Upload
dangdien
View
221
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
18
BAB II
KAJIAN TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS
A. Kajian Teori
1. Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan salah satu bagian dari hukum
pidana. Hukum pidana baru dapat diterapkan apabila seseorang
terbukti melakukan suatu tindak pidana. Istilah tindak pidana
berasal dari bahasa Belanda yaitu “strafbaarfeit”.
“Strafbaarfeit” memiliki arti yaitu:17
“1) Delik (delict)
2) Peristiwa pidana
3) Perbuatan pidana
4) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum
5) Hal yang diancam dengan hukum
6) Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan
hukum
7) Tindak pidana.”
Menurut Pompe (Lamintang 2011:182) yang dimaksud
dengan tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma
(gangguan terhadap tata tertib hukum) tertib hukum yang
dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh
seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku
17
Tri Andrisman, Hukum Pidana, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2011, Hlm. 69
19
tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.18
Sedangkan menurut Moeljanto, yang dimaksud dengan tindak
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.19
Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh
aturan hukum, dalam hal ini yaitu hukum pidana, dimana orang
yang melanggar aturan hukum tersebut dapat dikenakan sanksi
pidana. Adanya aturan hukum mengenai tindak pidana menjadi
sangat penting karena dianutnya asas legalitas dalam sistem
hukum pidana di Indonesia. Pemberlakuan asas legalitas
ditunjukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”, yang
dalam pembelajaran ilmu hukum sering juga disebut dengan
nullum delictum nulla poena sine praevia poenali.
b. Unsur-unsur Tindak Pidana
Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dapat
langsung dikenakan sanksi pidana. Hakim tidak bisa langsung
serta-merta memberikan sanksi pidana terhadap pelaku tindak
pidana. Sebelum menjatuhkan sanksi pidana, terlebih dahulu
18
P.A.F., Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, P.T.Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2011, Hlm 182 19
Tri Andrisman. Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana
Indonesia.Universitas lampung: Bandar Lampung, 2011. hlm .70
20
harus dilakukan pembuktian bahwa orang tersebut memang
benar telah melakukan suatu tindak pidana dan telah memenuhi
unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana itu sendiri
terdiri dari:20
1) Suatu perbuatan manusia.
2) Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang.
3) Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Moeljanto juga menjabarkan unsur-unsur tindak pidana
yang tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, yaitu unsur-
unsurnya terdiri sebagai berikut:21
1) Perbuatan manusia
2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang
3) Bersifat melawan hukum
Pada intinya, suatu perbuatan baru dapat dikatakan tindak
pidana apabila telah memenuhi seluruh unsur-unsur tindak
pidana, yaitu:
1) Adanya perbuatan
Terdapat dua jenis kategori perbuatan di dalam
KUHP, yaitu melakukan suatu perbuatan dan tidak
20
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta, P.T. Raja Grafindo, 2011, hlm 48 21
Tri Andrisman, Op Cit., Hlm. 72
21
melakukan suatu perbuatan. Melakukan suatu perbuatan
berarti orang tersebut telah melakukan suatu tindakan
yang dimana tindakan tersebut dilarang oleh undang-
undang. Sedangkan yang dimaksud dengan tidak
melakukan suatu perbuatan adalah keadaan dimana
seseorang tidak melakukan perbuatan yang telah
diwajibkan oleh undang-undang kepadanya.
2) Bersifat melawan hukum
Sifat melawan hukum dalam tindak pidana dibagi
menjadi dua, yaitu sifat melawan hukum formil (formale
wederrechtelijk) dan sifat melawan hukum materiil
(materiel wedderrchtelijk). Yang dimaksud dengan sifat
melawan hukum formil adalah perbuatan yang dilakukan
telah memenuhi rumusan undang-undang, kecuali
diadakan pengecualian-pengecualian yang telah ditentukan
oleh undang-undang, melawan hukum berarti melawan
undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang.
Sedangkan menurut sifat melawan hukum materiil ialah
belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-
undang bersifat melawan hukum, karena yang dinamakan
hukum itu bukan hanya undang-undang saja (hukum yang
tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulis,
22
yakni kaidah-kaidah atau kenyataan yang berlaku di
masyarakat.22
3) Dapat dipertanggungjawabkan
Seseorang baru dapat dikatakan melakukan tindak
pidana apabila orang tersebut merupakan orang yang
cakap hukum sehingga dapat dimintai
pertanggungjawaban atas pelanggaran yang dilakukannya.
Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh orang yang tidak
cakap hukum, maka perbuatan tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai tindak pidana dan terhadap pelakunya
tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana, hal ini diatur di
dalam Pasal 44 KUHP yaitu “Barang siapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya
karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu
karena penyakit, tidak dipidana.”
2. Tindak Pidana Pembunuhan
a. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan
Tindak pidana pembunuhan diatur dalam Buku Kedua Bab
XIX Pasal 338 sampai Pasal 350 KUHP yang mengatur tentang
kejahatan terhadap nyawa. Pembunuhan adalah suatu tindakan
22
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap
Indonesia, 2012, Hlm. 53
23
yang dilakukan oleh seseorang yang mengakibatkan meninggal
atau hilangnya nyawa orang lain. Lamintang mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan pembunuhan adalah kesengajaan
menghilangkan nyawa orang lain, untuk menghilangkan nyawa
orang lain itu, seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau
suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya
orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya harus
ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain
tersebut.23
Terdapat beberapa jenis tindak pidana pembunuhan, yaitu:
1) Tindak pidana pembunuhan biasa ( Pasal 338
KUHP).
2) Tindak pidana pembunuhan berencana ( Pasal 340
KUHP).
3) Tindak pidana pembunuhan terhadap anak yang baru
dilahirkan oleh ibunya sendiri ( Pasal 341 sampai
pasal 342 KUHP).
4) Kejahatan menghilangkan nyawa orang lain atas
permintaan dari orang itu sendiri ( Pasal 344
KUHP).
5) Kejahatan berupa kesengajaan mendorong atau
membantu orang lain melakukan bunuh diri ( Pasal
345 KUHP).
23
P.A.F, Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan,
Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, Hlm.1
24
6) Kejahatan berupa kesengajaan untuk menggugurkan
kandungan ( Pasal 346 sampai Pasal 349 KUHP).
Tindak pidana pembunuhan termasuk ke dalam kategori
delik materiil yaitu perbuatan tersebut baru dapat dikatakan
tindak pidana jika akibat dari perbuatan tersebut sudah terjadi.
Dalam delik formil yang dirumuskan adalah tindakan yang
dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak
mempersoalkan akibat dari tindakan itu.24
Sedangkan delik
materiil merupakan delik yang baru dapat dianggap telah selesai
dilakukan oleh pelakunya apabila timbul akibat yang dilarang
(akibat konstitutif atau constitutief-gevolg) yang tidak
dikehendaki oleh Undang-Undang.25
Dengan kata lain, dalam
delik formil suatu tindak pidana dianggap telah terjadi atau telah
selesai apabila tindakan-tindakan yang dilarang oleh undang-
undang telah terpenuhi tanpa memperhatikan ada atau tidaknya
akibat dari perbuatan tersebut. Berbeda dengan delik formil,
dalam delik materiil adanya akibat atau telah terjadinya akibat
dari perbuatan tersebut merupakan unsur yang paling penting
untuk menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikatakan
tindak pidana atau tidak.
24
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya.
Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982, Hlm 237 25
P.A.F Lamintang, Loc. Cit.
25
b. Unsur-unsur Tindak Pidana Pembunuhan
Terdapat dua jenis unsur dalam tindak pidana
pembunuhan, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur
subjektif ialah unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku (niat
dari pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut) dan unsur
objekti ialah unsur yang berasal dari luar diri si pelaku. Tindak
pidana pembunuhan diatur dalam Pasal 338 KUHP yang
berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun”. Dalam pasal tersebut,
terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi agar suatu
perbuatan dapat dikatakan tindak pidana pembunuhan, yaitu:
1) Barang siapa dengan sengaja (unsur subjektif)
Unsur subjektif merupakan unsur yang timbul dari
dalam diri pelaku sendiri. Barang siapa dengan sengaja
menunjukan bahwa telah muncul niat dari dalam diri
pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut dan pelaku
mengetahui akibat yang akan timbul dari perbuatannya
tersebut. Terdapat tiga jenis kesengajaan dalam hukum
pidana, yaitu:
26
a) Sengaja sebagai maksud
Sengaja sebagai maksud adalah apabila pelaku
menghendaki akibat perbuatannya. Ia tidak pernah
melakukan perbuatannya apabila pelaku tersebut
tidak mengetahui bahwa akibat dari perbuatannya
tidak akan terjadi.26
b) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian
Kesengajaan semacam ini ada apabila si
pelaku, dengan perbuatannya itu bertujuan untuk
mencapai akibat yang akan menjadi dasar dari tindak
pidana, kecuali ia tahu benar, bahwa akibat itu
mengikuti perbuatan itu.27
c) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan
Sengaja dengan kesadaran kemungkinan
adalah keadaan dimana pelaku yang bersangkutan
pada waktu melakukan perbuatan itu untuk
menimbulkan suatu akibat, yang dilarang oleh
undang-undang telah menyadari kemungkinan akan
26
Andi Hamzah. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta, Rineka Cipta, 2008, Hlm. 116 27
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung, Aditama, 2003,
Hlm. 63
27
timbul suatu akibat lain dari pada akibat yang
memang ia kehendaki.28
Dalam Pasal 338 KUHP dikatakan “Barang
siapa dengan sengaja merampas nyawa orang
lain....” unsur kesengajaan disini ialah unsur sengaja
sebagai maksud, yaitu pelaku telah mengetahui
akibat dari perbuatannya dan pelaku menghendaki
akibat tersebut sehingga kemudian pelaku
melakukan tindak pidana pembunuhan.
2) Merampas nyawa orang lain (unsur objektif)
Merampas nyawa orang lain atau menghilangkan
nyawa orang lain menunjukan bahwa untuk dapat
dikatakan tindak pidana pembunuhan, perbuatan yang
dilakukan oleh pelaku tersebut harus telah menunjukkan
akibatnya yaitu hilangnya nyawa seseorang. Apabila
perbuatan tersebut belum mengakibatkan hilangnya nyawa
seseorang, perbuatan si pelaku itu masih tergolong dalam
kategori percobaan pembunuhan dan terhadap pelaku tidak
dapat dijatuhkan sanksi pidana pembunuhan meskipun
pada saat melakukan perbuatannya pelaku telah memiliki
niat untuk membunuh korbannya.
28
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh, Jakarta, Sinar Grafika,
2012, hlm 18
28
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain)
terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu:29
a) Adanya wujud perbuatan
b) Adanya suatu kematian (orang lain)
c) Adanya hubungan sebab dan akibat (causal
Verband) antara perbuatan dan akibat kematian
(orang lain).
3. Pembuktian
Pembuktian dalam persidangan mempunyai peranan yang sangat
penting, karena segala alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan
akan menjadi tolok ukur bagi hakim dalam membangun
pertimbangannya. Pembuktian jugalah yang nantinya akan
memberikan petunjuk bagi hakim untuk menentukan apakah
seseorang memang benar telah melakukan tindak pidana atau tidak.
“Pembuktian merupakan ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara – cara yang
dibenarkan undang – undang membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga
merupakan kesatuan yang mengatur alat – alat bukti
yang dibenarkan undang – undang dan yang boleh
dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang
didakwakan30
”.
Dalam proses pembuktian, Indonesia juga menggunakan empat
prinsip pembuktian dalam persidangan pidana, yaitu:
29
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta, P.T.Raja Grafindo, 2010,
Hlm. 57 30
M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, banding, Kasasi dan Peninjauan kembali) Edisi ke2, jakarta, Sinar Grafika, 2000.
Hlm. 252
29
a. Dibutuhkannya 2 alat bukti (Pasal 183 KUHAP)
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan
(Pasal 184 ayat (2) KUHAP)
Prinsip ini diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang
berbunyi “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu
dibuktikan” atau biasa disebut dengan istilah notoire feiten
notorius (generally known). Lilik Mulyadi kemudian membagi
notoire feiten ke dalam 2 golongan, yaitu:31
“1) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum
bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang
sudah demikian hal yang benarnya atau
semestinya demikian.
2) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang
selamanya dan selalu mengakibatkan demikian
atau selalu merupakan kesimpulan demikian.”
c. Satu saksi bukan saksi (Pasal 185 ayat (2) KUHAP)
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan
31
Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya.
Bandung. Alumni. 2007. hlm. 199
30
yang didakwakan kepadanya”, prinsip ini sering dikenal dengan
istilah unus testis nullum testis
d. Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut
umum membuktikan kesalahan terdakwa (Pasal 189 ayat (4)
KUHAP)
“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat
bukti yang lain.”
Secara umum, terdapat beberapa teori pembuktian, yaitu:32
1) Teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara
positif (Positief Wetelijke Bewijs Theorie)
Yaitu teori pembuktian yang mendasarkan pada alat-
alat bukti yang terdapat dalam Undang-Undang.
2) Teori berdasarkan keyakinan hakim melulu (Conviction
Intime)
Yaitu teori ini didasarkan pada pendapat bahwa
pengakuan terdakwa tidak selalu dapat membuktikan
kebenaran, oleh karena itu bagaimanapun diperlukan juga
keyakinan hakim.
32
M. Haryanto, Loc.Cit
31
3) Teori pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim atas
alasan yang logis (Ia Conviction Rais Onnee)
Yaitu Hakim memutuskan seseorang bersalah harus
berdasarkan keyakinannya, keyakinan tersebut harus
didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan
suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-
peraturan pembuktian tertentu.
Beberapa teori lain mengenai pembuktian juga dijelaskan
oleh Waluyadi dalam bukunya yang berjudul Hukum Pembuktian
dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi, yaitu:33
a. Conviction-in Time
“Sistem pembuktian conviction-in time menentukan
salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata
ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim.
Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian
kesalahan terdakwa, yakni dari mana hakim
menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak
menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan
boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-
alat bukti yang diperiksanya dalam sidang
pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat
bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik
keyakinan dari keterangan atau pengakuan
terdakwa.”
b. Conviction-Raisonee
Sistem conviction-raisonee pun, keyakinan hakim
tetap memegang peranan penting dalam
33
Waluyadi. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung.
Mandar Maju. 2004. Hlm. 39
32
menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi,
pada sistem ini, faktor keyakinan hakim dibatasi.
Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time
peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka
pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim
harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas.
Hakim harus mendasarkan putusan-putusannya
terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan
(reasoning). Oleh karena itu putusan juga
bedasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal
(reasonable). Hakim wajib menguraikan dan
menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari
keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Sistem
atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian
bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-
alasan keyakinannya (vrijs bewijstheorie).
c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief
wettelijke stelsel)
“Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian
dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-
undang, yakni untuk membuktikan salah atau
tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan
kepada alat-alat bukti yang sah. Terpenuhinya
syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-
undang, sudah cukup menentukan kesalahan
terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim,
yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang
kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah.”
d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief
wettelijke stelsel)
“Sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif merupakan teori antara sistem
pembuktian menurut undang-undang secara positif
dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction-in time. Sistem ini memadukan unsur
objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau
tidaknya terdakwa, tidak ada yang paling dominan
diantara kedua unsur tersebut.”
33
Sistem pembuktian yang dianut oleh di Indonesia adalah sistem
pembuktian Undang-Undang secara negatif (Negatiefe Wettelijke
Bewijs Theorie), yaitu dalam pembuktian perkara pidana berpangkal
tolak dari aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif
dalam Undang-Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan
Hakim34
. Sistem pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
Pada sistem pembuktian secara negatif diperlukan minimal 2 alat
bukti yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan kemudian
berdasarkan hasil pemeriksaan dari 2 alat bukti itulah hakim akan
menentukan pertimbangannya. Alat bukti yang sah menurut Undang-
Undang yaitu Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah:
a) Keterangan saksi
b) Keterangan ahli
c) Surat
d) Petunjuk
e) Keterangan terdakwa
a. Pembuktian Menurut Ahli dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 65/PUU-VIII/2010
Menurut Prof. Dr. Edy O.S. Hiariej35
Pembuktian dalam
hukum pidana dimulai sejak tahap penyelidikan dan/atau
penyidikan sampai pada tahap pemeriksaan di sidang
pengadilan. Oleh karena itu penyidik maupun penuntut dapat
meminta keterangan saksi yang memberatkan mulai dari tahap
34
M.Haryanto, Hukum Acara Pidana, Salatiga, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya
Wacana, 2007, Hlm. 86 35
Putusan Mahkamah Konstitusi No.65/PUU-VIII/2010 Hlm. 45
34
penyelidikan dan atau penyidikan sampai tahap persidangan.
Begitu pula sebaliknya, sebagai penyeimbang, tersangka dapat
meminta keterangan saksi yang meringankan mulai dari tahap
penyelidikan dan atau penyidikan sampai tahap persidangan.
Teori tersebut kemudian didukung oleh pendapat dari Dr.
Mudzakkir, S.H., M.H.36
yang menjelaskan bahwa kekuatan
pembuktian saksi yang diajukan oleh tersangka/penasehat
hukumnya memiliki nilai kekuatan pembuktian yang kuat dan
sama dengan saksi-saksi lainnya asalkan memenuhi kualitas
keterangan saksi yaitu bersifat netral dan objektif, keterangan
yang diberikan berdasarkan apa yang ia alami dan/atau ia lihat
dan/atau ia dengar sendiri yang diberikan di bawah/di atas
sumpah. Perbedaannya terletak kepada sifat pembuktiannya,
yaitu pembuktian yang bersifat negatif. Maksudnya, keterangan
kesaksian atau alat bukti yang diajukan tersebut membuktikan
sebaliknya, yakni membuktikan bahwa tidak dipenuhinya unsur-
unsur tindak pidana yang disangkakan kepadanya.
Tujuan dipanggil serta diperiksanya saksi baik saksi
memberatkan maupun meringankan dari sejak dari tahap
penyelidikan ialah untuk memastikan bahwa benar telah terjadi
suatu tindak pidana. Dalam hukum pidana di Indonesia dikenal
asas praduga tak bersalah yang dimana asas ini juga
diberlakukan pada saat tahap pembuktian. Menurut Dr. Chairul
36
Putusan Mahkamah Konstitusi No.65/PUU-VIII/2010 Hlm. 51
35
Huda37
, pelaksanaan asas praduga tak bersalah dalam
pembuktian perkara pidana mengharuskan pembuktian telah
terjadi tindak pidana dan seorang telah bersalah melakukan
tindak pidana tersebut, berdasarkan bukti-bukti yang tidak
menimbulkan keraguan sedikitpun (beyond the reasonable
doubt), yang diperoleh secara sah.
b. Macam-Macam Alat Bukti
1) Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah berupa keterangan dari
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka
27 KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan saksi
menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah “Orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri”.
Akan tetapi pengertian keterangan saksi sebagai salah satu
alat bukti dalam persidangan tidak berhenti sampai disini
saja. Keterangan saksi dalam persidangan baru dapat
dikatakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan
saksi tersebut telah memenuhi syarat formil dan syarat
37
Putusan Mahkamah Konstitusi No.65/PUU-VIII/2010 Hlm. 53
36
materiil. Syarat formil yaitu keterangan saksi dianggap sah
apabila diberikan di bawah sumpah yang terdapat dalam
Pasal 160 ayat ( 3 ) KUHAP dan syarat materiil yaitu
kesaksian dari seorang saksi itu harus mengenai hal – hal
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri,
dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
Terdapat 3 jenis saksi dalam persidangan pidana,
yaitu saksi A Charge atau saksi dalam perkara pidana yang
dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan
kesaksiannya yang memberatkan terdakwa, saksi A De
Charge atau saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut
umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang sifatnya
meringankan terdakwa, serta yang terakhir ialah saksi
mahkota yang diatur dalam Putusan Mahkamah Agung
No. 2437 K/Pid.Sus/2011, definisi saksi mahkota ialah
sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang
tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama
melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada
Saksi tersebut diberikan mahkota.
Dalam Putusan MK 65/PUU-VIII/2010, Majelis
Hakim Konstitusi menambahkan 1 jenis keterangan saksi
yaitu keterangan saksi yang tidak mendengar, melihat,
atau mengalami secara langsung suatu peristiwa atau
sering disebut “testimonium deauditu”. Akan tetapi,
37
testimonium deauditu dalam Putusan MK a quo lebih
ditekankan kepada saksi A De Charge atau saksi yang
meringankan, hal ini bertujuan untuk tidak membatasi atau
bahkan menghilangkan kesempatan bagi terdakwa untuk
mengajukan saksi yang meringankan. Namun, tidak
seluruh keterangan saksi testimonium deauditu dapat
dijadikan sebagai alat bukti. Keterangan saksi testimonium
deauditu baru dapat dijadikan alat bukti sebagaimana
dimaksud dalam Putusan MK 65/PUU-VIII/2010 ialah
apabila keterangan saksi tersebut memiliki keterkaitan
dengan terdakwa pada saat terjadinya tindak pidana atau
keterangan tersebut dapat membuktikan dan kemudian
menjadi alibi bahwa terdakwa tidak melakukan tindak
pidana.
Hakim memiliki kebebasan untuk menilai kekuatan
pembuktian dari keterangan saksi. Akan tetapi, kebebasan
penilaian hakim disini ialah kebebasan yang harus dapat
dipertanggungjawabkan dan bukan merupakan tindakan
kesewenang-wenangan hakim.
2) Keterangan Ahli
Dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP dijelaskan bahwa
“Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh
seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
38
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksaan”. Dari pengertian itu maka
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ahli
adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus dalam
suatu bidang tertentu, yang dalam hal ini, berkaitan
dengan perkara pidana yang sedang diperiksa oleh
pengadilan. Seorang ahli dalam memberikan keterangan
sesuai dengan bidangnya di suatu persidangan haruslah
berada di bawah sumpah sesuai dengan syarat sahnya alat
bukti keterangan ahli. Keterangan ahli sebagai alat bukti
adalah keterangan yang diberikan oleh seorang ahli secara
lisan di depan persidangan. Apabila seorang ahli di bawah
sumpah telah memberikan keterangan tertulis di luar
persidangan dan keterangan tersebut dibacakan di depan
sidang pengadilan, keterangan ahli tersebut merupakan
alat bukti surat.38
3) Surat
Surat adalah kertas yang bertuliskan buah pikiran
atau perasaan seseorang. Karakteristik surat yang dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sah diatur dalam Pasal
187 KUHAP yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan,
atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Dengan kata
lain, surat yang dapat digunakan sebagai alat bukti adalah
38
Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta, Erlangga, 2012, Hlm.106-107
39
surat yang isi maupun keterangan di dalamnya dibuat atas
sumpah jabatan dan dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang secara resmi. Adapun berdasarkan Pasal 187
KUHAP, surat yang dapat digunakan sebagai alat bukti,
adalah:
a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang
dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau
yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat
atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan
yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan.
c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
daripadanya.
d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang
lain.
40
4) Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan,
yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan
keterangan terdakwa, yang karena persesuaiannya, baik
antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya.39
Menurut Pasal 188
ayat (3) KUHAP, penilaian atas kekuatan pembuktian dari
suatu petunjuk dilakukan oleh hakim dengan arif lagi
bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati
nuraninya. Pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim disini
ialah pemeriksaan yang dilakukan selama persidangan,
maka dengan kata lain penilaian hakim terhadap petunjuk
yang dilakukan diluar persidangan tidak dapat dijadikan
sebagai dasar pembuktian dalam pertimbangan hakim.
5) Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa
nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau
yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri ( Pasal 189 ayat
(1) KUHAP). Keterangan terdakwa tidak harus selalu
berbentuk pengakuan terdakwa atas perbuatan yang
39
Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP
41
dilakukannya, keterangan terdakwa juga dapat berupa
penyangkalan dari terdakwa terhadap perbuatan yang
didakwakan atas dirinya. Keterangan terdakwa baru dapat
dikatakan alat bukti apabila keterangan yang ia berikan
dalam persidangan tersebut merupakan keterangan atas
perbuatan yang ia lakukan sendiri, apa yang ia ketahui
sendiri, dan apa yang ia alami sendiri. Sesuai dengan
prinsip pembuktian yang dijelaskan dalam Kedudukan
keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak dapat berdiri
sendiri meskipun keterangan terdakwa yang diberikan
dalam persidangan merupakan pengakuan terdakwa bahwa
ia memang melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya. Keterangan tersebut, meskipun berupa
pengakuan dari terdakwa, tetap harus didukung oleh alat
bukti lainnya yang menunjukkan bahwa memang terdakwa
telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya. Hal ini sesuai dengan prinsip pembuktian yang
diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
4. Teori Pertimbangan Hakim
Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 angka 8 KUHAP).
Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,
42
jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 9
KUHAP). Dalam melaksanakan proses mengadili, seorang hakim
tetap harus memperhatikan tiga asas peradilan yaitu sederhana, cepat,
dan biaya ringan. Pengertian hakim di Indonesia kemudian diatur
lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Pada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa
“Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan
hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim
pada pengadilan khusus yang berada dalam
lingkungan peradilan tersebut”.
Tugas hakim secara normatif diatur dalam Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu:
a. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.
b. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.
c. Menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
d. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
43
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
e. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum
kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila
diminta.
Sebagai bentuk akhir dari proses mengadili, hakim kemudian
mengeluarkan produk hukum yaitu putusan. Putusan hakim, dalam
perkara pidana, adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena
jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk
umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana
pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan
dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan
penyelesaian perkaranya.40
Putusan hakim berisi pertimbangan-pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan sanksi pidana berdasarkan proses pemeriksaan fakta dan
bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Seorang hakim apabila
ingin menjatuhkan putusan yang baik dalam memberikan
pertimbangannya harus berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang
terungkap dalam persidangan dan juga harus sesuai dengan ketentuan
undang-undang yang berlaku tanpa terkena pengaruh atau intervensi
dari pihak-pihak luar.
40
Lilik mulyadi. Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia .Bandung:
PT Citra Aditya Bakti. 2014. Hlm.131
44
Tujuan dari dijatuhkannya sanksi pidana dalam suatu putusan
hakim adalah untuk mencegah masyarakat melakukan hal yang sama
seperti apa yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana, dengan
adanya penjatuhan sanksi pidana tersebut diharapkan masyarakat akan
merasa takut untuk melakukan tindak pidana. Adapun tujuan lain dari
penjatuhan sanksi pidana dalam suatu putusan adalah untuk membuat
efek jera terhadap pelaku tindak pidana sehingga mereka tidak akan
mengulangi perbuatannya lagi.
Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dikatakan “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan”. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan
yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam mengadili dan
menegakkan hukum.41
Hakim memiliki kebebasan untuk memberikan
pertimbangan dan menjatuhkan suatu putusan pengadilan sesuai
dengan kewenangannya. Kebebasan hakim dalam memberikan
pertimbangan dan menjatuhkan putusan dalam proses peradilan
pidana terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib
menjaga kemandirian peradilan dan segala campur tangan dalam
urusan peradilan oleh pihak lain luar kekuasaan kehakiman dilarang,
kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun
41
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2012, Hlm. 34
45
1945. Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam
kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:42
a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi
atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim.
c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam
menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.
Akan tetapi, kebebasan dalam konsep kekuasaan hakim
bukanlah suatu kebebasan mutlak. Kebebasan disini adalah kebebasan
yang bertanggung jawab dan tidak boleh melanggar dan merugikan
kebebasan orang lain. Kebebasan seorang hakim terbagi dalam dua
jenis yaitu kebebasan eksistensial hakim dan kebebasan sosial hakim.
Kebebasan eksistensial adalah kebebasan hakiki yang dimiliki oleh
setiap manusia tanpa melihat predikat yang melekat padanya. Pada
profesi hakim kebebasan eksistensial menegaskan bahwa seorang
hakim harus mampu menentukan dirinya sendiri dalam membuat
putusan pengadilan.43
Sementara itu, kebebasan sosial merupakan
ruang gerak bagi kebebasan eksistensial, kita hanya dapat menentukan
sikap dan tindakan kita sendiri sejauh orang lain membiarkan kita.44
Meskipun diberi kebebasan, namun dalam memberikan
pertimbangan seorang hakim juga harus melihat pada hasil
42
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif , Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 104 43
H. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012,
Hlm. 170 44
Ibid., Hlm. 171
46
pemeriksaan di sidang pengadilan dan tindak pidana apa yang
dilakukan seseorang serta keadaan-keadaan atau faktor-faktor apa saja
yang meliputi perbuatannya tersebut.45
Sosok hakim seringkali
dianggap sebagai sosok wakil Tuhan di bumi, karena hakim
merupakan tempat akhir bagi masyarakat yang ingin mendapatkan
penyelesaian atas masalahnya dan juga merupakan tujuan akhir bagi
masyarakat yang ingin mencari dan mendapatkan keadilan yang
hakiki. Oleh karena itu, meskipun hakim mempunyai kebebasan untuk
memberikan pertimbangan dan menjatuhkan putusan sesuai dengan
keyakinannya, akan tetapi dalam melakukan tugasnya seorang hakim
tidak boleh berpihak kecuali kepada kebenaran dan keadilan, serta
nilai-nilai kemanusian.46
Hakim dalam menjatuhkan putusan harus
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu:47
a. Pertimbangan yang Bersifat Yuridis
“Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah
pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-
faktor yang terungkap di dalam persidangan dan
oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal
yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan
yang bersifat yuridis di antaranya:
1) Dakwaan jaksa penuntut umum
2) Keterangan saksi
3) Keterangan terdakwa
4) Barang-barang bukti
5) Pasal-Pasal dalam Undang-Undang.”
45
Lilik Mulyadi, Kekuasaan Kehakiman, Surabaya, Bina Ilmu, 2007, Hlm. 63 46
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya
Bhakti, 1996, Hlm. 2 47
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT.
RajaGrafindo Persada, 2012, Hlm. 125
47
b. Pertimbangan yang bersifat non yuridis
Selain pertimbangan yang bersifat yuridis hakim
dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan
yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yang
bersifat non yuridis yaitu:
1) Akibat perbuatan terdakwa
2) Kondisi diri terdakwa.”
Pada dasarnya, terdapat beberapa teori pendekatan yang
digunakan oleh hakim di dalam pertimbangannya, yaitu:48
a. Teori Keseimbangan
“Teori keseimbangan adalah keseimbangan antara
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang
dan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan
dan berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain
seperti adanya keseimbangan yang berkaitan
dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan
kepentingan korban.”
b. Teori Pendekatan Intuisi
“Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan
diskresi, dalam menjatuhkan putusan hakim
menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang
wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan
melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut
umum dalam perkara pidana.”
c. Teori Pendekatan Keilmuan
”Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa
proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara
48
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011, hlm. 105-112
48
sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam
kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam
rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.
Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam
peringatan bahwa dalam memutus suatu
perkara,hakim tidak boleh semata -mata atas dasar
intuisi atau insting semata, tetapi harus dilengkapi
dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan
keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara
yang harus di putusnya.”
d. Teori Pendekatan Pengalaman
“Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal
yang dapat membantunya dalam menghadapi
perkara-perkara yang di hadapinya setiap hari,
dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang
hakim dapat mengetahui bagai mana dampak dari
putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara
pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban,
maupun masyarakat.”
e. Teori Ratio Decidendi
“Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang
mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek
yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari peraturan
perundang-undangan yang lebih relevan dengan
pokok perkara yang di sengketakan sebagai dasar
hukum dalam penjatuhan putusan, serta
pertimbangan hakim harus didasarkan pada
motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan
memberikan keadilan.”
Namun, tugas hakim dalam mengadili seseorang tidak hanya
semata-mata memberikan pertimbangan dalam putusannya. Seorang
hakim, sebelum menjatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap,
49
haruslah benar-benar melihat dari fakta-fakta yang dihadirkan dalam
persidangan apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang
dituduhkan kepadanya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu
merupakan tindak pidana dan apakah terdakwa tersebut bersalah dan
dapat dipidana, serta apakah pidana yang dijatuhkan telah tepat jika
memang terdakwa terbukti melakukan tindak pidana. Hal ini bertujuan
agar hakim pada saat menjatuhkan putusan dalam persidangan,
putusan tersebut kemudian dapat menjadi putusan yang tepat sesuai
dengan peraturan perundangan dan juga agar putusan tersebut dapat
menciptakan keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh pihak yang
terlibat dalam suatu perkara.
B. Hasil Penelitian
1. Fakta Persidangan
a. Kasus Posisi
Pada hari Minggu, tanggal 30 Juli 2013, sekitar jam 10.00
WIB, terdakwa 1 Andro Supriyanto als. Andro dan terdakwa 2
Nurdin Prianto als. Benges baru saja pulang ke Cipulir setelah
malam sebelumnya para terdakwa bermalam di rumah
kerabatnya (rumah saksi Fransiska als Mak Parung) di Parung.
Para terdakwa ketika sampai di bawah kolong jembatan Cipulir
melihat korban di bawah kolong jembatan Cipulir terluka parah
dengan banyak bekas sayatan pisau dan golok pada bagian
50
wajah, pelipis, leher dan belakang telinga dan ketika ditanya
oleh terdakwa 1, Andro Supriyanto, korban yang bernama Diky
Maulana mengaku mencuri motor dan habis di todong serta
dikeroyok. Terdakwa 1, Andro Supriyanto, sempat menawarkan
untuk mengantar korban ke rumah sakit namun korban tidak
mau dan minta diantar ke kantor Polisi namun Terdakwa dan
yang lain takut mengantar ke kantor Polisi. Korban lalu meminta
diberikan air minum oleh para terdakwa, setelah itu para
terdakwa kemudian pergi mengamen.
Siangnya, pada saat para terdakwa selesai mengamen dan
kembali ke kolong jembatan Cipulir, para terdakwa menemukan
korban telah meninggal dunia, lalu terdakwa 1 yaitu Andro
Supriyanto bersama dengan dua saksi lainnya melaporkan
kepada anggota polisi (saksi Jaidi Pendi) yang pada saat itu
sedang keliling menjalankan tugas BIMAS dan hendak mampir
di Pasar Cipulir sekitar pukul 13.00 WIB, karena merasa curiga
dengan penjelasan terdakwa yang lancar dan kompak kemudian
saksi Jaidi Pendi sengaja menahan dan mengajak ngobrol
terdakwa hingga petugas Polsek dan Polres datang. Setelah
petugas Polsek dan Polres datang, saksi Jaidi Pendi kemudian
menyerahkan terdakwa Andro dan mengatakan bahwa terdakwa
adalah saksi kunci, setelah itu terdakwa kemudian dibawa ke
kantor polisi untuk diperiksa sebagai saksi sedangkan korban
dibawa ke Instalasi Forensik dan Perawatan Jenazah RSUP
51
Fatmawati untuk kemudian dilakukan pemeriksaan visum et
repertum yang dimana hasil Visum et Repertum yang dibuat dan
ditandatangani oleh dokter Andriani SpF Dokter ahli forensik
pada Instalasi Forensik dan Perawatan Jenazah RSUP Fatmawati
Jln RS Fatmawati Cilandak Jakarta Selatan tanggal 05 Juli 2013
tanggal nomor : HK.05.01/II.1/919/2013 Atas nama mayat
DICKY MAULANA tersebut, dengan kesimpulan bahwa
pememeriksaan mayat seorang laki- laki berumur lebih kurang
tujuh belas tahun, ditemukan luka terbuka pada dada kiri bawah
depan sedalam Sembilan belas koma lima sentimeter yang
menembus lambung dada hati serta pendarahan sebanyak 700 cc
akibat kekerasan tajam (tusuk) yang menyebabkan kematian,
perkiraan saat kematian adalah kurang dari dua putuh empat jam
dari saat pemeriksaan jenazah.
