Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
15
BAB II
KAJIAN TEORETIK
2.1 Hakekat dan Tujuan PTUN
Pemikiran tentang PTUN berawal dari Napoleon Bonaparte yang
memperjuangkan hak-hak rakyat yang dirampas oleh pegawai negeri yang
bertindak semena-mena di bawah pemerintahan Louis XVI di Prancis. Sebelum
masa revolusi Perancis tahun 1789 berkuasa I’Ancien Regime di Prancis.
Kezaliman muncul yang akhirnya menimbulkan Revolusi dan kemudian
Napoleon Bonaparte demi untuk menghindarkan kesewenangan itu ia menjadikan
lembaga Conseil du Roi (dewan penasehat raja) menjadi suatu lembaga Conseil
d’Etat yang bertugas untuk memberikan nasehat kepada pimpinan negara agar
kesewenangan dalam rangka menjalankan administrasi negara jangan sampai
terulang kembali. Conseil d’Etat kemudian berfungsi sebagai puncak dari lembaga
peradialan administratif / tribunal administratif.31
Untuk menampung pengaduan-pengaduan terhadap pelaksanaan tugas
administrasi, maka lingkungan Conseil d’Etat dibentuk suatu Comite de
Contentiex (Panitia perselisihan) yang kemudian berfungsi dalam bidang
yudikatif.32
Seperti di Prancis Comite de Contentiex yang merupakan cikal bakal
lembaga yudikatif dalam bidang administrasi yang bertujuan untuk menampung
31 Lopa, Baharuddin, dkk, Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Sinar Grafika,Jakarta, 1988, h. 36.
32 Ibid.
16
pengaduan yang menyangkut bidang administrasi dan mengusulkan bentuk
penyelesaiannya, maka lembaga PTUN di Indonesia dibentuk untuk
menyelesaikan dengan seadil-adilnya dan secepat-cepatnya berdasarkan hukum
yang berlaku sebagaimana sewajar dalam negara hukum, sengketa antara
pemerintah dengan anggota masyarakat yang kemungkinan timbul dalam rangka
usaha pemerintah menata kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.33
Sebagai negara yang demokratis Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan
dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Salah satu bentuk
kontrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga
peradilan. Dalam konteks inilah maka PTUN dibentuk dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada tanggal 29
Desember 1986, dalam konsideran “menimbang” undang-undang tersebut
disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya PTUN adalah untuk mewujudkan
tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram serta tertib yang
menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin
terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang serta selaras antara aparatur di
bidang TUN dan para warga masyarakat. Dengan demikian PTUN juga menjadi
bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan, kepastian hukum, dan hak asasi manusia (HAM).34
PTUN diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan
masyarakat, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dan adanya tindakan-
33 Ibid, h. 37.34 Titik Triwulan dan H. Ismu Gunadi Widodo, Op.cit, h. 566.
17
tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak masyarakat. Tujuan
pembentukan PTUN adalah:35
1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari
hak-hak individu;
2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan
kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat
tersebut.
Tujuan tersebut di atas kemudian ditampung dalam Penjelasan Umum
Angka ke-1 UU PTUN.
2.2 Asas-Asas Di Dalam PTUN
Terkait dengan tujuan dan fungsi PTUN, maka sangat jelas bahwa PTUN
sebagai lembaga peradilan memiliki asas-asas yang menjadi prinsip dasar di
dalamnya. Berdasarkan tujuan dan fungsi PTUN sebagaimana diutarakan pada
Sidang Paripurna DPR RI saat pembahasan RUU PTUN tanggal 29 April 1986,
yaitu mencakup:36
a. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber
dari hak-hak individu;
b. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang
didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup
dalam masyarakat tersebut.
35W. Riawan Tjandra, Op.cit, h. 1.36 Situmorang, Victor dan Soedibyo, Op.cit, h. 9-10.
18
Maka diperoleh asas-asas dalam PTUN yang menjadi pedoman bagi
penegak hukum dalam menjalankan tugasnya di lembaga peradilan ini. Asas-asas
tersebut mencakup:
a. Asas keaktifan hakim ((Pasal 58, Pasal 63 ayat (1) dan (2), Pasal 80 dan
Pasal 85 UU PTUN), dalam proses persidangan hakim harus berperan
aktif guna memperoleh suatu kebenaran yang besifat materil;37
b. Asas praduga rechtmatig (Pasal 67 ayat (1) UU PTUN), yaitu asas yang
membenarkan tindakan penguasa sampai ada pembatalan, dengan kata
lain gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat;38
c. Asas peradilan cepat, murah dan sederhana;39
d. Asas kompetensi, yaitu asas yang memberikan kewenagan mengadili.
