Upload
duongnhi
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS
2.1 Teori Kepemimpinan
2.1.1 Pengertian Kepemimpinan
”Kepemimpinan menurut Ralph M. Stogdill (Wahjosumidjo 1994:23)
didefinisikan sebagai sarana pencapaian tujuan yang dimaksudkan dalam
hubungan ini pemimpin merupakan seseorang y a ng me miliki suatu
program dan yang berperilaku secara bersama - sama dengan anggota -
anggota kelompok dengan mempergunakan cara atau gaya tertentu,
sehingga kepemimpinan mempunyai peranan sebagai kekuatan dinamik
yang mendorong, memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan”.
Kepemimpinan adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan
berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang akan mengakibatkan kesediaan
untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran (Jacob &
Jacques 1990 : 281)
Dari Definisi ini, nampak bahwa kepemimpinan adalah suatu
proses, bukan orang. Proses dalam kepemimpinan meliputi tiga faktor,
yaitu pemimpin, pengikut dan faktor situasi Perlu diperhatikan bahwa
definisi tersebut tidak menyebut suatu jenis organisasi tertentu. Dalam
situasi apa pun dimana seseorang berusaha mempengaruhi perilaku orang
lain atau kelompok maka sedang berlangsung kepemimpinan. Dengan
9
10
demikian setiap orang melakukan proses kepemimpinan dari waktu ke
waktu, apakah aktivitasnya dipusatkan dalam dunia usaha, lembaga
pendidikan, rumah sakit, organisasi politik, atau keluarga. Dari beberapa
teori diatas yang menjadi acuan dalam penelitian ini yaitu teori menurut
Stogdill (dalam Wahjosumidjo 1995:23).
2.1.2 Tipe-Tipe Kepemimpinan
Siagian (1993 : 27) mengemukakan, ada beberapa tipe
kepemimpinan yang antara lain :
1) Tipe Otokratik.
Tipe kepemimpinan ini berdasarkan dari pada kekuasaan dan
pelaksanaan yang harus dipatuhi. Setiap perintah dan kebijakan yang
ditetapkan tanpa berkonsultasi dengan bawahannya, tipe ini
senantiasa ingin berkuasa mutlak dan tunggal.
2) Tipe Paternalistik.
Tipe yang berwujud keinginan agar pemimpin mau berperan
sebagai bapak yang bersifat melindungi dan layak dijadikan sebagai
tempat bertanya dan untuk memperoleh petunjuk. Pemimpin dengan
tipe ini menganggap bahwa bawahannya sebagai orang yang belum
dewasa dan jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya
untuk mengambil keputusan sendiri.
3) Tipe Karismatik.
Yaitu tipe yang memiliki daya tarik dan bawahannya sangat
dikagumi oleh banyak pengikutnya.
11
4) Tipe Laissez Faire.
Yaitu tipe pemimpin yang berpandanga n bahwa pada umumnya
organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya ka rena para
anggota organisasi terdiri dari orang–orang yang sudah dewasa dan
bert anggung jawab atas pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya.
5) Tipe Demokratis.
Yaitu tipe kepemimpinan yang memberikan bimbingan yang
efisien kepada bawahannya dan terd apat koordinasi. Pekerjaan dari
semua bawahannya dan mempunyai kerja sama yang baik.”
Dari tipe – tipe di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang
pemimpin haruslah sebagai bapak yang kharismatik yang bersifat
melindungi, layak dijadikan sebagai tempat bertanya untuk memperoleh
petunjuk, memberikan bimbingan yang efisien kepada bawahannya serta
mengkoordi nasikan segala sesuatu dengan baik.
(Sule & Saefullah 2006:269) Dalam hal perilaku pemimpin, ada
empat tipe pemimpin berdasarkan model jalan tujuan yakni :
1. Pemimpin direktif, yaitu pemimpin yang cenderung menentukan
langsung apa yang harus dilakukan oleh bawahan dan apa yang di
harapkan oleh pemimpin. Pemimpin seperti ini langsung memberikan
arah dan panduan, serta memberikan jadwal kerja spesifik.
2. Pemimpin Suportif, yaitu pemimpin yang cenderung bersahabat dan
mudah diajak berdialog oleh siapapun, memberikan perhatian penuh
12
pada kesejahteraan bawahan, serta memperlakukan anggota secara
setara.
3. Pemimpin Partisipatif, yaitu pemimpin yang cenderung untuk
memberikan konsultasi kepada bawahan, mengakomodai berbagai
masukan, serta melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan.
4. Pemimpin Prestatif, yaitu pemimpin yang memiliki misi perubahan dan
standar yang tinggi akan produktivitas, memberikan dorongan kepada
bawahan untuk berprestasi, dan memotivasi kemampuan bawahan
dalam melakukan berbagai pekerjaan.
Sedangkan menurut Hasibuan (2006:170 ) gaya atau tipe
kepemimpinan disajikan tidak persis sama, tetapi makna dan hakikatnya
bertujuan untuk mendorong gairah kerja, kepuasan kerja, dan
produktivitas kerja karyawan yang tinggi agar dapat mencapai tujuan
orgnaisasi yang maksimal. Tipe kepemimpinan yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
1. Kepemimpinan Otoriter, adalah kekuasaaan atau wewenang, sebagian
besar mutlak tetap berada pada pimpinan atau kalau pimpinan itu
menganut sistem sentralisasi wewenang.
2. Kepemimpinan Partisipasif, adalah apabila dalam kepemimpinannya
dilakukan dengan cara persuasif, menciptakan kerja sama yang serari,
menumbuhkan loyalitas, dan partisipasi para bawahan.
13
3. Kepemimpinan Delegatif, adalah apabila seorang pemimpin
mendelegasikan wewenang bawahan agak lengkap.
