Pandit (2005:25) menambahkan bahwa kitab Bhagawadgita termasuk
ke dalam kelompok Sruti, sedangkan dalam kelompok Smrti dilengkapi
49
dengan Dharmasastra, Nibanda, Tantra dan Darsana. Berdasarkan pendapat
Sivananda dan Kadjeng tersebut diketahui bahwa Bhagawadgita,
Dharmasastra, Nibanda, Tantra dan Darsana juga menjadi sumber ajaran
agama.
Harshananda (2008:45,503) menyatakan bahwa agama adalah buku
suci yang mengajarkan kebenaran dari berbagai aspek. Agama dikatakan
sebagai literatur khusus religius Hindu yang praktis yang membentuk dasar-
dasar praktik agama Hindu. Kata agama berarti yang mengajarkan kebenaran
segala aspek yang mengacu pada Weda dan dalam hal ini semua pustaka suci.
Dinyatakan pula bahwa kata agama identik dengan kata “dharma” walaupun
dharma berarti lebih luas. Kata dharma dapat berarti agama, hukum,
kewajiban, ritus/upacara agama atau peraturan tingkah laku mulia. Secara
terperinci disebutkan sebagai berikut.
Agamas (sacred books which teach the truth from all aspects).
Agamas are a certain class of Hindu religious literature praktically
from the basis of Hindu religious practices of the post wedic era.
Literally, the word means “that which teaches Truth from all
aspects”, a samantat gamayati, and hence can denote the Wedas, or of
that matter, any sacred book. But in praktice it is used in a more
restricted sence to indicate the above- mentioned class of literature.
(Agama adalah buku suci yang mengajarkan kebenaran dari berbagai
aspek. Agama adalah satu kelas khusus dari literatur religius Hindu
yang praktis membentuk dasar-dasar dari praktik religius Hindu pada
era post Weda. Secara maknawi, kata agama berarti “yang
mengajarkan kebenaran dari segala aspek” a samantat gamayanti,
yang berarti mengacu pada Weda, atau dalam hal ini semua buku suci.
Akan tetapi dalam praktiknya, istilah ini lebih mengacu pada kelas
literatur yang disebutkan di atas tadi, lagu-lagu pujaan kepada Siwa).
50
Harshananda lebih lanjut menegaskan As is the case with many other
sanskrit words, it is rather difficult to give an exact translation of the word
dharma. It has been variously translated as “religion”, “law”, “duty”
“religious ordinance or rite”, “code of conduct” and so on . (Sama halnya
dengan kata-kata lain dalam bahasa Sanskerta agak sulit diberikan makna
yang tepat dari kata dharma. Kata ini telah diterjemahkan menjadi berbagai
makna, seperti agama, hukum, kewajiban, ritus religius, dan peraturan
tingkah laku).
Berdasarkan keterangan di atas diketahui bahwa beragama sama
maknanya dengan ber-dharma yang intinya memuja Tuhan dan segala
prabhawa-Nya. Disamping itu, juga bertingkah laku atau melakukan tradisi
luhur dan melaksanakan kewajiban berdasarkan ajaran kitab suci atau sastra
agama. Dengan demikian, konsep beragama sesungguhnya memiliki aspek
aksiologis yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat ideal yang
perilakunya senantiasa dikontrol dan dilandasi oleh sastra agama.
Kata “Hindu” berasal dari kata “sindhu” maksudnya Sungai Sindhu
yang ada di India. Istilah itu bermula dari ungkapan orang Persia yang
menyatakan “sindhu” dengan ucapan “Hindu” yang maksudnya untuk
menyatakan orang Arya yang menetap di kawasan dekat Sungai Sindhu
(Siwananda, 2003:7). Makna kata “Hindu (sindhu)” dalam hal ini adalah
sebutan untuk menyatakan peradaban yang merupakan implementasi sabda
Tuhan (Weda Sruti) yang tumbuh dan berkembang di lembah sungai Sindhu
51
di India. Mishra (2008:29) menyebutkan bahwa kata “Hindu” berarti “cinta”.
Selain itu, juga bermakna “tidak menyetujui himsa atau kekerasan”.
Makna kata Hindu yang berarti “cinta” dan tanpa kekerasan tersebut
sejalan dengan makna kata tattwamasi, yakni “itu adalah kamu”. Dalam hal
itu diajarkan kesamaan derajat dan martabat manusia. Oleh karena itu,
diimplementasikan dengan perilaku hidup tanpa kekerasan (ahimsa) yang
diterapkan secara konsisten oleh Mahatma Gandhi dalam menegakkan
kedaulatan India.
Atas dasar beberapa keterangan di atas dapat ditegaskan bahwa agama
Hindu adalah kepercayaan kepada Tuhan, ilmu pengetahuan, pelajaran,
ajaran, tradisi yang diam (tidak berubah) bersumber dari Tuhan yang
(awalnya) berkembang di daerah lembah Sungai Sindhu. Di samping itu, juga
menjadi jalan penuh toleransi untuk dapat mencapai kebahagiaan lahir batin
(datang mendekat kepada Tuhan). Agama Hindu dalam penelitian ini adalah
kepercayaan kepada Tuhan yang ajarannya bersumber pada kitab suci Weda
(Sruti dan Smerti dengan semua cabangnya) yang terangkum dalam kerangka
dasar agama yakni; tattwa, susila, acara/upacara yajnya dengan berbagai
aspeknya.