Sehingga PTUN hanya mengadili sengketa TUN;40
e. Asas pembuktian bebas (Pasal 107 UU PTUN dan dibatasi oleh Pasal
100 UU PTUN), hakim yang menetapkan beban pembuktian;
f. Asas objektifitas (Pasal 78 dan Pasal 79 UU PTUN), dalam mengadili
sengketa TUN dalam pengadilan, hakim harus objektif. Sehingga, jika
terdapat hakim yang memiliki hubungan keluarga dengan salah satu
pihak yang terlibat sengketa maka wajib mengundurkan diri;
g. Asas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan mengikat (erga
omnes) (Pasal 115 UU PTUN). Sengketa TUN termasuk dalam
sengketa diranah hukum publik, sehingga akibat hukum yang timbul
37 Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit RajawaliPers, Jakarta, 1992, h. 3.
38 Ibid, h. 4.39 Ibid, h. 5.40 Ibid.
19
dari putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
akan mengikat tidak hanya para pihak yang bersengketa namun
berdasarkan asas putusan tersebut akan mengikat siapa saja;41
h. Asas-asas umum pemerintahan yang baik (selanjutnya disebut
AAUPB):
1) Asas kepastian hukum; KTUN harus dianggap benar menurut
hukum dan karenanya dapat dilaksanakan demi kepastian hukum
selama belum dibuktikan sebaliknya sehingga akhirnya dinyatakan
bersifat melawan hukum oleh Pengadilan TUN.42
2) Asas keseimbangan; dalam lapangan hukum administrasi negara
perlu diciptakan keseimbangan kepentingan aparatur
pemerintah/negara dalam penyelenggaraan tugas-tugasnya dengan
kepentingan pihak administrable yang menanggung akibat hukum
ditimbulkan oleh perbuatan aparatur pemerintah/negara baik dalam
bentuk kerjasama maupun dalam bentuk sepihak.43
3) Asas bertindak cermat; menghendaki supaya badan atau pejabat
administrasi negara senantiasa bertindak secara hati-hati agar tidak
menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat.44
4) Asas keadilan dan kewajaran; alat administrasi negara /aparatur
negara/aparatur pemerintah dalam mengambil keputusan/ketetapan
tidak boleh melampaui batas keadilan dan kewajaran.45
41 W. Riawan Tjandra, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, PenerbitUniversitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2015, h. 11.
42 Eny Kusdarini, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara dan Asas-Asas UmumPemerintahan Yang Baik, Penerbit UNY Press, Yogyakarta, 2011, h. 154.
43 Ibid, h. 155.44 Sibuea, Hotma P., Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijaksanaan dan Asas-Asas
Umum Pemrintahan Yang Baik, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2010, h. 160.
20
2.3 Subjek dan Objek Sengketa TUN
Mengacu pada rumusan pengertian istilah Sengketa Tata Usaha Negara
(selanjutnya disebut Sengketa TUN) dalam Pasal 1 angka 4 UU PTUN, dapat
disimpulkan bahwa unsur-unsur sengketa tata usaha negara terdiri dari subjek
yang bersengketa dan objek yang disengketakan.46
2.3.1 Subjek Sengketa TUN
Subjek yang bersengketa adalah orang atau badan hukum privat di
satu pihak dan Badan atau Pejabat TUN dilain pihak.47 Dalam hal ini orang
atau badan hukum privat bertindak sebagai pihak penggugat dan Badan atau
Pejabat TUN bertindak sebagai pihak tergugat.
Dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN menyebutkan bahwa: “seseorang
atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi
tuntutan agar KTUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak
sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi”.
Pada penjelasan pasal ini, UU PTUN menegaskan bahwa:
a. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4, maka hanya orang atau
badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subjek hukum
saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN untuk
menggugat KTUN;
45 Eny Kusdarini, Op.cit, h. 157..46 W. Riawan Tjandra, Op.cit, h. 17.47 Ibid.
21
b. Badan atau Pejabat TUN tidak dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan TUN untuk menggugat KTUN;
c. Hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya
terkena oleh akibat hukum KTUN yang dikeluarkan dan
karenanya yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan
menggugat KTUN.