4. Kepemimpinan Situasional, adalah gaya kepemimpinan yang harus
digunakan kepada individu atau kelompok tergantung tingkat kesiapan
orang yang akan dipengaruhi.
Demikian pula dijelaskan oleh Blake dan Mouton dalam (Sule &
Saefullah 2006:262) mengenai gaya atau tipe kepemimpinan yang
dinamakan management grid dan seringkali juga disebut sebagai
democatic management sytle adalah sebagai berikut :
1. Improvished Managament atau gaya manajemen yang memiliki
karakteristik rendah sekali upaya yang dilakukan baik untuk melakukan
pekerjaan maupun membangun tim atau relasi sosial.
2. Country cub management atau tipe kepemimpinan yang memiliki
perhatian yang tinggi pada orang-orang namun rendah terhadap
pekerjaan.
3. Middle of the road management atau tipe kepemimpinan berada dalam
posisi yang seimbang, dan cukup baik untuk digunakan dalam sebuah
organisasi, karena memiliki orientasi yang cukup baik pada orang-
orang maupun pekerjaan.
4. Authory compliance atau tipe kepemimpinan yang merupakan
kebalikan dari country club management dimana pemimpin atau
manajer cenderung lebih berorientasi pada pekerjaan dan sangat
mengabaikan pada orang-orang.
14
5. Team management adalah pemimpin atau manajer yang ideal dimana
mereka memiliki perhatian yang tinggi kepada pekerjaan sekaligus
orang-orang.
2.1.3 Peran Kepemimpinan
Peran kepemimpinan merupakan aspek yang dinamis dari
kedudukan (status). Apabila seseorang yang melakukan hak dan
kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu
peranan (Soekanto 1984 : 237).
Menurut Thoha (2006 : 49) bahwa “peran kepemimpinan
merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat
orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia
lihat. Sedangkan Gibson (2001 : 263) menyatakan bahwa “gaya
kepemimpinan adalah usaha mempengaruhi orang antar perseorangan
(interpersonal) berkat proses komunikasi untuk mencapai sesuatu atau
beberapa tujuan”. Selanjutnya Harsey dan Blanchard (2004 : 150),
mengemukakan “Gaya kepemimpinan adalah pola perilaku konsisten
yang mereka terapkan dalam bekerja dengan melalui orang lain seperti
yang dipersepsikan orang-orang itu.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap pemimpin pada
dasarnya memiliki perilaku yang berbeda dalam memimpin para
pengikutnya, perilaku para pemimpin itu disebut dengan peran
kepemimpinan. Peran atau gaya kepemimpinan merupakan suatu cara
15
pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya yang dinyatakan dalam
bentuk pola tingkah laku atau kepribadian.
2.1.4 Peranan dan fungsi kepemimpinan
Menurut Covey (dalam Yuliani 2002 : 6) ada tiga peranan pemimpin
dalam kelompok/organisasi antara lain :
1. Pathfinding (pencarian alur), mengsandung sistem nilai dan visi
dengan kebutuhan pelanggan melalui suatu perencanaan strategis
yang disebut the strategic pathway (jalur strategi).
2. Aligning (penyelarasan), upaya memastikan bahwa struktur, sistem
dan operasional organisasi memberi dukungan pada pencapaian visi
dan misi dalam memenuhi kebutuhan pelanggan.
3. Empowerment (pemberdayaan), suatu semangat yang digerakkan
dalam diri orang-orang yang mengungkapkan bakat, kecerdikan dan
kreativitas laten, untuk mampu mengerjakan apapun dan konsisten
dengan prinsip-prinsip yang disepakati untuk mencapai nilai, visi dan
misi bersama dalam melayani pelanggan.
Sedangkan menurut Rivai (2004 : 53) fungsi kepemimpinan
memiliki dua dimensi yakni :
a. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan
(direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin.
16
b. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau
keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-
tugas pokok dalam organisasi.
Selanjutnya Rivai (2004 : 53-55) membedakan fungsi pokok
kepemimpinan secara operasional yaitu :
a. Fungsi Instruktif, Fungsi ini bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin
sebagai komunikator merupakan pihak yang menentukan apa,
bagaimana, bilamana, dan dimana perintah itu dikerjakan agar
keputusan dapat dilaksanakan secara efektif. Kepemimpinan yang
efektif memerlukan kemampuan untuk menggerakkan dan memotivasi
orang lain agar mau melaksanakan perintah.
b. Fungsi Konsultatif, Fungsi ini bersifat komunikasi dua arah. Pada tahap
pertama dalam usaha menetapkan keputusan, pemimpin kerapkali
memerlukan bahan pertimbangan yang mengharuskannya
berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya yang dinilai
mempunyai berbagai bahan informasi yang diperlukan dalam
menetapkan keputusan. Tahap berikutnya konsultasi dari pimpinan
pada orang-orang yang dipimpin dapat dilakukan setelah keputusan
ditetapkan dan sedang dalam pelaksanaan. Konsultasi itu
dimaksudkan untuk memperoleh masukan berupa umpan balik
(feedback) untuk memperbaiki dan menyempurnakan keputusan-
keputusan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Dengan
menjalankan fungsi konsultatif dapat diharapkan keputusan-keputusan
17
pimpinan, akan mendapat dukungan dan lebih mudah
menginstruksikannya sehingga kepemimpinan berlangsung efektif.
c. Fungsi Partisipasi, Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha
mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan
mengambil keputusan maupun dalam melaksanakannya. Partisipasi
tidak berarti bebas berbuat semaunya, tetapi dilakukan secara
terkendali dan terarah berupa kerjasama dengan tidak mencampuri
atau mengambil tugas pokok orang lain. Keikutsertaan pemimpin harus
tetap dalam fungsi sebagai pemimpin dan bukan pelaksana.
d. Fungsi Delegasi, Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan
pelimpahan wewenang membuat atau menetapkan keputusan, baik
melalui persetujuan maupun tanpa persetujuan dari pimpinan. Fungsi
delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan. Orang-orang penerima
delegasi itu harus diyakini merupakan pembantu pemimpin yang
memiliki kesamaan prinsip, persepsi dan aspirasi.
e. Fungsi Pengendalian, Fungsi pengendalian bermaksud bahwa
kepemimpinan yang sukses/ efektif mampu mengatur aktivitas
anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif,
sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara
maksimal. Fungsi pengendalian ini dapat diwujudkan melalui kegiatan
bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan pengawasan.