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “pemertahanan
agama Hindu” dalam penelitian ini adalah upaya yang dilakukan agar
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi) dengan
segala ajaran-Nya beserta perilaku dan tradisi keagamaan krama Desa Adat
Kuta tetap lestari. Tradisi keagamaan dimaksud meliputi segala kebiasaan
52
atau perilaku umat Hindu (krama Desa Adat Kuta) yang berkaitan dengan
pengamalan ajaran agama Hindu, baik dalam keluarga maupun dalam
kebersamaan di desa adat. Oleh karena itu, kegiatan pesantian, pasuka-
dukaan, pesangkepan banjar/desa, ngayah (gotong royong), kegiatan
berkesenian dan atau seni sakral, tertib parahyangan, pawongan, palemahan
merupakan lingkup pelaksanaan tradisi keagamaan yang berlaku di Desa
Adat Kuta.
2.2.2 Desa Adat Kuta
Kata “desa” (dalam Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, 1991:226)
berarti “kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang
mempunyai sistem pemerintahan tersendiri” atau “kelompok rumah di luar
kota yang merupakan kesatuan”. Di pihak lain (Budiono, 2005:136) juga
menyebutkan bahwa “desa” berarti kampung di luar kota yang merupakan
kesatuan. Astra dkk. (2000:213) menyebutkan bahwa kata “desa” berarti
wilayah, daerah, desa. Kata “adat” berarti aturan yang lazim atau dilakukan
sejak dulu kala, kebiasaan, cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah
menjadi kebiasaan (Dep. Pendidikan dan Kbudayaan, 1991:6). Istilah desa
pakraman, dalam Peraturan Daerah Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa
pakraman disebutkan bahwa “Desa pakraman adalah wilayah (mandala)
yang mencakup palemahan (pekarangan/area/wilayah), pawongan
(masyarakat/ krama), dan parahyangan (tempat suci, kahyangan desa)
beserta struktur kelembagaan dan perangkatnya yang diikat oleh suatu aturan
yang disebut awig-awig”.
53
Berkaitan dengan perubahan sebutan desa adat menjadi desa
pakraman melalui peraturan daerah tersebut di atas, Pemerintah Kabupaten
Badung tetap memakai istilah “desa adat” untuk menyebutkan “desa
pakraman” yang dibukukan dalam peraturan Daerah Bali No.3 Tahun 2001
maupun Peraturan Daerah Bali No.3 Tahun 2003. Hal itu merupakan
kebijakan Pemerintah Kabupaten Badung untuk tetap memakai istilah “desa
adat” sesuai Keputusan Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) Provinsi
Bali.
Atas dasar itu maka Desa Adat Kuta adalah wilayah yang meliputi
wilayah atau pekarangan (palemahan), dengan penghuni umat Hindu atau
krama (pawongan) yang hidup bersama secara teratur dan rukun diemong
oleh prajuru berlandaskan awig-awig, serta bertanggung jawab (nyungsung)
terhadap parhyangan milik Desa (kahyangan desa atau kahyangan tiga).
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa yang dimaksud dengan “Desa
Adat Kuta” dalam penelitian ini adalah Desa Adat Kuta di Kelurahan Kuta ,
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung dihuni oleh umat Hindu (krama) desa
adat, nyungsung kahyangan Desa dan diikat oleh awig-awig.
2.2.3 Representasi Kampung Global
Kata “representasi” berasal dari bahasa Inggris “re” berarti kembali
dan “presentation” yang berarti penawaran, hadiah, penunjukan (Kashiko,
2004:226). Secara harfiah kata representasi berarti “menunjuk kembali” atau
“menjadikan contoh” atau “sebagai gambaran” terhadap sesuatu yang telah
diketahui. Maunati (2004) menggunakan kata representasi untuk
54
menunjukkan contoh atau model, baik dalam tulisan maupun pernyataan
tentang pandangan pemerintah orde baru terhadap kelompok/suku Dayak di
Kalimantan Timur sebagai kelompok masyarakat yang masih primitif.
Disebutkan pula orang-orang luar Dayak mempresentasikan walaupun dalam
kelompok Dayak terdapat banyak perbedaan di antara mereka seperti
perbedaan bahasa lokal, orang-orang luar Dayak menyamaratakan menjadi
identitas Dayak tunggal, maksudnya hanya menyebutkan suku Dayak. Oleh
karena itu, kata representasi memiliki arti atau makna menunjuk, mewakili,
sebagai contoh bagi beberapa hal ataupun keadaan serupa lainnya.
Barker (2006: 9) menyatakan representasi sebagai kajian utama dalam
cultural studies. Barker menyebutkan reprensentasi, yaitu bagaimana dunia
dan alam ini dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial. Unsur utama
cultural studies dipahami sebagai studi kebudayaan sekaligus sebagai praktik
pemaknaan representasi. Representasi bermakna budaya memiliki unsur dan
materialitas tertentu yang melekat, baik pada bunyi, objek, prasasti, buku,
maupun majalah. Semua itu diproduksi, ditampilkan, digunakan dan
dipahami dalam konteks sosial. Dengan demikian, representasi dimaknai
sebagai tindakan menggunakan, menampilkan, menunjuk, atau menjadikan
sebagai contoh untuk dipahami.