Pada saat pemeriksaan di kepolisian, para terdakwa dan
beserta saksi mahkota lainnya yaitu Fikri Pribadi, Bagus
Firdaus, Fatahillah, Arga Putra Samosir, yang sebelumnya
berstatus sebagai saksi mengatakan bahwa malam sebelum nya
terdakwa ada di Parung di rumah emak waktu itu bersama
Nurdin dan baru pulang ke Cipulir keesokan harinya. bersama-
sama dengan Andro, Bagus, Fatahillah, Fikri, Ucok dan OKI
melihat seorang pria di bawah kolong jembatan Cipulir terluka
parah dengan banyak bekas sayatan pisau dan golok pada bagian
wajah, pelipis, leher dan belakang telinga dan terdakwa bersama
52
teman-teman berniat menolong tetapi polisi tidak percaya. Pada
saat pemeriksaan para terdakwa mengaku dipukuli, disetrum,
dan diminta mengaku bahwa para terdakwa telah membunuh
korban hingga akhirnya para terdakwa mengaku karena sudah
tidak tahan dipukuli. Namun keterangan para terdakwa dan saksi
mahkota dalam pemeriksaan tersebut dicabut pada saat para
terdakwa dan saksi memberikan keterangan di pengadilan, para
terdakwa mengatakan bahwa pada saat pemeriksaan di
kepolisian dan di BAP mereka terpaksa mengaku karena takut
disiksa lagi.
Pada saat persidangan, penasehat hukum para terdakwa
mendatangkan saksi alibi yaitu saksi Fransiska als Mak Parung
yang memberikan keterangan bahwa pada malam sebelum
ditemukannya korban, para terdakwa bermalam di rumahnya
dan baru pulang ke Cipulir keesokan harinya dan penasehat
hukum juga mendatangkan saksi Iyan Pribadi yang memberikan
keterangan bahwa saksi mengetahui perkara ini karena para
terdakwa tidak pernah melakukannya karena yang melakukan
adalah teman saksi yang bernama Jubay dan Brengos.
53
b. Hasil Pemeriksaan Saksi
1) Saksi dari Jaksa Penuntut Umum:
a) Saksi Rasma dan Saksi Dominggus Ie Manu (anggota
kepolisian Polda Metro Jaya):
- Bahwa saksi tidak kenal dengan para Terdakwa
- Bahwa saksi pernah diperiksa oleh Penyidik
dan keterangan yang diberikan dalam Berita
Acara Pemeriksaan adalah benar dan tidak
ada perubahan.
- Bahwa saksi tidak pernah ikut serta
memeriksa para Terdakwa
- Saksi mendengar pengakuan dari para
terdakwa yang membunuh korban adalah
para terdakwa ketika terdakwa diperiksa
bersama temannya yang lain dan
mendapatkan informasi bahwa pelakunya
adalah para terdakwa dari penyidik.
- Bahwa berdasarkan pengakuannya terdakwa
andro menusuk di bagian rusuk dan
terdakwa Nurdin menusuk bagian leher alat
yang di gunakan pisau lipat.
- Bahwa ketika di lakukan pemeriksaan di
tempat kejadian di ketemukan sebilah golok
bergagang kayu dan potongan kayu dan
saksi membenarkan barang bukti yang
diperlihatkan kepadanya berupa golok dan
sebilah kayu ada pada tempat kejadian.
b) Saksi Jaidi Pendi dan saksi Dwi Kusmanto
(anggota Polsek Kebayoran Lama):
- Bahwa saksi sebelumnya tidak kenal dengan
para Terdakwa dan tidak ada hubungan
keluarga.
- Ketika saksi berada di atas jembatan Cipulir
datang 3 orang kepada saksi termasuk
terdakwa Andro yang melaporkan ada mayat
laki-laki di bawah jembatan..
54
- Bahwa saksi pernah di periksa di penyidik
daan semua keterangan yang di muat di
berita penyidikan betul semua.
- Bahwa terdakwa Andro bersama 2 temannya
yang saat itu masih berstatus sebagai saksi
di bawa ke Polsek Kebayoran Lama
selanjutnya saksi di perintahkan terdakwa
dan 2 orang temannya tersebut di bawa ke
Polda dan saksilah yang mengantarkan
setelah itu saksi tidak mengetahui
perkembangan selanjutnya karena kejadian
tersebut telah di tangani oleh Polda.
- Bahwa saksi tidak pernah melihat
pengeroyokan dan pembunuhan terhadap
korban karena saat tiba di TKP sudah
meninggal.
c) Saksi Fikri Pribadi, Saksi Bagus Firdaus als
PAU, Saksi Fatahillah als FATA, dan Saksi
Arga Putra Samosir als UCOK:
- Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa
tetapi saksi tidak ada hubungan keluarga.
- Bahwa saksi tidak kenal dengan korban.
- Bahwa saksi pernah diperiksa oleh Penyidik
namun keterangan yang diberikan dalam
Berita Acara Pemeriksaan Penyidik tidak
benar.
- Bahwa keterangan yang saksi sampaikan di
penyidik pada intinya para terdakwa
melakukan pengeroyokan dengan cara
menusuk korban dengan memakai pisau
lipat.
- Bahwa keterangan yang diberikan di depan
Penyidik hanya karangan karena saksi takut
disiksa lagi.
- Bahwa saksi sebelum memberikan
keterangan disiksa oleh petugas Polisi
dengan cara dipukul, diinjak, ditendang, dan
dipaksa untuk mengaku kalau melakukan
pembunuhan terhadap korban.
- Bahwa saksi Ucok dan saksi Fata sebelum
hari kejadian saksi menginap di Parung
55
bersama-sama dengan Fata, Oky, Wazis,
Nurdin dan Isep dan baru pulang keesokan
paginya.
- Bahwa saksi bersama-sama dengan Nurdin,
Fata, Ucok, Fata, Fau, Fauzan, Oky serta
terdakwa Andro melihat korban DICKY
MAULANA dan masih dalam keadaan hidup.
d) Saksi Jubirin Ginting , SH, dan Saksi Suhartono,
SH (saksi verbalisan):
- Bahwa saksi sebelumnya tidak kenal dengan
para terdakwa dan tidak ada hubungan
keluarga.
- Bahwa saksi adalah anggota polisi yang
bertugas memeriksa terdakwa Nurdin dan
Andro serta saksi Ucok, saksi Fikri Pribadi
dan saksi Fataillah.
- Bahwa para terdakwa diperiksa di ruang
pemeriksaan yang terbuka secara bersama-
sama dengan terdakwa lainnya namun oleh
petugas pemeriksa yang berbeda.
- Bahwa selama pemeriksaan, Terdakwa tidak
ditekan, tidak dipaksa ataupun diarahkan
oleh yang memeriksa dan tidak ada tindakan
kekerasan maupun penyetruman.
- Bahwa Terdakwa memberikan keterangan
sendiri secara bebas dengan cara saksi
mengajukan pertanyaan dan dijawab oleh
Terdakwa.
- Bahwa Terdakwa sebelum membubuhkan
cap jempol, dibacakan dulu keterangan yang
sudah diberikan.
- Bahwa waktu di beriksa terdakwa mengakui
perbuatannya dan saksi rekam.
- Bahwa dalam pemeriksaan para terdakwa
mengaku telah melakukan penusukan.
56
2) Saksi dari Penasehat Hukum:
a) Saksi Ustadzi Wasis:
- Bahwa terdakwa kenal dengan para terdakwa
sebagai teman tetapi tidak ada hubungan
keluarga.
- Bahwa saksi tidak kenal dengan korban
- Bahwa saksi bertemu Dicky Maulana pada
tanggal 30 JUNI 2013 bersama-sama dengan
Dede Setiawan, Chaerul Hamzal als
BRENGOS, Mardiyanto als Iyan Jubaidi alis
Jubai.
- Bahwa saksi pernah mendengar kalau Dicky
dibunuh dari mulut Iyan yang cerita kalau
Dicky dibunuh oleh mereka bertiga Brengos
dan Jubai.
- Bahwa saksi tidak lapor ke Polisi kalau
Brengos, Iyan, dan Jubai yang melakukan
pembunuhan terhadap Dicky karena takut.
b) Saksi Rere Septiani, dan Saksi Fransiska als Mak
Parung:
- Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa
sebagai teman tetapi tidak ada hubungan
keluarga.
- Bahwa saat kejadian saksi Rere ada di parung
bersama dengan Nurdin.
- Bahwa terdakwa Andro, Fatah, Ucok, Vera
dan yang lainnya pada malam minggu pernah
menginap di rumah saksi Fransiska di Parung
sedangkan untuk terdakwa Nurdin satu kereta
tetapi pisah di stasiun sampai di Parung
sekitar jam 10 malam.
- Bahwa keesuk harinya mereka pulang naik
kereta sekitar jam 7.20 an pagi.
- Bahwa kondisi para terdakwa seperti habis di
pukuli.
- Bahwa waktu di Polda saksi Rere tidak
melihat para terdakwa di setrum tetapi saksi
mendengar terikannya.
- Bahwa saksi Rere mendapat informasi dari
Iyan lewat facebook yang isinya minta maaf
57
lalu saksi tanya kenapa minta maaf dia bilang
ikut melakukan, terus saksi tanya siapa saja
dia bilang Brengos dan Jubai.
c) Saksi Fauzan Kazim, Saksi Isep Febristanda, Saksi
Sharvera Kumar Ananda, dan Saksi Fauzan als
Ojan:
- Bahwa seluruh saksi kenal dengan para
Terdakwa namun tidak ada hubungan
keluarga atau pekerjaan.
- Bahwa saksi tidak kenal dengan korban Diky
Maulana.
- Bahwa saat saksi bersama yang lain
mendekati korban sekitar jam 9 pagi korban
masih dalam keadaan hidup.
- Bahwa kayu barang bukti yang di perlihatkan
di persidangan tidak ada di tempat kejadian.
- Bahwa golok yang di ajukan di persidangan
bukan golok yang ada di tempat kejadian
karena golok yang ada di tempat kejadian
goloknya berkarat.
d) Saksi Iyan Pribadi
- Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa
tetapi tidak ada hubungan keluarga.
- Bahwa saksi mengetahui perkara ini karena
para terdakwa tidak pernah melakukannya
karena yang melakukan adalah teman saksi
yang bernama Jubay dan Brengos.
- Bahwa yang di bunuh bernama Dicky
Maulana
- Bahwa sebelum kejadian sabtu malam minggu
tanggal 29 Juni saksi bari minum sama teman-
teman ada Brengos selanjutnya 1 jam
berikutnya datang Jubay sama korban naik
motor mio saol warna merah trus ngajak
minum bareng, tidak lama kemudian saksi di
tarik sama Jubay dibisiki Jubay bilang Diki ini
songong mabuknya rese dia bilang matiin saja
gampang ini urusan gue, waktu itu yang ada
Brengos, Charlie, Iwan, Jubay dan Diky.
58
- Bahwa cara mengajak si korban ngajakin
nodong trus, selanjutnya saksi pergi sama
Brengos dan korban sama Jubay naik
motornya korban
- selanjutnya sampai di kolong jembatan korban
masuk kedalam kolong bersama Jubay dan
Brengos, sedangkan saksi nunggu di atas
untuk melihat security.
- Bahwa tidak berapa lama kemudian Brengos
naik keatas, tangannya ke bacok dan saksi di
suruh menemani ke rumah sakit sedang si
Jubay masih di kolong
- Bahwa saksi tanya sama Brengos kenapa luka
karena kebacok sendiri ketika bacok korban.
- Bahwa saksi setelah dari rumah sakit
nongkrong di gang lahap ketemu sama Jubay
dan waktu itu Jubay bilang Diki udah
dimatiin.
- Bahwa ketika Brengos bunuh korban saksi
tidak tahu saksi hanya di beritahu oleh
Brengos dan waktu memberitahu Brengos dan
Jubay dalam keadaan mabuk demikian juga
saksi juga dalam keadaan mabuk.
2. P e r b a n d i n g a n T u n t u t a n , P e m b e l a a n , d a n
Pert imbangan Hakim dalam Putusan Tingkat
Pertama,Banding, dan Kasasi
Perbandingan putusan tingkat pertama, banding, dan kasasi akan
ditampilkan oleh Penulis dalam tabel berikut:
59
Tabel 1. Tuntutan dan Memori Kasasi Penuntut Umum:
Tuntutan Penuntut Umum dalam
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel
Memori Banding Penuntut Umum dalam
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Nomor:50/PID/2014/PT.DKI
Memori Permohonan Kasasi Penuntut Umum
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor:
1055K/PID/2014 Isi dari tuntutan penuntut umum pada
pokoknya yaitu:
Menyatakan para terdakwa Nurdin
Prianto Als Benges dan Andro
Suprianto alias Andro terbukti
bersalah melakukan tindak pidana
Pembunuhan yang dilakukan secara
bersama sama sebagaimana diatur dan
di ancam pidana dalam pasal 338
KUHP Jo. Pasal 55 ayat 1 ke. 1
KUHP.