18
Menurut Robbins (2003 : 52) bahwa gaya serta peran dari
kepemimpinan terdiri dari empat yaitu directing, coaching, supporting dan
delegating.
a. Mengarahkan (directing) : Memberikan instruksi tertentu dan
mengawasi dari dekat.
b. Melatih (coaching) : Menerangkan instruksi, mengundang pendapat
dan memberikan bimbingan.
c. Mendukung (supporting) : Membagi proses pembuatan keputusan dan
pemecahan masalah dengan anak buahnya dalam menyelesaikan
tugas.
d. Mendelegasikan (delegating) : Mendelegasikan wewenang dan tugas
kepada bawahaannya untuk percaya bahwa mereka mampu
melaksanakan tugas itu.
2.1.5 Teori Kepemimpinan Situasional
Konsep dasar teori kepemimpinan situasional sebagaimana
dikemukakan Hersey, Balanchard, Johnson., (1996 ; 190) dengan
argumen sebagai berikut:
“According to Situational Leadership, there is no one best way to
influence people. Which leadership style a person should use with
individuals or groups depends on the readiness level of the people the
leader is attempting to influence. Before we look at the application of the
Situational Leadership model, it is important that we understand
19
leadership styles as they are use in the model and the ideas of follower
readiness”.
Dalam menerapkan model kepemimpinan situasional, memahami
gaya kepemimpinan bagaimana yang digunakan dalam model dan ide
kesiapan (kematangan) pengikut. Lebih lanjut Schermarhorn (2001:1)
menjelaskan bahwa:
A situational leadership model, helpful to managers in diagnosing the
demands of their situation has been develop as a result of extensive
research. Situational leadership is based on interplay among the amount
of : (1) Direction (task behavior) a leader gives, (2) Socio emotional
support (relationship behavior) a leader provides, (3) Readiness level that
follower exhibit on a specific task, function, activity, or objectives that
leader is attempting to accomplish through the individual or group.
Kepemimpinan Situasional didasarkan atas hubungan antara kadar
bimbingan dan arahan (perilaku tugas), kadar hubungan sosio emosional
(perilaku hubungan), level kesiapan (kematangan), seperti pada Gambar
2.1. Dengan demikian kepemimpnan memiliki tiga dimensi yaitu perilaku
tugas, perilaku hubungan dan kematangan anggota. Perilaku tugas
diartikan sebagai kadar sejauh mana pemimpin menyediakan arahan
kepada pengikut. Arahan yang dimaksud meliputi apa yang harus
dilakukakan, kapan dan dimana melakukannya, cara melakukan
pekerjaan. Sedangkan perilaku hubungan diartikan sebagai kadar
20
sejauhmana pemimpin melakukan hubungan dua arah dengan pengikut.
Pemimpin dalam hal ini menyediakan dukungan, dorongan, memberikan
kemudahan kepada pengikut. Dengan demikian pemimpin secara aktif
menyimak dan memberikan dukungan terhadap upaya pengikut dalam
melaksanakan pekerjaan mereka.
Gambar 2.1 : Model Kepemimpinan Situasional. Sumber : Hersey, Blanchard, Johnson, (1996;200).
DELEG
ATIN
G
PAR
TIC
IPAT
ING SELLIN
G
TELLINGS1S4
S3 S2Share ideasand facilitatein decisionmaking
Explaindecisionsandprovideoppotunityforclasification
Hi. RelLo. Task
Hi. TaskHi. Rel
Turn overresponsibilityfor decisionsandimplementation
Hi. TaskLo. Rel
Lo. RelLo. Task
Providespecificinstructionsand closelysuperviseperformance
LEADER BEHAVIOR
21
Kombinasi dari perilaku tugas dan perilaku hubungan menciptakan
gaya kepemimpinan seperti yang tertera dalam gambar 2.1 terdiri dari
empat gaya kepemimpinan situasional sebagai berikut:
1). “Telling” (memberitahukan) adalah gaya bagi pengikut yang memiliki
tingkat kematangan yang rendah. Maksudnya orang-orang tidak
memiliki kemampuan
dan kemauan memikul tanggung jawab untuk melakukan sesuatu
adalah tidak kompoten atau tidak yakin. Peran pemimpin dalam hal ini
memberikan arahan, supervisi. Gaya ini dicirikan oleh perilaku
pemimpin yang menetapkan peranan dan memberitahu orang-orang
tentang apa, bagaimana, kapan dan dimana melakukan tugas, (S1).
2). “Selling” (menjajakan), gaya ini diterapkan bagi pengikut yang memiliki
tingkat kematangan rendah kesedang, orang-orang tidak memiliki
kemampuan tetapi mau memikul tanggung jawab untuk melakukan
sesuatu tugas adalah yakin tetapi kurang memiliki keterampilan. Hal ini
disebut “menjajakan” karena peimimpin menyediakan hampir seluruh
arahan. Tetapi melalui komunikasi dua arah dan penjelasan,
diharapkan pengikut turut mengambil bagian dalam perilaku yang
diinginkan, (S2).
3). “Participating” (mengikutsertakan), gaya kepemimpinan ini diterapkan
bagi pengikut yang memiliki tingkat kematangan dari sedang ke tinggi.
