73
18 BAB II KAJIAN TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS A. Kajian Teori 1. Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan salah satu bagian dari hukum pidana. Hukum pidana baru dapat diterapkan apabila seseorang terbukti melakukan suatu tindak pidana. Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit”. Strafbaarfeit” memiliki arti yaitu: 17 “1) Delik (delict) 2) Peristiwa pidana 3) Perbuatan pidana 4) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum 5) Hal yang diancam dengan hukum 6) Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum 7) Tindak pidana.” Menurut Pompe (Lamintang 2011:182) yang dimaksud dengan tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) tertib hukum yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku 17 Tri Andrisman, Hukum Pidana, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2011, Hlm. 69

BAB II KAJIAN TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS A. 1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14675/2/T1_312013077_BAB II.pdf · dalam Pasal 44 KUHP yaitu “ Barang siapa melakukan

Embed Size (px)

Citation preview

18

BAB II

KAJIAN TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS

A. Kajian Teori

1. Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan salah satu bagian dari hukum

pidana. Hukum pidana baru dapat diterapkan apabila seseorang

terbukti melakukan suatu tindak pidana. Istilah tindak pidana

berasal dari bahasa Belanda yaitu “strafbaarfeit”.

“Strafbaarfeit” memiliki arti yaitu:17

“1) Delik (delict)

2) Peristiwa pidana

3) Perbuatan pidana

4) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum

5) Hal yang diancam dengan hukum

6) Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan

hukum

7) Tindak pidana.”

Menurut Pompe (Lamintang 2011:182) yang dimaksud

dengan tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma

(gangguan terhadap tata tertib hukum) tertib hukum yang

dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh

seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku

17

Tri Andrisman, Hukum Pidana, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2011, Hlm. 69

19

tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.18

Sedangkan menurut Moeljanto, yang dimaksud dengan tindak

pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.19

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh

aturan hukum, dalam hal ini yaitu hukum pidana, dimana orang

yang melanggar aturan hukum tersebut dapat dikenakan sanksi

pidana. Adanya aturan hukum mengenai tindak pidana menjadi

sangat penting karena dianutnya asas legalitas dalam sistem

hukum pidana di Indonesia. Pemberlakuan asas legalitas

ditunjukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Suatu

perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan

ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”, yang

dalam pembelajaran ilmu hukum sering juga disebut dengan

nullum delictum nulla poena sine praevia poenali.

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dapat

langsung dikenakan sanksi pidana. Hakim tidak bisa langsung

serta-merta memberikan sanksi pidana terhadap pelaku tindak

pidana. Sebelum menjatuhkan sanksi pidana, terlebih dahulu

18

P.A.F., Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, P.T.Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2011, Hlm 182 19

Tri Andrisman. Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana

Indonesia.Universitas lampung: Bandar Lampung, 2011. hlm .70

20

harus dilakukan pembuktian bahwa orang tersebut memang

benar telah melakukan suatu tindak pidana dan telah memenuhi

unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana itu sendiri

terdiri dari:20

1) Suatu perbuatan manusia.

2) Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh

undang-undang.

3) Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Moeljanto juga menjabarkan unsur-unsur tindak pidana

yang tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, yaitu unsur-

unsurnya terdiri sebagai berikut:21

1) Perbuatan manusia

2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang

3) Bersifat melawan hukum

Pada intinya, suatu perbuatan baru dapat dikatakan tindak

pidana apabila telah memenuhi seluruh unsur-unsur tindak

pidana, yaitu:

1) Adanya perbuatan

Terdapat dua jenis kategori perbuatan di dalam

KUHP, yaitu melakukan suatu perbuatan dan tidak

20

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta, P.T. Raja Grafindo, 2011, hlm 48 21

Tri Andrisman, Op Cit., Hlm. 72

21

melakukan suatu perbuatan. Melakukan suatu perbuatan

berarti orang tersebut telah melakukan suatu tindakan

yang dimana tindakan tersebut dilarang oleh undang-

undang. Sedangkan yang dimaksud dengan tidak

melakukan suatu perbuatan adalah keadaan dimana

seseorang tidak melakukan perbuatan yang telah

diwajibkan oleh undang-undang kepadanya.

2) Bersifat melawan hukum

Sifat melawan hukum dalam tindak pidana dibagi

menjadi dua, yaitu sifat melawan hukum formil (formale

wederrechtelijk) dan sifat melawan hukum materiil

(materiel wedderrchtelijk). Yang dimaksud dengan sifat

melawan hukum formil adalah perbuatan yang dilakukan

telah memenuhi rumusan undang-undang, kecuali

diadakan pengecualian-pengecualian yang telah ditentukan

oleh undang-undang, melawan hukum berarti melawan

undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang.

Sedangkan menurut sifat melawan hukum materiil ialah

belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-

undang bersifat melawan hukum, karena yang dinamakan

hukum itu bukan hanya undang-undang saja (hukum yang

tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulis,

22

yakni kaidah-kaidah atau kenyataan yang berlaku di

masyarakat.22

3) Dapat dipertanggungjawabkan

Seseorang baru dapat dikatakan melakukan tindak

pidana apabila orang tersebut merupakan orang yang

cakap hukum sehingga dapat dimintai

pertanggungjawaban atas pelanggaran yang dilakukannya.

Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh orang yang tidak

cakap hukum, maka perbuatan tersebut tidak dapat

dikatakan sebagai tindak pidana dan terhadap pelakunya

tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana, hal ini diatur di

dalam Pasal 44 KUHP yaitu “Barang siapa melakukan

perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya

karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu

karena penyakit, tidak dipidana.”

2. Tindak Pidana Pembunuhan

a. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan

Tindak pidana pembunuhan diatur dalam Buku Kedua Bab

XIX Pasal 338 sampai Pasal 350 KUHP yang mengatur tentang

kejahatan terhadap nyawa. Pembunuhan adalah suatu tindakan

22

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap

Indonesia, 2012, Hlm. 53

23

yang dilakukan oleh seseorang yang mengakibatkan meninggal

atau hilangnya nyawa orang lain. Lamintang mengatakan bahwa

yang dimaksud dengan pembunuhan adalah kesengajaan

menghilangkan nyawa orang lain, untuk menghilangkan nyawa

orang lain itu, seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau

suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya

orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya harus

ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain

tersebut.23

Terdapat beberapa jenis tindak pidana pembunuhan, yaitu:

1) Tindak pidana pembunuhan biasa ( Pasal 338

KUHP).

2) Tindak pidana pembunuhan berencana ( Pasal 340

KUHP).

3) Tindak pidana pembunuhan terhadap anak yang baru

dilahirkan oleh ibunya sendiri ( Pasal 341 sampai

pasal 342 KUHP).

4) Kejahatan menghilangkan nyawa orang lain atas

permintaan dari orang itu sendiri ( Pasal 344

KUHP).

5) Kejahatan berupa kesengajaan mendorong atau

membantu orang lain melakukan bunuh diri ( Pasal

345 KUHP).

23

P.A.F, Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan,

Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, Hlm.1

24

6) Kejahatan berupa kesengajaan untuk menggugurkan

kandungan ( Pasal 346 sampai Pasal 349 KUHP).

Tindak pidana pembunuhan termasuk ke dalam kategori

delik materiil yaitu perbuatan tersebut baru dapat dikatakan

tindak pidana jika akibat dari perbuatan tersebut sudah terjadi.

Dalam delik formil yang dirumuskan adalah tindakan yang

dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak

mempersoalkan akibat dari tindakan itu.24

Sedangkan delik

materiil merupakan delik yang baru dapat dianggap telah selesai

dilakukan oleh pelakunya apabila timbul akibat yang dilarang

(akibat konstitutif atau constitutief-gevolg) yang tidak

dikehendaki oleh Undang-Undang.25

Dengan kata lain, dalam

delik formil suatu tindak pidana dianggap telah terjadi atau telah

selesai apabila tindakan-tindakan yang dilarang oleh undang-

undang telah terpenuhi tanpa memperhatikan ada atau tidaknya

akibat dari perbuatan tersebut. Berbeda dengan delik formil,

dalam delik materiil adanya akibat atau telah terjadinya akibat

dari perbuatan tersebut merupakan unsur yang paling penting

untuk menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikatakan

tindak pidana atau tidak.

24

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya.

Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982, Hlm 237 25

P.A.F Lamintang, Loc. Cit.

25

b. Unsur-unsur Tindak Pidana Pembunuhan

Terdapat dua jenis unsur dalam tindak pidana

pembunuhan, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur

subjektif ialah unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku (niat

dari pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut) dan unsur

objekti ialah unsur yang berasal dari luar diri si pelaku. Tindak

pidana pembunuhan diatur dalam Pasal 338 KUHP yang

berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa

orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana

penjara paling lama lima belas tahun”. Dalam pasal tersebut,

terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi agar suatu

perbuatan dapat dikatakan tindak pidana pembunuhan, yaitu:

1) Barang siapa dengan sengaja (unsur subjektif)

Unsur subjektif merupakan unsur yang timbul dari

dalam diri pelaku sendiri. Barang siapa dengan sengaja

menunjukan bahwa telah muncul niat dari dalam diri

pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut dan pelaku

mengetahui akibat yang akan timbul dari perbuatannya

tersebut. Terdapat tiga jenis kesengajaan dalam hukum

pidana, yaitu:

26

a) Sengaja sebagai maksud

Sengaja sebagai maksud adalah apabila pelaku

menghendaki akibat perbuatannya. Ia tidak pernah

melakukan perbuatannya apabila pelaku tersebut

tidak mengetahui bahwa akibat dari perbuatannya

tidak akan terjadi.26

b) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian

Kesengajaan semacam ini ada apabila si

pelaku, dengan perbuatannya itu bertujuan untuk

mencapai akibat yang akan menjadi dasar dari tindak

pidana, kecuali ia tahu benar, bahwa akibat itu

mengikuti perbuatan itu.27

c) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan

Sengaja dengan kesadaran kemungkinan

adalah keadaan dimana pelaku yang bersangkutan

pada waktu melakukan perbuatan itu untuk

menimbulkan suatu akibat, yang dilarang oleh

undang-undang telah menyadari kemungkinan akan

26

Andi Hamzah. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta, Rineka Cipta, 2008, Hlm. 116 27

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung, Aditama, 2003,

Hlm. 63

27

timbul suatu akibat lain dari pada akibat yang

memang ia kehendaki.28

Dalam Pasal 338 KUHP dikatakan “Barang

siapa dengan sengaja merampas nyawa orang

lain....” unsur kesengajaan disini ialah unsur sengaja

sebagai maksud, yaitu pelaku telah mengetahui

akibat dari perbuatannya dan pelaku menghendaki

akibat tersebut sehingga kemudian pelaku

melakukan tindak pidana pembunuhan.

2) Merampas nyawa orang lain (unsur objektif)

Merampas nyawa orang lain atau menghilangkan

nyawa orang lain menunjukan bahwa untuk dapat

dikatakan tindak pidana pembunuhan, perbuatan yang

dilakukan oleh pelaku tersebut harus telah menunjukkan

akibatnya yaitu hilangnya nyawa seseorang. Apabila

perbuatan tersebut belum mengakibatkan hilangnya nyawa

seseorang, perbuatan si pelaku itu masih tergolong dalam

kategori percobaan pembunuhan dan terhadap pelaku tidak

dapat dijatuhkan sanksi pidana pembunuhan meskipun

pada saat melakukan perbuatannya pelaku telah memiliki

niat untuk membunuh korbannya.

28

Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh, Jakarta, Sinar Grafika,

2012, hlm 18

28

Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain)

terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu:29

a) Adanya wujud perbuatan

b) Adanya suatu kematian (orang lain)

c) Adanya hubungan sebab dan akibat (causal

Verband) antara perbuatan dan akibat kematian

(orang lain).

3. Pembuktian

Pembuktian dalam persidangan mempunyai peranan yang sangat

penting, karena segala alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan

akan menjadi tolok ukur bagi hakim dalam membangun

pertimbangannya. Pembuktian jugalah yang nantinya akan

memberikan petunjuk bagi hakim untuk menentukan apakah

seseorang memang benar telah melakukan tindak pidana atau tidak.

“Pembuktian merupakan ketentuan yang berisi

penggarisan dan pedoman tentang cara – cara yang

dibenarkan undang – undang membuktikan kesalahan

yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga

merupakan kesatuan yang mengatur alat – alat bukti

yang dibenarkan undang – undang dan yang boleh

dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang

didakwakan30

”.