Menjatuhkan pidana terhadap para
terdakwa masing-masing 13 (tiga
belas ) tahun di kurangi selama para
terdakwa berada dalam tahanan
dengan perintah agar para terdakwa
tetap di tahan.
Menyatakan barang bukti pakaian
korban yaitu 1 (satu) buah kaos tanpa
lengan dengan warna biru tua
bertuliskan Es 1 (satu) buah celana
dalam warna hitam coklat merk
Decimen , 1 (satu) buah sweter
berwarna hitam lengan panjang
Barghest, 1 (satu) buah celana jeans
warna biru tua, 6 (enam) buah gelang
karet warna hitam, 1 (satu) gelang
tali, 4 (empat) buah cicin warna hitam
Isi dari materi permohonan kasasi penuntut umum
pada pokoknya yaitu:
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta yang menjatuhkan putusan atas
nama Terdakwa I ANDRO
SUPRIYANTO alias ANDRO dan
Terdakwa II NURDIN PRIANTO alias
BENGES yang amarnya berbunyi seperti
tersebut di atas, dalam memeriksa dan
mengadili perkara tersebut telah
melakukan kekeliruan, dimana putusan
Majelis Hakim tersebut bukanlah bebas
murni, dengan alasan: 1. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta dalam
putusannya tidak
mempertimbangkan fakta-fakta
yang terungkap di muka
persidangan secara utuh
berdasarkan berkas perkara,
barang bukti, surat dakwaan, surat
tuntutan, nota pembelaan (Pledoi
Para Terdakwa) dan Salinan
Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan
Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.jkt.S
el tanggal 16 Januari 2014
2. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
60
putih di kembalikan kepada yang
berhak sedangkan yang lainnya
semuanya di rampas untuk di
musnahkan.
Menetapkan supaya masing-masing
terdakwa membayar biaya perkara
sebesar Rp. 2000 (dua ribu))
DKI Jakarta dalam memutus
perkara atas nama Terdakwa
ANDRO SUPRIYANTO alias
ANDRO dan Terdakwa NURDIN
PRIANTO alias BENGES hanya
didasari atau menyadur dari isi
Memori Banding dari Kuasa
Hukum Para dan keterangan Para
Saksi a de charge yang diajukan
oleh kuasa hukum Para Terdakwa
dalam pemeriksaan materi
perkara di muka persidangan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
sebagaimana pertimbangan
hukum Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta dari halaman
13 s/d halaman 16.
3. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta dalam memutus
perkara a quo hanya didasari atas
keyakinan Hakim terhadap
penyangkalan Para Terdakwa
tidak melakukan pembunuhan
terhadap korban secara
bersamasama sehingga
mengakibatkan Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
telah salah dan keliru dalam
menguraikan pertimbangan
hukumnya.
4. Bahwa dalam pertimbangan
hukumnya Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
61
hanya mempertimbangkan
keterangan atau pengakuan dari
Para Terdakwa saja tanpa
mempertimbangkan keterangan
Saksi-Saksi lainnya dan alat bukti
lainnya.
5. Bahwa keterangan Tersangka
atau Terdakwa tidak memiliki
kekuatan pembuktian
sebagaimana ketentuan Pasal 52
KUHAP dan Pasal 66 KUHAP.
6. Bahwa untuk membuktikan
kebenaran materil perkara a quo,
seharusnya Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
mendengar sendiri keterangan
Terdakwa atau Saksi-Saksi atau
Penuntut Umum dengan
menjelaskan secara singkat dalam
surat panggilan kepada mereka
tentang apa yang ingin
diketahuinya. Akan tetapi Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta tidak pernah
melakukannya sebagaimana
ketentuan Pasal 238 Ayat (4)
KUHAP, melainkan langsung
memutus perkara a quo dan
berpendapat Para Terdakwa tidak
terbukti melakukan pembunuhan
secara bersama-sama
sebagaimana yang didakwakan
Penuntut Umum.
62
Tabel 2. Pembelaan dan Memori Banding Penasehat Hukum:
Pembelaan Penasehat Hukum Dalam
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel
Memori Banding Penasehat Hukum Dalam
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Nomor:50/PID/2014/PT.DKI
Memori Kasasi Penasehat Hukum Dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor:
1055K/PID/2014 Isi dari pembelaan penasehat hukum pada
pokoknya yaitu:
Bahwa berkas perkara tidak layak di
jadikan dasar untuk merumuskan surat
dakwaan dan surat tuntutan.
Penyidikan bertentangan dengan
hukum sehingga mengakibatkan berita
acara pemeriksaan cacat hukum
sehingga dengan demikian berita acara
pemeriksaan, surat dakwaan dan surat
tuntutan batal demi hukum sehingga
tidak dapat di jadikan dasar untuk
memenjarakan terdakwa.
Penuntut umum tidak profesional dan
tidak cermat, pertama BAP tidak di
buat sesuai dengan ketentuan
KUHAP, kedua penuntut umum
membuat surat tuntutan yang tidak
berdasarkan fakta yang muncul di
persidangan hanya berlandasan
kepada BAP yang cacat , selain itu ada
banyak juga fakta hukum yang
terungkap di persidangan tidak di
pakai penuntut umum sebagai dasar
untuk melakukan penuntutan sehingga
penuntut umum telah melakukan
pelanggaran hukum pasal 185 ayat 1
KUHAP
Isi dari memori banding penasehat hukum
pada pokoknya yaitu:
Persidangan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan berjalan dengan tidak
berimbang, tidak obyetif dan tidak
adil. Persidangan dipenuhi dengan
pelanggaran hukum acara maupun
peraturan perundangan-undangan
yang berlaku. Hal tersebut
mengakibatkan fakta hukum kasus ini
menjadi kabur, kebenaran materil
kasus ini menjadi tertutupi. Hak-hak
mendasar Para Terdakwa terlanggar,
akibatnya Para Terdakwa menjadi
sangat dirugikan dengan putusan yang
diambil oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Berbagai kelemahan maupun
ketidakakuratan pertimbangan yang
dilakukan oleh hakim dalam kasus ini
menunjukkan bahwa pada dasarnya
para terdakwa telah dituduh dan
dipaksa mengakui melakukan
perbuatan pidana yang tidak pernah
dilakukannya.Perlu dilakukan
pemeriksaan ulang perkara No.
1273/Pid.B/2013/PN.JKT.SEL ini di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
63
Bahwa penuntut umum telah
melakukan kekeliruan dengan
mendakwa para terdakwa yang bukan
orang yang melakukan tindak pidana
pembunuhan yang di lakukan secara
bersama-sama maupun secara
bersama-sama di muka umum
melakukan kekerasan terhadap orang
yang menyebabkan matinya orang
dengan demikian para terdakwa harus
di bebaskan dari segala tuntutan
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di
atas mohon kepada majleis hakim
yang memeriksa dan mengadili
perkara ini memutuskan:
1. Menerima nota pembelaan
(pledooi) penasehat hukum
dan para terdakwa secara
keseluruhan.
2. Menyatakan berita acara
pemeriksaan (BAP) polisi
batal demi hukum.
3. Menyatakan menolak
dakwaan dan / atau tuntutan
secara keseluruhan.
4. Menyatakan bahwa terdakwa
I Andro Supriyono als Andro
dan terdakwa II Nurdin
Priyanto als Benges tidak
terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak
pidana pembunuhan secara
bersama-sama sebagaimana
dengan menghadirkan pelaku yang
sebenarnya melakukan pembunuhan
terhadap korban yaitu Iyan Pribadi.
64
diatur dalam pasal 338 Jo.
Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP
maupun tindak pidana secara
bersama-sama di muka umum
melakukan kekerasan
terhadap orang yang
menyebabkan matinya orang
sebagaimana di atur dalam
pasal 170 ayat (2) ke 3 KUHP
5. Membebaskan terdakwa I
Andro Supriyanto als Andro
dan terdakwa II Nurdin
Priyanto als Benges dari
segala tututan hukum
(Vrijspraak).
6. Menyatakan agar terdakwa I
Andro Supriyanto als Andro
dan terdakwa II Nurdin
Priyanto als Benges segera di
keluarkan dari tahanan setelah
putusan Pengadilan di
ucapkan dalam persidangan.
7. Memulihkan hak terdakwa I
Andro Supriyanto als Andro
dan terdakwa II Nurdin
Priyanto als Benges dalam
kemampuan, kedudukan dan
harkat serta martabatnya.
8. Membebankan biaya perkara
kepada negara menurut
hukum yang berlaku
65
Tabel 3. Putusan dan Pertimbangan Hakim:
Pertimbangan Hakim Dalam
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel
Pertimbangan Hakim Dalam
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Nomor:50/PID/2014/PT.DKI
Pertimbangan Hakim Dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor:
1055K/PID/2014 Pertimbangan hakim PN pada pokoknya yaitu:
- Bahwa akan dipertimbangkan terlebih
dahulu dakwaan primair Pasal 338 Jo
55 Ayat (1) Ke-1 KUHP yang unsur-
unsurnya yaitu barang siapa; dengan
sengaja menghilangkan nyawa orang
lain; dilakukan secara bersama-sama.
- Unsur barang siapa:
Bahwa unsur ini menunjukan
pada subjek hukum sebagai
pemegang hak dan kewajiban
serta dapat dipertanggung
jawabkan terhadap
perbuatannya.
Bahwa di persidangan telah
dihadapkan terdakwa I Andro
Supriyanto alias Andro dan
terdakwa II Nurdin Prianto als
Benges yang identitasnya
tersebut dalam surat dakwaan
JPU dan para terdakwa
membenarkan identitas tersebut
dalam pemeriksaan identitas di
persidangan dan para terdakwa
dalam keadaan sehat jasmani
rohani selama dalam
pemeriksaan di persidangan
Bahwa berdasarkan uraian
Pertimbangan hakim tinggi pada pokoknya
yaitu:
- Bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh
penuntut umum tidak seorang pun
yang melihat/mengetahui secara
langsung terdakwa-terdakwa
melakukan pembunuhan bahkan
terdakwa-terdakwa menyangkal keras
telah melakukan pembunuhan atau
kekerasan yang menyebabkan
meninggalnya korban Diky Maulana,
lagipula tidak ada alat bukti lain yang
dapat dipergunakan untuk memperoleh
petunjuk untuk meyakinkan hakim
tentang adanya kesalahan terdakwa-
terdakwa.
- Bahwa keterangan dari saksi-saksi
yang diajukan oleh penasihat hukum
para terdakwa telah terungkap fakta
hukum yang melakukan pembunuhan
atau kekerasan yang menyebabkan
meninggalnya Diky Maulana bukan
dilakukan oleh terdakwa-terdakwa.
- Bahwa dari pertimbangan diatas,
majelis hakim tingkat banding
berpendapat terdakwa-terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana
Pertimbangan hakim agung pada pokoknya
yaitu:
- Bahwa alasan-alasan kasasi dari
pemohon kasasi/penuntut umum
tidak dapat dibenarkan karena Judex
Facti telah salah dalam menerapkan
hukum, bahwa Judex Facti
(Pengadilan Negeri) telah kurang
teliti dalam pertimbangannya dan
tidak rinci tentang keterlibatan
masing-masing pemegang peran saat
terjadinya peristiwa in casu. - Bahwa berdasarkan saksi-saksi a de
charge bahwa bukan para terdakwa
yang membunuh korban Diky
Maulana dan bahkan para terdakwa
sendiri yang melaporkan ada mayat
di kolong jembatan. - Bahwa tidak ada satu saksi pun
melihat perbuatan para terdakwa
yang melakukan pembunuhan atau
kekerasan terhadap korban Diky
Maulana dan tidak ada alat bukti
lainnya yang membuktikan adanya
kesalahan para terdakwa, oleh
karenanya para terdakwa harus
dibebaskan dari semua dakwaan
sebagaiman telah dipertimbangkan
66
tersebut majelis berpendapat
unsur ke 1 telah terpenuhi.