Orang-orang pada tingkat kematangan ini memiliki kemampuan tetapi
tidak mau melakukan hal-hal yang diinginkan pemimpin. Disebut
22
“participating” (mengikutsertakan), artinya pemimpin dan pengikut
berbagi tanggungjawab dalam pengambilan keputusan, dan peranan
pemimpin dalam hal ini adalah memudahkan dan berkomunikasi
dengan pengikut, tanda S3. Beberapa penelitian tentang
kepemimpinan partisipatif (Yulk, 1994;135,136) telah dilaksanakan
antara lain oleh Bragg dan Andrews (1973) dalam sebuah studi
eksperimental tentng partisipasi pada sebuah departemen cuci
pakaian (laundry) sebuah rumah sakit, Cotton, Vollrath, Frogatt,
Lengnick-Hall, dan Jennings (1990); Miller dan Monge (1986); Wigner
dan Gooding (1987), mereka pada umumnya memberikan kesimpulan
hasil penelitian yang berbeda satu sama lain disebabkan perbedaan
bidang ilmu yang dikuasai. Lain dengan hasil penelitian dari Bradford
dan Kohen (1984); Kanter (1983); Kouzes dan Posner (1987); Petter
dan Austin (1985); Petters dan Waterman (1982) tentang manajer yang
efektif lebih memberikan dukungan yang konsisten kepada
kepemimpinan partisipatif. Penelitian tersebut menemukan bahwa para
manajer yang efektif menggunakan sejumlah konsultasi dan
pendelegasian yang substansial untuk memberikan kekuasaan kepada
bawahan dan memberikan perasaan kepemilikan terhadap kegiatan-
kegiatan dan keputusan-keputusan. Semuanya menyimpulkan bahwa
kepemimpinan partisipatif kadang-kadang menghasilkan kepuasan,
usaha dan kinerja lebih tinggi.
23
4). “Delegation” (mendelegasikan), adalah gaya kepemimpinan yang
diterapkan bagi pengikut yang memiliki tingkat kematangan yang
tinggi. Orang-orang dengan tingkat kematangan seperti ini memiliki
kemauan dan kemampuan atau memiliki keyakinan untuk memikul
tanggung jawab, dengan kode S4. Pada gaya ini arahan dan dukungan
pemimpin adalah rendah, pemimpin menyerahkan tanggungjawab
melaksanakan rencana kepada pengikut yang matang untuk
melaksanakan sendiri pekerjaan. Aherman, (1966) dan Webber (1981)
dalam Youlk (1994;146) mengemukakan aspek utama pendelegasian
adalah keanekaragaman dan besarnya tanggung jawab, jumlah
kebebasan atau jajaran pilihan yang diperkenankan dalam
memutuskan bagaimana melaksanakan tanggung jawab, kewenangan
untuk mengambil tindakan dan melaksanakan keputusan tanpa
persetujuan terlebih dahulu, frekuensi dan sifat dari persyaratan
melapor, serta arus dari informasi tentang prestasi kerja.
Keempat gaya kepemimpinan situasional di atas, oleh Mc Kinsey &
Company (2003:5) menyebut telling = directive, selling = supportive,
participation = participative, delegating = achievement – oriented.
Selanjutnya dijelaskan bahwa keempat komponen gaya kepemimpinan
situasional tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap motivasi
anggota dalam mengambil kepetusan (McKinsey & Company (2003:5)).
Jadi, penekanan perilaku kepemimpinan situasional adalah pada pola
membangun hubungan antara pengurus dan anggota koperasi. Sebagai
24
pengurus menurut teori kepemimpinan situasional idealnya
mengedepankan kebiasaan mendengar, berkomunikasi multi arah,
memfasilitasi, mengklarifikasi, dan memberikan dukungan sosial atau
emosional kepada pengikut (K. State, 1998:1).
Ketepatan penerapan gaya kepemimpinan didasarkan pada tingkat
kematangan (maturity) atau kesiapan (readiness) para pengikut yaitu
kemampuan dan kemauan (ability and willingness) para pengikut dalam
hal memikul tanggungjawab untuk mengarahkan perilaku para pengikut itu
sendiri. Kematangan anggota terdiri dari (1) kematangan rendah, dalam
hal ini anggota tidak memiliki kemampuan dan kemauan untuk memikul
tanggungjawab (2) kematangan rendah kesedang, artinya anggota tidak
memiliki kemampuan akan tetapi memiliki keingginan untuk memikul
tanggungjawab, (3) kematangan sedang ketinggi dalam hal ini anggota
memiliki kemampuan akan tetapi tidak memiliki kemauan untuk memikul
tanggungjawab, (4) kematangan tinggi artinya anggota memiliki
kemampuan dan kemauan untuk memikul tanggungjawab. Apilikasi gaya
kepemimpinan yang didasarkan pada model teori kepemimpinan
situasional sesuai gambar 2.1 yaitu adanya kesesuaian gaya
kepemimpinan dengan kematangan anggota (pengikut).
Berdasarkan kajian teori kepemimpinan sebagaimana dijelaskan
diatas, maka dalam hasil penelitian ini calon peneliti akan menggunakan
25
teori Mc Kinsey & Company (2003:5) tentang gaya kepemimpinan
situasional sebagai berikut :
1. Telling
2. Selling
3. Participation
4. Delegating
26
2.2 Teori Motivasi
2.2.1 Pengertian Motivasi
”Motivasi menurut Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan (2008:219) adalah
pemberian daya gerak yang m e nciptakan kegairahan kerja seseorang
agar mereka mau bekerja sama , bekerja efektif dan terintegrasi dengan
segala upayanya untuk me ncapai kepuasan”
Penjelasan mengenai konsep motivasi manusia menurut A.H.