Dalam proses pembuktian, Indonesia juga menggunakan empat

prinsip pembuktian dalam persidangan pidana, yaitu:

29

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta, P.T.Raja Grafindo, 2010,

Hlm. 57 30

M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, banding, Kasasi dan Peninjauan kembali) Edisi ke2, jakarta, Sinar Grafika, 2000.

Hlm. 252

29

a. Dibutuhkannya 2 alat bukti (Pasal 183 KUHAP)

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang

sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-

benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”.

b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan

(Pasal 184 ayat (2) KUHAP)

Prinsip ini diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang

berbunyi “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu

dibuktikan” atau biasa disebut dengan istilah notoire feiten

notorius (generally known). Lilik Mulyadi kemudian membagi

notoire feiten ke dalam 2 golongan, yaitu:31

“1) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum

bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang

sudah demikian hal yang benarnya atau

semestinya demikian.

2) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang

selamanya dan selalu mengakibatkan demikian

atau selalu merupakan kesimpulan demikian.”

c. Satu saksi bukan saksi (Pasal 185 ayat (2) KUHAP)

“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan

31

Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya.

Bandung. Alumni. 2007. hlm. 199

30

yang didakwakan kepadanya”, prinsip ini sering dikenal dengan

istilah unus testis nullum testis

d. Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut

umum membuktikan kesalahan terdakwa (Pasal 189 ayat (4)

KUHAP)

“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang

didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat

bukti yang lain.”

Secara umum, terdapat beberapa teori pembuktian, yaitu:32

1) Teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara

positif (Positief Wetelijke Bewijs Theorie)

Yaitu teori pembuktian yang mendasarkan pada alat-

alat bukti yang terdapat dalam Undang-Undang.

2) Teori berdasarkan keyakinan hakim melulu (Conviction

Intime)

Yaitu teori ini didasarkan pada pendapat bahwa

pengakuan terdakwa tidak selalu dapat membuktikan

kebenaran, oleh karena itu bagaimanapun diperlukan juga

keyakinan hakim.

32

M. Haryanto, Loc.Cit

31

3) Teori pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim atas

alasan yang logis (Ia Conviction Rais Onnee)

Yaitu Hakim memutuskan seseorang bersalah harus

berdasarkan keyakinannya, keyakinan tersebut harus

didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan

suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-

peraturan pembuktian tertentu.

Beberapa teori lain mengenai pembuktian juga dijelaskan

oleh Waluyadi dalam bukunya yang berjudul Hukum Pembuktian

dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi, yaitu:33

a. Conviction-in Time

“Sistem pembuktian conviction-in time menentukan

salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata

ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim.

Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian

kesalahan terdakwa, yakni dari mana hakim

menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak

menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan

boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-

alat bukti yang diperiksanya dalam sidang

pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat

bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik

keyakinan dari keterangan atau pengakuan

terdakwa.”

b. Conviction-Raisonee

Sistem conviction-raisonee pun, keyakinan hakim

tetap memegang peranan penting dalam

33

Waluyadi. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung.

Mandar Maju. 2004. Hlm. 39

32

menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi,

pada sistem ini, faktor keyakinan hakim dibatasi.

Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time

peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka

pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim

harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas.

Hakim harus mendasarkan putusan-putusannya

terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan

(reasoning). Oleh karena itu putusan juga

bedasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal

(reasonable). Hakim wajib menguraikan dan

menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari

keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Sistem

atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian

bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-

alasan keyakinannya (vrijs bewijstheorie).

c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief

wettelijke stelsel)

“Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian

dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-

undang, yakni untuk membuktikan salah atau

tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan

kepada alat-alat bukti yang sah. Terpenuhinya

syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-

undang, sudah cukup menentukan kesalahan

terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim,

yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang

kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah.”

d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief

wettelijke stelsel)

“Sistem pembuktian menurut undang-undang

secara negatif merupakan teori antara sistem

pembuktian menurut undang-undang secara positif

dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau

conviction-in time. Sistem ini memadukan unsur

objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau

tidaknya terdakwa, tidak ada yang paling dominan

diantara kedua unsur tersebut.”

33

Sistem pembuktian yang dianut oleh di Indonesia adalah sistem

pembuktian Undang-Undang secara negatif (Negatiefe Wettelijke

Bewijs Theorie), yaitu dalam pembuktian perkara pidana berpangkal

tolak dari aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif

dalam Undang-Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan

Hakim34

. Sistem pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP.

Pada sistem pembuktian secara negatif diperlukan minimal 2 alat

bukti yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan kemudian

berdasarkan hasil pemeriksaan dari 2 alat bukti itulah hakim akan

menentukan pertimbangannya. Alat bukti yang sah menurut Undang-

Undang yaitu Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah:

a) Keterangan saksi

b) Keterangan ahli

c) Surat

d) Petunjuk

e) Keterangan terdakwa

a. Pembuktian Menurut Ahli dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor: 65/PUU-VIII/2010

Menurut Prof. Dr. Edy O.S. Hiariej35

Pembuktian dalam

hukum pidana dimulai sejak tahap penyelidikan dan/atau

penyidikan sampai pada tahap pemeriksaan di sidang

pengadilan. Oleh karena itu penyidik maupun penuntut dapat

meminta keterangan saksi yang memberatkan mulai dari tahap

34

M.Haryanto, Hukum Acara Pidana, Salatiga, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya

Wacana, 2007, Hlm. 86 35

Putusan Mahkamah Konstitusi No.65/PUU-VIII/2010 Hlm. 45

34

penyelidikan dan atau penyidikan sampai tahap persidangan.

Begitu pula sebaliknya, sebagai penyeimbang, tersangka dapat

meminta keterangan saksi yang meringankan mulai dari tahap

penyelidikan dan atau penyidikan sampai tahap persidangan.

Teori tersebut kemudian didukung oleh pendapat dari Dr.

Mudzakkir, S.H., M.H.36

yang menjelaskan bahwa kekuatan

pembuktian saksi yang diajukan oleh tersangka/penasehat

hukumnya memiliki nilai kekuatan pembuktian yang kuat dan

sama dengan saksi-saksi lainnya asalkan memenuhi kualitas

keterangan saksi yaitu bersifat netral dan objektif, keterangan

yang diberikan berdasarkan apa yang ia alami dan/atau ia lihat

dan/atau ia dengar sendiri yang diberikan di bawah/di atas

sumpah. Perbedaannya terletak kepada sifat pembuktiannya,

yaitu pembuktian yang bersifat negatif. Maksudnya, keterangan

kesaksian atau alat bukti yang diajukan tersebut membuktikan

sebaliknya, yakni membuktikan bahwa tidak dipenuhinya unsur-

unsur tindak pidana yang disangkakan kepadanya.

Tujuan dipanggil serta diperiksanya saksi baik saksi

memberatkan maupun meringankan dari sejak dari tahap

penyelidikan ialah untuk memastikan bahwa benar telah terjadi

suatu tindak pidana. Dalam hukum pidana di Indonesia dikenal

asas praduga tak bersalah yang dimana asas ini juga

diberlakukan pada saat tahap pembuktian. Menurut Dr. Chairul

36

Putusan Mahkamah Konstitusi No.65/PUU-VIII/2010 Hlm. 51

35

Huda37

, pelaksanaan asas praduga tak bersalah dalam

pembuktian perkara pidana mengharuskan pembuktian telah

terjadi tindak pidana dan seorang telah bersalah melakukan

tindak pidana tersebut, berdasarkan bukti-bukti yang tidak

menimbulkan keraguan sedikitpun (beyond the reasonable

doubt), yang diperoleh secara sah.

b. Macam-Macam Alat Bukti

1) Keterangan Saksi

Keterangan saksi adalah berupa keterangan dari

saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka

27 KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan saksi

menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah “Orang yang

dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan dan peradilan tentang suatu perkara pidana

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri”.

Akan tetapi pengertian keterangan saksi sebagai salah satu

alat bukti dalam persidangan tidak berhenti sampai disini

saja. Keterangan saksi dalam persidangan baru dapat

dikatakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan

saksi tersebut telah memenuhi syarat formil dan syarat

37

Putusan Mahkamah Konstitusi No.65/PUU-VIII/2010 Hlm. 53

36

materiil. Syarat formil yaitu keterangan saksi dianggap sah

apabila diberikan di bawah sumpah yang terdapat dalam

Pasal 160 ayat ( 3 ) KUHAP dan syarat materiil yaitu

kesaksian dari seorang saksi itu harus mengenai hal – hal

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri,

dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.

Terdapat 3 jenis saksi dalam persidangan pidana,

yaitu saksi A Charge atau saksi dalam perkara pidana yang

dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan

kesaksiannya yang memberatkan terdakwa, saksi A De

Charge atau saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut

umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang sifatnya

meringankan terdakwa, serta yang terakhir ialah saksi

mahkota yang diatur dalam Putusan Mahkamah Agung

No. 2437 K/Pid.Sus/2011, definisi saksi mahkota ialah

sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang

tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama

melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada

Saksi tersebut diberikan mahkota.

Dalam Putusan MK 65/PUU-VIII/2010, Majelis

Hakim Konstitusi menambahkan 1 jenis keterangan saksi

yaitu keterangan saksi yang tidak mendengar, melihat,

atau mengalami secara langsung suatu peristiwa atau

sering disebut “testimonium deauditu”. Akan tetapi,

37

testimonium deauditu dalam Putusan MK a quo lebih

ditekankan kepada saksi A De Charge atau saksi yang

meringankan, hal ini bertujuan untuk tidak membatasi atau

bahkan menghilangkan kesempatan bagi terdakwa untuk

mengajukan saksi yang meringankan. Namun, tidak

seluruh keterangan saksi testimonium deauditu dapat

dijadikan sebagai alat bukti. Keterangan saksi testimonium

deauditu baru dapat dijadikan alat bukti sebagaimana

dimaksud dalam Putusan MK 65/PUU-VIII/2010 ialah

apabila keterangan saksi tersebut memiliki keterkaitan

dengan terdakwa pada saat terjadinya tindak pidana atau

keterangan tersebut dapat membuktikan dan kemudian

menjadi alibi bahwa terdakwa tidak melakukan tindak

pidana.

Hakim memiliki kebebasan untuk menilai kekuatan

pembuktian dari keterangan saksi. Akan tetapi, kebebasan

penilaian hakim disini ialah kebebasan yang harus dapat

dipertanggungjawabkan dan bukan merupakan tindakan

kesewenang-wenangan hakim.

2) Keterangan Ahli

Dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP dijelaskan bahwa

“Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh

seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang

38

diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana

guna kepentingan pemeriksaan”. Dari pengertian itu maka

dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ahli

adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus dalam

suatu bidang tertentu, yang dalam hal ini, berkaitan

dengan perkara pidana yang sedang diperiksa oleh

pengadilan. Seorang ahli dalam memberikan keterangan

sesuai dengan bidangnya di suatu persidangan haruslah

berada di bawah sumpah sesuai dengan syarat sahnya alat

bukti keterangan ahli. Keterangan ahli sebagai alat bukti

adalah keterangan yang diberikan oleh seorang ahli secara

lisan di depan persidangan. Apabila seorang ahli di bawah

sumpah telah memberikan keterangan tertulis di luar

persidangan dan keterangan tersebut dibacakan di depan

sidang pengadilan, keterangan ahli tersebut merupakan

alat bukti surat.38

3) Surat

Surat adalah kertas yang bertuliskan buah pikiran

atau perasaan seseorang. Karakteristik surat yang dapat

dijadikan sebagai alat bukti yang sah diatur dalam Pasal

187 KUHAP yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan,

atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Dengan kata

lain, surat yang dapat digunakan sebagai alat bukti adalah

38

Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta, Erlangga, 2012, Hlm.106-107

39

surat yang isi maupun keterangan di dalamnya dibuat atas

sumpah jabatan dan dikeluarkan oleh pejabat yang

berwenang secara resmi. Adapun berdasarkan Pasal 187

KUHAP, surat yang dapat digunakan sebagai alat bukti,

adalah:

a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang

dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau

yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan

tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat

atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan

yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.

b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh

pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata

laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang

diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau

sesuatu keadaan.

c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat

pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu

hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi

daripadanya.

d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada

hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang

lain.

40

4) Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan,

yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan

keterangan terdakwa, yang karena persesuaiannya, baik

antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak

pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu

tindak pidana dan siapa pelakunya.39

Menurut Pasal 188

ayat (3) KUHAP, penilaian atas kekuatan pembuktian dari

suatu petunjuk dilakukan oleh hakim dengan arif lagi

bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan

penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati

nuraninya. Pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim disini

ialah pemeriksaan yang dilakukan selama persidangan,

maka dengan kata lain penilaian hakim terhadap petunjuk

yang dilakukan diluar persidangan tidak dapat dijadikan

sebagai dasar pembuktian dalam pertimbangan hakim.

5) Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa

nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau

yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri ( Pasal 189 ayat

(1) KUHAP). Keterangan terdakwa tidak harus selalu

berbentuk pengakuan terdakwa atas perbuatan yang

39

Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP

41

dilakukannya, keterangan terdakwa juga dapat berupa

penyangkalan dari terdakwa terhadap perbuatan yang

didakwakan atas dirinya. Keterangan terdakwa baru dapat

dikatakan alat bukti apabila keterangan yang ia berikan

dalam persidangan tersebut merupakan keterangan atas

perbuatan yang ia lakukan sendiri, apa yang ia ketahui

sendiri, dan apa yang ia alami sendiri. Sesuai dengan

prinsip pembuktian yang dijelaskan dalam Kedudukan

keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak dapat berdiri

sendiri meskipun keterangan terdakwa yang diberikan

dalam persidangan merupakan pengakuan terdakwa bahwa

ia memang melakukan perbuatan yang didakwakan

kepadanya. Keterangan tersebut, meskipun berupa

pengakuan dari terdakwa, tetap harus didukung oleh alat

bukti lainnya yang menunjukkan bahwa memang terdakwa

telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan

kepadanya. Hal ini sesuai dengan prinsip pembuktian yang

diatur dalam Pasal 183 KUHAP.

4. Teori Pertimbangan Hakim

Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang

oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 angka 8 KUHAP).

Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,

memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,

42

jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 9

KUHAP). Dalam melaksanakan proses mengadili, seorang hakim

tetap harus memperhatikan tiga asas peradilan yaitu sederhana, cepat,

dan biaya ringan. Pengertian hakim di Indonesia kemudian diatur

lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman. Pada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa

“Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan

hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya

dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim

pada pengadilan khusus yang berada dalam

lingkungan peradilan tersebut”.

Tugas hakim secara normatif diatur dalam Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu:

a. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

orang.

b. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala

hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang

sederhana, cepat dan biaya ringan.

c. Menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat.

d. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa

43

hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya.

e. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum

kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila

diminta.

Sebagai bentuk akhir dari proses mengadili, hakim kemudian

mengeluarkan produk hukum yaitu putusan. Putusan hakim, dalam

perkara pidana, adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena

jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk

umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana

pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan

dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan

penyelesaian perkaranya.40

Putusan hakim berisi pertimbangan-pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan sanksi pidana berdasarkan proses pemeriksaan fakta dan

bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Seorang hakim apabila

ingin menjatuhkan putusan yang baik dalam memberikan

pertimbangannya harus berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang

terungkap dalam persidangan dan juga harus sesuai dengan ketentuan

undang-undang yang berlaku tanpa terkena pengaruh atau intervensi

dari pihak-pihak luar.

40

Lilik mulyadi. Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia .Bandung:

PT Citra Aditya Bakti. 2014. Hlm.131

44

Tujuan dari dijatuhkannya sanksi pidana dalam suatu putusan

hakim adalah untuk mencegah masyarakat melakukan hal yang sama

seperti apa yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana, dengan

adanya penjatuhan sanksi pidana tersebut diharapkan masyarakat akan

merasa takut untuk melakukan tindak pidana. Adapun tujuan lain dari

penjatuhan sanksi pidana dalam suatu putusan adalah untuk membuat

efek jera terhadap pelaku tindak pidana sehingga mereka tidak akan

mengulangi perbuatannya lagi.

Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dikatakan “Kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan”. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan

yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam mengadili dan

menegakkan hukum.41

Hakim memiliki kebebasan untuk memberikan

pertimbangan dan menjatuhkan suatu putusan pengadilan sesuai

dengan kewenangannya. Kebebasan hakim dalam memberikan

pertimbangan dan menjatuhkan putusan dalam proses peradilan

pidana terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

menyatakan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib

menjaga kemandirian peradilan dan segala campur tangan dalam

urusan peradilan oleh pihak lain luar kekuasaan kehakiman dilarang,

kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun

41

Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, 2012, Hlm. 34

45

1945. Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam

kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:42

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi

atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim.

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam

menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.

Akan tetapi, kebebasan dalam konsep kekuasaan hakim

bukanlah suatu kebebasan mutlak. Kebebasan disini adalah kebebasan

yang bertanggung jawab dan tidak boleh melanggar dan merugikan

kebebasan orang lain. Kebebasan seorang hakim terbagi dalam dua

jenis yaitu kebebasan eksistensial hakim dan kebebasan sosial hakim.

Kebebasan eksistensial adalah kebebasan hakiki yang dimiliki oleh

setiap manusia tanpa melihat predikat yang melekat padanya. Pada

profesi hakim kebebasan eksistensial menegaskan bahwa seorang

hakim harus mampu menentukan dirinya sendiri dalam membuat

putusan pengadilan.43

Sementara itu, kebebasan sosial merupakan

ruang gerak bagi kebebasan eksistensial, kita hanya dapat menentukan

sikap dan tindakan kita sendiri sejauh orang lain membiarkan kita.44

Meskipun diberi kebebasan, namun dalam memberikan

pertimbangan seorang hakim juga harus melihat pada hasil

42

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif , Sinar

Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 104 43

H. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012,

Hlm. 170 44

Ibid., Hlm. 171

46

pemeriksaan di sidang pengadilan dan tindak pidana apa yang

dilakukan seseorang serta keadaan-keadaan atau faktor-faktor apa saja

yang meliputi perbuatannya tersebut.45

Sosok hakim seringkali

dianggap sebagai sosok wakil Tuhan di bumi, karena hakim

merupakan tempat akhir bagi masyarakat yang ingin mendapatkan

penyelesaian atas masalahnya dan juga merupakan tujuan akhir bagi

masyarakat yang ingin mencari dan mendapatkan keadilan yang

hakiki. Oleh karena itu, meskipun hakim mempunyai kebebasan untuk

memberikan pertimbangan dan menjatuhkan putusan sesuai dengan

keyakinannya, akan tetapi dalam melakukan tugasnya seorang hakim

tidak boleh berpihak kecuali kepada kebenaran dan keadilan, serta

nilai-nilai kemanusian.46

Hakim dalam menjatuhkan putusan harus

mempertimbangkan beberapa hal, yaitu:47

a. Pertimbangan yang Bersifat Yuridis

“Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah

pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-

faktor yang terungkap di dalam persidangan dan

oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal

yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan

yang bersifat yuridis di antaranya:

1) Dakwaan jaksa penuntut umum

2) Keterangan saksi

3) Keterangan terdakwa

4) Barang-barang bukti

5) Pasal-Pasal dalam Undang-Undang.”

45

Lilik Mulyadi, Kekuasaan Kehakiman, Surabaya, Bina Ilmu, 2007, Hlm. 63 46

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya

Bhakti, 1996, Hlm. 2 47

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT.

RajaGrafindo Persada, 2012, Hlm. 125

47

b. Pertimbangan yang bersifat non yuridis

Selain pertimbangan yang bersifat yuridis hakim

dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan

yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yang

bersifat non yuridis yaitu:

1) Akibat perbuatan terdakwa

2) Kondisi diri terdakwa.”

Pada dasarnya, terdapat beberapa teori pendekatan yang

digunakan oleh hakim di dalam pertimbangannya, yaitu:48

a. Teori Keseimbangan

“Teori keseimbangan adalah keseimbangan antara

syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang

dan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan

dan berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain

seperti adanya keseimbangan yang berkaitan

dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan

kepentingan korban.”

b. Teori Pendekatan Intuisi

“Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan

diskresi, dalam menjatuhkan putusan hakim

menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang

wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan

melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut

umum dalam perkara pidana.”

c. Teori Pendekatan Keilmuan

”Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa

proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara

48

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar

Grafika, 2011, hlm. 105-112

48

sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam

kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam

rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.

Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam

peringatan bahwa dalam memutus suatu

perkara,hakim tidak boleh semata -mata atas dasar

intuisi atau insting semata, tetapi harus dilengkapi

dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan

keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara

yang harus di putusnya.”

d. Teori Pendekatan Pengalaman

“Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal

yang dapat membantunya dalam menghadapi

perkara-perkara yang di hadapinya setiap hari,

dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang

hakim dapat mengetahui bagai mana dampak dari

putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara

pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban,

maupun masyarakat.”

e. Teori Ratio Decidendi

“Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang

mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek

yang berkaitan dengan pokok perkara yang

disengketakan, kemudian mencari peraturan

perundang-undangan yang lebih relevan dengan

pokok perkara yang di sengketakan sebagai dasar

hukum dalam penjatuhan putusan, serta

pertimbangan hakim harus didasarkan pada

motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan

memberikan keadilan.”

Namun, tugas hakim dalam mengadili seseorang tidak hanya

semata-mata memberikan pertimbangan dalam putusannya. Seorang

hakim, sebelum menjatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap,

49

haruslah benar-benar melihat dari fakta-fakta yang dihadirkan dalam

persidangan apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang

dituduhkan kepadanya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu

merupakan tindak pidana dan apakah terdakwa tersebut bersalah dan

dapat dipidana, serta apakah pidana yang dijatuhkan telah tepat jika

memang terdakwa terbukti melakukan tindak pidana. Hal ini bertujuan

agar hakim pada saat menjatuhkan putusan dalam persidangan,

putusan tersebut kemudian dapat menjadi putusan yang tepat sesuai

dengan peraturan perundangan dan juga agar putusan tersebut dapat

menciptakan keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh pihak yang

terlibat dalam suatu perkara.

B. Hasil Penelitian

1. Fakta Persidangan

a. Kasus Posisi

Pada hari Minggu, tanggal 30 Juli 2013, sekitar jam 10.00

WIB, terdakwa 1 Andro Supriyanto als. Andro dan terdakwa 2

Nurdin Prianto als. Benges baru saja pulang ke Cipulir setelah

malam sebelumnya para terdakwa bermalam di rumah

kerabatnya (rumah saksi Fransiska als Mak Parung) di Parung.

Para terdakwa ketika sampai di bawah kolong jembatan Cipulir

melihat korban di bawah kolong jembatan Cipulir terluka parah

dengan banyak bekas sayatan pisau dan golok pada bagian

50

wajah, pelipis, leher dan belakang telinga dan ketika ditanya

oleh terdakwa 1, Andro Supriyanto, korban yang bernama Diky

Maulana mengaku mencuri motor dan habis di todong serta

dikeroyok. Terdakwa 1, Andro Supriyanto, sempat menawarkan

untuk mengantar korban ke rumah sakit namun korban tidak

mau dan minta diantar ke kantor Polisi namun Terdakwa dan

yang lain takut mengantar ke kantor Polisi. Korban lalu meminta

diberikan air minum oleh para terdakwa, setelah itu para

terdakwa kemudian pergi mengamen.

Siangnya, pada saat para terdakwa selesai mengamen dan

kembali ke kolong jembatan Cipulir, para terdakwa menemukan

korban telah meninggal dunia, lalu terdakwa 1 yaitu Andro

Supriyanto bersama dengan dua saksi lainnya melaporkan

kepada anggota polisi (saksi Jaidi Pendi) yang pada saat itu

sedang keliling menjalankan tugas BIMAS dan hendak mampir

di Pasar Cipulir sekitar pukul 13.00 WIB, karena merasa curiga

dengan penjelasan terdakwa yang lancar dan kompak kemudian

saksi Jaidi Pendi sengaja menahan dan mengajak ngobrol

terdakwa hingga petugas Polsek dan Polres datang. Setelah

petugas Polsek dan Polres datang, saksi Jaidi Pendi kemudian

menyerahkan terdakwa Andro dan mengatakan bahwa terdakwa

adalah saksi kunci, setelah itu terdakwa kemudian dibawa ke

kantor polisi untuk diperiksa sebagai saksi sedangkan korban

dibawa ke Instalasi Forensik dan Perawatan Jenazah RSUP

51

Fatmawati untuk kemudian dilakukan pemeriksaan visum et

repertum yang dimana hasil Visum et Repertum yang dibuat dan

ditandatangani oleh dokter Andriani SpF Dokter ahli forensik

pada Instalasi Forensik dan Perawatan Jenazah RSUP Fatmawati

Jln RS Fatmawati Cilandak Jakarta Selatan tanggal 05 Juli 2013

tanggal nomor : HK.05.01/II.1/919/2013 Atas nama mayat

DICKY MAULANA tersebut, dengan kesimpulan bahwa

pememeriksaan mayat seorang laki- laki berumur lebih kurang

tujuh belas tahun, ditemukan luka terbuka pada dada kiri bawah

depan sedalam Sembilan belas koma lima sentimeter yang

menembus lambung dada hati serta pendarahan sebanyak 700 cc

akibat kekerasan tajam (tusuk) yang menyebabkan kematian,

perkiraan saat kematian adalah kurang dari dua putuh empat jam

dari saat pemeriksaan jenazah.