Piliang (2006:24) menyatakan bahwa representasi sebagai tindakan
untuk menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain
di luar dirinya. Upaya mempresentasikan berarti menggambarkan suatu
realita yang diwakilkan, baik aspek budaya, ekonomi, adat istiadat, maupun
55
wilayah. “Kampung” (dalam Dep. Pendidkan dan Kebudayaan, 1991:438)
berarti “kelompok rumah yang merupakan bagian kota (biasanya dihuni oleh
orang berpenghasilan rendah), desa, dusun”; atau “kesatuan administrasi
terkecil yang menempati wilayah tertentu di bawah kecamatan”. Budiono
(2005 :236) menyatakan bahwa kata “desa” berarti “kelompok rumah yang
merupakan bagian kota, desa, dusun, kesatuan administrasi terkecil yang
menempati wilayah tertentu, berada di bawah kecamatan, berkaitan dengan
kebiasaan di kampung”.
Kata “global” (dalam Dep. Pendidikan dan Kebudayaan. 1991:320)
berarti “secara umum dan keseluruhan, taksiran secara bulat, secara garis
besar, memberikan penjelasan secara umum saja, meliputi seluruh dunia”.
Globalisasi juga berarti proses masuknya ke ruang lingkup dunia seperti
siaran televisi, radio dan berbagai media sosial lain yang tidak dapat
dihindari. Pada sumber lain disebutkan bahwa “global‟ berarti “secara umum,
utuhnya, besarnya, kebulatannya”(Budiono, 2005:172). Dalam bahasa Inggris
kata “global” juga ditulis “global” yang berarti “keseluruhan” (Kashiko,
2004: 146 ).
Astra (dalam Ardika, 2004:107--108) menyatakan globalisasi secara
harfiah dapat diartikan proses mendunia yang dialami pada berbagai aspek
kehidupan manusia, seperti bidang politik, ekonomi, dan budaya. Globalisasi
tidak saja dengan terciptanya sistem yang berskala besar, tetapi juga
berhubungan dengan transformasi dalam hubungan sosial yang menyebabkan
aktivitas sesorang atau kelompok masyarakat dengan cepat dapat dipengaruhi
56
oleh keadaan atau peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Globalisasi bukanlah suatu proses tunggal, melainkan proses yang bersifat
kompleks sehingga dapat menyentuh dan masuk pada berbagai aspek
kehidupan seperti globalisasi bidang ekonomi sebagai aspek kapitalisme telah
mampu menembus batas-batas negara, bangsa, dan komunitas lokal. Dalam
kaitan ini global mengandung makna mendunia, memuat berbagai aspek dan
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Indrajit (2006:88) menyebutkan bahwa globalisasi dimulai dengan
kemajuan iptek yang merangsang tatanan ekonomi terlebih dahulu. Dalam
globalisasi, terdapat empat aspek yaitu perdagangan, pergerakan modal,
pergerakan orang, dan penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Globalisasi ekonomi memberikan kebebasan sistem perdagangan dunia untuk
masuk ke suatu negara tanpa dapat dibendung oleh negara bersangkutan,
yang dikenal dengan perdagangan bebas. Globalisasi berada di luar
kemampuan dan kewenangan negara ataupun pemerintahan untuk
mengaturnya. Globalisasi berpengaruh sangat besar pada semua tingkah laku
manusia dan berdampak budaya sehingga budaya lokal sangat kuat
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Kata global menunjukkan tidak
adanya batas-batas negara karena pengaruh sistem atau kemajuan teknologi
transformasi, informasi dan transportasi. Dengan demikian, global bermakna
menyeluruh, mendunia (mengandung berbagai aspek budaya, berbagai etnis,
dan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu) dan tidak dapat dibendung, baik
oleh pemerintah maupun negara. pada era globalisasi arus transformasi,
57
informasi, dan penyebaran iptek dan pertukaran budaya tidak dapat lagi
dibatasi oleh sekat atau batas-batas negara sehingga pergaulan antarmanusia
bersifat mendunia.
Robertson dalam Barker (2006:113) menyatakan bahwa konsep global
mengacu pada kondisi penyempitan dunia secara intensif dan peningkatan
kesadaran atas dunia, yakni semakin meningkatnya koneksi global dan
pemahaman umat manusia atas dunia. Penyempitan dunia dalam arti akibat
modernitas dengan dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
canggih. Kemajuan teknologi menyebabkan transformasi, informasi, dan
perpindahan barang, manusia, pergerakan modal menjadi sangat cepat, tanpa
dapat dihalangi oleh batas-batas negara.
Barker (2006:113--117) menyatakan bahwa konsep globalisasi
mengacu kepada penyempitan dunia secara intensif dan peningkatan
kesadaran orang atas dunia, yakni semakin meningkatnya koneksi global dan
pemahaman orang atas realita dunia ini. Disebutkan pula “penyempitan
dunia” ini dapat dipahami dalam konteks institusi modern, sedangkan
intensifikasi kesadaran atas dunia secara repleksif dapat dipersepsikan
dengan lebih baik secara budaya. Overdeterminasi yang tidak dapat
diperkirakan dan rumit tidak selalu mengarah pada percepatan desa global
yang tertata rapi, tetapi juga mengarah kepada keanekaragaman titik konflik,
antargonisme, dan kontradiksi. Globalisasi yang dipercepat mengacu kepada
serangkaian aktivitas ekonomi yang saling terkait dan dipahami sebagai
praktik kapitalisme pada era tak tertata.