- Unsur dengan sengaja menghilangkan
nyawa orang lain:
Bahwa yang dimaksud dengan
sengaja adalah suatu perbuatan
yang dilakukan dengan
kesadaran dari pelaku, bahwa
perbuatan yang dilakukan akan
menimbulkan akibat yang
merupakan tujuan dari sipelaku.
Bahwa berdasarkan fakta
persidangan pada hari Minggu
tanggal 30 Juni 2013 sekitar
pukul 08.00 WIB di bawah
kolong jembatan Cipulir,
Jakarta Selatan, telah
ditemukan korban yang sudah
dalam keadaan meninggal
dunia seorang bernama Diky
Maulana, berdasarkan
keterangan saksi-saksi, para
terdakwa bersepakat mengajak
korban Diky Maulana ke bawah
jembatan Cipulir Jakarta
Selatan untuk memberi
pelajaran dengan kalimat kita
gulung/sekolahin korban Diky
Maulana.
Bahwa hasil pemeriksaan
mayat dalam Visum Et
Repertum No;
HK.05.01/11.1/919/2013
sebagaimana didakwakan dalam
dakwaan primair
- Bahwa sejalan dengan pertimbangan
dakwaan primair diatas bahwa tidak
ada satu saksi pun yang melihat
perbuatan terdakwa-terdakwa yang
melakukan pembunuhan atau
kekerasan terhadap korban Diky
Maulana dan tidak ada alat bukti
lainnya yang membuktikan adanya
kesalahan terdakwa-terdakwa
sedangkan terdakwa-terdakwa
menyangkal keras sehingga majelis
hakim berpendapat dan berkesimpulan
bahwa terdakwa-terdakwa tidak
terbukti pula melakukan tindak pidana
sebagaimana dalam dakwaan
subsidair.
- Bahwa oleh karena terdakwa-terdakwa
tidak terbukti bersalah melakukan
tindak pidana baik dalam dakwaan
primair maupun dakwaan subsidair
penuntut umum, maka terdakwa-
terdakwa haruslah dibebaskan dari
seluruh dakwaan penuntut umum
tersebut, dan selanjutnya memulihkan
terdakwa-terdakwa dalam
kemampuan, kedudukan, dan harkat
serta martabatnya.
dengan tepat dan benar oleh Judex
Facti pengadilan tinggi. - Bahwa karenanya permohonan
pemohon kasasi/penuntut umum
harus dinyatakan tidak beralasan
menurut hukum dan permohonan
kasasi ditolak. - Bahwa putusan Judex Facti dalam
perkara ini tidak bertentangan
dengan hukum dan/atau Undang-
Undang maka permohonan kasasi
dari pemohon kasasi/penuntut umum
tersebut harus ditolak. - Bahwa oleh karena permohonan
kasasi dari pemohon kasasi/penuntut
umum tersebut ditolak dan para
terdakwa harus dibebaskan dari
semua dakwaan.
67
tanggal 5 Juli 2013 atas nama
mayat Diky Maulana dengan
kesimpulan bahwa mayat
seorang laki-laki berumur lebih
kurang 17 tahun ini ditemukan
luka terbuka pada dada kiri
bawah depan sedalam19,5cm
yang menembus lambung dada
hati serta pendarahan sebanyak
700cc akibat kekerasan
tajam(tusuk) yang
menyebabkan kematian,
perkiraan saat kematian adalah
kurang dari 24 jam dari saat
pemeriksaan jenazah.
Bahwa di persidangan para
terdakwa tidak mengakui
perbuatannya dan menurut
keterangan saksi-saksi dari para
terdakwa dan keterangan para
terdakwa pelaku pembunuhan
terhadap korban Diky Maulana
bukan para terdakwa,
keterangan para terdakwa
dalam BAP penyidik hanya
merupakan karangan saja
karena para terdakwa
mengalami kekerasan fisik
maupun psikhis.
Bahwa sesuai dengan
keterangan saksi yang diajukan
oleh para terdakwa yang
bernama saksi Iyan, bahwa
68
saksi Iyan diberitahu oleh
Brengos dan Jubay bahwa yang
membunuh korban Diky
Maulana adalah Brengos dan
Jubay, tetapi pada saat
pemberitahuan tersebut baik
Brengos dan Jubay serta saksi
Iyan dalam keadaan mabuk dan
saksi Iyan sendiri juga tidak
mengetahui sendiri kejadian
pembunuhan terhadap korban
Diky Maulana, sehingga
keterangan saksi menurut
majelis hakim tidak dapa
dijadikan dasar bahwa yang
membunuh korban adalah
Jubay dan Brengos sehingga
keterangan saksi Iyan tersebut
tidak dapat
dipertanggungjawabkan
kebenarannya dan untuk itu
harus dikesampingkan.
Bahwa terhadap keterangan
saksi yang diajukan oleh para
terdakwa semuanya teman-
teman para terdakwa yang
tentunya akan membela para
terdakwa dan keterangannya
saling bertentangan dengan
fakta sehingga dengan
demikian keterangan para saksi
tersebut tidak dapat mendukung
alibi dari para terdakwa untuk
69
itu keterangan para saksi
tersebut harus dikesampingkan.
Bahwa keterangan para saksi
yang juga merupakan terdakwa
(dalam putusan berbeda)
keterangannya dalam BAP
penyidik hanya merupakan
karangan saja namun ternyata
keterangan tersebut antara
terdakwa satu dengan terdakwa
lainnya adalah sama atau saling
berkait dan melengkapi tentang
peristiwa terjadinya
pembunuhan terhadap korban
Diky Maulana, sehingga
menurut majelis hakim
keterangan tersebut bukan
karangan akan tetapi
merupakan keterangan fakta
kejadian yang sebenarnya.
Bahwa keterangan saksi dalam
BAP tetap berlaku
Bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut majelis
hakim berpendapat unsur ke 2
telah terpenuhi
- Unsur dilakukan secara bersama-sama
Bahwa yang dimaksud turut
serta dalam hal ini yang
melakukan tindak pidana
menurut Roeslan Saleh MR,
dalam pendapatnya bahwa
dalam hal turut serta melakukan
70
janganlah diartikan tiap-tiap
peserta harus melakukan
perbuatan pelaksanaan, yang
utama adalah dalam melakukan
tindak pidana itu ada kerjasama
yang erat antara mereka dan
oleh karena adanya kerjasama
di antara terdakwa maka unsur
ke 3 telah terpenuhi
- Bahwa oleh karena semua unsur telah
terpenuhi dan majelis hakim
berkeyakinan bahwa tindak pidana
sebagaimana didakwakan kepada para
terdakwa telah terbukti maka para
terdakwa harus dinyatakan terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana tersebut
dalam dakwaan primair.
Sumber:
1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel
2. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor:50/PID/2014/PT.DKI
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1055K/PID/2014
71
C. Analisis
Hasil final dari suatu proses pemeriksaan peradilan, dalam hal ini
peradilan pidana, adalah dijatuhkannya suatu putusan atau vonis. Dalam
proses pembuktian pemeriksaan persidangan suatu perkara pidana, hakim
harus memperhatikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan
dikaitkan dengan alat-alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan,
kemudian hakim akan mempertimbangkan dalam putusannya apakah fakta
dan alat bukti yang diungkap dalam persidangan tersebut dapat
membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan oleh penuntut umum atau tidak. Adapun yang menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap tindak
pidana pembunuhan yang menjadi studi kasus dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut:
1. Berdasarkan Kajian Alat-Alat Bukti
Pada Pasal 183 KUHAP dikatakan bahwa “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”, penjelasan Pasal tersebut
menunjukkan bahwasanya pada sistem pembuktian di Indonesia,
khususnya pembuktian pada perkara pidana, menggunakan sistem
pembuktian secara negatif dimana sistem pembuktian negatif ini
merupakan perpaduan sistem teori pembuktian secara positif yaitu
72
teori pembuktian yang berpedoman pada alat-alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang dan teori pembuktian conviction-in
time dimana untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa
ditentukan oleh keyakinan hakim. Sistem peradilan di Indonesia,
dalam penilaian pembuktian, menggabungkan kedua teori pembuktian
tersebut.
Alat-alat bukti sah yang diakui di dalam peradilan Indonesia
diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Alat-alat bukti tersebut ialah
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa. Pada pembuktian di peradilan Indonesia, dibutuhkan
setidaknya minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang diatur di
Pasal 184 KUHAP, yang menunjukkan dan membuktikan bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana. Apabila alat bukti yang
ditemukan kurang dari minimal dua alat bukti, maka majelis hakim
tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Dalam peradilan
perkara pidana, alat bukti keterangan saksi ialah merupakan alat bukti
utama karena pada pembuktian di pengadilan, pemeriksaan pertama
yang dilakukan oleh majelis hakim ialah pemeriksaan keterangan
saksi.
Pada ketiga putusan yang menjadi objek penelitian penulis,
majelis hakim dalam pertimbangannya menggunakan teori pendekatan
ratio decidendi dimana hakim dalam pertimbangan pembuktiannya
memeriksa segala aspek yang berkaitan dengan perkara dan
berdasarkan undang-undang yaitu sekurang-kurangnya 2 alat bukti
73
yang sah dan juga berdasarkan apakah alat bukti yang dihadirkan
tersebut dapat meyakinkan hakim bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana. Selain menggunakan teori pendekatan ratio decidendi,
majelis hakim dalam pertimbangannya juga menggunakan teori
pendekatan keilmuan dan teori keseimbangan. Hal ini terlihat dalam
membuat putusannya majelis hakim tidak hanya berdasarkan
pemikirannya saja, tetapi majelis hakim juga menggunakan pendapat
ahli dalam pertimbangan putusannya, serta turut memperhatikan
kepentingan terdakwa. Penggunaan teori keseimbangan dalam
pertimbangan hakim tersebut terlihat dalam pertimbangan putusan
pada tingkat banding dan tingkat kasasi dimana majelis hakim
banding dan majelis hakim kasasi menjatuhkan vonis bebas terhadap
para terdakwa karena para terdakwa tidak terbukti telah melakukan
tindak pidana.
Dalam putusannya, majelis hakim tingkat pertama menyatakan
bahwa perbuatan para terdakwa telah memenuhi unsur-unsur Pasal
338 Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP sehingga perbuatan para
terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama. Penulis
tidak sependapat dengan majelis hakim tingkat pertama bahwa para
terdakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-
sama apabila dikaitkan dengan aturan pembuktian yang terdapat
dalam KUHAP. Analisis tidak terpenuhinya alat bukti dalam putusan
74
majelis hakim tingkat pertama sesuai dengan aturan yang terdapat
dalam KUHAP ialah sebagai berikut:
a) Keterangan Saksi
Pada pemeriksaan persidangan di tingkat pertama,
penuntut umum menghadirkan 11 orang saksi yang terdiri dari
4 orang polisi, ayah kandung korban, 4 orang saksi mahkota81
,
dan 2 orang saksi verbalisan. Akan tetapi, seluruh saksi yang
dihadirkan oleh penuntut umum tidak ada satupun yang
mendengar, melihat, dan atau mengalami langsung bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan, termasuk
polisi yang memeriksa terdakwa dalam BAP dan mengatakan
bahwa terdakwa telah mengakui sendiri perbuatannya pun tidak
melihat ataupun mengalami langsung pada saat para terdakwa
melakukan tindak pidana terhadap korban. Maka dapat kita
katakan bahwa saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum
seluruhnya adalah saksi testimonium deauditu82
.
Dalam praktek peradilan di Indonesia, sejak
dikeluarkannya Putusan MK 65/PUU-VIII/2010, penggunaan
saksi testimonium deauditu mulai diberlakukan. Melalui
Putusan MK 65/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa tujuan dari diberlakukannya saksi
testimonium deauditu adalah untuk tidak membatasi atau bahkan
81
Supra: hlm. 36 82
ibid
75
menghilangkan kesempatan bagi terdakwa untuk mengajukan
saksi yang meringankan. Menurut Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan MK 65/PUU-VIII/2010, pengertian saksi
menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan
secara sempit hanya dengan mengacu pada Pasal 1 angka 26 dan
angka 27 KUHAP. Pengertian saksi dalam pasal tersebut
membatasi bahkan menghilangkan kesempatan bagi tersangka
atau terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan
baginya karena frase “ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri” mensyaratkan bahwa hanya saksi yang
mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri suatu
perbuatan yang dapat diajukan sebagai saksi menguntungkan
bagi tersangka/terdakwa.