Pada saat pemeriksaan di kepolisian, para terdakwa dan

beserta saksi mahkota lainnya yaitu Fikri Pribadi, Bagus

Firdaus, Fatahillah, Arga Putra Samosir, yang sebelumnya

berstatus sebagai saksi mengatakan bahwa malam sebelum nya

terdakwa ada di Parung di rumah emak waktu itu bersama

Nurdin dan baru pulang ke Cipulir keesokan harinya. bersama-

sama dengan Andro, Bagus, Fatahillah, Fikri, Ucok dan OKI

melihat seorang pria di bawah kolong jembatan Cipulir terluka

parah dengan banyak bekas sayatan pisau dan golok pada bagian

wajah, pelipis, leher dan belakang telinga dan terdakwa bersama

52

teman-teman berniat menolong tetapi polisi tidak percaya. Pada

saat pemeriksaan para terdakwa mengaku dipukuli, disetrum,

dan diminta mengaku bahwa para terdakwa telah membunuh

korban hingga akhirnya para terdakwa mengaku karena sudah

tidak tahan dipukuli. Namun keterangan para terdakwa dan saksi

mahkota dalam pemeriksaan tersebut dicabut pada saat para

terdakwa dan saksi memberikan keterangan di pengadilan, para

terdakwa mengatakan bahwa pada saat pemeriksaan di

kepolisian dan di BAP mereka terpaksa mengaku karena takut

disiksa lagi.

Pada saat persidangan, penasehat hukum para terdakwa

mendatangkan saksi alibi yaitu saksi Fransiska als Mak Parung

yang memberikan keterangan bahwa pada malam sebelum

ditemukannya korban, para terdakwa bermalam di rumahnya

dan baru pulang ke Cipulir keesokan harinya dan penasehat

hukum juga mendatangkan saksi Iyan Pribadi yang memberikan

keterangan bahwa saksi mengetahui perkara ini karena para

terdakwa tidak pernah melakukannya karena yang melakukan

adalah teman saksi yang bernama Jubay dan Brengos.

53

b. Hasil Pemeriksaan Saksi

1) Saksi dari Jaksa Penuntut Umum:

a) Saksi Rasma dan Saksi Dominggus Ie Manu (anggota

kepolisian Polda Metro Jaya):

- Bahwa saksi tidak kenal dengan para Terdakwa

- Bahwa saksi pernah diperiksa oleh Penyidik

dan keterangan yang diberikan dalam Berita

Acara Pemeriksaan adalah benar dan tidak

ada perubahan.

- Bahwa saksi tidak pernah ikut serta

memeriksa para Terdakwa

- Saksi mendengar pengakuan dari para

terdakwa yang membunuh korban adalah

para terdakwa ketika terdakwa diperiksa

bersama temannya yang lain dan

mendapatkan informasi bahwa pelakunya

adalah para terdakwa dari penyidik.

- Bahwa berdasarkan pengakuannya terdakwa

andro menusuk di bagian rusuk dan

terdakwa Nurdin menusuk bagian leher alat

yang di gunakan pisau lipat.

- Bahwa ketika di lakukan pemeriksaan di

tempat kejadian di ketemukan sebilah golok

bergagang kayu dan potongan kayu dan

saksi membenarkan barang bukti yang

diperlihatkan kepadanya berupa golok dan

sebilah kayu ada pada tempat kejadian.

b) Saksi Jaidi Pendi dan saksi Dwi Kusmanto

(anggota Polsek Kebayoran Lama):

- Bahwa saksi sebelumnya tidak kenal dengan

para Terdakwa dan tidak ada hubungan

keluarga.

- Ketika saksi berada di atas jembatan Cipulir

datang 3 orang kepada saksi termasuk

terdakwa Andro yang melaporkan ada mayat

laki-laki di bawah jembatan..

54

- Bahwa saksi pernah di periksa di penyidik

daan semua keterangan yang di muat di

berita penyidikan betul semua.

- Bahwa terdakwa Andro bersama 2 temannya

yang saat itu masih berstatus sebagai saksi

di bawa ke Polsek Kebayoran Lama

selanjutnya saksi di perintahkan terdakwa

dan 2 orang temannya tersebut di bawa ke

Polda dan saksilah yang mengantarkan

setelah itu saksi tidak mengetahui

perkembangan selanjutnya karena kejadian

tersebut telah di tangani oleh Polda.

- Bahwa saksi tidak pernah melihat

pengeroyokan dan pembunuhan terhadap

korban karena saat tiba di TKP sudah

meninggal.

c) Saksi Fikri Pribadi, Saksi Bagus Firdaus als

PAU, Saksi Fatahillah als FATA, dan Saksi

Arga Putra Samosir als UCOK:

- Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa

tetapi saksi tidak ada hubungan keluarga.

- Bahwa saksi tidak kenal dengan korban.

- Bahwa saksi pernah diperiksa oleh Penyidik

namun keterangan yang diberikan dalam

Berita Acara Pemeriksaan Penyidik tidak

benar.

- Bahwa keterangan yang saksi sampaikan di

penyidik pada intinya para terdakwa

melakukan pengeroyokan dengan cara

menusuk korban dengan memakai pisau

lipat.

- Bahwa keterangan yang diberikan di depan

Penyidik hanya karangan karena saksi takut

disiksa lagi.

- Bahwa saksi sebelum memberikan

keterangan disiksa oleh petugas Polisi

dengan cara dipukul, diinjak, ditendang, dan

dipaksa untuk mengaku kalau melakukan

pembunuhan terhadap korban.

- Bahwa saksi Ucok dan saksi Fata sebelum

hari kejadian saksi menginap di Parung

55

bersama-sama dengan Fata, Oky, Wazis,

Nurdin dan Isep dan baru pulang keesokan

paginya.

- Bahwa saksi bersama-sama dengan Nurdin,

Fata, Ucok, Fata, Fau, Fauzan, Oky serta

terdakwa Andro melihat korban DICKY

MAULANA dan masih dalam keadaan hidup.

d) Saksi Jubirin Ginting , SH, dan Saksi Suhartono,

SH (saksi verbalisan):

- Bahwa saksi sebelumnya tidak kenal dengan

para terdakwa dan tidak ada hubungan

keluarga.

- Bahwa saksi adalah anggota polisi yang

bertugas memeriksa terdakwa Nurdin dan

Andro serta saksi Ucok, saksi Fikri Pribadi

dan saksi Fataillah.

- Bahwa para terdakwa diperiksa di ruang

pemeriksaan yang terbuka secara bersama-

sama dengan terdakwa lainnya namun oleh

petugas pemeriksa yang berbeda.

- Bahwa selama pemeriksaan, Terdakwa tidak

ditekan, tidak dipaksa ataupun diarahkan

oleh yang memeriksa dan tidak ada tindakan

kekerasan maupun penyetruman.

- Bahwa Terdakwa memberikan keterangan

sendiri secara bebas dengan cara saksi

mengajukan pertanyaan dan dijawab oleh

Terdakwa.

- Bahwa Terdakwa sebelum membubuhkan

cap jempol, dibacakan dulu keterangan yang

sudah diberikan.

- Bahwa waktu di beriksa terdakwa mengakui

perbuatannya dan saksi rekam.

- Bahwa dalam pemeriksaan para terdakwa

mengaku telah melakukan penusukan.

56

2) Saksi dari Penasehat Hukum:

a) Saksi Ustadzi Wasis:

- Bahwa terdakwa kenal dengan para terdakwa

sebagai teman tetapi tidak ada hubungan

keluarga.

- Bahwa saksi tidak kenal dengan korban

- Bahwa saksi bertemu Dicky Maulana pada

tanggal 30 JUNI 2013 bersama-sama dengan

Dede Setiawan, Chaerul Hamzal als

BRENGOS, Mardiyanto als Iyan Jubaidi alis

Jubai.

- Bahwa saksi pernah mendengar kalau Dicky

dibunuh dari mulut Iyan yang cerita kalau

Dicky dibunuh oleh mereka bertiga Brengos

dan Jubai.

- Bahwa saksi tidak lapor ke Polisi kalau

Brengos, Iyan, dan Jubai yang melakukan

pembunuhan terhadap Dicky karena takut.

b) Saksi Rere Septiani, dan Saksi Fransiska als Mak

Parung:

- Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa

sebagai teman tetapi tidak ada hubungan

keluarga.

- Bahwa saat kejadian saksi Rere ada di parung

bersama dengan Nurdin.

- Bahwa terdakwa Andro, Fatah, Ucok, Vera

dan yang lainnya pada malam minggu pernah

menginap di rumah saksi Fransiska di Parung

sedangkan untuk terdakwa Nurdin satu kereta

tetapi pisah di stasiun sampai di Parung

sekitar jam 10 malam.

- Bahwa keesuk harinya mereka pulang naik

kereta sekitar jam 7.20 an pagi.

- Bahwa kondisi para terdakwa seperti habis di

pukuli.

- Bahwa waktu di Polda saksi Rere tidak

melihat para terdakwa di setrum tetapi saksi

mendengar terikannya.

- Bahwa saksi Rere mendapat informasi dari

Iyan lewat facebook yang isinya minta maaf

57

lalu saksi tanya kenapa minta maaf dia bilang

ikut melakukan, terus saksi tanya siapa saja

dia bilang Brengos dan Jubai.

c) Saksi Fauzan Kazim, Saksi Isep Febristanda, Saksi

Sharvera Kumar Ananda, dan Saksi Fauzan als

Ojan:

- Bahwa seluruh saksi kenal dengan para

Terdakwa namun tidak ada hubungan

keluarga atau pekerjaan.

- Bahwa saksi tidak kenal dengan korban Diky

Maulana.

- Bahwa saat saksi bersama yang lain

mendekati korban sekitar jam 9 pagi korban

masih dalam keadaan hidup.

- Bahwa kayu barang bukti yang di perlihatkan

di persidangan tidak ada di tempat kejadian.

- Bahwa golok yang di ajukan di persidangan

bukan golok yang ada di tempat kejadian

karena golok yang ada di tempat kejadian

goloknya berkarat.

d) Saksi Iyan Pribadi

- Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa

tetapi tidak ada hubungan keluarga.

- Bahwa saksi mengetahui perkara ini karena

para terdakwa tidak pernah melakukannya

karena yang melakukan adalah teman saksi

yang bernama Jubay dan Brengos.

- Bahwa yang di bunuh bernama Dicky

Maulana

- Bahwa sebelum kejadian sabtu malam minggu

tanggal 29 Juni saksi bari minum sama teman-

teman ada Brengos selanjutnya 1 jam

berikutnya datang Jubay sama korban naik

motor mio saol warna merah trus ngajak

minum bareng, tidak lama kemudian saksi di

tarik sama Jubay dibisiki Jubay bilang Diki ini

songong mabuknya rese dia bilang matiin saja

gampang ini urusan gue, waktu itu yang ada

Brengos, Charlie, Iwan, Jubay dan Diky.

58

- Bahwa cara mengajak si korban ngajakin

nodong trus, selanjutnya saksi pergi sama

Brengos dan korban sama Jubay naik

motornya korban

- selanjutnya sampai di kolong jembatan korban

masuk kedalam kolong bersama Jubay dan

Brengos, sedangkan saksi nunggu di atas

untuk melihat security.

- Bahwa tidak berapa lama kemudian Brengos

naik keatas, tangannya ke bacok dan saksi di

suruh menemani ke rumah sakit sedang si

Jubay masih di kolong

- Bahwa saksi tanya sama Brengos kenapa luka

karena kebacok sendiri ketika bacok korban.

- Bahwa saksi setelah dari rumah sakit

nongkrong di gang lahap ketemu sama Jubay

dan waktu itu Jubay bilang Diki udah

dimatiin.

- Bahwa ketika Brengos bunuh korban saksi

tidak tahu saksi hanya di beritahu oleh

Brengos dan waktu memberitahu Brengos dan

Jubay dalam keadaan mabuk demikian juga

saksi juga dalam keadaan mabuk.