58
Lebih lanjut Barker (2006:313) menyatakan bahwa ruang kota dapat
dieksplorasi dalam upaya memunculkan kota global. Konsep kota global
adalah bahwa dunia perkotaan dan ekonomi didominasi oleh sejumlah kecil
pusat (kota) yang bertindak sebagai titik perintah dan titik kontrol bagi
berbagai aktivitas dunia tercermin dalam kehidpan kota tersebut (kota
global).
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud
“representasi kampung global” dalam penelitian ini adalah contoh kampung
atau desa (desa adat) yang mendunia dalam berbagai aspek kehidupan, seperti
ilmu pengetahuan dan teknologi, sosiol, budaya, ekonomi, politik,
penghidupan dan pergaulan yang melibatkan manusia dari berbagai etnis,
suku, dan bangsa tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.
2.3 Teori
Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologis teori
berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Pada tataran yang lebih
luas, dalam hubungannya dengan dunia keilmuan, teori berarti perangkat
pengertian, konsep, proposisi yang mempunyai korelasi dan telah teruji
kebenarannya. (Ratna, 2004:1). Teori adalah alat dan melalui teori suatu
penelitian dapat dilakukan secara maksimal. Tujuan teori adalah pemahaman
yang utuh dan benar terhadap objek. Oleh karena itu, apabila terjadi ketidak
seimbangan di antara teori dan objek, yang dimodifikasi adalah teori, bukan
objek. Dalam satu penelitian dimungkinkan untuk digunakan lebih dari satu
59
teori karena keragaman teori akan membantu dalam memecahkan berbagai
masalah sekaligus mendapat pemahaman yang lebih mendalam terhadap
objek penelitian. Pada dasarnya secara teoretis setiap masalah memerlukan
teori yang berbeda (Ratna, 2004:67).
Ridwan (2004:19) menguraikan bahwa teori adalah suatu ilmu yang
relevan yang dapat digunakan untuk menjelaskan variabel yang akan diteliti,
sebagai dasar untuk memberikan jawaban sementara (hipotesis) terhadap
rumusan masalah yang diajukan serta menyusun instrumen penelitian.
Achmad (2003:500) menguraikan bahwa sesuatu yang dibahas sesuai dengan
suatu teori tertentu, maka pembahasan tersebut dapat dikatakan sesuai secara
teoretis, artinya pembahasan telah berdasarkan teori. Terkait dengan
penentuan teori yang relevan dengan objek penelitian diperlukan pemilihan
teori dengan tepat mengingat teori yang digunakan bukan sekadar pendapat
pengarang, pendapat pejabat atau penguasa, melainkan teori yang telah diuji
kebenarannya
Penggunaan teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah teori
yang telah dirumuskan secara akumulatif oleh beberapa pencetus atau
penulis. Atas dasar itu penggunaan teori dalam penelitian ini tidak didahului
dengan seleksi atas teori-teori dimaksud dengan asumsi bahwa satu teori
yang sama yang dikemukakan oleh beberapa orang atau oleh para ahli akan
dapat ditarik simpulannya. Dalam penelitian ini digunakan beberapa teori
sebagai pisau bedah terhadap masalah penelitian yang telah dirumuskan
60
dalam rumusan masalah penelitian. Adapun teori-teori yang digunakan dalam
penelitian ini sebagaimana diuraikan berikut ini.
2.3.1 Teori Identitas (Identity Theory)
Teori identitas ini digunakan untuk membedah rumusan masalah
nomor 1, yaitu untuk membedah permasalahan penelitian yang berkaitan
dengan faktor-faktor yang menyebabkan krama Desa Adat Kuta melakukan
pemertahanan agama Hindu (identitas) dalam arus globalisasi. Teori
indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan
perhatian pada hubungan saling memengaruhi antara individu dan struktur
sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang
sebagai dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, tetapi
struktur sosial membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju
dengan perspektif struktural, khususnya teori peran. Stryker juga memberikan
sedikit kritik terhadap teori peran yang menurutnya terlampau tidak peka
terhadap kreativitas individu.
Teori Stryker mengombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan
konsep diri/self (dari teori interaksi simbolis). Pada setiap peran yang
ditampilkan oleh seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain terdapat
definisi tentang diri sendiri yang berbeda dengan diri orang lain. Hal itu
dinamakan “identitas” oleh Stryker. Jika seseorang memiliki banyak peran,
orang itu memiliki banyak identitas. Perilaku orang dalam suatu bentuk
interaksi dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri, begitu juga
perilaku pihak yang berinteraksi dengan pihak lain. Oleh sebab itu, peran
61
setiap warga masyarakat (krama) Desa Adat Kuta menjadi faktor-faktor yang
dapat memperkuat atau memperlemah identitas masyarakat Kuta dan
sekaligus juga berpengaruh terhadap pemertahanan agama Hindu di Kuta.
Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukkan individu sebagai
pihak yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun harapan-
harapan sosial. Perspektif interaksionis tidak menyangkal adanya pengaruh
struktur sosial, tetapi jika hanya struktur sosial yang dilihat untuk
menjelaskan perilaku sosial, hal tersebut kurang memadai.
Teori identitas sosial ini dipelopori oleh Henri Tajfel (1957) dalam
upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, konflik antarkelompok, dan
perubahan sosial. Ciri khas Tajfel adalah nonreduksionis, yaitu membedakan
antara proses kelompok dari proses dalam diri individu. Jadi, harus
dibedakan antara proses intraindividual (yang membedakan seseorang dari
orang lain) dan proses identitas sosial (yang menentukan apakah seseorang
dengan ciri-ciri tertentu termasuk atau tidak termasuk dalam suatu kelompok
tertentu).