UU PTUN tidak menganut prinsip actio popularis yaitu suatu prinsip
yang memberikan hak menggugat kepada setiap orang atau setiap
penduduk.48 Orang disini mencakup orang (nature person) dan orang (legal
person).
Dalam UU PTUN tidak menjelaskan secara terperinci mengenai orang
(nature person) yang dapat menjadi penggugat (subjek sengketa TUN).
Sehubungan dengan hal tersebut, Indroharto berpendapat bahwa karena UU
PTUN belum mengatur hal tersebut, maka apa yang berlaku dalam hukum
acara perdata dapat diterapkan disini. 49 Berdasarkan pendapat yang
dinyatakan oleh Indroharto, maka “orang” disini haruslah sudah dewasa dan
tidak sedang di bawah pengampuan.
Sedangkan mengenai orang (legal person) yaitu badan hukum perdata
yang dapat berkedudukan sebagai pihak penggugat dalam lingkup PTUN
adalah badan hukum atau perkumpulan atau organisasi atau korporasi dan
sebagainya yang didirikan menurut ketentuan hukum perdata yang
merupakan badan hukum murni.50
48 Ibid., h. 18.49 Ibid.50 Ibid.
22
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU PTUN: “tergugat adalah Badan atau
Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang
ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang
atau badan hukum perdata”. Dijelaskan pada Pasal 1 angka 2 bahwa:
“Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan undang-undang yang berlaku”.
Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 1 angka 2 tersebut, ukuran untuk
dapat menganggap apa dan siapa saja yang dimaksud dengan Badan atau
Pejabat TUN ialah asal apa dan siapa saja berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku melaksanakan suatu urusan pemerintah. 51 Badan
atau Pejabat TUN juga mencakup apa dan siapa saja diluar aparat resmi
negara (pihak swasta) berdasarkan suatu perundang-undangan tertentu
diberi tugas untuk melaksanakan suatu tugas/fungsi urusan pemerintahan.
Kriteria ini adalah kriteria fungsional. Menurut Utrecht, agar dapat berjalan
(menjadi konkrit (concreet) = menjadi bermanfaat bagi negara), maka
jabatan (sebagai personifikasi hak dan kewajiban) memerlukan suatu
perwakilan, yang dijalankan oleh penjabat yaitu manusia atau badan hukum.
Oleh karena diwakili pejabat, maka jabatan tersebut dapat berjalan. Hak dan
kewajiban yang didukung oleh jabatan dijalankan oleh penjabat. Jabatan
bertindak dengan perantaraan penjabatnya.52
Indroharto menegaskan bahwa siapa saja dan apa saja yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang
51 Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata UsahaNegara, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, h. 31.
52 W. Riawan Tjandra, Op.cit, h. 19.
23
melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan, maka ia dapat dianggap
berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat TUN.53
Perlu untuk diperhatikan bahwa tidak selalu tindakan hukum dari
Badan atau Pejabat TUN merupakan tindakan hukum TUN, tetapi tindakan
hukum dari Badan atau Pejabat TUN yang menimbulkan akibat hukum
mengenai urusan pemerintahan saja yang merupakan tindakan hukum
TUN.54
Dari penjelasan di atas untuk menentukan siapa yang harus digugat
dengan adanya wewenang yang ada pada jabatan Tata Usaha Negara
(selanjutnya disebut jabatan TUN), harus diketahui lebih dahulu apakah
wewenang tersebut merupakan delegasi atau mandat. Apabila bersifat
mandat maka yang harus digugat adalah jabatan TUN yang memberikan
mandat sedangkan jika bersifat delegasi yang harus digugat adalah jabatan
TUN yang menerima delegasi tersebut.
2.3.2 Objek Sengketa TUN
Objek sengketa TUN adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat TUN.55 Pada Pasal 1 angka 3 UU PTUN menyatakan bahwa:
“KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang di keluarkan oleh Badan atau
Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
53 Indroharto, Op.cit, h.166.54 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2008, h 28.55 W. Riawan Tjandra, Op.cit, h. 17.
24
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata”.