2. P e r b a n d i n g a n T u n t u t a n , P e m b e l a a n , d a n

Pert imbangan Hakim dalam Putusan Tingkat

Pertama,Banding, dan Kasasi

Perbandingan putusan tingkat pertama, banding, dan kasasi akan

ditampilkan oleh Penulis dalam tabel berikut:

59

Tabel 1. Tuntutan dan Memori Kasasi Penuntut Umum:

Tuntutan Penuntut Umum dalam

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel

Memori Banding Penuntut Umum dalam

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta

Nomor:50/PID/2014/PT.DKI

Memori Permohonan Kasasi Penuntut Umum

dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor:

1055K/PID/2014 Isi dari tuntutan penuntut umum pada

pokoknya yaitu:

Menyatakan para terdakwa Nurdin

Prianto Als Benges dan Andro

Suprianto alias Andro terbukti

bersalah melakukan tindak pidana

Pembunuhan yang dilakukan secara

bersama sama sebagaimana diatur dan

di ancam pidana dalam pasal 338

KUHP Jo. Pasal 55 ayat 1 ke. 1

KUHP.

Menjatuhkan pidana terhadap para

terdakwa masing-masing 13 (tiga

belas ) tahun di kurangi selama para

terdakwa berada dalam tahanan

dengan perintah agar para terdakwa

tetap di tahan.

Menyatakan barang bukti pakaian

korban yaitu 1 (satu) buah kaos tanpa

lengan dengan warna biru tua

bertuliskan Es 1 (satu) buah celana

dalam warna hitam coklat merk

Decimen , 1 (satu) buah sweter

berwarna hitam lengan panjang

Barghest, 1 (satu) buah celana jeans

warna biru tua, 6 (enam) buah gelang

karet warna hitam, 1 (satu) gelang

tali, 4 (empat) buah cicin warna hitam

Isi dari materi permohonan kasasi penuntut umum

pada pokoknya yaitu:

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI

Jakarta yang menjatuhkan putusan atas

nama Terdakwa I ANDRO

SUPRIYANTO alias ANDRO dan

Terdakwa II NURDIN PRIANTO alias

BENGES yang amarnya berbunyi seperti

tersebut di atas, dalam memeriksa dan

mengadili perkara tersebut telah

melakukan kekeliruan, dimana putusan

Majelis Hakim tersebut bukanlah bebas

murni, dengan alasan: 1. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan

Tinggi DKI Jakarta dalam

putusannya tidak

mempertimbangkan fakta-fakta

yang terungkap di muka

persidangan secara utuh

berdasarkan berkas perkara,

barang bukti, surat dakwaan, surat

tuntutan, nota pembelaan (Pledoi

Para Terdakwa) dan Salinan

Putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan

Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.jkt.S

el tanggal 16 Januari 2014

2. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi

60

putih di kembalikan kepada yang

berhak sedangkan yang lainnya

semuanya di rampas untuk di

musnahkan.

Menetapkan supaya masing-masing

terdakwa membayar biaya perkara

sebesar Rp. 2000 (dua ribu))

DKI Jakarta dalam memutus

perkara atas nama Terdakwa

ANDRO SUPRIYANTO alias

ANDRO dan Terdakwa NURDIN

PRIANTO alias BENGES hanya

didasari atau menyadur dari isi

Memori Banding dari Kuasa

Hukum Para dan keterangan Para

Saksi a de charge yang diajukan

oleh kuasa hukum Para Terdakwa

dalam pemeriksaan materi

perkara di muka persidangan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

sebagaimana pertimbangan

hukum Majelis Hakim Pengadilan

Tinggi DKI Jakarta dari halaman

13 s/d halaman 16.

3. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi

DKI Jakarta dalam memutus

perkara a quo hanya didasari atas

keyakinan Hakim terhadap

penyangkalan Para Terdakwa

tidak melakukan pembunuhan

terhadap korban secara

bersamasama sehingga

mengakibatkan Majelis Hakim

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta

telah salah dan keliru dalam

menguraikan pertimbangan

hukumnya.

4. Bahwa dalam pertimbangan

hukumnya Majelis Hakim

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta

61

hanya mempertimbangkan

keterangan atau pengakuan dari

Para Terdakwa saja tanpa

mempertimbangkan keterangan

Saksi-Saksi lainnya dan alat bukti

lainnya.

5. Bahwa keterangan Tersangka

atau Terdakwa tidak memiliki

kekuatan pembuktian

sebagaimana ketentuan Pasal 52

KUHAP dan Pasal 66 KUHAP.

6. Bahwa untuk membuktikan

kebenaran materil perkara a quo,

seharusnya Majelis Hakim

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta

mendengar sendiri keterangan

Terdakwa atau Saksi-Saksi atau

Penuntut Umum dengan

menjelaskan secara singkat dalam

surat panggilan kepada mereka

tentang apa yang ingin

diketahuinya. Akan tetapi Majelis

Hakim Pengadilan Tinggi DKI

Jakarta tidak pernah

melakukannya sebagaimana

ketentuan Pasal 238 Ayat (4)

KUHAP, melainkan langsung

memutus perkara a quo dan

berpendapat Para Terdakwa tidak

terbukti melakukan pembunuhan

secara bersama-sama

sebagaimana yang didakwakan

Penuntut Umum.

62

Tabel 2. Pembelaan dan Memori Banding Penasehat Hukum:

Pembelaan Penasehat Hukum Dalam

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel

Memori Banding Penasehat Hukum Dalam

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta

Nomor:50/PID/2014/PT.DKI

Memori Kasasi Penasehat Hukum Dalam

Putusan Mahkamah Agung Nomor:

1055K/PID/2014 Isi dari pembelaan penasehat hukum pada

pokoknya yaitu:

Bahwa berkas perkara tidak layak di

jadikan dasar untuk merumuskan surat

dakwaan dan surat tuntutan.

Penyidikan bertentangan dengan

hukum sehingga mengakibatkan berita

acara pemeriksaan cacat hukum

sehingga dengan demikian berita acara

pemeriksaan, surat dakwaan dan surat

tuntutan batal demi hukum sehingga

tidak dapat di jadikan dasar untuk

memenjarakan terdakwa.

Penuntut umum tidak profesional dan

tidak cermat, pertama BAP tidak di

buat sesuai dengan ketentuan

KUHAP, kedua penuntut umum

membuat surat tuntutan yang tidak

berdasarkan fakta yang muncul di

persidangan hanya berlandasan

kepada BAP yang cacat , selain itu ada

banyak juga fakta hukum yang

terungkap di persidangan tidak di

pakai penuntut umum sebagai dasar

untuk melakukan penuntutan sehingga

penuntut umum telah melakukan

pelanggaran hukum pasal 185 ayat 1

KUHAP

Isi dari memori banding penasehat hukum

pada pokoknya yaitu:

Persidangan di Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan berjalan dengan tidak

berimbang, tidak obyetif dan tidak

adil. Persidangan dipenuhi dengan

pelanggaran hukum acara maupun

peraturan perundangan-undangan

yang berlaku. Hal tersebut

mengakibatkan fakta hukum kasus ini

menjadi kabur, kebenaran materil

kasus ini menjadi tertutupi. Hak-hak

mendasar Para Terdakwa terlanggar,

akibatnya Para Terdakwa menjadi

sangat dirugikan dengan putusan yang

diambil oleh Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Berbagai kelemahan maupun

ketidakakuratan pertimbangan yang

dilakukan oleh hakim dalam kasus ini

menunjukkan bahwa pada dasarnya

para terdakwa telah dituduh dan

dipaksa mengakui melakukan

perbuatan pidana yang tidak pernah

dilakukannya.Perlu dilakukan

pemeriksaan ulang perkara No.

1273/Pid.B/2013/PN.JKT.SEL ini di

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

63

Bahwa penuntut umum telah

melakukan kekeliruan dengan

mendakwa para terdakwa yang bukan

orang yang melakukan tindak pidana

pembunuhan yang di lakukan secara

bersama-sama maupun secara

bersama-sama di muka umum

melakukan kekerasan terhadap orang

yang menyebabkan matinya orang

dengan demikian para terdakwa harus

di bebaskan dari segala tuntutan

Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di

atas mohon kepada majleis hakim

yang memeriksa dan mengadili

perkara ini memutuskan:

1. Menerima nota pembelaan

(pledooi) penasehat hukum

dan para terdakwa secara

keseluruhan.

2. Menyatakan berita acara

pemeriksaan (BAP) polisi

batal demi hukum.

3. Menyatakan menolak

dakwaan dan / atau tuntutan

secara keseluruhan.

4. Menyatakan bahwa terdakwa

I Andro Supriyono als Andro

dan terdakwa II Nurdin

Priyanto als Benges tidak

terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan tindak

pidana pembunuhan secara

bersama-sama sebagaimana

dengan menghadirkan pelaku yang

sebenarnya melakukan pembunuhan

terhadap korban yaitu Iyan Pribadi.

64

diatur dalam pasal 338 Jo.

Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP

maupun tindak pidana secara

bersama-sama di muka umum

melakukan kekerasan

terhadap orang yang

menyebabkan matinya orang

sebagaimana di atur dalam

pasal 170 ayat (2) ke 3 KUHP

5. Membebaskan terdakwa I

Andro Supriyanto als Andro

dan terdakwa II Nurdin

Priyanto als Benges dari

segala tututan hukum

(Vrijspraak).

6. Menyatakan agar terdakwa I

Andro Supriyanto als Andro

dan terdakwa II Nurdin

Priyanto als Benges segera di

keluarkan dari tahanan setelah

putusan Pengadilan di

ucapkan dalam persidangan.

7. Memulihkan hak terdakwa I

Andro Supriyanto als Andro

dan terdakwa II Nurdin

Priyanto als Benges dalam

kemampuan, kedudukan dan

harkat serta martabatnya.

8. Membebankan biaya perkara

kepada negara menurut

hukum yang berlaku

65

Tabel 3. Putusan dan Pertimbangan Hakim:

Pertimbangan Hakim Dalam

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel

Pertimbangan Hakim Dalam

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta

Nomor:50/PID/2014/PT.DKI

Pertimbangan Hakim Dalam

Putusan Mahkamah Agung Nomor:

1055K/PID/2014 Pertimbangan hakim PN pada pokoknya yaitu:

- Bahwa akan dipertimbangkan terlebih

dahulu dakwaan primair Pasal 338 Jo

55 Ayat (1) Ke-1 KUHP yang unsur-

unsurnya yaitu barang siapa; dengan

sengaja menghilangkan nyawa orang

lain; dilakukan secara bersama-sama.

- Unsur barang siapa:

Bahwa unsur ini menunjukan

pada subjek hukum sebagai

pemegang hak dan kewajiban

serta dapat dipertanggung

jawabkan terhadap

perbuatannya.

Bahwa di persidangan telah

dihadapkan terdakwa I Andro

Supriyanto alias Andro dan

terdakwa II Nurdin Prianto als

Benges yang identitasnya

tersebut dalam surat dakwaan

JPU dan para terdakwa

membenarkan identitas tersebut

dalam pemeriksaan identitas di

persidangan dan para terdakwa

dalam keadaan sehat jasmani

rohani selama dalam

pemeriksaan di persidangan

Bahwa berdasarkan uraian

Pertimbangan hakim tinggi pada pokoknya

yaitu:

- Bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh

penuntut umum tidak seorang pun

yang melihat/mengetahui secara

langsung terdakwa-terdakwa

melakukan pembunuhan bahkan

terdakwa-terdakwa menyangkal keras

telah melakukan pembunuhan atau

kekerasan yang menyebabkan

meninggalnya korban Diky Maulana,

lagipula tidak ada alat bukti lain yang

dapat dipergunakan untuk memperoleh

petunjuk untuk meyakinkan hakim

tentang adanya kesalahan terdakwa-

terdakwa.

- Bahwa keterangan dari saksi-saksi

yang diajukan oleh penasihat hukum

para terdakwa telah terungkap fakta

hukum yang melakukan pembunuhan

atau kekerasan yang menyebabkan

meninggalnya Diky Maulana bukan

dilakukan oleh terdakwa-terdakwa.