Maslow (Ulber Silalahi 2002:345) mengacu pada lima kebutuhan pokok
yang disusun secara hirarkis. Tata lima tingkatan motivasi secara secara
hirarkis ini adalah sbb :
1. Kebutuhan fisiologis (physiological needs).
Manifestasi kebutuhan ini terlihat dalam tiga hal pokok,sandang,
pangan dan papan. Bagi karyawan, kebutuhan akan gaji, uang
lembur, perangsang, hadiah-hadiah dan fasilitas lainnya seperti
rumah, kendaraan dll. Menjadi motif dasar dari seseorang mau
bekerja, menjadi efektif dan dapat memberikan produktivitas yang
tinggi bagi organisasi.
2. Kebutuhan keamanan (safety needs).
Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan, ketentraman
dan jaminan seseorang dalam kedudukannya, jabatan-nya,
wewenangnya dan tanggung jawabnya sebagai karyawan. Dia dapat
27
bekerja dengan antusias dan penuh produktivitas bila dirasakan
adanya jaminan formal atas kedudukan dan wewenangnya.
3. Kebutuhan sosial (Social Needs).
Kebutuhan akan kasih sayang dan bersahabat (kerjasama)
dalam kelompok kerja atau antar kelompok. Kebutuhan akan
diikutsertakan, mening-katkan relasi dengan pihak-pihak yang
diperlukan dan tumbuhnya rasa kebersamaan termasuk adanya sense
of belonging dalam organisasi.
4. Kebutuhan akan prestasi (Esteem Needs).
Kebutuhan akan kedudukan dan promosi dibidang kepegawaian.
Kebutuhan akan simbul-simbul dalam statusnya se¬seorang serta
prestise yang ditampilkannya.
5. Kebutuhan mempertinggi kapisitas kerja (Self actualization).
Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya dengan
baik. Hal ini merupakan kebutuhan untuk mewujudkan segala
kemampuan (kebolehannya) dan seringkali nampak pada hal-hal yang
sesuai untuk mencapai citra dan cita diri seseorang. Dalam motivasi
kerja pada tingkat ini diperlukan kemampuan manajemen untuk dapat
mensinkronisasikan antara cita diri dan cita organisasi untuk dapat
melahirkan hasil produktivitas organisasi yang lebih tinggi.
Teori Maslow tentang motivasi secara mutlak menunjukkan
perwujudan diri sebagai pemenuhan (pemuasan) kebutuhan yang
bercirikan pertumbuhan dan pengembangan individu. Perilaku yang
28
ditimbulkannya dapat dimotivasikan oleh manajer dan diarahkan sebagai
subjek-subjek yang berperan. Dorongan yang dirangsang ataupun tidak,
harus tumbuh sebagai subjek yang memenuhi kebutuhannya masing-
masing yang harus dicapainya dan sekaligus selaku subjek yang
mencapai hasil untuk sasaran-sasaran organisasi.
Menurut Hasibuan(1987:23) motivasi adalah pemberian daya
penggerak yang menciptakan kegairahan bekerja seseorang agar mereka
mau bekerja sama, bekerja efektif dan integrasi dengan segala daya
upaya untuk mencapai keputusan.
Dalam memahami motivasi, hal yang penting adalah motivasi
haruslah timbul secara sadar dalam karakter dan pribadi setiap pegawai,
sehingga akan timbul kesadaran untuk mengarahkan segala daya yang
dimiliki demi terwujudnya tujuan organisasi. Sedangkan menurut Robbin
(1996 : 99) mendefinisikan motivasi kerja sebagai kesediaan untuk
melakukan upaya yang tinggi kearah tujuan organisasi yang dikondisikan
oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi kebutuhan individual.
Definisi lain tentang motivasi menurut Gray et-al dalam (Winardi,
2001 : 2). Menyatakan bahwa motivasi merupakan hasil sejumlah proses,
yang bersifat internal atau eksternal bagi seseorang individu, yang
menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi dalam hal
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.
29
Menurut Nawawi (2003 : 351) “motivasi merupakan suatu kondisi
yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan sesuatu
perbuatan/kegiatan, yang berlangsung secara sadar”
Dengan demikian maka dapat diambil kesimpulan bahwa motivasi
merupakann dorongan dalam diri seseorang atau dari luar lingkungan
untuk memenuhi keinginan, maksud dan tujuan, namun dalam
penerapannya nanti, penggunaan masing-masing unsur tersebut adalah
berbeda untuk setiap karyawan. Sesuai kebutuhan dan keinginan masing-
masing.
2.2.2 Metode Motivasi Kerja.
Menurut Sardiman (2005 : 89-91), motivasi dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu :
a. Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah motif–motif (daya penggerak) yang menjadi
aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena di
dalam diri setiap individu sudah terdapat dorongan untuk melakukan
sesuatu.
b. Motivasi Ekstrinsik
Dorongan yang menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu
itu bersumber pada suatu kebutuhan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Sedangkan Menurut Hasibuan (2006 : 149) metode-metode
motivasi adalah sebagai berikut :
30
a. Motivasi Langsung (Direct Motivation), adalah motivasi (materil dan
non materil) yang diberikan secara langsung kepada setiap individu
karyawan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasannya. Jadi
sifatnya khusus seperti memberikan pujian penghargaan, bonus,
piagam dan lain sebagainya.
b. Motivasi Tidak Langsung (Indirect Motivation), adalah motivasi yang
diberikan hanya merupakan fasilitas-fasilitas yang mendukung serta
menunjang gairah kerja/kelancaran tugas, sehingga para karyawan
betah dan bersemangat melakukan pekerjaannya. Motivasi tidak
langsung ini besar pengaruhnya untuk merangsang semangat
bekerja karyawan, sehingga produktivitas kerja meningkat.
2.2.3 Tujuan Motivasi
Manajer atau pimpinan yang berhasil dalam hal motivasi karyawan
seringkali menyediakan suatu lingkungan dimana tujuan-tujuan tepat
tersedia untuk memenuhi kebutuhan. Adapun tujuan motivasi kerja
menurut Hasibuan (2006 : 221) :
1. Mendorong gairah dan semangat kerja karyawan.
2. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan.