Dalam pengertian KTUN terdapat beberapa unsur yang merupakan
bagian dari KTUN yang tidak dapat dipisahkan. Unsur-unsur tersebut
adalah:
a. Penetapan tertulis;
Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 3 UU PTUN,
Penetapan tertulis menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk
keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN. KTUN
tersebut harus berbentuk tertulis, karena untuk memudahkan bagi
pembuktian.
b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN;
Badan atau Pejabat TUN yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku mempunyai wewenang untuk
melaksanakan urusan pemarintahan, sehingga dapat mengeluarkan
KTUN. Wewenang tersebut yang ada pada Badan atau Pejabat
TUN dapat diperoleh dengan cara atribusi, delegasi atau mandat.56
c. Berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-
undangan;
Merupakan tindakan dari Badan atau Pejabat TUN yang
dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahan
terhadap seseorang atau badan hukum perdata. Karena tindakan
56 R. Wiyono, Op.cit, h.20.
25
Badan atau Pejabat TUN atas dasar peraturan perundang-
undangan yang dapat menimbulkan akibat hukum, maka tindakan
tersebut dapat dikatakan tindakan hukum publik sepihak.57
d. Bersifat konkret, individual dan final;
Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam
KTUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat
ditentukan.
Bersifat individual, artinya KTUN itu tidak ditujukan untuk
umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju.
Bersifat final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum.
e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Yang dimaksud dengan “menimbulkan akibat hukum”
adalah menimbulkan akibat hukum TUN, karena penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang
menimbulkan akibat hukum tersebut adalah berisi tindakan hukum
TUN.
Akibat Hukum TUN dapat berupa:58
1) Menguatkan suatu hukum atau keadaan hukum yang telah ada
(declaratoir).
2) Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum
yang baru.
57 Ibid., h. 27-28.58 Ibid., h. 29-30, dikutip dari Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok
tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Penerbit Alumni, Bandung, 1985, h. 118-119.
26
3) Menolak untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan
hukum yang telah ada.
4) Menolak untuk menimbulkan hubungan hukum atau keadaan
hukum yang baru.
2.4 Penyelesaian Sengketa Melalui PTUN
Dalam penyelesaian sengketa dalam PTUN, memiliki beberapa tahapan
yang harus dilakukan oleh para pihak. Berdasarkan UU PTUN terdapat tiga
pemeriksaan yaitu pemeriksaan dengan acara biasa, acara pemeriksaan singkat
dan pemeriksaan dengan acara pemeriksaan cepat.
2.4.1 Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pihak yang merasa dirugikan oleh KTUN dapat mengajukan gugatan
kepada PTUN yang berwenang.59 Gugatan dapat diajukan selama sembilan
puluh hari terhitung sejak saat diterimanya dan diumumkannya Keputusan
Badan atau Pejabat TUN.
Apabila gugatan diterima, maka pengadilan menentukan hari sidang.
Jika penggugat dan kuasanya dalam sidang pertama dan pada pada sidang
kedua tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, maka
gugatan yang diajukan oleh penggugat dinyatakan gugur.
Jika tergugat tidak datang dalam dua kali sidang maka, Hakim Ketua
Sidang mengirimkan surat penetapan meminta atasan tergugat
memerintahkan tergugat untuk hadir dalam persidangan dan/atau
59 Pasal 53 ayat (1), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan TataUsaha Negara.
27
menanggapi gugatan. Jika telah lewat dua bulan sesudah dikirimkan surat
tercatat penetapan tidak menerima berita dari tegugat atau atasan tergugat,
maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan
pemeriksaan sengketa dengan acara biasa tanpa hadirnya tergugat.
Pemeriksaan sengketa dimulai dari pembacaan isi gugatan dan surat
yang memuat jawabannya, jika tidak ada surat jawaban, pihak tergugat
diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya. Demi kelancaran
pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang dalam sidang berhak
memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai
upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam
sengketa. Selama pemeriksaan eksepsi tentang kewenangan absolut
pengadilan dapat diajukan. Eksepsi yang dapat dilakukan dalam sengketa
TUN oleh tergugat dapat diklasifikasikan atas dua (2) kelompok, yaitu:60
a. Eksepsi prosesual ialah eksepsi yang didasarkan atas hukum
acara (procesuele exceptie):
1) Eksepsi hakim tidak berkuasa memeriksa gugatan yang
diajukan penggugat;
2) Eksepsi perkara telah diputus oleh hakim dan mempunyai
kekuatan tetap, sehingga berdasarkan asas nebis in idem,
perkara itu tidak dapat diadili lagi;
3) Eksepsi penggugat tidak mempunyai kedudukan sebagai
subjek penggugat;
4) Eksepsi tentang lewatnya waktu;
60 W. Riawan Tjandra, Op.cit, h. 105-106.
28
5) Eksepsi tidak lengkapnya subjek tergugat;
6) Eksepsi tentang sengketa masih tergantung atau masih dalam
proses pengadilan atau belum berkekuatan tetap.
b. Eksepsi didasarkan atas hukum materiil (materiele exceptie),
meliputi:
1) Dilaroire exceptie ialah eksepsi yang mengatakan bahwa
tuntutan penggugat belum dapat dikabulkan berhubung
dengan misalnya eksepsi tentang gugatan kabur atau tidak
terang;
2) Peremptiore exceptie, ialah eksepsi yang tetap menghalangi
dikabulkannya tuntutan penggugat.