- Bahwa dari pertimbangan diatas,

majelis hakim tingkat banding

berpendapat terdakwa-terdakwa tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana

Pertimbangan hakim agung pada pokoknya

yaitu:

- Bahwa alasan-alasan kasasi dari

pemohon kasasi/penuntut umum

tidak dapat dibenarkan karena Judex

Facti telah salah dalam menerapkan

hukum, bahwa Judex Facti

(Pengadilan Negeri) telah kurang

teliti dalam pertimbangannya dan

tidak rinci tentang keterlibatan

masing-masing pemegang peran saat

terjadinya peristiwa in casu. - Bahwa berdasarkan saksi-saksi a de

charge bahwa bukan para terdakwa

yang membunuh korban Diky

Maulana dan bahkan para terdakwa

sendiri yang melaporkan ada mayat

di kolong jembatan. - Bahwa tidak ada satu saksi pun

melihat perbuatan para terdakwa

yang melakukan pembunuhan atau

kekerasan terhadap korban Diky

Maulana dan tidak ada alat bukti

lainnya yang membuktikan adanya

kesalahan para terdakwa, oleh

karenanya para terdakwa harus

dibebaskan dari semua dakwaan

sebagaiman telah dipertimbangkan

66

tersebut majelis berpendapat

unsur ke 1 telah terpenuhi.

- Unsur dengan sengaja menghilangkan

nyawa orang lain:

Bahwa yang dimaksud dengan

sengaja adalah suatu perbuatan

yang dilakukan dengan

kesadaran dari pelaku, bahwa

perbuatan yang dilakukan akan

menimbulkan akibat yang

merupakan tujuan dari sipelaku.

Bahwa berdasarkan fakta

persidangan pada hari Minggu

tanggal 30 Juni 2013 sekitar

pukul 08.00 WIB di bawah

kolong jembatan Cipulir,

Jakarta Selatan, telah

ditemukan korban yang sudah

dalam keadaan meninggal

dunia seorang bernama Diky

Maulana, berdasarkan

keterangan saksi-saksi, para

terdakwa bersepakat mengajak

korban Diky Maulana ke bawah

jembatan Cipulir Jakarta

Selatan untuk memberi

pelajaran dengan kalimat kita

gulung/sekolahin korban Diky

Maulana.

Bahwa hasil pemeriksaan

mayat dalam Visum Et

Repertum No;

HK.05.01/11.1/919/2013

sebagaimana didakwakan dalam

dakwaan primair

- Bahwa sejalan dengan pertimbangan

dakwaan primair diatas bahwa tidak

ada satu saksi pun yang melihat

perbuatan terdakwa-terdakwa yang

melakukan pembunuhan atau

kekerasan terhadap korban Diky

Maulana dan tidak ada alat bukti

lainnya yang membuktikan adanya

kesalahan terdakwa-terdakwa

sedangkan terdakwa-terdakwa

menyangkal keras sehingga majelis

hakim berpendapat dan berkesimpulan

bahwa terdakwa-terdakwa tidak

terbukti pula melakukan tindak pidana

sebagaimana dalam dakwaan

subsidair.

- Bahwa oleh karena terdakwa-terdakwa

tidak terbukti bersalah melakukan

tindak pidana baik dalam dakwaan

primair maupun dakwaan subsidair

penuntut umum, maka terdakwa-

terdakwa haruslah dibebaskan dari

seluruh dakwaan penuntut umum

tersebut, dan selanjutnya memulihkan

terdakwa-terdakwa dalam

kemampuan, kedudukan, dan harkat

serta martabatnya.

dengan tepat dan benar oleh Judex

Facti pengadilan tinggi. - Bahwa karenanya permohonan

pemohon kasasi/penuntut umum

harus dinyatakan tidak beralasan

menurut hukum dan permohonan

kasasi ditolak. - Bahwa putusan Judex Facti dalam

perkara ini tidak bertentangan

dengan hukum dan/atau Undang-

Undang maka permohonan kasasi

dari pemohon kasasi/penuntut umum

tersebut harus ditolak. - Bahwa oleh karena permohonan

kasasi dari pemohon kasasi/penuntut

umum tersebut ditolak dan para

terdakwa harus dibebaskan dari

semua dakwaan.

67

tanggal 5 Juli 2013 atas nama

mayat Diky Maulana dengan

kesimpulan bahwa mayat

seorang laki-laki berumur lebih

kurang 17 tahun ini ditemukan

luka terbuka pada dada kiri

bawah depan sedalam19,5cm

yang menembus lambung dada

hati serta pendarahan sebanyak

700cc akibat kekerasan

tajam(tusuk) yang

menyebabkan kematian,

perkiraan saat kematian adalah

kurang dari 24 jam dari saat

pemeriksaan jenazah.

Bahwa di persidangan para

terdakwa tidak mengakui

perbuatannya dan menurut

keterangan saksi-saksi dari para

terdakwa dan keterangan para

terdakwa pelaku pembunuhan

terhadap korban Diky Maulana

bukan para terdakwa,

keterangan para terdakwa

dalam BAP penyidik hanya

merupakan karangan saja

karena para terdakwa

mengalami kekerasan fisik

maupun psikhis.

Bahwa sesuai dengan

keterangan saksi yang diajukan

oleh para terdakwa yang

bernama saksi Iyan, bahwa

68

saksi Iyan diberitahu oleh

Brengos dan Jubay bahwa yang

membunuh korban Diky

Maulana adalah Brengos dan

Jubay, tetapi pada saat

pemberitahuan tersebut baik

Brengos dan Jubay serta saksi

Iyan dalam keadaan mabuk dan

saksi Iyan sendiri juga tidak

mengetahui sendiri kejadian

pembunuhan terhadap korban

Diky Maulana, sehingga

keterangan saksi menurut

majelis hakim tidak dapa

dijadikan dasar bahwa yang

membunuh korban adalah

Jubay dan Brengos sehingga

keterangan saksi Iyan tersebut

tidak dapat

dipertanggungjawabkan

kebenarannya dan untuk itu

harus dikesampingkan.

Bahwa terhadap keterangan

saksi yang diajukan oleh para

terdakwa semuanya teman-

teman para terdakwa yang

tentunya akan membela para

terdakwa dan keterangannya

saling bertentangan dengan

fakta sehingga dengan

demikian keterangan para saksi

tersebut tidak dapat mendukung

alibi dari para terdakwa untuk

69

itu keterangan para saksi

tersebut harus dikesampingkan.

Bahwa keterangan para saksi

yang juga merupakan terdakwa

(dalam putusan berbeda)

keterangannya dalam BAP

penyidik hanya merupakan

karangan saja namun ternyata

keterangan tersebut antara

terdakwa satu dengan terdakwa

lainnya adalah sama atau saling

berkait dan melengkapi tentang

peristiwa terjadinya

pembunuhan terhadap korban

Diky Maulana, sehingga

menurut majelis hakim

keterangan tersebut bukan

karangan akan tetapi

merupakan keterangan fakta

kejadian yang sebenarnya.

Bahwa keterangan saksi dalam

BAP tetap berlaku

Bahwa berdasarkan

pertimbangan tersebut majelis

hakim berpendapat unsur ke 2

telah terpenuhi

- Unsur dilakukan secara bersama-sama

Bahwa yang dimaksud turut

serta dalam hal ini yang

melakukan tindak pidana

menurut Roeslan Saleh MR,

dalam pendapatnya bahwa

dalam hal turut serta melakukan

70

janganlah diartikan tiap-tiap

peserta harus melakukan

perbuatan pelaksanaan, yang

utama adalah dalam melakukan

tindak pidana itu ada kerjasama

yang erat antara mereka dan

oleh karena adanya kerjasama

di antara terdakwa maka unsur

ke 3 telah terpenuhi

- Bahwa oleh karena semua unsur telah

terpenuhi dan majelis hakim

berkeyakinan bahwa tindak pidana

sebagaimana didakwakan kepada para

terdakwa telah terbukti maka para

terdakwa harus dinyatakan terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana tersebut

dalam dakwaan primair.

Sumber:

1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel

2. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor:50/PID/2014/PT.DKI

3. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1055K/PID/2014

71

C. Analisis

Hasil final dari suatu proses pemeriksaan peradilan, dalam hal ini

peradilan pidana, adalah dijatuhkannya suatu putusan atau vonis. Dalam

proses pembuktian pemeriksaan persidangan suatu perkara pidana, hakim

harus memperhatikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan

dikaitkan dengan alat-alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan,

kemudian hakim akan mempertimbangkan dalam putusannya apakah fakta

dan alat bukti yang diungkap dalam persidangan tersebut dapat

membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana

didakwakan oleh penuntut umum atau tidak. Adapun yang menjadi dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap tindak

pidana pembunuhan yang menjadi studi kasus dalam penulisan ini adalah

sebagai berikut:

1. Berdasarkan Kajian Alat-Alat Bukti

Pada Pasal 183 KUHAP dikatakan bahwa “Hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya”, penjelasan Pasal tersebut

menunjukkan bahwasanya pada sistem pembuktian di Indonesia,

khususnya pembuktian pada perkara pidana, menggunakan sistem

pembuktian secara negatif dimana sistem pembuktian negatif ini

merupakan perpaduan sistem teori pembuktian secara positif yaitu

72

teori pembuktian yang berpedoman pada alat-alat bukti yang

ditentukan oleh undang-undang dan teori pembuktian conviction-in

time dimana untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa

ditentukan oleh keyakinan hakim. Sistem peradilan di Indonesia,

dalam penilaian pembuktian, menggabungkan kedua teori pembuktian

tersebut.

Alat-alat bukti sah yang diakui di dalam peradilan Indonesia

diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Alat-alat bukti tersebut ialah

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan

terdakwa. Pada pembuktian di peradilan Indonesia, dibutuhkan

setidaknya minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang diatur di

Pasal 184 KUHAP, yang menunjukkan dan membuktikan bahwa

terdakwa telah melakukan tindak pidana. Apabila alat bukti yang

ditemukan kurang dari minimal dua alat bukti, maka majelis hakim

tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Dalam peradilan

perkara pidana, alat bukti keterangan saksi ialah merupakan alat bukti

utama karena pada pembuktian di pengadilan, pemeriksaan pertama

yang dilakukan oleh majelis hakim ialah pemeriksaan keterangan

saksi.

Pada ketiga putusan yang menjadi objek penelitian penulis,

majelis hakim dalam pertimbangannya menggunakan teori pendekatan

ratio decidendi dimana hakim dalam pertimbangan pembuktiannya

memeriksa segala aspek yang berkaitan dengan perkara dan

berdasarkan undang-undang yaitu sekurang-kurangnya 2 alat bukti

73

yang sah dan juga berdasarkan apakah alat bukti yang dihadirkan

tersebut dapat meyakinkan hakim bahwa terdakwa telah melakukan

tindak pidana. Selain menggunakan teori pendekatan ratio decidendi,

majelis hakim dalam pertimbangannya juga menggunakan teori

pendekatan keilmuan dan teori keseimbangan. Hal ini terlihat dalam

membuat putusannya majelis hakim tidak hanya berdasarkan

pemikirannya saja, tetapi majelis hakim juga menggunakan pendapat

ahli dalam pertimbangan putusannya, serta turut memperhatikan

kepentingan terdakwa. Penggunaan teori keseimbangan dalam

pertimbangan hakim tersebut terlihat dalam pertimbangan putusan

pada tingkat banding dan tingkat kasasi dimana majelis hakim

banding dan majelis hakim kasasi menjatuhkan vonis bebas terhadap

para terdakwa karena para terdakwa tidak terbukti telah melakukan

tindak pidana.

Dalam putusannya, majelis hakim tingkat pertama menyatakan

bahwa perbuatan para terdakwa telah memenuhi unsur-unsur Pasal

338 Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP sehingga perbuatan para

terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama. Penulis

tidak sependapat dengan majelis hakim tingkat pertama bahwa para

terdakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-

sama apabila dikaitkan dengan aturan pembuktian yang terdapat

dalam KUHAP. Analisis tidak terpenuhinya alat bukti dalam putusan

74

majelis hakim tingkat pertama sesuai dengan aturan yang terdapat

dalam KUHAP ialah sebagai berikut:

a) Keterangan Saksi

Pada pemeriksaan persidangan di tingkat pertama,

penuntut umum menghadirkan 11 orang saksi yang terdiri dari

4 orang polisi, ayah kandung korban, 4 orang saksi mahkota81

,

dan 2 orang saksi verbalisan. Akan tetapi, seluruh saksi yang

dihadirkan oleh penuntut umum tidak ada satupun yang

mendengar, melihat, dan atau mengalami langsung bahwa

terdakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan, termasuk

polisi yang memeriksa terdakwa dalam BAP dan mengatakan

bahwa terdakwa telah mengakui sendiri perbuatannya pun tidak

melihat ataupun mengalami langsung pada saat para terdakwa

melakukan tindak pidana terhadap korban. Maka dapat kita

katakan bahwa saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum

seluruhnya adalah saksi testimonium deauditu82

.