3. Meningkatkan produktivitas karyawan.
4. Mempertahankan loyalitas dan kesetabilan karyawan perusahaan.
5. Meningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi
karyawan.
6. Mengefektifkan pengadaan karyawan.
31
7. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik.
8. Meningkatkan kreatifitas dan partisipasi karyawan.
9. Meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan.
10. Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas-
tugasnya.
11. Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.
2.2.4 Ciri-ciri Orang yang Memiliki Motivasi Kerja
Menurut Arep & Tanjung (2003 : 204), ciri-ciri orang yang bekeja
dengan termotivasi adalah :
1. Bekerja sesuai standar
Pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat waktu dan dalam waktu
yang sudah ditentukan.
2. Senang dalam bekerja
Sesuatu yang dikerjakan karena adanya motivasi yang
mendorongnya akan membuat seseorang merasa senang
melakukan pekerjaannya.
3. Merasa berharga
Seseorang akan merasa berharga ketika mengerjakan suatu
pekerjaan yang didorong oleh motivasi dari dalam dirinya maupun
dari luar.
32
4. Bekerja keras
Seseorang akan bekerja keras karena dorongan yang begitu tinggi
untuk menghasilkan hasil pekerjaan yang telah ditetapkan.
5. Sedikit pengawasan
Kinerjanya akan dipantau dirinya sendiri dan tidak membutuhkan
terlalu banyak pengawasan.
2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja
Sementara itu dalam kaitanya dengan motivasi kerja Syadam (2005
: 370) menjelaskan bahwa motivasi seseorang dapat dilihat dari faktor
intern dan faktor ekstern.
a) Faktor intern yaitu faktor yang terdapat didalam diri karyawan itu
sendiri, yang terdiri dari :
1. Kematangan pribadi.
2. Tingkat pendidikan.
3. keinginan dan harapan pribadi.
4. kebutuhan.
5. kelelahan dan kebosanan.
6. kepuasan kerja.
b) Faktor ekstern yaitu faktor yang berasal dari luar diri karyawan, terdiri
dari :
1. Lingkungan kerja yang menyenangkan.
2. kompensasi yang memadai.
3. Supervisi yang baik.
4. adanya penghargaan atas prestasi.
33
5. status dan tanggung jawab.
6. peraturan yang berlaku.
Berdasarkan kajian teori motivasi sebgaiman dijelaskan di atas,
maka dalam hasil penelitian ini calon peneliti akan menggunakan John
Schemerhorn (2006:70) mengacu pada lima kebutuhan pokok yang
disusun secara hirarkis. Tata lima tingkatan motivasi secara secara
hirarkis ini adalah sbb : Kebutuhan fisiologis (physiological needs),
Kebutuhan keamanan (safety needs), Kebutuhan sosial (Social Needs),
Kebutuhan akan prestasi (Esteem Needs), Kebutuhan mempertinggi
kapisitas kerja (Self actualization).
Adapun tujuan peneliti dalam hal mengambil teori ini dalam hal
motivasi kerja sebagai indikator dalam penelitian, sebab dianggap sangat
esensial teori-teori tersebut untuk diukur dan mengkaji sejauh mana
pengaruh kepemimpinan dalam mewujudkan suatu motivasi kerja
sebagaimana yang disebutkan dalam teori tersebut.
2.2.6 Model Harapan
Pendekataan motivasi yang diterima secara luas adalah model
harapan (expectancy model) juga dikenal sebagai teori harapan, yang
dikembangkan oleh Victor H. Vroomdan telah diperluas dan
disempurnakan oleh poster dan lawyer serta yang lain. Vroom
menjelaskan bahwa motivasi adalah hasil dari tiga factor: seberapa besar
orang menginginkan imbalan (valensi), perkiraan orang itu tentang
34
kemungkinan bahwa upaya yang dilakukan akan menimbulkan prestasi
yang berhasil (harapan), dan perkiraan bahw prestasi itu akan
menghasilkan perolehan imbalan (instrumentalitas) hubungan ini
dinyatakan dalam rumus berikut: Valensi x Harapan x Instrumentalisasi =
Motivasi
a. Valensi
Valensi mengacu pada kekuatan preferensi seseorang untuk
memperoleh imbalan. Ini merupakan umgkapan kadar keinginan
seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Pegawai akan menemukan
valensi intrinsik dalam pekerjaan tu sendiri, terutama apabila mereka
memegang teguh etika kerja dan bermotivasi kompetensi. Mereka
memperoleh kepuasan langsung dari pekerjaan yang dilakukan melalui
perasaan menyelesaikan sesuatu, melakukan pekerjaan dengan benar,
atau menciptakan sesuatu.
b. Harapan
Harapan adalah kadar kuatnya keyakinan bahwa upaya kerja akan
menghasilkan penyelesaian suatu tugas. Harapan dinyatakan sebagai
kemungkinan, perkiraan pegawai tentang kadar sejauh mana prestasi
yang dicapai ditentukan oleh upaya yang dilakukan. Karena harapan
merupakan hubungan antara upaya dan prestasi.
35
c. Instrumentalitas
Instrumentalitas menunjukkan keyakinan pegawai bahwa ia akan
memperoleh suatu imbalan apabila tugas dapat diselesaikan.
Kemungkinan bahwa organisasi menghargai prestasi itu dan akan
memberikan imbalan atas dasar kemungkinan.
2.3 Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Motivasi Kerja.
Kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting dalam
mengatur dan mengelola perjalanan organisasi/perusahaan. Oleh karena
itu, diperlukan kepemimpinan yang tepat guna atau efektif dalam
pelaksanaan aktivitas setiap pekerjaan. Kepemimpinan adalah sebuah
proses yang melibatkan seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar
melaksanakan apa yang diharapkan dengan memberikan kekuatan,
motivasi, sehingga orang tersebut dengan penuh semangat untuk
mencapai sasaran ataupun tujuan.