Setelah pemeriksaan dilakukan maka dilanjutkan ke tahap
pembuktian, dimana tahap ini sangat menentukan putusan dalam proses
pengadilan. Pasal 100 UU PTUN menjelaskan mengenai alat-alat bukti
yang dapat dipergunakan dalam pembuktian di PTUN adalah:
a. Surat atau tulisan;
Surat sebagai alat bukti terdiri dari tiga jenis, yaitu:
1) Akta otentik;
2) Akta di bawah tangan; dan
3) Surat-surat lain yang bukan akta.
b. Keterangan ahli;
c. Keterangan saksi;
d. Pengakuan para pihak;
e. Pengetahuan hakim.
29
Jika pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, maka kedua belah
pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir
berupa kesimpulan dari masing-masing pihak. Suatu kesimpulan biasanya
berisikan hal-hal sebagai berikut:61
a. Kesimpulan jawab-menjawab;
b. Kesimpulan dan bukti-bukti tertulis;
c. Kesimpulan dan saksi.
Tahap terakhir adalah putusan Pengadilan TUN yang diucapkan
pada sidang terbuka untuk umum dan harus dihadiri oleh para pihak.
2.4.2 Acara Pemeriksaan Singkat
Pemeriksaan dengan acara singkat ialah prosedur acara yang
digunakan untuk memeriksa perlawanan dari penggugat terhadap
penetapan Ketua Pengadilan dalam rapat permusyawaratan.62 Jadi, acara
singkat ini digunakan sebagai bentuk perlawanan dari penggugat yang
merupakan reaksi atas hasil rapat permusyawaratan yang berupa penolakan
gugatan.
Berdasarkan Pasal 62 ayat (4) UU PTUN, acara singkat
dipergunakan untuk:
a. Pemeriksaan perlawanan;
b. Pemutusan terhadap upaya perlawanan.
61 Ibid., h. 117.62 Ibid., h. 133.
30
Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka
penetapan yang men-dismis gugatan penggugat gugur demi hukum dan
pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara
biasa.63
2.4.3 Acara Pemeriksaan Cepat
Permohonan gugatan dapat dikabulkan atau tidak selama empat
belas hari setelah diterimanya permohonan gugatan. Pemeriksaan dengan
acara cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal. Tenggang waktu untuk
jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing
ditentukan tidak melebihi empat belas hari.
2.4.4 Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap
yang dapat dilaksanakan.64
Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima tergugat dan tergugat
tidak melaksanakan kewajibannya untuk mencabut KTUN, mencabut dan
menerbitkan KTUN baru atau menerbitkan KTUN baru, maka KTUN
yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.65
Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban
mencabut KTUN dan menerbitkan KTUN baru, dan kemudian setelah 90
(sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan,
63 Pasal 62 ayat (5), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan TataUsaha Negara.
64 Pasal 115, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata UsahaNegara.
65 Pasal 116 ayat (2), Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan KeduaAtas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
31
maka penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan
agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan
pengadilan tersebut.66
Jika tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang
dan atau sanksi administratif. Jika masih tidak bersedia melaksanakan
putusan tersebut akan diumumkan ke media massa cetak setempat oleh
penitera. Selain diumumkan di media massa cetak setempat, ketua
pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan pengadilan dan kepada lembaga perwakilan rakyat
untuk menjalankan fungsi pengawasan.
2.5 Jenis Putusan Pengadilan TUN
Putusan Pengadilan TUN merupakan bagian akhir dalam
pemeriksaan sengketa, dimana putusan ini menjadi penentu apakah tindakan
Badan atau Pejabat TUN dalam mengeluarkan KTUN benar atau salah.