Akan tetapi, tidak seluruh keterangan saksi testimonium
deauditu dapat digunakan. Keterangan saksi testimonium
deauditu yang dapat digunakan adalah keterangan saksi yang
masih memiliki korelasi dengan kejadian atau keterangan
tersebut dapat menunjukan bahwa pada saat terjadinya tindak
pidana, terdakwa tidak berada di tempat kejadian atau tidak
terlibat dalam tindak pidana tersebut, serta saksi tersebut adalah
saksi alibi yang melalui keterangannya dapat membuktikan
bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana. Dalam kasus
ini yang menjadi saksi alibi adalah saksi Rere Septiani dan saksi
Fransiska als Mak Parung yang dalam keterangannya di
76
pengadilan mengatakan bahwa pada saat kejadian para terdakwa
tidak berada di lokasi kejadian melainkan berada di Parung
bersama dengan saksi. Kedua saksi tersebut dapat membuktikan
bahwa para terdakwa tidak bersalah karena meskipun saksi tidak
melihat, mendengar, dan mengalami sendiri saat terjadinya
tindak pidana terhadap korban secara langsung, tetapi mereka
dapat membuktikan bahwa para terdakwa tidak berada di tempat
kejadian perkara pada saat terjadinya tindak pidana terhadap
korban.
Keterangan saksi yang diberikan oleh saksi-saksi dari
penuntut umum dalam persidangan sebagai alat bukti, berbeda
dengan saksi alibi yang dihadirkan oleh penasehat hukum para
terdakwa, meskipun sama-sama menjadi saksi testimonium
deauditu, karena keterangan saksi tersebut tidak berkaitan
dengan saat terjadinya tindak pidana. Selain itu, saksi a charge
yang menyatakan bahwa para terdakwa telah melakukan tindak
pidana adalah saksi Rasma, saksi Dominggus Ie Manu, saksi
Jaidi Pendi, dan saksi Dwi Kusmanto. Dari keempat saksi a
charge yang merupakan anggota kepolisian tersebut tidak ada
satupun saksi yang ikut langsung memeriksa terdakwa pada saat
pemeriksaan di BAP, para saksi mengetahui terdakwa telah
melakukan tindak pidana karena mendengar informasi dari
sesama rekan polisi bahwa para terdakwa mengaku saat
77
pemeriksaan di BAP dan juga berdasarkan kecurigaan saksi
(saksi Jaidi Pendi) terhadap terdakwa.
Keterangan keempat saksi tersebut diatas yang
menyatakan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
hanyalah berupa pendapat dari hasil pemikiran saja karena tidak
ada satupun saksi yang ikut memeriksa para terdakwa di BAP
dan mendengar langsung bahwa terdakwa mengakui telah
melakukan tindak pidana. Sesuai dengan aturan dalam Pasal 185
ayat (5) KUHAP yang menyatakan bahwa “Baik pendapat
maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,
bukan merupakan keterangan saksi”, apabila kemudian
dikaitkan dengan aturan tersebut, maka keterangan yang
diberikan oleh para saksi a quo bukanlah termasuk dalam
keterangan saksi, oleh karena itu setiap keterangan saksi yang
bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus
dikesampingkan oleh majelis dalam pembuktian kesalahan
terdakwa. Dengan demikian, keterangan tersebut tidak dapat
dinyatakan sebagai alat bukti.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim tingkat pertama
tidak objektif terhadap penilaian keterangan saksi a de charge.
Majelis hakim tingkat pertama tidak mempertimbangkan dan
mengesampingkan keterangan saksi a de charge yang
dihadirkan dalam persidangan dengan alasan bahwa saksi a de
78
charge seluruhnya adalah teman terdakwa yang sudah pasti akan
membela terdakwa.
Menurut Dr. Mudzakkir, S.H., M.H.83
kekuatan
pembuktian saksi yang diajukan oleh tersangka atau penasehat
hukumnya memiliki nilai kekuatan pembuktian yang kuat dan
sama dengan saksi-saksi lainnya asalkan memenuhi kualitas
keterangan saksi yaitu bersifat netral dan objektif, keterangan
yang diberikan berdasarkan apa yang ia alami dan/atau ia lihat
dan/atau ia dengar sendiri yang diberikan di bawah/di atas
sumpah. Perbedaannya terletak kepada sifat pembuktiannya,
yaitu pembuktian yang bersifat negatif. Maksudnya, keterangan
kesaksian atau alat bukti yang diajukan tersebut membuktikan
sebaliknya, yakni membuktikan bahwa tidak dipenuhinya unsur-
unsur tindak pidana yang disangkakan kepadanya.
Dari seluruh saksi a de charge yang dihadirkan dalam
persidangan, dua diantaranya yaitu saksi Rere Septiani dan saksi
Fransiska als Mak Parung dalam keterangannya di pengadilan
mengatakan bahwa saksi bersama dengan para terdakwa di
Parung pada malam waktu terjadinya tindak pidana pembunuhan
terhadap korban. Keterangan kedua saksi tersebut secara negatif
telah membuktikan bahwa para terdakwa tidak melakukan
tindak pidana pembunuhan terhadap korban, karena pada waktu
terjadinya tindak pidana para terdakwa tidak berada di lokasi
83
Putusan Mahkamah Konstitusi No.65/PUU-VIII/2010 Hlm. 51
79
kejadian (tempus delicti) yaitu di bawah jembatan Cipulir
melainkan berada di Parung bersama dengan saksi. Dari
keterangan kedua saksi tersebut kemudian diperoleh petunjuk
bahwa yang melakukan tindak pidana pembunuhan bukanlah
para terdakwa sehingga unsur kedua yaitu dengan sengaja
menghilangkan nyawa orang lain menjadi tidak terpenuhi.
Dalam persidangan juga dihadirkan saksi a de charge
yang diajukan oleh penasehat hukum yaitu saksi Iyan Pribadi
yang mengatakan bahwa yang melakukan tindak pidana
pembunuhan terhadap korban bukanlah para terdakwa
melainkan orang lain. Penjelasan saksi tersebut kemudian
memunculkan petunjuk baru bahwa yang melakukan tindak
pidana pembunuhan terhadap korban bukanlah para terdakwa
melainkan orang lain yang bernama Brengos dan Jubay.
Menurut Dr. Chairul Huda84
, pelaksanaan asas praduga tak
bersalah dalam pembuktian perkara pidana mengharuskan
pembuktian telah terjadi tindak pidana dan seorang telah
bersalah melakukan tindak pidana tersebut, berdasarkan bukti-
bukti yang tidak menimbulkan keraguan sedikitpun (beyond the
reasonable doubt) yang diperoleh secara sah, prinsip ini dimulai
sejak tahap penyidikan.
Keterangan dari saksi Iyan Pribadi telah menimbulkan
keraguan tentang siapa yang sebenarnya telah membunuh
84
Putusan Mahkamah Konstitusi No.65/PUU-VIII/2010 Hlm. 53
80
korban, namun sayangnya, saksi Iyan Pribadi dan juga saksi
Fransiska als Mak Parung yang merupakan saksi alibi tidak
dipanggil dan diperiksa oleh penyidik pada saat pemeriksaan di
BAP. Tidak dilaksanakannya kewajiban hukum untuk
memanggil dan memeriksa saksi guna memberikan keterangan
yang menguntungkan bagi diri Tersangka/Terdakwa dimaksud,
dapat dipandang sebagai pengingkaran terhadap Pasal 116 ayat
(4) KUHAP.
Tidak terpenuhinya alat bukti sesuai dengan aturan yang
terdapat pada KUHAP, dalam hal ini keterangan saksi, juga
terlihat dari putusan majelis hakim tingkat pertama yang tidak
mempertimbangkan keterangan yang diberikan oleh saksi dalam
pemeriksaan di persidangan. Majelis hakim menjatuhkan
putusannya berdasarkan pada keterangan saksi saat pemeriksaan
di BAP.
BAP yang berisikan berita acara pemeriksaan saksi dapat
dijadikan alat bukti surat apabila saksi yang bersangkutan tidak
dapat dihadirkan di dalam persidangan, namun apabila saksi
yang bersangkutan dapat menghadiri pemeriksaan di
persidangan, maka kemudian keterangan saksi yang dapat
dijadikan alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di dalam
persidangan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP).
81
Pada saat pemeriksaan saksi di persidangan, seluruh saksi
mahkota yang dihadirkan oleh penuntut umum mencabut
keterangan yang mereka berikan di BAP dan menyatakan bahwa
keterangan di BAP tersebut hanyalah karangan saja karena saksi
pada saat diperiksa berada dalam kondisi dibawah tekanan dan
disiksa. Pasal 185 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa
“keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi
nyatakan di sidang pengadilan”, hal tersebut dikarenakan pada
saat pemeriksaan pembuktian di persidangan, seorang saksi,
sebelum memberikan keterangannya haruslah disumpah terlebih
dahulu dengan tujuan agar saksi tersebut memberikan
keterangan yang tiada lain dari yang sebenar-benarnya. Alasan
lain mengapa keterangan saksi yang menjadi alat bukti ialah apa
yang saksi nyatakan di sidang pengadilan adalah agar hakim
dapat menilai keterangan saksi itu, yaitu tentang kebenaran
keterangan saksi apakah yang diterangkan tersebut sesuai yang
ia lihat, ia dengar atau ia alami sendiri.85
Dari bunyi Pasal 185
ayat (1) KUHAP diterangkan bahwa keterangan saksi yang
menjadi alat bukti ialah apa yang dinyatakan oleh saksi di
sidang pengadilan, melihat dari penjelasan ini penulis
berpendapat bahwa dengan demikian majelis hakim tingkat
pertama tidak dapat menjadikan keterangan yang saksi nyatakan
dalam BAP sebagai dasar pertimbangannya bahwa para
85
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana: Untuk Mahasiswa
dan Praktisi, Bandung, Mandar Maju, Bandung, 2003, Hlm 91
82
terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan terhadap para terdakwa.
b) Pengakuan Terdakwa
Pada saat pemeriksaan di persidangan, penuntut umum
juga menghadirkan dua orang saksi verbalisan yaitu saksi
Jubirin Ginting , SH dan saksi Suhartono,SH yang merupakan
anggota polisi yang memeriksa terdakwa pada saat di BAP. Para
saksi menyatakan bahwa pada saat pemeriksaan BAP, para
terdakwa (yang pada saat pemeriksaan BAP masih berstatus
tersangka) mengaku telah melakukan tindak pidana
sebagaimana telah didakwakan kepadanya tanpa ada tekanan,
paksaan, ataupun kekerasan dari pihak manapun. Meskipun
saksi mengatakan bahwa para terdakwa (yang pada saat
pemeriksaan BAP masih berstatus tersangka) mengakui sendiri
bahwa mereka telah melakukan tindak pidana sebagaimana
dalam dakwaan, akan tetapi pengakuan tersebut hanya pada saat
pemeriksaan di BAP bukan pada saat sidang di pengadilan dan
para terdakwa telah mencabut keterangannya dalam BAP,
sehingga pengakuan terdakwa (yang pada saat pemeriksaan
BAP masih berstatus tersangka) di BAP tersebut tidak lagi
menjadi alat bukti. Di sisi lain, pengakuan terdakwa sendiri
tidaklah cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah (Pasal
189 ayat (4) KUHAP). Penjelasan mengenai pengakuan
83
terdakwa diatas juga dikemukakan oleh Abdul Karim Nasution86
yaitu:
“a. Pengakuan tersebut harus diberikan oleh terdakwa
sendiri sehingga suatu keterangan pengakuan yang
diberikan oleh pembelanya tidak dapat dianggap
sebagai pengakuan. Selanjutnya pengakuan harus
diberikan secara bebas dan tidak dipaksa, dan
tidaklah boleh memperolehnya dengan jalan
memancing atas dasar pertanyaan-pentanyaan
yang menjerat. Paksaan, kekerasan atau tipu daya
menyebabkan suatu pengakuan menjadi tidak
berharga sebagai alat bukti yang sah.
b. Suatu pengakuan haruslah diberikan dimuka
hakim. Yang dimaksudkan disini adalah suatu
pengakuan yang diberikan di sidang pengadilan
yang memeriksa perkara terdakwa tersebut. Suatu
pengakuan yang diberikan pada jaksa, pembantu
jaksa (istilah HIR untuk polisi) atau siapapun
bukanlah pengakuan. Di luar pengadilan, maka
suatu pengakuan hanyalah menimbulkan petunjuk,
dan hanyalah menjadi alat bukti yang sah jika
didukung oleh petunjuk-petunjuk lain.
c. Pengakuan harus dengan teliti menyatakan cara-
cara kejahatan tersebut dilakukan dan oleh sebab
itu juga bahwa terdakwa mempunyai kesengajaan
tertentu untuk melakukan suatu tindak pidana.