Perilaku kelompok berbeda dengan perilaku individu. Yang termasuk
dalam perilaku kelompok, antara lain etnosentrisme, ingroup bias, kompetisi
dan diskriminasi antarkelompok, stereotip, prasangka, uniformitas,
konformitas, dan keterpaduan kelompok. Menurut teori ini, identitas sosial
seseorang ikut membentuk konsep diri dan memungkinkan orang tersebut
menempatkan diri pada posisi tertentu dalam jaringan hubungan sosial yang
rumit.
62
Proses-proses yang mendasari perilaku kelompok adalah kategorisasi
dan perbandingan sosial. Hal ini memungkinkan penekanan persamaan pada
hal-hal yang terasa sama dan penekanan pada perbedaan dalam hal-hal yang
terasa berbeda. Pada gilirannya kategorisasi dan perbandingan sosial ini
meningkatkan persepsi ingroup. Tidak ada kebenaran yang semata-mata
objektif. Semua kebenaran disimpulkan dari perbandingan. Sebagai contoh
adalah masyarakat pribumi yang bersikap negatif kepada masyarakat non-
pribumi, kelompok buruh merasa ditekan oleh majikan, dan sebagainya.
Teori identitas sosial ini juga digunakan untuk menjelaskan perubahan sosial
pada tingkat makrososial. Menurut teori ini ada dua kemungkinan perubahan
sosial, yaitu mobilitas sosial dan perubahan sosial itu sendiri.
Mobilitas sosial, yaitu perpindahan individu dari kelompok yang lebih
rendah ke kelompok yang lebih tinggi terjadi jika peluang untuk itu terbuka.
Contohnya, orang desa merantau ke kota untuk mencari pekerjaan yang lebih
baik, orang tua menyekolahkan anaknya lebih tinggi dari pendidikannya
sendiri, dan sebagainya. Jika kemungkinan mobilitas sosial tidak ada,
kelompok bawah berusaha terus untuk meningkatkan statusnya sebagai
kelompok yang lebih tinggi. Pilihan pertama adalah dengan berusaha
menggeser statusnya ke atas. Jika kemungkinan untuk menggeser ke atas ini
tidak ada, usaha yang dilakukan adalah meningkatkan citra mengenai
kelompok itu agar kesannya tidak terlalu jelek, antara lain melalui seni dan
olahraga. Teori ini digunakan untuk membedah masalah yang berkaitan
63
dengan pemertahanan identitas diri atau kelompok dan lembaga dalam hal ini
desa adat.
2.3.2 Teori Konstruksi Sosial
Teori konstruksi sosial dikemukakan oleh Peter Ludwig Berger.
Dalam penelitian ini teori konstruksi sosial digunakan untuk membedah
permasalahan pertama dan permasalahan kedua. Sriningsih (dalam Surbakti,
dkk., 2010:149) menyebutkan sebagai berikut.
“Peter Ludwig Berger dilahirkan 17 Maret 1929 di Triesre , Italia dan
dibesarkan di Wina, kemudian bermigrsi ke Amerika tidak lama
setelah perang dunia ke 2. Pada tahun 1949 dia lulus dari Wagner
College dengan gelar Bachelor of Arts. Dia melanjutkan studinya di
New School University for Cocial Research di New York dan lulus
Ph.D tahun 1952. Pada tahun 1955 dan 1956 dia bekerja di
Evangelische Akademi di Bad Boll, Jerman. Dari tahun 1956 sampai
1958 Berger menjadi Profesor Muda di Universitas North California,
tahun 1958 hingga tahun 1963 Berger menjadi Profesor Madya di
Harrford Seminary Foundation. Karier berikutnya adalah menjabat
sebagai Profesor di New School for Social Research Universitas
Rutger dan Boston College. Sejak tahun 1981 Berger menjadi Profesor
Sosiologi dan Teologi di Universitas Boston dan sejak tahun 1985
juga menjadi Direktur Institut Studi Kebudayaan Ekonomi yang
kemudian berubah menjadi Institut Kebuadayaan, Agama, dan
Masalah Dunia.”
Lebih lanjut Sriningsih (dalam Surbakti, 2010:150) menyebutkan
bahwa Berger banyak menghasilkan karya tulis, baik mandiri maupun
melalui kerja sama. Dua buku perdana yang terkenal dan ditulis sendiri,
yakni The Precarius (1961) dan The Noise of Solemn Assemblies (1961).
Buku itu mengulas fungsi atau posisi kritis sosiologi agama berhadapan
dengan perkembangan refleksi teologis kalangan umat Kristen Barat.
64
Dinyatakan pula bahwa Berger memusatkan perhatiannya pada proses
terbentuknya fakta sosial atau gejala sosial, yakni individu-individu anggota
masyarakat ikut serta dalam proses pembentukan dan pemeliharaan fakta
sosial yang memang mempunyai unsur paksaan pada para individu warga
masyarakat. Dalam hidup keseharian proses pembentukan dan pemeliharaan
hubungan sosial pada tingkat mikro dewasa ini tampak pada komunikasi,
baik tatap muka maupun melalui berbagai media. Kenyataan sosial (fakta
sosial) itu tampak tersirat dalam pergaulan sosial yang diungkapkan secara
sosial melalui berbagai tindakan sosial, seperti berkomunikasi lewat bahasa,
melalui kerja sama dalam bentuk-bentuk kegiatan atau kerja sosial dan
organisasi sosial. Kenyataan sosial semacam ini terjadi dan ditemukan dalam
pengalaman intersubjektif para anggota masyarakat. Melalui
intersubjektivitas itu dapat dijelaskan bahwa bagaimana kehidupan
masyarakat dibentuk secara terus menerus tanpa batas akhir. Konsep
intersubjektivitas menunjuk pada dimensi struktur kesadaran umum (desa
adat) ke kesadaran individu (krama atau warga desa ) dalam suatu kelompok
khusus, seperti sekaa-sekaa atau paiketan yang ada di Desa Adat Kuta serta
tumbuh berkembang saling berinteraksi dan berintegrasi.