Secara umum Putusan Pengadilan harus mencerminkan 4 (empat)
kriteria pokok dari asas-asas peradilan yang baik, sebagaimana diutarakan
Pleh de Waard, yaitu:67
66 Pasal 116 ayat (3), Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan KeduaAtas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
67 W. Riawan Tjandra, Op.cit, h. 135.
32
a. Decisie beninsel (right to a decision), asas bahwa seorang hakim
harus menjatuhkan putusan dan di dalam tenggang waktu yang
pantas. Termasuk disini hak setiap orang untuk mengajukan
gugatan (perkara) dan larangan bagi hakim untuk menolak
mengadili/memeriksa perkara, kecuali ditentukan oleh undang-
undang.
b. Verdidigings beginsel (a fair hearing), asas bahwa setiap pihak
yang berperkara berhak atas kesempatan membela diri (prinsip
audi et alteram partem), dan bahwa kedua belah pihak juga
harus mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama dalam
mengetahui, mengajukan berkas-berkas pembuktian, dan
memperolah informasi.
c. Onpartijdigheids beginsel (no bias), asas bahwa putusan
dijatuhkan secara objektif, tidak dipengaruhi oleh kepentingan-
kepentingan pribadi atau angota-anggota instansi peradilan,
ataupun didasarkan atas motif-motif yang tidak bersifat zakelijk
(?), ataupun adanya kontak (hubungan) secara tersembunyi dari
salah satu pihak atau diluar perkara dengan hakim, sehingga
menyimpang dari prosedur semestinya.
d. Motiverings bginsel (reasons and argumentations of decision),
asas bahwa putusan hakim harus memuat alasan-alasan hukum
yang jelas dan dapat dimengerti, serta bersifat konsisten dengan
penelaran hukum yang runtut. Sekalipun bagi hakim ada
kebebasan dan diskresi untuk menentukan dan menjatuhkan
33
putusannya, namun kesemuanya itu harus didasarkan pada
argumen-argumen yang dapat diawasi dan diikuti
(controlerbaarheid).
Berdasarkan prosesnya, putusan pengadilan dapat diklasifikasikan
atas:
1. Putusan Akhir.
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa
atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putusan
akhir terdiri dari:
a. Putusan akhir yang bersifat menghukum (condemnatoir).
Putusan ini adalah putusan yang bersifat menghukum pihak
yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi, meliputi:
memberi, berbuat dan tidak berbuat.68
Misalnya, tergugat dibebani untuk membatalkan surat
keputusan yang digugat. Tergugat dibebani membayar ganti
rugi atau melakukan rehabilitasi.
Contoh:
Dalam Putusan Pengadilan TUN Semarang No.
002/G/2016/PTUN.SMG, yaitu perlawanan antara dr. H.
MUHAMMAD DJUFRIE As, SKM., (Penggugat) dengan
Plt. KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAERAH
PROPINSI JAWA TENGAH (Tergugat) yang menjadi objek
gugatan adalah Pengembalian Dokumen Permohonan Ijin
68 Ibid, h. 137, 138.
34
Operasional Rumah Sakit Islam Surakarta Kelas B. Dalam
amar putusan terdapat beberapa poin yang diputuskan oleh
hakim ketua yaitu:
1) Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;
2) Menyatakan batal Keputusan Tata Usaha Negara berupa
Surat Plt. Kepala Badan Penanaman Modal Daerah
Provinsi Jawa Tengah Nomor : 445/36 tertanggal 7
Januari 2016 Perihal : Pengembalian Dokumen
Permohonan Izin Operasional RS Islam Surakarta Kelas
B;
3) Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Keputusan
Tata Usaha Negara berupa Surat Plt. Kepala Badan
Penanaman Modal Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor
: 445/36 tertanggal 7 Januari 2016 Perihal : Pengembalian
Dokumen Permohonan Izin Operasional RS Islam
Surakarta Kelas B, dan menerbitkan Perubahan Izin
Operasional Rumah Sakit Islam Surakarta Kelas B yang
dimohonkan Penggugat melalui suratnya Nomor :
6.433/A-3/DIRUT/IX/2015 tertanggal 28 September
2015 Perihal : Permohonan Proses Lanjut Perubahan Izin
Operasional Rumah Sakit Islam Surakarta Kelas B;
4) Membebankan kepada Tergugat dan Tergugat II
Intervensi untuk membayar biaya perkara dalam sengketa
35
ini sebesar Rp. 258.500 (Dua ratus lima puluh delapan
ribu lima ratus rupiah).
b. Putusan akhir yang bersifat menciptakan (constitutif).