Robbins (2003 : 94), menyatakan bahwa fungsi kepemimpinan
adalah memandu, menuntun, membimbing, membangun, memberi
motivasi kerja, mengemudikan organisasi, menjalin jaringan komunikasi
yang baik, memberikan pengawasan yang efisien dan membawa
pengikutnya kepada sasaran yang ingin dituju sesuai dengan ketentuan
waktu dan rencana yang telah ditetapkan.
Untuk mewujudkan karyawan yang memiliki disiplin dan prestasi
kerja yang baik diperlukan pula peran yang besar dari pimpinan
36
organisasi. Dalam meningkatkan kinerja karyawan diperlukan analisis
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan memperhatikan
akan kebutuhan dari para karyawan, diantaranya adalah kebutuhan akan
prestasi dalam kinerja para karyawan yang bekerja secara disiplin dan
mentaati aturan dari perusahaan.
Prestasi kerja yang tinggi dipengaruhi oleh kepemimpinan yang
dikembangkan pada organisasi itu, karena prestasi kerja yang dimiliki
seorang pegawai baru merupakan potensi, belum menunjukkan adanya
pelaku kerja sehingga belum dapat menjamin tercapainya tingkat prestasi
kerja yang tinggi. Setiap pegawai belum tentu bersedia mengerahkan
prestasi kerja yang dimilikinya secara optimal, sehingga masih diperlukan
adanya pendorong agar seseorang mau menggunakan seluruh
prestasinya untuk bekerja yakni motivasi dari seorang pemimpin.
Motivasi merupakan masalah kompleks dalam organisasi. Karena
keinginan setiap anggota organisasi adalah unik secara biologis maupun
psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda pula.
Menurut Siagian (2001:292):” Motivasi merupakan akibat dari suatu
hasil yang ingin dicapai oleh seseorang dan pikiran yang bersangkutan
bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang akan diinginkan
itu”.
37
Berdasarkan kajian teori kepemimpinan sebagaimana dijelaskan
diatas, maka dalam hasil penelitian ini calon peneliti akan menggunakan
teori John Schemerhorn (2006:74) tentang motivasi sebagai berikut :
1. Valensi
2. Harapan
3. Instrumentalitas
2.4 Penelitian terdahulu
Hasil penelitian terdahulu dapat dipakai sebagai acuan untuk
melakukan penelitian selanjutnya. Meskipun ada perbedaan pada objek
atau variabel yang diteliti, penelitian tersebut dapat dipakai sebagai
gambaran bagi penelitian berikutnya untuk melakukan penelitian. Adapun
hasil penelitian terdahulu tersebut antara lain :
1) Menurut penelitian Christomus H. Sirait, Tahun 2006. Yang meneliti
tentang “Analisis Pengaruh Kompensasi, Motivasi Kerja dan
Kepemimpinan Terhadap Produktivitas Kerja Pegawai Negeri Sipil”
menjelaskan tentang hubungan kompensasi, motivasi kerja dan
kepemimpinan terhadap produktivitas kerja pegawai negeri sipil
denma mabes TNI. Dari hasil penelitian dinyatakan bahwa
kompensasi, motivasi kerja dan kepemimpinan mempunyai pengaruh
terhadap produktivitas kerja. Variabel dalam penelitian ini,
produktivitas kerja sebagai vaeiabel terikat (Dependen) (Y),
38
sedangkan kompensasi, motivasi kerja dan kepemimpinan sebagai
variable bebas (Independen) (X). metode analisis data yang
digunakan dalam menjawab tujuan penelitian adalah metode statistic
dengan menggunakan analisis kuantitatif. Dalam penelitian ini
Christomus H. Sirait menyimpulkan bahwa kompensasi (X1)
mempunyai pengaruh signifikan (6,717) dengan nilai koefisien regresi
0,512 pada signifikasi 0,000 terhadap produktivitas kerja (Y), motivasi
kerja (X2) mempunyai pengaruh yang sedang (4,463) dengan nilai
koefisien regresi 0,277 pada signifikan 0,000 terhadap produktifitas
kerja ( Y ), dan kepemimpinan (X3) mempunyai signifikan (5,887)
dengan nilai koefisien regresi 0,531 pada signifikan 0,000 terhadap
produktivitas kerja (Y). kompensasi (X1), motivasi kerja (X2) dan
kepemimpinan (X3) secara bersama-sama berpengaruh signifikan
26,894 Fhitung dengan signifikan 0,000 terhadap produktivitas kerja (Y).
Dari hasil penelitian diatas penulis menyimpulkan untuk mengambil
salah satu dari variabel untuk dijadikan bahan penelitian pada objek
yang berbeda tentunya dengan mengamati dan mempertimbangkan
hasil dari penelitan ini sehingga dianggap perlu untuk dijadikan suatu
kajian dalam penelitian meskipun peneliti hanya menggunakan
analisis regresi linier sederhana karena hanya menggunakan satu
variable pada vaiable independent maupun dependent.