Gejala sosial itu bersifat intersubjektif sehingga metodologi yang tepat
adalah memberikan tempat yang wajar pada unsur subjektif mengingat yang
dinamakan kenyataan sosial itu, selain menampilkan dimensi objektif
sekaligus juga mempunyai dimensi subjektif. Hal itu terjadi karena yang
dinamakan masyarakat itu adalah buatan kultural masyarakat tertentu dan
65
manusia sekaligus adalah pencipta dunianya sendiri (lingkungan fisik,
organisasi sosial, dan sistem nilai). Kehidupan sosial sehari-hari memiliki
dimensi-dimensi objektif dan subjektif. Di samping itu manusia merupakan
pencipta fakta sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi (yang
mencerminkan kenyataan subjektif). Melalui kemampuan berpikir dialektika,
yaitu tesis, antitesis, dan sintesis, Berger memandang masyarakat sebagai
produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. Berger mencermati
berbagai implikasi dimensi kenyataan objektif dan subjektif, maupun proses
dialektis objektivasi, internalisasi, dan eksternalisasi.
Dialektika itu berlangsung dalam satu proses dengan tiga “momen”
simultan, yakni eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural
sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi sosial dalam dunia
intersubjektif yang dilembagakan melalui proses institusionalisasi) , dan
internalisasi (individu mengindentifikasi dengan lembaga-lembaga soasial
atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya). Perubahan-
perubahan sosial dalam masyarakat akan terjadi apabila proses eksternalisasi
individu mampu memengaruhi tatanan sosial yang sudah ada dan diganti
dengan suatu orde yang baru untuk mewujudkan keseimbangan-
keseimbangan yang baru. Pada masyarakat yang lebih mengutamakan
stabilitas ketenangan kehidupan sosial, individu dalam proses eksternalisasi
mengindentifikasikan diri dengan peranan-peranan sosial yang sudah
dilembagakan dalam institusi yang sudah ada.
66
Pola peranan-peranan sudah dibangun melalui aspek atau bidang-
bidang dalam organisasi dan dilengkapi dengan program yang mencerminkan
pola-pola peranan. Dalam kehidupan bermasyarakat di Desa Adat Kuta,
individu (krama) menyesuaikan diri dengan pola kegiatan peranannya di
masyarakat serta ukuran dari pelaksanaan peranan yang dipilih oleh individu
(warga atau krama desa). Peranan-peranan individu atau kelompok dalam
masyarakat menjadi dasar dari aturan yang terlembaga secara objektif.
Salah satu lembaga besar dalam kehidupan di dunia ini yang sangat
kuat memengaruhi proses eksternalisasi individu dan mewarnai kehidupan
publik individu-individu itu adalah negara beserta dengan birokrasinya,
bahkan di beberapa tempat sampai memasuki kehidupan privat individu.
Sriningsih (dalam Surbakti dkk., 2010:160) menyebutkan Berger dan
Luckmann berpandangan bahwa struktur objektif masyarakat tidak akan
pernah menjadi sebuah produk akhir dari suatu interaksi sosial. Dikatakan
demikian karena struktur berada dalam suatu proses objektivasi menuju suatu
bentuk baru internalisasi yang akan melahirkan suatu proses eksternalisasi
baru lagi. Itulah fakta sosial perjalanan sejarah perkembangan kehidupan
sosial. Perubahan tidak akan cepat terjadi apabila ada rasa aman yang dialami
individu ataupun kelompok-kelompok tertentu ketika berhadapan dengan
struktur objektif.
Teori konstruksi sosial Berger ini digunakan untuk membedah
rumusan masalah pertama dan kedua, yakni mengenai faktor yang
menyebabkan krama Desa Adat Kuta melakukan pemertahanan agama Hindu
67
dalam arus globalisasi serta bagaimana bentuk pemertahanan agama Hindu
yang dikembangkan oleh krama Desa Adat Kuta dengan menggunakan basis
kebudayaan yang ada di Kuta. Teori ini menekankan hubungan kehidupan
sosial kemasyarakatan yang di dalamnya terjadi ikatan yang sangat kuat dan
saling memengaruhi secara antagonis dan kesejajaran antara individu
(krama), kelompok-kelompok sosial, dan desa adat itu sendiri.
2.3.3 Teori Dekonstruksi
Teori dekonstruksi ini digunakan untuk membedah rumusan masalah
nomor dua (2), yaitu tentang bentuk pemertahanan agama Hindu yang
dikembangkan oleh krama Desa Adat Kuta dengan menggunakan basis
budaya. Teori dekonstruksi merupakan bagian dari teori postrukturalisme.