Keterangan terdakwa bahwa ia bersalah tenhadap
kejahatan yang dituduhkan padanya tidaklah dapat
dianggap telah mencukupi.
d. Suatu pengakuan harus selanjutnya diberikan
dengan tegas. Diamnya seorang terdakwa, ia
malahan pengakuan sebagian, dan ia tidak dapat
memberi penjelasan tentang hal-hal yang
memberatkan kesalahannya, dan harus mengakui
kekuatan alat-alat bukti, belumlah merupakan
pengakuan kesalahan, hal tersebut hanyalah dapat
dianggap ada, jika tendakwa tegas menenangkan
bahwa ia telah melakukan kejahatan yang
dituduhkan kepadanya.
e. Pengakuan harus dikuatkan dengan keadaan-
keadaan lain. Keadaan-keadaan yang dimaksud
oleh pembuat undang-undang bukanlah harus
bahwa peristiwa tersebut menyimpulkan suatu
86
Abdul Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana, Jilid I, II, dan III,
Korps Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta, 1975, hlm. 13-25
84
kesalahan, tetapi cukuplah bahwa keadaan-
keadaan tersebut membuat pengakuan tersebut
dapat dipercaya, keadaan-keadaan mana
seharusnya harus dapat dibuktikan. Keadaan-
keadaan tersebut dengan demikian dapat
merupakan alat-alat bukti yang sah, ataupun
keadaan-keadaan yang bukan merupakan alat
bukti yang sah.
f. Akhirnya jika pengakuan tersebut seyogyanya
dapat diterima, maka hakim haruslah merasa
yakin atasnya. Hakim tidaklah mempunyai
perasaan ragu, apakah mungkin pengakuan
tersebut diberikan bertentangan dengan
kebenaran, atau dengan maksud untuk melindungi
orang lain, atau karena untuk mencegah
pemeriksaan lebih lanjut, atau karena alasan-
alasan lain selama kebenaran dan suatu alat bukti
tidak seluruhnya dapat diterima oleh akal, maka
tidaklah dapat ia memberikan keyakinan penuh.”
Maka dengan beberapa penjelasan diatas dapat dikatakan
bahwa pengakuan terdakwa saja tidak cukup menjadi alat bukti
tetapi penuntut umum juga harus memberikan alat bukti lain
yang mendukung pengakuan tersebut sehingga pengakuan
terdakwa seperti yang diajukan oleh Penuntut umum menjadi
alat bukti yang sah di dalam persidangan.
c) Petunjuk
Pada saat pemeriksaan di tingkat banding dan kasasi,
majelis hakim banding dan majelis hakim kasasi berdasarkan
pemeriksaan seluruh alat bukti yang dihadirkan pada saat
pemeriksaan, tidak memperoleh petunjuk yang meyakinkan
bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana
pembunuhan terhadap korban. Adapun petunjuk yang diperoleh
oleh majelis hakim banding dan kasasi dari keterangan saksi
85
serta keterangan terdakwa di persidangan adalah bahwa para
terdakwa tidak melakukan tindak pidana pembunuhan dan
bahwa pada saat jam kejadian terjadinya tindak pidana
pembunuhan terhadap korban para terdakwa tidak berada di
tempat kejadian perkara (tempus delicti tidak terpenuhi).
Pada perkara ini, penuntut umum hanya mampu menghadirkan 2
jenis alat bukti yaitu keterangan saksi dan surat pada saat pemeriksaan
di persidangan. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya oleh
penulis bahwa saksi yang diajukan oleh penuntut umum tidak ada
yang melihat atau mengetahui langsung terdakwa melakukan tindak
pidana pembunuhan sebagaimana didakwakan kepadanya dan juga
keterangannya tidak memiliki korelasi dengan saat terjadinya tindak
pidana karena keterangan tersebut berupa pendapat dari hasil
pemikiran saja. Dengan demikian keterangan para saksi tersebut tidak
dapat dijadikan sebagai alat bukti dan oleh karena itu maka penuntut
umum kemudian hanya mampu menghadirkan satu alat bukti saja
dalam sidang pengadilan yaitu alat bukti surat keterangan hasil Visum
Et Repertum No; HK.05.01/11.1/919/2013 tanggal 5 Juli 2013 atas
nama mayat Diky Maulana yang berisi tentang penyebab kematian
korban.
Majelis hakim tingkat pertama telah kurang teliti dalam
pertimbangannya dan tidak rinci dalam menilai alat bukti pada saat
pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama. Majelis hakim tingkat
pertama telah salah menerapkan hukum dalam putusannya.
86
Kurangnya alat bukti yang dihadirkan pada saat persidangan dan
tidak diperolehnya petunjuk yang meyakinkan majelis hakim banding
dan kasasi bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana
pembunuhan menjadi dasar pertimbangan bagi majelis hakim banding
dan kasasi menjatuhkan vonis bebas terhadap para terdakwa. Hal ini
sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP.
2. Berdasarkan Pertimbangan Hakim Dari Sisi Juridis
Pembunuhan merupakan bagian dari delik kejahatan terhadap
nyawa. Tindak pidana pembunuhan termasuk ke dalam kategori delik
materiil yaitu perbuatan tersebut baru dapat dikatakan tindak pidana
jika akibat dari perbuatan tersebut sudah terjadi.
Dalam putusan yang menjadi studi kasus di penulisan ini,
majelis hakim dalam penilaiannya mengungkap fakta berdasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat yuridis yaitu menilai
dari dakwaan penuntut umum, keterangan saksi, keterangan terdakwa,
barang bukti, dan juga Undang-Undang.
Dalam perkara ini, penuntut umum memberikan dakwaan dalam
bentuk subsidair yaitu dakwaan yang terdiri dari beberapa lapisan
dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang
satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik
lapisan disusun secara berurut dimulai dari ancaman tindak pidana
tertinggi sampai dengan ancaman tindak pidana terendah. Majelis
87
hakim tingkat pertama kemudian menjatuhkan putusan yang
menyatakan bahwa para terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan secara
bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 338 Jo. Pasal 55 Ayat
(1) Ke-1 KUHP.
Berdasarkan pertimbangan hakim tingkat pertama dalam
putusannya sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya, hakim
menyatakan bahwa perbuatan para terdakwa telah memenuhi unsur-
unsur Pasal 338 Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP sehingga perbuatan
para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama.
Didasarkan pada pertimbangan yang bersifat yuridis, dalam
pertimbangan mengenai unsur dengan sengaja menghilangkan nyawa
orang lain, penulis berpendapat bahwa majelis hakim tingkat pertama
telah mengabaikan dan tidak mempertimbangkan sama sekali seluruh
keterangan saksi dan juga keterangan para terdakwa di persidangan,
dimana baik keterangan saksi dan juga keterangan terdakwa
merupakan unsur penting yang harus ada dalam pertimbangan bersifat
yuridis dalam suatu putusan. Majelis hakim tingkat pertama hanya
mempertimbangkan petunjuk yang diperoleh dari keterangan saksi di
BAP, yang jika dilihat menurut aturan pada Pasal 185 ayat (1)
KUHAP keterangan di BAP tersebut tidak lagi dapat dijadikan
sebagai dasar pertimbangan.
88
Majelis hakim tingkat pertama telah salah dalam merumuskan
pertimbangan putusannya. Majelis hakim tingkat pertama tidak
memperhatikan dan mempertimbangkan unsur-unsur pertimbangan
bersifat yuridis yang harus dimuat dalam setiap putusan pengadilan
yaitu keterangan saksi dan keterangan terdakwa. Hal ini terlihat dari
pertimbangan majelis hakim tingkat pertama yang mengesampingkan
keterangan saksi, baik saksi a charge maupun saksi a de charge, yang
disampaikan oleh saksi pada saat persidangan serta tidak
mempertimbangkan sama sekali keterangan terdakwa saat
persidangan. Majelis hakim tingkat pertama menilai dan
mempertimbangkan kesalahan para terdakwa hanya berdasarkan pada
pemeriksaan di BAP dimana BAP tidaklah menjadi salah satu unsur
dalam pertimbangan bersifat yuridis dan dalam perkara ini BAP
tersebut tidaklah lagi dapat dijadikan sebagai bukti karena
keterangannya telah dicabut oleh saksi pada saat persidangan.
Ketidaktelitian dan kurang objektifnya majelis hakim tingkat
pertama dalam mempertimbangkan hal-hal yang bersifat yuridis
dalam putusannya membuat majelis hakim tingkat pertama tidak
menyadari bahwa unsur kedua dari Pasal 338 Jo. Pasal 55 Ayat (1)
Ke-1 KUHP yaitu unsur dengan sengaja menghilangkan nyawa orang
lain tidak terpenuhi.
Tidak terpenuhinya unsur dengan sengaja menghilangkan nyawa
orang lain tersebut kemudian disadari oleh majelis hakim banding dan
majelis hakim kasasi pada saat pemeriksaan perkara di tingkat
89
banding dan kasasi. Pada saat pemeriksaan perkara majelis hakim
banding dan majelis hakim kasasi menyadari tidak ada seorang pun
saksi yang melihat atau mengetahui secara langsung para terdakwa
melakukan pembunuhan dan juga melalui keterangan dari saksi alibi
yang diajukan oleh penasihat hukum para terdakwa serta dari
keterangan terdakwa telah terungkap fakta hukum yang melakukan
pembunuhan atau kekerasan yang menyebabkan meninggalnya korban
bukan dilakukan oleh para terdakwa. Selain itu, tidak diperoleh
petunjuk untuk meyakinkan hakim tentang adanya kesalahan
terdakwa-terdakwa. Dari pertimbangan majelis hakim banding dan
majelis hakim kasasi yang menyatakan bahwa terungkapnya fakta
hukum yang melakukan pembunuhan atau kekerasan yang
menyebabkan meninggalnya korban bukan dilakukan oleh para
terdakwa maka dapat kita katakan bahwa para terdakwa tidak
memenuhi unsur kedua yaitu unsur dengan sengaja (asas hukum
animus moninis est anima scripti yang berarti kesengajaan seseorang
merupakan inti dari sebuah perbuatan) menghilangkan nyawa orang
lain.
Tidak terpenuhinya unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 338
Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP yaitu unsur kedua dengan sengaja
menghilangkan nyawa orang lain dan kurangnya bukti serta petunjuk
untuk meyakinkan hakim tentang adanya kesalahan terdakwa-
terdakwa kemudian menjadi dasar pertimbangan bagi majelis hakim
banding dan majelis hakim kasasi menjatuhkan putusan bebas
90
terhadap para terdakwa. Hal ini pernah dikemukakan oleh seorang
pakar hukum pidana Asep Iwan Iriawan saat menghadiri sebuah acara
di stasiun televisi yang mana beliau mengemukakan bahwa dalam
hukum pidana segala unsur harus terbukti, jika salah satu unsur tidak
terbukti maka terdakwa harus diputus bebas, berlaku sebaliknya jika
segala unsur terbukti maka terdakwa harus dihukum.87
Pernyataan
pakar hukum pidana tersebut sejalan dengan aturan dalam Pasal 191
ayat (1) KUHAP yaitu Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,
maka terdakwa diputus bebas.
87
Wawancara dengan Pakar Hukum Pidana Asep Iwan Iriawan , Metro TV, hari Selasa tanggal 28
Februari 2017 pukul 14.07 WIB