2) Sedangkan menurut Darmawan (2005). Melakukan penelitian “
Pengaruh Finansial Intensif Kepemimpinan dan Komunikasi Terhadap
39
Semangat Kerja Karyawan pada Perusahaan Kusen Kayu CVMerta
Nadi di Bandung “. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
hubungan finansial intensif, kepemimpinan dan komunikasi secara
individual dan simultan dengan semangat kerja karyawan pada
perusahaan kusen kayu CV Merta Nadi di bandung. Sampling
dikumpulkan dengan metode random sampling , sebesar 50% dari
jumlah masing-masing bagian secara acak, sehingga jumlah
responden sebagai sampel adalah 30 orang. Berdasarkan hasil
analisis diperoleh koefisien korelasi individual yaitu rx1adalah 0,8281,
rx2 adalah 0,7634, rx3 adalah 0,77792. Menunjukan secara individual
finansial mempunyai hubungan positif dan semangat tinggi, dengan
semangat kerja karyawan, sedangkan kepemimpinan dan komunikasi
mempunyai hubungan yang positif dan tinggi dengan semangat kerja
karyawan pada bagian pengujian koefisien korelasi individual,
diperoleh T1hitung adalah 7,,8174, T2hitung adalah 6,2539 dan T3hitung
adalah 6,5773 lebih besar dari Ttabel sebesar 1,701, berada pada
daerah penolakan H0, maka H0 ditolak dan H1 diterima, menunjukan
memang benar ada hubungan positif yang nyata ( signifikan ) secara
individual antara finansial intensif, kepemimpinan dan komunikasi
dengan semangat kerja karyawan dan bukan diperoleh secara
kebetulan, artinya individual finansial kepemimpinan dan komunikasi
mempunyai hubungan yang searah dan signifikan dengan semangat
kerja karyawan, dimana apabila secara individual finansial intensif,
40
kepemimpinan, dan komunikasi meningkat akan diikuti secara nyata
dan meningkatnya semangat kerja karyawan. Peneilitian ini hampir
memiliki wajah yang sama dengan penelititan yang diambil oleh
peneliti, akan tetapi banyak yang membedakan diantaranya adalah
analisis serta landasan terori-teori yang yang diangkat dan dikaji
dalam penelitian ini dan untuk diuji pada objek yang berbeda pula.
Melihat adanya potensi yang signifikan terhadap pangaruh yang
diberikan oleh kedua variabel pada objek penelitian, maka penulis
mengajukan untuk meneliti lebih lanjut.
Penelitian ini merupakan konsep yang merujuk pada penelitian
terdahulu, namun dengan menggunakan Kepemimpinan sebagai
variable X (Independen) dan Motivasi atau Semangat Kerja Y merupakan
variable Dependent serta penelitian ini dilakukan pada tempat dan waktu
yang berbeda. Untuk dapat menyempurnakan penelitian ini dengan
menggunakan sampel pada Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten
Gorontalo.
2.5 Kerangka Pikir
Kepemimpinan merupakan upaya untuk menjalin interaksi melalui
komunikasi dengan cara tertentu yang memotivasi seseorang atau
kelompok dengan maksud untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Mengkaji mengenai pengaruh kepemimpinan terhadap motivasi
kerja pegawai calon peneliti mengambil indikator kepemimpinan yang
41
dikutip dari teori kepemimpinan situasional (Hersey, Blanchard, Johnson,
1996;200) sebagai berikut : “Telling” (memberitahukan) “Selling”
(menjajakan) “Participating” (mengikutsertakan) “Delegation”
(mendelegasikan).
Keempat gaya kepemimpinan situasional di atas, oleh Mc Kinsey &
Company (2003:5) menyebut telling = directive, selling = supportive,
participation = participative, delegating = achievement – oriented.
Selanjutnya dijelaskan bahwa keempat komponen gaya kepemimpinan
situasional tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap motivasi
anggota dalam mengambil kepetusan (McKinsey & Company (2003:5)).
Dari hasil analisa tersebut, nantinya akan ditentukan tingkat
kesesuaian gaya kepemimpinan dengan kematangan pegawai dan
dampaknya terhadap Motivasi kerja pegawai di Dinas Pendidikan
Kabupaten Gorontalo. Indicator Motivasi kerja di ambil dari teori John
Schemerhorn (2006:70) mengacu pada Valesi, Harapan, dan
Instrumentalitas.
42
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan paradigma kerangka
pemikiran seperti tertera pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Kerangka Pikir
Dengan mengacu pada isi indikator yang tertera pada gambar 2.1
kerangka pemikiran, calon peneliti menganalisis pengaruh kepemimpinan
terhadap motivasi kerja Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Gorontalo.
Dan menurut hasil indetifikasi masalah yang sudah ditemukan
sebelumnya maka calon peneliti akan menganalisis bagaimana pemimpin
mengarahkan semua bawahannya, melatih, dan mendukung pekerjaan
yang diberikan kepada bawahan itu sendiri, sehingganya bawahan paham
dan mampu mendelegasikan dengan baik pekerjaan-pekerjaan tersebut.
Semua itu belum bisa dikatakan sukses bagi pemimpin jika belum bisa
memotivasi bawahan, sehingganya pemimpin perlu memperhatikan faktor-
Pegawai Pengurusan
Kepemimpinan
Situasional
Dinas Diknas
Kab. Gorontalo
Gaya Kepemimpinan Telling
Selling
Participating
Delegating
Motivasi Kerja
Valensi
Harapan
Instrumentalitas
43
faktor yang sangat berpengaruh terhadap motivasi kerja pegawai baik
secara intern maupun ekstern.
2.6 Hipotesis
Sebelum penyusun mengemukakan hipotesa, terlebih dahulu akan
penyusun kutip pendapat dari para ahli mengenai batasan hipotesa.
Menurut pendapat Surackhman (1990;31): ” Hipotesa adalah jawaban
sementara dari penyelidikan, yang dimaksud sebagai tuntutan sementara
untuk mencapai jawaban yang sebenarnya”. Menurut pendapat Hadi
(1986;63):” Hipotesa adalah dugaan mungkin benar atau mungkin salah,
dia akan ditolak jika salah atau palsu dan akan diterima jika fakta-fakta
membenarkan”.
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
hipotesis adalah dugaan–dugaan sementara yang mengarah jalanya
penelitian dan disebut juga sebuah kesimpulan yang belum final dan
masih perlu pembuktian akan kebenaranya.
Berdasarkan kerangka teori diatas maka penyusun akan
mengemukakan rumusan hipotesis yakni ”Diduga ada pengaruh signifikan
gaya kepemimpinan situasional terhadap motivasi kerja pegawai pada
Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Gorontalo”.