Piliang (2003:125) menyatakan bahwa seorang di antara tokoh terkenal yang
terkait dengan teori dekonstruksi ini adalah Jacques Derrida. Teori
dekonstruksi ini dipopulerkan oleh Jacques Derrida, keturunan Yahudi yang
lahir di Aljazair tahun 1930 dan kemudian pindah ke Prancis pada tahun
1959. Pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang tahun
1950 – 1970-an terutama dari pemikiran Jean Paul Sartre, Maurice Blanchot,
dan Georges Bataille. Para filosuf Barat mulai Socrates, Plato, Descartes,
Hegel, Husserl, dan Heidegger juga tidak dapat diabaikan dalam hubungan
dengan perekembangan pemikiran Derrida. Istilah “dekonstruksi” itu
sebenarnya pernah diperkenalkan oleh Heidigger dengan menyatakan “......
dekonstruksi konsep-konsep modern dengan cara kembali ke tradisi” (Lubis,
2004: 92).
68
Dekonstruksi Derrida diterapkan untuk meneliti secara mendasar
bentuk tradisi berpikir metafisika Barat dan dasar-dasar hukum identitas atau
model berpikir logis dan linear sehingga dekonstruksionisme diasosiasikan
sebagai pembongkaran biner-biner filsafat Barat. Derrida, melalui permainan
bebas dengan dekonstruksinya lebih menerapkan model berpikir lateral,
berfikir kreatif, dan imajinatif. Aktivitas mendekonstruksi berarti membelah,
membedah, membongkar untuk mencari dan menunjukkan asumsi-asumsi
sebuah teks (Barker, 2005:42)
Menurut Derrida dekonstruksi merupakan sebuah istilah yang
digunakan untuk menerangkan lembaran baru dalam filsafat, strategi
intelektual. Dekonstruksi juga dimaksudkan sebagai penyangkalan akan
oposisi ucapan tulisan, ada tidak ada, murni tercemar, dan penolakan tentang
kebenaran dan logos itu sendiri. Sebaliknya, Derrida mendemonstrasikan
bahwa tulisan kalau dinilai secara benar, merupakan prakondisi dari bahasa,
bahkan ada sebelum ucapan oral. Jika tulisan dilihat lebih dari sekadar grafis
atau prasasti dalam pengertiannya yang normal, tidak benar bahwa tulisan
adalah representasi palsu atau topeng dari ucapan.
Menurut Derrida, pada kenyataannya melepaskan diri dari ucapan
dengan segala asumsi kebenaran alamiah (logos) dan dari predikat sebagai
topeng logos. Tulisan adalah sebuah permainan bebas unsur-unsur dalam
bahasa dan komunikasi. Tulisan adalah proses perubahan makna secara terus-
menerus dan perubahan ini menempatkannya pada posisi di luar jangkauan
kebenaran mutlak (logos). Dalam hal ini Derrida melihat tulisan sebagai
69
bekas jejak tapak kaki yang mengharuskan orang menelusurinya untuk
mencari si empunya kaki.
Selanjutnya Ratna (2004:223) menguraikan bahwa dekonstruksi dapat
diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap suatu intensitas konstruksi,
yaitu gagasan, bangunan, dan susunan yang sudah baku, bahkan yang
universal sekalipun. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai
strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditujukan terhadap tulisan, tetapi
semua pernyataan kultural sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks
yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi,
kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian dekonstruksi tidak
terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun
tulisan, tetapi juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif
mentransformasikan hakikat wacana.
Terkait dengan penggunaan basis budaya dalam pemertahanan agama,
tampak secara jelas bahwa krama Desa Adat Kuta melakukan perubahan atau
membongkar dan menyusun kembali tradisi yang telah ada demi tetap
eksisnya esensi pengalaman agama. Perubahan terjadi pada sistem kerja atau
gotong royong, sistem komunikasi antara lembaga banjar dan kramanya,
sistem majenukan atau undangan adat, baik oleh krama banjar maupun
krama desa adat.
Dari pemikiran Jacques Derrida, Heidigger, dan Ratna yang terurai di
atas diketahui bahwa teori dekonstruksi ini sangat relevan untuk membedah
rumusan masalah kedua. Dikatakan demikian mengingat upaya pemertahanan
70
identitas Desa Adat Kuta tidak terlepas dari strategi untuk kembali ke tradisi
(desa kala patra) dengan tidak menutup kemungkinan membongkar tradisi
demi keseimbangan kehidupan sosial berdasarkan sastra dresta.
2.3.4 Teori Semiotik
Untuk membahas dampak dan makna sesuatu terhadap desa adat,
terlebih dahulu wajib diketahui, dipahami, dan dihayati makna dari sesuatu
itu. Hanya ketika seseorang mampu mengetahui, memahami, dan menghayati
makna, orang tersebut dapat memaknai sesuatu yang kemudian dapat
dimanfaatkan atau dijadikan sebagai wahana untuk mencapai kondisi yang
lebih maju. Demikian pula krama Desa Adat Kuta patut mampu memahami
dampak dan makna pemertahanan agama Hindu. Pemahaman itu terkait
dengan makna dan makna terkait dengan semiotik. Dengan demikian, teori
semiotik kerap disebut “teori makna” yang digunakan untuk membahas
permasalahan ketiga dalam penelitian ini.
Hoed (2008:3) menguraikan bahwa semiotik adalah ilmu yang
mengkaji tanda. Dalam kehidupan masyarakat yang dilihat sebagai tanda,
adalah sesuatu yang diberikan makna. Dinyatakan pula bahwa para
strukturalis merujuk pada pandangan Ferdinand de Saussure (1916), yang
melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk dengan makna atau isi, yakni
yang dipahami oleh manusia pemakai tanda.