Putusan ini adalah putusan yang meniadakan atau
menciptakan keadaan hukum.69
Misalnya, tergugat selain dibebani kewajiban yang harus
dilakukan juga dibebani kewajiban untuk menerbitkan
KTUN yang baru.
Contoh:
Putusan Pengadilan TUN Semarang NOMOR :
40/G/2012/PTUN.Smg. yaitu perlawanan antara
FACHRIANOOR (Penggugat) dengan KEPALA DESA
CANGKRING KECAMATAN KARANGANYAR
(Tergugat I) dan SUYIGNO (Tergugat II) mengenai Surat
Keputusan Kepala Desa Cangkring – Kecamatan
Karanganyar – Kabupaten Demak Nomor : 141 / 07 / 2012
yang tidak menghalangi saudara penggugat untuk bisa
dinyatakan sebagai anggota dalam perangkat desa. Dalam
amar putusan menegaskan bahwa:
1) Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2) Menyatakan batal Surat Keputusan Kepala Desa
Cangkring, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak
Nomor :141/07/2012 tertanggal 23 Mei 2012 tentang
69 Ibid, h. 137, 139.
36
Pengangkatan Saudara Suyigno sebagai Perangkat Desa
Cangkring, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak
beserta lampirannya;
3) Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Kepala
Desa Cangkring, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten
Demak Nomor :141/07/2012 tertanggal 23 Mei 2012
tentang Pengangkatan Saudara Suyigno sebagai
Perangkat Desa Cangkring Kecamatan Karanganyar
Kabupaten Demak beserta lampirannya;
4) Memerintahkan kepada Tergugat menerbitkan Keputusan
tentang Pengangkatan Saudara Fachrianoor sebagai
Perangkat Desa Cangkring, Kecamatan Karanganyar
Kabupaten Demak dengan jabatan sebagai Kadus III;
5) Menghukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi untuk
membayar biaya yang timbul dalam perkara ini secara
tanggung renteng sebesar Rp. 337.500,- (Tiga ratus tiga
puluh tujuh ribu lima ratus rupiah).
c. Putusan yang bersifat pernyataan (dedclaratoir) adalah
putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan
apa yang sah.70
Misalnya, penetapan dismisal, gugatan tidak diterima
(ditolak).
Contoh:
70 Ibid, h. 137, 138.
37
Putusan Pengadilan TUN Semarang NOMOR: 23/G
/2012/PTUN.SMG. yaitu perlawanan antara THONTOWI
JAUHARI (Penggugat) dengan GUBERNUR JAWA
TENGAH (Tergugat) mengenai Keputusan Gubernur Jawa
Tengah Nomor 170/14 Tahun 2012 Tentang Peresmian
Pemberhentian Dan Peresmian Pengangangkatan Wakil
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Boyolali
Masa Bakti Tahun 2009 -2014, tanggal 28 Maret 2012. Pada
amar putusan menegaskan bahwa:
1) Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard);
2) Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 226.500,- (Dua ratus dua puluh enam ribu
lima ratus rupiah).
2. Putusan sela atau putusan antara.
Putusan ini berfungsi untuk memperlancar pemeriksaan perkara.
Ditinjau dari kekuatan putusan, maka terdapat tiga macam kekuatan
yang terdapat pada putusan hakim, yaitu:71
1. Kekuatan mengikat
Putusan hakim yang telah bersifat tetap, tidak dapat digunakan
upaya hukum lagi atau telah pasti memiliki kekuatan mengikat.
Putusan hakim di PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap
71 Ibid, h. 139.
38
memiliki kekuatan mengikat erga omnes, artinya dapat berlaku
bagi siapa saja tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.
2. Kekuatan eksekutorial
Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap pada
umumnya dapat dijalankan, sehingga disebut telah memiliki
kekuatan eksekutorial.
3. Kekuatan pembuktian
Kekuatan pembuktian putusan pengadilan itu sejajar dengan akta
otentik, sehingga selalu diakui kebenarannya sepanjang telah
berkekuatan hukum tetap.
Dalam penulisan karya tulis ini, penulis berfokus kepada putusan
akhir Pengadilan TUN yang bersifat menghukum (condemnatoir). Karena
dalam putusan yang bersifat menghukum terdapat suatu keharusan bagi
Pejabat TUN untuk melakukan kewajiban yang telah diputuskan dalam
Putusan Pengadilan TUN.