Dalam praktek peradilan di Indonesia, sejak

dikeluarkannya Putusan MK 65/PUU-VIII/2010, penggunaan

saksi testimonium deauditu mulai diberlakukan. Melalui

Putusan MK 65/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa tujuan dari diberlakukannya saksi

testimonium deauditu adalah untuk tidak membatasi atau bahkan

81

Supra: hlm. 36 82

ibid

75

menghilangkan kesempatan bagi terdakwa untuk mengajukan

saksi yang meringankan. Menurut Mahkamah Konstitusi dalam

Putusan MK 65/PUU-VIII/2010, pengertian saksi

menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan

secara sempit hanya dengan mengacu pada Pasal 1 angka 26 dan

angka 27 KUHAP. Pengertian saksi dalam pasal tersebut

membatasi bahkan menghilangkan kesempatan bagi tersangka

atau terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan

baginya karena frase “ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia

alami sendiri” mensyaratkan bahwa hanya saksi yang

mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri suatu

perbuatan yang dapat diajukan sebagai saksi menguntungkan

bagi tersangka/terdakwa.

Akan tetapi, tidak seluruh keterangan saksi testimonium

deauditu dapat digunakan. Keterangan saksi testimonium

deauditu yang dapat digunakan adalah keterangan saksi yang

masih memiliki korelasi dengan kejadian atau keterangan

tersebut dapat menunjukan bahwa pada saat terjadinya tindak

pidana, terdakwa tidak berada di tempat kejadian atau tidak

terlibat dalam tindak pidana tersebut, serta saksi tersebut adalah

saksi alibi yang melalui keterangannya dapat membuktikan

bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana. Dalam kasus

ini yang menjadi saksi alibi adalah saksi Rere Septiani dan saksi

Fransiska als Mak Parung yang dalam keterangannya di

76

pengadilan mengatakan bahwa pada saat kejadian para terdakwa

tidak berada di lokasi kejadian melainkan berada di Parung

bersama dengan saksi. Kedua saksi tersebut dapat membuktikan

bahwa para terdakwa tidak bersalah karena meskipun saksi tidak

melihat, mendengar, dan mengalami sendiri saat terjadinya

tindak pidana terhadap korban secara langsung, tetapi mereka

dapat membuktikan bahwa para terdakwa tidak berada di tempat

kejadian perkara pada saat terjadinya tindak pidana terhadap

korban.

Keterangan saksi yang diberikan oleh saksi-saksi dari

penuntut umum dalam persidangan sebagai alat bukti, berbeda

dengan saksi alibi yang dihadirkan oleh penasehat hukum para

terdakwa, meskipun sama-sama menjadi saksi testimonium

deauditu, karena keterangan saksi tersebut tidak berkaitan

dengan saat terjadinya tindak pidana. Selain itu, saksi a charge

yang menyatakan bahwa para terdakwa telah melakukan tindak

pidana adalah saksi Rasma, saksi Dominggus Ie Manu, saksi

Jaidi Pendi, dan saksi Dwi Kusmanto. Dari keempat saksi a

charge yang merupakan anggota kepolisian tersebut tidak ada

satupun saksi yang ikut langsung memeriksa terdakwa pada saat

pemeriksaan di BAP, para saksi mengetahui terdakwa telah

melakukan tindak pidana karena mendengar informasi dari

sesama rekan polisi bahwa para terdakwa mengaku saat

77

pemeriksaan di BAP dan juga berdasarkan kecurigaan saksi

(saksi Jaidi Pendi) terhadap terdakwa.

Keterangan keempat saksi tersebut diatas yang

menyatakan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana

hanyalah berupa pendapat dari hasil pemikiran saja karena tidak

ada satupun saksi yang ikut memeriksa para terdakwa di BAP

dan mendengar langsung bahwa terdakwa mengakui telah

melakukan tindak pidana. Sesuai dengan aturan dalam Pasal 185

ayat (5) KUHAP yang menyatakan bahwa “Baik pendapat

maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,

bukan merupakan keterangan saksi”, apabila kemudian

dikaitkan dengan aturan tersebut, maka keterangan yang

diberikan oleh para saksi a quo bukanlah termasuk dalam

keterangan saksi, oleh karena itu setiap keterangan saksi yang

bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus

dikesampingkan oleh majelis dalam pembuktian kesalahan

terdakwa. Dengan demikian, keterangan tersebut tidak dapat

dinyatakan sebagai alat bukti.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim tingkat pertama

tidak objektif terhadap penilaian keterangan saksi a de charge.

Majelis hakim tingkat pertama tidak mempertimbangkan dan

mengesampingkan keterangan saksi a de charge yang

dihadirkan dalam persidangan dengan alasan bahwa saksi a de

78

charge seluruhnya adalah teman terdakwa yang sudah pasti akan

membela terdakwa.

Menurut Dr. Mudzakkir, S.H., M.H.83

kekuatan

pembuktian saksi yang diajukan oleh tersangka atau penasehat

hukumnya memiliki nilai kekuatan pembuktian yang kuat dan

sama dengan saksi-saksi lainnya asalkan memenuhi kualitas

keterangan saksi yaitu bersifat netral dan objektif, keterangan

yang diberikan berdasarkan apa yang ia alami dan/atau ia lihat

dan/atau ia dengar sendiri yang diberikan di bawah/di atas

sumpah. Perbedaannya terletak kepada sifat pembuktiannya,

yaitu pembuktian yang bersifat negatif. Maksudnya, keterangan

kesaksian atau alat bukti yang diajukan tersebut membuktikan

sebaliknya, yakni membuktikan bahwa tidak dipenuhinya unsur-

unsur tindak pidana yang disangkakan kepadanya.

Dari seluruh saksi a de charge yang dihadirkan dalam

persidangan, dua diantaranya yaitu saksi Rere Septiani dan saksi

Fransiska als Mak Parung dalam keterangannya di pengadilan

mengatakan bahwa saksi bersama dengan para terdakwa di

Parung pada malam waktu terjadinya tindak pidana pembunuhan

terhadap korban. Keterangan kedua saksi tersebut secara negatif

telah membuktikan bahwa para terdakwa tidak melakukan

tindak pidana pembunuhan terhadap korban, karena pada waktu

terjadinya tindak pidana para terdakwa tidak berada di lokasi

83

Putusan Mahkamah Konstitusi No.65/PUU-VIII/2010 Hlm. 51

79

kejadian (tempus delicti) yaitu di bawah jembatan Cipulir

melainkan berada di Parung bersama dengan saksi. Dari

keterangan kedua saksi tersebut kemudian diperoleh petunjuk

bahwa yang melakukan tindak pidana pembunuhan bukanlah

para terdakwa sehingga unsur kedua yaitu dengan sengaja

menghilangkan nyawa orang lain menjadi tidak terpenuhi.

Dalam persidangan juga dihadirkan saksi a de charge

yang diajukan oleh penasehat hukum yaitu saksi Iyan Pribadi

yang mengatakan bahwa yang melakukan tindak pidana

pembunuhan terhadap korban bukanlah para terdakwa

melainkan orang lain. Penjelasan saksi tersebut kemudian

memunculkan petunjuk baru bahwa yang melakukan tindak

pidana pembunuhan terhadap korban bukanlah para terdakwa

melainkan orang lain yang bernama Brengos dan Jubay.

Menurut Dr. Chairul Huda84

, pelaksanaan asas praduga tak

bersalah dalam pembuktian perkara pidana mengharuskan

pembuktian telah terjadi tindak pidana dan seorang telah

bersalah melakukan tindak pidana tersebut, berdasarkan bukti-

bukti yang tidak menimbulkan keraguan sedikitpun (beyond the

reasonable doubt) yang diperoleh secara sah, prinsip ini dimulai

sejak tahap penyidikan.

Keterangan dari saksi Iyan Pribadi telah menimbulkan

keraguan tentang siapa yang sebenarnya telah membunuh

84

Putusan Mahkamah Konstitusi No.65/PUU-VIII/2010 Hlm. 53

80

korban, namun sayangnya, saksi Iyan Pribadi dan juga saksi

Fransiska als Mak Parung yang merupakan saksi alibi tidak

dipanggil dan diperiksa oleh penyidik pada saat pemeriksaan di

BAP. Tidak dilaksanakannya kewajiban hukum untuk

memanggil dan memeriksa saksi guna memberikan keterangan

yang menguntungkan bagi diri Tersangka/Terdakwa dimaksud,

dapat dipandang sebagai pengingkaran terhadap Pasal 116 ayat

(4) KUHAP.

Tidak terpenuhinya alat bukti sesuai dengan aturan yang

terdapat pada KUHAP, dalam hal ini keterangan saksi, juga

terlihat dari putusan majelis hakim tingkat pertama yang tidak

mempertimbangkan keterangan yang diberikan oleh saksi dalam

pemeriksaan di persidangan. Majelis hakim menjatuhkan

putusannya berdasarkan pada keterangan saksi saat pemeriksaan

di BAP.

BAP yang berisikan berita acara pemeriksaan saksi dapat

dijadikan alat bukti surat apabila saksi yang bersangkutan tidak

dapat dihadirkan di dalam persidangan, namun apabila saksi

yang bersangkutan dapat menghadiri pemeriksaan di

persidangan, maka kemudian keterangan saksi yang dapat

dijadikan alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di dalam

persidangan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP).

81

Pada saat pemeriksaan saksi di persidangan, seluruh saksi

mahkota yang dihadirkan oleh penuntut umum mencabut

keterangan yang mereka berikan di BAP dan menyatakan bahwa

keterangan di BAP tersebut hanyalah karangan saja karena saksi

pada saat diperiksa berada dalam kondisi dibawah tekanan dan

disiksa. Pasal 185 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa

“keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi

nyatakan di sidang pengadilan”, hal tersebut dikarenakan pada

saat pemeriksaan pembuktian di persidangan, seorang saksi,

sebelum memberikan keterangannya haruslah disumpah terlebih

dahulu dengan tujuan agar saksi tersebut memberikan

keterangan yang tiada lain dari yang sebenar-benarnya. Alasan

lain mengapa keterangan saksi yang menjadi alat bukti ialah apa

yang saksi nyatakan di sidang pengadilan adalah agar hakim

dapat menilai keterangan saksi itu, yaitu tentang kebenaran

keterangan saksi apakah yang diterangkan tersebut sesuai yang

ia lihat, ia dengar atau ia alami sendiri.85

Dari bunyi Pasal 185

ayat (1) KUHAP diterangkan bahwa keterangan saksi yang

menjadi alat bukti ialah apa yang dinyatakan oleh saksi di

sidang pengadilan, melihat dari penjelasan ini penulis

berpendapat bahwa dengan demikian majelis hakim tingkat

pertama tidak dapat menjadikan keterangan yang saksi nyatakan

dalam BAP sebagai dasar pertimbangannya bahwa para

85

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana: Untuk Mahasiswa

dan Praktisi, Bandung, Mandar Maju, Bandung, 2003, Hlm 91

82

terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana

didakwakan terhadap para terdakwa.

b) Pengakuan Terdakwa

Pada saat pemeriksaan di persidangan, penuntut umum

juga menghadirkan dua orang saksi verbalisan yaitu saksi

Jubirin Ginting , SH dan saksi Suhartono,SH yang merupakan

anggota polisi yang memeriksa terdakwa pada saat di BAP. Para

saksi menyatakan bahwa pada saat pemeriksaan BAP, para

terdakwa (yang pada saat pemeriksaan BAP masih berstatus

tersangka) mengaku telah melakukan tindak pidana

sebagaimana telah didakwakan kepadanya tanpa ada tekanan,

paksaan, ataupun kekerasan dari pihak manapun. Meskipun

saksi mengatakan bahwa para terdakwa (yang pada saat

pemeriksaan BAP masih berstatus tersangka) mengakui sendiri

bahwa mereka telah melakukan tindak pidana sebagaimana

dalam dakwaan, akan tetapi pengakuan tersebut hanya pada saat

pemeriksaan di BAP bukan pada saat sidang di pengadilan dan

para terdakwa telah mencabut keterangannya dalam BAP,

sehingga pengakuan terdakwa (yang pada saat pemeriksaan

BAP masih berstatus tersangka) di BAP tersebut tidak lagi

menjadi alat bukti. Di sisi lain, pengakuan terdakwa sendiri

tidaklah cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah (Pasal

189 ayat (4) KUHAP). Penjelasan mengenai pengakuan

83

terdakwa diatas juga dikemukakan oleh Abdul Karim Nasution86

yaitu:

“a. Pengakuan tersebut harus diberikan oleh terdakwa

sendiri sehingga suatu keterangan pengakuan yang

diberikan oleh pembelanya tidak dapat dianggap

sebagai pengakuan. Selanjutnya pengakuan harus

diberikan secara bebas dan tidak dipaksa, dan

tidaklah boleh memperolehnya dengan jalan

memancing atas dasar pertanyaan-pentanyaan

yang menjerat. Paksaan, kekerasan atau tipu daya

menyebabkan suatu pengakuan menjadi tidak

berharga sebagai alat bukti yang sah.

b. Suatu pengakuan haruslah diberikan dimuka

hakim. Yang dimaksudkan disini adalah suatu

pengakuan yang diberikan di sidang pengadilan

yang memeriksa perkara terdakwa tersebut. Suatu

pengakuan yang diberikan pada jaksa, pembantu

jaksa (istilah HIR untuk polisi) atau siapapun

bukanlah pengakuan. Di luar pengadilan, maka

suatu pengakuan hanyalah menimbulkan petunjuk,

dan hanyalah menjadi alat bukti yang sah jika

didukung oleh petunjuk-petunjuk lain.

c. Pengakuan harus dengan teliti menyatakan cara-

cara kejahatan tersebut dilakukan dan oleh sebab

itu juga bahwa terdakwa mempunyai kesengajaan

tertentu untuk melakukan suatu tindak pidana.