Lebih lanjut disebutkan bahwa De Saussure menggunakan istilah
signifiant/signifer „penanda‟ untuk aspek bentuk suatu tanda dan
signifie/signifield „petanda‟ untuk aspek maknanya. Dengan demikian, De
71
Saussure melihat tanda sebagai sesuatu yang menstruktur (proses pemaknaan
berupa kaitan antara penanda dan petanda) dan terstruktur (hasil proses
tersebut) di dalam kognisi manusia. Saussure berpandangan bahwa apa yang
ada pada kehidupan masyarakat dilihat sebagai “bentuk” yang mempunyai
“makna” tertentu. Hubungan antara bentuk dan makna tidak bersifat pribadi,
tetapi bersifat sosial, yakni didasarkan “kesepakatan” (konvensi) sosial
sehingga De Saussure juga menyatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda-
tanda.
Lebih lanjut Hoed (2008:4) menguraikan pandangan De Saussure dan
menyatakan bahwa pemaknaan suatu tanda terjadi dalam bentuk proses
semiosis dari konkret ke dalam kognisi manusia yang hidup bermasyarakat.
Sifatnya mengaitkan tiga segi, yakni representamen, objek, dan interpretan
dalam suatu proses sehingga semiosis, teori semiotik ini disebut bersifat
trikotomis. Teori tanda de Saussure sebagaimana digunakan oleh Barthes
diartikan sebagai upaya untuk menjelaskan bagaimana manusia dalam
kehidupan bermasyarakat yang didominasi oleh konotasi. Konotasi adalah
pengembangan petanda oleh pemakai tanda sesuai dengan pemahaman dan
sudut pandangnya. Kalau konotasi sudah menguasai masyarakat, akan
menjadi mitos. Barthes mencoba menguraikan betapa kejadian keseharian
(tindakan sosial) dalam kebudayaan dapat menjadi “wajar”, padahal itu hanya
mitos. Akan tetapi akibat konotasi mitos menjadi mantap di masyarakat. Jadi,
terlepas apakah paham semiotik struktural atau pragmatis dianut, semiotik
dapat digunakan untuk mengkaji kebudayaan. Gejala budaya dilihat oleh
72
semiotik sebagai suatu sistem tanda yang berkaitan satu dengan lainnya
dengan cara memahami makna yang ada di dalamnya. Hal itu bersifat
konvensional.
Teori makna ini juga relevan dengan teori interaksionisme simbolis,
karena teori interaksionisme simbolis bertumpu pada tiga premis (dasar
pengambilan keputusan). Adapun ketiga premis tersebut adalah (1) manusia
bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu
yang berguna bagi mereka, (2) makna tersebut berasal dari interaksi sosial
antara seseorang dengan orang lain, (3) makna-makna tersebut
disempurnakan pada saat proses interaksi sosial berlangsung (Blumer dalam
Poloma, 2003:25). Teori semiotik atau teori makna ini digunakan untuk
membahas rumusan masalah ketiga (3) tentang dampak dan makna
pemertahanan agama Hindu terhadap pembangunan dan perkembangan Desa
Adat Kuta.
73
2.4 Model Penelitian
Agama Hindu
di Bali
- Tattwa
- Susila
- Acara
G
L
O
B
A
L
I
S
A
S
I
K
E
A
R
I
F
A
N
L
O
K
A
L
Pemertahanan
Agama Hindu
di Desa Adat
Kuta
Dampak dan
makna
pemertahanan
agama Hindu
bagi
pembangunan
Desa Adat
Kuta
Bentuk-bentuk
pemertahanan
agama Hindu
dengan
menggunakan
basis
kebudayaan
Faktor-faktor
yang
menyebabkan
Desa Adat Kuta
melakukan
pemertahanan
agama Hindu
Desa Adat Kuta
(Parhyangan - Pawongan - Palemahan)
74
: Hubungan Saling Memengaruhi
: Pengaruh dari satu pihak
Keterangan Model Penelitian :
1. Konsep dasar ajaran agama Hindu yang terdiri atas tattwa, susila,
acara dipahami dan dilaksanakan oleh umat krama Desa Adat Kuta,
tidak dapat dipisahkan dengan kearifan lokal dan globalisasi. Di
samping itu, juga selalu bersinergi sekaligus menentukan kualitas
pemertahanan agama oleh krama Desa Adat Kuta.
2. Pemertahanan agama Hindu merupakan upaya peningkatan
pemahaman dengan melestarikan pelaksanaan tattwa, susila, acara
oleh segenap warga/krama Desa Adat Kuta dalam kehidupan sosial
bermasyarakat.
3. Aspek pemertahanan agama Hindu meliputi faktor penyebab krama
desa melakukan pemertahanan, bentuk pemertahanan yang
dikembangkan dengan menggunakan basis kebudayaan yang ada, serta
dampak dan makna pemertahanan bagi pembangunan masyarakat Desa
Adat Kuta. Ketiga aspek itu saling terkait dan tidak terpisahkan.
4. Tujuan utama pemertahanan agama bagi krama Desa Adat Kuta
adalah terwujudnya Desa Adat Kuta, dalam hal ini krama desa yang
hidup bahagia (tertib, rukun, aman, damai, dinamis, sehat dan
sejahtera)