Keterangan terdakwa bahwa ia bersalah tenhadap

kejahatan yang dituduhkan padanya tidaklah dapat

dianggap telah mencukupi.

d. Suatu pengakuan harus selanjutnya diberikan

dengan tegas. Diamnya seorang terdakwa, ia

malahan pengakuan sebagian, dan ia tidak dapat

memberi penjelasan tentang hal-hal yang

memberatkan kesalahannya, dan harus mengakui

kekuatan alat-alat bukti, belumlah merupakan

pengakuan kesalahan, hal tersebut hanyalah dapat

dianggap ada, jika tendakwa tegas menenangkan

bahwa ia telah melakukan kejahatan yang

dituduhkan kepadanya.

e. Pengakuan harus dikuatkan dengan keadaan-

keadaan lain. Keadaan-keadaan yang dimaksud

oleh pembuat undang-undang bukanlah harus

bahwa peristiwa tersebut menyimpulkan suatu

86

Abdul Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana, Jilid I, II, dan III,

Korps Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta, 1975, hlm. 13-25

84

kesalahan, tetapi cukuplah bahwa keadaan-

keadaan tersebut membuat pengakuan tersebut

dapat dipercaya, keadaan-keadaan mana

seharusnya harus dapat dibuktikan. Keadaan-

keadaan tersebut dengan demikian dapat

merupakan alat-alat bukti yang sah, ataupun

keadaan-keadaan yang bukan merupakan alat

bukti yang sah.

f. Akhirnya jika pengakuan tersebut seyogyanya

dapat diterima, maka hakim haruslah merasa

yakin atasnya. Hakim tidaklah mempunyai

perasaan ragu, apakah mungkin pengakuan

tersebut diberikan bertentangan dengan

kebenaran, atau dengan maksud untuk melindungi

orang lain, atau karena untuk mencegah

pemeriksaan lebih lanjut, atau karena alasan-

alasan lain selama kebenaran dan suatu alat bukti

tidak seluruhnya dapat diterima oleh akal, maka

tidaklah dapat ia memberikan keyakinan penuh.”

Maka dengan beberapa penjelasan diatas dapat dikatakan

bahwa pengakuan terdakwa saja tidak cukup menjadi alat bukti

tetapi penuntut umum juga harus memberikan alat bukti lain

yang mendukung pengakuan tersebut sehingga pengakuan

terdakwa seperti yang diajukan oleh Penuntut umum menjadi

alat bukti yang sah di dalam persidangan.

c) Petunjuk

Pada saat pemeriksaan di tingkat banding dan kasasi,

majelis hakim banding dan majelis hakim kasasi berdasarkan

pemeriksaan seluruh alat bukti yang dihadirkan pada saat

pemeriksaan, tidak memperoleh petunjuk yang meyakinkan

bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana

pembunuhan terhadap korban. Adapun petunjuk yang diperoleh

oleh majelis hakim banding dan kasasi dari keterangan saksi

85

serta keterangan terdakwa di persidangan adalah bahwa para

terdakwa tidak melakukan tindak pidana pembunuhan dan

bahwa pada saat jam kejadian terjadinya tindak pidana

pembunuhan terhadap korban para terdakwa tidak berada di

tempat kejadian perkara (tempus delicti tidak terpenuhi).

Pada perkara ini, penuntut umum hanya mampu menghadirkan 2

jenis alat bukti yaitu keterangan saksi dan surat pada saat pemeriksaan

di persidangan. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya oleh

penulis bahwa saksi yang diajukan oleh penuntut umum tidak ada

yang melihat atau mengetahui langsung terdakwa melakukan tindak

pidana pembunuhan sebagaimana didakwakan kepadanya dan juga

keterangannya tidak memiliki korelasi dengan saat terjadinya tindak

pidana karena keterangan tersebut berupa pendapat dari hasil

pemikiran saja. Dengan demikian keterangan para saksi tersebut tidak

dapat dijadikan sebagai alat bukti dan oleh karena itu maka penuntut

umum kemudian hanya mampu menghadirkan satu alat bukti saja

dalam sidang pengadilan yaitu alat bukti surat keterangan hasil Visum

Et Repertum No; HK.05.01/11.1/919/2013 tanggal 5 Juli 2013 atas

nama mayat Diky Maulana yang berisi tentang penyebab kematian

korban.

Majelis hakim tingkat pertama telah kurang teliti dalam

pertimbangannya dan tidak rinci dalam menilai alat bukti pada saat

pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama. Majelis hakim tingkat

pertama telah salah menerapkan hukum dalam putusannya.

86

Kurangnya alat bukti yang dihadirkan pada saat persidangan dan

tidak diperolehnya petunjuk yang meyakinkan majelis hakim banding

dan kasasi bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana

pembunuhan menjadi dasar pertimbangan bagi majelis hakim banding

dan kasasi menjatuhkan vonis bebas terhadap para terdakwa. Hal ini

sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP.

2. Berdasarkan Pertimbangan Hakim Dari Sisi Juridis

Pembunuhan merupakan bagian dari delik kejahatan terhadap

nyawa. Tindak pidana pembunuhan termasuk ke dalam kategori delik

materiil yaitu perbuatan tersebut baru dapat dikatakan tindak pidana

jika akibat dari perbuatan tersebut sudah terjadi.

Dalam putusan yang menjadi studi kasus di penulisan ini,

majelis hakim dalam penilaiannya mengungkap fakta berdasarkan

pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat yuridis yaitu menilai

dari dakwaan penuntut umum, keterangan saksi, keterangan terdakwa,

barang bukti, dan juga Undang-Undang.

Dalam perkara ini, penuntut umum memberikan dakwaan dalam

bentuk subsidair yaitu dakwaan yang terdiri dari beberapa lapisan

dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang

satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik

lapisan disusun secara berurut dimulai dari ancaman tindak pidana

tertinggi sampai dengan ancaman tindak pidana terendah. Majelis

87

hakim tingkat pertama kemudian menjatuhkan putusan yang

menyatakan bahwa para terdakwa telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan secara

bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 338 Jo. Pasal 55 Ayat

(1) Ke-1 KUHP.

Berdasarkan pertimbangan hakim tingkat pertama dalam

putusannya sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya, hakim

menyatakan bahwa perbuatan para terdakwa telah memenuhi unsur-

unsur Pasal 338 Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP sehingga perbuatan

para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama.

Didasarkan pada pertimbangan yang bersifat yuridis, dalam

pertimbangan mengenai unsur dengan sengaja menghilangkan nyawa

orang lain, penulis berpendapat bahwa majelis hakim tingkat pertama

telah mengabaikan dan tidak mempertimbangkan sama sekali seluruh

keterangan saksi dan juga keterangan para terdakwa di persidangan,

dimana baik keterangan saksi dan juga keterangan terdakwa

merupakan unsur penting yang harus ada dalam pertimbangan bersifat

yuridis dalam suatu putusan. Majelis hakim tingkat pertama hanya

mempertimbangkan petunjuk yang diperoleh dari keterangan saksi di

BAP, yang jika dilihat menurut aturan pada Pasal 185 ayat (1)

KUHAP keterangan di BAP tersebut tidak lagi dapat dijadikan

sebagai dasar pertimbangan.

88

Majelis hakim tingkat pertama telah salah dalam merumuskan

pertimbangan putusannya. Majelis hakim tingkat pertama tidak

memperhatikan dan mempertimbangkan unsur-unsur pertimbangan

bersifat yuridis yang harus dimuat dalam setiap putusan pengadilan

yaitu keterangan saksi dan keterangan terdakwa. Hal ini terlihat dari

pertimbangan majelis hakim tingkat pertama yang mengesampingkan

keterangan saksi, baik saksi a charge maupun saksi a de charge, yang

disampaikan oleh saksi pada saat persidangan serta tidak

mempertimbangkan sama sekali keterangan terdakwa saat

persidangan. Majelis hakim tingkat pertama menilai dan

mempertimbangkan kesalahan para terdakwa hanya berdasarkan pada

pemeriksaan di BAP dimana BAP tidaklah menjadi salah satu unsur

dalam pertimbangan bersifat yuridis dan dalam perkara ini BAP

tersebut tidaklah lagi dapat dijadikan sebagai bukti karena

keterangannya telah dicabut oleh saksi pada saat persidangan.

Ketidaktelitian dan kurang objektifnya majelis hakim tingkat

pertama dalam mempertimbangkan hal-hal yang bersifat yuridis

dalam putusannya membuat majelis hakim tingkat pertama tidak

menyadari bahwa unsur kedua dari Pasal 338 Jo. Pasal 55 Ayat (1)

Ke-1 KUHP yaitu unsur dengan sengaja menghilangkan nyawa orang

lain tidak terpenuhi.

Tidak terpenuhinya unsur dengan sengaja menghilangkan nyawa

orang lain tersebut kemudian disadari oleh majelis hakim banding dan

majelis hakim kasasi pada saat pemeriksaan perkara di tingkat

89

banding dan kasasi. Pada saat pemeriksaan perkara majelis hakim

banding dan majelis hakim kasasi menyadari tidak ada seorang pun

saksi yang melihat atau mengetahui secara langsung para terdakwa

melakukan pembunuhan dan juga melalui keterangan dari saksi alibi

yang diajukan oleh penasihat hukum para terdakwa serta dari

keterangan terdakwa telah terungkap fakta hukum yang melakukan

pembunuhan atau kekerasan yang menyebabkan meninggalnya korban

bukan dilakukan oleh para terdakwa. Selain itu, tidak diperoleh

petunjuk untuk meyakinkan hakim tentang adanya kesalahan

terdakwa-terdakwa. Dari pertimbangan majelis hakim banding dan

majelis hakim kasasi yang menyatakan bahwa terungkapnya fakta

hukum yang melakukan pembunuhan atau kekerasan yang

menyebabkan meninggalnya korban bukan dilakukan oleh para

terdakwa maka dapat kita katakan bahwa para terdakwa tidak

memenuhi unsur kedua yaitu unsur dengan sengaja (asas hukum

animus moninis est anima scripti yang berarti kesengajaan seseorang

merupakan inti dari sebuah perbuatan) menghilangkan nyawa orang

lain.

Tidak terpenuhinya unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 338

Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP yaitu unsur kedua dengan sengaja

menghilangkan nyawa orang lain dan kurangnya bukti serta petunjuk

untuk meyakinkan hakim tentang adanya kesalahan terdakwa-

terdakwa kemudian menjadi dasar pertimbangan bagi majelis hakim

banding dan majelis hakim kasasi menjatuhkan putusan bebas

90

terhadap para terdakwa. Hal ini pernah dikemukakan oleh seorang

pakar hukum pidana Asep Iwan Iriawan saat menghadiri sebuah acara

di stasiun televisi yang mana beliau mengemukakan bahwa dalam

hukum pidana segala unsur harus terbukti, jika salah satu unsur tidak

terbukti maka terdakwa harus diputus bebas, berlaku sebaliknya jika

segala unsur terbukti maka terdakwa harus dihukum.87

Pernyataan

pakar hukum pidana tersebut sejalan dengan aturan dalam Pasal 191

ayat (1) KUHAP yaitu Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil

pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang

didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,

maka terdakwa diputus bebas.

87

Wawancara dengan Pakar Hukum Pidana Asep Iwan Iriawan , Metro TV, hari Selasa tanggal 28

Februari 2017 pukul 14.07 WIB